Anda di halaman 1dari 14

0

PENDEKATAN STUDI ISLAM: NORMATIF DAN HISTORIS

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Metodologi Studi Islam”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Imam Bawani, MA

Disusun Oleh:
HANIK YUNI ALFIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA TAHUN 2019
1

A. Pendahuluan
Permasalahan mendasar bagi kaum muslimin di sepanjang sejarah adalah
menemukan cara menjadikan al Qur’an relevan dengan berbagai situasi dan kondisi
baru yang terus berubah. Karena itulah para ulama, cendekiawan dan pemikir
berusaha menemukan cara untuk menemukan berbagai aturan normatif pada situasi
baru serta menarik berbagai prinsip dan nilai yang substansial.
Menurut Mattson, sejumlah sarjana pada abad 20-an mengembangkan
berbagai pendekatan baru terhadap Islam dengan menyerukan kontekstualisasi
sehingga banyak orang Islam yang menyebut mereka keluar dari ortodoksi Islam,
dikarenakan pemahaman mainstream masih menganggap bahwa pemeliharaan
agama adalah identik dengan penghormatan terhadap nilai-nilai normatif yang
sakral. 1 Karenanya diperlukan metodologi yang tepat dan konsisten untuk
menentukan sejauh mana suatu konteks dipandang relevan bagi sebuah pemahaman
dan kapan waktu yang tepat untuk mendahulukan prinsip-prinsip umum atas aturan
khusus.
Kekhawatirannya adalah resiko melakukan kontekstualisasial al-Qur’an
secara berlebihan dan terlalu bersandar pada prinsip-prinsip umum dapat melahirkan
sikap merelativekan kandungan al-Qur’an sehingga ajarannya yang eksplisit hanya
berlaku bagi satu situasi saat wahyu diturunkan. Meskipun demikian garis pemisah
antara konteks yang relevan dan kepentingan pribadi atau relativisme yang sembrono
sulit dibedakan.
Namun demikian, memahami Islam dengan hanya sebagai “agama”
(normatif) secara tidak langsung sebenarnya justru menjadikan Islam sebagai
doktrin-normatif yang sempit. Islam cenderung kaku dan tidak bisa masuk ke dalam
setiap dimensinya sehingga tidak mampu memberikan solusi atas setiap
probelematika yang muncul di masyarakat. Islam yang seperti ini tentu saja tidak
sejalan dengan ajaran yang ada dalam Islam itu sendiri. Nilai-nilai keadilan dan
menghormati perbedaan akan pudar dan berubah menjadi sumber konflik, rentan
terjadi gesekan di tengah heterogenitas masyarakat modern sekarang ini. Karena
faktanya masyarakat saat ini sangat mudah untuk dimobilisasi secara besar-besaran
dengan isu agama. Campur aduk agama dan politik yang diekspos secara liar oleh

1
2

media semakin memperkeruh stabilitas keamanan dan kerukunan masyarakat.


Namun demikian idealnya setiap lapisan masyarakat harus memahami bahwa agama
bukan hanya doktrin yang cenderung kaku untuk berada di tengah-tengah mereka.
Agama sangat dinamis dan adaptif terhadap setiap perbedaan yang ada di
masayarakat.
Ada beberapa paradigma atau pendekatan untuk memaknai agama sehingga
agama bisa menjadi solusi atas setiap permasalahan. Bertolak dari bangunan
pemikiran di atas, sangat penting mengetahui pendekatan yang sering digunakan
kelompok Islam radikal dalam memahami agama, yaitu agama yang cenderung hanya
mengacu pada sumber utamanya saja atau yang disebut juga dengan “pendekatan
normatif”. 2 Oleh karena itu perlu ada kekuatan penyeimbang, yakni “pendekatan
historis”.

B. Pengertian Pendekatan Normatif dan Historis


1. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif terkenal sebagai pendekatan yang mengkaji agama
secara tekstual. Abuddin Nata mengemukakan bahwa pendekatan normatif
merupakan pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok
dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran
manusia.3 Sehingga pendekatan normatif berupaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan
dengan yang lainnya, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap
ideal. 4
Senada dengan pendapat diatas adalah Khairudin Nasution yang
berpendapat bahwa pendekatan normatif merupakan studi Islam yang
memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal
formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan sejenisnya.
Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash.
Dengan demikian pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas.

2
Aris Shofuddin, “Memaknai Islam dengan Pendekatan Normatif”, El-Washathiyah: Jurnal Studi Agama
(Volume 5, Nomor 1, Juni 2017), 3
3
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 34.
4
Ibid.
3

Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fiqih (Usuliyah), ahli
hukum Islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang berusaha menggali aspek
legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan
normatif. 5
Dengan demikian, pendekatan normatif merupakan pendekatan yang
digunakan dalam mengkaji atau memahami agama secara tekstual atau
berdasarkan teks yang sudah tertulis dalam kitab suci agama yang bercorak literal,
tekstual dan absolut, menggunakan pola berpikir deduktif, yaitu cara berpikir
yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak karena berasal dari
Tuhan, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu, melainkan dimulai dari
keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Memahami agama secara tekstual sebagaimana pendekatan normatif
dapat melahirkan pribadi yang memiliki militansi beragama yang tinggi
(berpegang teguh terhadap agama yang diyakininya sebagai agama yang benar),
mengawetkan ajaran agama, serta membentuk karakter pemeluknya sebagai
masyarakat ideal dalam bingkai agama. Namun juga berkecenderungan
menanamkan sifat eksklusif, dogmatis, kaku, tidak mau mengakui kebenaran
orang lain, parsial, saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang justru akan
menyebabkan tidak adanya kerjasama dan kepedulian sosial. 6

2. Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan kritik terhadap pendekatan normatif. M.
Yatimin Abdullah memaknai historis sebagai suatu ilmu yang di dalamnya
dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek,
dan latar belakang peristiwa tersebut. Sehingga pendekatan historis sangat
penting dan dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dari situasi yang konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan.7
Hasyim Hasanah menambahkan bahwa terdapat beberapa unsur dalam
mengkaji dan memahami agama dari perspektif historis, yaitu peristiwanya

5
Khoirudin, nasution, pengantar studi islam, yogyakarta : Rosda, 2009
6
Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Ombak, 2013), 79.
7
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), 59.
4

(what), pelaku (who), waktu, (when), tempat (where) dan latar belakang (why).
Pendekatan historis ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan
penguraian ajaran Islam dari sumber dasarnya serta latar belakang masyarakat,
budaya, sejarah, politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. 8
Senada dengan pendapat diatas adalah Dudung Abdurrahman yang
memahami pendekatan historis sebagai pendekatan yang tidak bisa terlepas dari
kajian peristiwa yang melalui dimensi ruang dan waktu. Islam tidak hanya dikaji
pada aspek normatif, melainkan wujudnya ketika hidup di tengah masyarakat,
tempat, kondisi sosial, ekonomi, atau bahkan kondisi politik. Sehingga
pendekatan historis mau tidak mau akan berhubungan dengan sejarah sebagai
koreksi atas fatkta. Pendekatan historis tidak hanya digunakan untuk melihat
pertumbuhan, perkembangan, dan kronologis peristiwa masa lampau, namun
juga digunakan untuk mengenal gejala-gejala struktural, faktor-faktor kausal,
kondisional, kontekstual serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan
eksponen dari proses sejarah yang dikaji. 9
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan historis adalah
paradigma ilmu dalam mengkaji studi agama dengan melihat peristiwa, pelaku,
waktu, tempat dan latar belakang untuk menguraikan dan memberikan
pemahaman tentang latar belakang sebuah kajian agama Islam. Melalui
pendekatan historis seseorang diajak untuk memasuki keadaan sebenarnya yang
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.

C. Kategorisasi Ajaran Normatif dan Realitas Historis dalam Islam


Nasr Hamid Abu Zaid mengkategorisasi ajaran normatif dan realitas historis
dalam Islam menjadi dua bagian: pertama, wilayah teks asli Islam (the original text
of Islam), yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang autentik. Kedua,
pemikiran Islam yang merupakan ragam tafsiran terhadap teks asli Islam (al-Qur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks
asli Islam seperti tafsir dan fikih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan empat pokok
cabang keilmuan, yaitu: hukum/fiqih, teologi, filsafat dan tasawuf/mistik. 10

8
Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam, 79.
9
Dudung Abdurahman (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner …, 40.
10
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, 13.
5

Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad melalui teorinya yaitu normatif-
sosiologis atau sosio-teologis mengkategorisasikan nash al-Quran menjadi dua, yaitu:
(1) Nash normatif, dan (2) Nash sosiologis. Nash normatif adalah nash yang tidak
tergantung pada konteks. Sementara nash sosiologis adalah nash yang dalam
pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks, waktu, tempat, dan konteks
lainnya. 11
Terkait dengan memahami nash (teks agama), khususnya nash al-Qur’an,
Muhammad ’Izzat Darwaza, sebagaimana dikutip Poonawala berpendapat bahwa al-
Qur’an berisi dua hal pokok, yaitu: 1). Prinsip fundamental (ushul), dan
2). Alat/sebagai penghubung untuk mencapai prinsip-prinsip fundamental tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut penting karena di dalamnya mengandung tujuan wahyu dan
dakwah Nabi. Hal-hal yang masuk prinsip adalah menyembah Allah dan harus
menyediakan kode etik (norma) yang lengkap (komprehensif) tentang tindakan-
tindakan (syariah). Sisanya, seperti janji Allah yang akan membalas perbuatan baik
di akhirat dan akan menyiksa orang jahat, sejarah Nabi dan semacamnya adalah alat
penghubung. 12
Kuntowijaya dalam hasil studinya menyimpulkan bahwa pada dasarnya
kandungan al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: 1) Berisi konsep-konsep, dan
2) Berisi kisah sejarah dan perumpamaan. 13 Pada bagian yang berisi konsep, al-
Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
Islam, sedangkan pada bagian yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin
mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui pendekatan
sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan
dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami
agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an
secara benar, misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-
Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya
disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-
Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung

11
Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, hal. 190-191
12
Ibid., 191.
13
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 60.
6

dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk
memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.14

D. Penggunaan Metodologi sesuai Sifat-sifat Objek Studi Keislaman


Dalam kajian Islam, ada beberapa metodologi yang dapat dipakai dalam
memahami ajaran Islam sesuai dengan sifat dan domainnya. Amin Abdullah
menawarkan metodologi normativitas (wahyu) dan historisitas (penafsiran
berdasarkan ilmu sosial, antropologi, filsafat, dan disiplin ilmu yang lain). Dengan
demikian, sifat dari kajian keislaman ada yang berupa normatif dan ada yang
berbentuk historis.
Dalam kajian Mukti Ali, wilayah agama dibagi menjadi dua, yaitu cum-
doctrinal (al-Tauhid) dan cum-scientific (al-Tasyri’). Cum-doctrinal atau al-Tauhid
merupakan wilayah normatif, sementara cum-scientific atau al-Tasyri’ merupakan
wilayah historis. Pada wilayah tauhid, seseorang tidak punya banyak peran dalam
intervensi pemikiran, sementara pada wilayah tasyri’, peran seseorang untuk
menafsirkan ajaran ini terbuka secara proporsional.
Secara umum ada dua teori yang dapat digunakan dengan pendekatan
normatif-teologis. Pertama, ada hal-hal yang untuk mengetahui kebenarannya dapat
dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Kedua, ada hal-hal yang sulit
dibuktikan secara empiris dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan
secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan penalaran (ra’yi).
Sedangkan masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya
diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup
sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana
yang tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Maka sikap yang perlu
dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis. 15
Terdapat beberapa teori populer yang dapat digunakan dengan pendekatan
normatif, disamping teori-teori yang digunakan para Fuqaha’, Ushuliyyin,
Muhaddithin, dan Mufassirin, diantaranya adalah teori teologis-filosofis, yaitu

14
Mokh. Fatkhur Rokhzi, “Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam”, Jurnal Vol III No. 1 Maret
015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/download/49/49/ (Diakses pada 10
Oktober 2019).
15
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, 190.
7

pendekatan memahami al-Qur’an dengan cara menginterpretasikannya secara logis-


filosofi, yakni mencari nilai-nilai objektif dari subjektifitas al-Qur’an.
Terkait dengan memahami nash (teks agama), khususnya nash al-Qur’an,
Muhammad ’Izzat Darwaza, sebagaimana dikutip Poonawala, al-Qur’an berisi dua
hal pokok, yaitu: 1). Prinsip fundamental (ushul), dan 2). Alat/sebagai penghubung
untuk mencapai prinsip-prinsip fundamental tersebut. Prinsip-prinsip tersebut
penting karena di dalamnya mengandung tujuan wahyu dan dakwah Nabi. Hal-hal
yang masuk prinsip adalah menyembah Allah dan harus menyediakan kode etik
(norma) yang lengkp (komprehensif) tentang tindakan-tindakan (syariah). Sisanya,
seperti janji Allah yang akan membalas perbuatan baik di akhirat dan akan menyiksa
orang jahat, sejarah Nabi dan semacamnya adalah alat penghubung.16
Sementara itu, terkait dengan pendekatan historis, historis dalam bahasa
Inggris memiliki arti sejarah atau peristiwa; dalam bahasa Arab sepadan dengan
kata syajaratun yang berarti pohon. Historis adalah asal usul, silsilah, kisah, riwayat,
dan peristiwa. Historis merupakan suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, dan latar belakang
peristiwa tersebut. Pendekatan kesejarahan ini sangat penting dan dibutuhkan dalam
memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret dan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. 17
Pendekatan historis dalam pandangan filsafat pendidikan Islam digunakan
dengan cara mengadopsi metode yang digunakan dalam penelitian sejarah Islam.
Maksud pendekatan ini adalah bahwa filsafat pendidikan Islam dikaji berdasarkan
urutan dan rentang waktu yang terjadi di masa lampau. 18 Sedangkan dalam ilmu
hadith, pendekatan secara historis adalah memahami hadith dengan memperhatikan
dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang
munculnya hadith.19
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan historis adalah
paradigma ilmu dalam mengkaji studi agama dengan melihat peristiwa, pelaku,
waktu, tempat dan latar belakang untuk menguraikan dan memberikan pemahaman

16
Ibid., 191.
17
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), 59.
18
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 55.
19
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: Alfah Offset, 2001), 70.
8

tentang latar belakang sebuah kajian, dalam hal ini kajian agama Islam. Melalui
pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan sebenarnya yang
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dalam pandangan Amin Abdullah, pemerhati sejarah agama Islam sangat
memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsyuna
fi al-aswaq) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat
pluralistk. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengilhami umat Islam untuk berperilaku di
muka bumi, bersifat sesuai dengan zaman dan makan, yakni selalu melibatkan
dimensi historis waktu dan ruang tertentu. Asbabbul nuzul (sebab-sebab turunnya al-
Quran -tidak lain dan tidak bukan- adalah dimensi historisitas al-Qur’an, dimana
fundamental nilai selalu ada di belakangnya. Untuk itu faktor “keteladanan” yang
bersifat historis-empiris dalam diskursus keberagaman Islam pada khususnya
memang lebih utama daripada konsepsi teo-filosofis yang transendental. Disinilah
letak sebagian kekuatan etik agama di hadapan etik filosofis tanpa
mengurangi pentingnya etika filosofis dalam dataram kritis. 20
Dalam wacana studi agama, fenomena keberagaman manusia dan studi agama
tidak lagi hanya dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normalitas ajaran
wahyu, namun wacana juga dapat terlihat dari sudut dan terkait dengan historisitas
pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok per kelompok terhadap
norma-norma ajaran agama yang mereka peluk, serta model-model amalan dan
kritik-kritik ajaran agama yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan historis melihat kitab suci dan fenomena keberagaman tidak melihat cara
tekstual, namun dengan sudut pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat
multidimensional, baik secara sosiologis, filosofis, psikologis, historis, kultural
maupun antropologis. Pendekatan historis menuduh pendekatan normatif cenderung
bersifat “absolut” sebab pendekatan normatif mengabsolutkan teks yang tertulis,
tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi
berbagai teks keagamaan yang ada. Akan tetapi menurut Amin Abdullah hubungan
kedua pendekatan ini ibarat sebuah koin mata uang dengan dua permukaan, keduanya
tidak bisa dipisahkan namun dapat dibedakan secara tegas dan jelas. 21

20
Amin Abdullah, Studi Agama: Normatif atau Historis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. V., 64.
21
Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tira Wacana, 2011), 62.
9

Pendekatan sejarah sangat dibutuhkan dalam memahami agama karena


agama itu sendiri turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam terhadap
agama yang dalam hal ini Islam menurut pendekatan sejarah ketika dia mempelajari
al-Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu
terbagi menjadi dua bagian: 1). Berisi konsep-konsep, dan 2). Berisi kisah sejarah
dan perumpamaan.22
Melalui pendekatan sejarah, diajarkan untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa, maka seseorang tidak dapat
memahami agama keluar dari konteks historis, karena pemahaman demikian ini
menyesatkan orang yang memahaminya. Pandangan historis ini adalah suatu
pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dari
dahulu sampai sekarang.23
Charles J. Adams menjelaskan, dalam memahami pendekatan historis, maka
secara ringkas dapat dikemukakan dua hal. Pertama, pemahaman Islam masa kini dan
masa datang bisa dipahami secara baik dengan bekal pemahaman Islam masa lalu,
maka penggunaan pendekatan sejarah merupakan suatu keniscayaan. Kedua, sejarah
dan psikologi bagaikan dua wajah dari satu mata uang yang sama. Melalui
pendekatan sejarah itulah sejumlah karya Islam masa lalu dianalisa dan dipahami
kemudian disajikan dalam bentuk karya-karya baru, modern, dan kontemporer yang
bisa dinikmati oleh para pengkaji Islam pada masa kini dan juga pada masa-masa
berikutnya.24
Pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk
pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, sedangkan pada bagian
yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya
perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu
peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks
historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar, misalnya, yang
bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian

22
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 60.
23
Ibid.
24
Akh Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam , 78.
10

yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-
nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini
seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang
berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari
kekeliruan memahaminya.25

E. Contoh Ringkas Pendekatan Normatif dan Historis dalam Studi Islam


Sub ini berbicara tentang beberapa contoh ringkas dari pendekatan normatif
dan historis dalam studi Islam. Contoh pendekatan normatif, antara lain, untuk
mengantisipasi adanya pengkafiran antar sesama Muslim, maka perlu adanya
landasan normatif pendidikan agama Islam multikultural. Pendidikan multikultural
merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar belakang budaya siswa
bermacam-macam digunakan sebagai ulasan untuk meningkatkan pembelajaran
siswa di kelas dan lingkungan sekolah. Adapun landasan normatif pendidikan Islam
multikultural yaitu kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu),
kesatuan kenabian, tidak ada paksaan dalam beragama dan pengakuan terhadap
eksistensi agama lain. Semua ini disebut normatif karena sudah merupakan ketetapan
Tuhan, masing-masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), meskipun satu ayat
dapat difungsikan untuk justifikasi yang lain. 26
Misalnya, Surat al-Maidah Ayat 51:

‫ُض ُه ْْم أ َ ْو ِليَاء َبَ ْْعٍض َو َمن‬


ُ ‫اَرى أَ ْو ِليَاء َبَ ْْع‬ َ َّ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَتَّ ِخذُواْ ْاليَ ُهودَ َوالن‬
َ ‫َص‬
﴾٥١﴿ َ‫الظالِمِين‬ َّ ‫يَتَ َولَّ ُهْم ِمن ُك ْْم فَإَِّنَُّهُ ِم ْن ُه ْْم ِِإ ََّّن َهّللاَ الَ يَ ْهِدِي ْالقَ ْو َم‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
dhalim.”

Ayat di atas akan menimbulkan permasalahan antar manusia (makhluk Tuhan)


jika dipahami secara normatif saja. Oleh karena itu perlu mengkajinya juga dari sisi

25
Mokh. Fatkhur Rokhzi, “Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam”, Jurnal Vol III No. 1 Maret
015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/download/49/49/ (Diakses pada 10
Oktober 2019).
26
Abd. Rachman Assegaf, dkk., Antologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Idea Press, 2010), 168.
11

historis dan konteksnya. Sehingga dalam bersosial tidak menimbulkan kerenggangan


antar umat beragama.
Dalam hal ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 131 yaitu:

َ َ‫ص ْينَا الَّذِينَ أُوتُواْ ْال ِكت‬


‫اب ِمن قَ ْب ِل ُك ْْم‬ َّ ‫ض َولَقَ ِْد َو‬ ِ ‫ت َو َما فِي األ َ َْر‬ ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫َوّللِ َما فِي ال‬
ُ‫ض َو َكاَّنَ َهّللا‬ ِ ‫ت َو َما فِي األ َ َْر‬ِ ‫س َم َاوا‬َّ ‫ّلل َما فِي ال‬ ِ ِ ‫َو ِِإيَّا ُك ْْم أَ َِّن اتَّقُواْ َهّللاَ َو ِِإَّن تَ ْكفُ ُرواْ فَإِ ََّّن‬
﴾١٣١﴿ ً‫َغنِيا ً َح ِميِدا‬
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh
Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu
dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka
(ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah
kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Pendekatan sejarah sangat dibutuhkan dalam memahami agama karena agama


itu turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan.27 Islam historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang
dipahami dan Islam yang dipraktikkan kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia, mulai
dari masa Nabi sampai sekarang. Islam yang terbentuk dari sistem sejarah tercermin dari
praktik yang dilakukan kaum Muslimin. Parktik ini muncul dalam berbagai macam dan
bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks).
Pendekatan sejarah atau historis dalam memaknai ayat al-Qur’an selalu melihat
aspek asbabun nuzulnya. Sebagai contoh, hukum bagi pencuri sebagaimana tertulis
dalam surat al-Maidah ayat 38:
ٌ ‫َهّللا َوَهّللاُ َع ِز‬
‫يز‬ َ ‫طْعُواْ أَ ْي ِِد َي ُه َما َجزَ اء َِب َما َك‬
ِ َ‫س َبا َّنَ َكاالً ِمن‬ َ ‫َّاَرقَةُ فَا ْق‬
ِ ‫َّاَر ُق َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
﴾٣٨﴿ ‫َح ِكي ٌْم‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam memahami ayat tersebut secara tekstual (wahyu), Allah memerintahkan


bagi seseorang baik laki-laki ataupun perempuan yang melakukan pencurian, maka
balasannya potong tangan. Akan tetapi dalam arti penafsiran dan asbab nuzulnya, secara
historis hukumuan potong tangan ketika mencuri ada aturan-aturannya dan ada batas

27
Ibid.
12

minimal untuk dapat memberi hukuman potong tangan. Adapun batas minimalnya yaitu
sebesar 3 dirham murni.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya dengan penerapan sesuatu peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan
memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan
menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an
secara benar, misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-
Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya
disebut asbabul nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan ilmu tersebut seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam
suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara
syariat dari kekeliruan memahaminya. 28 Begitu juga dengan memahami islam, islam
harus juga dipahami dengan melihat sejarah-sejarah perkembangan Islam.

F. Kesimpulan
Pendekatan normatif dan historis penting dilakukan dalam memahami studi
Islam. Pendekatan normatif dan historis ibarat 1 keping mata uang dengan dua sisi.
Keduanya dapat dikaji secara mandiri, tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Untuk memahami agama Islam secara proporsional, keduanya (normatif dan
historis) perlu diterapkan. Tidak bisa hanya menerapkan pendekatan normatif dengan
mengabaikan pendekatan historis. Begitu juga sebaliknya, tidak bisa hanya
menggunakan pendekatan historis dengan mengabaikan pendekatan normatif.
Keduanya perlu diterapkan secara simultan.
Jika hanya menerapkan pendekatan normatif tanpa historis, cenderung akan
memiliki pemahaman agama yang sempit, eksklusif, letterlek, tekstual dan cenderung
merasa benar sendiri. Apabila hanya menerapkan pendekatan historis tanpa normatif,
maka cenderung hanya memahami agama dari sisi sosial sejarahnya tetapi kurang
memahami norma-norma yang ditetntukan Tuhan, sehingga cenderung mengarah
pada level keberagamaan yang kurang kontrol. Idealnya harus diterapkan keduanya
dalam memahami ajaran agama secara utuh.

28
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 48.
13

G. Daftar Referensi
Abdullah, Amin. Islamic Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

_________. Studi Agama: Normatif atau Historis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2011. Cet. V.

Abdullah, M. Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.

Abdurahman, Dudung (ed.). Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan


Multidisipliner. Jakarta: Bina Ilmu, 2005.

Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: Alfah
Offset, 2001.

Assegaf, Abd. Rachman, dkk. Antologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Idea Press,
2010.

Hasanah, Hasyim. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Ombak, 2013.

Hidayatullah, Syarif. Studi Agama: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana,


2011.

http://cfis.uii.ac.id/content/view/32/87/ (Diakses pada 10 Oktober 2019).

Mattson, Inggrid. Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar untuk memahami


konteks, kisah, dan sejarah al Qur’an. terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta:
Zaman. 2013

Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2013.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia dan Tazzafa,


2009.

Rokhzi, Mokh. Fatkhur. “Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam”, Jurnal Vol III
No. 1 Maret 015, http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/
article/download/49/49/ (Diakses pada 10 Oktober 2019).

Shofuddin, Aris. “Memaknai Islam dengan Pendekatan Normatif”, El-


Washathiyah: Jurnal Studi Agama. Volume 5, Nomor 1, Juni 2017.

Suhrato, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.

Anda mungkin juga menyukai