Anda di halaman 1dari 203

LP (LAPORAN PENDAHULUAN)

TUGAS KEPERAWATAN KESEATAN ANAK II

Di susun oleh kelompok

Endang mustofa NIM (G1A160029)

Firdaus nurul azmi NIM (G1A160032)

Guntur nuralam NIM (G1A160018)

Oki prirahayu NIM (G1A160013)

Sun-sun sunandar NIM (G1A160030)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU


KEPERAWATAN UNIVERSITAS BALE BANDUNG

2019

i
DAFTAR ISI

LAPORAN PENDAHULUAN DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF)..................................3


LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL (RM).......................................................9
LAPORAN PENDAHULUAN (AIDS PADA ANAK)................................................................20
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 1 (DM JUVENILE)
.........................................................................................................................................37
LAPORAN PENDAHULUAN LEUKIMIA PADA ANAK..........................................................47
LAPORAN PENDAHULUAN RETINOBLASTOMA PADA ANAK.............................................56
LAPORAN PENDAHULUAN ATTENTION DEFICIT HYPERAKTIVITY DISORDER (ADHD).......62
LAPORAN PENDAHULUAN VENTRIKEL SEPTUM DEFEK (VSD)..........................................70
LAPORAN PENDAHULUAN TUMOR WILMS......................................................................75
LAPORAN PENDAHULUAN TOF........................................................................................89
LAPORAN PENDAHULUAN THALASEMIA..........................................................................98
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN SINDROM NEFROTIK......................106
LAPORAN PENDAHULUAN SLE ( SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)...........................112
LAPORAN PENDAHULUAN (RHD)...................................................................................122
LAPORAN PENDAHULUAN HISPRUNG............................................................................130
LAPORAN PENDAHULUAN AUTISME PADA ANAK..........................................................142
LAPORAN PENDAHULUAN PDA......................................................................................152
LAPORAN PENDAHULUAN GLOMERUNEFRITIS KRONIK (GNC)......................................158
LAPORAN PENDAHULUAN ATRESIA BILLIER...................................................................164
LAPORAN PENDAHULUAN ATRESIAANI..........................................................................176
PERIOPERATIF CARE PADA ANAK...................................................................................184

ii
LAPORAN
PENDAHULUAN DENGUE
HAEMORRHAGIC FEVER
(DHF)
a. Definisi

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh


virus dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh
penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). DHF terutama
menyerang anak remaja dan dewasa dan seringkali menyebabkan kematian bagi
penderita (Christantie Effendi, 1995).

b. Gambaran klinis

Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan


masa inkubasi antara 13 – 15 hari. Penderita biasanya mengalami demam akut
(suhu meningkat tiba-tiba) sering disertai menggigil, saat demam pasien
composmentis. (Nelson. 1997)

Gejala klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya
perdarahan pada saat demam dan jarang pula dijumpai saat penderita mulai bebas
dari demam. Perdarahan yang terjadi dapat berupa :

 Perdarahan pada kulit (ptekie, ekimosis, hematom)


 Perdarahan lain seperti epistaksis, hematemesis, hematuri dan melena.
Selain demam dan perdarahan yang merupakan ciri khas DHF, gambaran
klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada penderita DHF adalah :

 Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu


menelan.
 Keluhan pada saluran pencernaan : mual, muntah, tidak nafsu makan
(Anoreksia), diare, konstipasi.
 Keluhan sistem tubuh yang lain : nyeri atau sakit kepala, nyeri pada
otot, tulang dan sendi, (break bone fever), nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati,
pegal-pegal pada seluruh tubuh, kemerahan pada kulit, kemerahan (fushing) pada

3
muka, pembengkakan sekitar mata, kakrimasi dan fotophobia, otot-otot sekitar
mata sakit bila disentuh dan pergerakan bola mata terasa pegal. (Mansjoer, A.
2000)
c. Klasifikasi

DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi


menjadi (WHO, 1986) :

1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan uji torniquet (+),
trombositopenia dan hemokonsentrasi.

2. Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau di tempat lain.

3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah
(hipotensi), gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung dan ujung jari (tanda-tanda dini
renjatan).

4. Derajat IV
Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

d. Patofisiologi

Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya


permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma
ke ruang ekstra seluler. Hal pertama yang terjadi setelah masuk ke dalam tubuh
penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit
kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik merah
pada kulit (ptekie), hiperemi tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi
seperti pembesaran getah bening, pembesaran hati (hepatomegali) dan
pembesaran limpha (splenomegali). (Tjokronegoro Arjatmo, Utama Hendra, 1996

4
e. Pemeriksaan penunjang

Untuk menegakkan diagnosa DHF, perlu dilakukan berbagai


pemeriksaan Lab, antara lain pemeriksaan darah dan urine serta
pemeriksaan serologi. Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai:

 Ig G dengue positif
 Trombositopenia
 Hemoglobin meningkat > 20%
 Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat)
 Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan : hipoproteinemia,
hiponatremia, hipokloremia.
(Mansjoer, A. 2000)

5
f. Pathway

g. Penatalaksanaan

1. Tirah baring
2. Diet makan lunak
3. Minum banyak (2 - 2,5 liter/24 jam) dapat berupa susu, teh manis, sirup dan beri
penderita oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi
penderita DHF.

6
4. Pemberian cairan intravena (biasanya Ringer Laktat, NaCl faali). Ringer Laktat
merupakan cairan intravena yang paling sering digunakan, mengandung Na+ 130
mEg/l, K+ 4 mEg/l, korektor basa 28 mEg/l, Cl- 109 mEg/l, dan Ca++ 3 mEg/l.
5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernapasan). Jika kondisi
pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6. Periksa Hb, Ht dan Trombosit setiap hari.
7. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin, dan
dipiron (kolaborasi dengan dokter).
8. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9. Pemberian antibiotika bila terdapat kekhawatiran infeksi sekunder (kolaborasi
dengan dokter).
10. monitor tanda-tanda dini renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda
vital, hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11. Bila timbul kejang dapat diberikan diazepam (kolaborasi dengan dokter).
h. Data yang dikaji

Data Subyektif :

 Lemah
 Panas/demam
 Sakit kepala
 Anoreksia (tidak nafsu makan) : mual, muntah, haus, sakit sakit saat
menelan.
 Nyeri ulu hati
 Nyeri pada otot dan sendi
 Pegal-pegal pada seluruh tubuh
 Konstipasi (sembelit)

7
Data Obyektif

 Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan (flushing)


 Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor (kadang-kadang)
 Tampak bintik merah pada kulit (ptekie), uji torniquet positif, epistaksis
(perdarahan hidung), ekimosis, hematoma, hematemesis, melena
 Hiperemia pada tenggorokan
 Nyeri tekan pada epigastrik
 Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limfa
 Pada renjatan (derajat IV) : nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas
dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal

i. Diagnosa keperawatan

1. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan penyakit (viremia).


2. Potensial terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
3. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan mekanisme patologis (proses
penyakit).
5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan
pasien selama sakit berhubungan dengan kurangnya informasi. (Lynda Juall
Carpenito, 1999)

8
LAPORAN
PENDAHULUAN
RETARDASI MENTAL (RM)

a. Pengertian

American Association on Mental Deficiency(AAMD)membuat definisi


retardasi mental yang kemudian direvisi oleh Rick Heber (1961) sebagai suatu
penurunan fungsi intelektual secara menyeluruh yang terjadi pada masa
perkembangan dan dihubungkan dengan gangguan adaptasi sosial. Ada 3 hal
penting yang merupakan kata kunci dalam definisi ini yaitu penurunan fungsi
intelektual, adaptasi sosial, dan masa perkembangan.

Retardasi mental ialah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti


atau tidak lengkap, yang terutama ditandai dengan adanya rendahnya
( impairment) keterampilan ( kecakapan, skill ) selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh terhadap intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa,
motorik dan sosial. ICG ( WHO, 1992 )

Menurut Crocker AC 1983, retadarsi mental adalah apabila jelas terdapat


fungsi intelegensi yang rendah, yang disertai adanya kendala dalam penyesuaian
perilaku, dan gejalanya timbul pada masa perkembangan.

Retardasi Mental adalah kelainan fungsi intelektual yang subnormal terjadi


pada masa perkembangan dan berhubungan dengan satu atau lebih gangguan dari:

a. Maturasi
b. Proses belajar
c. Penyesuaian diri secara social

9
b. Etiologi

Kelainan ini dapat digolongkan menjadi :

 Penyebab Organik

1). Faktor prenatal :

a) Penyakit kromosom ( Trisomi 21 ( Sindrom Down)


b) Kelainan genetik/herediter
c) Intoksikasi
d) Gangguan metabolisme sejak lahir ( Fenilketonuria )

2). Faktor Perinatal :

a) Abrupsio plasenta
b) Diabetes maternal
c) Kelahiran premature
d) Kondisi neonatal termasuk meningitis dan perdarahan intracranial

3). Faktor Pasca natal :

a) Cedera kepala
b) Infeksi
c) Gangguan degeneratif

 Penyebab non organik

a) Kemiskinan dan keluarga tidak harmonis


b) Sosial cultural
c) Interaksi anak kurang
d) Penelantaran anak

10
11
 Penyebab lain :
Keturunan,pengaruh lingkungan dan kelainan mental lain
Retardasi mental dapat juga disebabkan oleh gangguan psikiatris berat
dengan deviasi psikososial atau lingkungan ( Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta )

c. Manisfestasi Klinik
a. Gangguan kognitif ( pola, proses pikir )
b. Lambatnya ketrampilan ekspresi dan resepsi bahasa
c. Gagal melewati tahap perkembangan yang utama
d. Lingkar kepala diatas atau dibawah normal ( kadang-kadang lebih besar atau lebih
kecil dari ukuran normal )
e. Kemungkinan lambatnya pertumbuhan
f. Kemungkinan tonus otot abnormal ( lebih sering tonus otot lemah )
g. Kemungkinan ciri-ciri dismorfik
h. Terlambatnya perkembangan motoris halus dan kasar

d. Patofisiologi
Retardasi mental merujuk pada keterbatasan nyata fungsi hidup sehari-
hari. Retardasi mental ini termasuk kelemahan atau ketidakmampuan
kognitif yang muncul pada masa kanak-kanak ( sebelum usia 18 tahun )
yang ditandai dengan fungsi kecerdasan di bawah normal ( IQ 70 sampai
75 atau kurang ) dan disertai keterbatasan-keterbatasan lain pada
sedikitnya dua area fungsi adaftif : berbicara dan berbahasa ,
kemampuan/ketrampilan merawat diri, kerumah tanggaan, ketrampilan
sosial, penggunaan sarana-sarana komunitas, pengarahan diri , kesehatan
dan keamanan , akademik fungsional, bersantai dan bekerja. Penyebab
retardasi mental bisa digolongkan kedalam prenatal, perinatal dan pasca
natal. Diagnosis retardasi mental ditetapkan secara dini pada masa kanak-
kanak.

12
e. Klasifikasi

Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders ,


WHO, Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan yaitu :

a. Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69


Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental
dapat dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih
mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara
klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara
independen (makan, mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan
kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari
ukuran normal. Kesulitan utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik
sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam membaca dan menulis. Dalam
konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit kemampuan akademik, mereka
tidak ada masalah. Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial,
akan terlihat bahwa mereka mengalami gangguan, misal tidak mampu
menguasai masalah perkawinan atau mengasuh anak, atau kesulitan
menyesuaikan diri dengan tradisi budaya.
b. Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat
dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan per
kembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya
terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor
juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya mem- butuhkan
pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih
ssbisa belajar dasar- dasar membaca, menulis dan berhitung.

13
c. Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34

Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan


retardasi mental sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan
keadaan-keadaan yang terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi
mental berat ini biasanya mengalami kerusakan motor yang bermakna
atau adanya defisit neurologis. Kelompok retardasi mental berat ini
hampir sama dengan retardasi mental sedang dalam hal gambaran klinis,
penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait. Perbedaan utama
adalah pada retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan
motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis.

d. Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20

Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat


terbatas kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau
instruksi. Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya
mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.

14
Tabel 1: Klasifikasi retardasi mental dalama setiap usia perkembangan

RM IQ Usia Usia Sekolah Usia Dewasa


Prasekolah (0-21 tahun) (>21 tahun)
(0-5 tahun)
Sangat <20 Retradasi jelas Beberapa Perkembangan
berat Perkembangan motorik motorik dan
dapat berespon namun bicara sangat
terbatas terbatas

Perkembangan Dapat bicara atau Dapat berperan


Berat 20- motorik yang berkomunikasi namun sebagian dalam
23 miskin latihan kejujuran tidak pemeliharaan
bermanfaat diri sendiri
dibawah
pengawasan
ketat

Dapat Latihan dalam Dapat bekerja


berbicara atau keterampilan social dan sendiri tanpa
Sedang 35- belajar pekerjaan dapat dilatih namun
49 berkomunikasi bermanfaat, dapat pergi perlu
, ditangani sendiri ketempat yang pengawasan
dengan telah dikenal terutama jika
pengawasan berada dalam
sedang stress

Dapat Dapat belajar Biasanya dapat


mengembangk keterampilan akademik mencapai
Ringan 50- an sampai ± kelas 6 SD keterampilan
69 keterampilan social dan
social dan kejujuran namun
komunikasi, perlu bantuan
retradasi terutama bila
minimal stress

15
f. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang


menderita retardasi mental, yaitu dengan:
1.      Kromosomal Kariotipe
a.       Terdapat beberapa kelainan fisik yang tidak khas
b.      Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen
c.       Terdapat beberapa kelainan kongenital
d.      Genetalia abnormal
2.      EEG ( Elektro Ensefalogram)
a.       Gejala kejang yang dicurigai
b.      Kesulitan mengerti bahasa yang berat
3.      CT ( Cranial Computed Tomography) atau MRI ( Magnetic Resonance
Imaging)
a.       Pembesaran kepala yang progresif
b.      Tuberous sklerosis
c.       Dicurigai kelainan otak yang luas
d.      Kejang lokal
e.       Dicurigai adanya tumor intrakranial
4.      Titer virus untuk infeksi kongenital
a.       Kelainan pendengaran tipe sensorineural
b.      Neonatal hepatosplenomegali
c.       Petechie pada periode neonatal
d.      Chorioretinitis
e.       Mikroptalmia
f.       Kalsifikasi intrakranial
g.      Mikrosefali
5.      Serum asam urat ( uric acid serum)
a.       Gout
b.      Sering mengamuk

16
6.      Laktat dan piruvat darah
a.       Asidosis metabolik
b.      Kejang mioklonik
Beberapa uji tumbuh kembang:
 Uji intelegensi standar ( stanford binet, weschler, Bayley Scales of infant
development )
 Uji perkembangan seperti DDST II
 Pengukuran fungsi adaftif ( Vineland adaftive behaviour scales,
Woodcock-Johnson Scales of independent Behaviour, School edition of
the adaptive behaviour scales ).

e. Pencegahan

1.Pencegahan primer
Dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat,
perbaikan keadaan-sosio ekonomi, konseling genetik dan tindakan
kedokteran (umpamanya perawatan prenatal yang baik, pertolongan
persalinan yang baik, kehamilan pada wanita adolesen dan diatas 40 tahun
dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-anak).
2.Pencegahan sekunder
Meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak,
perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu
cepat, dapat dibuka dengan kraniotomi; pada mikrosefali yang kogenital,
operasi tidak menolong).
3.Pencegahan tersier
Merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya
disekolah luar biasa. Dapat diberi neuroleptika kepada yang gelisah,
hiperaktif atau dektrukstif. Konseling kepada orang tua dilakukan secara
fleksibel dan pragmatis dengan tujuan antara lain membantu mereka dalam
mengatasi frustrasi oleh karena mempunyai anak dengan Retardasi mental.

17
f. Penatalaksanaan
1.) Farmakologi
Anak Retardasi mental biasanya disertai dengan gejala hyperkinetik (selalu
bergerak, konsentrasi kurangdan perhatian mudah dibelokkan). Obat-obat yang
sering digunakan dalam bidang retardasi mental adalah terutama untuk menekan
gejala-gejala hyperkinetik, misalnya :
a. Amphetamin dosis 0,2 - 0,4 mg/kg/hari
b. Imipramin dosis ± 1,5 mg/kg/hariEfek sampingan kedua obat diatas dapat
menimbulkan convulsi
c. Valium, Nobrium, Haloperidol dsb. dapat juga menekan gejala
hyperkinetik
Obat-obatan untuk konvulsi :
a. Dilantin dosis 5 - 7 mg/kg/hari (Dilantin dapat juga menurunkan gejala
hyperkinetik, gejalagangguan emosi dan menaikkan fungsi berfikir).
b. Phenobarbital dosis 5 mg/kg/hari (Phenobarbital dapat menaikkan gejala
hyperkinetik).
c. Cofein : baik untuk convulsi dan menurunkan gejala hyperkinetik
Obat-obatan untuk menaikkan kemampuan belajar :
a. Pyrithioxine (Encephabol, Cerebron).
b. Glutamic acid.
c. Gamma amino butyric acid (Gammalon).
d. Pabenol.
e. Nootropil.
f. Amphetamin dsb.
2.) Non Farmakologi
Psikoterapi dapat diberikan baik pada anaknya sendiri maupun pada
orang tuanya. Untuk anak yang terbelakang dapat diberikan psikoterapi
individual, psikoterapi kelompok dan manipulasi lingkungan(merubah
lingkungan anak yang tidak menguntungkan bagi anak tersebut).
Walaupun tak akan dapat menyembuhkan keterbelakangan mental,
tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakanperubahan

18
sikap, tingkah laku, kemampuan belajar dan hasil kerjanya. Yang penting
adalah adanya ketekunan, kesadaran dan minat yang sungguh dari pihak
terapis (yang mengobati).
Terapis bertindak sebagai pengganti orang tua untuk membuat
koreksi-koreksi terhadaphubungan yang tak baik ini. Dari pihak perawat
diperlukan juga ketekunan dan kesadaran dalam merawatanak-anak
dengan retardasi mental serta melaporkan kepada dokter bila dalam
observasi terdapattingkah laku anak maupun orang tua yang negatif,
merugikan bagi anak tersebut maupun lingkungannya(teman-teman
disekitarnya).
Social worker (pekerja sosial) melakukan kunjungan rumah untuk
melihat hubungan anak denganorang tua, saudara-saudaranya maupun
dengan masyarakat sekitarnya. Tugasnya utama mencari data-data anak
dan orang tua serta hubungan anak dengan orang-orang disekitarnya.
Untuk ibu atau orangtua anak dengan retardasi mental dapat diberikan
family terapi (terapi keluarga) untuk mengubah sikaporang tua atau
saudaranya yang kurang baik terhadap penderita. Dapat diberikan juga
terapi kelompok dengan ibu-ibu.
Anak retardasi mental lainnya, seminggu sekali selama 12 kali.
Tujuannya untuk mengurangi sikaprendah diri, perasaan kecewa dari ibu
tersebut karena ternyata banyak ibu lain yangmengalami nasib serupa,
mempunyai anak dengan retardasi mental. Dengan demikian ibu
dapatbersikap lebih realistik dan lebih dapat menerima anaknya serta dapat
merencanakan program yang baikbagi anaknya. Di luar negeri social
worker yang bertugas memberi terapi kelompok untuk ibu-ibu tersebut di
atas.

g. Komplikasi
a. Serebral palcy
b. Gangguan kejang
c. Gangguan kejiwaan

19
d. Gangguan konsentrasi /hiperaktif
e. Defisit komunikasi
f. Konstipasi
h. Perencanan Pulang dan Perawatan di Rumah
a) Rujuk anak dan keluarga ke lembaga dan ahki yang dapat memberi bantuan
khusus sehubungan dengan perawatan anak serta perawatan dan hygene gigi
b) Rujuk keluarga ke lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk konseling genetik,
bantuan keuangan, peralatan adaptif, dan layanan-layanan pendukung
c) Bekerja sama dengan kelurga dalam membentuk dan mengimplementasikan
renacana perbaikan perilaku
d) Fasilitas pembelajaran keterampilan yang benar dalam hal sosial, kemasyarakatan,
komunikasi, keamamanaan masyarakat, dan menghindari orang asing ,serta
perkembangan minat berhubungan dengan kelompok sebaya dan bersantai dan
berekreasi.
e) Fasilitas keikutsertaan anak dalam program sekolah, program rekreasi, dan
lingkungan masyarakat.

i. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d. kelainan fungsi kognitif
2) Gangguan komunikasi verbal b.d. kelainan fungsi kognitif
3) Risiko cedera b.d. perilaku agresif ketidakseimbangan mobilitas fisik
4) Gangguan interaksi social b.d. kesulitan bicara/ kesulitan adaptasi sosial
5) Gangguan proses keluarga b.d. memiliki anak retardasi mental
6) Deficit perawatan diri b.d. perubahan mobilitas fisik /kurangnya kematangan
perkembangan.

20
LAPORAN
PENDAHULUAN (AIDS
PADA ANAK)

A. Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan
alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya
sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan
kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri,
jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai
infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan
memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan
sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara
bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus
yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia
(Pustekkom, 2005).

21
C.   Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini
tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri;
induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen;
penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan
kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan
kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi
HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan
kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus
laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ, terutama
otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat
viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan
astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari
otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun
sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi
virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada
replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan
imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase
asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada
saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan

22
imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV,
dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan
pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi
aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “
priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum
lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa.
Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama
berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody
nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada
dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk
berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis
mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi
dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi
limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi
dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering
memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik
mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang
berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda
dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan
frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.

D. Tanda Dan Gejala


Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis
dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak
tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal
masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu,
pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi

23
dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting
untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila
mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak
terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen
Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang,
hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai
nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2
bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi
HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda
awal infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi
memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan
angka yang lebih rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini,
kondisi yang didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi
adalah kandidiasis kronik, parotitis, limfadenopati persistem, hepatosplenomegali.
Otitis media, tinitis, deman yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata
paling sering pada bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.

PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI


HIV PADA ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda
infeksi HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin
memiliki fungsi imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal
berkembang,   limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare

24
rekuren atau persistem yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren,
kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster
multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau
limforma otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati,
gangguan hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan
berkembang menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan
menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6
bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4
mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa
derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan
perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan
keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama.
Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan berkembang menjadi
AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS” merupakan kebergunaan yang
sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV, tetapi
penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan
penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan
penyakit. Masing-masing dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator
AIDS paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang
terinfeksi. Usia rata untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan,
meskipun puncaknya sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang

25
berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi ini
biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala
subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit
dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-
sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan
penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar
diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi beresiko dengan gambaran
klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada awal penelitian
dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali
bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan
kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan trimetoprim-
sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan
kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi
muda dengan perkembangan gejala terkait HIV yang cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik telah
ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi
terjadi pada sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan
dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik
eksa-serbasi intermiten (sering selama infeks respirasi yang terjadi di antara
infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering
menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya
untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa
tahun, dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang
timbul pada infeksi HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan sering
terlihat pada kelompok gejala dengan hipergamaglobulinemia yang nyata dan
parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri
rekuren adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses
internal, atau infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak
dengan AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus
rekuren atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering terjadi.

26
Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang paling sering pada anak
yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan bakteremia
pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada anak yang
terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu
imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang
efektif dan kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi HIV rentang
terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan immunoglobulin
intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat
munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi
ini dalam bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun
pertaman dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan,
terjadi ensefalopati progresif, dengan kehilangan kejadian yang penting
sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf dapat
memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau klasifikasi ganglion
basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan sering tidak
berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan
menyebabkan perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan deficit
perkembangan saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut
terjadi pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu
multifaktorial. Deficit system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam
mengunyah; abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi
HIV primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi
infeksi sering berperang pada masalah yang menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik
memenuhi AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric
adalah esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks,
Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama
pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren dan ekstensif
sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang menyebabkan penyakit

27
berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang lazim,
mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang
berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering
mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis
berfluktuasi. Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi
yang terinfeksi pada tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat
disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh
infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain. Penyakit ginjal yang
sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria. Perubahan mesangial dan
glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang paling sering
terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan pada separuh
anak semua usia penyakit HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik hanya
12 sampai 20%; efusi pericardial dan gangguan fungsi ventrikel merupakan
kelainan ekokardiografi yang paling sering ditemukan. Meskipun frekuensi
penyakit paru kronik pada pasien ini, terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih
sering daripada yang kanan. Tekanan HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan
infeksi bersama dengan virus miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai
etiologi. Fenomena autoimun mencakup anemia hemolitik positif-coombs dan
trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder lain jarang pada anak yang
terinfeksi HIV.
E. Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan
awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada
perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan
bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan
konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara transplasenta pada
bayi merupakan komplikasi pemakaian uji antibody konversional dalam
mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena antibodi seperti ini dapat
menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis

28
infeksi pada bayi beresiko memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau
adanya antigen HIV (antigen p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai
polymerase HIV (PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan HIV darah perifer
dapat diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya)
diagnosis infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika dilakukan
dengan tepat mempunyai angka positivitas palsu rendah yang dapat diterima dan
dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua usia. Sensitivitas pada
tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal, membuat diperlukannya tes serial.
Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic
dianjurkan sekurang-kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua
diberitahukan bahwa anaknya terinfeksi, konfirmasi dan tinjauan semua uji
laboratorium dianjurkan.
Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV
tampak dengan gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi imun,
diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain. Kenyataan bahwa
infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama defisiensi imun pada anak
yang lebih mudah membantu saat membersihkan konseling orang tua berkenang
dengan uji serologi.
Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif
yang dikonfirmasi untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western atau
tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV.
Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV akan memiliki
antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga konfirmasi virologi
diharapkan. Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan pada
serologi saja adalah bayi yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan antibody
spesifik HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang menjadi
seronegatif setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody
itu sendiri.

29
F. Komplikasi
1.      Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai
oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan
gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di
balik sternum (nyeri retrosternal).
2.      Neurologik
•   ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit
kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik,
apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan
dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong,
hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan
kematian.
•   Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,
kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis
ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.

30
1.    Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui
untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10%
dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang
kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang
dapat menjelaskan gejala ini.
 Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
   Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4.      Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi
infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare
(MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5.      Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes
zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri
dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis
sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai
kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan
dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.

31
6.      Sensorik
  Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
  Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV.
Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan
latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau
tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes
lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase
chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes
antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1.      Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
 ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
   Western blot (positif)
 P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
   Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2.      Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
   Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
   Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat)

32
G. Penatalaksanaan
1)      Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
 Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
 Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang
ada
 Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim
RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA
HIV
 Mengatasi dampak psikososial
   Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit,
dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
 Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

H. Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi
dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda
supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan
tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun
dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau
persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan
terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis
dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan
Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah

33
CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem
saraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin
digunakan untuk pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan
sekali berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain
untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk anak-anak
dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-
anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz dan Sowden,
2002).

I. Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia
kemungkinan akan memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun
dimasa depan yang dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor
resiko untuk infeksi HIV adalah target esensial untuk usaha mengurangi
perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk dokter spesialis anak,
kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga secara efektif
mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama usaha
pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari The
American Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics
yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan
kompetensi yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan
tepat dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua
harus menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil.
Rekomendasi ini penting karena uji coba pengobatan mutakhir
menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan obat yang
sama selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka
transmisi dari ibu ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1
mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan
zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu

34
kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada
neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada
26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu
perbedaan yang sangat bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah
menghasilkan pedoman untuk penggunaan zidovudin pada wanita hamil
HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang
HIV-1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai
anak limfosid CD4 +  200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada
pada terapi atteretrovirus dianjurkan menggunakan zidovudin. Zidovudin
intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan infus terus
menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan selama proses
kelahiran. Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk
mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2
mg/kg setiap 6 jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam
sesudah lahir). Jika ibu HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin,
zidovudin harus dimulai pada bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah
lahir, tidak ada bukti yang mendukung kemajuan obat dalam mencegah
infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan
zidovudin harus diamati dengan ketak untuk kejadian-kejadian yang
merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai kemungkinan kejadian
yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya anemia ringan reversible
yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan pendekatan ini
secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan
wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup
penghindaran pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian
integral program yang mengurangi penyakit yang ditularkan secara
seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan
banyak mitra adalah biasa pada remaja yang terinfeksi HIV-1.

J. Diagnosa Keperawatan

35
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan
pada anak dengan HIV antara lain:
1)      Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret
sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2)      Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3)      Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4)      Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5)      Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6)      Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,
adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8)      Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9)      Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
10)  Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.

K.   Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV
antara lain
(Rencana Keperawatan Terlampir)

36
Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV
antara lain :
1.      Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak
biasa dari orang ke orang tidak menularkan HIV
2.      Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau
cairan tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila
akan terpajan darah atau cairan tubuh, pakai masker dengan pelindung
mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi atau terkena percikan
darah atau cairan tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan
tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-sampah yang
terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah
khusus.
3.      Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah
dengan cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang
non infeksi dan batasi pengunjung dengan penyakit infeksi.
4.      Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan
(tinggi badan, berat badan, lingkar kepala
5.      Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6.      Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila
terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga
memberitahu dokter tentang adanya efek samping
7.      Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak
lanjut : nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain
yang sesuai, tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak
lanjut

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum
terinfeksi HIV antara lain :

37
1.      Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa
kondom
2.      Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara
bersama secara bergantian atau tercemar darah mengandung HIV.
3.      Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih dahulu.
4.      Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan
spontan/normal sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5.      HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan
(kontak sosial), berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin,
berbagi makanan atau menggunakan peralatan makan bersama, gigitan
nyamuk atau serangga lain, berenang bersama, dan memakai toilet
bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular HIV.

38
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA
ANAK DENGAN DIABETES
MELITUS TIPE 1 (DM
JUVENILE)

A. Pengertian
Diabetes melitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, di antaranya adalah
gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau
gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Magge S. 2005).
Sebagai negara berkembang, Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup
pesat, terutama di beberapa daerah tertentu. Pertumbuhan ini juga diikuti dengan
perubahan dalam masyarakat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, gaya hidup,
perilaku, dan sebagainya. Namun, perubahan-perubahan ini juga tak luput dari
efek negatif. Salah satu efek negatif yang timbul dari perubahan gaya hidup
masyakarat modern di Indonesia antara lain adalah semakin meningkatnya angka
kejadian Diabetes Mellitus(DM) yang lebih dikenal oleh masyarakat awam
sebagai kencing manis.
Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik yang bersifat kronik. Oleh
karena itu, onset Diabetes Mellitus yang terjadi sejak dini memberikan peranan
penting dalam kehidupan penderita. Setelah melakukan pendataan pasien di
seluruh Indonesia selama 2 tahun, Unit Kelompok Kerja (UKK) Endokrinologi
Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendapatkan 674 data penyandang
Diabetes Mellitus tipe 1 di Indonesia. Data ini diperoleh melalui kerjasama
berbagai pihak di seluruh Indonesia mulai dari para dokter anak, endokrinolog
anak, spesialis penyakit dalam, perawat edukator Diabetes Mellitus, data Ikatan
Keluarga Penyandang Diabetes Mellitus Anak dan Remaja (IKADAR),
penelusuran dari catatan medis pasien, dan juga kerjasama dengan perawat
edukator National University Hospital Singapura untuk memperoleh data
penyandang Diabetes Mellitus anak Indonesia yang menjalani pengobatannya di
Singapura. Data lain dari sebuah penelitian unit kerja koordinasi endokrinologi

39
anak di seluruh wilayah Indonesia pada awal Maret tahun 2012 menunjukkan
jumlah penderita Diabetes Mellitus usia anak-anak juga usia remaja dibawah 20
tahun terdata sebanyak 731 anak. Ilmu Kesehatan Anak FFKUI (Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia) melansir, jumlah anak yang terkena Diabetes
Mellitus cenderung naik dalam beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2011 tercatat
65 anak menderita Diabetes Mellitus, naik 40% dibandingkan tahun 2009. Tiga
puluh dua anak di antaranya terkena Diabetes Mellitus tipe 2. (Pulungan, 2010)
Peningkatan jumlah penderita Diabetes Mellitus yang cukup signifikan di
Indonesia ini perlu mendapatkan perhatian seiring dengan meningkatnya risiko
anak terkena Diabetes Mellitus. Deteksi dini pada Diabetes Mellitus merupakan
hal penting yang harus dilakukan untuk menghindari kesalahan atau
keterlambatan diagnosis yang dapat mengakibatkan kematian. Diabetes Mellitus
tipe 1 yang menyerang anak-anak sering tidak terdiagnosis oleh dokter karena
gejala awalnya yang tidak begitu jelas dan pada akhirnya sampai pada gejala
lanjut dan traumatis seperti mual, muntah, nyeri perut, sesak nafas, bahkan koma.
Dengan deteksi dini, pengobatan dapat dilakukan sesegera mungkin terhadap
penyandang Diabetes Mellitus sehingga dapat menurunkan risiko kecacatan dan
kematian (Pulungan, 2010)
.
B. Epidemiologi
Angka kejadian diabetes di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500 anak (pada
anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari setiap 350 anak (pada usia 18 tahun). Puncak
kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal pubertas
seorang anak. Kejadian pada laki dan perempuan sama (Weinzimer SA, Magge S.
2005).
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia, Denmark serta
Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap 100.000 penduduk.
Insiden di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu penduduk/tahun, di Afrika
5/100.000 penduduk/tahun, di Asia Timur kurang dari 2/100 ribu penduduk/tahun
(Weinzimer SA, Magge S. 2005).

40
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data
registri nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi Anak PP
IDAI, terjadi peningkatan dari jumlah sekitar 200-an anak dengan DM pada tahun
2008 menjadi sekitar 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan
angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM
yang meninggal tanpa terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun
belum semua pasien DM tipe 1 yang dilaporkan. Data anak dengan DM di
Subbagian endokrinologi anak IKA FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta
tahun 2008-2010 adalah sebanyak 11 penderita
DM dengan rincian 4 meninggal karena KAD (semuanya DM tipe 1).
Sedangkan 6 anak yang hidup sebagai penderita DM terdiri dari 3 anak DM tipe 1
serta 4 anak DM tipe 2.

C. klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1). DM tipe 1
terjadi disebabkan oleh karena kerusakan sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi
dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi
insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi
insulin. Pada DM tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan
meningkat. DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin
lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, kantosis nigrikans, hipertensi ataupun
hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk. 2010).
Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009).
1. DM Tipe-1 (destruksi sel-β)
a. Immune mediated
b. Idiopatik
2. DM tipe-2
3. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel
b. Defek genetik pada kerja insulin

41
c. Kelainan eksokrin pankreas

42
Pankreatitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasia; Kistik fibrosis; Haemokhromatosis;
Fibrokalkulus pankreatopati; dll.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukagonoma; Feokromositoma;
Hipertiroidisme; Somatostatinoma; Aldosteronoma; dll.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam Nikotinik; Glukokortikoid; Hormon tiroid;
Diazoxid; Agonis -adrenergik; Tiazid; Dilantin; -interferon; dll.
4. Diabetes mellitus kehamilan
Sumber: ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009.

D. kriteria diagnosis

Diabetes melitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan


gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu
kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM. Sedangkan bila tanpa gejala, maka
diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang
berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines
2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah:
1. Kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl atau
2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dl atau
3. Kadar gula darah 2 jam postprandial >200 mg/dl.
Untuk menegakkan diagnosis DM tipe 1, maka perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang, yaitu C-peptide <0,85 ng/ml. C-peptide ini
merupakan salah satu penanda banyaknya sel β-pankreas yang masih
berfungsi. Pemeriksaan lain adalah adanya autoantibodi, yaitu Islet cell
autoantibodies (ICA), Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (65K
GAD), IA2( dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase)
autoantibodies dan Insulin autoantibodies (IAA). Adanya autoantibodi
mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya

43
pemeriksaan autoantibodi ini relatif mahal (Rustama DS, dkk. 2010;
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009).

E. Etiologi
Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab diabetes
tipe- 1.
Namun yang pasti penyebab utama diabetes tipe 1 adalah faktor
genetik/keturunan. Resiko perkembangan diabetes tipe 1 akan diwariskan melalui
faktor genetik.
1. Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya
DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA (human leucosite antigen). HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan
proses imun lainnya.
2. Faktor-faktor Imunologi
Adanya respons autotoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan
asing, yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin
endogen.
3. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.

F. Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines tahun 2009, yaitu:
 Periode pra-diabetes
 Periode manifestasi klinis diabetes

44
 Periode honey-moon
 Periode ketergantungan insulin yang menetap.

45
1. Periode pra-diabetes
Pada periode ini gejala-gejala klinis diabetes belum nampak karena baru ada
proses destruksi sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu memungkinkan
terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan
mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-peptide mulai
menurun. Pada periode ini autoantibodi mulai ditemukan apabila dilakukan
pemeriksaan laboratorium.
2. Periode manifestasi klinis
Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah
terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi insulin sangat
kurang, maka kadar gula darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang
melebihi 180 mg/dl akan menyebabkan diuresis osmotik. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin (poliuria,
dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake kedalam sel,
penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus.
Pada periode ini penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake
kedalam sel.
3. Periode honey-moon
Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode ini
sisa-sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin
dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan
berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kg berat badan/hari. Namun periode ini hanya
berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu
adanya edukasi ada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang
menetap.
4. Periode ketergantungan insulin yang menetap. Periode ini merupakan periode
terakhir dari penderita DM. Pada periode ini penderita akan membutuhkan
insulin kembali dari luar tubuh seumur hidupnya.

46
G. Pitfall dalam diagnosis
Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya tidak
terlalu khas dan mirip dengan gejala penyakit lain. Di samping kemiripan gejala
dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga tidak menyadari kemungkinan
penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1 yang ditemui ataupun belum
pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak. Beberapa gejala yang sering menjadi
pitfall dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak di antaranya adalah:
Sering kencing: kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran kemih atau
terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini adalah adanya
enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah enuresis lagi.
1. Berat badan turun atau tidak mau naik: kemungkinan diagnosis adalah
asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini
disebabkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita.
Sering pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberkulosis pada anak.
2. Sesak nafas: kemungkinan diagnosisya adalah bronkopnemonia. Apabila
disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal
gejala sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull
(nafas cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan tipe nafas pada
bronkopnemonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari ketoasidosis.
3. Nyeri perut: seringkali dikira sebagai peritonitis atau apendisitis. Pada
penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.
4. Tidak sadar: keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan
diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera
kepala (Brink SJ, dkk. 2010)

47
H. Pilar-pilar manajemen dm tipe 1
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan
berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain selain insulin yang perlu diperhatikan
dalam tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam
jangka pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical
Practice Consensus Guidelines. 2009)
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu:
1. Insulin
2. Diet
3. Aktivitas fisik/exercise
4. Edukasi
5. Monitoring kontrol glikemik
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita DM Tipe 1.
Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin, dosis insulin, regimen
yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan.
a. Jenis insulin: kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat, kerja
pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran (campuran
kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Penggunaan jenis insulin ini
tergantung regimen yang digunakan.
b. Dosis insulin: dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 unit/kg berat
badan pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan diatur
disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya maupun
penderitanya.
c. Regimen: kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional serta
regimen intensif. Regimen konvensional/mix-split regimen dapat berupa
pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan regimen
intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus
dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal maupun
dosis bolus.

48
d. Cara menyuntik: terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal
absorpsinya yaitu di daerah abdomen (paling baik absorpsinya), lengan atas,
lateral paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk absorpsinya.
e. Penyesuaian dosis: Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari beberapa hal,
seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia pubertas terkadang
kebutuhan meningkat hingga 2 unit/kg berat badan/hari), kondisi stress maupun
saat sakit.
2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk
mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari 50-
55% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1 asupan
kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang
diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari
sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Ada beberapa anjuran
pengaturan persentase diet yaitu 20% makan pagi, 25% makan siang serta 25%
makan malam, diselingi dengan 3 kali snack masing-masing 10% total kebutuhan
kalori perhari. Pemberian diet ini juga memperhatikan regimen yang digunakan.
Pada regimen basal bolus, pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat
untuk menentukan dosis pemberian insulin.
3. Aktivitas fisik/exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga akan
membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan apabila
menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu
menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap
insulin. Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak
DM memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan
olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk
olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman.
Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan
adanya ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di bawah

49
90 mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet karbohidrat untuk
mencegah hipoglikemia.
4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita
maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya,
patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin
(regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping
penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c yang
diinginkan.
5. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah baik
atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup pasien,
termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari. Setiap 3
bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek samping pemberian insulin,
komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan perlu dipantau

Tabel Target kontrol metabolik pada anak dengan DM tipe 1


Target Baik
Baik Sedang Kurang
metabolik Sekali
<120 <140
<180 >180
Preprandial mg/dL mg/dL

Postprandial <140 <200 <240 >240

Urin reduksi - - +- >+

HbA1c <7% 7-7.9% 8-9% >10%

Sumber: Rustama DS, dkk. 2010.

50
LAPORAN
PENDAHULUAN
LEUKIMIA PADA ANAK

A. Defenisi
Akut Leukimia limpositik akut adalah suatu keganasan pada alat
pembuat sel darah berupa poliferasi patologis sel hemopeotik muda yang
ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel
darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh lainnya.
(Arif Mansjoer, 2000: 495)
B. Anatomi Fisiologi
Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh darah
yang warnanya merah. Pada tubuh yang sehat atau orang dewasa terdapat darah
sebanyak kira-kira 1/13 dari berat badan atau kira-kira 4 sampai 5 liter. Keadaan
jumlah tersebut pada tiap organ0organ tidak sama tergantung pada umur,
pekerjaan, keadaan jatung atau pembuluh darah.
Fungsi darah terdiri atas:
1)      Sebagai alat pengangkut
2)      Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan bibit penyakit dan racun yang
akan membunuh tubuh dengan perantaraan leukosit, anti bodi / zat-zat anti racun
3)      Menyebarkan panas ke seluruh tubuh
Bagian-bagian darah:
1. Air : 91%
2. Protein : 8% (albumin, globulin, protombi dan fibrinogen)
3. Mineral : 0,9% (Natrium Klorida, Natrium Bikarbonat, Garam,
Posphatt, Magnesium dan Asam Amino)
Darah terdiri dari 2 bagian yaitu:
1)      Sel darah ada 3 macam yaitu:
a.       Eritrosit (sel darah merah)
b.      Leukosit (sel darah putih)
c.       Trombosit (sel pembeku darah)
2)      Plasma darah

51
a.       Eritrosit
Ialah bentuknya seperti cakram / bikonkap dan tidak mempunyai inti.
Ukurannya kira-kira 7,7 unit (0,007 mm) diameter tidak dapat bergerak.
Banyaknya kira-kira 5 juta dalam 1 mm3 (4 ½ - 4 juta). Warnanya kuning
kemerah-merahan, karena di dalamnya mengandug suatu zat yang disebut
hemoglobin. Warna ini akan bertambah merah jika di dalamnya banyak
mengandung O2.
Fungsinya mengikat O2 dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh
jaringan tubuh dan mengikat CO2 dari jaringan tubuh dikeluarkan melalui paru-
paru.
Jumlah eritrosit normal pada orang dewasa kira-kira 11,5 – 15 gram dalam 100 cc
darah. Normal Hb wanita 11,5 mg% dan Hb laki-laki 13,0%. Di dalam tubuh
banyaknya sel darah merah ini bisa berkurang, demikian juga banyaknya
hemoglobin dalam sel darah merah. Apabila keduanya berkurang maka keadaan
ini disebut anemia, yang biasanya hal ini disebabkan oleh karena pendarahan yang
hebat, hama-hama penyakit yang menghanyutkan eritrosit dan tempat pembuatan
eritrosit sendiri terganggu.
b.      Leukosit
Ialah keadaan bentuk dan sifat-sifat leukosit berlainan dengan eritrosit dan
apabila kita periksa dan kita lihat bahwa di bawah mikroskop maka akan terlihat
bentuknya yang dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan perantaraan kaki
palsu (pseudopodia), mempunyai bermacam-macam inti sel sehingga ia dapat
dibedakan menurut inti selnya. Warnanya bening (tidak berwarna), banyaknya
dalam 1 mm3 kira-kira 6.000 sampai 9.000
Fungsinya:
         Sebagai serdadu tubuh yaitu, membunuh dan memakan bibit penyakit /
bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES (System Retikulo Endotel),
tempat pembiakannya di dalam limpa dan kelenjar limfe.
         Sebagai pengangkut yaitu, mengangkut / membawa zat lemak dari dinding
usus melalui limpa uterus ke pembuluh darah.

52
Hal ini disebabkan sel leukosit yang biasanya tinggal di dalam kelenjar limfe,
sekarang beredar di dalam darah untuk mempertahankan tubuh terhadap serangan
bibit penyakit tersebut. Jika jumlah leukosit dalam darah melebihi 10.000/mm3
disebut leukotosis dan kurang 5.000 / mm3 leukopenia
Macam-macam leukosit meliputi:
1.      Agranulosit
Sel leukosit yang tidak mempunyai granula di dalamnya, yang terdiri dari:
a.       Limfosit
Macam leukosit yang dihasilkan dari jaringan RES dan kelenjar limfe, bentuknya
ada yang besar dan ada yang kecil, di dalam sitoplasmanya tidak terdapat granula
dan intinya besar, banyaknya 20 – 25% dan fungsinya membunuh dan memakan
bakteri yang masuk ke dalam jaringan tubuh.
b.      Monosit
Terbanyak dibuat di sum-sum tulang merah, besarnya lebih besar dari limfosit,
fungsinya sebagai fagosit dan banyaknya 38%.
Di bawah mikroskop terlihat bahwa protoplasmanya lebar, warnanya biru sedikit
abu-abu, mempunyai bintik-bintik sedikit kemerah-merahan. Inti selnya bulat dan
panjang warnanya lembayung muda.
2.      Granulosit
Disebut juga leukosit granular terdiri dari:
a.       Neutrofil atau pulmor nuclear leukosit, mempunyai inti sel yang berangkai
kadang-kadang seperti terpisahpisah, protoplasmanya banyak bintik-bintik halus /
granula, banyaknya 60 – 70%
b.      Eosinofil, ukuran dan bentuknya hampir sama dengan netrofil tetapi granula
dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya kira-kira 2 – 4%
c.       Basofil, sel inti kecil dan pada eosinifil tetapi mempunyai inti yang bentuknya
teratur, di dalam protoplasmanya terdapat granula-granula besar. Banyaknya ½ %.
Dibuat di sum-sum merah, fungsinya tidak diketahui
d.      Trombosit ialah merupakan benda-benda kecil yang mati yang bentuk dan
ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat, ada yang lonjong, warnanya putih,
banyaknya normal pada orang dewasa 200.000 – 300.000 mm3.

53
Fungsinya memegang peranan penting di dalam pembekuan darah. Jika
banyaknya kurang dari normal, maka kalau ada luka darah tidak lekas membeku
sehingga timbul pendarahan yang terus-menerus. Trombosit lebih dari 300.000
disebut trombositosis. Trombosit yang kurang dari 200.000 disebut
trombositopenia.
Terjadinya pembekuan darah di dalam plasma darah terdapat suatu zat yang turut
membantu terjadinya peristiwa pembekuan darah yaitu Ca2+ dan fibrinogen mulai
bekerja apabila tubuh medapat luka.
Hemoglobin ialah protein yang kaya akan zat besi. Jumlah hemoglobin dalam
darah normal ialah kira-kira 15 gram setiap ml darah, dan ini jumlahnya biasa
disebut 100 persen.
Plasma darah ialah bagian darah yang encer tanpa sel-sel darah, warnanya bening
kekuning-kuningan. Hampir 90% dari plasma darah terdiri dari air, disamping itu
terdapat pula zat-zat lain yang terlarut di dalamnya.
Zat-zat yang terdapat dalam plasma darah:
1.      Fibrinogen yang berguna dalam peristiwa pembekuan darah.
2.      Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium dan lain-lain) yang
berguna dalam metabolisme dan juga mengadakan osmotil
3.      Protein darah (albumin, globulin) meninggalkan viskositosis darah dan juga
menimbukan tekanan osmotic untuk memelihara keseimbangan cairan dalam
tubuh
4.      Zat makanan (asam amino, glukosa, mineral dan vitamin)
5.      Hormon yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh
6.      Anti bodi / anti toksin
(Drs. Syaifuddin, B. Ac, 1992: 70)

54
C. Etiologi
Penyebab leukemia tidak diketahui. Ini dapat diakibatkan interaksi sejumlah
faktor.
1)      Neoplasia
Ada persamaan jelas antara leukemia dan penyakit neoplastik lain, misalnya
proliferasi sel yang tidak terkendali, abnormalitas morfologis sel dan infiltrasi
organ. Lebih dari itu kelainan sum-sum kronis lain dapat berubah bentuk akhirnya
menjadi leukemia akut, misalnya polisefemia vera, mielosklerosis atau anemia
aplastik.
2)      Infeksi
Leukemia pada tikus dan unggas dapat ditransnamsi oleh filtrate bebas sel.
Partikel virus dapat ditunjukkan dengan mikroskop elektron. Pada manusia
terdapat bukti kuat untuk etiologi baik pada satu jenis leukemia / limfoma sel T
dan pada limfoma burkit.
3)      Radiasi
Radiasi khususnya sum-sum tulang bersifat leukomogenik. Terdapat insiden
leukemia tinggi pada orang yang tetap hidup. Setelah bom atom di Jepang, pada
pasien ankylosing pandylitis yang telah menerima penyinaran sporal dan pada
anak-anak yang ibunya menerima sinar x abdomen selama hamil.

55
4)      Keturunan
Ada laporan beberapa kasus yang terjadi pada satu keluarga dan pada kembar
identik ada insiden yang meningkat pada beberapa penyakit herediter, khususnya
sindroma down (dimana leukemia terjadi dengan peningkatan frekuensi 20 – 30
kali lipat) anemia panca sindroma down dan ataksia – talangiektasia.
5)      Zat kimia
Terkena bensin kronis yang dapat menyebabkan displasma sum-sum tulang dan
perubahan kromosom, merupakan penyebab leukemia yang tidak biasa.
6)      Perubahan kromosom
(A. V. Hoffbrand MA Fracp FRC Path, 1979: 127)
D. Patofisiologi
Nyeri tulang dan Hipertopi dan Pucat, letargiDemam malaise Memar
Limfodenipaty diare ulsarasi dyspnea, infeksi mulut,respira Dankelainan karena
anemia tenggorokan, kulitpendarahan pd kulit, pernafasan, gusidan soptikemia
ponsironia
E. Tanda dan Gejala
1)      Yang disebabkan kegagalan sum-sum tulang
a.       Pucat, alergi, dispnea karena anemia
b.      Demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit, pernafasan dan
infeksi lain termasuk septikaemia biasa ditemukan. Organisme tersangkut
dibicarakan terinci di bawah.
c.       Memar, pendarahan gusi spontan dan pendarahan dari tempat fungsi vena
yang disebabkan oleh trombositopeia biasa ditemukan kadang-kadang ada
pendarahan internal yang banyak.
2)      Yang disebabkan infiltrasi organ
a.       Nyeri tulang, teristimewa pada anak-anak
b.      Limfadenopati superficial pada ALL
c.       Siplenomegali dan hepatomegali sedang khusus pada ALL
d.      Hipertropi dan infiltrasi gusi, ulserasi rectum, kelainan kulit (khusus pada tipe
mielomonosetik, M4 dan Monositik M5)

56
e.       Sindroma meningeal (khusus pada ALL) sakit kepala, erek (neusia) dan
muntah-muntah, penglihatan kabur dan diplopra. Pemeriksaan fundus
menyingkap adanya uderma pupil dan kadang-kadang pendarahan.
(A. V. Hoffbrand MA FRACP FRC Path, 1979: 134)
F. Pemeriksaan Diagnostik
1)      Pemeriksaan laboratorium
a.       Darah tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi berdasarkan pada kelainan sum-sum tulang
berupa adanya pansitupenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan
gambaran darah tepi menonton dan terdapat sel blas. Terdapatnya sel blas dalam
darah tepi merupakan gejala patonomenik untuk leukemia.
b.      Kimia darah
Kolesterol mungkin rendah, asam urat dapat meningkat, hipogamaglobinemia.
c.       Sum-sum tulang
Dari pemeriksaan sum-sum tulang akan diketemukan gambaran yang menonton,
yaitu hanya terdiri dari sel limfopuetik patologis sedangkan system lain terdesak
(obplasia sekunder). Pada LMA selain gambaran yang menonton terlihat pula
adanya liatus leukemia ialah keadaan yang diperlihatkan sel blas (mie blas),
beberapa sel tua (segmen) dan sangat kurang bentuk pemotongan sel yang berada
diantaranya (promielost, mielosil, metamielosit dan sel batang).
2)      Biopsi limpa
Pemeriksaan ini memperlihatkan proliperasi sel leukemia dan sel yang berasal
dari jaringan limpa yang terdesak seperti: limposit mormal, RES, granulosit, pulp
cell.
3)      Cairan serebropinalis
Bila terdapat peninggian jumlah sel patologis dan protein, berarti suatu leukemia
meningeal. Kelainan ini dapat terjadi setiap saat pada perjalanan penyakit baik
dalam keadaan remisi maupun keadaan kambuh. Untuk mencegahnya diberikan
metroteksat (NAX) secara antratekal secara rutin pada setiap pasien yang
meragukan gejala TIK meninggi.

57
4)      Sistogenik
70 – 90% dari kasus menunjukkan kelainan kromosom, yaitu kromosom 21.
(Ngastiyah,1987:85).
G. Penatalaksanaan
1)      Transfusi darah, biasanya jika kadar Hb kurang dari 6 gr% pada
trombositopenia yang berat dan pendarahan massif, dapat diberikan transfusi
trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
2)      Kortikosteroid (prednisone, kartison, deksametason, dan lain-lain).
Setelah dicapa remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya
dihentikan.
3)      Sistostatika
Selain sitostatika yang lama (6 – merkaptopurin atau 6 – MP meotreksa atau
MTX), rubidomisin (daunolubycine) dan berbagai nama obat lainnya. Pada waktu
ini dipakai pula yang baru dan lebih paten seperti vinkristein (ancovin).
Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan
prednisone. Pada pemberian obat ini sering terdapat efek samping berupa alopsia
(batuk), stomatit leukemia, infeksi, sekunder atau kandidiasis.
Bila jumlah leukosit kurang dari 200.000 / mm3 pemberiannya harus hati-hati.
4)      Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat di kamar yang suci
hama).
5)      Imunoterapi
Merupakan cara pengobatan yang terbaru, setelah tercapai remisi dan jumlah sel
leukemia cukup rendah (105 – 106).
Imunoterapi mulai diberikan (mengenai cara pengobatan yang terbaru yang masih
dalam pengembangan).
(Dr. Rusepno Hassan, 1985: 474)
H. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan penurunan
jumlah trombosit

58
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek
samping agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau
stomatitis
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi,
radioterapi, imobilitas.
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada
penampilan.
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang
menderita leukemia (Simon, 2003).

59
LAPORAN PENDAHULUAN
RETINOBLASTOMA PADA ANAK

A. Definisi
Retinoblastoma adalah tumor endookular pada anak yang mengenai saraf
embrionik retina. Kasus ini jarang terjadi, sehingga sulit untuk dideteksi secara
awal. Rata-rata usia klien saat diagnosis adalah 24 bulan pada kasus unilateral, 13
bulan pada kasus kasus bilateral. Beberapa kasus bilateral tampak sebagai kasus
unilateral, dan tumor pada bagian mata yang lain terdeteksi pada saat pemeriksaan
evaluasi. Ini menunjukkan pentingnya untuk memeriksa klien dengan anestesi pada
anak dengan retinoblastoma unilateral, khususnya pada usia dibawah 1 tahun.
(Pudjo Hagung Sutaryo, 2006 ).

Retinoblastoma adalah kanker pada retina (daerah di belakang mata yang peka
terhadap cahaya) yang menyerang anak berumur kurang dari 5 tahun. 2% dari
kanker pada masa kanak-kanak adalah retinoblastoma.

Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel


kerucut sel batang) atau sel glia yang bersifat ganas. Merupakan tumor ganas
intraokuler yang ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia dibawah lima tahun.
Tumor berasal dari jaringan retina embrional. Dapat terjadi unilateral (70%) dan
bilateral (30%). Sebagian besar kasus bilateral bersifat herediter yang diwariskan
melalui kromosom. Massa tumor diretina dapat tumbuh kedalam vitreus (endofitik)
dan tumbuh menembus keluar (eksofitik). Pada beberapa kasus terjadi penyembuhan
secara spontan. Sering terjadi perubahan degeneratif, diikuti nekrosis dan klasifikasi.
Pasien yang selamat memiliki kemungkinan 50% menurunkan anak dengan
retinoblastoma. Pewarisan ke saudara sebesar 4-7%.

Retinoblastoma adalah kanker yang dimulai dari retina–lapisan sensitif di dalam


mata. Retinoblastoma umumnya terdapat pada anak-anak. Retina terdiri dari
jaringan syaraf yang merespon cahaya masuk ke mata. Kemudian retina
mengirimkan sinyal melalui syaraf optik ke otak, dimana sinyal diinterpretasikan
sebagaigambar.

60
B. Etiologi

a. Kelainan Kromosom
Terjadi karena kehilangan kedua kromosom dari satu pasang alel dominant
protektif yang berada dalam pita kromosom 13q14. Bisa karena mutasi atau
diturunkan. Penyebabnya adalah tidak terdapatnya gen penekan tumor, yang
sifatnya cenderung diturunkan. Kanker bisa menyerang salah satu mata yang
bersifat somatic maupun kedua mata yang merupakan kelainan yang diturunkan
secara autosom dominant. Kanker bisa menyebar ke kantung mata dan ke otak
(melalui saraf penglihatan/nervus optikus).

b. Faktor Genetik

Gen cacat RB1 dapat diwariskan dari orang tua pada beberapa anak,
mutasi terjadi pada tahap awal perkembangan janin. Tidak diketahui apa yang
menyebabkan kelainan gen, melainkan yang paling mungkin menjadi kesalahan
acak selama proses copy yang terjadi ketika sel membelah.

C. Patofisiologi
Retinoblastoma terjadi karena adanya mutasi pada gen RB1 yyang terletak
pada kromosom 13q14 (kromosom nomor 13 sequence ke 14) baik terjadi
karena faktor hereditas maupun karena faktor lingkungan seperti virus, zat
kimia, dan radiasi. Gen RB1 ini merupakan gen suppressor tumor, bersifat alel
dominan protektif, dan merupakan pengkode protein RB1 (P-RB) yang
merupakan protein yang berperan dalam regulasi suatu pertumbuhan sel
(Anwar, 2010:1). Apabila terjadi mutasi seperti kesalahan transkripsi,
tranlokasi, maupun delesi informasi genetic, maka gen RB1 (P-RB) menjadi
inactive sehingga protein RB1 (P-RB) juga inactive atau tidak diproduksi
sehingga memicu pertumbuahan sel kanker (Tomlinson, 2006:62).

Retinoblastoma biasa terjadi di bagian posterior retina. Dalam


perkembangannya massa tumor dapat tumbuh baik secara internal dengan
memenuhi vitrous body (endofitik). Maupun bisa tumbuh kearah luar
menembus koroid, saraf optikus, dan sclera (eksofitik).

61
D. Manifestasi klinis

a. Tanda dini retinoblastoma adalah mata merah, mata juling atau terdapat warna
iris yang tidak normal.
b. Bola mata menjadi besar, bila tumor sudah menyebar luas di dalam bola mata.
c. Bila terjadi nekrosis tumor, akan terjadi gejala pandangan berat.
d. Tajam penglihatan sangat menurun.
e. Nyeri
f. Pada tumor yang besar, maka mengisi seluruh rongga badan kaca sehingga
badan kaca terlihat benjolan berwarna putih kekuning-kuningan dengan
pembuluh darah di atasnya.

E. Klasifikasi

a. Golongan I : Tumor soliter/multiple kurang dari 4 diameter papil. Terdapat pada


atau dibelakang ekuator, Prognosis sangat baik
b. Golongan II : Satu atau beberapa tumor berukuran 4-10 diameter papil,
Prognosis baik.
c. Golongan III : Tumor ada didepan ekuator atau tumor soliter berukuran >10
diameter papil, Prognosis meragukan
d. Golongan IV : Tumor multiple sampai ora serata, Prognisis tidak baik.
e. Golongan V : Setengah retina terkena benih di badan kaca, Prognosis buruk.

A. Stadium Retinoblastoma
Tumor mata ini, terbagi atas IV stadium, masing-masing:
a. Stadium I: menunjukkan tumor masih terbatas pada retina (stadium tenang)
b. Stadium II: tumor terbatas pada bola mata.
c. Stadium III: terdapat perluasan ekstra okuler regional, baik yang melampaui
ujung nervus optikus yang dipotong saat enuklasi.
d. Stadium IV: ditemukan metastase jauh ke dalam otak.

62
Pada beberapa kasus terjadi penyembuhan secara spontan, sering terjadi
perubahan degeneratif, diikuti nekrosis dan klasifikasi. Pasien yang selamat
memiliki kemungkinan 50 % menurunkan anak dengan retinoblastoma.

F. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis pasti retinoblastoma intraokuler dapat ditegakkan dengan


pemeriksaan patologi anatomi. Karena tindakkan biopsi merupakan
kontraindikasi, maka untuk menegakkan diagnosis digunakan bebrapa
pemeriksaan sebagai sarana penunjang :

a. Fundus Okuli : Ditemukan adanya massa yang menonjol dari retina


disertai pembuluh darah pada permukaan ataupun didalam massa tumor
tersebut dan berbatas kabur.
b. X Ray : Hampir 60 – 70 % penderita retinoblastoma menunjukkan
klasifikasi. Bila tumor mengadakan infiltrasi ke saraf optik foramen :
Optikum melebar.
c. USG : Adanya massa intraokuler.
d. LDH : Dengan membandingkan LDH aqous humor dan serum darah, bila
rasio lebih besar dari 1,5 dicurigai kemungkinan adanya retinoblastoma
intraokuler (Normal rasio Kurang dari 1).
e. Ultrasonografi dan tomografi komputer dilakukan terutama untuk pasien
dengan metastasis ke luar, misalnya dengan gejala proptosis bola mata.

G. Komplikasi
Komplikasi Retinoblastoma yaitu:
a. Tumor non okuler sekunder dapat muncul pada penderita
retinoblastoma. Contohnya Osteosarkoma, berbagai jenis sarkoma
jaringan lunak yang lain, melanoma malignan, berbagai jenis karsinoma,
leukemia dan limfoma dan berbagai jenis tumor otak.

b. Komplikasi vaskular : kerusakan pembuluh darah retina dan perdarahan


dapat terlihat.

63
c. Efek pada tulang, gigi dan jaringan lunak setelah radiasi. Terjadi
hipoplasia pada tulang dan struktur jaringan lunak setelah terapi dengan
dosis radiasi.

I. Penatalaksanaan

Pengobatan retinoblastoma ialah enukleasi bulbi yang disusul dengan


radiasi. Apabila retinoblastoma sudah meluas sampai ke jaringan orbita maka
dilakukan eksenterasi orbita disusul dengan radiasi dan bila diberikan
kemoterapi (Ilyas dkk, 2002).

Harus dilakukan pemantauan teratur pada anak yang menderita


retinoblastoma dan keturunan berikutnya. Konseling genetik harus ditawarkan
dan anak dengan orang tua yang pernah mengalami retinoblastoma harus
diawasi sejak bayi (James dkk, 2005).

Bila tumor masih terbatas intraokular, pengobatan dini mempunyai


prognosis yang baik. Tergantung dari letak, besar, dan tebal,pada tumor yang
masih intraokular dapat dilakukan krioterapi, fotokoagulasi laser, atau
kombinasi sitostatik dan fotokoagulasi laser untuk mempertahankan visus. Pada
tumor intraokular yang sudah mencapai seluruh vitreus dan visus nol, dilakukan
enukleasi. Bila tumor telah keluar bulbus okuli, tapi masih terbatas dirongga
orbita, dilakukan kombinasi eksentrasi, radioterapi, dan kemoterapi. Pasien
harus terus dievaluasi seumur hidup karena 20-90% pasien retinoblastoma
bilateral akan menderita tumor ganas primer, terutama osteosarkoma (mansjoer,
2005).

a. Terapi
Beberapa cara terapi adalah :
1. Enukleasi mengangkat bola mata dan diganti dengan bola mata prothese
(buatan).

64
2. . Penyinaran bola mata. Retino blastoma bersifat radiosensitif, sehingga
terapi ini sangat efektip. Bahayanya jaringan sekitarnya dapat rusak akibat
penyinaran.

3. Photocoagulation : terapi dengan sinar laser ini sangat efektip pada ukuran
kanker yang kecil.

4. Cryotherapy : terapi dengan cara pendinginan (pembekuan) pada kanker


ukuran kecil terapi ini berhasil baik.

5. Chemotherapy : diberikan obat-obatan anti kanker yang dapat mengecilkan


ukuran kanker.

Cara terapi mana yang dipakai tergantung dari :


1. Ukuran kanker & lokasi kanker
2. Apakah sudah menjalar atau belum
3. Bagaimana status/keadaan bola mata yang lain
4. Adanya komplikasi
5. Riwayat keluarga
6. Tersedianya fasilitas untuk terapi-terapi diatas.
b. Pembedahan:
1. Enukleasi : Dilakukan pada tumor yang masih terbatas pada itraokuler ialah
dengan mengangkat seluruh bola mata dan meotong saraf optik sepanjang
mungkin.

2. Eksentrasi Orbita : Dilakukan pada tumor yang sudah ekstensi ke jaringan orbita
ialah dgn mengangkat seluruh isi orbita dengan jaringan periostnya

3. Sesudah operasi diberikan therapi radiasi untuk membunuh sisa–sisa sel tumor
J. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan persepsi sensorik penglihatan berhubungan penurunan tajam


penglihatan
b. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler
c. Ansietas berhubungan dengan proses perkembangan penyakit

65
d. Resiko tinggi cidera, berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
e. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan penurunan fungsi
motorik

LAPORAN
PENDAHULUAN
ATTENTION DEFICIT
HYPERAKTIVITY
DISORDER (ADHD)

a. Pengertian
Sindroma hiperaktivitas merupakan istilah gangguan kekurangan perhatian
menandakan gangguan-gangguan sentral yang terdapat pada anak-anak, yang
sampai saat ini dicap sebagai menderita hiperaktivitas, hiperkinesis, kerusakan
otak minimal atau disfungsi serebral minimal. (Nelson, 1994) Hiperaktif
menunjukkan adanya suatu pola perilaku yang menetap pada seorang anak.
Perilaku ini ditandai dengan sikap tidak mau diam, tidak bisa berkonsentrasi dan
bertindak sekehendak hatinya atau impulsif. (Dr. Seto Mulyadi dalam bukunya
“Mengatasi Problem Anak Sehari-hari“) Hiperaktif adalah gangguan tingkah laku
yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak
mampu memusatkan perhatian. (Sani Budiantini Hermawan, Psi.,)

Ada tiga tipe anak hiperaktif yaitu :

 Tipe anak yang tidak bisa memusatkan perhatian (in-atensi)


Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, tetapi tidak hiperaktif atau
Impulsif. Mereka tidak menunjukkan gejala hiperaktif. Tipe ini kebanyakan ada
pada anak perempuan. Anak dalam tipe ini memiliki cirri-ciri : tidak mampu
memusatkan perhatian secara utuh, tidak mampu mempertahankan konsentrasi,
mudah beralih perhatian dari satu hal ke lain hal, sering melamun dan dapat
digambarkan sedang berada “diawang-awang”, tidak bisa diajak bicara atau

66
menerima instruksi karena perhatiannya terus berpindah-pindah, pelupa dan
kacau.

 Tipe anak yang hiperaktif dan impulsive.


Mereka menunjukkan gejala yang sangat hiperaktif dan impulsif, tetapi bisa
memusatkan perhatian. Tipe ini seringkali ditemukan pada anak- anak kecil. Anak
dalam tipe ini memiliki ciri-ciri berikut: terlalu energik, lari ke sana kemari,
melompat seenaknya, memanjat-manjat, banyak bicara, berisik. Ia juga impulsif:
melakukan sesuatu secara tak terkendali, begitu saja bertindak tanpa
pertimbangan, tak bisa menunda respons, tidak sabaran. Tetapi yang
mengherankan, sering pada saat belajar, ia menampakkan tidak perhatian, tetapi
ternyata ia bisa mengikuti pelajaran.

 Tipe gabungan (kombinasi)

Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, hiperaktif dan impulsif.


Kebanyakan anak-anak termasuk tipe seperti ini. Anak dalam tipe ini mempunyai
ciri-ciri berikut: kurang mampu memperhatikan aktivitas dan mengikuti
permainan atau menjalankan tugas, perhatiannya mudah terpecah, mudah berubah
pendirian, selalu aktif secara berlebihan dan impulsif.

Jadi yang dimaksud dengan hiperaktif adalah suatu pola perilaku pada
seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak terkendali, tidak
menaruh perhatian dan impulsif (bertindak sekehendak hatinya). Anak hiperaktif
selalu bergerak dan tidak pernah merasakan asyiknya permainan atau mainan
yang disukai oleh anak-anak lain seusia mereka, dikarenakan perhatian mereka
suka beralih dari satu fokus ke fokus yang lain. Mereka seakan-akan tanpa henti
mencari sesuatu yang menarik dan mengasikkan namun tidak kunjung datang.

B. Etiologi
a. Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan
masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distresfetal,
persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimiagravidarum atau eklamsia

67
dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-
faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda,
ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif.
Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang
neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah
satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat
aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi. Beberapa studi
menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak
hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-
limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan.

b. Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memiliki
potensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar
timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan
mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan
calon anak hiperaktif.

c. Faktor genetik

Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga
dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara
yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada
anak kembar.

d. Faktor psikososial dan lingkungan


Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara
orang tua dengan anaknya.

C. Epidemiologi
Angka kejadian ADHD di seluruh dunia diperkirakan mencapai hingga lebih
dari 5 %. Dilaporkan lebih banyak terdapat pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita. Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan kejadian ADHD mencapai
7%.

68
D. Patofisiologi
Kurang konsentrasi/gangguan hiperaktivitas ditandai dengan gangguan
konsentrasi, sifat impulsif, dan hiperaktivitas. Tidak terdapat bukti yang
meyakinkan tentang sesuatu mekanisme patofisiologi ataupun gangguan
biokimiawi. Anak pria yang hiperaktiv, yang berusia antara 6 – 9 tahun
serta yang mempunyai IQ yang sedang, yang telah memberikan tanggapan
yang baik terhadap pengobatan–pengobatan stimulan, memperlihatkan
derajat perangsangan yang rendah (a low level of arousal) di dalam
susunan syaraf pusat mereka, sebelum pengobatan tersebut dilaksanakan,
sebagaimana yang berhasil diukur dengan mempergunakan
elektroensefalografi, potensial–potensial yang diakibatkan secara auditorik
serta sifat penghantaran kulit. Anak pria ini mempunyai skor tinggi untuk
kegelisahan, mudahnya perhatian mereka dialihkan, lingkup perhatian
mereka yang buruk serta impulsivitas. Dengan 3 minggu pengobatan serta
perawatan, maka angka–angka laboratorik menjadi lebih mendekati
normal serta penilaian yang diberikan oleh para guru mereka
memperlihatkan tingkah laku yang lebih baik.

E. Gejala klinis
Ukuran objektif tidak memperlihatkan bahwa anak yang terkena
gangguan ini memperlihatkan aktifitas fisik yang lebih banyak, jika
dibandingkan dengan anak–anak kontrol yang normal, tetapi gerakan–
gerakan yang mereka lakukan kelihatan lebih kurang bertujuan serta
mereka selalu gelisah dan resah. Mereka mempunyai rentang perhatian
yang pendek, mudah dialihkan serta bersifat impulsif dan mereka
cenderung untuk bertindak tanpa mempertimbangkan atau merenungkan
akibat tindakan tersebut. Mereka mempunyai toleransi yang rendah
terhadap perasaan frustasi dan secara emosional mereka adalah orang–
orang yang labil serta mudah terangsang. Suasana perasaan hati mereka
cenderung untuk bersifat netral atau pertenangan, mereka kerap kali
berkelompok, tetapi secara sosial mereka bersikap kaku.

69
Beberapa orang di antara mereka bersikap bermusuhan dan negatif,
tetapi ciri ini sering terjadi secara sekunder terhadap permasalahan–
permasalahan psikososial yang mereka alami. Beberapa orang lainnya
sangat bergantung secara berlebih–lebihan, namun yang lain lagi bersikap
begitu bebas dan merdeka, sehingga kelihatan sembrono. Kesulitan-
kesulitan emosional dan tingkah laku lazim ditemukan dan biasanya
sekunder terhadap pengaruh sosial yang negatif dari tingkah laku mereka.
Anak-anak ini akan menerima celaan dan hukuman dari orang tua serta
guru dan pengasingan sosial oleh orang-orang yang sebaya dengan
mereka. Secara kronik mereka mengalami kegagalan di dalam tugas-tugas
akademik mereka dan banyak diantara mereka tidak cukup terkoordinasi
serta cukup mampu mengendalikan diri sendiri untuk dapat berhasil di
dalam bidang olah raga. Mereka mempunyai gambaran mengenai diri
mereka sendiri yang buruk serta mempunyai rasa harga diri yang rendah
dan kerap kali mengalami depresi. Terdapat angka kejadian tinggi
mengenai ketidakmampuan belajar membaca matematika, mengeja serta
tulis tangan. Prestasi akademik mereka dapat tertinggal 1 – 2 tahun dan
lebih sedikit daripada yang sesunguhnya diharapkan dari kecerdasan
mereka yang diukur.

F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang akan menegakkan diagnosis
gangguan kekurangan perhatian. Anak yang mengalami hiperaktivitas dilaporkan
memperlihatkan jumlah gelombang-gelombang lambat yang bertambah banyak
pada elektorensefalogram mereka, tanpa disertai dengan adanya bukti tentang
penyakit neurologik atau epilepsi yang progresif, tetapi penemuan ini mempunyai
makna yang tidak pasti. Suatu EEG yang dianalisis oleh komputer akan dapat
membantu di dalam melakukan penilaian tentangketidakmampuan belajar pada
anak itu.

G. Penatalaksanaan
a. Keperawatan

70
1. Pengobatan serta perawatan yang harus dilaksanakan pada anak yang mengalami
gangguan hiperaktif ditujukan kepada keadaan sosial lingkungan rumah dan
ruangan kelas penderita serta kepada kebutuhan-kebutuhan akademik dan
psikososial anak yang bersangkutan, suatu penjelasan yang terang mengenai
keadaan anak tersebut haruslah diberikan kepada kedua orang tuanya dan kepada
anak itu sendiri.
2. Anak tersebut hendaklah mempunyai aturan yang berjalan secara teratur menurut
jadwal yang sudah ditetapkan dan mengikuti kegiatan rutinnya itu, dan sebaiknya
selalu diberikan kata-kata pujian.
3. Perangsangan yang berlebihan serta keletihan yang sangat hebat haruslah
dihindarakan, anak tersebut akan mempunyai saat-saat santai setelah bermain
terutama sekali setelah ia melakukan kegiatan fisik yang kuat dan keras
4. Periode sebelum pergi tidur haruslah merupakan masa tenang, dengan cara
menghindarkan acara-acara televisi yang merangsang, permainan-permainan yang
keras dan jungkir balik.
5. Lingkungan di sekitar tempat tidur sebaiknya diatur sedemikian rupa, barang-
barang yang membahayakan dan mudah pecah dihindarkan.
6. Tehnik-tehnik perbaikan aktif yang lebih formal akan dapat membantu, dengan
memberikan hadiah kepada anak tersebut berupa bintang atau tanda sehingga
mereka dapat mencapai kemajuan dalam tingkah laku mereka.
b. Medis
1. Terapi farmakologi :

Farmakoterapi kerap kali diberikan kepada anak-anak yang mengalami


gangguan hiperaktif. Farmakologi yang sering digunakan adalah
dekstroamfetamin, metilfenidat, magnesium pemolin serta fenotiazin. obat
tersebut mempunyai pengaruh-pengaruh sampingan yang lebih sedikit. Cara
bekerja obat tersebut mungkin sekali adalah dengan mengadakan modifikasi di
dalam gangguan-gangguan fundamental pada rentang perhatian, konsentrasi serta
impulsivitas. Oleh karena respon yang akan mereka berikan terhadap pengobatan
tidak dapat diramalkan sebelumnya, maka biasanya diperlukan suatu masa

71
percobaan klinik, mungkin akan dibutuhkan waktu 2-3 minggu dengan pemberian
pengobatan setiap hari untuk menentukan apakah akan terdapat pengaruh obat itu

72
2. Dosis:
Obat tersebut diberikan setelah makan pagi dan makan siang, agar hanya
memberikan pengaruh yang minimal kepada nafsu makan dan tidur penderita.
a. Metilfenidat : dosis yang diberikan berbeda-beda sesuai dengan usia masing-
masing anak akan tetapi berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis.pada
awalnya mereka diberikan 5 mg pada saat makan pagi serta pada waktu
makan siang. Jika tidak ada respon yang diberikan maka dosis di naikan
dengan 2,5 mg dengan selang waktu 3-5 hari. Bagi anak-anak yang berusia 8-
9 tahun dosis yang efektif adalah 15-20 mg/24 jam. Sementara itu anak yang
berusia lebuh lanjut akan memerlukan dosis sampai 40 mg/jam. Pengaruh
obat ini akan berlangsung selama 2-4 hari. Biasanya anak akan bersifat rewel
dan menangis. Jika pemakaian obat ini sudah berlangsung lama dan dosis
yang diberikan lebih dari 20 mg/jam rata-rata mereka akan mengalami
pengurangan 5 cm dari tinggi yang diharapkan.
b. Dekstroamfetamin : dapat diberikan dalam bentuk yang dilepaskan
(showreleased) secara sedikit demi sedikit. Dosis awalnya adalah 10 mg
dengan masa kerja selama 8-18 jam sehingga penderita hanya membutuhkan
satu dosis saja setiap hari, pada waktu sarapan pagi. Dosisnya dalah kira
sebesar setengah dosis metilfenidat, berkisar antara 10-20 mg/jam
c. Magnesium pemolin : dianjurkan untuk memberikan dosis awal sebesar 18,75
mg, untuk selanjutnya dinaikan dengan setengah tablet/minggu. Akan
dibutuhkan waktu selama 3-4 minggu untuk menetapkan keefektifan obat
tersebut. Efek samping dari obat tersebut adalah berpengaruh terhadap fungsi
hati, kegugupan serta kejutan otot yang meningkat.
d. Fenotiazin : dapat menurunkan tingkah laku motorik anak yang bersangkutan,
efek samping : perasaan mengantuk, iritabilitas serta distonia.

73
Secara umum efek samping dari pemakaian obat-obatan tersebut diatas adalah
anoreksia dan penurunan berat badan, nyeri perut bagian atas serta sukar tidur,
anak akan mudah menangis serta peka terhadap celaan ataupun hukuman, detak
jantung yang meningkat serta penekanan pertumbuhan. Jika terjadi hal demikian
maka pengurangan dosis atau penghentian pengguanaan obat-obatan perlu
dihentikan.

H. Diagnosa Keperawatan
a. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan koping individu tidak efektif.
b. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas dan perilaku impulsif.
c. Ketidakefektifankoping individu berhubungan dengankelainan fungsi darisystem
keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta penganiayaan dan
penelantaran anak.
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif.
e. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa
takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang
tua dan anak yang tidak memuaskan.
f. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau
umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri.
g. Penurunan koping keluarga berhubungan dengan perasaan bersalah yang
berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga tentang
perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan
dalam jangka waktu yang lama.
h. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan
terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah
tentang informasi.

74
LAPORAN
PENDAHULUAN
VENTRIKEL SEPTUM
DEFEK (VSD)
A. Pengertian

Ventrikel Septum Defek (VSD) adalah suatu keadaan abnormal yaitu


adanya pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan.(Rita &Suriadi,
2001).

Ventrikel Septum Defek (VSD) adalah adanya hubungan (lubang)


abnormal pada sekat yang memisahkan ventrikel kanan dan ventrikel kiri.
(Heni dkk, 2001).

Ventrikel Septum Defek (VSD) adalah kelainan jantung berupa tidak


sempurnanya penutupan dinding pemisah antara kedua ventrikel sehingga
darah dari ventrikel kiri ke kanan, dan sebaliknya. Umumnya congenital dan
merupakan kelainan jantung bawaan yang paling umum ditemukan (Junadi,
1982)

Ventrikel Septum Defek (VSD) adalah kelainan jantung bawaan berupa


lubang pada septum interventrikuler, lubang tersebut hanya satu atau lebih
yang terjadi akibat kegagalan fungsi septum interventrikuler semasa janin
dalam kandungan. Sehingga darah bisa mengalir dari ventrikel kiri ke kanan
ataupun sebaliknya

B. Klasifikasi

Klasifikasi Ventrikel Septum Defek (VSD) berdasarkan letak anatomis

Defek didaerah pars membranasea septum, yang disebut defek


membran atau lebih baik perimembran (karena hampir selalu mengenai
jaringan di sekitarnya). Berdasarkan perluasan (ekstensi) defeknya, defek
peri membran ini dibagi lagi menjadi yang dengan perluasan ke outlet,
dengan perluasan ke inlet, dan defek peri membran dengan perluasan ke
daerah trabekuler.

75
Defek muskuler, yang dapat dibagi lagi menjadi : defek muskuler inlet,
defek muskuler outlet dan defek muskuler trabekuler.

Defek subarterial, terletak tepat dibawah kedua katup aorta dan arteri
pulmonalis, karena itu disebut pula doubly committed subarterial VSD.
Defek ini dahulu disebut defek suprakristal, karena letaknya diatas
supraventrikularis. Yang terpenting pada defek ini adalah bahwa katup aorta
dan katup arteri pulmonalis terletak pada ketinggian yang sama, dengan
defek septum ventrikel tepat berada di bawah katup tersebut. (dalam
keadaan normal katup pulmonal lebih tinggi daripada katup aorta, sehingga
pada defek perimembran lubang terletak tepat di bawah katup aorta namun
jauh dari katup pulmonal).

C. Fisiologi

Fungsi utama jantung adalah untuk memompakan darah ke seluruh


tubuh dengan cara mengembang dan menguncup yang disebabkan oleh
karena adanya rangsangan yang berasal dari susunan saraf otonom

 Sirkulasi darah
1. Sistem Peredaran darah besar
Darah meninggalkan ventrikel kiri melalui aorta dan arteri-arteri yang
lebih kecil atau arteriola ke seluruh tubuh. Arteri mempunyai dinding yang
berotot yang dapat menyempitkan dan menahan aliran darah yang berfungsi
untuk mempertahankan tekanan darah arteri dan mengatur aliran darah
kapiler. Dalam jaringan kapiler terjadi pertukaran zat antara plasma dan
jaringan interstitial. Kapiler-kapiler bergabung membentuk venula dan vena
kava inferior dan masuk ke atrium kanan jantung.
2. system peredaran darah kecil.
Darah dari ventrikel kanan melalui arteri pulmonalis dan arteri – arteri
yang lebih kecil membawa darah kotor ke paru-paru. Di paru-paru (alveoli)
terdapat peningkatan o2 dan pelepasan co2 dalam kapiler pulmonal. Kapiler
pulmonal kemudian bergabung membentuk vena dan membawa darah
bersih ke jantung melalui atrium kiri.

76
D. Etiologi

Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui


secara pasti, tetapi ada beberapa factor yang diduga mempunyai pengaruh
pada peningkatan angka kejadian PJB yaitu :

1. Faktor prenatal
 Ibu menderita penyakit infeksi : Rubela
 Ibu alkoholisme
 Umur ibu lebih dari 40 tahun
 Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin
 Ibu meminum obat-obatan penenang
2. Faktor genetic
 Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
 Ayah/ibu menderita PJB
 Kelainan kromosom misalnya sindrom down
 Lahir dengan kelainan bawaan yang lain

E. Patofisiologi

Ventrikel Septum Defek (VSD) ditandai dengan adanya hubungan


septal yang memungkinkan darah mengalir langsung antar ventrikel,
biasanya dari kiri ke kanan. Diameter defek ini bervariasi dari 0,5 – 3,0 cm.
Perubahan fisiologi yang terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut : Tekanan
lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningklatkan aliran darah kaya oksigen
melalui defek tersebut ke ventrikel kanan. Volume darah yang meningkat
dipompa ke dalam paru, yang akhirnya dipenuhi darah, dan dapat
menyebabkan naiknya tahanan vascular pulmoner. Jika tahanan pulmoner
ini besar, tekanan ventrikel kanan meningkat, menyebabkan piarau terbalik,

F. Fathway VSD

Mengalirkan darah miskin oksigen dari ventrikel kanan ke kiri,


menyebabkan sianosis. Keseriusan gangguan ini tergantung pada ukuran
dan derajat hipertensi pulmoner. Jika anak asimptomatik, tidak diperlukan

77
pengobatan; tetapi jika timbul gagal jantung kronik atau anak beresiko
mengalami perubahan vascular paru atau menunjukkan adanya pirau yang
hebat diindikasikan untuk penutupan defek tersebut. Resiko bedah kira-kira
3% dan usia ideal untuk pembedahan adalah 3 sampai 5 tahun.

G. Pemeriksaan Diagnostik

Kateterisasi jantung menunjukkan adanya hubungan abnormal antar


ventrikel EKG dan foto thoraks menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel
kiri Hitung darah lengkap untuk uji prabedah rutin.Uji masa protombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) yang dialkukan sebelum pembedahan
dapat mengungkapkan kecenderungan perdarahan (biasanya normal)

H. Komplikasi

 Gagal jantung
 Endokarditis
 Insufisiensi aorta
 Stenosis pulmonal
 Hipertensi pulmonal (penyakit pembuluh darah paru yang progresif)

I. Penatalaksanaan Medis

1. Atasi gizi, infeksi dan kegagalan jantung. Pada kasus dengan defek kecil (1-
5mm) dan perkembangan baik tidak memerlukan operasi.
2. Pembedahan : menutup defek dengan dijahit melalui cardiopulmonary
bypass,pembedahan Pulmonal Arteri Bunding (PAB) atau penutupan defek
untuk mengurangi aliran ke paru.
3. Non pembedahan : menutup defek dengan alat melalui kateterisasi jantung
4. Pemberian vasopresor atau vasodilator :
- Dopamin ( intropin )

Memiliki efek inotropik positif pada miocard, menyebabkan peningkatan


curah jantung dan peningkatan tekanan sistolik serta tekanan nadi , sedikit
sekali atau tidak ada efeknya pada tekanan diastolik ;digunakan untuk

78
gangguan hemodinamika yang disebabkan bedah jantung terbuka (dosis
diatur untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi ginjal)

- Isopreterenol ( isuprel )

Memiliki efek inotropik positif pada miocard, menyebabkan peningkatan


curah jantung : menurunan tekanan diastolik dan tekanan rata-rata sambil
meningkatkan tekanan sisitolik.

J. Diagnosa Keperawatan

a. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan malformasi jantung.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti pulmonal.

c. Tidak toleransi terhadap aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan


antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplay oksigen ke sel.

d. Perubahan pertumbuhan dan perkembanganberhubungan dengan tidak


adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan.

e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori

f. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya status kesehatan.

g. Perubahan peran orangtua berhubungan dengan hospitalisasi anak,


kekhawatiran terhadap peyakit anak.

79
LAPORAN PENDAHULUAN
TUMOR WILMS

A. DEFINISI
Tumor Wilms (Nefroblastoma) adalah tumor ganas ginjal yang tumbuh dari sel
embrional primitive di ginjal. Tumor Wilms biasanya ditemukan pada anak-anak yang
berumur kurang dari 5 tahun, tetapi kadang ditemukan pada anak yang lebih besar atau
orang dewasa. Tumor Wilms merupakan tumor ganas intraabdomen yang tersering pada
anak-anak dan tumbuh dengan cepat (progesif).

Tumor wilms adalah tumor ginjal campuran ganas yang tumbuh dengan cepat,
terbentuk dari unsur embrional, biasanya mengenai anak-anak sebelum usia lima tahun
(Kamus Kedokteran Dorland)

 Genitourinary malformation
- Retardasi mental
- Aniridia – bayi lahir tanpa iris
 Deny-Drash Syndrome

Tumor wilms adalah tumor padat intraabdomen yang paling sering dijumpai pada
anak. Tumor ini merupakan neoplasma embrional dari ginjal, biasanya muncul sebagai
massa asimtomatik di abdomen atas atau pinggang. Tumor sering ditemukan saat orang
tua memandikan atau mengenakan baju anaknya atau saat dokter melakukan
pemeriksaan fisik terhadap anak yang tampak sehat. (Basuki,2011)

B. ETIOLOGI

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik. Tumor wilms
berhubungan dengan kelainan bawaan tertentu, seperti :

• WAGR syndrome :

Sindrom ini menyebabkan kerusakan ginjal sebelum umur 3 tahun dan sangat
langka. Didapati perkembangan genital yang abnormal. Anak dengan sindrom ini berada
dalam resiko tinggi terkena tipe kanker lain, selain Tumor Wilms.

• Beckwith- Wiedemann Syndrome

Bayi lahir dengan berat badan yang lebih tinggi dari bayi normal, lidah yang besar,
pembesaran organ – organ.

Tumor wilms berasal dari proliferasi patologik blastema metanefron akibat tidak
adanya stimulasi yang normal dari duktus metanefron untuk menghasilkan tubuli dan
80
glomeruli yang berdiferensiasi baik. Perkembangan blastema renalis untuk membentuk
struktur ginjal terjadi pada umur kehamilan 8-34 minggu. Beberapa kasus disebabkan
karena defek genetik yang diwariskan dari orang tua. Ada dua gen yang ditemukan
mengalami defek yaitu Wilms Tumor 1 atau Wilms Tumor 2. Dan juga ditemukan
kelainan mutasi di kromosom lain

Sekitar 1,5% penderita mempunyai saudara atau anggota keluarga lain yang juga
menderita Tumor wilms. Hampir semua kasus unilateral tidak bersifat keturunan yang
berbeda dengan kasus Tumor bilateral. Sekitar 7-10% kasus Tumor wilms diturunkan
secara autosomal dominan.

C. KLASIFIKASI
1. Penyebaran tumor wilms menurut TNM sebagai berikut :
T : Tumor primer

 T1 : Unilateral permukaan ( termasuk ginjal ) < 80 cm


 T2 : Unilateral permukaan > 80 cm
 T3 : Unilateral ruptur sebelum penanganan
 T4 : Bilateral

N : Metastasis limfa

 No : Tidak ditemukan metastasis


 N1 : Ada metastasis limfa

M : Metastasis jauh

 Mo : Tidak ditemukan
 M+ : Ada metastasis jauh
2. The National Wilms Tumor Study (NWTS) membagi lima stadium tumor Wilms,
yaitu:

 Stadium I : tumor terbatas di dalam jaringan ginjal tanpa menembus kapsul. Tumor
ini dapat direseksi dengan lengkap.

 Stadium II: Tumor menembus kapsul dan meluas masuk ke dalam jaringan ginjal
dan sekitar ginjal yaitu jaringan perirenal, hilus renalis, vena renalis dan kelenjar
limfe para-aortal. Tumor masih dapat di reseksi dengan lengkap.Stadium III :
Tumor menyebar ke rongga abdomen (perkontinuitatum), misalnya ke hepar,
peritoneum, dll.

 Stadium IV : Tumor menyebar secara hematogen ke rongga abdomen, paru-


paru, otak, tulang.

81
D. PATOFISIOLOGI

Tumor Wilm’s ini terjadi pada parenkim ginjal. Tumor tersebut


tumbuh dengan cepat di lokasi yang dapat unilateral atau bilateral.
Pertumbuhan tumor tersebut akan meluas atau menyimpang ke luar renal.
Mempunyai gambaran khas berupa glomerulus dan tubulus yang primitif
atau abortif dengan ruangan bowman yang tidak nyata, dan tubulus abortif
di kelilingi stroma sel kumparan.

Pertama-tama jaringan ginjal hanya mengalami distorsi,tetapi


kemudian di invasi oleh sel tumor. Tumor ini pada sayatan
memperlihatkan warna yang putih atau keabu-abuan homogen,lunak dan
encepaloid (menyerupai jaringan ikat). Tumor tersebut akan menyebar
atau meluas hingga ke abdomen dan di katakan sebagai suatu massa
abdomen. Akan teraba pada abdominal dengan di lakukan palpasi.

Wilms Tumor seperti pada retinoblastoma disebabkan oleh 2 trauma


mutasi pada gen supresor tumor. Mutasi pertama adalah inaktivasi alel
pertama dari gen suppressor tumor yang menyangkut aspek prozigot dan
postzigot. Mutasi kedua adalah inaktivasi alel kedua dari gen tumor
supresor spesifik.

Gen WT1 pada kromosom 11p13 adalah gen jaringan spesifik untuk
sel blastema ginjal dan epitel glomerolus dengan dugaan bahwa sel
precursor kedua ginjal merupakan lokasi asal terjadinya Wilms Tumor.
Ekspresi WT1 meningkat pada saat lahir dan menurun ketika ginjal telah
makin matur. WT1 merupakan onkogen yang dominan sehingga bila ada
mutasi yang terjadi hanya pada 1 atau 2 alel telah dapat menimbulkan
Wilms Tumor. Gen WT2 pada kromosom 11p15 tetap terisolasi tidak
terganggu.

Gambaran klasik tumor Wilms bersifat trifasik, termasuk sel epitel,


blastema dan stroma. Berdasarkan korelasi histologis dan klinis, gambaran
histopatologik tumor Wilms dapat dikelompokkan dalam dua kelompok,

82
yaitu tumor risiko rendah (favourable), dan tumor risiko tinggi
(unfavourable)

Munculnya tumor Wilm’s sejak dalam perkembangan embrio dan


akan tumbuh dengan cepat setelah lahir. Pertumbuhan tumor akan
mengenai ginjal atau pembuluh vena renal dan menyebar ke organ lain

E. MANIFESTASI KLINIS

Keluhan utama biasanya hanya benjolan perut, jarang dilaporkan


adanya nyeri perut dan hematuria, nyeri perut dapat timbul bila terjadi
invasi tumor yang menembus ginjal sedangkan hematuria terjadi karena
invasi tumor yang menembus sistim pelveokalises. Demam dapat terjadi
sebagai reaksi anafilaksis tubuh terdapat protein tumor dan gejala lain
yang bisa muncul adalah :

1. Hipertensi diduga karena penekanan tumor atau hematom pada


pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai darah ke ginjal, sehingga
terjadi iskemi jaringan yang akan merangsang pelepasan renin atau
tumor sendiri mengeluarkan renin.
2. Anemia
3. Penurunan berat badan
4. Infeksi saluran kencing
5. Malaise
6. Anoreksia
7. Tumor Wilms tidak jarang dijumpai bersama kelainan kongenital
lainnya, seperti aniridia, hemihiperttofi, anomali saluran kemih atau
genitalia dan retardasi mental.
F. PEMERIKSAN PENUNJANG

Tumor Wilms harus dicurigai pada setiap anak kecil dengan massa di
abdomen. Pada 10-25% kasus, hematuria mikroskopik atau makroskopik
memberi kesan tumor ginjal.

83
a. IVP → Dengan pemeriksaan IVP tampak distorsi sistem pielokalises
(perubahan bentuk sistem pielokalises) dan sekaligus pemeriksaan ini
berguna untuk mengetahui fungsi ginjal.

b. Foto thoraks merupakan pemeriksaan untuk mengevaluasi ada tidaknya


metastasis ke paru-paru. Arteriografi khusus hanya diindikasikan untuk
pasien dengan tumor Wilms bilateral

c. Ultrasonografi → USG merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat


membedakan tumor solid dengan tumor yang mengandung cairan. Dengan
pemeriksaan USG, tumor Wilms nampak sebagai tumor padat di daerah
ginjal. USG juga dapat digunakan sebagai pemandu pada biopsi. Pada
potongan sagital USG bagian ginjal yang terdapat tumor akan tampak
mengalami pembesaran, lebih predominan digambarkan sebagai massa
hiperechoic dan menampakkan area yang echotekstur heterogenus.

d. CT-Scan → memberi beberapa keuntungan dalam mengevaluasi tumor


wilms. Ini meliputi konfirmasi mengenai asal tumor intrarenal yang
biasanya menyingkirkan neuroblastoma; deteksi massa multipel;
penentuan perluasan tumor, termasuk keterlibatan pembuluh darah besar
dan evaluasi dari ginjal yang lain. Pada gambar CT-Scan Tumor Wilms
pada anak laki-laki usia 4 tahun dengan massa di abdomen.

 CT scan memperlihatkan massa heterogenus di ginjal kiri dan


metastasis hepar multiple.

 CT scan dengan level yang lebih tinggi lagi menunjukkan


metastasis hepar multipel dengan thrombus tumor di dalam vena
porta.

e. Magnetic resonance imaging (MRI) → MRI dapat menunjukkan


informasi penting untuk menentukan perluasan tumor di dalam vena cava
inferior termasuk perluasan ke daerah  intarkardial. Pada MRI tumor
Wilms akan memperlihatkan hipointensitas (low density intensity)  dan
hiperintensitas (high density intensity)

84
f. Laboratorium → Hasil pemeriksaan laboratorium yang penting yang
menunjang untuk tumor Wilms adalah kadar lactic dehydrogenase (LDH)
meninggi dan Vinyl mandelic acid (VMA) dalam batas normal. Urinalisis
juga dapat menunjukkan bukti hematuria, LED meningkat, dan anemia
dapat juga terjadi, terlebih pada pasien dengan perdarahan subkapsuler.
Pasien dengan metastasis di hepar dapat menunjukkan abnormalitas pada
analisa serum.

G. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan tumor wilms adalah mengusahakan


penyembuhan dengan komplikasi dan morbiditas serendah mungkin.
Biasanya dianjurkan kombinasi pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Dengan terapi kombinasi ini dapat diharapkan hasil yang memuaskan. Jika
secara klinis tumor masih berada dalam stadium dini dan ginjal di sebelah
kontra lateral normal, dilakukan nefrektomi radikal.

Ukuran tumor pada saat datang menentukan cara pengobatan. masing-


masing jenis ditangani secara berbeda, tetapi tujuannya adalah
menyingkirkan tumor dan memberikan kemoterapi atau terapi radiasi yang
sesuai. Apabila tumor besar maka pembedahan definitive mungkin harus
di tunda sampai kemoterapi atau radiasi selesai. Kemoterapi dapat
memperkecil tumor dan memungkinkan reaksi yang lebih akurat dan
aman.

 Penatalaksanaan Medis :

a. Farmakologi
1) Kemoterapi

Tumor Wilms termasuk tumor yang paling peka terhadap


obat kemoterapi. Prinsip dasar kemoterpai adalah suatu cara
penggunaan obat sitostatika yang berkhasiat sitotoksik tinggi
terhadap sel ganas dan mempunyai efek samping yang rendah
terhadap sel yang normal.

85
Terapi sitostatika dapat diberikan pra maupun pasca bedah
didasarkan penelitian sekitar 16-32% dari tumor yang mudah
ruptur. Biasanya, jika diberikan prabedah selama 4 – 8 minggu.
Jadi tujuan pemberian terapi adalah untuk menurunkan resiko
ruptur intraoperatif dan mengecilkan massa tumor sehingga lebih
midah direseksi total.

Ada lima macam obat sitostatika yang terbukti efektif


dalam pengobatan tumor Wilms, yaitu Aktinomisin D, Vinkristin,
Adriamisin, Cisplatin dan siklofosfamid. Mekanisme kerja obat
tersebut adalah menghambat sintesa DNA sehingga pembentukan
protein tidak terjadi akibat tidak terbentuknya sintesa RNA di
sitoplasma kanker, sehingga pembelahan sel-sel kanker tidak
terjadi.

2) Aktinomisin D

Golongan antibiotika yang berasal dari spesies


Streptomyces, diberikan lima hari berturut-turut dengan dosis 15
mg/KgBB/hari secara intravena. Dosis total tidak melebihi 500
mikrogram. Aktinomisin D bersama dengan vinkristin selalu
digunakan sebagai terapi prabedah.

3) Vinkristin

Golongan alkaloid murni dari tanaman Vina rossa, biasanya


diberikan dalam satu dosis 1,5 mg/m 2 setiap minggu secara
intravena (tidak lebih dari 2 mg/m2). Bila melebihi dosis dapat
menimbulkan neurotoksis, bersifat iritatif, hindarkan agar tidak
terjadi ekstravasasi pada waktu pemberian secara intravena.
Vinkristin dapat dikombinasi dengan obat lain karena jarang
menyebabkan depresi hematologi, sedangkan bila digunakan
sebagai obat tunggal dapat menyebab relaps.

86
4) Adriamisin

Golongan antibiotika antrasiklin diisolasi dari streptomyces


pencetius, diberikan secara intravena dengan dosis 20 mg/m 2/hari
selama tiga hari berturut-turut. Dosis maksimal 250 mg/m 2. obat
ini tidak dapat melewati sawar otak dapat menimbulkan toksisitas
pada miokard bila melebihi dosis. Dapat dikombinasi dengan
Aktinomisin D.

5) Cisplatin

Dosis yang umum digunakan adalah 2-3 mg/KgBB/hari atau


20 mg/m2/hari selama lima hari berturut-turut.

6) Siklofosfamid

Dari nitrogen mustard golongan alkilator. Dosis 250 – 1800


mg/m2/hari secara intravena dengan interval 3-4 mg. Dosis peroral
100-300 mg/m2/hari.

b. Non Farmakologi

1) Pembedahan

Keperawatan perioperatif

Karena banyak anak dengan tumor wilms mungkin mendapat obat


kemoterapi kardiotoksik, maka mereka harus diperiksa oleh ahli onkologi
dan di izinkan untuk menjalani operasi. Mereka perlu menjalani
pemeriksaan jantung yang menyeluruh untuk menentukan status fungsi
jantung. Tumor wilms jangan di palpasi untuk menghindari rupture dan
pecahnya sel-sel tumor. Pasien di letakkan dalam posisi telentang dengan
sebuah gulungan di bawah sisi yang terkena. Seluruh abdomen dan dada di
bersihkan.

87
Hasil akhir pada pasien pascaoperatif

Pasien tumor wilms menerima kemoterapi dan terapi radiasi yang


sesuai dengan lesi. Gambaran histologik lesi merupakan suatu indicator
penting untuk prognosis, karena gambaran tersebut menentukan derajat
anaplasia. Anak yan histologiknya relative baik. Maka memiliki prognosis
baik. Sedangkan anak yang gambaran histologiknya buruk, maka memilii
prognosis buruk. Terapi dibuat sespesifik mungkin untuk masing-masing
anak, karena terapi yang lebih sedikit menghasilkan kualitas hidup yang
lebih baik dengan lebih sedikit efek sampingnya.

Nefrektomi radikal dilakukan bila tumor belum melewati garis


tengah dan belum menginfiltrasi jaringan lain. Pengeluaran kelenjar limfe
retroperitoneal total tidak perlu dilakukan tetapi biopsi kelenjar di daerah
hilus dan paraaorta sebaiknya dilakukan. Pada pembedahan perlu
diperhatikan ginjal kontralateral karena kemungkinan lesi bilateral cukup
tinggi. Apabila ditemukan penjalaran tumor ke vena kava, tumor tersebut
harus diangkat.

2) Radioterapi

Tumor Wilms dikenal sebagai tumor yang radiosensitif, tapi


radioterapi dapat mengganggu pertumbuhan anak dan menimbulkan
penyulit jantung, hati dan paru. Karena itu radioterapi hanya diberikan
pada penderita dengan tumor yang termasuk golongan patologi prognosis
buruk atau stadium III dan IV. Jika ada sisa tumor pasca bedah juga
diberikan radioterapi. Radioterapi dapat juga digunakan untuk metastase
ke paru, otak, hepar serta tulang.

 Penatalaksanaan Keperawatan

1. Meredakan kecemasan yang dihadapi pasien dan keluarga


2. Memberikan informasi tentang proses/ kondisi penyakit, prognosis,
dan kebutuhan pengobatan.
3. Mengalihkan rasa nyeri yang dihadapi pasien

88
4. Melakukan kompres untuk menurunkan suhu pasien
5. Membantu aktivitas pasien karena sebagian besar terganggu
dengan adanya tumor diperut
6. Melakukan pemasangan infus untuk menjaga keseimbangan cairan
pasien
H. PENCEGAHAN
A. Pencegahan Primer

Pencegahan primer ini merupakan upaya untuk mempertahankn


orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah agar tidak sakit.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap
kejadian tumor wilms. Upaya yang dilakukan adalah:

a. Rutin melakukan imunisasi seperti : BCG satu kali (pada usia 0-11
bulan), campak satu kali (usia 9-11 bulan), DPT (Dhipteri, Pertusis,
Tetanus) sebanyak 3 kali (Usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B
sebanyak 3 kali (0-9 bulan). Imunisasi merupakan usaha pemberian
kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam
tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap
penyakit tertentu.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara pemberian ASI pada
bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi
pada anak.
c. Hindari dari paparan merokok. Selalu coba untuk tidak merokok di
rumah atau di sekitar bayi, terutama jika bayi memiliki kelainan
saluran napas atau jantung, sistem kekebalan yang rendah, atau lahir
prematur.
B. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah pencegahan yang mana sasaran


utamanya adalah pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang
terancam akan menderita penyakit (tertentu melalui diagnosis dini
(patogenesis awal)

89
Upaya pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah
berlangsung namun belum timbul tanda/gejala sakit

Tujuan Pencegahan sekunder: menghentikan proses penyakit lebih


lanjut dan mencegah komplikasi. Bentuknya berupa deteksi dini dan
pemberian pengobatan (yang tepat). Pengobatan yang cukup untuk
menghentikan proses penyakit. Pemberian obat sitostatika yang terbukti
efektif dalam pengobatan tumor Wilms, yaitu Aktinomisin D, vinkristin,
adriamisin, cisplatin dan siklofosfamid.

C. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk menguragi resiko keparahan


kecacatan dan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah:

a. Pengobatan secara intensif sampai tuntas


b. Mematuhi setiap advis dari dokter
c. Rutin melakukan medical chek-up.
I. KONSEP ANAK
A. Epidemiologi

Insidensi Wilms Tumor adalah 0,8 kasus per 100.000 orang.


Terdapat 500 kasus baru tiap tahun di Amerika Serikat dan sebanyak 6%
darinya melibatkan kedua ginjal. Resiko acak untuk terkena Wilms Tumor
adalah 1 diantara 10.000 kelahiran. Wilms Tumor terutama terjadi pada
anak di bawah usia 5 tahun. Insidensi tertinggi terjadi antara usia 1-3
tahun. Diperkirakan tumor ini terjadi pada 7 diantara sejuta anak di
Amerika Serikat dan lebih banyak mengenai ras Afro-Amerika. Ratio
penderita perempuan dan laki – laki hampir seimbang.

Di Indonesia, di RSUD Dr. Soetomo, jumlah pasien tumor Wilms


yang didiagnosis dari tahun 1989 sampai dengan 2003 sebanyak 70 kasus

B. Tahap Pertumbuhan Fisik Anak Umur 1-3 Tahun (todler)

90
Menurut Nugroho (2009) Peningkatan ukuran tubuh terjadi secara
bertahap yang menunjukkan karakteristik percepatan atau perlambatan
pertumbuhan pada anak umur 1-3 tahun adalah sebagai berikut:

1. Tinggi Badan

Rata-rata tinggi badan batita bertambah tinggi sekitar 7,5 cm


pertahun. Rata-rata tinggi anak usia 2 tahun sekitar 86,6 cm. Tinggi badan
pada usia 2 tahun adalah setengah dari tinggi dewasa yang diharapkan.

2. Berat Badan

Rata-rata pertambahan berat badan batita adalah 1,8 atau 2,7 kg


pertahun. Rata-rata berat badan batita umur 2 tahun adalah 12,3 kg. Pada
usia 2,5 tahun berat badan batita mencapai 4 kali berat badan lahir.

3. Lingkar Kepala

Pada usia 1-2 tahun ukuran lingkar kepala sama dengan lingkar dada.
Total laju peningkatan lingkar kepala pada tahun kedua adalah 2,5 cm
kemudian berkurang menjadi 1,25 cm pertahun sampai umur 5 tahun.

C. Tahap Perkembangan Anak usia 1-3 Tahun (todler)

Tahap perkembangan anak menurut Indiarti (2009) adalah sebagai berikut:

a. Umur 13-14 bulan

Pemahaman akan kata-kata umumnya dimulai saat bayi berusia


delapan bulan. Bayi menghasilkan kata-kata pertamanya pada umur 10-20
bulan. Namun, bayi hanya akan berbicara pada konteks tertentu yang
mudah dipahami, mudah diucapkannya dan sudah diketahui oleh bayi.
Kata-kata yang diucapkan merujuk pada kejadian secara keseluruhan,
misalnya mengucapkan “bapak” saat ia melihat bapaknya. Secara aktif,
bayi sudah memperluas arti sebuah kata untuk menerima perhatian ibunya
dan bayi merasa yakin bahwa ibunya paham apa yang dimaksudkan.

b. Umur 15-17 bulan.

91
Dalam usia ini bayi akan senang melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Menyimak adegan di TV.


b. Melaksanakan instruksi sederhana, seperti segera memberikan
mainan yang dipegang jika ibu memintanya.
c. Mengucapkan kalimat sederhana yang terdiri dari dua kata
misalnya “dah bis” (sudah habis).
d. Menyebutkan tiga anggota tubuhnya seperti mata, rambut, dan
telinga.
c. Umur 18-20 Bulan

Perkembangan aktivitas dan motorik anak 18-20 bulan antara lain


yaitu :

a. Berjalan mengeksplorasi rumah serta sekeliling rumah tanpa


bantuan.
b. Menyusun 2-3 kotak.
c. Mampu mengatakan 5-10 kata.
d. Memperlihatkan rasa cemburu dan rasa saing.
d. Umur 20-24 Bulan

Sementara pada umur 20-24 bulan perkembangan aktivitas dan


motorik yang terjadi pada anak adalah sebagai berikut:

a. Mampu menyusun dua kata.


b. Menaruh minat pada apa yang dikerjakan orang dewasa.
c. Naik dan turun tangga.
d. Menunjuk mata dan hidungnya.
e. Belajar makan sendiri.
f. Menggaris di kertas atau pasir.
g. Mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil.

92
e. Umur 24 -36 bulan

Saat memasuki umur tiga tahun anak terus mengalami perkembangan


aktivitas dan motorik antara lain sebagai berikut:

a. Belajar meloncat, memanjat, serta melompat dengan satu kaki.


b. Mempergunakan kata-kata “saya”, “bertanya” serta mengerti kata-
kata yang ditujukan kepadanya.
c. Mampu menggambar lingkaran.
d. Bermain bersama dengan anak lain dan menyadari adanya lingkungan
lain diluar keluarganya.
e. Mampu membuat jembatan dengan tiga kotak.
f. Mampu menyusun kalimat.
D. Yang Perlu Diperhatikan

Perkembangan setiap anak memang berbeda-beda, namun bisa


dikonsultasikan ke dokter apabila si kecil:

 Belum bisa berjalan

 Tidak mengerti kegunaan dari barang-barang yang sering dia lihat

 Tidak mengucapkan setidaknya 6 kata

 Tidak mengikuti ucapan dan aksi orang sekitarnya

 Tidak mengikuti instruksi yang mudah

 Melupakan kemampuan yang baru dia pelajari dengan mudah

93
LAPORAN
PENDAHULUAN TOF
A. Definisi Tetralogy Of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan kelainan jantung bawaan
sianotik. Kelainan yang terjadi adalah kelainan pertumbuhan dimana
terjadi defek atau lubang dari bagian infundibulum septum intraventrikular
(sekat antara rongga ventrikel) dengan syarat defek tersebut paling sedikit
sama besar dengan lubang aorta (Yayan A.I, 2010). Sebagai
konsekuensinya, didapatkan adanya empat kelainan anatomi sebagai
berikut:

Gambar 1. Jantung normal dan jantung TOF


1. Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat antara kedua
rongga ventrikel
2. Stenosis pulmonal terjadi karena penyempitan klep pembuluh darah yang
keluar dari bilik kanan menuju paru, bagian otot dibawah klep juga
menebal dan menimbulkan penyempitan.
3. Aorta overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel
kiri mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar
dari bilik kanan.

94
4. Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel kanan karena
peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal

Pada penyakit (TOF) yang memegang peranan penting adalah


defek septum ventrikel dan stenosis pulmonalis, dengan syarat defek
pada ventrikel paling sedikit sama besar dengan lubang aorta (Yayan A.I,
2010).

B. Epidemiologi
Tetralogy of fallot timbul pada +/- 3-6 per 10.000 kelahiran dan
menempati angka 5-7% dari kelainan jantung akibat congenital. Sampai
saat ini para dokter tidak dapat memastikan sebab terjadinya, akan tetapi
penyebabnya dapat berkaitan dengan factor lingkungan dan juga factor
genetic atau keduanya. Dapat juga berhubungan dengan kromosom 22
deletions dan juga Digeorge Syndrome. Ia lebih sering muncul pada laki-
laki daripada wanita. Pengertian akan embryology daripada penyakit ini
adalah sebagai hasil kegagalan dalam conal septum bagian anterior,
menghasilkan kombinasi klinik berupa VSD, pulmonary stenosis, and
overriding aorta. Perkembangan dari hipertropi ventricle kanan adalah oleh
karena kerja yang makin meningkat akibat defek dari katup pulmonal. Hal
ini dapat diminimalkan bahkan dapat dipulihkan dengan operasi yang
dini.Supit, Alice I., Kaunang. Erling D, 2012).

C. Etiologi
Kebanyakan penyebab dari kelainan jantung bawaan tidak diketahui,
biasanya melibatkan berbagai faktor. Faktor prenatal yang berhubungan
dengan resiko terjadinya tetralogi Fallot adalah:
1. Selama hamil, ibu menderita rubella (campak Jerman) atau infeksi virus
lainnya
2. Gizi yang buruk selama
3. Ibu yang alkoholik
4. Usia ibu diatas 40 tahun
5. Ibu menderita diabetes

95
6. Tetralogi Fallot lebih sering ditemukan pada anak-anak yang menderita
sindroma Down Tetralogi Fallot dimasukkan ke dalam kelainan jantung
sianotik karena terjadi pemompaan darah yang sedikit mengandung
oksigen ke seluruh tubuh, sehingga terjadi sianosis (kulit berwarna
ungu kebiruan) dan sesak nafas. Mungkin gejala sianotik baru timbul di
kemudian hari, dimana bayi mengalami serangan sianotik karena
menyusu atau menangis (Yayan A.I, 2010).
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan juga
diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen, antara lain :
a. Faktor endogen :
1. Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom
2. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung
bawaan
3. Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes
melitus, hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan
b. Faktor eksogen :
1. Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB
oral atau suntik,minum obat-obatan tanpa resep dokter,
(thalidmide, dextroamphetamine.aminopterin, amethopterin,
jamu).
2. Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
3. Pajanan terhadap sinar –X
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut
jarang terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih
dari 90% kasus penyebab adaah multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan
terhadap faktor penyebab harus ada sebelum akhir bulan kedua
kehamilan , oleh karena pada minggu ke delapan kehamilan pembentukan
jantung janin sudah selesai

D. Manifestasi Klinis
Anak dengan TOF umumnya akan mengalami keluhan :
1. Sesak yang biasanya terjadi ketika anak melakukan aktivitas (misalnya
menangis atau mengedan)

96
2. Berat badan bayi tidak bertambah
3. Pertumbuhan berlangsung lambat
4. Jari tangan seperti tabuh gendering/ gada (clubbing fingers)
5. Sianosis /kebiruan sianosis akan muncul saat anak beraktivitas,
makan/menyusu, atau menangis dimana vasodilatasi sistemik
(pelebaran pembuluh darah di seluruh tubuh) muncul dan menyebabkan
peningkatan shunt dari kanan ke kiri (right to left shunt).
Darah yang miskin oksigen akan bercampur dengan darah yang kaya
oksigen dimana percampuran darah tersebut dialirkan ke seluruh tubuh.
Akibatnya jaringan akan kekurangan oksigen dan menimbulkan gejala
kebiruan. Anak akan mencoba mengurangi keluhan yang mereka alami
dengan berjongkok yang justru dapat meningkatkan resistensi pembuluh
darah sistemik karena arteri femoralis yang terlipat. Hal ini akan
meningkatkan right to left shunt dan membawa lebih banyak darah dari
ventrikel kanan ke dalam paru-paru. Semakin berat stenosis pulmonal yang
terjadi maka akan semakin berat gejala yang terjadi (Yayan A.I, 2010).

E. Patofisiologi
Pada tetralogi fallot terdapat empat macam kelainan jantung yang
bersamaan, yaitu :
1. Darah dari aorta berasal dari ventrikel kanan bukan dari kiri, atau
dari sebuah lubang pada septum, seperti terlihat dalam gambar,
sehingga menerima darah dari kedua ventrikel.
2. Arteri pulmonal mengalami stenosis, sehingga darah yang mengalir
dari ventrikel kanan ke paru-paru jauh lebih sedikit dari normal;
malah darah masuk ke aorta.
3. Darah dari ventrikel kiri mengalir ke ventrikel kanan melalui
lubang septum ventrikel dan kemudian ke aorta atau langsung ke
aorta, mengaabaikan lubang ini. 4. Karena jantung bagian kanan
harus memompa sejumlah besar darah ke dalam aorta yang
bertekanan tinggi, otot-ototnya akan sangat berkembang, sehingga
terjadi pembesaran ventrikel kanan (Yayan A.I, 2010).

97
Kesulitan fisiologis utama akibat Tetralogi Fallot adalah karena
darah tidak melewati paru sehinggatidak mengalami oksigenasi. Sebanyak
75% darah vena yang kembali ke jantung dapat melintas langsung dari
ventrikel kanan ke aorta tanpa mengalami oksigenasi (Yayan A.I, 2010).
Untuk klasifikasi/ Derajat TOF dibagi dalam 4 derajat :
1. Derajat I : tak sianosis, kemampuan kerja normal
2. Derajat II : sianosis waktu kerja, kemampuan kerja kurang
3. Derajat III : sianosis waktu istirahat. kuku gelas arloji, waktu kerja
sianosis bertambah, ada dispneu.
4. Derjat IV : sianosis dan dispneu istirahat, ada jari tabuh.

98
F. Parthway

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht)
akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin
dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA
menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2),
penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH.pasien
dengan Hn dan Ht normal atau rendah mungkin menderita defisiensi besi
(Samik Wahab, 1996).

99
2. Radiologis
Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah
pulmonal, tidak ada pembesaran jantung . gambaran khas jantung tampak
apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu.
3. Elektrokardiogram
Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak
pula hipertrofi ventrikel kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal
4. Ekokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi
ventrikel kanan,penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran
darah ke paru-paru
5. Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui defek
septum ventrikel multiple, mendeteksi kelainan arteri koronari dan
mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi adanya penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan
pulmonalis normal atau rendah (Samik Wahab, 1996)..

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan deangan kemungkinan penderita Tetralogi Fallot
dapat dirawat jalan jika derajat termasuk pada derajat I, II, atau III tanpa
sianosis maupun dispneu berat. Jika penderita perlu rawat inap, apabila
Tetralogi Fallot termasuk dalam derajat IV dengan sianosis atau dispneu
berat (Yayan A.I, 2010). Berikut penatalaksanaannya:
A. Tatalaksana Penderita Rawat Inap:
1. Mengatasi kegawatan yang ada.
2. Oksigenasi yang cukup.
3. Tindakan konservatif.
4. Tindakan bedah (rujukan) :
- Operasi paliatif : modified BT shunt sebelum dilakukan koreksi
total:
dilakukan pada anak BB < 10 kg dengan keluhan yang jelas.
(derajat IIIdan IV)

100
-   Koreksi total: untuk anak dengan BB > 10 kg : tutup VSD +
reseksi infundibulum.
5. Tatalaksana gagal jantung kalau ada.
6. Tatalaksana radang paru kalau ada.
7. Pemeliharaan kesehatan gigi dan THT, pencegahan endokarditis
B. Tatalaksana Rawat Jalan
1. Derajat I :
- Medikametosa : tidak perlu
Operasi (rujukan ) perlu dimotivasi, operasi total dapat
dikerjakan kalauBB > 10 kg. Kalau sangat sianosis/ada
komplikasi abses otak, perlu dilakukan operasi paliatif.
- Kontrol : tiap bulan.
2. Derajat II dan III :
- Medikamentosa ; Propanolol
- Operasi (rujukan) perlu motivasi, operasi koreksi total dapat
dikerjakan kalau BB > 10 kg. Kalau sangat sianosis/ada
komplikasi abses otak, perlu dilakukan operasi paliatif.
- Kontrol : tiap bulan
- Penderita dinyatakan sembuh bila : telah dikoreki dengan
baik.
C. Pengobatan Pada Serangan Sianosis
a. Usahakan meningkatkan saturasi oksigen arteriil dengan
cara :
- Membuat posisi knee chest atau fetus
- Ventilasi yang adekuat
b. Menghambat pusat nafas denga Morfin sulfat 0,1-0,2
mg/kg im atau subkutan
c. Bila serangan hebat bisa langsung diberikan Na Bic 1
meq/kg iv untuk mencegah asidosis metabolik
d. Bila Hb < 15 gr/dl berikan transfusi darah segar 5 ml/kg
pelan sampai Hb 15-17 gr/dl

101
e. Propanolol 0,1 mg/kg iv terutama untuk prolonged spell
diteruskan dosis rumatan 1-2 mg/kg oral
Tujuan utama menangani Tetralogi Fallot adalah koreksi primer yaitu
penutupan defek septum ventrikel dan pelebaran infundibulum ventrikel
kanan. Pada umunya koreksi primer dilaksanakan pada usia kurang lebih 1
tahun dengan
perkiraan berat badan sudah mencapai sekurangnya 8 kg. Jika
syaratnya belum terpenuhi, dapat dilakukan tindakan paliatif, yaitu
membuat pirau antara arteri sistemik dengan dengan arteri pulmonalis,
misalnya Blalock-Tausig shunt  (pirau antara A. subclavia dengan cabang
A. pulmonalis). Bila usia anak belum mencapai 1 tahun(Yayan A.I, 2010).
Orang tua dari anak-anak yang menderita kelainan jantung bawaan bisa
diajari tentang cara-cara menghadapi gejala yang timbul:
- Menyusui atau menyuapi anak secara perlahan
- Memberikan porsi makan yang lebih kecil tetapi lebih sering.
- Mengurangi kecemasan anak dengan tetap bersikap tenang.
- Menghentikan tangis anak dengan cara memenuhi kebutuhannya.
-  Membaringkan anak dalam posisi miring dan kaki ditekuk ke dada selama
serangan sianosis.

102
I. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoksemia


ditandai dengan Ibu kalien mengatakan pasien mengalami
kesulitan dalam bernafas, pasien tampak Iemah dan kebiruan
(sianosis), pasien terlihat sesak napas, suhu 36oC, nadi  80 x /
menit, respirasi = 29 x / menit, tekanan darah = 100 x/80mmHg.
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan Ibu klien
mengatakan aktivitas klien berkurang karena klien sering
mengalami kelelahan dan sering mengalami sesak dalam bernafas,
Ibu klien mengatakan bahwa klien mengalami kesulitan dalam
bernafas. Pasien tampak Iemah dan kebiruan, suhu = 36oC, nadi =
80 x / menit, respirasi = 29 x / menit, tekanan darah = 100
x/80mmHg.
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurang minat pada makanan ditandai dengan
Ibu klien mengatakan, klien tidak nafsu makan, awal 1 porsi,
sekarang menjadi ¼ porsi, Ibu klien mengatakan, aktivitas klien
berkurang, karena klien sering mengalami kelelahan dan sering
mengalami sesak dalam bernafas. Klien biasanya minum ± 5
sampai 6 gelas/hari masing, sekarang hanya bisa minum ± 4 gelas,
pasien tampak lemah, BB = 9 kg (sebelum sakit), BB= 7 kg
(saat dikaji).

103
LAPORAN
PENDAHULUAN
THALASEMIA

A. DEFENISI THALASEMIA
 Suriadi dan Yuliani, 2010
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan di tandai
oleh defisiensi produk rantai globin pada hemoglobin.
 Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Aru W. Sudoyo, dkk. 2009
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yag diwariskan dan masuk
dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan
gangguan sintesis Hb akibat mutasi didalam ataudekat gen globin
 Tjokronegoro, A. 2001
Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter
dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida
terganggu.
 Pedoman Diagnosis dan Terapi: RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994
Talasemia adalah suatu penyakit kongenital herediter yang
diturunkan secara autosomal, berdasarkan kelainan hemoglobin, yaitu :
satu atau lebih rantai polipeptida hemglobin kurang atau tidak berbentuk,
dengan akibat terjadi anemia hemolitik.

B. ETIOLOGI THALASEMIA
 Ilmu Kesehatan Anak.2007.FKUI
Adapun etiologi dari thalasemia adalah factor genetic( herediter).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur
eritrosit menjadi pendek(<100 hari). Penyebab kerusakan tersebut karena
haemoglobin yang tidak normal dan kelainan pembentukan hemoglobin
karena gangguan structural pembentukan hemoglobin(hemoglobin
abnormal).

104
C. KLASIFIKASI THALASEMIA
1. Thalasemia Beta(ß)
Merupakan anemia yang sering dijumpai yang diakibatkan oleh
defek yang diturunkan dalam sintesis rantai beta hemoglobin.

Thalasemia beta meliputi:

a. Thalasemia beta mayor


Bentuk homozigot merupakan anemia hipokrom mikrositik yang
berat dengan hemolisis di dalam sumsum tulang dimulai pada tahun
pertama kehidupan.Kedua orang tua merupakan pembawa “ciri”. Gejala –
gejala bersifat sekunder akibat anemia dan meliputi pucat, wajah yang
karakteristik akibat pelebaran tulang tabular pada tabular pada kranium,
ikterus dengan derajat yang bervariasi, dan hepatosplenomegali.

b. Thalasemia Intermedia dan minor


Pada bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda – tanda anemia
ringan dan splenomegali. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan kadar
Hb bervariasi, normal agak rendah atau meningkat (polisitemia). Bilirubin
dalam serum meningkat, kadar bilirubin sedikit meningkat.

2. Thalasemia alpa(ɤ)
Merupakan thalasemia dengan defisiensi pada rantai ɤ

D. PATOFISIOLOGI THALASEMIA
Pada keadaan normal, disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang
terdiri dari 2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih
kurang 95 % dari seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2
yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan kadarnya tidak
lebih dari 2 % pada keadaan normal. Haemoglobin F (foetal) setelah lahir
Fetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti
orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal.
Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada
thalasemia, satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi
sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan dalam

105
proses pembentukan hemoglobin normal orang dewasa (HbA). Kelebihan
rantai globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding eritrosit.
Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit
memberikan gambaran anemia hipokrom, mikrositer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu,
mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau
HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru
memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai
usaha kompensasi. Eritropoesis didalam susunan tulang sangat giat, dapat
mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada
eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan
prekusornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif)
dan masa hidup eritrosit memendek dan hemolisis. (Soeparman, dkk,
1996).

106
E. TANDA DAN GEJALA ANEMIA
            Talasemia ditandai dengan penurunan produksi sel darah merah
dan terjadi anemia hemolitik kronis. Secara klinis hemoglobin abnormal
dalam eritrosit(hipokromia), eritrosit dengan ukuran lebih kecil dari
normal(mikrositosis) kerusakan elemen darah(hemolisis) dan berbagai
tingkat anemia. Gejalanya adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada Gejala
Alpha Thalassemia silent carrier umumnya tidak memiliki
tanda-tanda atau gejala. Hal ini terjadi karena kekurangan protein
globin alfa sangat kecil sehingga hemoglobin dalam darah masih
dapat bekerja normal.
2. Anemia ringan

107
Orang yang telah menderita thalassemia alfa atau beta dapat
mengalami anemia ringan. Namun, banyak orang dengan jenis
talasemia tidak memiliki tanda-tanda atau gejala yang spesifik.
Anemia ringan dapat membuat penderita merasa lelah dan hal ini
sering disalahartikan menjadi anemia yang kekurangan zat besi.
3. Anemia ringan sampai sedang dan tanda serta gejala lainnya
Penderita beta talasemia intermedia dapat mengalami  anemia
ringan sampai sedang. Mereka juga mungkin memiliki masalah
kesehatan lainnya, seperti:
a) Memperlambat pertumbuhan. Anemia dapat memperlambat
pertumbuhan anak dan perkembangannya.
b) Masalah tulang, thalassemia dapat membuat sumsum tulang
(materi spons dalam tulang yang membuat sel-sel darah) tidak
berkembang. Hal ini menyebabkan tulang lebih luas daripada
biasanya. Tulang juga dapat menjadi rapuh dan mudah patah.
c) Pembesaran limpa. Limpa adalah organ yang membantu
tubuh melawan infeksi dan menghapus materi yang tidak
diinginkan. Ketika seseorang menderita talasemia, limpa harus
bekerja sangat keras. Akibatnya, limpa menjadi lebih besar
dari biasanya. Hal ini membuat penderita mengalami anemia
parah. Jika limpa menjadi terlalu besar maka limpa tersebut
harus disingkirkan.

4. Anemia berat dan tanda serta gejala lainnya


Orang dengan penyakit hemoglobin H atau thalassemia
beta mayor (disebut juga Cooley's anemia) akan mengalami talasemia
berat. Tanda dan gejala-gejala muncul dalam 2 tahun pertama
kehidupannya. Mereka mungkin akan mengalami anemia parah dan
masalah kesehatan serius lainnya, seperti:
a) Pucat dan penampilan lesu
b) Nafsu makan menurun
c) Urin akan menjadi lebih pekat

108
d) Memperlambat pertumbuhan
e) Kulit berwarna kekuningan
f)  Pembesaran limpa dan hati
g) Masalah tulang (terutama tulang di wajah)

F. PENATALAKSANAAN
Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan
thalasemia. Namun terdapat cara penanganan yang secara umum untuk
menangani penyakit Talasemia, diantaranya :
1. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%,
atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam
dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi
darah.Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi
kebutuhan yang meningkat.Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai
antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan  tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya
rupturHipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi
darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat
badan dalam satu tahun.
3. Suportif
           Transfusi darah :  Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl.
Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi,  dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk

109
PRC (packed red cell), 10 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl. Ada
beberapa cara transfusi :
a) Low Transfusion               : transfusi bila Hb < 6 g/dl.
b)  High Transfusion             : Hb dipertahankan pada 10 g/dl.
c) Super Transfusion             : Hb dipertahankan pada 12 g/dl.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi Talasemia yang dapat terjadi antara lain:
         Hemosiderosis

         Hipersplenisme

         Patah tulang
         Payah Jantung

         Infark tulang
         Nekrosis

         Hematuria sering berulang-ulang

110
LAPORAN
PENDAHULUAN PADA PASIEN
DENGAN SINDROM NEFROTIK
A. Pengertian
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan
protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).

B. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-
antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini
resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan
adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder Disebabkan oleh:
1. Malaria kuartana atau parasit lain.
2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
3. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis venarenalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.

106
3. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi
dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa,
glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.

C.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.
3. Hipoproteinemi dan albuminemia.
4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
5. Lipid uria.
6. Mual, anoreksia, diare.
7. Anemia, pasien mengalami edema paru.
D. Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia


sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir
normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus


sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis,
bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

3. Sindrom Nefrotik Kongenital

Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal.


Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya
adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan
dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak
dilakukan dialysis.

107
E.Patofisiologi

Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama


adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai
manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena
kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya
belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative
gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik
keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang
sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak
akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan
dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).

Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari


yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan
hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar
albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema
belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi
karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang
memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan
keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan
pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan


volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume
sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume
intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan
meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi
natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti
diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus.

108
Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena
onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan
memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).

Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti


diuretic hormone akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada
sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum
meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya
katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan
arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).

109
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium

a. Urine

Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase


oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan
menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin,
porfirin.

b. Darah

Hemoglobin menurun karena adanya anemia.


Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi
dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan
retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau
pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida,
fsfat dan magnesium meningkat. Albumin < 2,5 g / dl,
kolesterol dan trigliserid meningkst.

2. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.

G. Penatalaksanan

1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang


menimbulkan keadaan tidak berdaya dan selama infeksi
yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan
tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat
badan yang cepat.

2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi


menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium
dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis
dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan.
Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha
memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang
persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat
kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram

110
protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami
anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin
masukan yang adekuat.

3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan


masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit
dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester

111
atau verban harus dikurangi sampai
minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat
dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan
dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus
dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus
disokong dengan popok yang tidak menimbulkan
kontriksi, hindarkan menggosok kulit.

4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup


akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah
alis mata yang melekat, mereka harus diswab
dengan air hangat.
5. Kemoterapi:

• Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan


kortokisteroid yang mempunyai efek samping
minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga
dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan
dua kali sehari. Diuresis umumnya sering
terjadi dengan cepat dan obat dihentikan
setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan
atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi
meliputi terhentinya pertumbuhan,
osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters
mellitus, konvulsi dan hipertensi.

• Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi


dengan diuretika untuk mengangkat cairan
berlebihan, misalnya obat-abatan
spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ).
Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada
dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini
termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin
dan siklofosfamid.

110
6. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan
mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga
muntah dan pingsan. Terapinya dengan
memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi
dan tekanan darah.

7. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami


sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi
dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus
juga merupakan hal yang menganggu pada anak
dengan steroid dan siklofosfamid.

8. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan


grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian,
pencatatan tekanan darah dan pencegahan
dekubitus.

9. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan


anak sering kali tergangu dengan penampilan anak.
Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang
penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang
berta pada keluarga dengan masa remisi,
eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara
periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang
tua sehingga mereka mereka dapat mengerti
perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan
frustasi akan timbul pada mereka karena
mengalami relaps yang memaksa perawatan di
rumahn

sakit.

H. Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan


osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)

111
2. Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.
(Doengoes, 2000: 177)

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.


anoreksia. (Carpenito,1999: 204)

4. Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur


invasif (Carpenito, 1999:204).

5. Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L,


2004:550)

6. Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.


(Wong,Donna,2004:550) 7. Gangguan body image
b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna,
2004:553).

7. Gangguan pola eliminasi:diare b.d.


mal absorbsi.

112
LAPORAN
PENDAHULUAN SLE
( SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS)

A. DEFINISI
1. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998) .
2. SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang
multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan
penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi
dalam tubuh. (Albar, 2003)
3. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit
auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah
arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
4. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak
jelas etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat
autoantibodi dan kompleks imun yang ditunjukkan kepada salah satu
atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada wanita usia
subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20
tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi,
kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J.
Leveno, dkk, 2009)
B. EPIDEMIOLOGI
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia
(Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-
beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003).
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika –
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.

113
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan
insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi
penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi
yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan
pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai
prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus
per 100.000 populasi.
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui
tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu
1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey,
data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama
tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati
urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.
C. ETIOLOGI
 Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam
kerentanan penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE memiliki
kerabat dekat yang menderita SLE juga.
 Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
 SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan degan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring
benda asing tersebut. (Herfindal et al, 2000)
 Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem
imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit non spesifik yang akan memicu
terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)

114
D. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain: faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.
E. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus >>  Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit
lupus yang menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram
dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan
folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di
bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap
(Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang
menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi,
darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem

115
imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)
3. Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh
induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini
direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian
obat dihentikan (Herfindal et al., 2000).
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan (Hahn, 2005).
1. Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis),
pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
4. Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE,
mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang
dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril
atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.

116
5. Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering
terjadi daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp.
dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur,
tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
6. Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang
menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
7. Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus
SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria.
Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi;
hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis
penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis
penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis
biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan
fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa
lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain
yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,
tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah
satu penyebab kematian SLE kronik.
8. Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas
dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi
depresi dan psikosis.

117
G. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara
lain :
 Pemeriksaan Fisik
 Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan
vaskuler.
 Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak
bengkak & kemerahan pada metacarpophalangaeal dextra & sinistra
atau tidak, tampak adanya deformitas dan tampak adanya lesi akut
pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi pasien atau tidak. Ada ruam pada
wajah dan leher klien atau tidak.
 Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau
tidak, pergerakan nafasnya normal atau tidak, ada nyeri tekan atau
tidak di daerah abdomen dan daerah ekstremitas atas maupun
bawahnya, serta raba ada krepitasi atau tidak pada ekstremitas atas
maupun bawah klien. Ada oedema atau tidak dan suhu teraba hangat
atau tidak.
 Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.
H. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap
dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam,
keletihans ecara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis,
pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan
anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik
 Anti ds DNA
 Batas normal : 70 – 200 iu/mL
 Negatif             :   < 70 iu/mL
 Positif  : > 200 iu/mL

118
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
 Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang
lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang
inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit
tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap
SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium
yang lain, jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test
laboratorium yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya
dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti
RNP/antiribonukleo protein.
Pemeriksaan khusus:
 Biopsi ginjal
 Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular
pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%)
maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

119
I. PENATALAKSANAAN
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang
didapatkan remisi yang sempurna). Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu
diet tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip
dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:
 Monitoring teratur
 Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
 Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan
pemberian sun screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar
matahari
 Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan
antibiotik yang adekuat.
 Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.
obat – obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai
berikut:
1. Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS} >> NSAIDS berguna
karena kemampuanya sebagai analgesic, antipiretik dan inflamasi.
Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan
arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak
diteliti kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk
mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi
dengan steroid dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek
samping yang lebih sedikit, diharapkan dapat mengatasi hal ini,
saying belum ada penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek
samping dari OAINS adalah: reaksi hipersensivitas, gangguan renal,
retensi cairan, meningitis aseptik.
2. Korticosteroid >> Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui
mekanisme antiinflamasi dan amunosuprefh dari berbagai jenis
steroid yang paling sering digunakan adalah pprednison dan
multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan yang tidak dapat
dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison 2,5 mg
samapai 5 mg,. Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2 minggu

120
tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang
mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan
antimalariatidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE
yang membaik de ngan steroid antara lain: vaskulitis, dermatitis berat
miocarditis, lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik,
neufropati perifer dan kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat
beberapa regment pembenan steroid:
1. Regmen I : daily oral short acting {predmison, prednisolon,
multiprednisolon} dosis: 1-2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis
terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai dengan
perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat cepat
mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi
hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10 minggu untuk
glumerulonefritis
2. Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-
1000mg/hari, selama 3-5 minggu atau 30 mg/kgBB/hari selama
3 hari. Regimen mungkin sangat cepat mengontrol penyakit
lebih cepat dari pada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang
hanyan bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk
terapi SLE jangka lama
3. Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit
ezayhioprine cyclophos phamide.
4. Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan
kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
b. Antimalaria >> Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai
kulit dan sendi telah lama diketahui dan obat ini telah dianggap
sebagai obat pilihan pertama untuk cara mengganggu pemoresan
antigen dimakrofag dan sel pengaji antigen yang lain dengan
peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga menghamabat dan
mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan bahwa
antimalaria dapat menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada
penderita SLE yang menerima steroidmaupun yang tidak. Terdapat 3

121
obat antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis 200-
400mg/hari, klorokuin dan efek sampingnya lebih ringan. Efek
samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran
pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah
timbulnya ruam, toksisitas retin dan neurologis
c. Methoreksat >> Methoreksat adalah antagonis folat yang jika
diberikan dalam dosis untuk penyakit rematik efek
imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat
hioprin . methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif
sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita,
terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal.
Efek samping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral,
toksisitas gastrointestinal dan hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek
samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan
hepar pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian
asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

122
LAPORAN
PENDAHULUAN (RHD)

A. DEFENISI
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya
Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu proses peradangan yang
mengenai jaringan-jaringan penyokong tubuh, terutama persendian,
jantung dan pembuluh darah oleh organisme streptococcus hemolitic-b
grup A (Pusdiknakes, 2006).

Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan


kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang
berulang kali. (kapita selekta, edisi 3, 2007)

Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik


akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta
Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum
diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans
akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.

B. ETIOLOGI
Penyebab secara pasti dari RHD belum diketahui, namun penyakit
ini sangat berhubungan erat dengan infeksi saluran napas bagian atas yang
disebabkan oleh streptococcus hemolitik-b grup A yang pengobatannya
tidak tuntas atau bahkan tidak terobati. Pada penelitian menunjukan bahwa
RHD terjadi akibat adanya reaksi imunologis antigen-antibody dari tubuh.
Antibody yang melawan streptococcus bersifat sebagai antigen sehingga
terjadi reaksi autoimun.

123
Terdapat faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada reaksi
timbulnya RHD yaitu :

1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA
terhadap demam rematik menunjukan hubungan dengan aloantigen sel B
spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.

2. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida
bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan
glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis
dan valvulitis pada reumatik fever.

3. Keadaan sosial ekonomi yang buruk


Keadaan sosial ekonomi yang buruk adalah sanitasi lingkungan yang
buruk, rumah dengan penghuni yang padat, rendahnya pendidikan
sehingga pemahaman untuk segera mencari pengobatan anak yang
menderita infeksi tenggorokan sangat kurang ditambah pendapatan yang
rendah sehingga biaya perawatan kesehatan kurang.

4. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens
infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam
reumatik juga meningkat.

C. KLASIFIKASI
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantun reumatik
dapat dibagi dalam 4 stadium menurut Ngastiyah, 1995:99 adalah:

1.    Stadium I

Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus


Hemolyticus Grup A. Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu
menelan, Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat

124
2.    Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten,ialah masa antara infeksi


streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode
ini berlangsung 1-3 minggu,kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu
atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

3.    Stadium III

Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam
reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam
reumatik /penyakit jantung reumatik.Manifestasi klinis tersebut dapat
digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik
demam reumatik /penyakit jantung reumatik.

Gejala peradangan umum : Demam yang tinggi, lesu, Anoreksia,


Lekas tersinggung, Berat badan menurun, Kelihatan pucat, Epistaksis,
Athralgia, Rasa sakit disekitar sendi, Sakit perut

4.    Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam


reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik
tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.

Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa


kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta
beratnya kelainan.Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun
penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi
penyakitnya.

D. PATOFISIOLOGI
Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik biasanya didahului
oleh radang saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh infeksi
streptokokus beta-hemolitikus golongan A, sehingga bakteri termasuk
dianggap sebagai penyebab demam reumatik akut.

125
Infeksi tenggorokan yang terjadi bisa berat, sedang, ringan, atau
asimtomatik, diikuti fase laten (asimtomatik) selama 1 sampai 3 minggu.
Baru setelah itu timbul gejala-gejala demam reumatik akut.

Hingga sekarang masih belum diketahui dengan pasti hubungan


langsung antara infeksi streptokokus dengan gejala demam reumatik akut.

Produk streptokokus yang antigenik secara difusi keluar dari sel-sel


tenggorok dan merangsang jaringan limfoid untuk membentuk zat anti.
Beberapa antigen streptokokus, khususnya Streptolisin O dapat
mangadakan reaksi-antibodi antara zat anti terhadap streptokokus dan
jaringan tubuh.

Pada demam reumatik dapat terjadi keradangan berupa reaksi


eksudatif maupun proliferatif dengan manifestasi artritis, karditis, nodul
subkutan eritema marginatum dan khorea.

Kelainan pada jantung dapat berupa endokarditis, miokarditis, dan


perikarditis.

126
E. MANIFESTASI KLINIS
Untuk menegakkan diagnose demam dapat digunakan criteria Jones yaitu:

a. Kriteria mayor:
1. Poliarthritis

Pasien dengan keluhan sakit pada sendi yang berpindah – pindah,


radang sendi – sendi besar, lutut, pergelangan kaki, pergelangan
tangan, siku (Poliartitis migran).

2. Karditis

Peradangan pada jantung (miokarditis, endokarditis)

127
3.  Eritema Marginatum

Tanda kemerahan pada batang tubuh dan telapak tangan yang


tidak gatal.

4. Nodul Subkutan

Terletak pada permukaan ekstensor sendi terutama siku, ruas jari,


lutut, persendian kaki; tidak nyeri dan dapat bebas digerakkan.

5.  Khorea Syndendham

Gerakan yang tidak disengaja / gerakan abnormal, sebagai


manifestasi peradangan pada sistem saraf pusat.

b. Kriteria minor:
1. Mempunyai riwayat
menderita demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
2. Artraliga atau nyeri sendi
tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien kadang – kadang
sulit menggerakkan tungkainya
3. Demam tidak lebih dari 390 C
4.  Leukositosis
5. Peningkatan laju endap darah
(LED)
6.  Peningkatan pulse/denyut
jantung saat tidur
7.  Peningkatan Anti
Streptolisin O (ASTO)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan ASTO,
peningkatan laju endap darah ( LED ),terjadi leukositosis, dan dapat terjadi
penurunan hemoglobin.
2. Radiologi

128
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukan terjadinya pembesaran pada
jantung.
3. Hapusan tenggorokan
Ditemukan steptococcus hemolitikus b grup A
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada Penyakit Jantung Rematik yaitu:

1. Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.


Kelompok Tirah baring Mobilisasi bertahap

Klinis ( minggu ) ( minggu)

- Karditis (  -  )

- Artritis    ( + ) 2 2

- Karditis     ( + )

- Kardiomegali (-) 4 4

-   Karditis (  +  )

-   Kardiomegali(+) 6 6

-   karditis ( +  )

-   Gagal jantung (+


) >6 > 12

2. Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin


benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000
unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10
hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk
10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu
sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat
badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel
darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan

129
neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun
pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3.    Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan
ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat
dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan
hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali,
salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi
dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari
selama 4-6 minggu kemudian.

Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan


kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kg
BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila gawat,
diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-
3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3
hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan
dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya
untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Penurunan curah jantung


berhubungan dengan adanya gangguan pada penutupan katup mitral
( stenosiskatup )
2.  Nyeri akut/kronis berhubungan dengan distensi
jaringan oleh akumulasi cairan/proses inflamasi, destruksi sendi.
3. Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung akibat kompensasi
sistem saraf simpatis
4. Intoleran aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
5. Peningkatan suhu tubuh b/d proses inflamasi

130
LAPORAN
PENDAHULUAN
HISPRUNG

A. Pengertian

Penyakit hisprung atau megakolon aganglionik bawaan


disebabkan oleh kelainan inervasi usus, di mulai dari sfingter ani
interna dan meluas ke proximal, melibatkan panjang usus yang
bervariasi.Hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah
yang paling sering terjadi pada neonatus, dengan insiden 1:1500
kelahiran hidup.Laki-laki lebih banyak daripada perempuan 4:1 dan
ada insiden keluarga pada penyakit segmen panjang. Hisprung
dengan bawaan lain termasuk sindrom down, sindrom laurance
moon-barderbield dan sindrom wardenburg serta kelainan
kardiovaskuler. (Behrman, 1996)

Penyakit hisprung disebabkan oleh tak adanya sel ganglion


kongenital dalam pleksus intramuscural usus besar.Segmen yang
terkena bisa sangat pendek. Tampil pada usia muda dengan
konstipasi parah. Enema barium bisa menunjukkan penyempitan
segmen dengan dilatasi colon di proksimal.Biopsi rectum bisa
mengkonfirmasi diagnosis, jika jaringan submukosa di cakup.
Terapi simtomatik bisa bermanfaat, tetapi kebanyakan pasien
memerlukan pembedahan (G. Holdstock, 1991)

Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel


ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus
halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).

Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang


mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan
motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).

gangguan pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan


pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson ,

131
1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit
tidak ditemukan ganglion parasimpatis.

B. Etiologi

2. Adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest ”


ambrional yang berimigrasi ke dalam dinding usus
atau kegagalan pleksus mencenterikus dan
submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal
di dalam dinding usus. Disebabkan oleh tidak adanya
sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di
kolon. Sebagian besar segmen yang aganglionik
mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid
dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan
pada kolon. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
(FKUI, 1985 : 1134).

3. Sering terjadi pada anak dengan ”Down


Syndrome”.

4. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam


dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada
nyenterik dan submukosa dinding pleksus. (Suriadi,
2001 : 242).

B. Manifestasi klinis
a. Kegagalan lewatnya
mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Konstipasi kronik mulai
dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja
seperti pita.
c. Obstruksi usus dalam
periode neonatal.
d. Nyeri abdomen dan
distensi.
e. Gangguan pertumbuhan.

132
 (Suriadi, 2001 : 242).
a. Obstruk total saat lahir dengan muntah,
distensi abdomen dan ketiadaan evaluai mekonium.
b. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti
obstruksi periodic yang membaik secara spontan
maupun dengan edema.
c. Gejala ringan berupa konstipasi selama
beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan
obstruksi usus akut.
d. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare,
distensi abdomen dan demam.
e. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-
satunya gejala.
 Gejala Hanya konstipasi ringan. (Mansjoer, 2000 :
380) a. Masa Neonatal:
 Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam
setelah lahir.
 Muntah berisi empedu.
 Enggan minum.
 Distensi abdomen
Masa bayi dan anak-anak :
1. Konstipasi
2. Diare berulang
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Distensi abdomen
5. Gagal tumbuh
(Betz, 2002 : 197)

D. Klasifikasi

Dua kelompok besar, yaitu :

133
a. T
ipe kolon spastik
Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan
konstipasi berkala (konstipasi periodik) atau diare
disertai nyeri.Kadang konstipasi silih berganti dengan
diare.Sering tampak lendir pada tinjanya.Nyeri bisa
berupa serangan nyeri tumpul atau kram, biasanya di
perut sebelah bawah.Perut terasa kembung, mual,
sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit
untuk berkonsentrasi.Buang air besar sering
meringankan gejala-gejalanya.
b. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri
dan konstipasi yang relatif tanpa rasa nyeri. Diare
mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Yang
khas adalah diare timbul segera setelah makan.
Beberapa penderita mengalami perut kembung dan
konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.
 Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
a. Megakolon kongenital segmen
pendek
b. Bila segmen aganglionik meliputi
rektum sampai sigmoid (70-80%)
c. Megakolon kongenital segmen
panjang
d. Bila segmen aganglionik lebih tinggi
dari sigmoid (20%)
e. Kolon aganglionik totalBila segmen
aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%) Kolon aganglionik
universal
f. Bila segmen aganglionik meliputi
seluruh usus sampai pylorus (5%) Colonrectum.

E. Patofisiologi

134
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan
adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada
dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu
ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi
usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan
adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna.
Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon
( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna


untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi
usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang
proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson,
1995 : 141 ).

Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion


pada dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari
anus sampai panjang yang bervariasi.Tidak adanya inervasi saraf
adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal.Segmen yang agangloinik terbatas pada
rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa
sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus
yang aganglionik.

menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi,


tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan
berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi
asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisanlapisan otot dan pada
submukosa.

135
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai
pada bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak
mempunyai ganglion parasimpatik intramural.Bagian kolon
aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan
defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal
yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk
megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah
aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit
Hirschsprung klasik.Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada
anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih sering daripada anak
perempuan.Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari
sigmoid disebut Hirschsprung segmen panjang.Bila aganglionosis
mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila
mengenai kolon dan hamper seluruh usus halus, disebut
aganglionosis universal.

F. Tanda dan gejala

 setelah bayi lahir

a. Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)

b. Muntah berwarna hijau

c. Distensi abdomen, konstipasi.

d. Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan


pengeluaran tinja / pengeluaran gas yang banyak.

 Gejala pada anak yang lebih besar karena gejala tidak jelas pada waktu
lahir.
a. Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
b. Distensi abdomen bertambah
c. Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
d. Terganggu tumbang karena sering diare.

136
e. Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
f. Perut besar dan membuncit

G. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Radiologi

Merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit


Hirschsprung.Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran
obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang
merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung
adalahbarium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal


yangpanjangnya bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas


penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon.Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi
kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.

b. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan


caramengembangkan balon di dalam rektum.

Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum.Ano-rektal


manometri mengukur tekanan dari otot spinchter anal dan
seberapa baik seorang dapat merasakan perbedaan sensasi dari

137
rektum yang penuh. Pada anak-anak yang memiliki penyakit
Hirschsprung otot pada rektum tidak relaksasi secara
normal.Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan
mendorong. Tekanan otot spinchter anal diukur selama
aktivitas.Saat memeras, seseorang mengencangkan otot spinchter
seperti mencegah sesuatu keluar.Saat mendorong seseorang seolah
mencoba seperti pergerakan usus.Tes ini biasanya berhasil pada
anak-anak yang kooperatif dan dewasa.

c. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.


d. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap
pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil
kolin esterase (Darmawan K, 2004 : 17 )
e. Biopsi isap Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat
penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa
( Mansjoer,dkk 2000 hal 380
f. Pemeriksaan colok anus, Pada pemeriksaan ini jari akan
merasakan jepitan dan kadang disertai tinja yang menyemprot.
Pemeriksaan ini untuk mengetahui bau dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan
terjadi pembusukan.

138
H. Penatalaksanaan

a. Pembedahan
Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion
aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan
mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga
fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :

1) Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen


aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal
melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan
ukuran normalnya.
2) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya
saatberat anak mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3
bulan setelah operasi pertama (Betz Cecily & Sowden 2002 :
98).
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti
Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah
satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan
usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik
telah diubah (Darmawan K 2004 : 37)
b. Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi
konservatif melalui pemasangan sonde lambung serta pipa rektal
untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
c. Tindakan bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan
dewasa yangterlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis
be rat dan keadaan umum memburuk. Kolostomi dibuat di kolon
berganglion normal yang paling distal.
d. Terapi farmakologi

139
1) Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan
juga modifikasi diet dan wujud feses adalah efektif
2) Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan
dalam megakolon toksik. Tidak memadatkan dan tidak
menekan feses menggunakan tuba.
I. Komplikasi
a. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi
yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan
abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi
pasca operasi yangdikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose
ini beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala
peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,
kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-
tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.
b. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah
yang dipergunakan Stenosis sirkuler biasanya disebabkan
komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi
yaitu kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula
perianal.Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung
penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi
posterior.
c. Enterokolitis

140
Enterocolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon
dan usus halus. Semakin berkembang penyakit hirschprung maka
lumen usus halus makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat
meningkatkan resiko perforasi. Proses ini dapat terjadi pada usus
yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi pada 10-
30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang
terkena panjang
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-
tanda enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit.
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi.
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari.
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi
lebih kecil pada pasien dengan endorektal pullthrough.Enterokolitis
merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon
kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson
adalah karena obtruksi parsial.Obtruksi usus pasca bedah
disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik.Manifestasi klinis
enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti
muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau
busuk.Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah
dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi.Hal yang sulit pada
megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi
persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.

d. Gangguan Fungsi Sfinkter

Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini.Fecal soiling
atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti
terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun

141
secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu
keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh
penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering.

c. Diganosa Keperawatan
1) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Peristaltic
abnormal, Peristaltic tidak sempurna, Obstruksi parsial, Refluk
peristaltic, Perasaan penuh d.d Muntah berwarna hijau, Diare,
Obstruksi usus akut, Obstipasi,Obstruksi usus yang fungsional
2) Konstipasi b.d Spinter rectum tidak dpt relaksasi, Feses tidak
mampu melewati spinkter ani, Akumuulasi benda padat, gas,
cair, Obstruksi di kolon, Pelebaran kolon d.d Perut kembung,
Nyeri, Obstipasi, Mekonium yang lambat keluar, Distensi
abdomen, Konstipasi selama beberapa minggu/ bulan
3) Gangguan rasa nyaman b.d usus spasis dan daya dorong tidak
ada, obstipasi, distensi abdomen, d.d Sesak nafas, Tidak
nyaman, Nyeri, Demam, Distress pernafasan, Akral hangat
4) Nyeri b.d usus spastic dan daya dorong tidak ada, obstipasi,
tidak ada meconium, distensi abdomen hebat d.d Biasanya ibu
klien mengatakan anaknya dengan Perut kembung, Orang tua
klien biasanya mengeluh anaknya Nyeri saat di pegang,
Biasanya tampak Distensi abdomen, Biasanya tampak
Obstruksi usus akut
5) Kurang pengetahuan b.d mual, muntah, nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, pembedahan, d.d Biasanya orang tua klien
mengatakan bahwa mereka tidak tau apa-apa tentang penyakit
anaknya, Orang tua klien tampak bertanya tentang apa yang
petugas kesehatan lakukan.

142
LAPORAN
PENDAHULUAN AUTISME
PADA ANAK

A. Pengertian
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan
kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat
tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305).
Autisme Infantil adalah gangguan kualitatif pada komunikasi verbal
dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang
terjadi sebelum usia 30 bulan. (Behrman, 1999: 120).
Autisme menurut Rutter 1970 adalah gangguan yang melibatkan
kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30
bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena
ritualistik dan konvulsif. (Sacharin, R, M, 1996: 305).
Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif
(DSM IV, sadock dan sadock 2000).
Definisi autisme adalah kelainan neuropsikiatrik yang menyebabkan
kurangnya kemampuan berinteraksi social dan komunikasi, minat yang
terbatas, perilaku tidak wajar dan adanya gerakan stereotipik, dimana
kelainan ini muncul sebelum anak berusia 3 tahun (Teramihardja J, 2007).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah
gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal
dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa
kegagalan mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan),
hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik
dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.

B. Epidemiologi
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-
4:1. Penyakit sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat menunjukan
gejala seperti austik.

143
C. Etiologi
Penyebab Autisme diantaranya :
1. Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot)
terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan
kemampuan bicara).
2. Kelainan kromosim (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
3. Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
4. Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum,
keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan
perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus
otak depan.
5. Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan
gangguan sensori serta kejang epilepsi.
6. Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak

Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh


pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak,
anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak
mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua
memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan
cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal kemungkinan
terganggu dan tampak berteriak-teriak. Pada masa anak-anak dan remaja,
anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara
anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada suara lainnya.
Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan. Mereka yang
mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi
telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung
menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu.
Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian
prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian bukan menyeluruh). Tertarik
tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap
dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya.

144
Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapt menyita
perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari
tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang
menyenangkan atau stress. Kelainann lain adalah destruktif , marah
berlebihan dan akurangnya istirahat. Pada masa remaja perilaku tidak
sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual
pada orang asing.

D. Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls
listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna
kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di
bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat
sinaps. Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan.
Pada trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai
pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak
berusia sekitar dua tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan
pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson,
dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah
zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar
anak. Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan
akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari
lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan
pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak
digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan
sinaps. Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak
adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses tersebut.
Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf. Pada
pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan
abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan
neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4,
vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang

145
merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur
penambahan selsaraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan
perkembangan jalinan sel saraf. Braingrowth factors ini penting bagi
pertumbuhan otak. Peningkatan neurokimia otak secara abnormal
menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan
autistik terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian
otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan
sel saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel
Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls
saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga
merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada system
saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara
abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan
sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor
dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye. Gangguan pada
sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme
disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan
primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan. Degenerasi sekunder
terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan
yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam
masa kehamilan ibu minum alcohol berlebihan atau obat seperti
thalidomide. Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal
mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-
motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada
otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses
persepsi atau membedakan target, over selektivitas, dan kegagalan
mengeksplorasi lingkungan. Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi
pada otak besar bagian depan yang dikenal sebagai lobus frontalis.
Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di
hipokampus (bagian depan otak besaryang berperan dalam fungsi luhur
dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang

146
berperan dalam proses memori). Penelitian pada monyet dengan merusak
hipokampus dan amigdala mengakibatkan bayi monyet berusia dua bulan
menunjukkan perilaku pasif-agresif. Mereka tidak memulai kontak sosial,
tetapi tidak menolaknya. Namun, pada usia enam bulan perilaku berubah.
Mereka menolak pendekatan sosial monyet lain, menarik diri, mulai
menunjukkan gerakan stereotipik dan hiperaktivitas mirip penyandang
autisme. Selain itu, mereka memperlihatkan gangguan kognitif.

E. Cara Mengetahui Autisme Pada Anak


Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
1. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
2. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
3. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah,
diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.

 Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya:


1. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi
tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak
bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye),
anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada
bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi,
menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak
terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
2. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-
benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain
sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau
sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua
orang tuanya.
3. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak
merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari.
Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia
(mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah

147
beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang
aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas
(walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi
bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
1. Penarikan diri, kemampuan komunikasi verbal (berbicara) dan non verbal
yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat
menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya
sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara,
gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial
abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes
non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih
dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai.
Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat
orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk
bermain sendiri.
2. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat
yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
3. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada
objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa
dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
4. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk
memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak
menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat
diramalkan .
5. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
6. Kontak mata minimal atau tidak ada.
7. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda,
dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan
sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap

148
nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak
menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
8. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional
9. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara
tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang
tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol.
Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa,
kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
10. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi
secara fungsional.
11. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan
mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan
berjingkat-jingkat.

 Ciri yang khas pada anak yang austik :


1. Defisit keteraturan verbal.
2. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
3. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau
dipikirkan orang lain).

 Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
1. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
2. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
3. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak
fleksibel dan tidak imajinatif.
4. Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

G. Pengobatan
Orang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang
tua harus memeberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf
residen lainnya. Orang tua sadar adanaya scottish sosiety for autistik

149
children dan natinal sosiety for austik children yang dapat membantu dan
dapat memmberikan pelayanan pada anak autis. Anak autis memerlukan
penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku, terapi
bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training (AIT),
terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang baik
antara orang tua, keluarga dan dokter.
Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik
tapi keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan
keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku
destruktif dan agresif dapat diubah dengan menagement perilaku. Latihan
dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning
yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif).
Merupakan metode untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan
sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran diperlukan karena kemajuan
pada anak autis lambat. Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani
perilaku mencelakkan diri sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik
dan menarik diri dari pergaulan sosial. Antagonis opiat dapat mengatasi
perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu terapi kemampuan bicara
dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan latihan
antar perorangan terstruktur dapt digunakan. Masalah perilaku yang biasa
seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat
klorpromasin atau tioridasin. Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan
responsedatif seperti kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti
konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi
dengan diit bebas aditif atau pengawet. Dapat disimpulkan bahwa terapi
pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat waktu serta program terapi
yang menyeluruh dan terpadu.

 Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:


1. Mengurangi masalah perilaku.
2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama
bahasa.

150
3. Anak bisa mandiri.
4. Anak bisa bersosialisasi.

H. Prognosis
Anak terutama yang mengalami bicara, dapat tumbuh pada
kehidupan marjinal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi, hidup dalam
masyarakat, namun pada beberapa anak penempatan lama pada institusi
mrp hasil akhir. Prognosis yang lebih baik adalah tingakt intelegensi lebih
tinggi, kemampuan berbicara fungsional, kurangnya gejala dan perilaku
aneh. Gejala akan berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-
kejang dan kecelakaan diri sendiri semakin terlihat pada perkembangan
usia.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Townsend, M.C (1998) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan
padapasien/anak dengan gangguan perkembangan pervasive autisme antara lain:
 Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan:
1. Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya
terhadap rasa tidak percaya
2. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan
3. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap
kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu, fenilketonuria
tidak teratasi, ensefalitis, tuberkulosa sclerosis, anoksia selama kelahiran dan
sindroma fragilis X
4. Deprivasi ibu.
5. Stimulasi sensosrik yang tidak sesuai
6. Sejarah perilaku-perilaku mutilatif/melukai diri sebagai respons
terhadapansietas yang meningkat
7. Ketidakacuhan yang nyata terhadap lingkungan atau reaksi-reaksi yang
histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan
 Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan:
1. Gangguan konsep diri
2. Tidak adanya orang terdekat

151
3. Tugas perkembangan tidak terselsaikan dari percaya versus tidak percaya
4. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap
kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria
tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran
sindromfragilis X
5. Deprivasi ibu
6. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan:
1. Ketidakmampuan untuk mempercayai
2. Penarikan diri dari diri
3. Perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-
kondisifisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi,
ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X)
4. Deprivasi ibu
5. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
 Gangguan identitas diri/pribadi berhubungan dengan:
1. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan
2. Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya versus rasa tidak percaya
3. Deprivasi ibu
4. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai

152
LAPORAN
PENDAHULUAN PDA

A. Pengertian
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah duktus arteriosus yang tetap
terbuka.
Patent Ductus Arteriosus (PDA) atau Duktus Arteriosus Paten (DAP)
adalah kelainan jantung kongenital (bawaan) dimana tidak terdapat
penutupan (patensi) duktus arteriosus yang menghubungkan aorta dan
pembuluh darah besar pulmonal 12 jam pasca kelahiran bayi dan secara
lengkap 2-3 minggu. Biasanya duktus arteriosus akan menutup secara
normal dan meninggalkan suatu jaringan ikat yang dikenal sebagai
ligamentum arteriosum.
Duktus Arteriosus adalah saluran yang berasal dari arkus aorta ke VI
pada janin yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta
desendens.

B. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui
secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh
pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :
a. Faktor Prenatal :
 Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.
 Ibu alkoholisme.
 Umur ibu lebih dari 40 tahun.
 Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan
insulin.
 Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.
b. Faktor Genetik :

153
 Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
 Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
 Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
 Lahir dengan kelainan bawaan lain.

C. Fatofisiolofi
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus
arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah
secaralangsung dari aorta (tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmoner
(tekanan lebih rendah). Aliran kiri ke kanan ini menyebabkan resirkulasi
darah beroksigen tinggi yang jumlahnya semakin banyak dan mengalir ke
dalam paru, serta menambah beban jantung sebelah kiri. Usaha tambahan
dari ventrikel kiri untuk memenuhi peningkatan kebutuhan ini
menyebabkan pelebaran dan hipertensi atrium kiri yang progresif.
a. Dampak semuanya ini adalah meningkatnya tekanan vena dan
kapiler pulmoner, menyebabkan terjadinya edema paru. Edema paru
ini menimbulkan penurunan difusi oksigen dan hipoksia dan terjadi
konstriksi arteriol paru yang progresif. Akan terjadi hipertensi
pulmoner dan gagal jantung kanan jika keadaan ini tidak dikoreksi
melalui terapi medis atau bedah.
b. Penutupan PDA terutama tergantung pada respons kontriktor dari
duktus terhadap tekanan oksigen dalam darah. Faktor lain yang
mempengaruhi.
c. penutupan duktus adalah kerja prostaglandin, tahapan pulmoner dan
sistemik.
d. besarnya duktus dan keadaan si bayi (prematur atau cukup bulan).
PDA lebih sering terdapat pada bayi prematur dan kurangdapat
ditoleransi karena mekanisme kompensasi jantungnya tidak
berkembang baik dan pirau kiri ke kanan itu cenderung lebih besar
(Bets & Sowden, 2002)

154
D. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamakan oleh


masalah-masalah lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya
sindrom gawat napas. Tanda-tanda kelebihan beban ventrikel tidak terlihat
selama 4-6
jam sesudah lahir. Bayi dengan PDA kecil mungkin asimtomatik,
bayi dengan PDA lebih besar dapat menunjukkan tanda gagal jantung
kongestif (CHF).
1. Kadang-kadang terdapat tanda-tanda gagal jantung
2. Machinery murmur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling
nyata terdengar di tepi sternum kiri atas)
3. tekanan nadi besar/nadi menonjol dan meloncat-loncat, tekanan
nadi yang lebar (lebih dari 25 mmHg)
4. Takhinardi (denyut apek lebih dari 170), ujung jari hiperemik
5. Resiko endokarditis dan obtruksi pembuluh darah pulmonal
6. Infeksi saluran napas berulang, mudah lelah
7. Apnea
8. Tachypnea
9. Nasal faring
10. Retraksi dada
11. Hipoksemia
12. Peningkatan kebutuhan ventilator (sehubungan dengan masalah
paru) (Suriadi, Rita Yuliani, 2001; Betz & Sowden, 2002)

155
E. Gejala Klinis

PDA kecil dapat menyebabkan tidak ada gejala yang mungkin tidak
terdeteksi untuk beberapa waktu, bahkan sampai dewasa. Biasanya
asimptomatik dengan tekanan darah dan tekanan nadi normal. Jantung
tidak membesar. Pada PDA sedang biasanya gejala timbul pada usia 2
bulan atau lebih berupa kesulitan makan, ISPA berulang, tetapi beran
badan normal atau hanya berkurang sedikit.
Beberapa bayi yang mengalami PDA besar dapat menyebabkan
volume overload pada jantung dan aliran darah berlebih di paru-paru atau
menyebabkan gagal jantung segera setelah lahir sehingga akan tampak
gejala sebagai berikut :
a. Sulit atau susah makan, pertumbuhan yang buruk.
b. Berkeringat dan terengah-engah dengan pengerahan tenaga, seperti
saat menangis, menyusui, makan, dll.
c. Napas cepat, bekerja keras untuk bernapas, dan sesak napas.
d. Mudah letih ketika makan atau bermain.
e. Takikardi.
f. Warna kulit kebiruan atau kehitaman saat menangis atau makan.
g. Tanda khas pada denyut nadi berupa pulsus seler yang disebut
“water hammer pulse”, hal ini terjadi akibat kebocoran darah dari
aorta pada waktu systole maupun diastole, sehingga didapat tekanan
nadi yang besar/ menonjol dan meloncat-loncat.
h. Machinery mur-mur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling
nyata terdengar di tepi sternum kiri atas).

H. Komplikasi

a. Tekanan darah tinggi di paru-paru (hipertensi pulmonal).


Bila terlalu banyak darah terus beredar melalui jantung arteri utama
melalui patent ductus arteriosus, dapat menyebabkan hipertensi pulmonal.
Pulmonary hypertension can cause permanent lung damage. Hipertensi
paru dapat menyebabkan kerusakan paru-paru permanen. Sebuah ductus

156
arteriosus paten yang besar dapat menyebabkan Eisenmenger’s syndrome,
suatu jenis ireversibel hipertensi paru.
b. Gagal jantung.
Sebuah paten ductus arteriosus pada akhirnya dapat menyebabkan otot
jantung melemah, menyebabkan gagal jantung. Gagal jantung adalah suatu
kondisi kronis di mana jantung tidak dapat memompa secara efektif.
c. Infeksi jantung (endokarditis).
Orang-orang dengan masalah jantung struktural, seperti patent ductus
arteriosus, berada pada risiko tinggi infeksi endokarditis dari pada populasi
umum. Endokarditis infeksi adalah suatu peradangan pada lapisan dalam
jantung yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
d. Detak jantung tidak teratur (aritmia).
Pembesaran hati karena ductus arteriosus paten meningkatkan resiko
aritmia. Ini biasanya terjadi peningkatan risiko hanya dengan ductus
arteriosus paten yang besar.
5. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa.
Pada bayi prematur yang disertai gagal jantung dapat diberikan
indometasin sebelum usia 10 hari. Dosis yang diberikan 0,2 mg/KgBB
melalui pipa nasogastrik atau intravena. Pemberian intravena dosis
selanjutnya tergantung usia pada saat awal terapi :
 < 48 jam dilanjutkan dengan 2 dosis 0,1 mg/KgBB
 2-7 hari dilanjutkan dengan 2 dosis 0,2 mg/KgBB
 > 7 hari dilanjutkan dengan 2 dosis > 0,25 mg/KgBB.

Dosis selanjutnya diberikan setelah 12-24 jam tergantung dari urine


yang keluar. Jika urine yang keluar sedikit dosis dapat dikurangi dan
waktu pemberian dapat diperlambat.

Indometasin tidak diberikan bila terdapat : hiperbilirubinemia


(bilirubin > 12 mg%), gangguan ginjal, perdarahan, syok dan EKG
menunjukkan gambaran iskemiamiokardium. Pemberian indometasin tidak
efektif pada bayi cukup bulan dengan PDA dan tidak dianjurkan. Beban

157
volume pada bayi prematur dengan PDA dapat menyebabkan gagal
jantung sehingga perlu dilakukan retriksi cairan dan natrium.

b. Tindakan Bedah
Pada bayi aterm atau pada anak lebih tua, diperlukan tindakan bedah
untuk mengikat atau memotong duktus. Untuk menutup duktus juga dokter
dapat menggunakan tindakan dengan kateter.
Pada PDA dengan pirau kiri ke kanan sedang atau besar dengan gagal
jantung diberikan terapi medikamentosa (digoksin, furosemid) yang bila
berhasil akan menunda operasi 3-6 bulan sambil menunggu kemungkinan
duktus menutup. Tindakan bedah setelah dibuat diagnosis, secepat-
cepatnya dilakukan operasi pemotongan atau pengikatan duktus.
Pemotongan lebih diutamakan dari pada pengikatan yaitu untuk
menghindari kemungkinan rekanalisasi kemudian. Pada duktus yang
sangat pendek, pemotongan biasanya tidak mungkin atau jika dilakukan
akan mengandung resiko.
Indikasi operasi duktus arteriosus dapat diringkas sebagai berikut :
 PDA pada bayi yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan
medikamentosa.
 PDA dengan keluhan.
 PDA dengan endocarditis infektif yang resisten terhadap terapi
medikamentosa.

158
LAPORAN
PENDAHULUAN
GLOMERUNEFRITIS
KRONIK (GNC)
A. PENGERTIAN     
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal
tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak. Glomerulonefritis
merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Penyakit ini sering
mengenai anak-anak.
Glomerulonefritis kronis merupakan sindrom klinis yang ditandai
dengan penyakit pada glomerulus ginjal dan penurunan progresif fungsi
ginjal untuk waktu yang lama atau dapat dikatakan suatu kelainan dimana
terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama
bertahun-tahun. Merupakan glomerulonefritis tingkat akhir (“end stage”)
dengan kerusakan jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi
sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang irreversible.
B. Epidemiologi
Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7
tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 :
1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.
Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan
adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12
bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul
berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang
(8,2%).
Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada
anak usia antara 6-8 tahun (40,6%). Gejala glomerulonefritis bisa
berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis)
seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya
dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala
umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah,

159
biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh
spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.                     
C. Etiologi
Penyebab penyakit ini yaitu :
a. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi (Streptococcus
beta hemoliticus group A.)
b. Keracunan (timah hitam, tridion).
c. Penyakit sipilis
d. Diabetes mellitus
e. Trombosis vena renalis
f. Hipertensi kronik
g. Penyakit kolagen
h. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium
lanjut.
Penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada
usia awal sekolah dan jarang pada anak yang lebih muda dari 2
tahun. Lebih banyak pria dari pada wanita (2 : 1).
Timbulnya GNK didahului oleh akut (infeksi ekstra renal, terutama
di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman
streptokokkus beta hemolitikus gol A). Faktor lain yang dapat
menyebabkan adalah factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum
dan faktor alergi. 
D. PATOFISIOLOGI
Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit
kepala, sakit punggung, dan udema (bengkak) pada bagian muka biasanya
sekitar mata (kelopak), mual dan muntah-muntah. Pada keadaan ini proses
kerusakan ginjal terjadi menahun dan selama itu gejalanya tidak tampak.
Akan tetapi pada akhirnya orang-orang tersebut dapat menderita uremia
(darah dalam air seni) dan gagal ginjal.
Ginjal merupakan salah satu organ paling vital dimana fungsi ginjal
sebagai tempat membersihkan darah dari berbagai zat hasil metabolisme
tubuh dan berbagai racun yang tidak diperlukan tubuh serta dikeluarkan

160
sebagai urine dengan jumlah setiap hari berkisar antara 1-2 liter. Selain
fungsi tersebut, ginjal berfungsi antara lain mempertahankan kadar cairan
tubuh dan elektrolit (ion-ion), mengatur produksi sel-darah merah. Begitu
banyak fungsi ginjal sehingga bila ada kelainan yang mengganggu ginjal,
berbagai penyakit dapat ditimbulkan.
Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-
sel penyerang ginjal (sel glomerulus). Glomerulonefritis menahun adalah
penyakit paling sering menimbulkan gagal ginjal dikemudian hari.
Kelainan ini terjadi akibat gangguan utama pada ginjal (primer) atau
sebagai komplikasi penyakit lain (sekunder), misalnya komplikasi
penyakit diabetes mellitus, keracunan obat, penyakit infeksi dan lain-lain.
Pada penyakit ini terjadi kebocoran protein atau kebocoran eritrosit.
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal
ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun
pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronik dengan
penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat
imunologis.Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada
glomerulus,bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya
tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulernya.

161
E. FATHWAY

F. MANIFESTASI KLINIK
Glomerulonefritis kronis ditandai dengan kerusakan glomerulus secara
progresif lambat akibat  glomerulonefritis yang berlangsung lama. Gejala
utama yang ditemukan adalah :

162
1. Kadang-kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi
gagal ginjal.
2. Hematuri
3. Edema, penurunan kadar albumin
4. Hipertensi, Kadang-kadang ada serangan ensefalopatihipertensi
5. Peningkatan suhu badan
6. Sakit kepala, lemah, gelisah
7. Mual, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun
8. Ureum dan kreatinin meningkat
9. Oliguri dan anuria
10. Suhu subfebril
11. Kolestrol darah naik
12. Fungsi ginjal menurun
13. Ureum meningkat + kreatinin serum.
14. Anemia.
15. Gagal jantung kematian.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dari penyakit ini :
1. Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus.
2. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena
hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan pada penglihatan, pusing,
muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh
darah local dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi basah,
pembesaran jantung dan meningkatnya TD yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi
Gagal Jantung akibat HT yang menetap dan kelainan di miocardium.
4. Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis
eritropoetik yang menurun. 

163
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :
1. Urinalisis
2. Pemeriksaan darah lengkap
3. Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan
memastikan diagnosis.
I. PENATALAKSANAAN
1. Medik :
Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien. 
Pengawasan hipertenasi antihipertensi. Pemberian antibiotik untuk infeksi.
Dialisis berulang untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
2. Keperawatan :
Disesuaikan dengan keadaan pasien. Pasien dianjurkan secara teratur
untuk senantiasa kontrol pada ahlinya. Program diet ketat tetapi cukup
asupan gizinya. Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas
sesuai kemampuannya. Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk
mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau GGK.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan b.d peurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman O2 atau nutrient ke sel.
2. Resiko gangguan integritas kulit factor resiko gangguan turgor kulit
(edema)
3. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kegagalan
untuk mengabsorbsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan
SDM normal.
4. Gangguan citra diri b.d perubahan struktur tubuh (edema).

164
LAPORAN
PENDAHULUAN ATRESIA
BILLIER
A. Definisi

Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil


dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)

Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada


korda epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa
menyeluruh atau sebagian. (Chandrasoma & Taylor,2005)

Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen


atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari
statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206)

B. Etiologi

Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi


diduga akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi
karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan
saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum
diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat
dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam
intrauterine.

Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa


hal ini terjadi akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai
duktus biliaris ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena.
Atresia biliaris komplit yang mengenai seluruh system menyebabkan
kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus
biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan,

165
kematian terjadi pada masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil pada kasus
atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus intrahepatik,
transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.

Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris


adalah bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak
diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris paling sering disebabkan karena
sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan
hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi
virus atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan tubuh, komponen
empedu yang abnormal, kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran
empedu.

C. Patofisiologi

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan


obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus
akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan
hati menjadi fibrosis dan sirosis.

Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang


menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan
ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke
dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.

Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam


darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak
adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di
absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan
gagal tumbuh pada anak.

166
D. Pathway

E. Manifestasi Klinis

Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu


berupa:

1. Air kemih bayi berwarna gelap


2. Kulit berwarna kuning
3. Tinja berwarna pucat

167
4. Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan
berlangsung lambat
5. Hati membesar.
6. Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a. Gangguan pertumbuhan
b. Gatal-gatal
c. Rewel
d. Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang
mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati)
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya
hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum
transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase
yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
2. Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini
menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
3. Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada
tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
4. Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang
dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
5. USG abdomen

Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya


tanda Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia
bilier.

168
G. Penatalaksanaan
1. Medik
a. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
- Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati
terutama asam empedu dengan memberikan fenobarbital 5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
- Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan
asam ursodeoksikolat 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
peroral misal : urdafalk
b. Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk
bertumbuh dan berkembang seoptimal mungkin yaitu :
- Pemberian makanan yang mengandung middle chain
triglycerides(MCT)untuk mengatasi malabsorpsi lemak.
Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior.
- Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
- Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah
empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2
hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi.
c. Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera
dilakukan intervensi bedah Portoenterostomi terhadap atresia
bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier yang
Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi
untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada di daerah hilus
hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus bilier
yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak
ada duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai
dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka
pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati
(tujuan jangka panjang). Pembedahan itu untuk menghasilkan
drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam

169
periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi.
2. Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi
anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua
aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang
akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien.
Segera pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa
dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat.
Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi
yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin
serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi
persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau
tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial
khusus. Prognosis yang tidak pasti, gangguan rasa nyaman, dan
penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang cukup
besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan
nutrisi dapat membawa beban financial yang besar pada keluarga.

H. Komplikasi
1. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus.
Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati
ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan
hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga
akan mengakibatkan gagal hati.
2. Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka
sebagian oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan
pendarahan dan penggumpalan.
3. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegali.

170
4. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak
tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal
tumbuh.
5. Hipertensi portal
6. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang
lemah di esofagus dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
7. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang
disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
8. Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi
fibrosis hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah
paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka
harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut
Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia
billiaris tipe “noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya
operasi Kasai, tetapi sampai sekarang hanya sedikit penderita yang
dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak
akan meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke
dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal akibat
kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal.

I. Konsep Asuhan Keperawatan Atresia Billier


1. Pengkajian
a. Identitas klien
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat
badan turun dan konjungtiva anemis.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada
pasien.

171
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya
nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya
frekuensi mual dan muntah pasien.
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan
malabsorbsi.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat
badan turun dan konjungtiva anemis.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam
selama proses keperawatan, diharapkan pola nutrisi pasien
menjadi adekuat.
Kriteria Hasil :
- BB pasien stabil
- Konjungtiva tidak anemis
Intervensi :
- Kaji distensi abdomen.
- Pantau masukan nutrisi dan perhatikan frekuensi muntah
klien.
- Timbang BB setiap hati.
- Berikan diet yang sedikit namun sering.
- Atur kebersihan oral sebelum makan.
- Konsulkan dengan ahli diet sesuai indikasi.
- Berikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan
penghasil gas.
- Kolaborasikan pemberian makanan yang mengandung MCT
sesuai indikasi.
- Monitor kadar albumin, protein sesuai program.

172
- Berikan vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E, K)
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada
pasien.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam, diharapkan
pasien menunjukkan tanda-tanda pola nafas yang efektif.
Kriteria Hasil :
- RR mencapai 30-40 napas/mnt.
- Kedalaman inspirasi dan kedalaman bernafas.
- Tidak ada penggunaan otot bantu nafas pada pasien.

Intervensi :

- Kaji distensi abdomen.


- Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan.
- Awasi klien agar tidak sampai mengalami leher tertekuk.
- Posisikan klien semi ekstensi atau eksensi pada saat
beristirahat.
- Kolaborasikan operasi apabila dibutuhkan.
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik, ditandai oleh
peningkatan suhu tubuh, dan pasien demam.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan keperawatan 1 x 24 jam
diharapkan suhu tubuh pasien akan kembali menjadi normal
Kriteria Hasil:
- Nadi dan pernapasan dalam rentang normal.
- Suhu normal 36,50 – 37,50.

Intervensi

- Berikan kompres air biasa pada daerah aksila, kening, leher,


dan lipatan paha.

173
- Pantau suhu minimal setiap 2 jam sekali disesuaikan dengan
kebutuhan.
- Berikan pasien pakaian tipis.
- Menipulasi lingkungan menjadi senyaman mungkin seperti
penggunaan kipas angin atau AC.
- Kolaborasikan pemberian obat anti piretik sesuai kebutuhan.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya
nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya
frekuensi mual dan muntah pasien.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan: pasien akan mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit setelah dilakukan perawatan didalam rumah sakit
selama 2 x 24 jam.
Kriteria Hasil:
- Kembalinya pengisian kapiler darah kurang dari 3 detik.
- Turgor kulit membaik.
- Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam.

Intervensi

- Pantau asupan dan carian pasien perjam (cairan infus, susu


per NGT, atau jumlah ASI yang diberikan.
- Periksa feses pasien tiap harinya.
- Pantau lingkar perut pasien.
- Observasi tanda-tanda dehidrasi.
- Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit pasien, kadar protein
total, albumin, nitrogen urea darah dan kreatinin serta darah
lengkap.
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan
malabsorbsi.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan: pola BAB pasien normal setelah perawatan yang
dilakukan 2 x 24 jam.

174
Kriteria Hasil:
- Tidak ada diare.
- Elektrolit normal.
- Asam basa normal.

Intervensi

- Evaluasi jenis intake makanan.


- Monitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan
ulserasi.
- Ajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare.
- Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat
warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses.
- Kolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap.
- Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit).
- Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator
dehidrasi.
- Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan: pasien akan dapat beraktivitas secara normal setelah
pemeriksaan yang dilakukan 2 x 24 jam.
Kriteria Hasil:
- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai
peningkatan tekanan darah, nadi dan RR.
- Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara
mandiri.
- Keseimbangan aktivitas dan istirahat.

Intervensi

- Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan


aktivitas.
- Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan.

175
- Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.
- Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi,
disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan
hemodinamik).
- Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien.
- Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan.

176
LAPORAN
PENDAHULUAN
ATRESIAANI
A. Definisi
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak
ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah
kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak
mempunyai lubang keluar (Walley,1996)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau
sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM).
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 2003).

B. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada
kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang
terjadi bawaan gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani
(Adele,1996).
Atresia anorectal terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses
pemisahan. Secara embriologis hindgut dari apparatus genitourinarius
yang terletak di depannya atau mekanisme pemisahan struktur yang
melakukan penetrasi sampai perineum. Pada atresia letak tinggi atau supra
levator, septum urorectal turun secara tidak sempurna atau berhenti pada
suatu tempat jalan penurunannya (Adele,1996).

177
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 7 minggu 
Adanya gangguan atau berhentinya perkebangan embriologik di daerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

C. Klasifikasi

1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses


tidak dapat keluar.

2. Inperforata membran adalah terdapat membran pada anus.

3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.

178
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum

(Wong, Whaley. 1985).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan
lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal,
adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001).
Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air
besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran
abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol
(Adele,1996).
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga
merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan
dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam
kehijauan karena cairan mekonium.

179
E. FATHWAY

F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani, antara lain:
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).

180
d. Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat
konstriksi jaringan perut dianastomosis).
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. )Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).
a. Pemeriksaan Fisik
1. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak bermasa/tumor,
tidak terdapat perdarahan pada umbilicus, usus melebar, kadang – kadang
tampak ileus obstruksi, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik
2. Genetalia
Pada bayi laki-laki dengan fistula urinaria didapatkan mekonium pada
urin, dan pada bayi perempuan dengan fistula urogenital ditemukan
mekonium pada vagina.
3. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah,. Thermometer yang dimasukan
kedalam anus tertahan oleh jaringan, tanpa mekonium dalam 24 jam
setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina.
(FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
b. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap Abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
c. Pemeriksaan Fisik Rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.

181
d. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
G. Penatalaksanaan
1. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli
bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan
lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau colon
iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah
lahir. Kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through"
2. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai
12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik
status nutrisinya.
3. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan
agak padat.
4. Dilakukan dilatasi setiap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau
speculum
5. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan
dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
6. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui
anoproktoplasti pada masa neonates.
7. Melakukan pembedahan rekonstruktif:
a) Operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun)
b) Operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-2 bulan)
c) Pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
8. Penanganan pasca operasi:

182
a) Memberikan antibiotic secara iv selama 3 hari
b) Memberikan salep antibiotika selama 8-10 hari

H. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik. Putusnya saluran pencernaan
dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau tiga bulan. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan. Atresia ani yang terjadi
akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju
rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperchloremia, sebaliknya fese mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rectum dengan organ sekitarnya.
I. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
sfingternya.
c. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
d. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice)
dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum

183
yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung
kantong rectal.
J. Diagnosa keperawatan
Diagnosa preoperasi:
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat, muntal
2. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
3. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual, muntah,
anoreksia
4. Gangguan Pola Eliminasi BAB berhubungan dengan aganglion
Diagnose post operasi :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma
sekunder dari kolostomi.
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan kolostomi.
3. Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.

184
PERIOPERATIF
CARE PADA ANAK
A. PENGERTIAN
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien . Kata perioperatif adalah gabungan dari
tiga fase pengalaman pembedahan yaitu : pre operatif, intra operatif dan
post operatif.
B. ETIOLOGI
Pembedahan dilakukan untuk berbagai alasan (Buku ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth ) seperti :
a. Diagnostik, seperti dilakukan biopsi atau laparatomi eksplorasi.
b. Kuratif, seperti ketika mengeksisi masa tumor atau mengangkat
apendiks yang inflamasi.
c. Reparatif, seperti memperbaiki luka yang multipel. Memperbaiki
luka pada pasien diabetes
d. Rekonstruktif atau Kosmetik, seperti perbaikan wajah.
e. Paliatif, seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki
masalah, contoh ketika selang gastrostomi dipasang untuk
mengkompensasi terhadap kemampuan untuk menelan makanan.\

C. TAHAP DALAM KEPERAWATAN PERIOPERATIF


a. Fase Pre operatif
Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan
perioperatif yang dimulai ketika  pasien diterima masuk di ruang
terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi
untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan
klinik ataupun rumah, wawancara pre operatif dan menyiapkan pasien
untuk anestesi yang diberikan pada saat pembedahan.

185
 Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang
meliputi persiapan psikologi baik pasien maupun keluarga dan
persiapan fisiologi (khusus pasien).
a) Persiapan Psikologi
Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani
operasi emosinya tidak stabil. Hal ini dapat disebabkan
karena takut akan perasaan sakit, narcosa atau hasilnya dan
keeadaan sosial ekonomi dari keluarga. Maka hal ini dapat
diatasi dengan memberikan penyuluhan untuk mengurangi
kecemasan pasien. Meliputi penjelasan tentang peristiwa
operasi, pemeriksaan sebelum operasi (alasan persiapan), alat
khusus yang diperlukan, pengiriman ke ruang bedah, ruang
pemulihan, kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah
operasi, bernafas dalam dan latihan batuk, latihan kaki,
mobilitas dan membantu kenyamanan.
 Persiapan Fisiologi, meliputi :
 Diet (puasa) à pada operasi dengan anaesthesi umum, 8 jam
menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam
sebelum operasi pasien tidak diperbolehkan minum. Pada
operasai dengan anaesthesi lokal /spinal anaesthesi makanan
ringan diperbolehkan. Tujuannya supaya tidak aspirasi pada
saat pembedahan, mengotori meja operasi dan mengganggu
jalannya operasi.
 Persiapan Perut à Pemberian leuknol/lavement sebelum
operasi dilakukan pada bedah saluran pencernaan atau pelvis
daerah periferal. Tujuannya mencegah cidera kolon,
mencegah konstipasi dan mencegah infeksi.
 Persiapan Kulit à Daerah yang akan dioperasi harus bebas
dari rambuy
 Hasil Pemeriksaan à hasil laboratorium, foto roentgen, ECG,
USG dan lain-lain.

186
 Persetujuan Operasi / Informed Consent à Izin tertulis dari
pasien / keluarga harus tersedia.        
b. Fase Intra operatif
Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau
dipindahkan ke instalasi bedah dan berakhir saat pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup
pemasangan IV cath, pemberian medikasi intaravena, melakukan
pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh :
memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi,
bertindak sebagai perawat scrub, atau membantu mengatur posisi
pasien di atas meja operasi dengan menggunakan prinsip - prinsip
dasar kesimetrisan tubuh.
Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi
yaitu pengaturan posisi karena posisi yang diberikan perawat akan
mempengaruhi rasa nyaman pasien dan keadaan psikologis pasien.
1) Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam pengaturan
posisi pasien adalah :
 Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.
 Umur dan ukuran tubuh pasien.
 Tipe anaesthesia yang digunakan.
 Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada
pergerakan (arthritis).
2) Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien : Atur posisi
pasien dalam posisi yang nyaman dan sedapat mungkin jaga
privasi pasien, buka area yang akan dibedah dan kakinya
ditutup dengan duk.
Anggota tim asuhan pasien intra operatif biasanya di bagi
dalam dua bagian. Berdasarkan kategori kecil terdiri dari
anggota steril dan tidak steril :

187
 Anggota steril, terdiri dari : ahli bedah utama / operator,
asisten ahli bedah, Scrub Nurse / Perawat Instrumen
 Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : ahli atau
pelaksana anaesthesi, perawat sirkulasi dan anggota
lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau
yang rumit).
c. Fase Post operatif
Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan
pre operatif dan intra operatif yang dimulai ketika klien diterima di
ruang pemulihan (recovery room)/ pasca anaestesi dan berakhir
sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup
rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus
pengkajian meliputi efek agen anestesi dan memantau fungsi vital
serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan
penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting
untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.
Fase post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah :
 Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca
anastesi (recovery room)
Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus
diantaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan
pemajanan. Pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada
posisi yang menyumbat drain dan selang drainase. Selama perjalanan
transportasi dari kamar operasi ke ruang pemulihan pasien
diselimuti, jaga keamanan dan kenyamanan pasien dengan diberikan
pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk
mencegah terjadi resiko injury. Proses transportasi ini merupakan
tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat anastesi dengan
koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.

188
 Perawatan post anastesi di ruang pemulihan atau unit perawatan
pasca anastesi
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat
sementara di ruang pulih sadar (recovery room : RR) atau unit
perawatan pasca anastesi (PACU: post anasthesia care unit) sampai
kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan
memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal
perawatan).
 PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi.
Hal ini disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk  :
 perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat
anastesi)
 ahli anastesi dan ahli bedah 
 alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.
D. KLASIFIKASI PERAWATAN PERIOPERATIF
Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan, maka tindakan
pembedahan dapat diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan, yaitu :
a. Kedaruratan/Emergency à Pasien membutuhkan perhatian segera,
gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi dilakukan
pembedahan tanpa di tunda. Contoh : perdarahan hebat, obstruksi
kandung kemih atau usus, fraktur tulang tengkorak, luka tembak
atau tusuk, luka bakar sanagat luas.
b. Urgen à Pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan dapat
dilakukan dalam 24-30 jam. Contoh : infeksi kandung kemih akut,
batu ginjal atau batu pada uretra.
c. Diperlukan à Pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan
dapat direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan. Contoh :
Hiperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih. Gangguan
tyroid, katarak.
d. Elektif à Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi
pembedahan, bila tidak dilakukan pembedahan maka tidak terlalu

189
membahayakan. Contoh : perbaikan Scar, hernia sederhana,
perbaikan vaginal.
e. Pilihan à Keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan
sepenuhnya pada pasien. Indikasi pembedahan merupakan pilihan
pribadi dan biasanya terkait dengan estetika. Contoh : bedah
kosmetik.

Sedangkan menurut faktor resikonya, tindakan pembedahan di bagi


menjadi :

a) Minor à Menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko


kerusakan yang minim. Contoh : incisi dan drainage kandung
kemih, sirkumsisi
b) Mayor à Menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian
sangat serius. Contoh : Total abdominal histerektomi, reseksi
colon, dan lain-lain.
E. KOMPLIKASI POST OPERATIF DAN PENATALAKSANAANYA
a. Syok
Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok
hipovolemik. Tanda-tanda syok adalah : Pucat , Kulit dingin, basah,
Pernafasan cepat, Sianosis pada bibir, gusi dan lidah, Nadi cepat, lemah
dan bergetar , Penurunan tekanan darah, Urine pekat.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi
dengan dokter terkait dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi
obat, terapi pernafasan, memberikan dukungan psikologis, pembatasan
penggunaan energi, memantau reaksi pasien terhadap pengobatan, dan
peningkatan periode istirahat.
b. Perdarahan
Penatalaksanaannya  pasien diberikan posisi terlentang dengan
posisi tungkai kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur
sementara lutut harus dijag tetap lurus. Kaji penyebab perdarahan, Luka
bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan.
c. Trombosis vena profunda

190
Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada
pembuluh darah vena bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa
ditimbulkan adalah embolisme pulmonari dan sindrom pasca flebitis.
d. Retensi urin
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan
rektum, anus dan vagina. Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter
kandung kemih.  Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah
pemasangan kateter untuk membatu mengeluarkan urine dari kandung
kemih.
e. Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)
Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi
luka operasi pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang
perawatan. Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian
antibiotik sesuai indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril.
f. Sepsis
Sepsis merupakan komplikasi serius akibat infeksi dimana kuman
berkembang biak. Sepsis dapat menyebabkan kematian karena dapat
menyebabkan kegagalan multi organ.
g. Embolisme Pulmonal
Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara
dan lemak) yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran
darah. Embolus ini bisa menyumbat arteri pulmonal yang akan
mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan sesak nafas,
cemas dan sianosis. Intervensi keperawatan seperti ambulatori pasca
operatif dini dapat mengurangi resiko embolus pulmonal.
h. Komplikasi Gastrointestinal
Komplikasi pada gastrointestinal sering terjadi pada pasien yang
mengalami pembedahan abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi
obstruksi intestinal, nyeri dan distensi abdomen.
 Fase Intraoperatif
Dimulai ketika pasien masuk ke bagian atau ruang bedah dan berakhir
saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktifitas

191
keperawatan, memasang infus, memberikan medikasi intravena,
melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien.
Perawat yang bekerja di ruang bedah harus telah mengambil
program  Proregristation Education Courses in Anasthetic and Operating
Teather Nursing . Dalam pembedahan perawat disebut scrubbed
nurse   yang bertindak sebagai asisten ahli bedah. Perawat bertanggung
jawab akan pemeliharaan sterilitas daerah pembedahan dan instrumen dan
menjamin ketersediaan peralatan ahli bedah untuk terlaksananya
pembedahan yang direncanakan.
a) Perlindungan terhadap injury
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam aktivitas
yang dilakukan oleh perawat di ruang operasi. Aktivitas di ruang operasi
oleh perawat difokuskan pada pasien yang menjalani prosedur
pembedahan untuk perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah –
masalah fisik yang mengganggu pasien. Tentunya pada saat dilakukan
pembedahan akan muncul permasalahan baik fisiologis maupun psikologis
pada diri pasien. Untuk itu keperawatan intra operatif tidak hanya berfokus
pada masalah fisiologis yang dihadapi oleh pasien selama operasi, namun
juga harus berfokus pada masalah psikologis yang dihadapi oleh pasien.
Sehingga pada akhirnya akan menghasilkan outcome berupa asuhan
keperawatan yang terintegrasi.
b) Monitoring pasien
Aktivitas keperawatan yang dilakukan selama tahap intra operatif
meliputi 4 hal, yaitu :
1. Safety Management
Tindakan ini merupakan suatu bentuk jaminan keamanan bagi pasien
selama prosedur pembedahan. Tindakan yang dilakukan untuk jaminan
keamanan diantaranya adalah :
1) Pengaturan posisi pasien
Pengaturan posisi pasien bertujuan untuk memberikan kenyamanan
pada klien dan memudahkan pembedahan. Perawat perioperatif mengerti

192
bahwa berbagai posisi operasi berkaitan dengan perubahan-perubahan
fisiologis yang timbul bila pasien ditempatkan pada posisi tertentu.
2) Monitoring Fisiologis
Pemantauan fisiologis yang dilakukan oleh perawat meliputi hal – hal
sebagai berikut :
3) Melakukan balance cairan
Penghitungan balance cairan dilakuan untuk memenuhi kebutuhan cairan
pasien. Pemenuhan balance cairan dilakukan dengan cara menghitung
jumlah cairan yang masuk dan yang keluar (cek pada kantong kateter
urine) kemudian melakukan koreksi terhadap imbalance cairan yang
terjadi. Misalnya dengan pemberian cairan infus.
4) Memantau kondisi cardiopulmonal
Pemantaun kondisi kardio pulmonal harus dilakukan secara kontinue untuk
melihat apakah kondisi pasien normal atau tidak. Pemantauan yang
dilakukan meliputi fungsi pernafasan, nadi dan tekanan darah, saturasi
oksigen, perdarahan dan lain – lain.
5) Pemantauan terhadap perubahan vital sign
Pemantauan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan kondisi
klien masih dalam batas normal. Jika terjadi gangguan harus dilakukan
intervensi secepatnya.
6) Monitoring Psikologis
Dukungan Psikologis (sebelum induksi dan bila pasien sadar) dukungan
psikologis yang dilakukan oleh perawat pada pasien antara lain :
 Memberikan dukungan emosional pada pasien.
 Perawat berdiri di dekat pasien   dan  memberikan   sentuhan selama
prosedur pemberian induksi .
 Mengkaji status emosional klien.Mengkomunikasikan status emosional
pasien    kepada tim kesehatan (jika ada perubahan).
 Pengaturan dan koordinasi Nursing Care
Pengaturan dan Koordinasi Nursing Care ,tindakan yang dilakukan
antara lain :
 Memanage keamanan fisik pasien.

193
 Mempertahankan prinsip dan teknik asepsis.
d. Fase Postoperatif
Keperawatan postoperatif adalah periode akhir dari keperawatan
perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada
menstabilkan kondisi pasien pada keadaan equlibrium fisiologis pasien,
menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat
dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya
dengan cepat, aman dan nyaman.
Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan
mencegah masalah yang kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian
dan penanganan yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah
komplikasi yang memperlama perawatan di rumah sakit atau
membahayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan keperawatan
postoperatif sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri.
a) Faktor yang Berpengaruh  Postoperatif
1. Mempertahankan jalan nafas
Dengan mengatur posisi, memasang suction dan pemasangan
mayo/gudel.
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan
nafas melalui ventilaot mekanik atau nasal kanul.
3. Mempertahakan sirkulasi darah
Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian
caiaran plasma ekspander.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan
pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan
mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau
kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan
obeservasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.
5. Balance cairan

194
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output caiaran klien.
Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti
dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang justru
menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi
eleminasi pasien.
6. Mempertahanakan kenyamanan dan mencegah resiko injury.

Pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan


beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang
nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan pasien,
diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medi
terkait dengan agen pemblok nyerinya.

b) Tindakan Postoperatif
Ketika pasien sudah selasai dalam tahap intraoperatif, setelah itu pasien di
pindahkan keruang perawatan, maka hal – hal yang harus
perawat  lakukan, yaitu :
1. Monitor tanda – tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage,
tube/selang, dan komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung
monitor kondisinya. Pemerikasaan ini merupakan pemmeriksaan pertama
yang dilakukan di bangsal setelah postoperatif.
2. Manajemen Luka
Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami
perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut. Manajemen luka meliputi perawatan luka sampai dengan
pengangkatan jahitan.
3. Mobilisasi dini

Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga
batuk efektif yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi
neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan lendir.

4. Rehabilitasi 
Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien

195
kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang
diperlukan untuk memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala.
F. Discharge Planning
Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada
klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan
sehubungan dengan kondis/penyakitnya post operasi. 
Ada 2 macam discharge planning :
1) Untuk perawat : berisi point-point discahrge planing yang diberikan
kepada klien (sebagai dokumentasi)
2) Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih
detail.

196

Anda mungkin juga menyukai