TUGAS KGD Kasus Trauma Kepala - Clausewitz W Masala - 16061050
TUGAS KGD Kasus Trauma Kepala - Clausewitz W Masala - 16061050
NIM : 16061050
1. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Tahuna Timur 01/02 Kab. Sangihe
Pekerjaan : Swasta
Masuk RS : 05 Juni 2020, pukul 20:57
No. CM : 059706
3. RESUME ANAMNESIS
Seorang perempuan, umur 50 tahun dengan penurunan kesadaran dan riwayat kecelakaan
lalu lintas, kepala terbentur, pasien pingsan ±2 jam, pasien tidak ingat kejadiannya dan keluarga,
pasien mengeluh pusing, dan mual muntah. Tapi tidak disertai kejang, demam, nyeri anggota
gerak, kelemahan anggota gerak, keluar darah dari hidung-mulut-telinga, dan gangguan
pendengaran. Pasien dirawat di RSUD De La Salle selama 13 hari.
DISKUSI 1
Dari anamnesa tersebut didapatkan pasien perempuan berusia 50 tahun dengan penurunan
kesadaran, pasien sempat muntah, dan lupa ingatan. Beberapa kumpulan gejala yang dialami
pasien merupakan suatu sindroma pasca trauma kepala yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
yang dialami pasien 3 hari yang lalu. Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pada pasien ini didapatkan adanya amnesia retrograde, yaitu
pasien tidak dapat mengingat kejadian sebelum terjadinya kecelakaan. Ketidakmampuan untuk
mengingat sebagian atau seluruh pengalaman masa lalu atau amnesia dapat disebabkan oleh
gangguan organik di otak, namun dapat juga disebabkan faktor psikologis, misalnya pada
gangguan stres pasca trauma individu dapat kehilangan memori dari peristiwa yang sangat
traumatis. Posttraumatic amnesia dapat dibagi dalam 2 tipe yaitu retrograde yang didefinisikan
oleh Cartlidge dan Shaw sebagai hilangnya kemampuan secara total atau parsial untuk
mengingat kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma, lamanya
amnesia retrograde biasanya akan menurun secara progresif. Tipe yang kedua dari postraumatic
amnesia adalah amnesia anterograde, suatu defisit dalam membentuk memori baru setelah
kecelakaan, yang menyebabkan penurunan atensi dan persepsi yang tidak akurat.
4. DIAGNOSIS SEMENTARA
5. PEMERIKSAAN FISIK
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Reflek kornea + +
Diplopia –
Menelan Sdn
Artikulasi Sdn
N.XII
Tremor lidah Sdn Sdn
TR
TN
K
E E
E E
RP
CL –/–
RF
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
VI.1 Laboratorium
07 Juni 2020
· Tampak lesi hiperdens dengan edema perifokal pada daerah subarachnoid dan pada ganglia
basalis kiri · Ventricle lateralis kiri lebih sempit disbanding kanan · Sulci corticalis dan
fissure sylvii tampak dalam batas normal. · Pons dan cerebellum normal · Mastoid,
nasofaring, sinus paranasal dan orbita tenang · Tak tampak fraktur pada tulang – tulang
cranium. · Kesan : Intracerebral hemorrhage pada daerah ganglia basalis kiri, subarachnoid
haemoragic. · Tak tampak tanda peninggian tekanan intracranial. · Jumlah kisaran
perdarahan : Rumus Broderick (p x l x jumlah irisan yang terkena) : 2 2 x 1 x 26 : 2 = ± 26cc
DISKUSI II
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pada pasien kesadarannya menurun dengan GCS
8, menurut jenis cedera kepala sesuai GCS, maka pasien masuk kedalam Cedera kepala berat,
selain itu pada pasien juga didapatkan adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti
pusing dan muntah. Pada pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium didapatkan peningkatan
leukosit yang disebabkan karena adanya reaksi inflamasi terhadap infeksi pada cedera kepala,
disertai peningkatan profil lipid, hal itu merupakan respon metabolisme terhadap cedera kepala,
pada hasil CT-SCAN didapatkan adanya perdarahan subarachnoid, perdarahan intracerebral dan
hematom ekstrakranial. Hal itu merupakan akibat dari trauma kepala yang dialami pasien.
Berikut penjelasan secara klinis tentang trauma kepala. Setelah dilakukan perawatan di rumah
sakit selama tiga belas hari pasien menunjukan adanya gangguan prilaku, emosi dan komunikasi.
Hal itu menunjukan bahwa pasien mengalami sindrom lubos frontalis. Pasien yang mengalami
sindrom lobus temporalis akan mengalami gangguan watak-tabiat, gangguan kognitif dan
psikomotorik. Gangguan psikomotorik pada penderita sindrom lubos frontalis memperlihatkan
gangguan inisiatif, sehingga pasien menjadi malas melakukan hal yang biasanya dikerjakan
sehati-hari seperti makan, mandi dan bekerja. Gangguan kognisi terjadi karena adanya
kemunduran dalam daya ingat terutama ingatan jangka pendek, penderita juga tidak langsung
mengerti dengan apa yang ditanyakan. Gangguan perangai dijumpai juga pada penderita sindrom
frontalis seperti euforia, koprolalia, cepat marah, impulsif agresif, dan kehidupan seksual yang
menyimpang. TRAUMA KEPALA
A. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini
sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat (Graham
and Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang
menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari
rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang
pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh
darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (Garg,
2004). Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini
boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari (Garg, 2004).
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh
peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu
cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah;
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
a) Fraktur cranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih
tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b) Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan. Termasuk lesi lesi local ;
Perdarahan Epidural
Perdarahan Subdural
Perdarahan Intraserebral
Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media
( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan
bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology
timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala
herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal
dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
a) Getaran Otak
Trauma pada kepala menyebabkan seluruh tengkorak beserta isinya bergetar.
Kerusakan yang terjadi bergantung pada besarnya getaran. Makin besar getarannya
makin besar kerusakan yang ditimbulkannya.
b) Deformitas tengkorak
Benturan pada tengkorak menyebabkannya menggepeng ini akan membentur
jaringan dibawahnya dan menimbulkan kerusakan pada otak. Pada sisi sebrangnya,
tengkorak bergerak menjauh dari jaringan otak dibawahnya sehingga timbul ruangan
vakum yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah.
c) Pergeseran otak
Benturan pada kepala menyebabkan otak bergeser mengikuti arah gaya benturan.
Gerakan geseran lurus ini disebut juga gerak translasional. Geseran ini dapat
menimbulkan lesi bila permukaan dalam tengkorak. Kelambanan otak karena
konsistensinya yang lunak menyebabkan gerakannya tertinggal terhadap gerakan
tengkorak. Di daerah seberang gerakan otak akan membentur tulang tengkorak dengan
segala akibatnya.
d) Rotasi Otak
Holbourn (1943) mengatakan bahwa rotasi otak dapat terjadi pada bidang sagital,
horizontal, koronaldan kombinasinya. Gerakan berputar ini tampak disemua daerah
kecuali di daerah frontal dan temporal. Di daerah dimana otak dapat bergerak, kerusakan
otak yang terjadi sedikit atau tidak ada. Kerusakan terbesar terjadi di daerah yang tidak
dapat bergerak atau terbatas gerakannya, yaitu daerah frontal di fossa serebri anterior dan
daerah temporal di fossa serebri media. Karena sulit bergerak, jaringan otakdi daerah ini
mengalami regangan yang mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah dan serat-
serat. Respon metabolisme pada cedera kepala Pada cedera otak berat timbul banyak
perubahan metabolisme dan sekresi hormon yang merupakan mekanisme pertahan tubuh.
Terdapat kaitan yang kompleks antara pengadaan energi, keseimbangan cairan dan
elktrolit dan aktivitas endokrin. Cedera otak biasanya diikuti dengan knaikan penggunaan
energi dan metabolisme basal, yang setara dengan berat ringannya cedera. Energi
diperoleh dari deposit di jaringan endogen lewat proses kenaikan glukoneogenesis,
glikogenolisis dan proteolisis. Perubahan metabolisme tersebut diatur oleh aktivitas
neuroendokrin, ditandai kenaikan ekskresi nitrogen urine, perubahan substrat plasma dan
konsentrasi hormon. Respon metabolisme pada cedera otak lebih intens dan lebih lama
dibanding jenis cedera di organ lain, karena otak merupakan pusat pengendali banyak
proses fisiologis. Stimulus yang beraksi sentral menimbulkan respon yang lebih berat
dibanding yang di perifer.
e) Hipermetabolisme
Penderita cedera otak berat selalu mengalami 2 masalah pokok yaitu kerusakan
otak dan gangguan sistemik yang bersifat tidak langsung. Salah satunya adalah
hipermetabolisme yang berkorelasi dengan berat ringannya cedera otak berat.
Metabolisme diukur dengan instrumen yang disebut measured energy expenditure
(MEE). Lebih dari 15 peneliti mendapatkan kenaikan MEE pada cedera otak berat. 40%
penderita cedera otak mempunyai MEE diatas normal, yang mencapai normal kembali
setelah 2 minggu tergantung dari berat ringannya cedera kepala yang dialami. Pemberian
nutrien, steroid dan adanya infeksi secara statistik tidak signifikan menaikan tingkat
metabolisme sedangkan kenaikan intrakranial dan peradangan otak berkaitan erat dengan
kenaikan metabolisme. Akibat kenaikan metabolisme adalah kelemahan otot dan
penurunan berat badan. Juga terjadi peningkatan kebutuhan akan adenosis trifosfat (ATP)
untuk menyokong kerja jaringan dan organ. Kerusakan didalam jaringan otak dapat
meningkatkan respon terhadap rangsangan dari perifer. Tonus otot yang meninggi dan
hipertensi turut meningkatkan metabolisme. Peningkatan metabolisme mencapai
puncaknya, dapat hingga 170% pada hari ke 5-11 setelah trauma. Metabolisme menurun
pada penderita cedera kepala yang mengalami kelumpuhan, yang mendapat terapi
barbiturat dan obat-obat yang menghambat gerakan otot dan penderita dengan penurunan
kesadaran.
f) Hiperglikemi
Dalam keadaan trauma, tubuh berusaha untuk mempertahankan kadar glukosa
darah. Terdapat mekanisme kontrol dalam mempertahankan kadar glukosa darah dari
berbagai stres baik fisik maupun psikis isalnya pada cedera kepala. Hiperglikemia reaktif
dapat terjadi sebagai reaksi non spesifik terhadap terjadinya stres akibat kerusakan
jaringan. Reaksi adalah fenomena yang tidak berdiri sendiri dan merupakan salah satu
aspek perubahan biokimiawi multiple yang berhubungan dengan cedera kepala fase akut.
Keadaan ini dapat pula dijumpai pada keadaan luka bakar, stroke, prosedur operasi dan
infark miokard akut. Hiperglikemia yang terjadi tergantung pada lokasi serta beratnya
kerusakan jaringan otak akibat cedera kepala.
Dalam keadaan stress, ada 2 komponen utama sebagi respon adaptasi terhadap
stress yaitu :
Sistem saraf autonom simpatis
Sistem corticotropin-realising hormon (CRH)
Pusat sistem simpatis terletak dibatang otak. Aktivasi sistem ini akan
menyebabkan terjadinya pelepasan terjadinya pelepasan katekolamin (epinefrin) yang
mempunyai efek sangat kuat terhdapa reaksi glikogenolisis dan glukoneogenesis dalam
hati, sehingga akan meningkatkan pelepasan glukosa oleh hati masuk kedalam sirkulasi,
selain itu juga menghambat pemakaian glukosa di jaringan perifer. Juga akan
menghambat sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Noreepinefrin, mempunyai efek
lemah terhadap glikogenolisis dalam hati, tetapi dapat merangsang glikoneogenesis
karena mempunyai efek lipolisis yang kemudian memberi asupan gliserol bagi hati.
Laktat juga mrupakan prekursos yang penting bagi glukosa dalam hati dan merupakan
refleksi peningkatan glikogenolisis di jaringan perifer dan kemungkinan down regulation
dari piruvat dehidroginase. Laktat akan berfungsi sebagai substrat alternatif bagi proses
glukoneogenesis dalam keadaan stress katabolik. Gliserol akan masuk ke dalam hati
untuk berpartisipasi dalam proses glukoneogeneis, setelah dilepas dari jaringan adiposa,
karena kecepatan lipolisis akan meningkat sebagai akibat sekresi hormon
counterregulatory. Sistem CRH tersebar diseluruh bagian otak tetapi paling banyak
terdapat di nukleus paraventrikuler hipotalamus. Perangsang sistem CRH akan
mengaktivasi aksis hipofisis-adrenal. Hipofisis akan menghasilkan adrenocorticotropin
hormone (ACTH), yang akan merangsang korteks adrenal untuk melepas kotrisol. Efek
kortisol terhadap metabolisme karbohidrat adalah perangsangan proses glukoneogenesis
dan selanjutnya akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Selain itu, stres dan
kerusakan jaringan juga akan merangsang sekresi hormon pertumbuhan yang juga
mempunyai efek diabetogenik, mengurangi pemakaian glukosa. Sitokin seperti tumor
necrosis factor (TNF) mengubah metabolisme glukosa dengan mempengaruhi fungsi sel-
sel pankreas sehingga mengakibatkan terjadinya intoleransi glukosa. Pada cedera otak
metabolisme basal dapat meningkat hingga 30%. Mekanisme mungkin bersifat neural,
kimiawi atau hormonal. Katabolisme meningkat dengan kehilangan nitrogen mencapai
100mg/kgbb/24jam. Pada keadaan ini protein lebih banyak diurai. Asam amino yang
terurai dari proteolisis diantaranya digunakan untuk pembentukan glukosa. Alanin,
setelah keluar dari otot di dalam hepar diubah menjadi glukosa dan dalam proses ini
terbentuk ureum. Didalam otot glukosa diubah menjadi asam piruvat yang kemudian
diubah kembali menjadi alanin dengan proses transaminase dari valin, leusin dan
isoleusin. Siklus alanin ini berperan memberikan glukosa. Pembentukan glukosa yang
berlebihan oleh hepar dengan menggunaka alanin yang berasal dari penguraian protein
otot akan menyebabkan semakin tingginya kadar glukosa dalam darah.
Indikasi CT Scan
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat
melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi oleh
komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT-
Scan akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya. Dengan CT-
Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya
(Sastrodiningrat, 2009). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah seperti
berikut:
Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat
Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
Sakit kepala yang hebat.
Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral (Irwan, 2009).
Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma kepala jika
dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Indikasi untuk melakukan CT-
Scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut yang diikuti dengan kelainan neurologis
seperti mual, muntah atau dengan SKG (Skor Koma Glasgow)
6. DIAGNOSA AKHIR
7. PLANNING
Perawatan intensif
Konsultasi Rehab Medik (Fisioterapi) : positioning, alih baring, terapi gerak aktif dan
pasif, bed rest.
Urin Cateter
Terapi pembedahan
Indikasi bedah :
perderahan serebelar >3 cm dengan perburukan klinis atau kompresi batang otak dan
hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel
perdarahan intraserebral dengan lesi struktural, jika memiliki outcome baik dan lesi
strukturnya terjangkau
pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang sampai besar (≥ 50cm³) yang
memburuk
8. PENATALAKSANAAN
Infus RL 20 tpm
Kanul Oksigen 3lpm
Urin Cateter
Citicolin 2 x 500 mg
Piracetam 3 gr/ 6jam
Ranitidin 2x50mg
Deksamethason 2mg/ 8jam
Manitol 4|3|2|2|1 x 125 mg
Ceftriakson 1 gr/12jam
Furosemid 1×1
Ketorolac 2 x 50mg
PO : Haloperidol 3 x 1tab
DISKUSI III
PROGNOSIS
Subjective
SOAP 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Pusing – – – – + + + + + + + + +
Muntah + – – – – – – – – – – – –
Gelisah + + + + + + + + + + + + +
Objective
SOAP 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18
RC ,
+/+
RK
TTV
140 / 180/ 170/ 130/ 140/9 150/ 140/ 140/ 120/ 120/ 110/
TD 140/90 130/80
80 100 110 100 0 100 100 90 80 80 70
80 80 84 100 96 84 80 80
N 84 x/m 88 x/m 80 x/m 84 x/m 76x/m
x/m x/m x/m x/m x/m x/m x/m x/m
18 21 20 24 22 20 20 20 24
RR 20 x/m 24 x/m 20 x/m 20x/m
x/m x/m x/m x/m x/m x/m x/m x/m x/m
SOAP 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18
PLANNING
Infus RL 20 tpm
Inj. Piracetam 3x 3 gr
Inj. Ceftriakson 2 x 1 gr –
Diltiazem 2 x 30mg
Clobazam 2 x 5mg
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C. 2008. Fisiologi Manusia dan mekanisme penyakit (Human Physiology and
Mechanism of Disease). Jakarta: EGC
Patofisiologi Sibernagl
Bronner LL., Kanter DS, Manson JE, 2000: Primary Prevention of Stroke : Medical
Progress, The New England Journal of Medicine.
Toole JF: cerebrovascular disorder, 4 th ed, Raven Press, New York, 1990,365-376