Anda di halaman 1dari 17

PENDIDIKAN ISLAM ANTARA TRADISI DAN MODERNITAS

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mata Kuliah

Politik Pendidikan Islam

Program Doktor dalam Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh:

KHOLISOL MUHLIS

Dosen Pengampu :

Prof Akh. Muzakki,M.Ag, Grad.Dip.SEA,M.Phil, Ph.D

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2019

1
PENDIDIKAN ISLAM ANTARA TRADISI DAN MODERNITAS
Oleh : Kholisol Muhlis

A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-
luasnya, Pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri.
Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang,
kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan.1
Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang
sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan bersifat
informal; dan inipun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyyah yaitu
penyebaran, dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam. Dalam kaitan
itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah,
yang paling terkenal Dar al-Arqam. Kemudian, seiring dengan perkembangan Islam dan
terbentuknya masyarakat Islam, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid-masjid yang
dikenal dalam bentuk halaqah, lingkaran belajar.2
Sementara itu potert pendidikan tradisional di Indonesia lebih dikenal dengan
lembaga pesantren di mana Kiai sebagai sentral figur, masjid sebagai sentral kegiatan dan
Santri sebagai subjek dan objek pendidikannya. Pondok Pesantren merupakan dua istilah
yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat
belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat
dari bambu.
Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan
kebangkitan madrasah. Kebangkitan madrasah merupakan awal dari bentuk pelembagaan
pendidikan Islam secara formal. Secara tradisional sejarawan pendidikan Islam termasuk
Stanton menganggap bahwa madrasah pertama kali didirikan oleh Wazir Nizhamiyyah
pada 1065; madrasah ini kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizham al-Mulk.3
Makalah ini dengan segala kekurangannya ingin mencoba menelusuri secara
mendalam tentang Pendidikan Islam antara Tradisi dan Modernitas sebagai kekuatan dan
sekaligus tantangan kultural.

1
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999), vii
2
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), vii
3
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terjemahan (Jakarta : PT Logos Publishing House,
1994), v-vi

2
B. ANTARA PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH
Untuk membahas tentang pendidikan Islam tradisional dan modern penulis ingin
memotret dua lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia yaitu pondok pesantren
yang mewakili pendidikan Islam tradisional dan madrasah yang mewakili pendidikan
Islam modern.

1. Pondok Pesantren
Kata pondok berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel.
Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan
pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa,
sedangkan di Minangkabau disebut surau. Pesantren juga dapat dipahami sebagai
lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di
mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para
santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
Ada dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya
pesantren di Indonesia, yaitu:
Pendapat yang pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar
pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan
tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa
penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk
kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang
melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut
Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari
dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama anggota tarekat dalam sebuah
masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk keperluan
suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat
khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Di samping mengajarkan amalan-amalan
tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat
ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga
pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Pendapat yang kedua, pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya
merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang
3
Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya
Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren
pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat
membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan berasal dari
tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara
Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantern banyak ditemukan
dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar dan Thailand.
Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad
ke 16. Pesantren-pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam
bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudian menjadi pusat-pusat
penyiaran Islam seperti; Syamsu Huda di Jembrana (Bali), Tebu Ireng di Jombang, Al
Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan,
Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad
Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya.
Dalam mempertahankan eksistensinya, pondok pesantren selalu bersikap
mandiri dan tidak menggantungkan keberadaan, kelangsungan dan kebutuhan
hidupnya kepada subsidi pemerintah. Dalam Praktek penyelenggaraannya, sejak dari
gagasan awal pendirian, dukungan keuangan, hingga pengembangannya, pondok
pesantren banyak melibatkan potensi dan partisipasi masyarakat sepenuhnya.
Masyarakat memberikan dukungan dan partisipasinya karena kharisma dan pengaruh
kuat sang kiai yang merupakan figur sentral di pondok pesantren itu. Kiai sebagai
pengasuh pondok pesantren sangat dihormati oleh masyarakat, baik di lingkungan
pondok pesantren itu sendiri atau di luarnya.4
Posisi kiai memiliki aspek politis, karena pesantren dianggap sebagai pusat
perjuangan kemerdekaan yang oleh Belanda dianggap sebagai pusat pemberontakan.
Para kiai tersebut secara antropologis adalah mereka yang ahli agama, tinggal di
tempat para santrinya, jauh dari kepentingan dan pendekatan politik, menjadi teladan,
kesederhanaan dan kesalehan hidup. Kiai adalah tempat bertanya bagi masyarakat
bukan santri untuk meminta nasihat sejak dari memberi nama anak yang baru lahir
sampai pada pembagian waris serta berbagai problema lainnya.5

4
Faisal Ismail, Paradigma Pendidikan Islam : Analisis Historis, Kebijakan dan Keilmuan, (Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2017), 79-80
5
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam : Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2012), 315

4
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan
agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa
Arab. Kitab yang dikaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis dalam abad
pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai dengan abadke-15 atau lazim disebut dengan
”Kitab Kuning”. Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah
wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri
menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Metode sorogan ialah suatu
metode dimana santri menghadap guru atau kyai seorang demi seorang dengan membawa
kitab yang akan dipelajarinya. Sedangkan metode hafalan ialah metode dimana santri
menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara
menghafal ini diajarkan dalam bentuk sya’ir atau nazham. Metode-metode ini masih
berjalan ketat dibeberapa pesantren saat ini, namun banyak juga pesantren yang telah
berhasil mengkombinasikan metode pengajarannya dengan metode yang lebih modern dan
komprehensif.6
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa yang dimaksud dengan tradisi pesantren
adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati dan dipraktekkan di pesantren,
yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang
terdapat pada lembaga pendidikan lainnya. Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai yang
dipahami, dihayati, diamalkan dan melekat pada seluruh komponen pesantren
sebagaimana tersebut di atas. Dalam kaitan ini, hasil penelitian para ahli menunjukkan
bahwa tradisi yang ada di pesantren tersebut antara lain : tradisi rihlah ilmiah, meneliti,
menulis kitab, membaca kitab kuning, praktek thariqah, menulis buku, penghafal,
berpolitik dan tradisi yang bersifat sosial keagamaan lainnya. 7
Dalam menghadapi tantangan globalisasi dunia seperti sekarang ini, ternyata
pesantren semakin menunjukkan peran dan fungsinya yang makin dirasakan oleh
masyarakat. Di antaranya adalah sebagai berikut : 8
1. Era globalisasi yang menimbulkan tantangan dalam penguasaan iptek telah dijawab
oleh pesantren dengan melakukan pengembangan kurikulum dan membuka program
pendidikan yang makin variatif serta membentuk lembaga yang memberikan
kemampuan pesantren menjawab isu-isu kontemporer.

6
Noor Hafizah, “Pendidikan Islam Di Pesantren Antara Tradisi Dan Tuntutan Perubahan,” Jurnal Muaddib,
Vol. 06, No. 01 (Januari-Juli, 2016), 93
7
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam,315
8
Ibid, 338

5
2. Era globalisasi yang menimbulkan tantangan di bidang budaya asing telah dijawab
oleh pesantren dengan menyelenggarakan pendidikan karakter yang efektif dengan
berbasis pada thariqat dan tasawwuf.
3. Era globalisasi yang menimbulkan tantangan berupa persaingan bisnis dalam
pendidikan telah dijawab oleh dunia pesantren dengan menerapkan pendidikan yang
berbasis masyarakat.
4. Era globalisasi yang menimbulkan tantangan dalam bentuk tuduhan miring telah
dijawab oleh pesantren dengan mengedepankan semangat nasionalisme, penerapan
pola ajaran Islam yang moderat, inklusif dan toleran.
5. Era globalisasi yang menimbulkan tantangan dalam bentuk pengembangan ilmu telah
dijawab oleh dunia pesantren dengan mengembangkan kegiatan penelitian, kajian,
penerbitan dan seminar.9
Beberapa variabel yang dapat diterapkan dalam agenda modernisasi pesantren,
khususnya dan pendidikan Islam umumnya :
a. Modernisasi administratif : Modernisasi menuntut differensiasi sistem pendidikan
untuk mengantisipasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan differensiasi
sosial, teknik dan manajerial. Antisipasi dan akomodasi tersebut haruslah
dijabarkan dalam bentuk formulasi, adopsi dan implementasi kebijaksanaan
pendidikan dalam tingkat nasional, regional dan lokal. Dalam konteks modernisasi
administratif ini, sistem dan lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, pada
umumnya baru mampu melakukan reformasi dan modernisasi administratif secara
terbatas. Kebanyakan masih berpegang pada kerangka ”administrasi tradisional”,
termasuk dalam aspek kepemimpinan, sehingga pesantren tidak mampu
mengembangkan diri secara baik.
b. Differensiasi struktural : Pembagian dan difersifikasi lembaga-lembaga pendidikan
sesuai dengan fungsi-fungsi yang akan dimainkannya. Dengan demikian, dalam
masyarakat yang tengah mengalami proses modernisasi, lembaga pendidikan yang
bersifat umum saja tidak lagi memadai. Lebih khusus lagi, sistem pendidikan Islam
seperti pesantren, haruslah memberikan peluang dan bahkan mengharuskan
pembetukan lembaga- lembaga pendidikan khusus yang diarahkan untuk
mengantisipasi differensiasi sosial-ekonomi yang terjadi. Sitem pendidikan Islam,

9
Di antara bentuk lembaga yang berhasil melakukan modernisasi di pesantren antara lain adalah : Forum Studi
agama Islam dan Sosial (FSAS) di Jepara, Pusat Pengembangan Pondok Pesantren dan Madrasah (P3M) di
Jakarta, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Lihat Yusuf Rahman, Islam and Societyin Contemporary
Indonesia, (Jakarta : Interdisiplinary Islamic Studies Program Faculty of Graduate Study Syarif Hidayatullah
State Islamic University Jakarta, 2006), 13 dalam Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, 332

6
khususnya pesantren, sejauh ini kelihatannya belum mempunyai arah yang pasti
tentang differensiasi struktural yang harus dilakukan; apakah tetap dalam
differensiasi keagamaannya-yang dilihat dalam kerangka modernisasi mungkin
tidak memadai lagi- atau mengembangkan differensiasi diluar bidang itu, misalnya
melalui ”pesantren pertanian”, pesantren agro-bisnis”, pesantren politeknik”, dan
lain-lain.
c. Ekspansi kapasitas : Perluasan sistem pendidikan untuk menyediakan pendidikan
begi sebanyak-banyak peserta didik sesuai kebutuhan yang dikehendaki berbagai
sektor masyarakat. Pada satu segi, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam
sebenarnya sudah sejak lama melakukan ekspansi kapasitas,10 termasuk dengan
terus berdirinya banyak pesantren baru di berbagai tempat, sehingga pesantren dari
sudut ini dapat disebut sebagai ”pendidikan rakyat” yang cukup memassal. Tetapi
pada pihak lain, ekspansi kapasitas itu terjadi tanpa memperhitungkan kebutuhan
berbagai sektor masyarakat, khususnya menyangkut lapangan kerja yang tersedia.
Akibatnya, banyak tamatan pesantren yang tidak mampu menemukan tempatnya
yang pas dalam masyarakat.
Melihat tuntutan modernisasi yang begitu berat, pesantren setidaknya harus berani
mencoba terobosan-terobosan baru dalam sistem pendidikannya, diantaranya: pertama,
membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, egaliter dan bersifat button up (tidak top
down). Artinya, penyusunan kurikulum tidak lagi didasarkan pada konsep plain for
student tetapi plain by student. Kedua ,melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran,
seperti perpustakaan buku-buku klasik dan kontemporer, majalah, sarana berorganisasi,
sarana olah raga,internet dan lain sebagainya. Ketiga, memberikan kebebasan kepada
santri yang ingin mengembangkan talenta mereka masing-masing, baik yang berkenaan
dengan pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi maupun kewirausahaan. Keempat,
menyediakan wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat.
Di masa ini, pesantren tidak hanya menghadapi tantangan modernisasi yang cukup
kompleks, tetapi juga harus mempertahankan budaya dan tradisi pesantren. Kereligiusan
pesantren merupakan ciri khas yang tidak dimiliki lembaga pendidikan Islam lain, baik itu
sekolah Islam ataupun madrasah. Namun demikian, pesantren tidak harus menutup diri, ia
terbuka dalam mengikuti tuntutan perkembangan jaman. Materi pendidikan pesantren,
metode yang dikembangkan, serta manajemen yang diterapkan harus senantiasa mengacu
pada relevansi kemasyarakatan dan perubahan. Sepanjang keyakinan dan ajaran Islam

10
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 34
7
berani dikaji oleh watak jaman yang senantiasa mengalami perubahan, maka program
pendidikan pesantren tidak perlu ragu berhadapan dengan tuntutan perubahan hidup
kemasyarakatan.

2. Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Muslim par excelence dan
mengalami perkembangan yang sangat pesat setelah berkembangnya masjid dan
masjid-khan.11
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, mulai didirikan dan berkembang
di dunia Islam sekitar abad ke 5 H atau abad ke 10-11 M. ketika penduduk Naisabur
mendirikan lembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut pertama kalinya. Akan
tetapi tersiarnya justru melalui menteri dari Kerajaan Bani Saljuk yang bernama
Nizham al-Mulk yang mendirikan Madrasah Nizhamiyyah tahun 1065 M.12
Madrasah Nizhamiyyah merupakan satu-satunya madrasah yang paling
terkenal di seluruh dunia saat itu. Pada tiap-tiap kota Nizham al-Mulk mendirikan satu
madrasah yang besar. Di antaranya di Baghdad, Balkh, Naisabur, Harat, Ashfahan,
Basran, Marw, Mausul dan lain-lain. Bahkan pada tiap-tiap kota di seluruh Irak dan
Khurasan ada satu madrasah. Tetapi Madrasah Nizhamiyyah Baghdad adalah yang
terbesar dan mempunyai peranan yang sangat penting dari semua madrasah tersebut. 13
Menurut Shalabi Madrasah N idhamiyyah merupakan tonggak baru dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, ia juga menambahkan bahwa walaupun demikian
institusi-institusi sebelum madrasah itu tetap dipakai sesuai dengan sifat tradisionalnya
sekalipun jumlah dan peminatnya sedikit.14
Dalam kajiannya yang lebih terfokus pada Madrasah Nizhamiyyah periode
pertengahan di Baghdad, Makdisi mengajukan teori, bahwa asal-muasal pertumbuhan
madrasah merupakan hasil tiga tahap: tahap masjid, tahap masjid-khan, dan tahap
madrasah.15
Tahap masjid berlangsung pada abad kedelapan dan kesembilan. Masjid yang
dimaksud sebagai tempat pendidikan adalah masjid biasa (masjid college) yang di

11
George Makdisi, The Rise of Colleges, Institutions of Learning in Islam and The West (British : Endiburg
University Press, 1981), 27
12
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), 160
13
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1990), 72
14
Ahmad Shalabi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha, (Kairo : Maktabah al-Nahdah
al-Mashriyah, 1987), 43
15
George Makdisi, The Rise of Colleges, 27

8
samping untuk tempat jama’ah shalat juga untuk majlis taklim (pendidikan). Tahap
kedua adalah masjid-khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan
(asrama, pemondokan)yang masih bergandengan dengan masjid. Tahap ini mencapai
perkembangan yang sangat pesat pada abad ke 10. Setelah dua tahap perkembangan di
atas barulah muncul madrasah yang khusus diperuntukkan sebagai lembaga
pendidikan.16
Menurut Shalabi perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara
langsung dengan tidak memakai lembaga perantara. 17 Perkembangan madrasah dapat
dikatakan sebagai kosekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di
masjid yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah.
Para sejarawan di antaranya Al-Maqrizi, Ahmad Shalabi, dan Muhammad Abd
Rahim Ghanimah, serta yang lainnya berpendapat bahwa madrasah merupakan
prestasi abad kelima Hijriyah (kesebelas Masehi). Madrasah pertama itu ialah
Madrasah Nizhamiyyah, yang didirikan pada tahun 457 H oleh Nizham al-Mulk.18
Namun sebagian sejarawan yang lain seperti Hasan Abd al-‘Al menganggap bahwa
madrasah telah berdiri sejak abad keempat Hijriyah, hal ini dibuktikannya dengan
berdasar pada karya penulis-penulis abad keempat sendiri. Beberapa sumber yang ia
kutip antara lain Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim karya al-Maqdisi (w. 378 H.),
al-Rasail karya Badi’ al-Zaman al-Hamadani (w. 398 H.). Tbaqat al-Syafi’iyah al-
Kubra Karya al-Subki (w. 388 H.).19 Adam Metz juga sependapat dengan Hasan Abd
al-‘Al, untuk memperkuat pendapatnya dia mengutip al-Hakim al-Naisaburi (w. 406
H./1015 M.) pengarang Tarikh Naisabur; bahkan menyebutkan bahwa Abi Ishaq al-
Isfirayini (w. 418 H./1027 M.) adalah orang pertama yang mendirikan madrasah di
Naisabur.20
Dalam kajian tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Madrasah
Nizhamiyyah, Abd al-Majid mengemukakan bahwa ada tiga tujuan utama terhadap
berdirinya Madrasah Nizhamiyyah: pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk
menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah; kedua, menyediakan gruru-guru Sunnni yang
cakap untuk mengajarkan madzhab Sunni dan menyebarkannnya ke tempat-tempat

16
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), 57-58
17
Ahmad Shalabi, History of Muslim Education, (Beirut : Dar al-Kashshaf, 1954), 257-259
18
Umar Rida Kahhalah, Jaulah fi Rubu’ al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1980), 124
19
Hasan Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijri, (Kairo : Dar al-Fikr al-Arabi,
19782), 211-212
20
Abd al-Majid Abd al-Futuh Badawi, al-Tarikh al-Siyasi wa al-Fikri, (al-Manshur : Mathabi’ al-Wafa, 1988),
186

9
lain; ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam
menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan
manajemen.21
Makdisi berkesimpulan, bahwa Madrasah Nizhamiyyah tidak dicampuri oleh
negara, hal ini berkaitan dengan pilihan terhadap salah satu madzhab dari madzhab
Sunni yang berbeda dengan madzhab yang dianut Raja Saljuk, baik Alp Arsalan
maupun Malik Sah. Nizham al-Mulk memilih mengajarkan madzhab Syafi’I dengan
kalam Asy’ariyah. Padahal, raja-raja Saljuk merupakan penganut fanatik madzhab
Hanafi dengan aliran kalam Maturidiyah.22 Musuh yang dihadapi oleh Dinasti Saljuk
yang Sunni ini ialah Dinasti Fatimiyah di Mesir.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab terhadap lahirnya madrasah yaitu, faktor agama, ekonomi
(ketenagakerjaaan), dan juga faktor politik. Dengan berdirinya madrasah pendidikan
Islam memasuki periode baru yaitu “pendidikan menjadi fungsi bagi negara dan
sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi
politik”.23
Berkaitan dengan karakteristik madrasah, Maksum melihatnya dari tiga aspek
yang dianggapnya sangat penting.24 Aspek-aspek tersebut antara lain:

a. Aspek Transformasi
Madrasah merupakan transformasi dari masjid. Madrasah tetap
menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi
kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan.25 Di
samping itu madrasah mencerminkan transformasi dalam bidang administrasi dan
managemen. Berbeda dengan masjid, madrasah telah mengarah pada sistem
pengelolaan pendidikan yang lebih profesional.
Madrasah memiliki aturan-aturan tertentu menyangkut hampir seluruh
komponen pendidikan. Sebagai misal, jika di masjid seseorang dapat bebas dan tidak
terikat dalam memilih guru atau halaqah hal itu tidak dapat lagi dilakukan di
madrasah. Madrasah membedakan tingkatan dan tugas pengajar antara mudarris

21
Ibid, 179
22
Ibid, 108
23
Maksum, Madrasah, 63
24
Ibid, 66
25
Hasan Abd al-‘Al, al-Tarbiyah, 213

10
(guru), mu’id (asisten), dan wu’adz (tutor). Di samping itu madrasah mengenal
adanya nazir atau wali yang mempunyai tanggung jawab terhadap aktivitas
madrasah, dan mereka dipilih dari orang-orang yang ahli di bidangnya.26

b. Aspek Aliran Keagamaan


Madrasah merupakan lembaga pendidikan Sunni, atau lembaga pendidikan
aliran fiqh dan Hadith. Aliran ini menolak filsafat dan mantiq Yunani, hal ini
dikarenakan mantiq dianggap sebagai dianggapsebagai pintu menuju filsafat dan
kesesatan. Keadaan ini menyebabkan madrasah kurang mendapat dorongan untuk
memperhatikan ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika dan filsafat yang kuat.

c. Aspek Politik Pemerintahan


Keterlibatan pemerintah dalam Madrasah Nizhamiyyah telah mengarahkan
madrasah hanya kepada ilmu yang mendukung satu madzhab dari empat madzhab.
Madrasah al-Mustansiriyyah berbeda dengan itu karena di beberapa tempat berusaha
melakukan keseimbangan dengan madzhab-madzhab lain.
Karena pemilihan materi pelajaran memiliki kaitan dengan dengan tujuan
tujuan politis, atau tujuan-tujuan sektarian, maka teknik penyampaiannya pun
cenderung tertutup dan bersifat indoktrinasi. Banyak di antara peserta didik di
madrasah terpaksa beralih madzhab hanya agar memperoleh keuntungan dari
pendidikan madrasah yang bersifat demikian.27
Kurikulum pendidikan Islam harus memiliki tujuh prinsip sebagai berikut :28
1. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilai-nilai
luhur yang berkembang di masyarakat yang sesuai dengan agama
2. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum,
yakni mencakup tujuan pembinaan akidah, akal dan jasmaninya, dan hal lain
yang bermanfaat bagi masyarakat dalam perkembangan spiritual, kebudayaan,
sosial, ekonomi dan sebagainya
3. Prinsip keseimbangan yang relatif sama antara tujuan-tujuan dan kandungan
kurikulum

26
Umar Rida Kahhalah, Jaulah, 130
27
Abd al-Majid Abu al-Futuh Badawi, al-Tarikh, 186-187
28
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979),
cet. I, 519-525 dalam Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, 128

11
4. Prinsip keterkaitan antara bakat, minat, kemampuan-kemampuan dan kebutuhan
pelajar
5. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual di antara para pelajar, baik
dari segi minat maupun bakatnya
6. Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan
zaman dan tempat
7. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-
pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
Dalam konteks Indonesia, madrasah sering disebut sebagai lembaga
pendidikan Islam modern. Predikat ini diberikan karena madrasah sudah
menerapkan sistem klasikal dan memasukkan seperangkat mata pelajaran umum 29 ke
dalam muatan kurikulumnya. Sebelumnya, lembaga pendidikan Islam yang disebut
pondok pesantren hanya mengkhususkan diri pada pemberian mata pelajaran agama
dan tidak menggunakan klasikal, tetapi memakai sistem halaqah. Lembaga
pendidikan Islam tradisional dengan ciri khas seperti itu tidak menggunakan acuan
kurikulum. Kategorisasi ini kemudian memunculkan tiga subsistem dalam sistem
pendidikan nasional, yaitu sekolah, madrasah dan pondok pesantren. Sesuai dengan
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, madrasah dikategorikan sebagai lembaga
pendidikan formal dan dibagi ke dalam tiga tingkat, yaitu MI/SD, MTs/SMP dan
MA/SMA.
Madrasah seperti halnya pondok pesantren, sudah ada jauh sebelum
Indonesia merdeka. Dengan kata lain, umat Islam sudah mengenal dan
menyelenggarakan pendidikan madrasah jauh sebelum Indonesia merdeka. Umat
Islam memfungsikan madrasah sebagai sarana pendidikan untuk mengajar dan
mendidik para anak didik Muslim agar menjadi pandai, cakap, berakhlak dan
bertakwa kepada Allah. Karena pendidikan madrasah memiliki nuansa keagamaan
yang kental dan kuat, lembaga pendidikan ini secara emosional, kultural,
institusional dan historis sangat dekat dengan kementerian agama (kemenag) maka
madrasah sejak awal perkembangannya sampai sekarang ini dibina dan
dikembangkan oleh kemenag. Pembinaan dan pengembangan ini dimaksudkan agar
para tamatan madrasah mempunyai dan menguasai dasar-dasar kemampuan dan
kualitas pengetahuan yang sama dalam bidang penguasaan mata pelajaran umum di
29
Di Indonesia, pemakaian istilah ilmu “umum” lebih disukai daripada ilmu “sekuler” (secular sciences) karena
kata sekuler dan sekularisme berkonotasi memisahkan hal-hal yang duniawi dari hal-hal yang agamawi. Istilah
“ilmu sekuler” diapakai di Barat.

12
samping menguasai mata pelajaran agama secara lebih luas dan mendalam. Upaya
untuk mencapai tujuan dan sasaran ini secara maksimal tidaklah gampang. Sebab,
madrasah berkembang dengan karakteristiknya sendiri dan menapaki berbagai
kompleksitas permasalahan dan dinamika tantangan historis-sosiologisnya sendiri.30
Sistem pendidikan madrasah di Indonesia dewasa ini telah mengintegrasikan
ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, sehingga pada tataran
praktiknya, madrasah menerapkan kurikulum umum seperti yang berlaku di sekolah
umum, di samping menerapkan kurikulum keagamaan. Perbandingan antara
keduanya adalah 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama. Dengan
perbandingan muatan kurikulum seperti ini para peserta didik di madrasah di satu
sisi diharapkan menguasai ilmu pengetahuan umum seperti di murid di sekolah
umum, dan di sisi lain mereka diharapkan juga menguasai ilmu agama.
Pada masa lalu ada sebagian madrasah yang masih bersikap menolak untuk
mengajarkan materi pelajaran umum karena mata pelajaran ini dianggap berbau
Barat (sekuler). Semangat anti penjajahan pada waktu itu direfleksikan oleh
sebagian umat Islam dengan sikap keengganan mereka untuk mempelajari ilmu-ilmu
pengetahuan umum. Namun dalam tahap-tahap perkembangan selanjutnya sikap
keengganan dan penolakan tersebut lambat laun berubah setelah masyarakat Islam di
negeri ini lebih banyak lagi bersentuhan dengan sistem sekolah Belanda yang
dianggap sekuler itu.
Karel Steenbrink seorang sarjana Belanda yang mendalami studi Islam di
Indonesia mengatakan, bahwa pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial
Belanda banyak menekankan pada pemberian mata pelajaran umum yang berguna
bagi upaya pengembangan pengetahuan dan keterampilan duniawi saja, sedang kan
lembaga pendidikan Islam pada masa itu lebih banyak menekankan pada
pengetahuan yang berguna bagi penghayatan, internalisasi, dan pendalaman ilmu-
ilmu agama.31
Ada beberapa keadaan yang menunjukkan keunggulan madrasah sebagai
berikut :32
1. Berdasarkan informasi sejarah lahirnya madrasah di Indonesia dilatarbelakangi
oleh keinginan yang kuat untuk memberikan pendidikan yang unggul untuk

30
Faisal Ismail, Paradigma Pendidikan Islam, 131
31
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta : LP3ES, 1986), 24 dalam Faisal Ismail,
Paradigma Pendidikan Islam, 133
32
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, 111

13
komunitas muslim khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Kegiatan ini
muncul sebagai akibat dari sikap pemerintah Belanda yang bersikap diskriminatif
terhadap rakyat Indonesia pada umumnya. Pemerintah Belanda hanya
memberikan pendidikan yang unggul untuk bangsanya sendiri dan kelompok-
kelompok lain yang mendukung misi penjajahannya. Untuk menghadapi keadaan
yang tidak adil ini maka pada tahun 1898 Abdullah Ahmad mendirikan madrasah
yang bernama Adabiyah School di Padang, Sumatera Barat yang di dalamnya
berisi pengetahuan umum dan pengetahuan agama.
2. Munculnya paradigma sekolah unggulan sehingga madrasah melakukan
perubahan paradigma lama ke paradigma baru sebagai berikut :
a. Mengubah cara belajar dari warisan ke pemecahan masalah
b. Mengubah cara belajar dari hafalan ke dialog
c. Mengubah cara belajar dari pasih ke heuristik
d. Mengubah cara belajar dari memiliki ilmu sebanyak-banyaknya ke
menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang mempribadi dalam diri
e. Mengubah cara belajar dari belajar sebagai mekanis ke belajar sebagai
kreativitas
f. Mengubah cara belajar dari menguasai ilmu ke menguasai metodologi yang
kuat
g. Mengubah cara belajar dari memandang ilmu sebagai hasil yang final,
menjadi sebagai pemikiran yang senantiasa berproses
h. Mengubah cara belajar dari pendidikan yang hanya mengasah akal ke
pendidikan yang mengarah ke pembinaan akal, hati (moral) dan ketrampilan.
3. Melalui surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri : Menteri Agama, Menteri
Diknas dan menteri Dalam Negeri yang dibuat pada tahun 1975 telah mengubah
kurikulum madrasah menjadi 30% agama dan 70% umum. Dengan kebijakan ini,
mulai tahun 1978 sudah ada tamatan Aliyah yang diterima di perguruan tinggi
umum papan atas, seperti Institut Pertanian Bogor (ITB).

C. ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL MENUJU


PENDIDIKAN ISLAM MODERN
14
Dalam perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan peran pesantren semakin
kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat, seperti masalah
disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak sudah semakin terbuka dan merajalela di
masyarakat. Pesantren diharapkan tidak saja mampu menyelesaikan masalah-masalah
yang terkait dengan faham keagamaan, tetapi juga diharapkan dapat terlibat
menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut.
Sejauh pengamatan penulis, pesantren yang di dalamnya ada madrasah atau
sekolah Islam memiliki peluang dan kesempatan untuk terlibat aktif dalam menuntaskan
problem-problem sosial tersebut. Apalagi pesantren tersebut memiliki karakter sosial dan
kedekatan emosi dengan masyarakat karena sifat egalitar dan kesahajaannya yang
memungkinkannya dapat berinteraksi secara intensif dengan masyarakat.
Dengan demikian, esensi peran strategis pesantren dan madasah ada dua pokok,
yaitu mencetak kader ulama’ yang mendalami ilmu agama dan pada saat yang sama
mengetahui, terampil, dan peduli terhadap persoalan keummatan. Pesantren adalah tempat
untuk mencetak kader ”faqih fi ulum al-Din dan faqih fi mashalih al-Ummah” . Lulusan
Pesantren diharapkan baik agamanya dan pandai menghadapi persoalan umat.
Dengan peran semacam ini, pesantren dan madrasah terlibat maksimal dalam
membangun bangsa ini. Melalui pesantren dan madrasah, para santri atau siswa belajar
ilmu-ilmu agama dan ilmu sosial yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan seterusnya
pesantren menjadi lembaga pengkaderan bagi santri atau siswa yang kelak siap terjun di
masyarakat.
Peran pesantren yang demikian ini sesungguhnya tidak asing lagi di kalangan
dunia pesantren, karena dunia pesantren sudah tahu betul bahwa setiap manusia yang
ingin sukses harus menguasai ilmu dan inovatif sebagaimana pesan Rasul Muhammad
SAW :
”Barang siapa ingin sukses dalam urusan dunia harus memiliki ilmunya, sama halnya
ingin sukses akhirat, dan barang siapa ingin menghendaki keduanya, baginya juga
menguasai ilmu dunia dan akhirat.”

C. KESIMPULAN

15
Ada dua potret lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang memiliki corak dan
kultur budaya yang berbeda, yang pertama adalah pondok pesantren yang memiliki corak
dan kultur budaya tradisional, sedangkan yang kedua adalah madrasah yang memiliki
corak dan kultur budaya modern.
Tradisi pesantren sangat kental dengan figur atau ketokohan seorang kiai. Posisi
kiai memiliki aspek politis, karena pesantren dianggap sebagai pusat perjuangan
kemerdekaan yang oleh Belanda dianggap sebagai pusat pemberontakan. Para kiai
tersebut secara antropologis adalah mereka yang ahli agama, tinggal di tempat para
santrinya, jauh dari kepentingan dan pendekatan politik, menjadi teladan, kesederhanaan
dan kesalehan hidup. Kiai adalah tempat bertanya bagi masyarakat bukan santri untuk
meminta nasihat sejak dari memberi nama anak yang baru lahir sampai pada pembagian
waris serta berbagai problema lainnya.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Muslim par excelence dan mengalami
perkembangan yang sangat pesat setelah berkembangnya masjid dan masjid-khan.
Madrasah merupakan tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan di dunia Islam.
Madrasah Nizhamiyyah Baghdad merupakan satu-satunya madrasah yang terbesar
di zamannnya dan terkenal di seluruh dunia. Perkembangan dari masjid ke madrasah
terjadi secara langsung dan tidak memekai lembaga perantara. Perkembangan madrasah
dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di
masjid yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah.
Dalam konteks Indonesia, madrasah sering disebut sebagai lembaga pendidikan
Islam modern. Predikat ini diberikan karena madrasah sudah menerapkan system klasikal
dan memasukkan seperangkat mata pelajaran umum ke dalam muatan kurikulumnya.
Sebelumnya, lembaga pendidikan Islam yang disebut pondok pesantren hanya
mengkhususkan diri pada pemberian mata pelajaran agama dan tidak menggunakan
klasikal, tetapi memakai sistem halaqah. Lembaga pendidikan Islam tradisional dengan
ciri khas seperti itu tidak menggunakan acuan kurikulum. Kategorisasi ini kemudian
memunculkan tiga subsistem dalam sistem pendidikan nasional, yaitu sekolah, madrasah
dan pondok pesantren. Sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, madrasah
dikategorikan sebagai lembaga pendidikan formal dan dibagi ke dalam tiga tingkat, yaitu
MI/SD, MTs/SMP dan MA/SMA.

D. BIBLIOGRAFI
16
A. Steenbrink, Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta : LP3ES, 1986

Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Jakarta :


Bulan Bintang, Cet. I, 1979

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Al-‘Al, Hasan Abd. Al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’al- Hijri. Kairo : Dar al-Fikr
al-Arabi, 1978

Badawi, Abd al-Majid Abd Futuh. al-Tarikh al-Siyasi wa al-Fikri. Al-Manshur: Mathabi’al-
Wafa, 1988

Hafizah, Noor, “Pendidikan Islam Di Pesantren Antara Tradisi Dan Tuntutan Perubahan,”
Jurnal Muaddib, Vol. 06, No. 01 (Januari-Juli, 2016), 93

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996

Ismail, Faisal, Paradigma Pendidikan Islam : Analisis Historis, Kebijakan dan Keilmuan,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2017

Kahhalah, Umar Rida. Jaulah fi Rubu’al-Tarbiyah wa al-Ta’lim. Beirut : Muassasah al-


Risalah, 1980

Makdisi, George. The Rise of Colleges, Institutions of Learning in Islam an The West.
British : Endiburg University Press, 1981

Maksum. madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam : Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan
Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012

Shalabi, Ahmad. Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha. Kairo :


Maktabah al-Nahdah al-Mashriyah, 1987

______________. History of Muslim Education. Beirut : Dar al-Kashshaf, 1954

Stanton, Charles Michael. Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terjemahan. Jakarta : PT Logos
Publishing House, 1994

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1990

17

Anda mungkin juga menyukai