Anda di halaman 1dari 22

METODOLOGI STUDI FILSAFAT (PEMIKIRAN) PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Metodologi Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Imam Bawani, MA

Oleh:
Muhamad Basyrul Muvid

PROGRAM DOKTORAL
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Filsafat merupakan ilmu tertua yang dilahirkan oleh para filosof sepanjang sejarah
peradaban manusia. Keberadaannya menjadi tradisi kesarjanaan yang menampung
kaidah berpikir dan tradisi ilmiah pada setiap zaman. Sebagai sebuah tradisi ilmiah dan
kaidah berpikir, filsafat mencerminkan tatacara koginitif manusia memaknai realitas
dan problematika yang muncul dalam setiap ruang kehidupan manusia. Kemunculan
filsafat bersifat universal. Hampir setiap peradaban besar pernah berinteraksi dengan
filsafat dan memanfaatkannya sebagai mekanisme mengartikulasikan kediriannya
dalam merespon realitas zamannya. Sekalipun dalam bentuk dan formulasi yang
sederhana, filsafat merupakan tolak ukur keberhasilan dan kecemerlangan sebuah
peradaban. Tak terkecuali peradaban Islam yang pernah disentuh oleh para ilmuwan
Muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rushd, al Ghazali, dan lain sebagainya. Mereka telah
memajukan peradaban Islam dengan memanfaatkan filsafat untuk menangkap makna
zaman dan mengkodifikasikannya ke dalam system ilmu pengetahuan.
Peran filsafat dalam mewarnai setiap peradaban pada tahap selanjutnya
menentukan diversifikasi ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan masih bersifat
umum atau monolitik, peran filsafat juga bersifat umum. Namun ketika terjadi
percabangan atau diversifikasi ilmu pengetahuan menjadi sub-disiplin ilmu yang lebih
rinci, peran filsafat juga bersifat ceteris paribus, mengikuti sub-sub disiplin ilmu
dimaksud. Ia hadir di setiap cabang ilmu pengetahuan, mulai ilmu sosial, ekonomi,
politik, dan Pendidikan. Untuk itu, dunia filsafat akan terus hidup dan berkembang
secara dinamis dengan munculnya berbagai kajian, penelitian dan pemikiran tentang
dunia pendidikan Islam khsususnya, sehingga menambah pengetahuan dan wawasan
kaum muslimin.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Filsafat Pendidikan Islam?
2. Aspek-aspek Kajian Dalam Studi Filsafat Pendidikan Islam
3. Metodologi Studi Filsafat Pendidikan Islam
4. Contoh Ringkas Hasil Studi Filsafat (Pemikiran) Islam Klasik dan Modern
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
2. Untuk Mengkaji Aspek-aspek Kajian Dalam Studi Filsafat Pendidikan Islam
3. Untuk Menganalisa Metodologi Studi Filsafat Pendidikan Islam
4. Untuk Menemukan Hasil Studi Filsafat (Pemikiran) Islam Klasik dan Modern
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam


Secara terminologi filsafat berasal dari kata dalam bahasa Inggris philo dan sophos.
Philo berarti cinta, dan shopos berarti ilmu atau hikmah. Pendapat ini kebanyakan
dinyatakan oleh penulis berbahasa Inggris, seperti Louis O. Kattsoff. Pendapat lain
menyatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani yang masuk dan digunakan sebagai
bahasa Arab, yaitu berasal dari kata philosophia. Philo berarti cinta, sedangkan sophia
berarti hikmah. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh tokoh filsafat Islam, Al-Farabi (w.
950 M). Namun demikian, meskipun kata filsafat berasal dari Yunani, bukan berarti orang
Yunani Kuno adalah perintis pertama pemikiran filsafat di dunia. Sebelum Yunani Kuno
ada negara lain seperti Mesir, Cina, dan India yang sudah lama mempunyai tradisi filsafat,
meskipun mereka tidak menggunakan kata philosophia untuk maksud yang sama. 1
Sebagai langkah awal untuk mememahami makna filsafat pendidikan Islam, bisa
dipahami pula bawa filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang sesuai
dengan Islam, sedangkan filsafat pendidikan sendiri menurut Muhammad an-Najihi
bermakna penerapan perspektif dan metode filsafat dalam pendidikan. 2 Atau bisa juga
dipahami bahwa filsafat pendidikan Islam adalah filsafat tentang pendidikan Islam. Dalam
kaitan ini, Ali Khalil Abu Al-Ainain dalam Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-
Qur’an al-Karim sebagaimana teruraikan dalam bukunya Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam menyebutkan untuk mengemukakan pengertian pendidikan Islam lebih
baik dikemukakan terlebih dahulu karakteristik pendidikan Islam, yakni : (1) pendidikan
Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik berupa aspek fisik, mental, akidah,
akhlak, emosional, estetika, maupun sosial; (2) pendidikan Islam bermaksud meraih
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat secara seimbang dan sama; (3) pendidikan Islam
bermaksud mengembangkan semua aktivitas manusia dalam interaksinya dengan orang
lain, dengan menerapkan prinsip integritas dan keseimbangan; (4) pendidikan Islam
dilaksanakan secara kontinu dan terus-menerus tanpa batas waktu, mulai dari proses

1
Tuto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), 22.
2
Muhammad an -Najihi, Falsafah at- Tarbiyah (Kairo : Muthobi’ al-Kailani, t.t), 36.
pembentukan janin dalam rahim sang ibu hingga meninggal dunia; dan (5) pendidikan
Islam melalui prinsip integritas, universal, dan keseimbangan, bermaksud mencetak
manusia yang memerhatikan nasibnya di dunia dan akhirat. 3
Filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang
kependidikan yang bersumber atau berlandaskan atas ajaran-ajaran agama Islam. Filsafat
pendidikan Islam adalah pembahasan tentang hakikat kemampuan Muslim untuk dapat
dibina, dikembangkan, dan dibimbing, sehingga menjadi manusia yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran Islam. 4
Selain itu, Achmadi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai segala usaha
untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang
ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma
Islam. 5 Jika ditarik sebuah sintesis pengertian, maka filsafat pendidikan Islam merupakan
kajian filosofis mengenai berbagai masalah pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam.
Kajian filosofis yang digunakan filsafat pendidikan Islam mengandung arti bahwa filsafat
pendidikan Islam itu merupakan pemikiran secara mendalam, sistematik, radikal, dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat pendidikan Islam. Filsafat
pendidikan Islam dengan demikian senantiasa mengkaji filsafat pendidikan yang
berlandaskan norma Islam.
B. Aspek-aspek Kajian Dalam Studi Filsafat Pendidikan Islam
Secara mikro objek kajian filsafat pendidikan Islam adalah hal-hal yang merupakan
faktor atau komponen dalam proses pelaksanaan pendidikan. Faktor atau komponen
pendidikan ini ada lima, yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan
(kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan), dan lingkungan pendidikan. 6 Untuk lebih
memfokuskan pembahasan filsafat pendidikan Islam yang sesuai dengan fokus penelitian
ini, maka cukup disaj ikan ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam secara
makro. Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori

3
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam., 30-31
4
Moch. Tolhah, “ Filsafat Pendidikan Islam: Kontruksi Tipologis Dalam Pengembangan Kurikulum,” Tsaqafah,
Vol II, No. 2, (November 2015), 382.
5
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), 69
6
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam., 45-48
tentang wujud hakikat yang ada. 7 Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang
ada ini meliputi yang nampak dan yang tidak nampak (metafisis).
Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the creature of God, yaitu
manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di alam ciptaan-Nya.
Pendidikan telah berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam pendidikan. Ini
berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah transformasi
pendidikan. Sehingga yang menjadi dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai objek
kajian (ontologi) filsafat pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu adalah
mengenai pencipta (khalik), ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya, dan
utusan yang menyampaikan risalah pencipta (rasul). Dalam hal ini al-Syaibany
sebagaimana yang dikutib Ahmad Syar’i, 8 mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang
menjadi dasar pandangan tentang alam raya meliputi dasar pemikiran: (1) Pendidikan dan
tingkah laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh lingkungan sosial
dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (bendabendaalam); (2) Lingkungan dan yang
termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh Allah swt baik makhluk
hidup maupun benda-benda alam; (3) Setiap wujud (keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu
materi dan ruh. Dasar pemikiran ini mengarahkan falsafah pendidikan Islam menyusun
konsep alam nyata dan alam ghaib, alam materi dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat;
(4) Alam senantiasa menngalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta; (5) Alam
merupakan sarana yang disediakan bagi manusia untuk meningkatkan kemampuan dirinya.
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber
pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti
atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.
Tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan metode
non- ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem solving. Pengetahuan yang diperoleh

7
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), 69.
8
Ahmad Syari’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005),123.
dengan metode non- ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan
secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common sense);
prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa. Metode ilmiah adalah cara
memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif. Sedangkan metode
problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi permasalahan,
merumuskan hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis data;
menyimpulkan dan conclusion; melakukan verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan
utamanya adalah untuk menemukan teoriteori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-
hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk
menerangkan, mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu
kejadian secara tepat.9
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam
rangka memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. 10 Kemudian Muzayyin Arifin memberikan
definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran tentang masalah nilai- nilai termasuk nilai tinggi
dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika). 11 Jika
aksiologi ini dinilai dari sisi ilmuwan, maka aksiologi dapat diartikan sebagai telaah
tentang nilai-nilai yang dipegang ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang
penelitian ilmu pengetahuan serta penerapan dan pemanfaatannya. 12
Di dalam filsafat ilmu, dibahas tiang-tiang penyangga eksistensi sebuah ilmu, yang
merupakan cabang-cabang agama filsafat ilmu. Tiang penyangga ilmu terdiri dari tiga
aspek, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi.13 aspek ontologis keilmuan biasanya
mempermasalahkan apa yang dikaji sebuah ilmu pengetahuan. Aspek epistimologi
mencoba menelaah ilmu pengetahuan dari segi sumber dan metode ilmu yang digunakan
dalam rangka mencapai suatu kebenaran ilmiah. Aspek aksiologis suatu ilmu pengetahuan
mempertanyakan untuk apa suatu ilmu pengetahuan digunakan atau dengan kata lain,

9
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu.,74-75
10
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu., 79
11
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),8
12
Ilyas Supena, Desain Ilmu -ilmu Keislaman: dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman (Semarang:
Walisongo Press, 2008), 151.
13
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif (Yogjakarta: Rakesarasin, 1998), 49.
aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan suatu ilmu
pengetahuan.14
C. Metodologi Studi Filsafat Pendidikan Islam
Dalam kaitan ini, prosedur aktifitas penelitian filsafat (termasuk filsafat pendidikan
Islam), memiliki ciri khas yang dalam sejumlah hal berbeda dengan jenis penelitian lain,
katakanlah yang biasa diberlakukan untuk ilmu eksakta dan ilmu sosial. Jika pada aktifitas
penelitian pada kedua jenis ilmu terakhir dikenal adanya istilah seperti populasi, sampel,
instrument pengumpul data, angket, observasi, eksperimen, analisis statistik dan
sebagainya, maka tidak demikian yang biasa dilakukan untuk penelitian filsafat.
Penelitian filsafat pendidikan Islam bisa diartikan sebagai kegiatan refleksi, yakni
pemikiran secara mendalam, logis dan sistematis tentang segala permasalahan yang terkait
dengan dunia pendidikan Islam, dengan tujuan memperoleh pemahaman paling dasar atau
makna intinya, dalam rangka menemukan kebenaran hakiki yang semaksimal mungkin dan
bersifat final. 15
Ini menjadi penegasan bahwa penelitian filsafat pendidikan Islam bisa dilakukan
oleh seorang peneliti secara personal, dengan mengandalkan ketajaman perenungan
filosofinya dalam memecahkan masalah atau mencari jawaban atas suatu problem dan dari
pertanyaan-pertanyaan akademis yang muncul. Dalam hal ini, pertanggungjawaban
metodologisnya terletak pada akurasi dan filsafat, akhirnya mengerucut dan terwakili
sedemikian rupa oleh cara berpikir filosofis yang ditempuh oleh peneliti. Kemudian,
penelitian filsafat pendidikan Islam berikutnya adalah bisa dalam bentuk field research
(penelitian lapangan) yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari yang berkenaan dengan
edukatif kaum muslimin di berbagai kawasan negara atau daerah tertentu.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan penelitian filsafat pendidikan
Islam berbasis lapangan adalah mencari, menimbang-nimbang, memilih dan menentukan
serta memastikan judul penelitian yang hendak dilakukan. Formulasi rangkaian judul di
pihak lain juga mengindikasikan sifat atau jenis penelitian itu sendiri. Misalnya, apakah

14
Ibid., 234.
15
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 15. Dapat
juga diartikan bahwa kegiatan refleksi merupakan aktifitas berfikir di mana prosesnya mondar-mandir antara induksi
dan deduksi, maka dari sesuatu yang bersifat empirik menuju kea rah pemahaman yang abstrak, atau sebalinya dari
kesimpulan yang abstrak menuju ke realita empiriknya di lapangan. Baca Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian
Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), 93.
termasuk katagori deskriptif, verifikatif, korelatif, komparatif dan sebagainya. Kejelasan
dalam menentukan judul dan sifat-jenis penelitiannya akan menentukan pula sistemati,
kerangka dan segala rangkaian aktifitas keilmuan yang semestinya diarahkan dalam
penelitian tersebut.16
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan penelitian filsafat cenderung
terkait dengan sesuatu yang bersifat abstrak yaitu perenungan dan pemikiran, tidak
bertumpu pada wujud kongkrit dan banyaknya data-data secara kualitatif apalagi
kuantitatif yang berhasil dikumpulkan sebagaimana berlaku untuk jenis penelitian ilmu
sosial, humaniora, atau lebih-lebih ilmu eksakta, baik dengan objek kepustakaan, realitas
benda atau kehidupan di masyarakat.17
D. Contoh Ringkas Hasil Studi Filsafat (Pemikiran) Islam Klasik dan Modern
1. Pendidikan Islam Perspektif Pemikiran Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih lahir pada tahun 330 H/941 M kemudian ia wafat pada tahun
421 H/ 1030 M di Isfahan.18 Semasa hidupnya ia menekuni beberapa bidang ilmu
antara lain ilmu kimia, filsafat, dan logika untuk waktu yang lama. Kemudian, ia
menonjol dalam bidang sastra dan sejarah. 19 Sehingga, ia digelari banyak keahlian.
Di balik itu, ia lebih dikenal dengan seorang filsuf Muslim yang memusatkan
perhatiannya pada etika Islam, selain pakar dalam filsafat Yunani dan kebudayaan
Romawi dan Persia.20
Ibnu Miskawaih juga berpandangan bahwa akal (daya pikir) manusia
mempunyai peranan penting untuk menjadikan manusia pada posisi yang lebih
mulia. Berdasarkan daya pikir itu pula manusia dapat membedakan antara yang
benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk. Dan manusia yang paling
sempurna kemanusiannya adalah mereka yang paling benar cara berpikirnya serta
yang paling mulia usaha dan perbuatannya. 21 Menurut Ibnu Miskawaih manusia

16
Baca Imam Bawani, Metodologi Penelitian Pendidikan Islam (Sidoarjo: Khazanah Ilmu, 2016),225-227.
17
Ibid., 231.
18
Muhammad Utsman Najati, ad Dirasati an Nafsaniyyah ‘inda al Ulama’ al Muslimin, terj. Gazi Salom dengan
judul, Jiwa dalam Pandangan Filosof Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 85. Baca juga Ibn Miskawaih, Menuju
kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan, 1997), 29.
19
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al Akhlaq wa Tathhir al A’raq (Mesir: Kurdistan al ‘Ilmiyah, 1392 H), 3.
20
Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika: Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih Dalam
Kontribusinya di Bidang Pendidikan (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 105.
21
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (PT. Raja Grafindo
Persada Jakarta, 1996),135.
terdiri dari dua substansi; pertama substansi yang berupa tubuh (al-jism) sebagai
wawasan materi, dan yang kedua jiwa (al-nafs) substansi yang tidak berdemensi
sebagai wawasan immateri dan inilah esensi manusia, jiwa bukan tubuh, bukan
bagian dari tubuh, bukan pula keadaan dalam tubuh, tetapi sesuatu yang lain dengan
tubuh, baik dari segi substansinya, penilaiannya, sifat-sifat serta tingkah lakunya.22
Pendidikan menurut Ibnu Miskawaih mempunyai tujuan mewujudkan
pribadi susila, budi pekerti mulia. Keberhasilan tujuan pendidikan akan tercapai
bila pendidik terlebih dahulu mengetahui watak manusia, sehingga pendidik akan
dapat mengatur strategi bagaimana membina manusia dengan latar belakang watak
yang beda-beda. Watak itu sendiri menurutnya adalah kondisi bagi jiwa yang
mendorong untuk melahirkan tingkah laku tanpa pikir dan pertimbangan atau
tingkah laku spontanitas. Watak manusia terbagi menjadi dua: 23 yakni alamiah dan
bertolak dari watak yang berhubungan dengan temprament, misalnya ada orang
yang gampang marah karena hal yang sepele, takut menghadapi suatu kejadian
tertentu, cemas, dan sebagainya. dan tercipta melalui kebiasaan dan latihan yang
pada mulanya keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun
kemudian melalui praktik yang terus-menerus kemudian menjadi karakter.
Dari pembagian ini Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa watak manusia tidak
alami, dalam artian dapat dipengaruhi dan dirubah melalui proses pendidikan dan
pengajaran. Manusia mempunyai perbedaan-perbedaan dalam menerima
pendidikan. Ada yang kasar, ada yang pemalu, pemarah, dengki, kikir, lemah
lembut ada yang cepat tanggap, ada yang tidak tanggap dan lain semacamnya.
Perbedaan-perbedaan (tabiat) tersebut kalau diabaikan maka dia akan berkembang
secara alamiah sesuai dengan tabiat yang dimilikinya. Di sinilah beliau memandang
pentingnya pendidikan (syariat agama) untuk meluruskan agar terbiasa melakukan
kebaikan. 24 Pendidikan di sini berarti berfungsi untuk mengangkat derajat manusia,
sebab dari pengetahuan yang didapat melalui daya natiqah yang dimilikinya
dengan sendirinya akan meninggikan derajat kemanusiannya.

22
Ibn Miskawaih, Menuju kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1997), 39.
23
Ibnu Miskawaiah, Menuju Kesempurnaan Akhlak., 56.
24
Ibid., 59.
2. Pendidikan Islam Perspektif Pemikiran Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332
M. kelahirannya bertepatan dengan masa degradasi dan disintegrasi. Maksudnya
adalah keruntuhan kerajaan Abbasiyah dan hancurnya kota Baghdad, kemudian 70
tahun kemudian lahirlah Ibn Khaldun. Tempat kelahirannya berada di Turbatul
Bay. 25 Ayah Ibn Khaldun adalah sosok politisi yang terkemuka pada masa itu.
Namanya adalah Abu Abdullah Muhammad. Tak heran ketika Ibn Khaldun
dinisbatkan menjadi bapak sosiologi Islam dunia karena ada faktor genetik yang
diwariskan oleh ayahnya. Pun demikian, Ibn Khaldun pada masa itu juga pernah
bergelut di dunia perpolitikan, sehingga mendapati sebuah pepatah,”buah jatuh tak
jauh dari pohonnya”. Pasca ayahandanya memundurkan diri dari dunia politiknya,
ayahnya berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, sufistik, dan
kebahasaan (bahasa arab).26
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam diawali dengan
penjelasannya tentang hakikat manusia. Sebab manusia merupakan subjek
sekaligus objek dalam pendidikan Islam. Dalam pandangan psikologi, “pandangan
manusia terhadap dirinya sangat mempengaruhi pendidikannya.”27 Ibnu Khaldun
berpandangan bahwa manusia adalah makhluk berpikir. Hal inilah yang
membedakannya dengan hewan28 dan makhluk lainnya. Kesanggupan berpikir ini
merupakan sumber dari segala kesempurnaan, puncak dari segala kemuliaan dan
ketinggian di atas makhluk lain. Sedangkan hewan, hanya memiliki kemampuan
mengindra (idrak), yaitu kesadaran subjek akan sesuatu yang ada di luar dirinya,
karena adanya indra pendengar, pencium, penglihatan, perasa dan pengecap. 29
Kemudian, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam bisa
diklasifikasikan menjadi tiga bagian: Pertama, dari segi struktur kepribadiannya,
pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan potensi jasmani dan ruhani

25
Dhiauddin dan Nuruzzahri, Madzhab Pendidikan Kajian Pemikiran Ibn Khaldun (Malang: Literasi Nusantara,
2019), 12.
26
Warul Walidain, Konstelisasi Pemikiran Paedagogik Ibn Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, (Aceh: Nadiya
Foundation, 2003), 30
27
Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, terj. Shihabuddin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), 37.
28
Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, 1993), 341.
29
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 521.
(akal, nafs, dan ruh) secara optimal sehingga eksistensi kemanusiannya menjadi
sempurna. Kedua, dari segi tabiatnya sebagai makhluk sosial, pendidikan Islam
bertujuan untuk mendidik manusia agar mampu hidup bermasyarakat dengan baik
sehingga dengan ilmu dan kemampuan yang dimilikinya, ia mampu membangun
masyarakat yang berperadaban pesat. Dan ketiga, dari segi fungsi dan perannya
sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di bumi, pendidikan Islam bertujuan untuk
mendidik manusia agar mampu melakukan aktivitas yang bernilai ibadah sekaligus
mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah di bumi dalam memelihara
jagad raya ini. Dari tiga sudut pandang tersebut, dapat dilihat bahwa rumusan tujuan
pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun di atas sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar tujuan pendidikan Islam, yaitu keseimbangan (tawazun) dan
menyeluruh (universal; kaffah).30
3. Pendidikan Islam Perspektif Pemikiran Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Desa Mahallat Nashr Kabupaten al Buhairah
(Mesir) pada tahun 1949 M. Ia tidak berasal dari keluarga yang kaya raya dan bukan
pula keturunan bangsawan. Namun, demikian ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan. Ia lahir di tengah kondisi perpolitikan
yang tidak kondusif, penuh kecemasan. 31 Inilah yang nantinya mempengaruhi
psikis, sosiologis Muhammad Abduh dalam melakukan perubahan dan
pembaharuan.
Ide-ide pendidikan Islam yang dibangun Muhammad Abduh yang gemilang
ternyata banyak disebabkan oleh fakor situasi sosial dan keagamaan serta kondisi
pendidikan yang ada pada saat itu. Karena Abduh beranggapan bahwa kejumudan
(statis) pemikiran telah merasuki berbagai bidang kehidupan seperti bahasa,
syari’ah, akidah dan sistem masyarakat. Menurutnya salah satu sebabnya adalah
karena pengaruh dari akidah Jabariyah yang memiliki kecenderungan berlebihan
untuk bersikap pasif dan hanya mengandalkan kepercayaan kepada kasih sayang

30
Lihat Omar Muhammad al Toumy al Syaibaniy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), 337. Baca lengkapnya juga dalam Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
(Jakarta: Renika Cipta, 2012), 42.
31
Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam (Surabaya: Jawara, 2004), 259.
Allah. Sehingga terjadi penyimpangan dan mempermudah manusia melanggar
perintah-Nya.
Muhammad Abduh juga menyadari bahwa kemunduran umat Islam bila
dikontraskan dengan masyarakat Barat, nampaknya kondisi lemah dan terbelakang
ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni (kekuasaan) Barat yang
mengancam eksistensi umat Islam, dan oleh realita internal juga seperti situasi yang
diciptakan oleh umat Islam itu sendiri (sebagaimana yang sudah dipaparkan di
atas). Sebagaimana pernyataannya:
“..Bangsa Barat telah memasuki fasa baru yang bercirikan peradaban yang
berdasarkan ilmu pengetahuan, kekayaan dan keteraturan, serta organisasi politik
yang baru yang berdasarkan pada penaklukkan yang disenggaja oleh sarana baru,
seperti melakukan perang dan oleh senjata yang mampu menyapu bersih banyak
musuh. Namun itu tidak berarti bahwa umat Islam harus menyerah, pasrah kepada
kekuasaan Barat atau meniru gaya orang Barat.”32
Dengan demikian, terdapat dua faktor yakni faktor internal dan eksternal
yang menjadi landasan bagi lahirnya ide pembaharuan Abduh dalam bidang
pendidikan. Faktor internal adalah sebab atau masalah yang ditimbulkan oleh
masyarakat Islam itu sendiri yakni yang cenderung memilih sikap apatis, jumud,
statis dalam menyikapi hidup sehingga tidak memiliki gairah untuk memperbaiki,
memperjuangkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ini
yang menyebabkan umat Islam lemah dan terbelakang. Faktor eksternalnya adalah
kedigdayaan bangsa Barat yang semakin menjadi akibat mereka mendalami ilmu
pengetahun, sains dan teknologi yang membawanya kepada kemajuan, kekuatan
dan kehebatan sehingga menjadikannya bangsa yang maju dan terdepan.
Akibatnya, mereka merampas eksistensi bangsa-bangsa (Islam) khususnya menjadi
bangsa jajahan dan hasrat untuk menguasai dunia demi mempertahankan
esksistensinya. Ini juga yang menambah parah kondisi umat Islam dan negara-
negara Islam kala itu.

32
Muhammad Abduh, al A’mal al Kamilah (Beirut: al Mu’assasah al Arabiyah Lid Dirasah wa Nashr, 1972), Jilid I,
637.
Langkah-langkah pembaharuan pendidikan Islam yang dibangun
Muhammad Abduh antara lain adalah: Pertama, melakukan pembaharuan ranah
pendidikan Islam di al Azhar, pilar yang ia kedepankan adalah gerakan kultur lewat
media pendidikan. Hal ini sangat tepat karena di dalam proses pendidikan dan
pembelajaran terjadi yang namanya transmisi tentang nilai, tradisi maupun
kebudayaan sekaligus juga terjadi proses komunikasi antar suku ide dengan ide-ide
yang baru.33 Reformasi pendidikan ini difokuskan (awalnya) pada universitas
almamaternya (al Azhar). Ia berpendapat bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya
mempelajari buku-buku atau kitab-kitab bahasa Arab yang berisi dogma ilmu
kalam untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar itu juga terletak pada
mempelajari sains modern, serta sejarah dan agama Eropa. Agar mengetahui sebab
musabab bangsa Barat (Eropa) bisa maju dan meraih kesusksesan yang gemilang.34
Usaha awal Abduh ini dengan memperjuangkan mata kuliah filsata agar diajarkan
di al Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang pernah
padam dapat bersemi kembali dan menyala (membara) kembali. 35
Kedua,selain filsafat, Abduh juga menghendaki untuk memasukkan ilmu-
ilmu modern (umum) ke dalam kurikulum di al Azhar, ia juga berpendapat sekolah-
sekolah yang didirikan oleh pemerintah itu dididik oleh tenaga-tenaga yang perlu
bagi Mesir dalam bidang administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan
sebagainya serta dimasukkan pendidikan agama yang lebih kuat termasuk di
dalamnya sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. 36 Hal ini dimaksudkan agar
jurang pemisah antara golongan ulama; dengan golongan ahli ilmu modern akan
dapat diantisipasi sedemikian rupa, juga antara ilmu agama dan umum dapat
berintegrasi sehingga rasa persatuan dan persaudaraan di kalangan umat dan
keilmuan terasa kian maju dan lebih baik. 37

33
John Dewey, Democracy and Education; an Introduction to the Philosophy of Education (London: The Press
Paperback Macmillan Publishing, 1966), 9.
34
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan, 1995), 365.
35
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan dalam Syaifuddin Qudsi, “Pemikiran Pendidikan
Muhammad Abduh dan Proses Modernisasi Pesantren di Indonesia,” Dirosat; Jurnal of Islamic Studies, Vol. 1, No.
1 (Juli 2016), 18.
36
Harun Nasution, Pembaharuan Pendidikan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 67.
37
Suhaimi, “Muhammad Abduh dan Ijtihadnya dalam Bidang Pendidikan,” Mudarrisuna, Vol, 5. No, 1 (Januari-Juni
2015), 176.
Ketiga, selain kurikulum, ia juga mengadakan pembaharuan terhadap
adminstrasi pendidikan demi kesejahteraan ulama al Azhar dan mahasiswanya.
Misalnya dengan menentukan honorium yang layak bagi ulama’ al Azhar,
memperbaiki asrama mahasiswa dan menaikkan beasiswa, mendirikan gedung
adminstrasi tersendiri, mengangkat pegawai-pegawai yang sebelumnya memang
tidak ada luput juga mengatur perpustakaan dengan baik. 38 Keempat, terkait metode
pembelajaran yakni Abduh menekankan untuk tidak hanya menggunakan metode
hafalan, melainkan juga metode jadal atau debat, karena metode debat dapat
membuka wawasan, cakrawala berpikir menjadi luas bagi peserta didik. Bukan
debat kusir yang diinginkan Abduh, tapi debat yang mengasilkan ide-ide baru,
solusi baru, dan temuan-temuan berlian yang dapat menjadi sumbangsih terhadap
kemajuan peradaban Islam khususnya pendidikan dan pembelajaran. 39
Kemudian, ini juga menjadi penegasan bahwa reformasi yang dilakukan
Abduh dalam pendidikan Islam menjelaskan bahwa kewajiban belajar itu tidak
hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu
agama untuk membela Islam. akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada
mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui
sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. 40 Selain itu, langkah yang ia
tempuh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya
menyelaraskan dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan
pelajaran umum. Hal ini dilakukan untuk memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam
kurikulum sekolah agama dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kerikulum
modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga
administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usahanya tersebut, maka
didirikanlah suatu lembaga yakni Majlis Pendidikan Islam. 41
4. Pendidikan Islam Perspektif Pemikiran Kiai Abdul Wahid Hasyim

38
Harun Nasution, Pembaharuan Pendidikan., 20-21.
39
Suhaimi, “Muhammad Abduh dan Ijtihadnya dalam Bidang Pendidikan,” Mudarrisuna,, 190.
40
Baca lengkapnya dalam H. A. R. Ghibb, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Terj. Machnun Husein (Jakarta:
Rajawali Pers, 1995), 131-132.
41
Lihat lengkapnya dalam Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2014), 226-230.
KH A Wahid Hasyim lahir di Jombang pada hari Jum’at Legi tanggal 05
Rabi’ul Awwal 1333 H bertepatan dengan 1 Juni 1914 M. Putera pertama Hadratus
Syaikh KH M Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah NU,42 yang mempunyai silsilah
sampai pada Prabu Brawijaya VI baik dari jalur ibu maupun ayahnya. 43 Nama yang
pertama diberikan ketika ia lahir adalah Muhammad Asy’ari, meniru nama
kakeknya. Namun, karena ia sering sakit, maka namanya tersebut diganti dengan
Abdul Wahid, nama salah seorang kakek moyangnya. Selama masa kecilnya ia
dipanggil ibunya dengan nama Mudin, sedang santri ayahnya memanggilnya
dengan panggilan Gus Wahid.44
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia pada awal abad 20
dilatarbelakangi oleh kesadaran yang kompleks sebagaimana yang diuraikan oleh
45
Ahmad Mansur, dengan mengidentifikasi adanya tiga faktor yang mendorong
gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Pertama, terbentuknya kesatuan agama
bangsa Indonesia. Karena agama Islam dianut sebanyak 90 persen penduduk
Indonesia. Persamaan keyakinan ini menjadi dasar untuk menata aspek-aspek Islam
yang berdasarkan pada sumber ajaran Islam. Kedua, Islam tidak hanya sebagai
agama yang mengajarkan perlunya membangun jamaah, tetapi Islam juga sebagai
simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang melancarkan politik
kristenisasi. Ketiga, adanya upaya Belanda melestarikan penjajahannya dengan
menciptakan rasa rendah diri umat Islam Indonesia.
Bagi tokoh-tokoh pembaharu Islam di Indonesia, aspek pendidikan kiranya
senantiasa dianggap sebagai aspek strategis untuk membentuk sikap dan pandangan
keislaman masyarakat. Oleh karena itu, terbentuknya madrasah tidak bisa lepas dari
gerakan pembaharuan Islam yang dimulai oleh usaha beberapa orang tokoh
intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi

42
Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Buku I Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah (Surabaya: Khalista,
2007), 303.
43
Baca lengkapnya dalam Abu Bakar Aceh, Sejarah KH. A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Panitia
Buku Peringatan Alm KH A Wahid Hasyim, 1957), 139-149. Lihat juga Ahmad Zaini, KH A Wahid Hasyim
Pembaharu Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan KH A Wahid Hasyim dan Forum
Indonesia Satu (FIS), 2003), 23.
44
Achmad Zaini, KH A Wahid Hasyim Pembaharu Pendidikan Islam (Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011), 6. Lihat
juga Rizal Mumazziq Z, “Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif KH A Wahid Hasyim dan Relevansinya dengan
Kondisi Sekarang” (Skripsi--Siyasah Jinayah Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009), 44.
45
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009), 335-336.
sosial kemasyarakan dan keagamaan.46 Usaha tersebut juga dilakukan KH A Wahid
Hasyim sebagai salah satu tokoh pembaharuan dan pergerakan Islam di Indonesia,
khususnya bidang pendidikan Islam.
Gerakan untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam bagi KH A
Wahid Hasyim sangat perlu dilakukan, mengingat pendidikan sebuah hal yang
sangat penting bagi sebuah kemajuan bangsa terlebih Indonesia. Untuk menjadi
negara yang maju dalam bidang pendidikan Islam. Karena Indonesia sebagai
negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Akan menjadi ‘pincang’
Negara Indonesia, apabila ia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim
menyediakan pendidikan Islam yang rendah bahkan jauh dari kebutuhan dan
tuntutan zaman (global). Oleh sebab itu, KH A Wahid Hasyim sabagai anak bangsa
ikut terlibat untuk bergerak dengan cara merenovasi sistem, model dan
pembelajaran di dalam pendidikan Islam.
Langkah kongrit dari KH A Wahid Hasyim dari pergerakannya dalam dunia
pendidikan Islam adalah dengan berdirinya madrasah Nidzamiyah di Tebuireng
Jombang, atas saran dan restu sang ayah KH Hasyim Asy’ari. Hal tersebut sebagaui
usaha nyata KH A Wahid Hasyim dalam memajukan pendidikan Islam untuk
merespon tantangan global saat itu. Di masanya, Barat mengalami kemajuan dan
kejayaan disbanding dunia Islam di Timur Tengah. Dengan demikian, memotivasi
dia untuk melakukan pembaruan dalam bidang pendidikan Islam yang pada masa
itu masih klasikal dan anti Barat.47
Inilah yang dilakukan KH A Wahid Hasyim sebagai usaha untuk
memberikan kontribusi terhadap kemajuan dunia pendidikan Islam di Indonesia.
Menuangkan gagasan dan konsep saja baginya tidak cukup tanpa adanya gerakan
sebagai langkah yang nyata dalam menerapkan gagasan;konsep yang dirancang
dengan baik tersebut. Hal tersebut berhasil dibuktikan olehnya, sehingga ia berhasil
memberikan warna yang positif bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia dan
berhasil mengangkat lembaga pendidikan Islam ‘setara’ dengan lembaga

46
Rahmat, “Madrasah Sebagau Lembaga Pendidikan Islam (Sistem dan Pekembangannya Sebelum dan Sesudah
Kemerdekaan)”, Rihlah, Vol. 1, No. 2 (2014), 57.
47
Baca lengkapnya dalam Shofiyullah Mz, Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan KH A Wahid Hasyim
(Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011), 131-133.
pendidikan umum. Dengan bukti, tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan
umum, semuanya saling bersinergi di lembaga pendidikan Islam (madrasah) yang
diprakarsai oleh Madrasah Nidzamiyah bentukan KH A Wahid Hasyim tersebut.
Patut kiranya, kita mengapresiasi langkah KH A Wahid Hasyim untuk dicontoh
dan diaplikasikan dalam dunia nyata di bidang pendidikan agama Islam khususnya
lembaga pendidikan Islam (madrasah) agar madrasah benar-benar ‘hebat’
menjawab tantangan global di era milenial khususnya era revolusi indutsri 4.0.
5. Pendidikan Islam Perspektif Pemikiran Azyumardi Azra
Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada tanggal 4
Maret 1955. Pendidikan yang ditempuhnya meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN
Jakarta pada tahun 1982, Master of Art (M.A.) pada Departemen Bahasa dan
Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988, Master of Philosophy
(M.Phil.) pada Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor
of Philosophy Degree (Ph.D) tahun 1992, dengan disertasi berjudul The
Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network of Middle Eastern and
Malay-Indonesian‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries.48Sejak
2007 sampai sekarang, sebagai guru besar sejarah; dan Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua
periode (IAIN, 1998-2002, dan UIN, 2002-2006).49 Beberapa pemikiran atau ide
Azyumardi Azra tentang pendidikan Islam telah banyak dimuat dalam beberapa
tulisan dan dalam bentuk buku. Diantara pemikiran atau ide pendidikan Islam
Azyumardi Azra sebagai berikut:
Pertama, masalah tujuan pendidikan Islam, menurut Azyumardi Azra ialah
terbentuknya kepribadian utama berdasarkan nilai-nilai dan ukuran Islam. Tetapi,
seperti pendidikan umum lainnya, tentunya pendidikan Islam tidak terlepas dari
tujuan-tujuan yang lebih bersifat operasional sehingga dapat dirumuskan tahap-
tahap proses pendidikan Islam mencapai tujuan lebih jauh. Tujuan pendidikan

48
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-
akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 5.
49
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), 323.
Islam yang dimaksud adalah tujuan pertama-tama yang hendak dicapai dalam
proses pendidikan itu. Tujuan itu merupakan “tujuanantara” dalam mencapai
“tujuanakhir” yang lebih jauh. Tujuan antara itu, menyangkut perubahan yang
diinginkan dalam proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan pribadi anak
didik, masyarakat maupun lingkungan tempat hidupnya. 50 Tujuan hidup muslim
sebagaimana dijelaskan ayat-ayat al-Qur’an di atas, yakni untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa dan mengabdi kepada-Nya.
Sebagai hamba Allah yang bertakwa, maka segala sesuatu yang diperoleh dalam
proses pendidikan Islam itu tidak lain termasuk dalam bagian perwujudan
pengabdian kepada Allah swt.51Tujuan hidup ini, juga menjadi tujuan akhir
pendidikan Islam.
Selanjutnya, Azyumardi Azra mengerucutkan tujuan pendidikan menjadi
dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut Azra, tujuan
pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan
dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks
sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi
rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar.Tujuan hidup manusia
dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan umum/akhir pendidikan
Islam. 52
Kedua, masalah kurikulum. Lebih detail Azyumardi Azra menyatakan,
bahwa kurikulum merupakan pencapaian tujuan-tujuan yang lebih terperinci
lengkap dengan materi, metode, dan sistem evaluasi melalui tahap-tahap
penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek; kognitif, afektif, dan
psikomotorik.53Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang
dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang
isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan

50
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 7.
51
Ibid., 8.
52
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium., 8.
53
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium., 9.
sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.54Dari
berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh peserta didik untuk memperoleh gelar atau
ijazah.
Perencanaan pendidikan bagi peserta didik muslim baik di Negara
mayoritas Islam maupun minoritas memerlukan perombakan radikal dalam bidang
kurikulum menyangkut struktur dan mata pelajaran (subject matter). Oleh karena
itu, perencanaan pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan
permanen, yakni; persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang dan
waktu, dan persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan teknologi
dan kebudayaan bersama atas nilai-nilai kemanusiaan. 55Dengan kata lain, setiap
materi yang diberikan kepada peserta didik harus memenuhi dua tantangan pokok:
pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; kedua, penanaman
pemahaman pengalaman ajaran agama.
Azra menegaskan, bahwa kurikulum pendidikan Islam jelas selain mesti
berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta
didik, kini harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hanya dengan cara ini, pendidikan Islam bisa
fungsional dalam menyiapkan dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai
iptek dan berkeimanan dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula,
secara sistematis dan programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara
bertahap namun pasti.56
6. Pendidikan Islam Perspektif Pemikiran Ahmad Tafsir
Ahmad Tafsir lahir di Bengkulu 19 April 1942. Pendidikannya diawali di
Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) di Bengkulu. Setelah tamat di SR Ahmad Tafsir
melanjutkan sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama) selama enam tahun di
Yogyakarta. Selanjutnya belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta dan

54
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), h. 70.
55
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.,8.
56
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium., 66.
menyelesaikan jurusan Pendidikan Umum pada tahun 1969. Sejak tahun 1970
mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Gunung Djati Bandung sampai sekarang. 57
Dalam Pandangan Ahmad Tafsir, manusia adalah makhluk yang mungkin
dapat dan harus dididik sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk ciptaan Allah
SWT yang hidup sebagai satu diri (individu) dalam kebersamaan (sosialitas) di
dalam masyarakat, karena memiliki kemungkinan tumbuh dan berkembang di
dalam keterbatasan diri manusia. Pendidikan menjadi keharusan bagi manusia,
karena manusia hanya akan menjadi manusia karena pendidikan. Mendidik berarti
memanusiakan manusia untuk menjadi manusia yang seutuhnya (beriman),
diperlukan pendidikan seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Tafsir, bahwa
pendidikan harus mampu mendidik manusia menjadi manusia. Tujuan pendidikan
ialah meningkatkan derajat manusia yang tinggi, itu yang dapat disebut manusia. 58
Karena sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan tersebut mencakup unsur
Jasmani, Rohani dan Kalbu. Perpaduan tiga unsur itu dalam desain pendidikan akan
menghasilkan sumber daya manusia yang baik dengan nilai kemanusian yang
tinggi. Sejak lahir manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupannya. Sejak
itulah timbul gagasan untuk mengalihkan, dan pengembangan kebudayaan melalui
pendidikan. Oleh karena itu, dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan
senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka kemajuan kehidupan generasi
sejalan dengan tuntunan masyarakat.59
Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia
memerlukan wawasan yang sangat luas, karena pendidikan menyangkut seluruh
aspek kehidupan manusia, baik dalam pemikiran maupun pengalamannya. Oleh
karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja,
melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Secara historis
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam berperan sebagai mediator
dimana ajaran Islam dapat disosialisasikan kepada masyarakat. Melalui pendidikan
inilah masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan

57
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008 ), 343.
58
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam., 46.
59
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi
Aksara. 2009), 1.
ajaran Islam sesuai dengan al Qur’an dan as Sunnah. Tetapi ada satu hal penting
yang saya prihatinkan tentang pendidikan Islam di Indonesia. Menurut Ahmad
Tafsir, mengapa setiap pendidikan Islam yang ada di bawah naungan lembaga atau
sekolah-sekolah yang berbasis Islam secara pukul rata mutunya lebih rendah
ketimbang lembaga atau sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola oleh
lembaga Katolik.60 Masalah yang paling besar adalah pendidikan kita belum bisa
menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, tidak punya kepekaan sosial, suka
narkoba dan suka korupsi, padahal itu semua termasuk koruptor adalah orang yang
gagal menjadi manusia sekalipun dia seseorang pejabat atau pengusaha sukses.
Adapun yang harus dibenahi itu menurut Ahmad Tafsir ialah: (1)
Hendaknya mendahulukan yang wajib dan membelakangkan yang sunnah. (2)
Lebih memperhatikan mutu pendidikan sekolah Islam, karena mutu sekolah itu
menentukan mutu umat Islam dan Negara Indonesia. (3) Etos ekonomi hendaknya
diubah, keuntungan jangan seluruhnya diberikan kepada orang lain, umat Islam
masih membutuhkan pendidikan. 61 Akan tetapi, masih banyak permasalahan
pendidikan Islam yang belum tuntas penyebabnya. Justru yang paling menentukan,
yaitu pengelola sekolah, kepala sekolah dan guru sekolah, karena pendidikan Islam
belum memiliki teori-teori pendidikan Modern dan Islam.
Dalam literatur ilmu pendidikan, khususnya ilmu pengajaran, dapat
ditemukan banyak metode mengajar. Adapun metode mendidik, selain dengan cara
mengajar, tidak terlalu banyak dibahas oleh para ahli. Sebabnya, mungkin metode
mengajar lebih jelas, lebih tegas, objektif, bahkan universal. Sedangkan metode
mendidik selain mengajar lebih subjektif, kurang jelas, kurang tegas, lebih bersifat
seni dari pada sebagai sains. Jadi, sebenarnya untuk kepentingan pengembangan
teori-teori pendidikan Islam, masalah metode mengajar tidaklah terlalu sulit.
Menurut Ahmad Tafsir, karena metode-metode mengajar yang dikembangkan di
Barat dapat saja digunakan atau diambil untuk memperkaya teori tentang metode
pendidikan Islam. 62 Kemudian, untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam harus

60
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 1.
61
Ibid.,3.
62
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 6.
diketahui lebih dahulu ciri manusia sempurna menurut Islam. Untuk mengetahui
ciri manusia diketahui hakekat manusia menurut Islam. Apa hakekat manusia
menurut Islam? Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, ia tidak muncul dengan
sendirinya atau berada oleh sendirinya. Karena manusia adalah makhluk yang
perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Ciri manusia
yang baik secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam: (1) Badan sehat, kuat
mempunyai keterampilan (aspek jasmani), (2) Pikiran cerdas serta pandai (aspek
akal) dan (3) Hati berkembang dengan baik (rasa, kalbu, ruhani). 63

63
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran.,14.

Anda mungkin juga menyukai