Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakangs

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang menuntut

sumber daya manusia (SDM) untuk semakin meningkatkan kualitasnya.

Apalagi pada era revolusi industri 4.0 yang mencoba mengurangi penggunaan

SDM sebagai tenaga. Maka sebagai seorang mahasiswa yang tidak lain juga

sebagai agent of change haruslah selalu berusaha menjadi SDM yang unggul.

Menjadi unggul disini selain berupaya menguasai ilmu pengetahuan dan

teknologi, tetapi juga memiliki pengalaman kerja lapangan yang baik.

Salah satu caranya adalah dengan mengikuti program kerja praktek

yang telah difasilitasi oleh universitas maupun fakultas masing-masing.

Dengan kerja praktek, mahasiswa dituntut untuk dapat mengerti dan

memahami pekerjaan di lapangan. Apalagi sebagai mahasiswa hukum yang

semua prospek pekerjaan kedepannya sangat membutuhkan pengalaman kerja

lapangan. Melatih kemampuan teori haruslah seimbang dengan kemampuan

praktek, bahkan akan lebih baik bila lebih unggul dalam praktek.

Program kerja praktek merupakan langkah praktis dalam

mempersiapkan mahasiswa untuk dapat tangkas/cepat tanggap, ahli,

bertanggung jawab dan terampil sebelum menginjak dunia kerja nanti. Jadi

harapannya adalah agar mahasiswa mendapatkan gambaran tentang dunia

kerja yang sebenarnya. Sehingga nantinya dapat menerapkan ilmu yang

didapatkan dari bangku perkuliahan kedalam dunia kerja dengan baik.

1
Program kerja praktek yang sesuai dengan ranah ilmu hukum

sangatlah banyak. Namun, melihat tuntutan sebagai seorang sarjana hukum

yang harus memiliki kemampuan baik dalam hal litigasi maupun non litigasi

adalah menjadi faktor pendorong praktikan dalam melaksanakan program

kerja prektek ini di lingkungan hukum acara.

Praktikan memilih untuk melaksanakan program kerja praktek di

Kejaksaan Negeri Kudus. Kejaksaan adalah salah satu instansi bidang hukum

dan satu-satunya lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan

penuntutan. Namun, fungsi dari kejaksaan tidak hanya pada ranah hukum

acara pidana, disana juga ada ranah hukum acara perdata yaitu pada kantor

pengacara negeri. Pada laporan ini, saya akan membahas mengenai ranah

hukum acara perdata. Karena kantor jaksa pengacara negera ini kurang

diketahui oleh masyarakat luas. Sedangkan disisi lain, fungsi dari kantor

pengacara negera ini sangatlah bermanfaat bagi masayarakat luas. Untuk itu

saya lebih antusias dalam membahas mengenai tugas jaksa pengacara negera,

khususnya mengenai bantuan hukum (litigasi).

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana hubungan pelaksanaan arbitrase dengan Jaksa Pengacara

Negara?

1.2.2. Bagaimana pelaksanaan kewenangan absolut arbitrase dan korelasinya

dengan tugas Jaksa Pengacara Negara?

1.2.3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan arbitrase oleh Jaksa Pengacara

Negara?

2
1.3. Tujuan Kerja Praktek

Program studi S1 Ilmu hukum pada angkatan 2017 diwajibkan untuk

mengikuti kerja praktek, diadakannya program kerja praktek sebagai syarat

untuk dapat mengikuti ujian penulisan hukum. Tujuan utama dari diadakannya

kerja praktek ini adalah sebagai upaya agar mahasiswa yang lulus dari bangku

perkuliahan tidak hanya memiliki kemampuan intelektual saja tetapi agar

dapat secara aplikatif menerapkan kemampuan intelektualnya tersebut.

Sebagai upaya mempersiapkan SDM yang unggul agar dapat bersaing di dunia

kerja khususnya dibidang hukum. Karena pada akhirnya sarjana hukum akan

selalu menapakan kariernya secara langsung di masyarakat. Sehingga

dibutuhkannya SDM yang mumpuni dalam teori maupun prakteknya.

1.4. Manfaat Kerja Praktek

Dengan dilaksanakannya program kerja praktek ini diharapkan dapat

memberi manfaat bagi semua pihak yang terkait, antara lain yaitu :

1.4.1. Manfaat kerja praktek bagi praktikan

a. Dapat membandingkan dan mempeluas pemahaman mengenai

ilmu/teori-teori yang didapat selama perkuliahan dengan praktek

yang ada di Kejaksaan Negeri Kudus.

b. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam

menanggani perkara yang masuk di kejaksaan (P-16) dengan

panduan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3
c. Membentuk dan meningkatkan karakter pada diri untuk menjadi

lebih bertanggung jawab, beretika, profesional, disiplin, terampil

dan cepat tanggap.

d. Sebagai sarana untuk mengetahui dan belajar melaksanakan tata

cara bekerja di instansi bidang hukum.

e. Sarana dalam mempelajari tata cara beracara di persidangan

dengan adanya kegiatan kunjungan ke Pengadilan Negeri Kudus.

f. Dapat menentukan sikap dan menjalin komunikasi yang baik

dengan sesama instansi yang saling terkait antara lain dengan

Pengadilan, Rutan, Lapas maupun Polsek Kudus.

1.4.2. Manfaat kerja praktek bagi Kejaksaan Negeri Kudus

a. Sebagai monitoring evaluasi terhadap pelaksanaan fungsi

kejaksaan.

b. Sebagai pendorong kinerja institusi.

1.4.3. Manfaat kerja praktek bagi Universitas Diponegoro

a. Meningkatkan lulusannya sebagai SDM yang unggul dan berdaya

saing tinggi.

b. Meningkatkan kepercayaan masyarakat akan kualitas kampus.

c. Sebagai program dalam memonitoring kemampuan mahasiswa

oleh pihak kampus.

1.5. Metodologi Kerja Praktek

Laporan kerja praktek ini menggunakan metode analitis-deskriptif sebagai

penyampaian materi yang didapatkan dari studi pustaka dan wawancara.

4
Metode analitis guna menjelaskan aturan-aturan terkait pokok bahasan yang

akan dijabarkan sesuai dengan aturan yang berlaku. Metode ini memuat

penjelasan-penjelasan secara runtut yang didukung dengan metode deskriptif.

Metode deskriptif digunakan dalam menjelaskan pelaksanaan di lapangan

untuk disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Dalam menganalisis pokok

pembahasan akan digunakan analisis baik secara yuridis, filosofis maupun

sosiologis. Dengan penyampaian data lapangan secara deskriptif sebagai

penunjang analisis pokok pembahasan.

1.6. Sistematika Penulisan

Berikut adalah sistematika penulisan laporan :

1. Bagian awal

a. Cover

b. Halaman judul

c. Lembar pengesahan

d. Kata pengantar

e. Abstrak

f. Daftar isi

2. Bagian isi

a. Bab I/ Pendahuluan

- Latar belakang

- Rumusan masalah

- Tujuan kerja praktek dan Manfaat kerja praktek

- Metodologi kerja praktek

5
b. Bab II/ Gambaran Umum

- Lokasi kerja praktek

- Visi dan misi

- Struktur organisasi

- Sistem kerja internal

c. Bab III/ Landasan Teori

- Teori

- Landasan

- Cara pandang

d. Bab IV/ Hasil dan Pembahsan

- Arbitrase upaya penyelesaian perkara perdata sebagai tugas dan

fungsi Jaksa Pengacara Negara.

- Kompetensi absolut arbitrase dan korelasinya dengan tugas dan

fungsi Jaksa Pengacara Negara.

- Tolok ukur efektivitas pelaksanaan arbitrase dalam pelaksanaan

bantuan hukum oleh Jaksa Pengacara Negara.

e. Bab V/ Penutup

- Kesimpulan

- Saran

3. Bagian akhir

a. Daftar pustaka

b. Daftar hadir

c. Lembar penilaian

6
d. Surat keterangan telah melaksanakan kerja praktek

e. Lampiran

BAB II

GAMBARAN UMUM

2. 1. Lokasi kerja praktek

a. Tempat : Kejaksaan Negeri Kudus

b. Alamat : Jl. Jend. Sudirman No. 41, Kudus, Jawa Tengah

c. No telp : 0291-438052, 0291-432214

2. 2. Visi dan misi

Visi 

Kejaksaan yang independen dengan posisi sentral dalam penegakan

hukum guna mewujudkan supremasi hukum dan penghormatan hak asasi

manusia.

Misi

1. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata krama dalam penegakan

hukum.

2. Meningkatkan profesionalisme aparatur dilandasi integritas kepribadian

dan disiplin yang tangguh dalam upaya menegakkan supremasi hukum.

3. Melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan mengingat norma

keagamaan, kesopanan, kesusilaan serta memperhatikan rasa keadilan

dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

4. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM.

5. Meningkatkan pelayanan hukum dan pertanggungjawaban publik.

7
2. 3. Stukrutur Organisasi

2.3.1. Struktur Organisasi Kejaksaan Negeri Kudus

Kepala Kejaksaan Negeri


RUSTININGSIH, SH. M.Si.

Kepala Subbagian Kepala Seksi Kepala Seksi Tindak Kepala Seksi Tindak Kepala Seksi Perdata Kepala Seksi
Pembinaan Intelijen Pidana Umum Pidana Khusus dan TUN Pengelolaan Barang
Bukti dan Barang
Ida Marliani, SH. Sarwanto, SH. Muhammad R. Prabowo A., SH. Kurnia Dewi M, SH. Rampasan
Baharuddin, SH. MH. MH. Tulhah Yasir, SH. MH.

Kaur tata usaha dan Kasubsi ideologi, pol, Kasubsi prapenuntutan Kasubsi penyidikan Kasubsi perdata Kasubsi barang bukti
kepegawaian hankam, sosbud dan (-) (-) (-) (-)
Yusaka Kohana, SH. kemasyarakatan __
Mulyono Kasubsi penuntutan Kasubsi penuntutan Kasubsi TUN Kasubsi barang
Kaur keuangan dan (-) (-) (-) rampasan
PNBP __ (-)
Bagus Santosa, SH. Kasubsi ekonomi, Kasubsi eksekusi dan Kasubsi upaya hukum Kasubsi pertimbangan
keuangan & eksaminasi luar biasa dan eksekusi hukum
Kaur perlengkapan pengamanan (-) (-) (-)
Drs. Fajar Teguh pembanguan __ 8
Rahadiyono (-)
Kaur data statistik
kriminal, TI dan
perpusatakaan
Lu’lu’ Naurotuzz H,
SH.

Jaksa Fungsional Jaksa Fungsional Jaksa Fungsional - -


-
Ati Ariyati, SH. Ahmad Mukhlisin, SH. Munfainzi, SH.

Jaksa Fungsional Jaksa Fungsional Jaksa Fungsional


- -
Uly Rif’i, SH. MH. Umi Pratiwi, SH. Kharis Rohman H, SH.

9
2.3.2. Struktur organisasi seksi Perdata dan TUN (Datun)

Kepala Seksi Perdata dan TUN


Kurnia Dewi Makatitta, SH.,MH.

Kasubsi Tata Usaha Kasubsi Pertimbangan


Kasubsi Perdata
Negara Hukum
(-)
(-) (-)

Staff
Staff Staff Aladin
Sumarmi, SH. (-) Mustikaningtyas

2.3.3. Sistem kerja internal Kejaksaan Negeri Kudus

Pelaksanaan sistem kerja yang ada di dalam Kejari Kudus ini sesuai

dengan prosedur yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pimpinan Kejari

disebut Kepala Kejari (Kejaksaan Negeri). Terdapat beberapa bagian yang

memiliki tupoksi masing-masing antara lain yaitu bagian tindak pidana umum,

bagian tindak pidana khusus, bagian intelijen, bagian kepegawaian, bagian

keuangan, bagian sekertariat /bagian administrasi, bagian simkari, dan bagian

barang bukti. Dalam setiap bagian tersebut memiliki beberapa staf yang

membantu kepala bagian/seksi, terutama pada bagian perkara. Pada beberapa

bagian yang menyinggung tupoksi Jaksa sebagai Penuntut Umum terdapat

beberapa Jaksa untuk menjalankan tupoksi tersebut. Bagian hukum pidana

10
dibagi menjadi 2 sub-bagian untuk menanggani perkara masuk yaitu pidana

umum dan pidana khusus. Bagian hukum perdata digabung dengan TUN (Tata

Usaha Negara). Bagian-bagian yang tupoksinya dijalankan oleh Jaksa adalah

bagian pidana umum, pidana khusus,intelijen dan perdata dan TUN. Jaksa-

jaksa tersebut dalam menjalankan tugas administrasi atau pemberkasan

dibantu oleh beberapa staf/karyawan.

BAB III

LANDASAN TEORI

3. 1. Teori

Hukum acara adalah serangkaian aturan yang mengikat dan mengatur

bagaimana cara menjalankan juga menegakan hukum materiil. Dalam

menjalankan dan menegakan aturan bidang perdata maka digunakanlah hukum

acara perdata. Hukum acara perdata dapat didefinisikan yaitu aturan-aturan yang

mengatur bagaimana cara menjalankan dan menegakan hukum perdata materiil.

Teori mengenai hukum acara perdata ini digunakan sebagai pedoman dalam

menyelesaikan perkara perdata. Salah satu teorinya adalah mengenai ADR

(Alternative Dispute Resolution) yang menjadi payung dari pelaksanaan

arbitrase. Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian perkara diluar peradilan

perdata menyinggung pada tugas dan fungsi seorang Jaksa Pengacara Negara.

Jaksa Pengacara Negara dikenal sebagai wakil pemerintah dalam penyelesaian

perkara perdata dan TUN.

11
Sengketa perdata adalah suatu perkara perdata yang didalamnya telah terjadi

perselisihan antara para pihak yang berkepentingan. Perselisihan tersebut

disebabkan adanya benturan kepentingan antar para pihak dari hubungan hukum

yang sebelumnya sudah terjalin antar pihak tersebut. Apabila benturan

kepentingan terjadi antara negara/pemerintah/ BUMN dengan masyarakat, maka

akan menyinggung tugas dan fungsi Jaksa Pengacara Negara. Dalam upaya

penyelesaian perselisihan tersebut, JPN menjalankan tugasnya yaitu bantuan

hukum baik secara litigasi maupun non litigasi. Arbitrase sebagai salah satu

upaya penyelesaian perkara perdata secara litigasi diluar peradilan perdata.

Perkara perdata tersebut salah satunya adalah mengenai sengketa/perselisihan

antar pihak, tetapi salah satu pihaknya adalah negara/pemerintah/BUMN yang

diwakili oleh JPN.

Asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum telah diatur secara

seimbang (harmonis) dalam UU No.16 Tahun 2004. Kepastian hukum tercermin

dalam penggunaan prinsip penyelesaian perkara perdata secara cepat dan

pembuktian secara sederhana (prodeo). Asas keadilan tercermin dalam

penggunaan prinsip keadilan dalam pemeriksaan perkaranya. Asas kemanfaatan

hukumpun tercermin dalam prinsip putusan arbitrase sebagai cara yang

digunakan dalam penyelesaian perkara, dimana peradilan dipahami sebagai cara

paling akhir (ultimum remidium). Ketiga asas tersebut dapat peroleh oleh

masing-masing pihak secara harmonis dan seimbang dengan menggunakan

arbitrase dalam penyelesaian perkaranya.

12
3. 2. Landasan

Dasar hukum yang mengatur mengenai arbitrase sudah ada sejak lama.

Pada Reglemen Acara Perdata (Rv) yaitu pada Buku Ketiga Rv , pada Bab

pertama diatur ketentuan mengenai Putusan “wasit” atau arbitrase. Pada

tahun 1968, lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 merupakan

Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara

dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal menjadi faktor

pendorong berkembangnya pelaksanaan arbitrase dalam bidang bisnis di

Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan nasional mengatur

mengenai penyelesian perselisihan melalui arbitrase antara lain yaitu :

a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

b. Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

c. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER. 025/A/JA/11/2015 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Penegakan hukum, Bantuan Hukum,

Pertimbangan Hukum,Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum

di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

3. 3. Cara pandang

Paradigma konstruktivisme dapat dilihat dengan adanya kesepakatan

terlebih dahulu oleh para pihak yang kemudian menentukan cara

penyelesaian perkara perdata. Dengan diawali adanya kata sepakat

menggunakan perjanjian arbitrase atau telah dicantumkan dari awal pada

13
MoU sesuai dengan pemahaman paradigma konstruktivisme. Bahwa

kesepakatan diawal menjadi tolok ukur aliran-aliran yang ada dalam

payung paham konstruktivisme.

Pada prosedur pelaksanaan proses arbitrase sendiri sesuai dengan

prosedur yang telah diatur dalam peraturan Jaksa Agung. Sehingga unsur

normatif melekat pada proses penyelesaian perkara dengan menggunakan

arbitrase sesuai dengan aturan yang telah ada. Tugas dan Fungsi JPN juga

telah diatur secara normatif yuridis sesuai dengan UU No. 16 Tahun 200

tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Arbitrase Upaya Penyelesaian Perkara Perdata sebagai Tugas dan

Fungsi Jaksa Pengacara Negara

Bantuan hukum merupakan upaya pemberian jasa hukum bidang perdata

oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara kepada negara atau pemerintah, baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk juga BUMN yang

menggunakan sumber dana dari APBN/APBD, untuk bertindak sebagai kuasa

hukum berdasarkan surat kuasa khusus baik secara non litigasi (negosiasi)

maupun litigasi (Peradilan Perdata serta Arbitrase) baik sebagai

penggugat/penggugat intervensi/pemohon terhadap pembantah atau

tergugat/tergugat Intervensi/termohon. Arbitrase sebagai upaya penyelesaian

14
perkara perdata ini merupakan ranah litigasi dengan menggunakan lembaga

yang berwenang sebagai “wasit” atau “arbitase” selain di peradilan perdata.

Cara penyelesaian Sengketa Perdata di luar Peradilan Umum ini

didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa. Bantuan hukum ini merupakan salah satu tugas dan

fungsi Jaksa Pengacara Negara yang telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung

Republik Indonesia Nomor: PER-025/A/JA/2015 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum,

Tindakan Lain dan Pelayanan Hukum Di Bidang Perdata dan Tata Usaha

Negara.

Perjanjian Arbitrase

Pelaksanaan arbitrase sebagai tugas dan fungsi Jaksa Pengacara Negara di

Kejaksaan Negeri Kudus didasarkan adanya MoU terlebih dahulu yang pada

ketentuan penutupnya menjelaskan cara penyelesaian perselisihan akan

diajukan pada badan yang berwenang selain pada Peradilan Perdata. Hal

tersebut menjelaskan bahwasanya harus ada perjanjian yang absah terlebih

dahulu. Berikut adalah kriteria yang harus diperhatikan :

1. Bersifat asesor

Perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian dalam aturan

yang terdapat pada KUHPerdata (Pasal 1253-1267 KUHPerdata). Maka

dari itu, pelaksanaan perjanjian arbitase tidak digantungkan kepada sesuatu

kejadian tertentu di masa yang akan datang. Tetapi disini, perjanjian

arbitrase mempersoalkan mengenai cara dan lembaga yang

15
berwenang/yang akan digunakan dalam menyelesaikan perselisihan yang

mungkin akan terjadi antara para pihak dalam perjanjian.

Dalam perjanjian tersebut,para pihak dapat menentukan kata

sepakat bahwa apabila terjadi suatu perselisihan, maka tidak

mengajukannya pada badan peradilan resmi. Namun, akan diselesaikan

oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim disebut

“wasit”atau “arbitrase”.

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi satu kesatuan dengan

materi pokok perjanjian(bersifat asesor). Perjanjian arbitrase lazim disebut

dengan “klausula arbitrase” yaitu merupakan tambahan yang diletakan

kepada perjanjian pokok. Inilah yang dinamakan perjanjian “asesor”.

Akibatnya, apabila terdapat cacat atau batalnya perjanjian arbitrase, tidak

akan berakibat batal atau cacatnya perjanjian pokok. Namun, apabila

terdapat batal atau cacatnya perjanjian pokok maka akan mengakibatkan

gugur/tidak mengikatnya perjanjian arbitrase.

2. Kebolehan perjanjian arbitrase

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 menjadi

landasan kebolehan adanya perjanjian arbitrase. Kemudian juga,

kebolehan perjanjian arbitrase sudah diatur oleh Rv (Reglement op de

Rechtsvordering). Kebolehan mengenai perjanjian arbitrase ini harus tetap

memperhatikan mutual consent atau “kesepakatan bersama”, jadi tidak

diperbolehkan apabila bersifat sepihak. Landasan keabsahan ikatan

perjanjian arbitrase adalah faktor kesukarelaan dan kesadaran bersama.

16
Perjanjian arbitase tidak lahir dari undang-undang, tetapi lahir dari

perjanjian dan kesepakatan bersama.

Pasal 1320 - Pasal 1321 KUHPerdata menjadi pedoman dalam

menguji apakah dalam perjanjian arbitrase benar-benar murni kelahirannya

berdasarkan pada kata sepakat/toestemming yaitu agreement yang lazim

disebut consent. Pasal itu menjelaskan mutual agreement dianggap “cacat”

dan “tidak sah” jika kata sepakat itu mengandung:

- Salah pengertian atau kekeliruan (dwaling) yang lazim disebut

mengandung error (mistake)

- Adanya pemerasan atau paksaan (dwang), atau

- Adanya penipuan (bedrog , deceit)

Maka, akibat hukumnya adalah dapat dimintakan pembatalan

terhadap perjanjian tersebut. Berdasarkan pengamatan mengenai

pelaksanaan arbitrase pada Kejari Kudus terdapat beberapa kelemahan dan

kelebihan, antara lain yaitu

Kelemahan:

- Bergantung pada kesepakatan para pihak

- Stigma mengenai kejaksaan hanya berperan sebagai penuntut umum

(pidana).

- Kurangnya permasalahan perdata yang ada di Kudus.

- Relatif jauhnya lokasi BANI yang berada di Jakarta menjadi

pertimbangan.

17
Keunggulan penyelesaian melalui arbitrase dengan JPN sebagai

wakil negara/pemerintah/BUMN menjadi pertimbangan tersendiri sebab

pihak negara/pemerintah/BUMN lebih memprioritaskan didapatkannya

solusi yang tidak merugikan antar para pihak. Meminimalisir dampak

kerugian tanpa merugikan pihak lawan menjadi tolok ukur keberhasilan

pelaksanaan arbitrase.

4. 2. Kompetensi Absolut Arbitrase dan Korelasinya dengan Tugas dan

Fungsi Jaksa Pengacara Negara

Arbitrase bukan badan kekuasaan peradilan (judicial power) resmi yang

sengaja didirikan oleh kekuasaan negara berdasarkan konstitusi

ketatanegaraan dari negara bersangkutan.1 Penunjukan BANI sebagai badan

yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar para pihak, disini BANI

menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa dan

bukan dalam hal “mengadili”. Penunjukan arbiter dilakukan oleh para pihak

sesuai tata cara dari BANI itu sendiri.

Kompetensi absolut arbitrase secara normatif akan lahir ketika para pihak

dalam membuat perjanjian yang secara tegas menyatakan bahwa mereka akan

menyelesaikan perselisihan mereka melalui forum arbitrase. Dengan

demikian, pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengeketa

tersebut. Terlebih dengan terbitnya undang undang arbitrase, kedudukan dan

kewenangan arbitrase menjadi semakin jelas dan kuat, karena sudah ada dasar

pengaturan yang tegas menyangkut kompetensi absolut arbitrase. Meskipun

1
M. Yahya Harahap. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika. 2003. Hal 83.

18
demikian dalam praktik selama ini penulis masih menemukan adanya

penyimpangan, dimana klausula arbitrase terkadang diabaikan pengadilan.

Oleh karena itu, itikad baik para pihak dan sikap pengadilan yang

konsisten sesungguhnya juga punya peranan besar untuk mengembangkan

arbitrase, dimana proses arbitrase perlu mendapat campur tangan pengadilan,

demi memperlancar proses arbitrase itu sendiri. Kompetensi absolut arbitrase

sangat penting, karena dengan adanya Undang Undang Kekuasaan Kehakiman

telah memberikan pengaturan tentang diperbolehkannya penyelesaian

sengketa melalui arbitrase. Dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan

bahwa ’ketentuan ini tidak menutup penyelesaian perkara di luar peradilan

Negara melalui perdamaian atau arbitase”. Dengan demikian, penyelesaian

perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tatap

diperbolehkan, tergantung forum penyelesaian sengketa yang dipilih oleh

pihak-pihak yang berperkara (Pasal 1 UU Arbitrase). Dalam hal ini berarti

inisiatif dan keaktifan para pihak dalam menentukan pilihan forum

penyelesaian sengketa menjadi sangat penting, karena penentuan pilihan ini

terkait dengan kompetensi atau kewenangan absolut lembaga yang memiliki

kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut. Kewenangan

absolut merupakan wewenang badan peradilan atau forum lainnya untuk

memeriksa suatu perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa

oleh badan peradilan atau forum lainnya sesuai dengan aturan perundang-

undangan yang berlaku. Kewenangan absolut juga berlaku dalam arbitrase.

Sebagai contoh, ketika dalam suatu perjanjian jual beli, para pihak sepakat

19
untuk mengajukan sengketa melalui arbitrase, maka apabila sengketa timbul

para pihak harus mematuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memajukan

sengketa tersebut ke arbitrase. Adanya klausula arbitrase akan menyebabkan

perselisihan yang timbul diantara para pihak menjadi wewenang absolut

arbitrase. Ketika sengketa tersebut sudah jatuh ke dalam wewenang absolut

arbitrase, maka semestinya lembaga peradilan tidak lagi memiliki wewenang

untuk memeriksa perselisihan tersebut (Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase).

Kenyataannya, penyimpangan dapat terjadi, misalnya saja, salah satu

pihak mengajukan gugatan terhadap perkara dalam kontrak berklausula

arbitrase ke pengadilan negeri. Sikap pengadilan negeri pada umumnya tidak

seragam, ada yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet

Ontvankelijke Verklaard) atau yang biasa disebut NO, tetapi ada pula yang

menerima dan mengabulkan gugatan tersebut. Akan tetapi, pada umumnya

ketika kasus tersebut sampai pada Mahkamah Agung, Mahkamah Agung

berpegang teguh pada pendiriannya dengan menyatakan gugatan tidak

diterima. Mahkamah Agung sepertinya berpendirian bahwa pengadilan tidak

berwenang memeriksa perkara yang sudah terikat perjanjian arbitrase, karena

hal tersebut, merupakan wewenang absolut lembaga arbitrase2.

4. 3. Tolok ukur efektivitas pelaksanaan Arbitrase dalam pelaksanaan

bantuan hukum oleh Jaksa Pengacara Negara


2
Bambang Sutiyoso. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media. 2006. hlm. 26

20
Permohonan dari
Kepala Kejaksaan
Stakeholder dengan
Negeri
SKK

Kasi Perdata dan Surat Kuasa


TUN Substitusi

Telaah

Litigasi/ Non
Litigasi

a. Prosedur pelaksanaan penyelesaian perkara perdata

Administrasi

Apabila Kejaksaan mewakili /sebagai Tergugat dalam Perkara

Litigasi / Non Litigasi dalam rangka Penyelamatan Kekayaan Negara :

pengadministrasian dilakukan pada Seksi Perdata dan TUN pada

Kejaksaan Negeri Kudus. Kemudian, apabila Kejaksaan mewakili/

sebagai Penggugat dalam Perkara Litigasi / Non Litigasi dalam rangka

Pemulihan Keuangan Negara Administrasi : pengadministrasian

dilakukan pada Seksi Perdata dan TUN pada Kejaksaan Negeri Kudus.

Apabila ada permasalahan yang tidak dapat diselesaikan karena

sulit diperoleh pemecahannya, agar dilaporkan secara berjenjang untuk

mendapat petunjuk oleh pimpinan.

Koordinasi

21
Dalam pelaksanaan penanganan perkara (non litigasi maupun

litigasi) bidang Perdata dan TUN setelah menerima SKK (Surat Kuasa

Khusus), menginformasikan dalam bentuk Nota Dinas kepada Bidang

Intelijen dan Bidang Tindak Pidana Khusus.

Dalam penanganan Bantuan Hukum yang melampaui daerah

hukum satuan kerja Kejaksaan Negeri Kudus, JPN (Jaksa Pengacara

Negara) melalui pimpinan satuan kerja wajib memberitahukan secara

tertulis kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat.

Permohonan

Terhadap setiap permohonan Bantuan Hukum, wajib dibuatkan

Telaahan Awal oleh JPN, yang ditunjuk oleh Kepala Kejari Kudus.

Telaah tersebut memuat analisis hukum yang lengkap untuk

menentukan dasar hukum, lingkup tugas juga kewenangan Bidang

Perdata dan TUN serta untuk mengantisipasi adanya benturan

kepentingan (conflict of interest) dengan bidang lain (contoh pidana)

disertai analis SWOT terhadap perselisihan/perkara tersebut, sesuai

dengan formulir Administrasi Perkara Perdata dan TUN.

Apabila dari hasil telaahan tersebut disimpulkan bahwa dapat

diberikan bantuan hukum oleh JPN, selanjutnya JPN akan melakukan

bantuan hukum sesuai prosedur yang berlaku. Bantuan Hukum

terhadap permasalahan hukum perdata dan TUN penting. Pimpinan

Satuan Kerja yang akan melaksanakan bantuan hukum wajib

22
melaporkan secara berjenjang kepada Jaksa Agung Muda bidang

perdata dan TUN (sesuai prosedur).

Format permohonan bantuan hukum dapat dilihat pada Lampiran I.

Surat Kuasa Khusus kepada Jaksa Pengacara Negara

Apabila JPN mewakili Negara / Pemerintah untuk menangani

permasalahan hukum (non litigasi maupun litigasi) sebagai Penggugat

maupun Tergugat dalam perkara Perdata, permohonan tersebut

disampaikan secara tertulis dengan melampirkan SKK (surat kuasa

khusus) dengan Hak Substitusi dari Instansi yang bersangkutan

kepada Kejari Kudus sesuai dengan kesetaraan dalam jabatan dan

pelaksanaannya disesuaikan denganpermasalahan dan tingkat

kesulitan permasalahan.

Bahan-bahan yang essensial yaitu Gugatan, Keputusan TUN

Objek Sengketa (bila mengenai bidang TUN), surat-surat (bisa

menunjukan MoU), akta-akta, peraturan perundang-undangan dan

lain-lain yang diperlukan terkait materi perkara.

Apabila yang memberi kuasa/ pemberi kuasa adalah Presiden/

Wakil Presiden/Menteri/Pejabat Negara setingkat Menteri, maka SKK

dengan Hak Substitusi diberikan kepada Jaksa Agung. Apabila yang

memberi kuasa/ pemberi kuasa adalah Kepala Badan, Dirut BUMN

Tingkat Pusat, Pejabat Eselon I di Pusat dan/atau yang setara, maka

SKK dengan Hak Substitusi diberikan kepada Jaksa Agung Muda

Bidang Datun. Apabila yang memberi kuasa/ pemberi kuasa adalah

23
Pejabat di Daerah yang setara dengan Kepala Kejati, maka SKK

dengan Hak Substitusi diberikan kepada Kepala Kejati. Apabila yang

memberi kuasa/ pemberi kuasa adalah Pejabat di Daerah yang setara

dengan Kepala Kejari, maka Surat Kuasa Khusus dengan Hak

Substitusi diberikan kepada Kepala Kejari. Apabila yang memberi

kuasa/ pemberi kuasa adalah Pejabat Struktural Eselon IV ke bawah

pada Instansi Pemerintah, SKK dengan Hak Substitusi diberikan

kepada Pejabat Struktural yang setara di Kejaksaan dengan surat

pengantar dari Pimpinan Pemberi Kuasa.

Jadi, semua permohonan bantuan hukum kepada Kejaksaan dari

Negara / Pemerintah dapat diterima, kecuali bantuan hukum terkait

perbuatan pidana (delict) atau perbuatan pribadi. Dalam pelaksanaan

bantuan hukum yang dimohonkan oleh Negara/ Pemerintah,

diterbitkan Surat Kuasa Substitusi oleh:

 Jaksa Agung / JAM (Jaksa Agung Muda) Bidang Datun

kepada JPN pada Kejagung, Kejati, Kejari atau Cabang kejari.

 Kepala Kejati kepada JPN pada Kejati, Kejari atau Cabang

Kejari.

 Kepala Kejari kepada JPN pada Kejari atau Cabang Kejari.

 Kepala Cabang Kejari kepada JPN pada Cabang Kejari

setempat.

Apabila diperlukan Penerbitan SKK Substitusi dapat dilengkapi

dengan Surat Perintah dari Pimpinan Satuan Kerja.

24
Dalam hal mewakili Internal Kejari yaitu bidang Datun dapat

mewakili Internal Kejaksaan dalam Kasus/ Perkara (non litigasi

maupun litigasi) sebagai Penggugat maupun Tergugat dalam perkara

Perdata. Untuk melaksanakan bantuan hukum kepada Internal

Kejaksaan diterbitkan SKK kepada JPN. Apabila Penggugat/Tergugat

adalah Kejagung maka Jaksa Agung memberikan kuasa kepada JPN

pada Kejagung, Kejati, atau Kejari atau Cabang Kejari. Apabila

Penggugat/Tergugat adalah Pejabat Struktural/ Jaksa pada Kejagung,

maka pejabat struktural/Jaksa yang digugat tersebut memberikan

kuasa kepada JPN pada Kejagung. Ketentuan mengenai prosedur

tersebut mutatis mutandis berlaku juga untuk Kejati, Kejari dan

Cabang Kejari. Kententuan mengenai bantuan hukum kepada internal

Kejaksaan untuk diterbitkan SKK kepada JPN berlaku juga dalam

Pemberian SKK kepada JPN untuk menangani perkara non litigasi.

Pelaksanaan Arbitrase

Pelaksanaan dan petunjuk mengenai bantuan hukum tersebut

berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaannya di Arbitrase Ad

Hoc maupun Arbitrase Institusional. Petunjuk dan pelaksanaan dalam

pemberian bantuan hukum di forum Arbitrase Institusional Nasional

maupun Arbitrase Institusional Internasional menyesuaikan dengan

hukum acara yang berlaku di forum Arbitrase Institusional yang

digunakan, sedangkan petunjuk dan pelaksanaan dalam pemberian

bantuan hukum di forum Arbitrase Ad Hoc berdasarkan kesepakatan

25
para pihak dengan memperhatikan peraturan perundang undangan

yang berlaku.

b. Presentase keberhasilan pelaksanaan arbitase

Dalam pelaksanaan arbitrase, ada beberapa hal yang perlu di

perhatikan oleh para pihak yaitu antara lain :

 Kasus posisi

Perselisihan antar para pihak memberikan pengaruh tersendiri pada

jalannya proses arbitrase. Kerumitan perselisihan tersebut dapat

menjadi tolok ukur untuk mengetahui posisi masing-masing pihak

mengenai kemungkinan keberhasilan menyelesaikan kasus. Jenis

perselisihan juga memberikan pengaruh terhadap lamanya proses

arbitrase. Perselisihan yang memiliki tingkat kerumitan yang relatif

tinggi memerlukan faktor-faktor lainnya untuk mencapai kemenangan

dalam penyelesaian kasus tersebut.

 Kemampuan pemahaman oleh JPN (Jaksa Pengacara Negara)

Jaksa Pengacara Negara, sebagai wakil negara/ pemerintah/ BUMN

dan lain-lain, menjadi faktor penentu keberhasilan penyelesaian

perselisihan pada pihak negara/pemerintah/BUMN. Sebagai pihak

yang berusaha memulihkan kerugian keuangan negara. Tingkat

pemahaman JPN sangat diperlukan untuk meguasai pokok

perselisihan/perkara.

c. Putusan Arbitrase dan Eksekusi Putusannya

26
Putusan arbitrase ini tidak memihak yang sifatnya final dan

binding (tingkat terakhir dan mengikat), kecuali perjanjian menyatakan

lain. Putusan arbitrase menganut asas teritorial yaitu berlaku dimana

kedudukan suatu putusan ditentukan dari tempat dimana putusan

tersebut dijatuhkan oleh arbiter. Pihak ketiga yang tidak ada

hubungannya dengan putusan itu, tidak akan menjadi terikat olehnya

kecuali ada perjanjian yang menyatakan sebaliknya. Sebuah putusan

yang isinya memenuhi syarat sebagaimana diminta oleh undang-

undang baik tentang pertimbangan hukum yang cukup serta diktum

putusan yang jelas dan tuntas sehingga secara teori dikatakan sah dan

dapat dilaksanakan merupakan bukti konklusif mengenai fakta-fakta

yang ditemukan arbiter selama pemeriksaan berlangsung. Sebuah

putusan juga merupakan bukti yang menentukan hak dan kewajiban

antara para pihak atas objek atau barang yang disengketakan, dan

hanya berlaku terhadap para pihak yang terkait serta dapat

dilaksanakan baik secara sukarela maupun secara paksa dengan alat

negaa sesuai ketentuan yang berlaku3 sehingga dapatlah amarnya

dilaksanakan.

Undang-undang arbitrase Indonesia sendiri tidak mengatur secara

lengkap bagaimana prosedur dalam melaksanakan putusan arbitrase.

Putusan arbitrase juga merupakan produk hukum yang tertulis dan

disusun berdasarkan hasil pemeriksaan dari penyelesaian sengketa

3
Priyatna Aburrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : PT Fikahati .
2002. Hlm. 182.

27
diluar peradilan perdata melalui lembaga arbitrase dengan sistem pintu

tertutup dimana putusan itu adalah putusan tingkat terakhir dan

mempunya kekuatan hukum tetap sehingga mengikat para pihak.

Melaksanakan putusan arbitrase dapat dikatakan melakukan suatu

tindakan hukum yaitu dengan cara menaati/memenuhi apa yang

tertulis dalam amar. Itu dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak

yang telah menerima putusan tersebut, atau dalam hal ada pihak yang

tidak mau/ lalai melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka

pihak yang merasa menang/puas atas putusan tersebut dapat

melaksanakan dengan cara minta bantuan kepada pejabat yang

berwenang yaitu Ketua Pengadilan Negeri sesuai prosedur yang telah

diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V

PENUTUP

5. 1. Kesimpulan

Penyelesaian perkara menggunakan arbitrase menjadi satu alternatif untuk

menemukan solusi yang sesuai dengan kehendak para pihak. Prosedur arbitrase

yang dilaksanakan antara negara/pemerintah/BUMN dengan masyarakat atau

swasta terkait dengan tugas dan fungsi Jaksa Pengacara Negara. Yaitu dalam

menjalankan bantuan hukum secara litigasi diluar peradilan perdata dengan

memperhatikan kesepakatan para pihak dan melalui BANI (Badan Arbitrare

Negara Indonesia)/ lembaga arbitrase lainnya.

28
Sebelum JPN melaksanakan bantuan hukum , ada beberapa prosedur yang

penuhi antara lain yaitu adanya permohonan, dibuatnya surat kuasa khusus,

dilakukannya telaah maupun ditentukannya cara apakah melalui litigasi atau

non litigasi. Pelaksanaan arbitrase dipimpin oleh seorang arbiter. Pelaksanaan

putusan arbitrase dapat dilakukan baik secara sukarela maupun paksa.

5. 2. Saran

Berdasarkan program kerja praktek yang telah dilaksanakan oleh praktikan

selama 20 hari kerja di Kejaksaan Negeri Kudus, maka praktikan ingin

memberikan saran bagi pihak-pihak terkait maupun terhadap laporan kerja

praktikan. Kejari Kudus diharapkan dapat lebih aktif dalam memberikan

pekerjaan kepada mahasiswa yang sedang melaksanakan kerja praktek.

Selanjutnya Kejari Kudus diharapkan dapat menyediakan sarana dan prasarana

bagi mahasiswa yang sedang melaksanakan kerja praktek agar pelaksanaan

kerja praktek dapat lebih efektif dan efisien sehingga dapat memberikan

manfaat bagi Kejari Kudus juga praktikan sendiri.

Terhadap laporan kerja praktek, sebaiknya lebih mendalami pemahaman

judul pada prakteknya dengan cara wawancara maupun studi pustaka yang

terkini. Pemberian data pendukung harus ditingkatkan agar memberikan

pemahaman yang lebih bagi pembaca maupun praktikan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

- Harahap, M Yahya. 2003. Arbitrase. Jakarta : Sinar Grafika.

29
- Makarao, Moh Taufik. 2004. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata.

Jakarta : Rineka Cipta.

- Sutiyoso, Bambang. 2006. Penyelesaian Sengketa Bisnis.

Yogyakarta: Citra Media.

- Sutiarso,Cicut. 2017 .Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam

Sengketa Binis.Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

2. Jurnal

- Pujiyono. 2018. Kewenangan Absolut Lembaga Arbitrase.

Rechtsvinding, 7(2), 243-260.

3. Undang-Undang

- Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.

- Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER. 025/A/JA/11/2015 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Penegakan hukum, Bantuan Hukum,

Pertimbangan Hukum,Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan

Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

30
DOKUMENTASI

31

Anda mungkin juga menyukai