Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar yang tidak hanya di
Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Virus dan bakteri adalah factor utama dalam menyebabkan
penyakit infeksi. Penyakit infeksi bakteri yang sering menyebabkan penyakit pada manusia
adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yaitu demam tifoid.1
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tifoid
merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi yang ditularkan melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi.2 Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang
penting di dunia, terkait dengan angka morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan penyakit ini
terutama pada negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah
kasus demam tifoid diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di
Indonesia, kasus demam tifoid ditemukan 350-810 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun.
Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid sebesar
1,6% dan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015 menyatakan demam tifoid atau paratifoid
menempati urutan ke 3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2015
yaitu sebanyak 41.3,4
Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang No. 6
Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. 1
Penderita anak biasanya berumur di atas satu tahun. Sebagian besar penderita (80%) yang
dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta berumur di atas 5 tahun.5
Gambaran klinis demam tifoid dapat berupa demam pada sore dan malam hari dengan
serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, sakit kepala mialgia, nyeri abdomen, dan
obstipasi. Dapat juga disertai dengan lidah kotor dan nyeri tekan perut. Selain dari gejala klinis
dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menegakan diagnosis.4
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang

1
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, hal ini
disebabkan karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, yang mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.6

1.1 Tujuan
Sebagai sarana diskusi dan tinjauan ulang mengenai aplikasi definisi, tatacara diagnosis,
dan tatalaksana kasus Demam Tifoid pada praktik klinis dokter umum sehari-hari.

1.2 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca dalam upaya
pengembangan ilmu kedokteran berkelanjutan terutama mengenai manajemen kasus klinis
Demam Tifoid.

BAB II
2
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. PZ
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 08 Desember 2019

ANAMNESIS: Autoanamnesa
Keluhan utama
Demam

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Mandau pada tanggal 08 Desember 2019 dengan keluhan
demam. Hal ini dialami pasien sejak ±7 hari sebelum masuk rumah sakit, dimana demam bersifat
naik turun. Demam terutama dirasakan pada sore dan malam hari, dan turun pada pagi hari.
Demam turun dengan obat penurun panas, tetapi kurang lebih 4 jam kemudian demam timbul
lagi. Demam disertai menggigil dan berkeringat disangkal. Riwayat berpergian ke daerah
endemis malaria tidak dijumpai. Pasien juga mengeluh adanya keluhan sakit kepala terutama
dibagian depan kepala.
Keluhan mual dan muntah dijumpai. Muntah dirasakan os sejak ±5 hari sebelum masuk
rumah sakit dengan frekuensi 2-3 kali/hari dengan volume ±100 cc. isi muntah berupa apa yang
dimakan dan diminum oleh os. Pasien juga mengaku nafsu makan menjadi menurun, badan
terasa lemas dan pegal-pegal.
Pasien belum Buang air besar (BAB) selama 4 hari ini. Nyeri perut juga dialami os sejak
±5 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan disekitar daerah pusar. Riwayat makan
makanan sembarangan diakui oleh os ketika pulang dari tempat kuliahnya.

Riwayat Penyakit Dahulu:

3
- Riwayat sakit yang sama sebelumnya (-)
- Riwayat berpergian keluar kota (-)
Riwayat Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal yang sama.
Riwayat Pengobatan :
- Pasien sudah berobat ke Puskesmas untuk keluhan sekarang, diberi obat parasetamol,
antasida, tetapi keluhan tidak membaik.
Riwayat sosial, ekonomi dan kebiasaan
- Pasien masih kuliah
- Pasien sering membeli makanan yang dijual dipinggir jalan selepas pulang kuliah.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 71 x/menit
Suhu : 38 oC
RR : 22 kali/menit

Status Generalisata
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Nyeri tekan tragus (-), mukosa meatus acusticus externa hiperemis (-)
Hidung : Sekret (-), massa (-), hiperemis (-), kavum nasi lapang
Mulut : Bibir kering (+), lidah kotor (-)
Leher : Struma tidak membesar, posisi trakea di media.
Thoraks
- Paru
 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
retraksi (-/-)
 Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri

4
 Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
 Auskultasi: Suara nafas vesikuler, ronkhi(-/-), wheezing (-/-)
- Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
 Inspeksi : Perut tampak datar
 Auskultasi: Bising usus (+) normal
 Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani
- Ekstremitas :
Akral hangat, CRT<2 dtk, Ptekie (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah rutin
Hemoglobin 12,5 L: 14-17; P: 12-15
Leukosit 15.102 4.000-11.000
Basofil 0 0-1
Eosinofil 0 1-3
Neutrofil 91 50-70
Limfosit 2 20-40
Monosit 7 2-8
Hematokrit 35,8 L:41,5-50,4; P; 36-45
Trombosit 390.000 150.000-450.000
Gula Darah Sewaktu 108 <200

Widal
S. Typhosa H 1/320
S. Typhosa O 1/320
S. Paratyphosa AH 1/160
S. Paratyphosa BH 1/160
S. Paratyphosa CH 1/80
S. Paratyphosa AO 1/80

5
S. Paratyphosa BO 1/80
S. Paratyphosa CO 1/80

DIAGNOSIS
Demam Tifoid

TERAPI/TATALAKSANA
Terapi di IGD
- IVFD RL 20 tpm makro
- Infus Paracetamol 500 mg (1 fl)
- Inj. Ranitidin 1 amp
- Inj. Ondansetron 1 amp

Pasien dirawat dengan Terapi :


- IVFD Nacl 0,9% /6 jam
- Inj. Ceftriaxone 2x1
- Inj. Ranitidin 2x1
- Inj. Ondansetron (k/p)
- Inf. PCT, jika T>38ºC
- Sukralfat syr 3x10 cc
- Diet makanan lunak

PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanactionam : ad bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan
gangguan kesadaran. Demam tifoid merupakan penyakit demam sistemik akut dan menyeluruh

7
yang disebabkan oleh Salmonella enterica sub spesies enterica serotipe Typhi. Demam tifoid
masih merupakan masalah kesehatan yang penting terutama di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Gejala klinis penyakit ini bervariasi dari sakit ringan dengan demam yang
tidak tinggi, badan terasa tidak enak dan batuk kering hingga gejala klinis yang berat dengan rasa
tidak nyaman (nyeri) pada bagian abdomen dan berbagai komplikasi lainnya.7

2.2 Etiologi
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan bakteri
gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 ± 0,4 - 0,6 μm, bergerak
dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini dapat tumbuh dalam kondisi
ada dan tidak adanya oksigen. Salmonella tidak membentuk spora, tidak memiliki kapsul dan
tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini memproduksi H 2S (yang dapat digunakan
sebagai identifikasi bakteri tersebut di laboratorium). Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain,
memproduksi asam pada fermentasi glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom
oksidase.6,8

Gambar 1 : Salmonella Thypi8


Anggota dari subspesies Salmonella diklasifikasikan ke dalam >2400 serotipe berdasarkan
antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida (LPS)), antigen permukaan Vi (yang
hanya dimiliki S. Typhi dan S. Paratyphi C) dan antigen flagela H.8
Ketiga antigen ini penting untuk tujuan taksonomi dan epidemiologi dari Salmonella yang
masing-masing akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:9
1. Antigen Somatik ( O )

8
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dari dinding sel luar bakteri yang tahan
terhadap pendidihan, alkohol dan asam. Salmonella dibagi menjadi kelompok A-I berdasarkan
antigen somatik ini. Aglutinasi untuk antigen O di dalam tubuh berlangsung lebih lambat dan
bersifat kurang imunogenik namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Titer antibodi yang
timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah dan titer antibodi H.
2. Antigen Flagel ( H )
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini rusak dengan
pendidihan dan alkohol tetapi tidak rusak oleh formaldehid. Terdapat dua bentuk antigen H, fase
1 dan fase 2. Hanya salah satu dari kedua protein H ini yang disintesis pada satu waktu. Hal ini
tergantung dari rangkaian gen mana yang ditranskripsikan menjadi mRNA.
3. Antigen Vi
Antigen Vi (polisakarida kapsul) adalah antifagosit dan faktor virulensi yang penting untuk
S. typhi. Antigen ini merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antigen ini
digunakan untuk serotipe S. typhi di laboratorium klinis. Antibodi yang terbentuk dan menetap
lama dalam darah dapat memberi petunjuk bahwa individu tersebut merupakan karier atau
pembawa kuman. Selain S. typhi, antigen ini juga terdapat pada S. paratyphi C dan S. dublin.8,9
Salmonella typhi memiliki ciri khas yang unik. Salah satu yang paling spesifik yakni
kapsul polisakarida Vi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yang ada pada 90% S. typhi
yang baru saja diisolasikan. Kapsul ini memiliki agen proteksi melawan sifat bakterisidal dari
serum pasien yang terinfeksi dan menjadi dasar untuk membuat salah satu vaksin yang tersedia
secara komersial. Antigen Vi ini juga terdapat pada bakteri lain tetapi tidak sama persis secara
genetik. Selain itu, bakteri ini memiliki tes serologis positif untuk antigen lipopolisakarida O9
dan O12, serta antigen protein flagela Hd.8,9
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin yang berarti toksin baru
dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding selnya luruh. Suhu optimum yang dibutuhkan S.
typhi untuk tumbuh yakni 37°C dengan pH antara 6-8. Bakteri ini dapat dibunuh dengan
pemanasan (suhu 60°C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. S. typhi
dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas, seperti di dalam air, es, sampah, debu dan
(seperti telah disebutkan sebelumnya) bakteri ini tidak memiliki reservoir lain selain manusia.9

2.3 Patogenesis

9
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri tersebut melalui makanan
atau minuman yang terkontaminasi. Dosis yang dapat menginfeksi yakni 10 3-106 colony-forming
units. Setelah tertelan, bakteri harus menembus beberapa mekanisme pertahanan tubuh pejamu
sebelum menimbulkan infeksi. Biasanya Salmonella mati pada lingkungan yang bersifat asam,
oleh karena itu terjadi pengurangan inokulum yang banyak setelah bersentuhan dengan isi
lambung, oleh karena itu sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Pengurangan selanjutnya terjadi di usus
halus melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan organisme dengan flora usus normal.5
Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria,
mikroorganisme ini akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Salmonella dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi yang
menempel ke epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama dimana makrofag
lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian dibawa ke kelenjar getah bening
mesenterika.5
Selanjutnya melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Pasien biasanya relatif tidak
memiliki atau hanya sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Di organ-organ
retikuloendotelial, Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.5
Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.5

10
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah disekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.5
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neruopsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ
lainnya.5

Gambar 2 : Patogenesis Demam thypoid5

2.4. Faktor Resiko


Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi makanan atau
minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap
tifoid. Beberapa kondisi yang berperan pada penularan adalah:10
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.

11
2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik

2.5. Manifestasi Klinis


Masa inkubasi dari S. typhi rata-rata antara 10-14 hari tetapi bisa juga berjarak 3-21 hari.
Durasi waktu ini tergantung banyaknya terpajan S. typhi tersebut dan imunitas serta kesehatan
dari pejamu. Onset gejala lambat dengan demam dan konstipasi lebih sering mendominasi
dibandingkan diare dan muntah. Gejala yang paling terlihat yakni demam terus-menerus (38,8°C
- 40,5°C) yang bisa berlanjut hingga empat minggu jika tidak diobati. Diare mungkin muncul
pada awal onset tetapi biasanya hilang ketika demam dan bakteremia muncul.5,6,11
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut juga dengan sindrom demam tifoid. Di
bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada demam tifoid, diantaranya adalah:
1. Demam
Demam merupakan gejala utama tifoid. Pada awal onset, demam kebanyakan samar-
samar, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan
malam lebih tinggi. Intensitas demam makin tinggi dari hari ke hari yang disertai gejala lain
seperti sakit kepala yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu berikutnya, intensitas demam semakin tinggi
bahkan terkadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga suhu badan
berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu. Akan tetapi, demam khas tifoid
seperti ini tidak selalu ada.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada penderita sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi oleh selaput putih.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor tetapi pada penderita anak jarang ditemukan.
Penderita umumnya sering mengeluh nyeri perut, terutama di regio epigastrik, disertai mual
dan muntah. Pada awal sakit sering terjadi meteorismus dan konstipasi. Pada minggu
selanjutnya kadang-kadang juga timbul diare. Beberapa pasien mengalami diare encer yang
buruk berwarna hijau kekuningan (pea soup diarrhea). Pasien seperti ini bisa masuk kedalam
keadaan tifoid yang dikarakteristikkan dengan gangguan kesadaran.

12
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan.
Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tidak
jarang penderita sampai pada kondisi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis
(Organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan tifoid toksik, gejala delirium lebih
menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
5. Bradikardia Relatif dan Gejala Lain
Bradikardia relatif tidak sering ditemukan. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada
demam tifoid adalah rose spot (makula yang berwarna rose) yang biasanya ditemukan di
regio abdomen atas, batuk kering, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan
komplikasi yang terjadi. Rose spot ini biasanya muncul pada 30% pasien diakhir minggu
pertama dan menghilang tanpa jejak setelah 2-5 hari. Pada anak, rose spot jarang ditemukan
dibandingkan dengan epistaksis.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukakn yaitu:5,11
a. Hematologi
 Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau
perforasi.
 Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.
 Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
 LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
 Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).

b. Urinalisis
 Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
 Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
c. Kimia Klinik

13
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis Akut.
d. Imunologi
 Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah)
terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno
yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini
endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui.
Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal
sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh ban\yak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh
faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid
(RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah
mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit,
keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan
mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini
endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas
maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari
kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh
penyakit saat itu tetapi dari kontrak sebelumnya.
 Serologi
- IgM Antigen 09 Salmonella thypi (Tubex TF). Hanya dapat mendeteksi antibody IgM
Salmonella Typhi. Dapat dilakukan pada hari 4-5 hari demam pertama.
- Enzime Immunoassay test (Typhidot) dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella
Typhi dan dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam.
e. Mikrobiologi
 Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil :  jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk

14
Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam
Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak
segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit
sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam
minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat
vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada
pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan
pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin
dan tinja.
f. Biologi molekular.
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA
kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji
ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi)
serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa
darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan nonfarmakologi dan farmakolgi yang dapat diberikan yaitu:5,12
1. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien.

2. Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan

15
kesadaran serta yang sulit makan. Dosis cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan
harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan.
Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
3. Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi
sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet harus mengandung kalori dan protein yang
cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan
dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan penderita baik. Tapi
bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair
selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan
penderita.Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa
lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan dan
atau perforasi.
4. Terapi
 Terapi simptomatik untuk mengurangi demam dan mengurangi keluhan gastrointestinal.
 Terapi defenitif dengan pemberian antibiotik.
Ada beberapa pilihan terapi antibiotik yang bisa diberikan pada demam tifoid, antara
lain:7
Kloramfenikol Dewasa: 4 x 500 mg / hari selama 10 hari,
Anak 100 mg/kgBB/hari, per oral atau
intravena, dibagi 4 dosis, selama 10-14 hari.
Tiamfenikol Dewasa 4 x 500 mg/hari
Anak : 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari
bebas demam
Kotrimoksazol Dewasa : 2x (160-800) selama 7-10 hari
Anak : 4-6 mg/kgBB/hari, per oral dibagi 2
dosis selama 10 hari.
Ampisilin & Amoksisilin Dewasa 1,5-2 gr/hari selama 7-10 hari
Anak : 100 mg/kgbb/hari per oral atau
intravena dibagi 3 dosis selama 10 hari.
Ceftriaxone Dewasa : 2-4 gr/hari selama 3-5 hari
Anak : 80 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis

16
selama 10 hari
Ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 1 minggu

2.8. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.6

BAB III
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSUD Mandau dengan keluhan demam. Hal ini dialami pasien sejak
±7 hari sebelum masuk rumah sakit, dimana demam bersifat naik turun. Demam terutama
17
dirasakan pada sore dan malam hari, dan turun pada pagi hari. Demam turun dengan obat
penurun panas, tetapi kurang lebih 4 jam kemudian demam timbul lagi. Pasien juga mengeluh
adanya keluhan sakit kepala terutama dibagian depan kepala. Keluhan mual dan muntah
dijumpai. Muntah dirasakan os sejak ±5 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2-3
kali/hari dengan volume ±100 cc. isi muntah berupa apa yang dimakan dan diminum oleh os.
Pasien juga mengaku nafsu makan menjadi menurun, badan terasa lemas dan pegal-pegal.
Pasien belum BAB selama 4 hari ini. Nyeri perut juga dialami os sejak ±5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dirasakan disekitar daerah pusar. Riwayat makan makanan sembarangan
diakui oleh os ketika pulang dari tempat kuliahnya.
Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan yang khas pada pasien ini. Sedangkan pada
pemeriksan penunjang berupa Tes widal dihasilkan S. Typhosa H 1/320 dan S. Typhosa O 1/320
yang berarti positif demam tifoid.
Mekanisme terjadinya demam tifoid akibat dari Salmonella typhi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masukke dalam sirkulasi darah lagi yang me-ngakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya.
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, hal ini
disebabkan karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwandi JF & Sandika J. Sensitivitas Salmonella thypi & Penyebab Demam Tifoid
terhadap Beberapa Antibiotik. Majority. Februari 2017; 6(1): 41-45.
2. Rahma V, Hanif M & Efrida. Gambaran Hasil Uji Widal Berdasarkan Lama Demam
pada Pasien Suspek Demam Tifoid. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(3): 687-691.

19
3. World Health Organization. Immuniza-tion, vaccines, and biological (updated: 13 April
2015). Diunduh di: http://www.who.int/immunization/diseases/typhoid/en/. (Diakses 20
Desember 2019).
4. Nelwan RHH. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192. 2012; 39(4): 247-150
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan pelayanan medic.
2009; 3.
6. Soedarmo, Sumarmo S, dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-345.
7. Widoyono. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Erlangga Jakarta. 2011; Ed 2.
8. Isselbacher & Kurt. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Buku Kedokteran EGC
Jakarta. 2010; 13 (2).
9. Rubenstein & David. Kedokteran Klinis. Erlangga Jakarta. 2006; Ed keenam.
10. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Kementerian Kesehatan RI No. 364
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian DemamTifoid.
11. Price A & Wilson L. Patofisiologi. EGC Jakarta 2009; Ed 6.
12. WHO. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. Zimbabwe: The Ministry
of Health and Child Welfare

20

Anda mungkin juga menyukai