Makalah
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Imam Bawani, MA
Disusun Oleh:
HANIK YUNI ALFIYAH
A. Pendahuluan
Permasalahan mendasar bagi kaum muslimin di sepanjang sejarah adalah
menemukan cara menjadikan al Qur’an relevan dengan berbagai situasi dan kondisi
baru yang terus berubah. Karena itulah para ulama, cendekiawan dan pemikir
berusaha menemukan cara untuk menemukan berbagai aturan normatif pada situasi
baru serta menarik berbagai prinsip dan nilai yang substansial.
Menurut Mattson, sejumlah sarjana pada abad 20-an mengembangkan
berbagai pendekatan baru terhadap Islam dengan menyerukan kontekstualisasi
sehingga banyak orang Islam yang menyebut mereka keluar dari ortodoksi Islam,
dikarenakan pemahaman mainstream masih menganggap bahwa pemeliharaan
agama adalah identik dengan penghormatan terhadap nilai-nilai normatif yang
sakral. 1 Karenanya diperlukan metodologi yang tepat dan konsisten untuk
menentukan sejauh mana suatu konteks dipandang relevan bagi sebuah pemahaman
dan kapan waktu yang tepat untuk mendahulukan prinsip-prinsip umum atas aturan
khusus.
Kekhawatirannya adalah resiko melakukan kontekstualisasial al-Qur’an
secara berlebihan dan terlalu bersandar pada prinsip-prinsip umum dapat melahirkan
sikap merelativekan kandungan al-Qur’an sehingga ajarannya yang eksplisit hanya
berlaku bagi satu situasi saat wahyu diturunkan. Meskipun demikian garis pemisah
antara konteks yang relevan dan kepentingan pribadi atau relativisme yang sembrono
sulit dibedakan.
Namun demikian, memahami Islam dengan hanya sebagai “agama”
(normatif) secara tidak langsung sebenarnya justru menjadikan Islam sebagai
doktrin-normatif yang sempit. Islam cenderung kaku dan tidak bisa masuk ke dalam
setiap dimensinya sehingga tidak mampu memberikan solusi atas setiap
probelematika yang muncul di masyarakat. Islam yang seperti ini tentu saja tidak
sejalan dengan ajaran yang ada dalam Islam itu sendiri. Nilai-nilai keadilan dan
menghormati perbedaan akan pudar dan berubah menjadi sumber konflik, rentan
terjadi gesekan di tengah heterogenitas masyarakat modern sekarang ini. Karena
faktanya masyarakat saat ini sangat mudah untuk dimobilisasi secara besar-besaran
dengan isu agama. Campur aduk agama dan politik yang diekspos secara liar oleh
1
2
2
Aris Shofuddin, “Memaknai Islam dengan Pendekatan Normatif”, El-Washathiyah: Jurnal Studi Agama
(Volume 5, Nomor 1, Juni 2017), 3
3
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 34.
4
Ibid.
3
Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fiqih (Usuliyah), ahli
hukum Islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang berusaha menggali aspek
legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan
normatif. 5
Dengan demikian, pendekatan normatif merupakan pendekatan yang
digunakan dalam mengkaji atau memahami agama secara tekstual atau
berdasarkan teks yang sudah tertulis dalam kitab suci agama yang bercorak literal,
tekstual dan absolut, menggunakan pola berpikir deduktif, yaitu cara berpikir
yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak karena berasal dari
Tuhan, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu, melainkan dimulai dari
keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Memahami agama secara tekstual sebagaimana pendekatan normatif
dapat melahirkan pribadi yang memiliki militansi beragama yang tinggi
(berpegang teguh terhadap agama yang diyakininya sebagai agama yang benar),
mengawetkan ajaran agama, serta membentuk karakter pemeluknya sebagai
masyarakat ideal dalam bingkai agama. Namun juga berkecenderungan
menanamkan sifat eksklusif, dogmatis, kaku, tidak mau mengakui kebenaran
orang lain, parsial, saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang justru akan
menyebabkan tidak adanya kerjasama dan kepedulian sosial. 6
2. Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan kritik terhadap pendekatan normatif. M.
Yatimin Abdullah memaknai historis sebagai suatu ilmu yang di dalamnya
dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek,
dan latar belakang peristiwa tersebut. Sehingga pendekatan historis sangat
penting dan dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dari situasi yang konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan.7
Hasyim Hasanah menambahkan bahwa terdapat beberapa unsur dalam
mengkaji dan memahami agama dari perspektif historis, yaitu peristiwanya
5
Khoirudin, nasution, pengantar studi islam, yogyakarta : Rosda, 2009
6
Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Ombak, 2013), 79.
7
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), 59.
4
(what), pelaku (who), waktu, (when), tempat (where) dan latar belakang (why).
Pendekatan historis ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan
penguraian ajaran Islam dari sumber dasarnya serta latar belakang masyarakat,
budaya, sejarah, politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. 8
Senada dengan pendapat diatas adalah Dudung Abdurrahman yang
memahami pendekatan historis sebagai pendekatan yang tidak bisa terlepas dari
kajian peristiwa yang melalui dimensi ruang dan waktu. Islam tidak hanya dikaji
pada aspek normatif, melainkan wujudnya ketika hidup di tengah masyarakat,
tempat, kondisi sosial, ekonomi, atau bahkan kondisi politik. Sehingga
pendekatan historis mau tidak mau akan berhubungan dengan sejarah sebagai
koreksi atas fatkta. Pendekatan historis tidak hanya digunakan untuk melihat
pertumbuhan, perkembangan, dan kronologis peristiwa masa lampau, namun
juga digunakan untuk mengenal gejala-gejala struktural, faktor-faktor kausal,
kondisional, kontekstual serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan
eksponen dari proses sejarah yang dikaji. 9
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan historis adalah
paradigma ilmu dalam mengkaji studi agama dengan melihat peristiwa, pelaku,
waktu, tempat dan latar belakang untuk menguraikan dan memberikan
pemahaman tentang latar belakang sebuah kajian agama Islam. Melalui
pendekatan historis seseorang diajak untuk memasuki keadaan sebenarnya yang
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
8
Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam, 79.
9
Dudung Abdurahman (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner …, 40.
10
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, 13.
5
Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad melalui teorinya yaitu normatif-
sosiologis atau sosio-teologis mengkategorisasikan nash al-Quran menjadi dua, yaitu:
(1) Nash normatif, dan (2) Nash sosiologis. Nash normatif adalah nash yang tidak
tergantung pada konteks. Sementara nash sosiologis adalah nash yang dalam
pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks, waktu, tempat, dan konteks
lainnya. 11
Terkait dengan memahami nash (teks agama), khususnya nash al-Qur’an,
Muhammad ’Izzat Darwaza, sebagaimana dikutip Poonawala berpendapat bahwa al-
Qur’an berisi dua hal pokok, yaitu: 1). Prinsip fundamental (ushul), dan
2). Alat/sebagai penghubung untuk mencapai prinsip-prinsip fundamental tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut penting karena di dalamnya mengandung tujuan wahyu dan
dakwah Nabi. Hal-hal yang masuk prinsip adalah menyembah Allah dan harus
menyediakan kode etik (norma) yang lengkap (komprehensif) tentang tindakan-
tindakan (syariah). Sisanya, seperti janji Allah yang akan membalas perbuatan baik
di akhirat dan akan menyiksa orang jahat, sejarah Nabi dan semacamnya adalah alat
penghubung. 12
Kuntowijaya dalam hasil studinya menyimpulkan bahwa pada dasarnya
kandungan al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: 1) Berisi konsep-konsep, dan
2) Berisi kisah sejarah dan perumpamaan. 13 Pada bagian yang berisi konsep, al-
Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
Islam, sedangkan pada bagian yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin
mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui pendekatan
sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan
dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami
agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an
secara benar, misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-
Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya
disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-
Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung
11
Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, hal. 190-191
12
Ibid., 191.
13
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 60.
6
dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk
memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.14
14
Mokh. Fatkhur Rokhzi, “Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam”, Jurnal Vol III No. 1 Maret
015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/download/49/49/ (Diakses pada 10
Oktober 2019).
15
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, 190.
7
16
Ibid., 191.
17
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), 59.
18
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 55.
19
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: Alfah Offset, 2001), 70.
8
tentang latar belakang sebuah kajian, dalam hal ini kajian agama Islam. Melalui
pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan sebenarnya yang
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dalam pandangan Amin Abdullah, pemerhati sejarah agama Islam sangat
memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsyuna
fi al-aswaq) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat
pluralistk. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengilhami umat Islam untuk berperilaku di
muka bumi, bersifat sesuai dengan zaman dan makan, yakni selalu melibatkan
dimensi historis waktu dan ruang tertentu. Asbabbul nuzul (sebab-sebab turunnya al-
Quran -tidak lain dan tidak bukan- adalah dimensi historisitas al-Qur’an, dimana
fundamental nilai selalu ada di belakangnya. Untuk itu faktor “keteladanan” yang
bersifat historis-empiris dalam diskursus keberagaman Islam pada khususnya
memang lebih utama daripada konsepsi teo-filosofis yang transendental. Disinilah
letak sebagian kekuatan etik agama di hadapan etik filosofis tanpa
mengurangi pentingnya etika filosofis dalam dataram kritis. 20
Dalam wacana studi agama, fenomena keberagaman manusia dan studi agama
tidak lagi hanya dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normalitas ajaran
wahyu, namun wacana juga dapat terlihat dari sudut dan terkait dengan historisitas
pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok per kelompok terhadap
norma-norma ajaran agama yang mereka peluk, serta model-model amalan dan
kritik-kritik ajaran agama yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan historis melihat kitab suci dan fenomena keberagaman tidak melihat cara
tekstual, namun dengan sudut pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat
multidimensional, baik secara sosiologis, filosofis, psikologis, historis, kultural
maupun antropologis. Pendekatan historis menuduh pendekatan normatif cenderung
bersifat “absolut” sebab pendekatan normatif mengabsolutkan teks yang tertulis,
tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi
berbagai teks keagamaan yang ada. Akan tetapi menurut Amin Abdullah hubungan
kedua pendekatan ini ibarat sebuah koin mata uang dengan dua permukaan, keduanya
tidak bisa dipisahkan namun dapat dibedakan secara tegas dan jelas. 21
20
Amin Abdullah, Studi Agama: Normatif atau Historis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. V., 64.
21
Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tira Wacana, 2011), 62.
9
22
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 60.
23
Ibid.
24
Akh Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam , 78.
10
yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-
nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini
seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang
berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari
kekeliruan memahaminya.25
25
Mokh. Fatkhur Rokhzi, “Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam”, Jurnal Vol III No. 1 Maret
015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/download/49/49/ (Diakses pada 10
Oktober 2019).
26
Abd. Rachman Assegaf, dkk., Antologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Idea Press, 2010), 168.
11
27
Ibid.
12
minimal untuk dapat memberi hukuman potong tangan. Adapun batas minimalnya yaitu
sebesar 3 dirham murni.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya dengan penerapan sesuatu peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan
memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan
menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an
secara benar, misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-
Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya
disebut asbabul nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan ilmu tersebut seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam
suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara
syariat dari kekeliruan memahaminya. 28 Begitu juga dengan memahami islam, islam
harus juga dipahami dengan melihat sejarah-sejarah perkembangan Islam.
F. Kesimpulan
Pendekatan normatif dan historis penting dilakukan dalam memahami studi
Islam. Pendekatan normatif dan historis ibarat 1 keping mata uang dengan dua sisi.
Keduanya dapat dikaji secara mandiri, tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Untuk memahami agama Islam secara proporsional, keduanya (normatif dan
historis) perlu diterapkan. Tidak bisa hanya menerapkan pendekatan normatif dengan
mengabaikan pendekatan historis. Begitu juga sebaliknya, tidak bisa hanya
menggunakan pendekatan historis dengan mengabaikan pendekatan normatif.
Keduanya perlu diterapkan secara simultan.
Jika hanya menerapkan pendekatan normatif tanpa historis, cenderung akan
memiliki pemahaman agama yang sempit, eksklusif, letterlek, tekstual dan cenderung
merasa benar sendiri. Apabila hanya menerapkan pendekatan historis tanpa normatif,
maka cenderung hanya memahami agama dari sisi sosial sejarahnya tetapi kurang
memahami norma-norma yang ditetntukan Tuhan, sehingga cenderung mengarah
pada level keberagamaan yang kurang kontrol. Idealnya harus diterapkan keduanya
dalam memahami ajaran agama secara utuh.
28
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 48.
13
G. Daftar Referensi
Abdullah, Amin. Islamic Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: Alfah
Offset, 2001.
Assegaf, Abd. Rachman, dkk. Antologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Idea Press,
2010.
Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2013.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Rokhzi, Mokh. Fatkhur. “Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam”, Jurnal Vol III
No. 1 Maret 015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/
article/download/49/49/ (Diakses pada 10 Oktober 2019).