Anda di halaman 1dari 62

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/315834325

Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk


Perikanan di Kab. Rote Ndao (Studi Kasus
Nelayan MOU BOX 1974)

Technical Report · January 2012


DOI: 10.13140/RG.2.2.34642.15047

CITATIONS READS

0 687

5 authors, including:

Jermi Haning
Massey University
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Incorporating Developing Countries’ Customary Fisheries Management in Multilateral Environment


Agreements View project

All content following this page was uploaded by Jermi Haning on 09 April 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Draft Laporan Akhir

ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOK


PRODUK PERIKANAN DI KABUPATEN ROTE NDAO
(STUDI KASUS NELAYAN MOU BOX 1974)

KEMENTERIAN/LEMBAGA:

BALITBANG KEMENTERIAN PERTAHANAN

Peneliti:
1.Petrus Sembiring, Tarya Adiwijaya dan Dimaz Rezamudra
2.Jermi Haning dan
3.Maria Bria

INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA


KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI
2012

1.Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenetrian Pertahanan Republik Indonesia;
2.Peneliti pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Rote Ndao, NTT
3.Mahasiswi Pasca Sarjana pada Facuty of Environmental Science pada University of Western Australia
INTISARI

Manajemen rantai pasok secara teoritik dilihat sebagai pendekatan filosofis untuk
menciptakan manajemen dengan fokus pada permintaan dan pasokan. Pengelolaan
rantai pasok mendorong aliran produk dan informasi/pengetahuan yang menjembatani
terciptanya hubungan ketergantungan antara para pelaku sepanjang rantai produksi,
distribusi, pengolahan, pemasaran hingga konsumsi.

Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Rote Ndao memiliki potensi kelautan dan
perikanan yang besar, dapat dlihat dari kontribusi sektor perikanan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Rote Ndao yang mencapai 13 %. Namun
demikian ternyata kualitas kehidupan para nelayan masih sangat memprihantinkan,
sebagian besar masuk dalam kategori penduduk miskin. Sebanyak 67,38% dari total
115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan subsistem, dengan pendapatan
kurang dari Rp.15.000 per hari.

Salah satu penyebabnya adalah belum terlembaganya manajemen rantai pasok


produk perikanan berupa sirip hiu dan teripang yang bernilai tinggi yang diproduksi
oleh nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao dari area MoU Box 1974 di wilayah
Australia. Kenyataan yang dijumpai dan dihadapi oleh nelayan tradisional sangat
memprihatinkan. Permasalahan yang dihadapi tidak saja sebatas rantai pasok seperti
hubungan patron-client antara pekerja dan pemodal, pembagian beban dan hasil yang
kurang adil tetapi juga persoalan kebijakan akses yang diwarnai oleh berbagai
kebijakan yang sangat merugikan nelayan dan dalam hal penegakan hukum.

Page | 2
DAFTAR ISI

Halaman
INTISARI ........................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4
1.1 Latar belakang.... ...................................................................... 4
1.2 Pokok permasalahan.................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Pengertian Manajemen Rantai Pasok........................................ 7
2.2 Kerangka analisis....................................................................... 9
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT 11
3.1 Tujuan ...................................................................................... 11
3.2 Manfaat .................................................................................... 11
BAB IV METODOLOGI ................................................................................... 12
4.1 Langkah penelitian... .................................................................. 12
4.2 Metode Penelitian....................................................................... 12
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 14
5.1 Pemetaan Potensi Perikanan..................................................... 14
5.2 Pemetaan rantai pasok............................................................... 18
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 57
24. Kesimpulan ................................................................................ 57
25. Saran ......................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60

Page | 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kabupaten Rote Ndao yang terletak di sebelah barat daya Pulau Timor
merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kekayaan maritim yang sangat besar
namun belum dikelola secara optimal. Dengan jumlah pulau sebanyak 102, total luas
daratan 1.280,10 km2, luas lautan mencapai 2.376 km2 dan panjang pantai mencapai
330 km, jumlah penduduk mencapai 120.861 jiwa (2011) dan sekitar 6.438 Kepala
Keluarga yang hidup dari usaha perikanan dan kelautan.
Data statistik memperlihatkan bahwa potensi perikanan mencapai 17.875
ton/tahun, dimana potensi perikanan tangkap mencapai 14.300 ton/tahun. Selain itu
para nelayan juga memiliki akses ke Australian Fishery Zone (AFZ) yang masuk dalam
wilayah MOU Box 1974 yang secara turun-temurun telah menjadi area favorit nelayan
Indonesia pergi mencari dan menangkap ikan. Area MOU Box 1974 ini kaya akan ikan
Hiu, Teripang dan Lola yang merupakan makanan favorit dan bergengsi kaum
bangsawan dan orang kaya di daratan China.
Namun demikian produksi perikanan per tahun baru mencapai 30 persen yang
terdiri dari ikan Demersal sebanyak 40 persen dan ikan Pelagis sebanyak 60 persen.
Sehingga kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kabupaten Rote Ndao cukup signifikan dan cenderung meningkat pada angka
sekitar 13 %. Sebagian besar kualitas kehidupan nelayan masih sangat
memprihantinkan, masuk dalam kategori penduduk miskin. Secara keseluruhan,
sebanyak 67,38% dari total 115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan
subsisten, dengan pendapatan kurang dari Rp.15.000 per hari. Efek domino yang
timbul adalah : busung lapar yang tercatat mencapai 10 anak setiap tahun, angka
kematian bayi mencapai 7,5 /1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar
421/100.000 kelahiran hidup.
Salah satu jawaban terhadap kondisi paradoksial ini dijumpai dalam penelitian
terhadap kehidupan ekonomi sosial yang dilakukan oleh Therik (2008) di Desa Papela
(Pusat nelayan di sebelah timur Rote) dan Carnegie (2008) di Desa Oelua (Pusat
nelayan di sebelah barat Rote) yang berargumentasi bahwa permasalahan kemiskinan
yang dihadapi oleh para nelayan di kedua kantong nelayan ini bukan hanya terletak
pada produksi/produktifitas perikanan yang rendah tetapi masih terdapat banyak

Page | 4
faktor lainnya seperti faktor hubungan patron-klien yang merugikan bahkan cenderung
eksploitatif yang mempengaruhi negosiasi biaya dan pembagian keuntungan di antara
pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok ikan. Sementara itu Fox & Sen (1999),
Stacey (1999; 2001) dan Balint (2005) cenderung menyalahkan pemerintah Australia
atas kebijakan pengelolaan perikanan di area MOU Box 1974 yang tidak hanya
membatasi pemanfaatan teknologi perikanan tetapi juga semakin memarginalkan
nelayan tradisional.
Menyadari permasalahan di atas, pemerintah daerah baik pemerintah Provinsi
NTT maupun pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah menempuh beberapa kebijakan
untuk meringankan beban usaha para nelayan. Dengan reformasi anggaran,
pemerintah provinsi memberi hibah anggaran sebesar Rp.250 juta per desa melalui
program Desa Mandiri Anggur Merah sedangkan pemerintah kabupaten
mengalokasikan anggaran sebesar Rp.65 juta per desa melalui program Lakamola
Anan Sio untuk membantu masyarakat desa melaksanakan usaha ekonomi produktif
di sektor pertanian dan perikanan. Lebih khusus pemerintah kabupaten Rote Ndao
telah mencoba membangun komunikasi dengan pemerintah Australia untuk
mencarikan solusi yang lebih tepat dalam memberdayakan nelayan kecil Rote guna
menghindari praktek penangkapan ikan khususnya sirip hiu dan teripang yang tidak
berkelanjutan di area MOU Box 1974. Namun demikian, dari studi awal yang telah
dilakukan, diketahui bahwa pendekatan yang diadopsi oleh pemerintah belum
dilaksanakan secara komprehensif dan masih menyisahkan isu lainnya seperti isu
kelembagaan yang memungkinkan para nelayan kecil memiliki hubungan yang saling
menguntungkan dengan berbagai pihak yang terlibat dalam rantai pasok kegiatan
perekonomian di sektor perikanan dan isu pasca panen lainnya yang juga ikut
mempengaruhi produksi dan produktifitas nelayan. Sehingga studi lanjutan ini melihat
manajemen rantai pasok sirip hiu dan teripang, dua produk perikanan yang
dikumpulkan dari AFZ khususnya area MOU Box 1974 yang telah dilakukan secara
turun-temurun oleh nenek moyang nelayan Rote. Studi ini tidak melihat menejem
rantai pasok perikanan secara menyeluruh, hal ini bukan disebabkan oleh
keterbatasan waktu dan dana tetapi lebih pada upaya untuk memahami permasalahan
nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao.

Page | 5
1. 2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah pada pendahuluan di atas, maka


permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1.2.1 Bagaimana biaya dan keuntungan dinegosiasikan diantara berbagai pelaku
yang berbeda-beda peran dan kontribusi ini mempengaruhi hubungan para
pelaku dalam rantai pasok?
1.2.2 Bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi rantai pasok sirip hiu dan
teripang di Kabupaten Rote Ndao?
1.2.3 Bagaimana kebijakan pemerintah daerah kabupaten Rote Ndao dalam
memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pengumpulan teripang
dan sirip hiu di area MOU Box 1974?

Page | 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Manajemen Rantai Pasok

Pemahaman tentang pengelolaan Rantai Pasok dalam agribisnis dan


agroindustri didefiniskan sebagai hubungan kerjasama antara produsen di lahan,
pengolah serta wholesale (pasar induk) atau pedagang ritel dalam memberikan
jaminan serta untuk meminimalkan biaya produksi (Brown, 2003). Manajemen rantai
pasok secara teoritik dapat dinyatakan sebagai pendekatan filosofi secara mendasar
untuk penciptaan manajemen rantai nilai (value chain management) dalam
membangun nilai yang difokuskan pada permintaan konsumen. Inti dari manajemen
rantai pasok adalah aliran produk dan informasi yang diharapkan dapat menjembatani
permintaan konsumen dan hubungan antara pelaku di dalam sistem pemasaran.
Hubungan rantai pasok diharapkan tercipta secara alamiah dan hasilnya bermanfaat
bagi pembeli dan penjual. Dengan demikian, aspek-aspek sosial seperti kepercayaan
(trust), transfer informasi, dan kemampuan belajar akan mempengaruhi kinerja,
pengembangan dan keberhasilan rantai nilai (Champion dan Fearne, 2001).

Namun demikian, sampai sekarang belum banyak lembaga yang melakukan


intervensi menyeluruh pada semua rantai pasok. Kebanyakan lembaga memulai
dengan intervensi yang menitiberatkan peningkatan produksi dan perbaikan kualitas
produksi. Sebagian lembaga telah memulai melakukan intervensi untuk meningkatkan
nilai tambah secara ekonomi dengan pasca panen dan pemasaran. Sejauh yang
diketahui, belum banyak hal menggembirakan dari semua usaha-usaha tersebut.
Perbaikan dalam praktek budidaya dan peningkatan kualitas tidak diikuti dengan
peningkatan akses terhadap pasar untuk mendapatkan harga dan margin keuntungan
yang lebih baik. Pemasaran bersama yang digagas oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) mengalami pasang surut dari segi keberlanjutan bisnis dan
kebanyakan belum mandiri secara finansial.

Masalah besar yang sangat jelas terlihat adalah tidak adanya sinergi dan
keterpaduan dalam kerja di lapangan dalam rangka pembangunan pertanian yang
berkelanjutan dan peningkatan kesejateraan nelayan kecil. Sehingga dengan

Page | 7
pendekatan menyeluruh terhadap semua rantai (chain approach), diharapkan peta
permasalahan produksi perikanan dapat dipahami secara komprehensif dan
memungkinkan dilakukan intervensi yang lebih sistematis.

PASOK (Barang, Jasa dll)

Nelayan Pemilik Pengepul/


Pengecer/ Pedagang Konsumen
perahu pedagang
pedagang besar
kecill
sedang

PERMINTAAN (Kredit, Informasi, Teknologi, Pasar, Dll)

Sistim pendukung:
1. Kebijakan pemerintah
2. Lembaga keuangan
3. Pedagang internasional

Gambar 2.1 Kerangka Rantai Pasok (Tata Niaga) Produk Perikanan

Gambar di atas merupakan skema sederhana dari rantai (tata niaga) ikan yang
terdiri dari beberapa pelaku yang terbatas. Situasi ini tentu lebih kompleks, dimana
pelaku bisa lebih banyak dan lebih panjang. Setiap pelaku dalam rantai ini memiliki
peran dan pengaruh yang berbeda baik setiap rantai/pelaku maupun dalam
hubungannya dengan pelaku/rantai lain. Peran dan pengaruh ini menentukan besaran
nilai tambah (value added) yang dinikmati oleh masing-masing pelaku.
Selain pelaku di tiap rantai, peran sistem pendukung/institusi eksternal juga
memegang peran penting dalam mempengaruhi rantai (tataniaga ikan), seperti
kebijakan pemerintah, perbankan, koperasi, lembaga keuangan, aturan perdagangan
global (WTO), dan sebagainya. Interaksi para pihak dan intitusi eksternal inilah yang
mempengaruhi kinerja rantai pasok yang berimplikasi pada besaran porsi nilai tambah
yang diterima oleh para pelaku, khususnya nelayan.

Page | 8
Uraian di atas sejalan dengan rincian manfaat rantai pasok yang disampaikan
oleh Champion dan Fearne (2001) yang dengan rinci mencoba membandingkan
manfaat pendekatan berbasis rantai pasok dengan pendekatan konvensional (Tabel
1). Manfaat pengelolaan rantai pasok ini dipakai sebagai kerangka analisis dalam
penelitian ini untuk menilai seperti apa pengelolaan sirip hiu dan teripang di Rote
Ndao, antara pendekatan konvensional dan rantai pasok.

Tabel 2.1 Perbandingan Pendekatan Konvensional vs Pendekatan Rantai Pasok


Faktor Pendekatan Pendekatan Rantai Pasok
No Konvesional
1 Pertukaran informasi Sedikit atau tidak ada Ekstensif
2 Fokus utama Biaya/harga Nilai/mutu komoditas
3 Orientasi Komoditas Diferensiasi produk
4 Hubungan kekuatan Dorongan pasokan Tarikan permintaan
5 Struktur organisasi Independen Interdependen
6 Filosofi Keuntungan pribadi Optimasi rantai
7 Titik kontak interorganisasi Sedikit Banyak
8 Model operasi Taktis Strategis
9 Komunikasi antar pemangku kepentingan Formal dan lambat Informal dan cepat
10 Kepercayaan antara para pemangku bisnis Jangka pendek Jangka panjang
Difusi pengetahuan/pengalaman antar pemangku Rendah Tinggi
11 bisnis
12 Pemangku bisnis di dalam sistem Banyak Sedikit
13 Model organisasi Mekanistik Organik
14 Visi organisasi nilai antar pemangku bisnis Berbeda, divergen Hampir setipe, konvergen (fokus)

2.2 Kerangka Analisis.

Berdasarkan Gambar 2.1. di atas, dalam esensinya terdapat empat komponen


besar yang perlu dibina dalam mengelola rantai pasok:
2.1.1 Produksi untuk menangani pembelian, manajemen operasi dan operasi
pergudangan. Pihak-pihak yang terlibat adalah petani produsen komoditas
sebagai bahan baku atau produk pangan bagi konsumen.
2.1.2 Perdagangan untuk menangani pembelian, pencarian pemasok andalan dan
distribusi bahan pangan. Pihak-pihak yang terlibat adalah pedagang ritel,
pedagang pasar induk, serta distributor.
2.1.3 Kelembagaan jasa untuk menangani pembelian, operasi dan manajemen
sistem rantai pasok. Pihak-pihak yang terlibat adalah beragam institusi jasa
termasuk bank, lembaga pembiayaan, rumah sakit, lembaga pendidikan,
lembaga penyedia jasa asuransi dll.

Page | 9
2.1.4 Transportasi untuk menangani manajemen sistem pasok dan manajemen
lalulintas. Pihak-pihak yang terlibat adalah perusahaan jasa angkutan darat, laut
maupun udara yang memiliki kompetensi dan pengalaman terkait.

Analisis pengelolaan rantai pasok dilakukan pada ke-empat komponen di atas


untuk dapat menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dan untuk
dapat mengetahui sejauhmana pengelolaan rantai pasok di Kabupaten Rote Ndao
masuk kategori yang dibuat oleh Champion dan Fearne (2001) pada tabel 2.1. di atas.

Page | 10
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Tujuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah:


3.2.1 Untuk memahami bagaimana biaya dan keuntungan dinegosiasikan
diantara berbagai pelaku yang berbeda-beda peran dan kontribusinya
terhadap hubungan para pelaku.
3.2.2 Untuk memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi
perikanan khususnya sirip hiu dan teripang di pulau Rote Ndao.
3.2.3 Untuk memahami implementasi kebijakan pemerintah kabupaten Rote
Ndao dalam memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan
pengumpulan teripang dan sirip hiu di area MOU Box 1974

3.2. Manfaat.
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :
3.2.1 Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap masalah manajemen rantai pasok produk perikanan yang ada di
Kabupaten Rote Ndao.

3.2.2 Secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
masyarakat khususnya nelayan serta aparat pemerintah Kabupaten Rote Ndao.

3.2.3 Dari penelitian yang dihasilkan berupa sebuah Konsep Model Pemberdayaan
Pengelolaan Rantai Pasok Produk Perikanan ( Sirip Hiu dan Teripang) di Kabupaten
Rote Ndao NTT yang dapat dipakai pimpinan (Bupati) Rote Ndao dalam pengambilan
kebijakan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan di Kabupaten
Rote Ndao.

Page | 11
BAB IV METODOLOGI

4.1 Langkah Penelitian

4.1.1 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan selama 8 (delapan) bulan yaitu mulai bulan Februari
sampai dengan bulan September 2012.

4.1.2 Tempat Penelitian


Tempat penelitian dilakukan di Kabupaten Rote Ndao NTT pada tiga Desa yaitu
Desa Landu, Desa Oelua dan Desa Londalusi (kampung nelayan Papela). Ketiga desa
ini adalah pusat pemukiman nelayan yang menangkap dan menjual sirip hiu dan
teripang dari MOU Box 1974 secara turun-temurun. Selain itu secara etnografis ketiga
desa ini dihuni oleh nelayan dengan latar belakang etnis yang dianggap mewakili etnis
nelayan yang ada di pulau Rote yaitu nelayan asli etnis Rote dan nelayan pendatang
etnis Bajo. Desa Landu yang merupakan pulau terpisah sekaligus terluar dan
terselatan dari pulau Rote dihuni oleh penduduk asli Rote yang bermatapencaharian
sebagai nelayan. Sedangkan Desa Londalusi terletak disebelah timur pulau Rote lebih
banyak dihuni oleh nelayan etnis Bajo. Selanjutnya Desa Oelua dihuni oleh nelayan
kedua etnis baik Rote maupun Bajo yang telah hidup bersama dan bekerjasama
menangkap dan menjual teripang dan sirip hiu dari MOU Box 1974.

4.2 Metode Penelitian


Penelitian studi kasus ini memakai gabungan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif yang menekankan pada analisis diskriptif eksploratif. Gabungan dari kedua
pendekatan ini merupakan bagian dari triangulasi baik dalam hal sumber teori, teknik
pengumpulan data, sumber data dan analisis.
Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara mendalam dengan para
narasumber dan melalui proses pengamatan untuk waktu yang lama. Ada beberapa
narasumber yang diwawancarai diantaranya para nelayan, pengepul, pemerintah desa
dan pemerintah kabupaten yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Pertanyaan-
pertanyaan dalam wawancara ini bersifat terbuka sehingga lebih fleksibel dan
membuka ruang bagi tema-tema atau isu-isu baru yang muncul dalam proses

Page | 12
wawancara yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Meskipun riset ini bersifat induktif
empirik, pertanyaan-pertanyaan terutama dalam wawancara awal yang dibuat
diinspirasi dari konsep-konsep (teori) yang dipakai, disamping literatur-literatur
terdahulu. Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara selanjutnya akan dikembangkan
dari temuan terdahulu (wawancara terdahulu disamping inspirasi teoritik dan literatur).
Disamping itu penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa laporan
penelitian menyangkut industri perikanan baik yang dikeluarkan lembaga resmi
pemerintah dan organisasi internasional maupun yang dikeluarkan lembaga penelitian
ekonomi non pemerintah. Data-data sekunder ini juga diperkaya dari sumber-
sumber lain, seperti artikel, jurnal, buku-buku dan berita.
Dalam penelitian ini proses analisis data banyak dituntun oleh kerangka teoritik
yang digunakan tetapi tidak bersifat membatasi. Untuk data numerik, proses analisis
data menggunakan metode statistik dengan formula tertentu yang sesuai dengan
tujuan dan bentuk data. Hasil penelitian diagregasi untuk diinterpretasikan
berdasarkan kerangka numerik yang dipakai. Sementara untuk data non numerik
proses analisis data melibatkan tiga prosedur utama, yakni pertama redaksi dan
refunary mendalam untuk menentukan data mana yang perlu diteliti lebih lanjut dan
mana yang perlu dibuang. Kedua, kategorisasi data berdasarkan variabel dan konsep
yang diturunkan dari teori yang dipakai. Ketiga, interpretasi data berdasarkan alur
logika teoritik yang dipakai dalam penelitian. Dalam proses interpretasi ini, penilaian
dari peneliti sangat dimungkinkan. Penilaian ini mempengaruhi proses narasi dalam
laporan penelitian.
Kepekaan teoritis dan subjective assesment peneliti menjadi faktor yang sangat
menentukan dalam proses analisis data. Secara umum dalam penelitian ini teori
menjadi panduan dalam mencari data dan interpretasi data-data tersebut. Oleh
karenanya dalam penelitian ini data atau fakta yang ditelusuri disesuaikan dengan
indikator-indikator yang dioperasionalkan dari konsep-konsep yang ada dalam teori
yang dipakai. Selanjutnya berdasarkan konsep dan katagori tematik tersebut data-data
yang telah diperoleh ini di coding dan dianalisis. Hasil analisis ini digeneralisasi untuk
memperoleh gambaran dan penjelasan umum (inference) terhadap fenomena yang
diteliti.

Page | 13
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pemetaan Potensi Perikanan.

5.1.1 Potensi Perikanan


Kabupaten Rote Ndao sebagai kabupaten kepulauan sekaligus perbatasan,
memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara geografis, luas
perairan mencapai 2.376 KM2 (32.675 Ha untuk budidaya laut, 32.000 Ha untuk
budidaya rumput laut, 12.937 Ha untuk budidaya pantai, 127 Ha untuk budidaya
perairan dan 30 Ha untuk budidaya mutiara), garis pantai sepanjang 330 KM. Potensi
perikanan lestari sebesar17.875 ton/tahun sedangkan potensi perikanan tangkap yang
dimanfaatkan baru mencapai 6,9% dari total potensi perikanan tangkap yang
diperbolehkan sebesar 14.300 ton/tahun.
Data statistik memperlihatkan bahwa terdapat 58 desa dari total 89 desa di
kabupaten Rote Ndao, dengan jumlah nelayan mencapai 6.438 KK/23.384 dan jumlah
pembudidaya rumput laut sebanyak 9.501 KK/33.609 Jiwa. Sehingga terlihat bahwa
produksi masih sangat rendah dimana produksi ikan sebesar 29,46 kg/jiwa/tahun dan
produksi rumput laut sebesar 28,15 kg/jiwa/tahun. Rendahnya produktifitas ikan dan
rumput laut ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor budaya, metode
penangkapan, dukungan kebijakan publik dan pemasaran.
Secara kultural, masyarakat Rote lebih merupakan masyarakat daratan yang
hidup dari usaha pertanian dan budidaya lontar untuk menghasilkan gula yang
merupakan bahan makanan pokok (Fox 1977). Aktifitas yang berhubungan dengan
laut hanya sebatas pengambilan produk perikanan dan kelautan saat pasang surut,
tidak ada catatan sejarah tentang penangkapan ikan pada laut bebas. Aktifitas
perikanan mulai berkembang seiring dengan kedatangan nelayan etnis Bajo, Bugis,
dan Buton yang selain mencari ikan, juga melayani transportasi barang dan jasa antar
pulau. Hal ini terlihat dari penyebaran pusat-pusat produksi ikan yang hanya berkaitan
dengan penyebaran komunitas nelayan etnis non-Rote seperti Pepela, Oelua, Batutua
dan Oeseli. Komunitas nelayan asli Rote yang cukup produktif dijumpai pada pulau-
pulau kecil yang tidak memiliki potensi pertanian dan lontar yang cukup signifikan.
Termasuk di dalamnya adalah masyarakat di pulau Landu, Nusa Manuk, pulau Ndao,
pulau Nuse dan pulau Usu.

Page | 14
Rendahnya produksi perikanan dan non perikanan ikut dipengaruhi oleh metode
penangkapan yang destruktif, merusak ekosistim laut yang mendukung produksi
perikanan. Maraknya penggunaan pukat harimau dan bahan kimia beracun seperti
sianida untuk menangkap masih terus berlangsung di banyak area laut. Hasil kajian
Tim Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu (2012), demikian juga hasil studi awal
yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (2012)
memperlihatkan tingkat kerusakan ekosistim laut yang cukup parah di berbagai
wilayah laut di kabupaten Rote Ndao. Hal ini diperburuk oleh pencemaran laut Timor
pada tahun 2009 yang membawa dampak luas dan besar di seluruh perairan
kabupaten Rote Ndao. Produksi ikan yang besar pada tahun 2007 dan 2008 masing-
masing sebanyak 3.170 ton dan 3.500 ton kemudian menurun drastis menjadi 2.731
ton pada tahun 2009 dan 990 ton pada tahun 2010. Demikian juga dengan produksi
rumput laut kering yang pada tahun 2009 sebanyak 6.127 ton dan tahun 2010
sebanyak 7.334 ton menurun drastis menjadi 1.512 ton pada tahun 2009 dan 946 ton
pada tahun 2010.
Kerusakan ekosistim khususnya ekosistim pesisir ini kurang didukung dengan
pengembangan perikanan tangkap untuk memaksimal hasil tangkapan pada laut lepas
yang kaya dengan sumberdaya ikan baik karena ekosistim yang masih baik maupun
yang masuk dalam jalur migrasi ikan. Data yang terkumpul memperlihatkan rasio
kepemilikan alat tangkap dan kualitas sumber daya manusia yang masih sangat
rendah khususnya pursue seine sebanyak 100 unit dengan rincian 60 unit dimiliki oleh
nelayan Rote dan 40 unit milik nelayan dari daerah lain. Dimana baru sekitar 112 awak
yang terlatih untuk 14 kapal sehingga rerata hasil tangkapan semua kapal ini
sebanyak 600 kg/kapal/hari, atau sebanyak 30% dari kapasitas tangkap yang
sejatinya.

5.1.2 Potensi Sirip Hiu dan Teripang


Sejarah penangkapan sirip hiu dan pengumpulan teripang oleh nelayan tidak
didasari oleh besarnya potensi kedua produk ini di kabupaten Rote Ndao, tetapi lebih
pada kedekatan geografis pulau Rote dengan perairan laut di sebelah utara Australia
yang dikenal dengan pulau Pasir yang memiliki potensi hiu dan teripang yang besar.
Beberapa catatan sejarah memperlihatkan bahwa nelayan-nelayan Bajo dari Sulawesi
yang mencari sirip hiu dan teripang sejak masa penjajahan Belanda selalu mampir di
Page | 15
Kupang dan Rote dalam perjalanan ke dan pulang dari pulau Pasir (Stacey 1999).
Seiring dengan meningkatnya harga sirip hiu dan teripang pada akhir tahun 1980-an
hingga tahun 1990-an nelayan-nelayan ini tidak saja mampir tetapi mulai berpindah ke
Rote guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas penangkapan sirip hiu dan
pengumpulan teripang.
Namun secara turun-temurun hingga sekarang masyarakat Rote
mengkonsumsi teripang yang dimakan mentah hanya dengan direndam dalam cuka
untuk beberapa jam sebelum di konsumsi dengan minum gula lontar. Konsumsi
teripang ini sangat luas, hampir oleh semua lapisan masyarakat sebelum teripang
menjadi produk perikanan yang memiliki nilai jual tinggi. Potensi teripang hampir bisa
dijumpai di seluruh perairan Rote walaupun dalam jumlah yang semakin terbatas.
Potensi teripang yang besar masih bisa dijumpai di beberpa titik di perairan sebelah
utara pulau Rote. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Rote Ndao tahun 2012 yang
dikumpulkan dari kapal-kapal luar yang mengumpulkan teripang memperlihatkan
bahwa potensi teripang masih sangat besar, namun hanya bisa dijumpai pada
perairan dengan kedalaman yang besar sehingga diperlukan ketrampilan menyelam
dan peralatan yang modern dan mahal. Sedangkan potensi teripang di sebelah
selatan seperti di sekitar pulau Landu semakin langkah. Pada tahun 2012, rerata
jumlah teripang kering yang berhasil di kumpulkan oleh seorang nelayan Desa Landu
tidak melebihi 1 kg per bulan yang dapat dijual maksimal tidak lebih dari Rp.150.000.
Potensi hiu sepanjang perairan selatan Rote cukup besar. Secara turun-
temurun nelayan Rote menangkap hiu untuk di konsumsi, namun tidak dimanfaatkan
sirip hiu seperti halnya konsumen Tionghoa. Stacey dkk (2008) dalam menggali
kearifan ekologi lokal yang bermanfaat bagi pelestarian hiu di Indonesia bagian timur
termasuk Nusa Tenggara Timur dan Rote memperkuat pengetahuan lokal masyarakat
tentang potensi hiu yang cukup besar di perairan sekitar pulau Ndana, batu Heliana
dan pulau Landu. Namun seperti halnya dengan teripang, tidak tersedia data
kuantitatif volume penangkapan sirip hiu dan teripang yang dikonsumsi oleh
masyarakat Rote.

Page | 16
Gambar 5.1 Peta Jalur Migrasi Hiu di Pulau Rote

Berdasarkan data pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah retribusi yang


dikenakan terhadap sirip hiu dan teripang yang dikumpulkan mulai dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2011 cenderung fluktuatif, dengan rata-rata sekitar Rp.770.125
untuk teripang dan Rp.1.958.625 untuk Srip Hiu. Jumlah pendapatan ini diperkirakan
hanya sekitar 15% dari volume hasil tangkap yang diperoleh. Diperkirakan rerata
volume hasil tangkap per tahun dapat mencapai 5.134 kg untuk teripang dan 5.223 kg
untuk sirip hiu. Dengan demikian rerata total pendapatan kotor yang diperoleh setiap
tahun dapat mencapai Rp.550 juta untuk teripang dan Rp.3,5 milyar untuk sirip hiu.

Tabel 5.1 Rincian pendapatan dari Retribusi Teripang dan Sirip Hiu (Rp.)

Jenis produk 2008 2009 2010 2011


Teripang 1.091.500 108.000 1.091.000 790.000
Sirip hiu 2.852.500 77.000 2.390.000 2.515.000

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Rote Ndao, 2012

Page | 17
5.2 Pemetaan Rantai Pasok.

5.2.1 Pemetaan Pelaku


Pelaku yang menjadi responden dalam penelitian ini mencakup Pemilik perahu;
Juragan (Kapten perahu) dan Anak buah perahu. Secara geografis para pelaku yang
menjadi responden di pilih dari 3 desa (dari total 49 desa pesisir) yang merupakan
sumber utama asal nelayan MOU Box 1974. Nelayan di tiga lokasi ini memiliki
keterkaitan yang erat namun memiliki karakteristik yang berbeda satu dari yang
lainnya baik dalam hal keragaman tingkat ekonomi dan sosial, livelihood, dan jenis
tangkapan hasil laut.
Pilihan lokasi ini telah dikonfirmasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda) Rote Ndao dan Dinas Kelautan dan Perikanan Rote Ndao. Dari
masing-masing desa ini dilakukan wawancara terhadap 5 orang pemilik kapal, 5 orang
juragan perahu dan 5 orang anak buah perahu sehingga jumlah keseluruhan
responden adalah sebanyak 45 orang. Wawancara lanjutan juga dilakukan dengan
Kepala Desa Landu dan Kepala Desa Oelua yang adalah juga pemilik kapal, juga
dengan 2 pengusaha/pemodal utama di Landu dan 1 pengusaha/pemodal di Pepela.

Gambar 5.2 Peta Lokasi Penelitian


Page | 18
5.2.1.1 Desa Landu
Desa ini terletak di Pulau Landu Kecamatan Rote Barat Daya, merupakan pulau
terselatan Indonesia. Awalnya merupakan bagian dari Desa Oebou di Kecamatan
Rote Barat Daya, kemudian sejak tahun 2011 dipisahkan dari desa induk dan
ditetapkan menjadi desa mandiri. Penduduk desa Landu sebanyak 771 jiwa, mayoritas
penduduk asli Rote yang beragama Kristen, dengan rincian: 178 Kepala Keluarga (KK)
penduduk asli, 4 KK keturunan Ndao yang beragama Kristen, 1 (KK) keturunan
Dawan beragama Kristen dan 4 KK keturunan Bajo yang beragama Muslim. Hampir
semua penduduk desa pulau ini bermatapencaharian sebagai nelayan, termasuk 5 KK
tenaga pengajar di Sekolah Dasar Landu yang juga memiliki usaha yang berbasis
perikanan, termasuk sebagai pemilik perahu yang menangkap hiu di area MoU Box
1974.
Keterlibatan nelayan Landu secara langsung dalam bisnis penangkapan hiu di
perairan Australia termasuk belum lama yaitu sekitar tahun 2005. Jauh sebelumnya
yaitu sejak tahun 1985 nelayan Landu hanya bekerja sebagai anak buah perahu pada
pemilik perahu di Pepela. Setiap tahun sebelum tiba di lokasi penangkapan hiu, para
nelayan Pepela mampir di pulau Landu untuk mengambil air minum dan juga
berlindung dari badai untuk sementara waktu. Para nelayan Pepela juga berbagi
informasi tentang bisnis sirip hiu dan teripang. Sehingga selain bekerja sebagai anak
buah perahu, sebagian terlibat dalam pengumpulan teripang di sekitar perairan Landu.
Seiring dengan meningkatannya pengetahuan nelayan Landu tentang bisnis
sirip hiu dan teripang, maka sejak tahun 1985 para nelayan Landu mulai pergi berlayar
menangkap sirip hiu tanpa melibatkan nelayan Pepela. Jumlah perahu dari pulau
Landu yang dipakai berlayar mencapai 23 unit, dengan memperkerjakan sebanyak 23
juragan dan 161 anak buah perahu, semuanya merupakan penduduk asli Landu.

Namun seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah Australia di area MoU


Box 1974, motivasi nelayan Landu untuk menangkap hiu mengalami kemunduran
hingga berhenti total pada tahun 2007. Jumlah perahu Landu yang ditahan dan
dibakar pemerintah Australia sejak tahun 2005 hingga tahun 2007 mencapai 18 unit.
Pelanggaran utama yang menjadi alasan penangkapan dan pembakaran perahu-
perahu ini adalah pelanggaran jenis perahu yang diijinkan. Semua perahu yang
ditahan adalah perahu motor, bukan perahu layar sesuai dengan amanat MoU Box
Page | 19
1974. Kemunduran serupa juga dialami oleh nelayan pengumpul teripang, seiring
dengan semakin menurunnya potensi teripang di perairan Landu. Pada masa jayanya
hingga tahun 2003, jumlah teripang kering dari perairan Landu yang dapat
diantarpulaukan mencapai 1 ton per bulan, namun kemudian mengalami penurunan
hingga hanya mencapai sekitar 50 Kg per bulan pada tahun 2012.
Dampak dari kemunduran kegiatan perikanan ini terlihat dari meningkatnya
jumlah penduduk yang telah keluar mencari pekerjaan di daerah lain. Hingga tahun
2012, jumlah penduduk yang telah keluar sebanyak 176 jiwa, menyebar hampir di
seluruh Indonesia, namun sebagian besar masih bekerja pada subsektor kelautan dan
perikanan.

5.2.1.2 Desa Oelua


Desa Oelua terletak di sebelah timur laut Kecamatan Rote Barat Laut dengan
lokasi pelabuhan yang tertutup rapat oleh hutan bakau yang lebat dan luas sehingga
pantainya sangat terlindung dari amukan angin barat selama musim hujan. Penduduk
desa ini sangat beragam, baik dari aspek etnis, agama, maupun kondisi sosial dan
ekonomi. Secara umum, kehidupan ekonomi desa ini jauh lebih baik dan beragam dari
pada kondisi ekonomi nelayan di desa Landu (Carnegie 2008).
Dari jumlah penduduk 2.706 jiwa, 35,66% adalah etnis Bugis, Buton dan Bajo
yang beragama Muslim, 62,68% adalah penduduk lokal beragama Kristen dan1,66%
berasal dari daerah lain di Nusa Tenggara Timur. Menariknya, Kepala Desa Oelua
adalah etnis pendatang yang beragama Muslim yang dipilih secara demokrasi oleh
penduduk Oelua.
Mayoritas penduduk beragama Muslim adalah nelayan dan pedagang sembilan
bahan pokok kebutuhan hidup sehari-hari termasuk penyedia jasa transportasi bahan
bakar minyak dari Kupang ke Sabu dan Rote. Mayoritas penduduk pendatang berdiam
di pinggir pantai di dusun Oelaba dan menguasai lebih dari 50% kegiatan
perekonomian di Oelua. Sedangkan penduduk asli lebih fokus pada kegiatan pertanian
dan pengolahan dan perdagangan gula merah antar pulau yang menciptakan
ketergantungan dengan para pemilik perahu penduduk pendatang.
Hingga tahun 2012 jumlah perahu yang layak untuk melakukan pelayaran ke
area MoU box 1974 sebanyak 12 unit, 21 unit lainnya dalam kondisi tidak layak
berlayar, 5 unit mengangkut bahan bakar minyak dan sembilan bahan pokok
Page | 20
kebutuhan masyarakat dari Kupang ke Sabu dan dari 2 unit dari Kupang ke Rote.
Pengangkutan bahan bakar minyak dan sembilan bahan pokok di mulai pada tahun
2009 seiring dengan semakin sulitnya para pemilik perahu untuk memperoleh juragan
dan anak buah perahu untuk belayar dan mengumpul teripang di area MoU Box 1974.

5.2.1.3 Desa Londalusi


Desa Londalusi terletak di Kecamatan Rote Timur di sebelah timur laut ujung
pulau Rote dengan kampung nelayan utama bernama Pepela. Kampung Pepela
terletak disebelah selatan teluk yang cukup terlindungi dari arah barat. Teluk Pepela
dipisah dari daerah sekitarnya oleh pantai berpasir dan hutan manggrove, dan
terumbuh karang dapat dijumpai di tengah-tengah. Lokasinya yang uniknya sangat
cocok menjadi tempat perlindungan bagi perahu kecil dari angin barat dan timur yang
kadang sangat keras.
Jumlah penduduk Londalusi mencapai 4.002 jiwa, dengan rincian penduduk
yang beragama Muslim sebanyak 46,43%, Kristen Protestan sebanyak 51,67% dan
Kristen Katolik sebanyak 1,9%. Penduduk asli beragama Kristen Prostetan,
sedangkan kaum imigran dari pulau lain umumnya adalah etnis Bajo, Buton dan Bugis
yang beragama Muslim dan Kristen Katolik. Kegiatan ekonomi penduduk Pepela
berbasis pada penangkapan ikan di laut Timor dan perdagangan yang berhubungan
dengan produk perikanan.
Di dusun Pepela sendiri terdapat perkampungan kumuh nelayan yang sedikit
terpisah ke arah timur yaitu Tanjung Pasir, yang dihuni oleh 420 jiwa atau 128 kepala
keluarga di 84 rumah. Di kampung ini terdapat 11 perahu yang melakukan pelayaran
ke area MoU Box 1974 setiap tahun dan pada bulan Juni 2012, 8 unit perahu sedang
berlayar ke/berada di area MoU Box 1974.

Tabel 5.2.1 Lokasi dan Jumlah Penduduk

Desa Penduduk RT RTM Perahu Awak Perahu


Layar Layar
Landu 771 187 126 - -
Oelua 2.706 605 502 27 215
Londalusi 4.002 981 523 43 209
Rote 120.861 30.046 13.366 98 535

Page | 21
5.2.2 Pemetaan Proses
Suatu peta rantai nilai yang komprehensif dan mencakup keseluruhan hal tidak
akan pernah ada (ACIAR 2012). Proses yang diidentifikasi dalam rantai nilai teripang
dan sirip hiu minimal terdiri dari 8 (delapan) tahapan. Empat tahapan awal yaitu
penyediaan input, penangkapan, pengolahan awal dan pengumpulan dilakukan oleh
para nelayan dan pemilik perahu di Rote, sedangkan tahapan pengolahan lanjutan,
pengiriman, pemasaran dan pengolahan akhir dilakukan di Kupang, Makasar,
Surabaya dan negara tujuan.

5.2.2.1 Penyediaan input, penangkapan, pengolahan awal dan pengepulan.


Kedua produk yang menjadi objek penelitian, yaitu sirip hiu dan teripang,
membutuhkan input yang berbeda-beda. Input yang paling utama adalah perahu,
tenaga kerja dan kebutuhan makanan dan minuman selama pelayaran. Perbedaan
keduanya adalah pada penangkapan, dimana teripang tidak membutuhkan alat
tangkap seperti halnya sirip hiu. Pengumpulan teripang dilakukan dengan tangan,
namun untuk itu dibutuhkan perlengkapan penyelaman seperti kaca mata dan lampu
penerang khusus untuk penyelaman di malam hari.
Proses selanjutnya teripang harus segera di olah sehingga dibutuhkan input
tambahan berupa alat dan kayu bakar untuk di rebus. Proses ini dilakukan terhadap
sirip hiu namun tidak dilakukan oleh nelayan tetapi dilakukan oleh pemilik rumah
makan yang menyajikan makanan. Kebutuhan input untuk pengepulan hanya berupa
neraca atau alat timbang dan karung untuk mengisi sirip hiu dan teripang yang dalam
penelitian ini tidak diperhitungkan oleh karena neraca yang dipakai telah dipakai untuk
jangka waktu yang lama dan tidak membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan,
sedangkan input berupa karung telah diperhitungkan ke dalam harga produk yang
menjadi tanggungan penjual.
Biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan input ini bervariasi,
tergantung pada lokasi keberangkatan. Nelayan yang berasal Oelua dan Pepela
menempuh jarak pelayaran yang lebih panjang sehingga kebutuhan bahan makanan
lebih banyak dari pada nelayan Landu. Namun demikian kebutuhan bahan makanan
ini masih juga dipengaruhi oleh jenis produk yang hendak ditangkap. Nelayan Oelua
yang mengumpulkan teripang, membutuhkan lebih banyak waktu, bisa mencapai 2

Page | 22
bulan, sedangkan nelayan Pepela dan Landu yang menangkap hiu hanya
membutuhkan waktu 7 – 21 hari.

Tabel 5.2.2 Perbandingan Kebutuhan Input Sirip Hiu dan Teripang


No Kebutuhan Sirip Hiu Teripang Satuan
Cash Non-Cash Cash Non-Cash
1 Perahu 30.000.000 - 30.000.000 - Rp
2 Alat tangkap 7.000.000 2.000.000 - Rp
3 Waktu - 7 - 60 Hari
4 Kayu bakar - - 500.000 - Rp

5.2.2.2 Pengolahan Lanjutan, Pengiriman, Pemasaran dan Pengolahan Akhir.


Penelitian ini masih sebatas pada tahap pertama rantai pasok, sehingga
kebutuhan input untuk tahap yang kedua tidak dilakukan pengumpulan data primer.
Keterbatasan yang dijumpai sebagai alasan pembatasan fokus penelitian ini adalah
pada ketersediaan waktu dan biaya, dan kesulitan untuk menggali informasi harga dan
biaya pada pelaku selanjutnya setelah para nelayan.
Namun demikian, beberapa data sekunder telah dipakai dalam analisis
beberapa isu seperti harga pembelian, standar kualitas produk dan proses
pengolahan lanjutan. Informasi berharga lain seperti jaringan dan identitas pelaku
yang lebih dekat kepada konsumen masih merupakan rahasia dagang yang sulit sekali
untuk diperoleh. Sehingga pelaku yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
sebatas pelaku lokal yang berdomisili dan merupakan penduduk di Rote Ndao.

5.2.3 Pemetaan Alur Produk.


Sepanjang tahap pertama proses rantai pasok, produk yang dihasilkan masih
berupa bahan mentah yang belum banyak mengalami pengolahan dengan sentuhan
teknologi. Produk yang dihasilkan pasca penangkapan hiu masih berupa sirip hiu yang
dipotong dengan menggunakan pisau dan tangan lalu dikeringkan dengan sinar
matahari. Demikian juga dengan pengolahan teripang berupa penggaraman dan
pembersihan secara tradisional menggunakan tangan dan pengeringan dengan
bantuan alam yaitu matahari.
Kenyataan ini bukan disebabkan oleh ketiadaan teknologi pengolahan, tetapi
lebih disebabkan oleh pola hubungan dan pembiayaan pelayaran yang mempengaruhi

Page | 23
kekuatan tawar-menawar antara para pelaku dengan pemodal pasca penangkapan.
Para pemodal memiliki kekuatan untuk menekan para pelaku untuk secepatnya
mengembalikan modal pinjaman yang telah mereka peroleh dan untuk menghindari
beban bunga tambahan yang dapat dikenakan, dipihak lain para pelaku yang telah
meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama dibebani oleh tanggungjawab untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.

5.2.4 Pemetaan Pengetahuan dan Alur Informasi.


Hal-hal yang tak kasat mata yang terkait dengan rantai nilai, seperti misalnya
informasi dan pengetahuan, pada umumnya lebih sulit ditangkap dalam suatu peta
visual namun memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas produk
dan posisi tawar-menawar produsen.
Penelitian ini menemukan bahwa ternyata informasi berharga yang
mempengaruhi produksi dan kualitas produksi tidak dimiliki oleh semua pelaku
sepanjang rantai pasok. Informasi harga sirip hiu dan teripang ditentukan sepihak oleh
pedagang perantara dari luar Rote, bahkan khusus harga sirip hiu yang berlaku saat
ini sama dengan harga tahun 2010.
Hal serupa juga berlaku dalam hal informasi dan fasilitas kredit untuk
mengadakan kebutuhan input pelayaran. Pinjaman kredit yang tersedia hanya
diperoleh dari pemodal yang setiap saat dapat diakses oleh para pelaku tanpa
prosedur yang panjang dan tidak harus menyediakan jaminan aset pribadi. Disisi lain
akses terhadap kredit yang disiapkan oleh pemerintah dan lembaga pengkreditan tidak
tersedia setiap waktu, dan harus melalui proses seleksi dan penilaian kelayakan yang
rumit dan panjang.

5.2.5 Pemetaan Volume Produk, Jumlah Pelaku dan Lapangan Kerja.


Informasi yang berhubungan dengan volume produksi jauh lebih sulit diperoleh
dari pada informasi yang terkait dengan pelaku dan ketersedian lapangan kerja.
Informasi volume produk sangat bermanfaat dalam memperkirakan permintaan pasar,
harga, potensi produk yang masih dapat digali dan nilai produk yang seharusnya dapat
dimaksimalkan. Informasi produk juga memberi indikasi informasi jumlah pelaku dan
jumlah lapangan kerja yang terserap.

Page | 24
Data yang berhasil dikumpulkan hanya sebatas data pendapatan pemerintah
daerah yang bersumber dari retribusi yang dikenakan terhadap produk sirip hiu dan
teripang yang diantarpulaukan keluar Rote. Tidak ada data yang jelas dan spesifik per
lokasi, namun menurut Dinas Kelautan dan Perikanan, bahwa sumber retribusi sirip
hiu hanya berasal dari Pepela, sedangkan sumber retribusi teripang umunya berasal
dari Oelua yang mencapai 60% sedangkan selebihnya berasal dari desa Netenaen.

Tabel 5.2.5 Perkembangan Produksi Teripang Dan Sirip Hiu


Jenis Produk Satua 2004 2008 2009 2010 2011
n

Teripang Kg 33.300 728 720 7.273 5.266

Sirip Hiu Kg 1.915 1.902 51 1.593 1.677

Sedangkan untuk informasi jumlah pelaku dan jumlah lapangan kerja diperoleh
dari jumlah pelayaran yang dilakukan oleh setiap perahu. Hampir semua perahu, baik
yang menangkap hiu maupun mengumpulkan teripang diawaki oleh minimal 7 orang
yang terdiri dari 1 juragan dan 6 anak buah perahu. Setiap tahun rata-rata terdapat 5
perahu dari Oelua yang berlayar mengumpulkan teripang dengan jumlah rerata nilai
penjualan produk mencapai Rp. 20 juta, sedangkan jumlah perahu dari Pepela yang
berlayar ke area MOU Box 1974 dapat mencapai 43 unit, dimana rata-rata 1 unit
perahu dapat melakukan pelayaran sebanyak 2 kali per tahun dengan jumlah nilai
penjualan produk dapat mencapai Rp.30 juta per pelayaran.

Peluang peningkatan produksi ke MOU Box 1974 tetap terbuka jika masalah
keterbatasan tenaga kerja dapat diatasi. Penurunan minat generasi muda yang terlihat
dari kesulitan para pemilik perahu untuk memperkerjakan juragan dan anak buah
perahu, meningkatnya peluang lapangan kerja di sektor lain dan di daerah lain yang
mendorong meningkatnya urbanisasi disertai dengan persyaratan khususnya yang
harus dimiliki seperti kemampuan menyelam yang tinggi dan kemampuan untuk hidup
terisolasi dan terputus komunikasi dengan keluarga untuk jangka waktu yang lama
merupakan beberapa fakta yang memperngaruhi persediaan tenaga kerja.

Page | 25
Secara umum jumlah tenaga kerja yang tersedia semakin terbatas dan langka.
Dalam hal kualitatif, lebih dari 80% tenaga kerja lokal pada tahap produksi telah
berusia antara 40 hingga 50 tahun khususnya di Oelua. Sementara itu secara
kuantitatif, lebih dari 80% tenaga kerja di Oelua didatangkan dari Alor setiap tahun
dengan beban biaya tambahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
memperkerjakan tenaga kerja lokal. Permasalahan ketersedian tenaga kerja tidak
dihadapi oleh di Pepela. Dari total 43 unit perahu layar di Pepela yang dapat berlayar
ke area MoU Box 1974, 33 unit perahu ini dikemudikan sendiri oleh pemilik dengan
rerata usia antara 30 tahun sampai dengan 40 tahun, sedangkan usia anak buah
perahu masih relatif muda, rerata usia mereka antara 20 tahun hingga 30 tahun dan
merupakan penduduk asli Pepela.

Ketersediaan tenaga kerja sangat mempengaruhi produksi. Tenaga kerja yang


berasal dari Alor jauh lebih produktif dari tenaga kerja lokal. Hal ini membuat
keuntungan yang diperoleh dengan memperkerjakan tenaga kerja asal Alor lebih
besar, namun perbedaan lokasi pemberangkatan dimana para tenaga kerja harus
datang ke Rote dan menunggu hingga kondisi laut mendukung pelayaran, maka
keuntungan lebih yang diperoleh tenaga kerja dari Alor harus dialokasikan untuk biaya
hidup selama menunggu dan termasuk biaya transportasi dari dan ke Alor.
Permasalahan kelangkaan tenaga kerja ini, merupakan wilayah privat pemilik kapal.
Tidak ada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk memasok tenaga
kerja yang termasuk langkah dan sangat membutuhkan kerampilan dan resiliensi yang
tinggi ini.

5.2.6 Pemetaan Hubungan dan Keterkaitan Antar Pelaku.


Kepercayaan dan keterhubungan memiliki kaitan yang amat erat dalam suatu
rantai nilai. Organisasi yang tidak memiliki keterhubungan tidak punya alasan untuk
saling “percaya”, sekalipun mereka bukannya “tidak percaya” pada pihak lainnya.
Sebaliknya, kepercayaan mungkin tidak penting bila terdapat mekanisme penegakan
yang memastikan terjadinya kepatuhan atas peraturan yang memayungi hubungan
(misalnya, kontrak dan regulasi hukum lainnya). Akan tetapi, bila tidak terdapat
mekanisme penegakan yang efektif, hubungan yang terjalin tanpa adanya
kepercayaan akan selalu merupakah hubungan yang lemah.
Page | 26
Keterkaitan, yang didefinisikan sebagai hubungan sosial antara dua pihak, dapat
berperan dalam rantai nilai tertentu, misalnya usaha keluarga yang melibatkan
beberapa anggota keluarga atau kelompok keluarga yang masing-masing memiliki
tugas spesifik atau spesialisasi dalam rantai nilai (biasanya dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi), sedangkan keterhubungan merupakan norma yang lebih
umum di kebanyakan rantai nilai (dengan berbagai derajat kepercayaan antara para
pelaku). Mulai dari sini alat ini akan berfokus pada keterhubungan dan kepercayaan.

Analisis keterhubungan mencakup tidak hanya sekedar melakukan identifikasi


atas organisasi dan pelaku mana saja yang terhubung satu sama lain, namun juga
mengidentifikasi alasanalasan terjadinya hubungan ini dan apakah keterhubungan
tersebut bermanfaat atau tidak.

Para pelaku dalam rantai nilai memiliki hubungan antara satu sama lain karena
mereka bertujuan memperoleh manfaat dari hubungan tersebut. Suatu identifikasi
adanya manfaat (atau kurangnya manfaat) juga memerlukan identifikasi hambatan
dalam meningkatkan keterhubungan dan kepercayaan di antara para partisipan rantai
nilai.

Keterhubungan dalam suatu rantai nilai kebanyakan merupakan hubungan


usaha, dan hubungan ini bisa berupa hubungan formal namun seringkali justru bersifat
informal. Hubungan informal mengacu pada ranah modal sosial (lihat Gambar 10 pada
Alat 3), dan kepercayaan dapat memainkan peran inti dalam hubungan semacam ini.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa dalam komunitas tradisional yang dinamis,
derajat modal social dalam kegiatan usaha banyak memiliki keterhubungan yang
didasarkan pada kepercayaan.

Umunya pemilik perahu diLandu dan Oelua tidak ikut berlayar bersama dengan
juragan/anak buah kapal ke MOU Box 1974. Kadangkala beberapa pemilik perahu
turut serta berlayar dengan perahu di saat-saat pertama kali mereka memperkerjakan
juragan baru, namun disaat jumlah perahu bertambah, para pemilik perahu yang
sudah tua harus belajar mempercayai juragan yang masih muda. Untuk memastikan
keselamatan perahu dan awak kapal, biasanya juragan perahu adalah saudara atau
Page | 27
kenalan dekat pemilik perahu yang telah terbukti pengalamannya. Sementara itu
untuk urusan yang berhubungan dengan anak buah kapal, pemilik perahu
mempercayakan sepenuhnya kepada juragan kapal.

Hal ini berlaku khususnya jika juragan kapal berasal dari Alor dimana anak buah
perahu terkenal dengan kemampuan menyelam yang tinggi. Jika juragan adalah
bukan saudara pemilik perahu, maka biasanya anak buah kapal adalah juga kenalan
dekat juragan perahu dan/atau pemilik perahu. Khusus untukk perahu di Pulau Landu,
pada awalnya yatu sekitar tahun 2003 juragan perahu berasal dari Papela, sedangkan
anak buah kapal adalah penduduk asli Pulau Landu. Hal ini terjadi demikian karena
para juragan kapal asli Landu belum memiliki pengalaman berlayar ke MOU Box 1974.
Selanjutnya mulai sejak tahun 2005 juragan perahu direkrut dari anak buah perahu asli
Landu yang telah memiliki pengalaman melakukan pelayaran ke MOU Box 1974.

Titik penting lainnya dalam hubungan para pihak yang ada sehubungan dengan
penimbangan dan penentuan harga jual per satuan berat tertentu. Di Oelua dan
Papela penimbangan berat dan kesepakatan harga dilakukan bersama ketiga pihak
dihadapan pihak pembeli yang datang mengumpul hasil di kedua desa ini sehingga
peluang kesalahan penimbangan yang dapat menimbulkan konflik, kecurigaan dan
ketidakpercayaan dapat dicegah. Namun hal ini tidak terjadi di Landu, dimana hanya
pemilik kapal yang melakukan penimbangan dan transaksi dengan pembeli yang
berkedudukan di Kupang.

Hampir semua pemilik perahu mengakui bahwa kedekatan hubungan antara


juragan dan anak buah kapal ikut mempengaruhi tingkat kepercayaan, solidaritas
bahkan disiplin dan motivasi kerja, walaupun tidak selamanya variabel-variabel ini ikut
berdampak terhadap tingkat produktifitas. Produktifitas juga dipengaruhi oleh
kemampuan dan ketrampilan menyelam, sistim dan transparansi dalam pembagian
beban (input dan eksekusi) dan keuntungan (nilai jual hasil tangkapan).

5.2.7 Pemetaan Layanan Yang Digunakan Dalam Rantai.


Pemetaan terhadap jenis layanan yang merupakan prioritas utama yang paling
dibutuhkan berbeda-beda antar pelaku. Para juragan yang memikul tanggungjawab
Page | 28
utama mulai dari pengadaan anak buah perahu, hingga pengumpulan hasil dan
pengolahan awal membutuhkan lebih banyak layanan dibandingkan dengan pemilik
perahu dan anak buah perahu. Pada ketiga desa diketahui kalau para juragan melihat
pinjaman yang tidak mengikat dan tidak terlalu tingginya adalah prioritas mereka diikuti
dengan kebutuhan akan informasi harga dan pembeli yang terkini. Kesulitan
memperoleh anak buah perahu yang dapat diandalkan untuk mengumpulkan hasil
lebih banyak disuarakan oleh juragan dan juga pemilik perahu di Oelua.

Sedangkan kebutuhan yang berhubungan dengan jaminan kepastian


sehubungan dengan ketiadaan garis batas di laut yang memberi kepastian batas area
MOU Box 1974 diangkat oleh ketiga pihak dari ketiga desa. Penggunaan alat bantu
GPS (Geographic Positioning System) dapat membantu, namun sering terjadi selisih
pendapat dengan petugas Australia dengan hasil akhir para nelayan harus mengalah
dan menjadi korban kepada keputusan sepihak yang diambil oleh para petugas.
Informasi abu-abu semacam ini perlu dibuat jelas dan apabila dirasa terjadi
pelanggaran, maka pemerintah Indonesia wajib mengetahui pada kesempatan
pertama sehingga tidak menimbulkan kesimpangpiuran bagi keluarga yang ditinggal.

Kebutuhan akan fasilitasi pembelian produk oleh pemerintah disuarakan hampir


oleh semua pihak di ketiga desa. Para nelayan merasa pemerintah perlu ikut
memfasilitas pembelian hasil tangkapan para nelayan sehingga taksiran kualitas dan
harga tidak dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh pengumpul
dan/atau pemilik modal.

Dalam prakteknya pengadaan GPS dilihat sebagai bagian tidak terpisahkan dari
kapal/perahu sehingga biaya pengadaannya ditanggung seutuhnya oleh pemilik kapal.
GPS sangat mempengaruhi produksi, membantu nelayan untuk berlayar mengikuti
pergerakan ikan tanpa kuatir melanggar garis batas yang telah ditetapkan sehingga
kepemilikan GPS menjadi salah satu faktor pertimbangan juragan dan anak buah
perahu dalam memilih kapal/perahu yang akan mereka pakai dan dalam mengambil
keputusan sehubungan dengan waktu pelayaran.

Page | 29
5.2.8 Pemetaan Tata Kelola: Koordinasi, Regulasi dan Kendali
Analisis tata kelola dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi dan memahami
berbagai aturan yang mendukung rantai pasok, serta sistem koordinasi, regulasi, dan
kendali yang berjalan saat terbentuknya nilai dalam suatu rantai (Gereffi, G., J.
Humphrey, et al. 2003).
Tata kelola rantai pasok sirip hiu dan teripang mengacu pada aturan-aturan
“resmi” yang terkait dengan keluaran serta berbagai syarat penting untuk berkompetisi
dalam perniagaan yang mempengaruhi struktur produksi (Tabel 5.2.8). Dalam
prakteknya ternyata tata kelola yang terbangun tidak berdasarkan aturan-aturan resmi
yang dipahami dan menjadi pengetahuan publik. Kebutuhan akan sirip hiu dan
teripang memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun bisnis ini masih
belum di atur secara resmi. Pada level pemerintah daerah, telah dikeluarkan
Keputusan Bupati Rote Ndao Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan peraturan
daerah kabupaten Rote Ndao Nomor 34 2004 tentang Retribusi pelaksanaan izin
pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, namun tatakelola
kegiatan pengumpulan, pengeluaran dan harga beli diserahkan kepada mekanisme
pasar. Tidak ada aturan hukum yang memberi perlindungan kepada nelayan, demikian
juga tidak ada mekanisme dan informasi pasar yang difasilitasi oleh pemerintah.
Sejatinya dengan adanya peningkatan permintaan di satu sisi dan penurunan
potensi di pihak lain, kompetisi semakin kuat sehingga posisi pelaku pada level
produksi semakin kuat, namun ternyata posisi tawar-menawar produsen masih lemah.
Hubungan kerja antara juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat
informal, tidak ada kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban
pemilik perahu. Hal serupa juga ditemui dalam hubungan Hubungan kerja antara
juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat informal, tidak ada
kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban pemilik perahu.
Dalam hal upah, sebagai contoh, tidak ada kepastian jumlah minimal yang akan
diperoleh juragan dan anak buah perahu, demikian pula bila terjadi kecelakaan kerja
yang dapat menyebabkan cacat fisik bahkan kehilangan nyawa. Hal serupa juga
ditemui dalam hubungan antara para pemilik perahu dengan pemodal yang sekaligus
berperan sebagai pembeli/pedagang.
Persyaratan sederhana seperti kualitas produk, ukuran, warna tesktur
ditetapkan oleh pemodal/pembeli, namun karena posisi tawar-menawar juragan dan
Page | 30
anak buah perahu yang lemah dalam menentukan grade produk yang dijual sehingga
insentif untuk memproses produk guna meningkatkan nilai jualnya hampir tidak ada.
Hal ini diperburuk oleh asimetri informasi yang berhubungan dengan pembeli alternatif
dan ketiadaan upaya untuk mengorganisir para pemasok membuat para pelaku pada
level produksi tidak memiliki pilihan lain selain segera menjual produk yang termasuk
kategori mudah rusak.

Tabel 5.2.8a Peraturan dan Standar yang Mempengaruhi Rantai Pasok

Jenis Contoh Pemberlakuan dan Sanksi Praktek


Standar resmi Larangan penggunaan bahan Larangan atas produk yang tidak Tidak ada
“legal” pengawet berbahaya memenuhi syarat yang ditetapkan pasar
tujuan
Standar Persyaratan produksi untuk Tidak diperolehnya sertifikasi atau Tidak ada
sukarela sertifikasi dan pelabelan organik pelabelan nilai-tambah
Persyaratan Persyaratan produk yang kasat Penolakan produk di tempat yang Ada
atau Norma mata seperti misalnya volume, dilakukan oleh pembeli pada saat
Komersil ukuran, warna, komposisi, atau pengiriman atau pengumpulan, atau
("Aturan tingkat kesegaran, yang dapat pengurangan harga bagi penjual
dagang") dibukukan maupun yang tidak (downgrading)

Salah satu regulasi lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Rote Ndao
adalah Keputusan Bupati Rote Ndao nomor 119 tahun 2004 tentang pelaksanaan
peraturan daerah kabupaten Rote Ndao nomor 34 tahun 2004 tentang retribusi izin
pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, yang menetapkan
jumlah retribusi yang harus dibayarkan oleh pengepul/pembeli teripang dan sirip hiu
(Tabel 5.2.8b). Namun pelaksanaanya secara teknis dalam taksasi volume dan jenis
dan transaksi keuangan tidak dilakukan pemisahan sebagaimana mestinya, para
pembeli lebih cenderung melakukan penyeragaman yang mempermudah taksasi
namun dapat merugikan nelayan dan pemerintah daerah.

Tabel 5.2.8b Retribusi Teripang dan Sirip Hiu


No Jenis Teripang Biaya (Rp.) No Jenis Sirip Biaya (Rp.)

1 Teripang nenas 5.000 1 Sirip hiu tiger (super) 25.000


2 Teripang susu/koroh 5.000 2 Sirip hiu tiger (non super) 10.000
3 Teripang batu 1.000 3 Sirip hiu putih (super) 20.000
4 Teripang kunyit 1.000 4 Sirip hiu putih (non super) 15.000
5 Teripang ketimun 1.000 5 Sirip hiu bingkung (super) 10.000
6 Teripang cera 500 6 Sirip hiu bingkung (non super) 7.500
7 Teripang polos 2.500 7 Sirip hiu kepel 2.500
8 Teripang bintik 2.500
Page | 31
Dari hasil wawancara maupun pengamatan hampir semua pemilik
kapal/perahu, juragan dan anak buah perahu tidak menganggap keberadaan pungutan
hasil laut sebagai beban tambahan bagi usaha perikanan yang mereka geluti.
Permasalahan muncul disaat para nelayan berusaha untuk memperoleh pelayanan
perijinan pelayaran yang seringkali harus membuat para nelayan menunggu untuk
waktu yang lama. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kualitas pelayan publik
telah mengalami perubahan dan perbaikan yang signifikan, kebanyakan nelayan telah
memperoleh pelayanan yang jauh lebih baik, lebih mudah dan terjangkau.

5.2.9 Pemetaan nelayan


5.2.9.1 Karakter rumah tangga dan perumahan nelayan
Karakter rumah tangga dan kondisi perumahan nelayan pada ketiga lokasi
penelitian sangat beragam. Khusus juragan dan anak buah perahu dapat dikatakan
bahwa umumnya nelayan Pepela berasal dari pemukiman di Tanjung Pasir dengan
rata-rata usia anak buah perahu dibawah 30 tahun sedangkan rata-rata usia juragan di
atas 45 tahun, nelayan Oelua juga termasuk masih muda antara 20- 30 tahun, namun
sebagian besar berasal dari Alor, nelayan asli baik sebagai juragan maupun anak
buah perahu umumnya berusia di atas 45 tahun. Hal serupa juga dijumpai pada anak
buah perahu nelayan Landu yang cenderung masih muda, dan belum membentuk
rumah tangga sendiri.
Dari 15 anak buah perahu yang diwawancara, hanya 26,6% yang pergi berlayar
ke Mou Box 1974 pada tahun 2011, sebagian besar lainnya memilih melakukan
pekerjaan lain. Secara psikologis, anak buah perahu yang masih muda cenderung
memiliki rasa tanggungjawab yang kurang, hal ini terlihat dari struktur pengeluaran
yang lebih banyak dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti untuk membeli
rokok, dan handphone. Selama mereka melakukan pelayaran ke dan dari MoU Box
1974 dan selama melakukan penangkapan dan pengumpulan sirip hiu dan teripang
pengeluaran untuk rokok dapat mencapai 35% dari pendapatan bersih yang mereka
peroleh pasca transaksi keuangan di darat. Pengeluaran besar berikutnya adalah
makan dan minum yang dapat mencapai 20% pendapatan, sehingga penghasilan
bersih hanya sekitar 45%, namun karena kebanyakan anak buah perahu telah terikat
hutang dengan pemodal, maka penghasilan yang dapat dibawa pulang tidak lebih dari
20%. Pengeluaran yang cenderung destruktif dan konsumtif ini dipengaruhi oleh
Page | 32
tingkat pendidikan nelayan, baik juragan dan anak buah perahu yang kurang dari 50%
hanya menamatkan pendidikan dasar setingkat Sekolah Dasar (6 Tahun).
Cerminan tingkat pendidikan dan pendapatan dapat dilihat dari kondisi fisik
perumahan nelayan baik juragan maupun anak buah perahu dimana lebih dari 90%
termasuk kategori rumah tidak layak huni khususnya di Pepela. Kondisi perumahan
yang sedikit lebih baik dijumpai di Landu, sekitar 40% termasuk rumah layah huni,
sedangkan perumahan nelyan di Oelua adalah yang terbaik. Namun demikian seperti
halnya komunitas nelayan dan penduduk Rote pada umunya, lebih dari separuh
perumahan penduduk masuk katergori rumah tidak layak huni. Perbedaan kondisi
perumahan ini dapat dijelaskan seara kultural, berdasarkan etnis penduduk pada
ketiga lokasi dimana lebih dari 90% penduduk Pepela terutama Tanjung Pasir berasal
dari etnis Bajo, lebih dari 97,86% penduduk Landu berasal dari etnis Rote dan kurang
dari 10% penduduk Oelua berasal dari etnis Bajo. Secara kultural, nelayan etnis bajo
lebih memilih untuk hidup dilaut, diantara pulau-pulau dan berpindah kemana ikan
berpindah (Stacey 1999). Sebaliknya penduduk Rote lebih memiliki identitas geografis
darat yang sangat kuat, sehingga nelayan Rote tidak dicatat dalam sejarah dalam hal
penangkapan ikan di laut lepas (Fox 1998). Inilah alasan kepemilikan aset tetap
seperti rumah dan tanah di daratan tidak merupakan prioritas investasi nelayan etnis
Bajo, sebaliknya aset tetap dapat dipandang sebagai penghambat mobilitas
mereka.Ukuran yang lebih tepat untuk mengukur kepemilikan aset etnis Bajo adalah
pada kapal/perahu dan alat tangkap yang dimiliki, termasuk di dalamnya status Haji
khususnya bagi etnis muslim Bajo.

5.2.9.2 Tenaga Kerja


Penggunaan tenaga kerja mengalami dinamika seiring dengan penguasaan
pengetahuan pelayaran, jenis tangkapan, dan jenis alat tangkap. Pada awalnya
tenaga kerja khususnya yang berperan sebagai Juragan di Pulau Landu adalah anak
buah perahu dari Pepela yang telah memiliki pengalaman berlayar ke MOU Box 1974.
Peluang ketiadaan pengalaman nelayan Landu dimanfaatkan oleh anak buah perahu
dari Pepela, dari anak buah perahu dengan hak dan kewajiban yang kurang kemudian
menjadi juragan yang diapresiasi lebih. Kondisi ini bertahan selama dua tahun yaitu
mulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2004. Selanjutnya semenjak tahun 2004 hingga

Page | 33
tahun 2007 anak buah perahu asal Landu yang telah memahami kondisi dan jalur
pelayaran dapat mengisi jabatan sebagai juragan.
Kondisi serupa juga terjadi di Oelua dimana terdapat ketergantungan terhadap
tenaga kerja dari luar khususnya dari Alor semakin tinggi. Adalah nelayan Oelua yang
secara turun-temurun memperkerjakan tenaga kerja lokal sebagai anak buah perahu
dan juragan. Namun kondisi ini mulai berangsur-angsur bergeser semenjak 16 tahun
lalu seiring dengan semakin langkahnya teripang pada area yang dangkal yang dapat
dikumpulkan tanpa membutuhkan banyak kerja keras khususnya kemampuan
menyelam yang tinggi. Seiring dengan perubahan tingkat pendidikan generasi muda di
Oelua dan terbukanya peluang kerja di sektor lain di tempat lain yang lebih baik,
jumlah tenaga kerja lokal yang mampu dan mau berlayar ke area MOU Box 1974
semakin berkurang. Inilah yang mendorong pemilik perahu untuk beralih mencari
tenaga kerja dari Pulau Alor. Tenaga kerja asal Alor terkenal dengan kemampuan
menyelam yang sangat tinggi. Abraham, seorang anak buah perahu yang bekerja
untuk Kepala Desa Oelua, menuturkan bahwa di usianya yang ke 49 ia masih memiliki
kemampuan untuk menyelam hingga kedalaman 30-40 depa. Kemampuan ini hampir
tidak dapat disamai oleh penyelam asal Oelua.
Namun karena keterbatasan tenaga kerja asal Alor, maka pelayaran ke MOU
Box 1974 tergantung dari kesedian dan kemampuan pemilik kapal untuk membayar di
muka termasuk membayar biaya transportasi dan akomodasi tenaga kerja dari Alor ke
Rote. Hingga akhir Juni 2012, baru 4 perahu dari total 10 perahu yang layak berlayar
yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berlayar dengan rincian 3 perahu
memperkerjakan tenaga kerja asal Alor dan 1 perahu yang memakai tenaga kerja
lokal. 6 perahu lainnya belum jelas waktu pelayaran bahkan kemungkinan besar
mereka tidak akan berlayar. Alasan inilah yang terjadi dengan pemilik perahu yang
juga Kepala Desa Oelua dimana selama tahun 2010 dan 2011 perahunya tidak
berlyar. Ia baru bisa memberangkatkan perahunya setelah ia berhasil memperkerjakan
anak buah perahu dan juragan asal Alor pada tahun 2012 ini. Jika kondisi ini tidak
mengalami perubahan, maka sangat mungkin bagi 6 perahu tersebut di atas untuk
menyusul 21 perahu lainnya yang tidak lagi berlayar ke MOU Box 1974 karena
kesulitan tenaga kerja.
Kesulitan yang di alami oleh para pemilik perahu di Oelua tidak terjadi di
Pepela. Selain sebagai pusat pemukiman nelayan asal Bajo, target tangkapan nelayan
Page | 34
Pepela adalah sirip hiu, bukan teripang sebagaimana halnya nelayan Oelua.
Perbedaan ini ikut mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang layak untuk diperkerjakan.
Penangkapan hiu dengan menggunakan longlines membutukn sedikit tenaga dan
kemampuan menyelam yang tidak harus tinggi seperti halnya dengan pengumpulan
teripang. Perbedaan target ini juga mempengaruhi waktu pelayaran pergi dan pulang,
dan waktu menangkap/mengumpulkan hasil di MOU Box 1974. Rerata waktu yang
dibutuhkan untuk berlayar dan menangkap hiu hanya selama 21 hari, sementara itu
waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dan mengumpulkan teripang dapat mencapai
56 hari. Hal lainnya berhubungan dengan kuatnya hubungan patron-client di Pepela
yang selain menyediakan solusi berupa bantuan finansial bagi nelayan disaat mereka
membutuhkan, juga sekaligus bersifat mengikat dan memaksa para nelayan untuk
pergi berlayar guna melunasi hutang pinjaman yang diberikan oleh pemilik modal. Di
Pepela terdapat 5 bos pemilik modal sekaligus sebagai pedagang sirip hiu dan pemilik
perahu yang ikut berperan besar terhadap penangkapan hiu. Hal ini yang
menyebabkan perbedaan dinamika pelayaran ke area MOU Box 1974 antara nelayan
Pepela dan nelayan Oelua.

5.2.9.3 Biaya Pelayaran dan Pengaturan Kredit


Untuk memenuhi biaya perjalanan baik berupa bahan bakar, bahan makanan,
alat tangkap dan biaya lainnya, para nelayan yaitu juragan dan anak buah
memperoleh pinjaman dari pihak lain baik itu dari pemilik kapal maupun dari pihak lain
pemodal yang nantinya akan membeli kembali hasil tangkapan yang akan dibawa
pulang. Tergantungan pada pinjaman dalam masyarakat perikanan terkait erat dengan
produktifitas perikanan sehingga Alexander (1982:58) mengatakan bahwa “puncaknya
sangat tajam dan lembahnya sangat dalam” yang artinya pendapatan para nelayan
yang berada di bawah lembah sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan besar
seperti pendidikan, ritual siklus hidup, pesta keagamaan, peralatan tangkap dan
pemeliharaan perahu. Sehingga para nelayan berhadap pada kredit untuk memenuhi
semua kebutuhan tersebut. Selain itu bahwa cara lain untuk memperoleh kredit dari
bank sangatlah tidak mudah bagi mereka karena aset mereka tidak cocok menjadi
jaminan, atau juga karena domisili mereka yang tidak memberi kepastian.

Page | 35
Di Landu terdapat dua bos besar yang memberi pinjaman kepada para nelayan
di 18 perahu. Pinjaman yang diberikan mencapai Rp.5 juta untuk sekali perjalanan dan
bebas dari bunga. Sebagian besar pinjaman ini dipakai untuk membeli bahan bakar
mesin perahu, sedangkan biaya lainnya jauh lebih sedikit karena waktu perjalan dan
pengumpulan hasil disana yang relatif singkat yaitu 6 hari perjalanan pergi pulang dan
dua hari mengumpul hasil. Kewajiban para nelayan dan pemilik perahu adalah menjual
hasil (sirip hiu) kepada pemodal dengan besaran harga yang ditentukan sendiri oleh
pemodal. Selanjutnya pemodal yang akan menjual hasil tangkapan ke pembeli di
Kupang, sehingga harga hasil tangkapan hanya diketahui oleh pemodal sendiri.

Di Oelua terdapat sekitar 10 pemilik perahu yang masih aktif ke MOU Box 1974
yang juga bertindak selaku pemodal pelayaran, namun kadang-kadang pembeli dari
Kupang langsung membiayai biaya pelayaran. Pinjaman yang diberikan dapat
mencapai Rp.8 juta yang sebagian besar dipakai untuk ransom, kayu bakar,
kebutuhan makanan/minuman, dan merokok. Pinjaman dikembalikan bersama dengan
10% bunga setelah hasil tangkapan (teripang) dibeli oleh pembeli dari
Kupang/Surabaya/Makasar yang datang ke Desa Oelua untuk membeli sendiri dengan
harga yang diketahui bersama oleh juragan/anak buah kapal dan pemilik kapal.

Di Desa Papela terdapat 2 bos yang membiayai hampir semua biaya pelayaran
43 perahu yang melakukan pelayaran ke area MoU Box 1974. Kedua bos ini adalah
juga pembeli yang memberi pinjaman tanpa syarat bahkan jauh sebelum para nelayan
melakukan pelayaran. Setiap saat para nelayan baik juragan maupun anak buah
perahu mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman yang cepat, maka
kedua bos ini adalah tempat pelarian yang cepat memberi bantuan. Pinjaman yang
diberikan bervariasi, dapat mencapai Rp. 1,5 juta kemudian diberikan hingga dapat
mencapai Rp.2,5 juta per orang saat para nelayan memutuskan untuk melakukan
pelayaran. Tidak ada bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan,
namun disinilah letak posisi tawar-menawar pemodal saat dilakukan taksasi volume,
kualitas dan harga hasil tangkapan nelayan, pemodal adalah juga pembeli hasil
tangakapan nelayan.

Page | 36
Tabel 5.2.9 Perbandingan Jenis Produk, Sumber Pinjaman dan Penentuan Kualitas
dan Harga.
Lokasi Produk Sumber Pinjaman Besar Bunga Penentuan
Pinjaman (%) Kualitas &
Harga
Landu Sirip hiu Pemodal 8.000.000 0 Pemodal
Oelua Teripang Pemilik kapal 5.000.000 10 Bersama
Papela Sirip hiu Pemodal 0 Pemodal

5.2.10 Karakter Perahu dan Alat Tangkap.


5.2.10.1 Kondisi Perahu
Sesuai dengan Amanat MOU 1974 perahu yang digunakan oleh para nelayan
adalah perahu tradisional, yang tidak mengikuti perkembangan teknologi yaitu perahu
kayu yang digerakan dengan tenaga angin. Perahu yang dimaksud adalah perahu
layar, bukan perahu yang digerakan oleh mesin motor. Pembatasan ini sejalan dengan
definisi tradisional yang dianut dalam MOU Box 1974 yang secara garis besar
mengatakan bahwa akses dan penangkapan produk perikanan di MOU Box 1974
diberikan kepada semua nelayan yang secara turun-temurun konsisten dalam
menggunakan perahu kayu yang digerakan oleh angin.

Namun karena berbagai alasan seperti faktor cuaca dan demi efektifitas dan
efisiensi biaya dan waktu perjalanan ke dan pulang dari Mou Box 1974, sehingga
sampai dengan tahun 2012, masih terdapat beberapa nelayan yang mencoba untuk
memakai perahu bermotor. Secara umum, jumlah perahu yang menyimpang dari
kesepakatan ini terus mengalami penurunan sebagai akibat dari semakin gesitnya
aparat pemerintah Australia menempuh kebijakan tangkap, tahan dan bakar.

Dari ketiga lokasi penelitian, diketahui bahwa biaya pembangunan perahu


tradisional yang menggunakan layar jauh lebih rendah dari pada biaya yang
dibutuhkan untuk dapat memiliki perahu motor. Rerata harga perahu layar pada tahun
2012 dapat mencapai Rp. 50 juta, sedangkan perahu motor dapat mencapai Rp.60
juta. Perbedaan biaya yang paling utama terdapat pada penggunaan mesin motor
yang pada umumnya berkekuatan 26 PK. Seorang pemilik perahu di Landu - perahu

Page | 37
motornya dibakar oleh pemerintah Australia pada tahun 1996 – membeli perahunya
sebesar Rp.95 juta dengan kekuatan mesin sebesar 52 PK.

Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki perahu motor, ikut
mempengaruhi kepemilikan dan pemilik perahu di ketiga lokasi penelitian. Di Landu
jumlah kepemilikan perahu hampir merata, terdapat 2 pemilik modal yang memiliki 6
perahu sedangkan selebihinya hanya memiliki 1 perahu. Kondisi serupa juga ditemui
di Oelua dimana jumlah rerata kepemilikan perahu cukup merata yaitu 1 perahu per
orang, sedangkan seorang pemiliki modal yang saat ini telah berubah fungsi menjadi
transportasi barang dan jasa memiliki 3 perahu. Kondisi sosial ekonomi kedua lokasi
ini berbeda jauh dari kondisi kepemilikan perahu di Pepela, dimana lebih dari separuh
perahu dimiliki oleh 2 pemodal besar.

Jumlah perahu motor di Landu telah mengalami penurunan yang cukup drastis
dari 23 unit pada tahun 2005 menjadi 5 unit pada tahun 2012. Pengurangan ini adalah
sebagai akibat langsung dari kebijakan penahanan dan pembakarann perahu oleh
aparat pemerintah Australia yang mencapai 37 unit antara tahun 2004 dan 2006. Di
Oelua jumlah perahu yang masih bisa berlayar ke area MOU Box 1974 sebanyak 12
unit, atau mengalami pengurangan sebanyak 27 unit secara berangsur-angsur
semenjak tahun 2005 yang disebabkan oleh ketiadaan tenaga kerja (21 unit) dan
perubahan peruntukan yaitu menjadi pengangkut bahan bakar minyak dan sembilan
bahan pokok kebutuhan rumah tangga, dan 48 unit yang dibakar oleh pemerintah
Australia. Keadaan serupa juga dialami oleh pemilik perahu di Pepela. Jumlah perahu
yang dimiliki oleh nelayan Pepela yang berlayar ke MOU Box 1974 mengalami
penurunan yang cukup drastis menjadi 43 unit pada tahun 2012, dimana 170 unit
dibakar oleh pemerintah Australia antara tahun 2005 hingga tahun 2012 sebanyak 250
unit, selebihnya rusak karena usia dan karena dijual ke daerah lain. Sehingga secara
keseluruhan, jumlah perahu yang telah ditahan dan dibakar oleh pemerintah Australia
dari ketiga lokasi antara tahun 2005 dan 2012 sebanyak 250 unit.

Page | 38
Gambar 5.2.10.1 Perahu Tradisional yang Digunakan Nelayan

5.2.10.2 Alat tangkap


Penggunaan alat tangkap hanya berlaku bagi nelayan Landu dan Pepela yang
menangkap hiu, sedangkan untuk nelayan Oelua yang hanya mencari teripang,
mereka melakukan pengumpulan teripang dengan menggunakan tangan kosong.
Penggunaan alat tangkap hiu telah mengalami perkembangan dan perubahan
sebagai respon terhadap potensi hiu dan perubahan kebijakan area penangkapan
dengan karakteristik fisik perairan yang berbeda. Secara turun-temurun para nelayan
menangkap hiu dengan menggunakan tali pancing yang dipegang oleh tangan dan
bubu namun sejak pemberlakukan amendemen tahun 1989 terhadap MOU Box 1974
peralatan tangkap yang dipakai mengalami penyesuaian.
Sekitar tahun 1991 setelah sistim penjualan sirip hiu langsung dilakukan
dengan pembeli yang berbasis di Papela, nelayan Pepela beralih memakai alat
tangkap yang dikenal dengan istilah longline (Gambar 5.4). Hal ini dilakukan setelah
mereka mengetahui dari seorang nelayan Bajo yang sukses menggunakan longlines.
Cerita ini mendorong mereka meninggalkan alat tangkap yang lama. Faktor
pendorong lainnya yang menyebabkan para nelayan Pepela tertarik untuk belajar
teknik penangkapan yang baru ini adalah karena semakin berkurangnya sumberdaya
sedentary sebagai akibat dari kelebihan eksploitasi di area MOU Box 1974, dan
tingginya harga sirip hiu. Proses pembelajaran ini berlangsung antara tahun 1991 dan
1993.
Page | 39
Adopsi longlines juga adalah bagian dari respon terhadap amendement MOU
Box 1974 pada tahun 1989. Dengan adanya amendemen, maka para nelayan
kehilangan akses akan sebagian besar area hiu sepanjang air dangkat berwarna putih
di Sahul Shelf yang berada di luar area MOU Box 1974 tetapi masih merupakan
bagian dari perairan Australia. Para nelayan terpaksa harus mencari di perairan yang
dalam di area MOU Box 1974 dan di bagian utara. Penggunaan longlines
dimungkinkan dengan adanya kredit untuk membiaya peralatan yang baru. Namun
demikian hal ini justru menimbulkan beban finansial dan hubungan yang semakin tidak
berimbang antara para nelayan dan para pemodal.

Gambar 5.2.10.2 Longlines untuk Menangkap Hiu.

Dari hasil wawancara dengan beberapa nelayan di Tanjung, Pepela diketahui


bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan satu set longline dapat mencapai Rp.
7 juta. Biaya ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik perahu. Adapula kesepakatan
bahwa apabila dalam pemanfaatannya saat para nelayan menangkap hiu di MOU Box
1974, terjadi kerusakan melebih 10%, maka biaya pergantian ditanggung bersama
antara pemlik perahu, juragan dan anak buah perahu. Sehingga terlihat jelas bahwa
ketersediaan jenis dan jumlah alat tangkap sangat mempengaruhi motivasi para
nelayan dan produktifitas penangkapan secara keseluruhan.

Page | 40
5.2.11 Pemetaan Produk Tangkapan
5.2.11.1 Pemetaan Kualitas
Ukuran fisik dan jenis adalah hal pertama yang menentukan harga jual sirip hiu
maupun teripang. Namun seiring dengan perubahan kebijakan di area MoU box 1974,
maka kualitas tangkapan berdasarkan karakter jenis dan ukuran yang memiliki nilai
jual tinggi semakin berkurang. Untuk memaksimalkan efektifitas pelayaran, maka
penangkapan dilakukan siang dan malam hari, saat air laut pasang dan surut bahkan
kadang di dalam dan di luar area MoU Box 1974.
Pengumpulan teripang umunya dilakukan selama air pasang surut khususnya
bagi anak buah perahu yang secara fisik lemah, namun jumlah teripang di area ini
semakin berkurang, dan termasuk kategori teripang dengan nilai jual rendah dan
ukuran yang kecil. Teripang yang dikumpulkan saat pasang surut seperti teripang
coklat, cerak, koro batu, bintik dan loreng; sedangkan teripang yang hanya bisa
dikumpulkan dengan cara menyelam adalah yang memiliki ukuran fisik besar dan nilai
jual tinggi, seperti teripang koro batu, koro susu, nanas, duyung dan bintik polos.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rote
Ndao (2012), diketahui bahwa hampir 80% jumlah teripang yang dikumpulkan di area
MoU Box 1974 maupun di perairan sekitar Rote termasuk kategori teripang bintik,
sedangkan selebihnya termasuk teripang cera, koro batu dan koro susu.
Demikian halnya dengan sirip hiu, dimana hiu dengan ukuran dan kualitas tinggi
semakin langka di dalam area MoU Box 1974, sehingga kadang-kadang para nelayan
terpaksa memancing di luar area MoU Box 1974. Sirip hiu terbagi ke dalam dua
kelompok: putih dan hitam. Sirip hiu hitam dijual pada harga yang lebih rendah dari
pada sirip hiu putih, penyebabnya adalah karena sirip hiu putih mengandung lebih
banyak jarum tulang sirip. Hiu yang dihargai tinggi adalah hiu putih yang jarum tulang
siripnya seperti garis-garis sinar (Rhynchobatus djiddensis). Kedua adalah sirip hiu
hitam, yang sering dijumpai sepanjang pantai (Carcharhinus); hiu harimau
(Galeocerdo cuvier) dan Hammerhead sharks (Eusphyra blochii dan Sphyrna) (Stacey
1999). Selanjutnya penilaian tergantung pada ukuran, kandungan air, dan metode
pemotongan. Umumnya sirip hiu hitam dipotong menurut tiga jenis: potong biasa
(berat), setengah bulan (ringan) dan bulan penuh (lebih ringan). Potongan yang
terakhir ini memilki nilai jual yang lebih tingi, namun oleh karena posisi tawar-menawar
nelayan yang rendah khususnya dalam hal taksasi ukuran dan berat sirip hiu, dimana
Page | 41
seringkali sirip hiu yang telah dipotong menjadi setengah bulan atau bulan penuh
masih sering dipotong lagi oleh pembeli sehingga kebanyakan nelayan memlilih
metode potong biasa, yang msih mengandung lebih banyak daging dan lebih berat
namun nilai jualnya lebih rendah.

Tabel 5.2.11.1a Perbandingan Harga Teripang di Rote dan Jakarta

No Nama Jakarta Oelua Landu


1x boiled 2x boiled 3x boiled 1 x boiled 1 x boiled
1 Kunyit 45.000 70.000 80.000 - 20.000
2 Cera duri 37.000 55.000 80.000 - 30.000
3 Cera hitam 40.000 60.000 80.000 35.000 30.000
4 Talengko 85.000 110.000 135.000 30.000 -
5 Duyung 50.000 105.000 135.000 - -
6 Cera merah 90.000 115.000 165.000 - 70.000
7 Pisang 140.000 215.000 260.000 - -
8 Polos 160.000 230.000 295.000 - 50.000
9 Bintik 290.000 355.000 395.000 90.000 150.000
10 Gamat 450.000 550.000 750.000 - 100.000
11 Nanas 350.000 750.000 1.100.000 225.000 350.000
12 Kapok 450.000 700.000 850.000 - 100.000
13 Kapok tondok - - 950.000 - 200.000
13 Susu 500.000 850.000 1.150.000 - 500.000
14 Susu without skin - - 2.100.000 - -
15 Gosok - - 2.400.000 -
16 Kapok raja - 550.000 - 100.000
17 Ogay 500.000 950.000 2.400.000 - -
19 Japung - - - 225.000 -
20 Kapur - - - - 100.000

Tabel 5.2.11.1b Perkembangan Harga Sirip Hiu Hitam, panjang lebih dari 35 cm

Jenis potongan
Dan Harga per kilo
(Rp.)

Sebelum 1994 40.000


1994 105.000 150.000
2004 300.000
2012 700.000

Page | 42
5.2.11.2 Pemetaan Pengolahan
Pengolahan hasil pasca panen atau pengumpulan sirip hiu dan teripang
dilakukan melalui proses yang berbeda-beda, namun sangat menentukan kualitas
produk. Pengoalahan sirip hiu dan teripang yang dilakukan oleh nelayan Landu, Oelua
dan Pepela dilakukan secara tradisional sehingga mutu produk relatif rendah.
Pengolahan sirip hiu jauh lebih mudah dan mudah yaitu cukup melalui penggaraman
dan pengeringan yang dilakukan selama pelayaran dan tambahan beberapa hari di
darat, total diutuhkan rata-rata 20 hari. Sedangkan pengolahan teripang jauh lebih
kompleks, lebih mahal dan lebih lama mulai dari pembuangan isi perut, perebusan,
penirisan, pengasapan dan pengiringan yang membutuhkan rata-rata...hari.
Pengeringan adalah proses pengolahan akhir yang paling lama, bahkan hingga
dilakukan transaksi pembelian. Selain untuk mengurangi kandungan kadar air,
pengeringan dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya kelembaban selama
penyimpanan yang dapat merusak kualitas produk.

Oleh karena itu, pedagang pengumpul atau eksportir umumnya melakukan


pengolahan ulang untuk perbaikan mutu. Umumnya teripang diolah menjadi bentuk
olahan kering atau dikenal dengan nama beche-de-mer. Selain itu, dikenal juga produk
olahan lain seperti konoko (gonad kering), otot kering, konowata (usus asin) dan
kerupuk. Teripang kering lebih disukai oleh konsumen di Singapura, Hongkong, dan
Malaysia, sedangkan konoko, konowata, dan otot kering lebih disukai oleh konsumen
di Jepang. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang ingin memanfaatkan produk
teripang, maka berkembang pula jenis pengolahan teripang tersebut dalam bentuk
makanan jadi seperti bakso teripang dan capcay teripang.

Dibandingkan dengan sirip hiu, teripang merupakan salah satu hasil laut yang
mempunyai sifat cepat busuk sehingga sebelum diolah diusahakan teripang tetap
hidup. Caranya, teripang diletakkan pada wadah uang berisi air but dan ditempatkan di
tempat yang teduh. Jumlah teripang yang dipanen harus disesuaikan dengan waktu
dan kapasitas alat pengolahan agar tidak mengalami kemunduran mutu.

Pembuangan isi perut dapat dilakukan dengan pisau. Caranya, perut teripang
diiris secara membujur. Diusahakan pisau terbuat dari bahan yang tidak mudah
Page | 43
berkarat, tajam, dan berujung runcing. Ini bertujuan agar tekstur hasil irisan
berpenampakan rapi. Selain dengan pisau, pengeluaran isi perut juga dapat dilakukan
dengan bambu. Caranya, bagian anus teripang ditusuk dengan bambu yang runcing.
Bambu itu lalu diputar sambil dilakukan sedikit peremasan pada tubuh teripang dan
ditarik keluar. Dengan cara demikian, isi perut teripang akan keluar. Cara seperti ini
tidak dianjurkan karena kemungkinan tidak seluruh isi perut dapat dikeluarkan. Selain
itu, juga menimbulkan penampakan yang kurang sempurna sehingga menurunkan
mutu teripang.

Perebusan dilakukan dengan alat rebus yang terbuat dari bahan antikarat,
mudah dibersihkan, dan tahan lama. Air yang digunakan adalah air tawar yang bersih
dan diberi garam dapur dengan konsentrasi kurang dari 15 %. Setelah air mendidih,
teripang yang telah dikeluarkan isi perutnya dan telah dicuci bersih dimasukkan ke
dalamnya. Perebusan dilakukan sampai semua teripang menjadi keras tekstumya
(kenyal), selama 20 - 30 menit. Perebusan ini selain berfungsi untuk mengeraskan
tekstur tubuh teripang juga berfungsi untuk mematikan dan mencegah timbulnya
mikroorganisme pembusuk serta menurunkan kadar air pada tahap awal. Umunya
kandungan air pada tubuh teripang relatif tinggi, antara 80 – 90 %, sehingga perlu
diturunkan secara bertahap.

Teripang yang telah direbus kemudian ditiriskan. Penirisan umumnya dilakukan


di atas para-para. Caranya, teripang disusun berjajar di atas para-para. Penirisan
dilakukan sampai tidak ada lagi air yang menetas. Setelah tidak ada air yang menetes
dari tempat penirisan, teripang siap untuk dijemur lebih lanjut. Namun pengolahan
teripang oleh nelayan Oelua tidak termasuk pengasapan selama mereka berada di
area MOU Box 1974 maupun dalam perjalanan pulang. Keterbatasan kayu bakar dan
kondisi perahu yang kecil dan terbuka dipandang kurang baik karena pemakaian asap
tidak efisien (banyak terbuang), suhu pengasapan sulit dikontrol, dan dapat terjadi
kontaminasi oleh kotoran. Pengasapan biasanya dilakukan oleh para pengepul di
Kupang dengan menggunakan drum pengasap, lemari pengasap, atau rumah
pengasap. Drum pengasap umumnya digunakan untuk pengasapan teripang yang
jumlahnya tidak terlalu banyak, skala kecil atau skala rumah tangga. Lemari pengasap
untuk jumlah teripang yang sedang, skala menengah. Rumah pengasap untuk jumlah
Page | 44
teripang yang banyak, skala besar. Bahan bakar untuk perebusan berupa kayu bakar
khusus yang dikenal dengan kayu kusambi yang memiliki kualitas pembakaran yang
bagus. Untuk memperoleh kayu kusambi, para nelayan harus membeli untuk
kebutuhan sekali pelayaran yaitu sebanyak 1 truk dengan harga sebesar Rp.500.000.

Teripang yang telah ditiris masih mempunyai kadar air yang cukup tinggi
sehingga perlu pengeringan sampai kadar air kurang dari 20 %. Pengeringan yang
mudah dan murah dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah matahari di atas
perahu yang terbuka sehingga tiupan angin ikut serta mempengaruhi proses
pengeringan. Proses pengeringan tak boleh terialu mendadak agar proses
pengeringan tidak menimbulkan terjadinya kerut-kerutan pada tubuh teripang.
Pengeringan dengan cara ini sangat dipengaruhi oleh ukuran teripang, kadar air
teripang, cuaca, suhu udara, kelembapan udara, dan kecepatan angin.

Pengeringan dapat pula dilakukan dengan alat pengering mekanis, tetapi harus
dipertimbangkan tentang harga, ketersediaan bahan bakar, listrik, serta efisiensinya.
Pengeringan dengan cara ini umumnya diterapkan oleh eksportir dalam upaya
pengolahan ulang untuk perbaikan mutu. Atau, dipergunakan pada kondisi yang
memaksa, misalnya musim penghujan, dan karena adanya keterbatasan lahan,
misalnya di kota-kota besar. Teripang kering olahan mengandung garam dan bersifat
higroskopis sehingga penyimpanan harus diusahakan pada suhu ruang yang tidak
terlalu tinggi dan kelembabannya rendah. Teripang kering ini harus diletakkan
langsung di atas para-para dan disusun rapi agar tidak menghambat sirkulasi udara.
Tempat penyimpanan yang baik harus terlindung dari sinar matahari, tidak terkena air
hujan, pertukaran udaranya cukup baik, dan hanya khusus untuk penyimpanan
teripang. Jika tidak memenuhi syarat ini, akan menyebabkan tumbuhnya jamur dan
mikroorganisme pembusuk serta meningkatnya kadar air.

Page | 45
Gambar 5.2.11.2 Pengolahan Sirip Hiu dan Tripang

5.2.12 Pemetaan Pembeli


Pembeli sirip ikan dan teripang umumnya berasal dari Kupang, Makasar dan
Surabaya. Dalam beberapa kesempatan para pembeli dari Korea dan Taiwan
langsung mendatangi para nelayan dengan dibantu oleh pengepul lokal. Namun oleh
karena pemodal biaya pelayaran ke Pulau Pasir pada umumnya adalah juga pengepul
lokal, maka para pembeli dari luar Rote tidak memiliki pilihan lain selain bekerjasama
dengan pengepul lokal. Keterbatasan pilihan juga dihadapi oleh pemilik perahu yang
membiaya pelayaran dan pengumpulan hasil ke MOU Box 1974. Beberapa pemilik
perahu di Oelua berupaya untuk mencari dan membuka pemasaran alternatif dengan
jalan membangun network baru dengan pembeli lain di Makasar dan Surabaya.
Namun kenyataan yang dijumpai tidak memihak mereka, bahkan produk yang mereka
tawarkan dihargai lebih rendah dari pada yang telah mereka kenali sebelumnya.
Kuatnya jaringan rantai pasok produk perikanan antara pengumpul, pembeli
pada tingkat menengah dan pembeli pada tingkat lokal mencerminkan jangka waktu
hubungan yang terbangun dan kepastian manfaat yang diperoleh masing-masing
pihak. Semakin lama hubungan kerjasama terbangun dan semakin adil pembagian
keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak khususnya pedagang pemasok pada

Page | 46
tingkatan yang lebih dekat kepada produsen, maka semakin kecil peluang
pembentukan rantai pasok baru dengan melibatkan pihak-pihak ini.
Dalam kondisi di atas, maka informasi pasar sangat tertutup, terbatas, tidak
berubah dan bahkan dapat menyesatkan. Kenyataan ini yang terjadi di Pepela,
beberapa pemilik perahu mengakui bahwa harga jual yang mereka terima pada tahun
2012 sama dengan harga jual pada tahun 2011. Fakta ini sangat mempengaruhi
keberlanjutan produksi dan produktifitas. Produsen tidak memiliki pengetahuan yang
cukup dan terkini untuk memperkirakan dinamika perkembangan permintaan pasar
sehingga peluang investasi baru untuk peningkatan produksi tidak dapat
dimanfaatkan. Keputusan yang diambil oleh para produsen lebih didasarkan pada
pengalaman masa lalu dari pada pengetahuan akan masa yang akan datang.
Sehingga apa yang telah terjadi ini telah memenuhi kriteria “gagal pasar” yang ditandai
dengan kuatnya pengaruh pembeli dalam penentuan harga: sirip hiu dan teripang
dijual segera kepada pemodal setelah para nelayan tiba kembali di Rote, berapapun
harganya, nelayan tidak punya pilihan untuk menunggu hingga harga naik.

5.2.13 Pemetaan Pembagian Hasil


Sistim distribusi pendapatan yang diperoleh dari penjualan sirip hiu dan/atau
teripang didasarkan pada sistim share, bukan gaji yang pasti. Pendapatan
dialokasikan untuk mengganti modal, penyusutan perahu, tenaga kerja, dan
perlengkapan penangkapan ikan. Ada tiga pihak yang mendapat pembagian hasil
penjualan: pemilik modal, pemilik perahu, dan juragan dan anak buah perahu. Sistim
ini dan sistim pembiayaan bersama membantu membagi resiko
pelayaran/penangkapan ikan di antara pihak-pihak yang terlibat khususnya di saat-
saat sulit baik itu hasil penangkapan menurun maupun permasalahan lainnya
(Acheson 1981:278). Menurut Acheson (1981:278), sistim share “meningkatkan
motivasi anak buah perahu dan juragan perahu secara efektif dengan menempatkan
mereka sebagai partner dalam usaha dan mengurangi resiko bagi pemilik perahu
untuk membayar tanpa ada jaminan hasil. Dengan sistim ini pemilik perahu tidak harus
membayar gaji anak buah perahu dan juragan dengan jumlah yang pasti, semua
tergantung pada hasil tangkapan.
Sistim pembagian hasil baik di Landu, Oelua maupun Pepela pada dasarnya
sama, tidak ada perbedaan di ketiga lokasi ini walaupun ada perbedaan hasil
Page | 47
tangkapan. Hal ini demikian oleh karena para anak buah perahu dan juragan
khususnya di Landu dan Pepela telah menjalin kerjasama semenjak dua dekade
terakhir. Pada awalnya anak buah perahu dari Landu pergi ke MOU Box 1974 dengan
bekerja pada juragan perahu di Papela, kemudian anak buah dari Pepela
diperkerjakan oleh pemilik perahu di Landu sebagai juragan sebelum akhirnya para
anak buah perahu asal Landu mampu mengambilalih peran juragan dari para nelayan
Pepela. Interaksi serupa juga ikut mempengaruhi nelayan Oelua yang harus menjalin
hubungan erat dengan nelayan Pepela dan Landu. Dalam perjalanan pergi dan pulang
dari pulau pasir, biasanya nelayan Oelua mampir beberapa hari di Pepela untuk
mengambil posisi yang cocok sesuai dengan arah angin untuk dapat berlayar.
Interaksi lainya adalah antara pemilik modal dari Pepela dan pemilik perahu di Oelua
dalam membiaya perjalanan ke MOU Box 1974.
Namun demikian rerata biaya yang harus ditanggung dan hasil pembagian yang
di peroleh oleh masing-masing pihak beragam antar ke tiga lokasi ini. Dengan waktu
tempuh yang jauh lebih lama hingga 2 bulan, nelayan Oelua membutuhkan biaya
untuk makanan, minuman, rokok dan kebutuhan lainnya jauh lebih banyak dari pada
nelayan Pepela dan Landu. Untuk satu kali perjalanan, biaya yang dikeluarkan dapat
mencapai Rp.6.000.000 hingga Rp.8.000.000. Sedangkan biaya yang dikeluarkan
nelayan Pepela dan Landu berkisar antara Rp.4.000.000 hingga Rp.5.000.000.
Persamaan ini disebabkan oleh karena perbedaan perahu yang digunakan oleh kedua
komunitas nelayan ini. Nelayan Pepela memilih untuk menggunakan perahu layar
sehingga tidak dibutuhkan banyak biaya, namun sebaliknya nelayan Landu selalu
memakai perahu motor sehingga dibutuhkan biaya yang banyak untuk membeli bahan
bakar minyak. Perbedaan lainnya adalah pada tambahan biaya untuk membeli alat
tangkap hiu pada nelayan Pepela dan Landu. Rerata biaya yang harus ditanggung
bersama antara pemilik perahu, juragan dan anak buah perahu dapat mencapai
Rp.100.000 per orang jika kerusakan alat tangkap mencapai 10%, namun bila kurang
dari persentase ini maka kerusakan alat tangkap menjadi tanggungjawab pemilik
perahu.
Ada beberapa kasus dimana nilai jual hasil tangkapan dapat mencapai bahkan
melebihi Rp.100 juta. Pada tahun 2011, misalnya salah satu perahu nelayan
pengumpul teripang berhasil memperoleh hasil tangkapan dengan nilai jual mencapai
Rp.153 juta yang selanjutnya setelah dikurangi biaya input, total pendapatan yang
Page | 48
diperoleh seorang anak buah perahu mencapai Rp.7 juta untuk sekali pelayaran
selama dua bulan. Namun pada umumnya pendapatan yang diperoleh seorang anak
buah perahu untuk jangka waktu pelayaran pengumpulan teripang hanyalah sebanyak
Rp.1,25 juta hingga Rp.1,5 juta; sedangkan rerata pendapatan yang diperoleh anak
buah perahu asal Pepela untuk jangka waktu pelayaran 3-4 minggu berkisar antara
Rp.1 juta hingga Rp.1,5 juta. Kasus Pepela adalah mirip dengan juga kondisi yang
berlaku atau terjadi dengan nelayan asal Landu. Rerata pendapatan yang diperoleh
per anak buah perahu untuk satu kali perjalanan selama 6 hari berkisar antara Rp.1
juta hingga Rp.1,2 juta.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa rerata jumlah pembagian penjualan hasil
tangkapan yang diperoleh anak buah perahu dibandingkan dengan jumlah waktu
penangkapan lebih mgnuntungkan bagi nelayan Landu dibandingkan dengan dua
komunitas nelayan lainnya. Sekilas halnya benar adanya, namun ternyata
sustainabilitas pendapatan ini sangat rendah oleh karena perahu yang dipakai untuk
berlayar ke pulau pasir adalah perahu bermotor sehingga pada akhirnya pendapatan
yang diperoleh tidak berumur panjang, hampir semua perahu Landu ditahan dan
dibakar yang kemudian menimbulkan efek jerah sehingga penangkapan sirip hiu oleh
nelayan landu hanya berlangsung selama tiga tahun, yaitu dari tahun 2005 hingga
tahun 2007.

5.2.14 Analisis Akses


5.2.14.1 Area Penangkapan
Pelayaran mencari sirip hiu dan teripang oleh nelayan Indonesia ke wilayah
Australia diperkirakan dimulai jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya yaitu
antara tahun 1908 hingga 1924 (Stacey 1999). Namun serangkaian ekspansi maritim
oleh pemerintah Australia sejak tahun 1960-an telah berakibat pada peningkatan
kehilangan areal perikanan bagi nelayan Indonesia. Ekspandi Zona Perikanan
Australia (ZPA) dari 3 menjadi 12 mil laut pada tahun 1968 berdampak pada
kehilangan areal penangkapan dari daratan Australia sejauh 12 mil laut. Dengan MOU
Box 1974, penangkapan ikan hanya diperbolehkan dalam areal 12 mil laut di antara
beberapa pulau kecil dan karang yang diklaim sebagai milik Australia di Laut Timor.
Pada tahun 1979 dengan adanya ekspansi ZPA menjadi 200 ml, semakin kehilangan
akses terhadap areal perikanan membentang sepanjang perairan dangkal kontinen.
Page | 49
Selanjutnya larangan penangkapan ikan di Pulau Pasir (Ashmore Reef) pada tahun
1988 dan amendemen MOU Box pada tahun 1989 dengan memperkenalkan istilah
“perikanan tradisional” berakibat pada semakin berkuranya areal penangkapan ikan
(Gambar 5.2.14). Dampak dari dari ekspansi dan amendemen ini ditambah dengan
berbagai perkembangan sosial ekonomi adalah perubahan metode penangkapan dan
perubahan model pelayaran sejak tahun 1980-an (Stacey 1999).
Saat ini aktifitas penangkapan ikan di areal ini fokus pada penangkapan hiu dan
teripang, menangkap dengan menggunakan longlines dengan perahu kayu layar.
Namun karena berbagai permasalahan, sudah banyak nelayan yang ditangkap oleh
pemerintah Australia dengan alasan mereka menangkap di luar areal yang diijinkan.
Kebanyakan nelayan yang ditangkap terbukti bersalah dan dihukum dengan cara
menyita perahu, hasil tangkap dan alat tangkap. Para nelayan dikirim kembali ke
Indonesia sedangkan perahu mereka dibakar. Kebijakan dramatis ini dan seperti
Stacey (1999) telah memperlihatkan bahwa umumnya kebijakan ini tidak memiliki efek
jerah dan gagal mencegah aktifitas perikanan ilegal di ZPA.
Upaya resmi pemerintah Australia mengatur aktifitas nelayan Indonesia di
sebelah utara Australia mulai dilakukan sejak tahun 1968 ketika pemerintah
memutuskan untuk mengijinkan nelayan tradisional menangkap ikan di dalam area 12
ml yang berdekatan dengan Pulau Pasir (Ashmore Islands) dan Pulau Cartier, Karang
Seringapatam, Karang Scott, Pulau Browse, dan Pulau Adele, sepanjang kegiatan
mereka dibatasi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, atau
dengan kata lain tidak untuk diperdagangkan (Stacey 1999). Keputusan mengijinkan
perikanan “subsisten” untuk terus menangkap ikan dipengaruhi oleh pandangan
pejabat perikanan Indonesia tentang aktifitas perikanan subsiten nelayan Indonesia di
perairan sebelah utara Australia yang telah berlangsung jauh sebelum periode 1970-
an (Campbell & Wilson 1993; Stacey 1999).
Hal ini ditindak lanjuti dengan penandatanganan MOU 1974 yang mengijinkan
beberapa aktifitas perikanan nelayan Indonesia untuk terus dapat menangkap ikan di
areal yang telah didesign khusus dengan memperhatikan beberapa aturan. Di dalam
MOU 1974, tidak ada indikasi langsung yang dibuat tentang mode produksi,
sebaliknya yang diatur adalah “nelayan tradisional Indonesia” yang didifiniskan
sebagai “nelayan yang secara tradisonal mengambil ikan dan produk sedentari lainnya

Page | 50
di perairan Australian dengan metode tradisional yang telah dipraktekan untuk jangka
waktu yang lama” (1974 MOU).
Selanjutnya dengan amendemen MOU 1974 pada tahun 1989, definisi asli yang
memberi akses kepada nelayan di perairan Australian disyaratkan lebih lanjut untuk
memenuhi ijin jenis perahu dan teknologi. Dengan amendemen 1989, akses ke area
MOU Box 1974 dibatasi kepada: nelayan tradisional Indonesia menggunakan metode
tradisional dan perahu tradisional yang konsisten dengan tradisi untuk jangka waktu
yang lama, yang tidak termasuk metode penangkapan ikan dan perahu yang
menggunakan motor atau mesin (Practical Guidelines for Implementing the 1974,
dikutip oleh Stacey 1999).
Perikanan tradisional didefinisikan melalui metode dan perahu yang telah
digunakan secara tradisional yaitu “untuk jangka waktu yang lama”, minimum periode
adalah dua dekade, yang tidak boleh termasuk metode dan perahu yang modern
(Stacey 1999). Referensi kepada nelayan Indonesia yang telah secara historis
mengambil ikan di ZPA tidak dimasukan, tetapi sesungguhnya mengandung makna
bahwa nelayan yang dimaksud adalah yang telah mengambil ikan untuk “beberapa
dekade”. Tidak jelas apakah “beberapa dekade” berlaku untuk dua dekade sebelum
1974 ketika MOU ditandatangani atau dua dekade termasuk penandatanganan
amendemen 1989. Implisit di dalam MOU, adalah ide bahwa masyarakat yang statis
dan tidak berubah dalam beberapa dekade. Berdasarkan pengaturan ini, maka hak
akses tradisional ditentukan melalui penggunaan “tradisi” yaitu teknologi yang tidak
berubah (Stacey 1999; Fox 1998).

Page | 51
Gambar 5.2.14 Peta Area MoU Box 1974

5.2.14.2 Kondisi Pekerjaan


Kondisi pekerjaan sangat memprihatinkan dan beresiko bahaya. Tidak hanya
resiko pendapatan yang tidak pasti, tetapi juga resiko terperangkap dalam hutang,
resiko terisolasi dari dari keluarga dan dunia luar untuk waktu yang lama, resiko
keselamatan akibat badai dan cuaca yang dapat menenggelamkan perahu dan
terutama resiko tertangkap dan dipenjara oleh pemerintah Australia tanpa pembelaan
hukum yang sepatutnya.
Pendapatan kotor yang diperoleh oleh hampir semua juragan maupun anak
buah perahu selama mereka terlibat dalam penangkapan sirip hiu dan teripang sangat
tidak sebanding dengan berbagai resiko di atas. Rerata pendapatan kotor seorang
anak buah perahu asal Rote yang diperoleh untuk waktu pelayaran dan penangkapan
teripang selama dua bulan sebesar Rp.3.000.000 sampai dengan Rp.5.000.000,
jumlah ini bila dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan selama pelayaran yang dapat
mencapai Rp.750.000 sampai dengan Rp.1.000.000 per bulan maka pendapatan
bersih yang diterima hampir sebanding dengan jumlah Upah Minimal Provinsi (UMP)
Nusa Tenggara Timur tahun 2012 sebesar Rp.950.000/bulan. Kecilnya pendapatan
para anak buah perahu ini yang memaksa mereka terlibat dalam lingkaran hutang
pada pemiliki modal yang menyebabkan mereka tidak memiliki pilihan baik dalam hal
negosiasi pembagian beban dan hasil, maupun dalam mecari peluang pekerjaan lain
Page | 52
yang lebih baik. Pendapatan juragan maupun anak buah perahu sedikit lebih besar,
dapat mencapai 50% lebih besar dari pendapatan juragan dan anak buah perahu asal
Rote jika pemilik perahu memperkerjakan juragan dan anak buah perahu asal Alor
yang dikenal memiliki kemampuan menyelam yang lebih baik.
Resiko yang paling ditakutkan adalah resiko pelanggaran batas keluar dari
MOU Box 1974 tanpa disadari sendiri oleh nelayan. Lebih dari setengah juragan dan
anak buah perahu mengeluhkan ketidakpastian batas sebagai resiko yang pernah
mereka alami dan dapat terjadi setiap saat. Beberapa pemilik perahu, demikian juga
pemerintah daerah Rote Ndao telah berupaya untuk memberi bantuan alat GPS untuk
membantu para nelayan mengidentifikasi batas dan area fisik MOU Box 1974, namun
dalam praktek error secara teknis sering dikeluhkan oleh para nelayan. Pelanggaran
batas secara sengaja terjadi akibat kuatnya arus dan angin yang menyebabkan
perahu para nelayan terbawa hingga keluar dari MOU Box 1974 dan memasuki sona
perikanan Australia. Dampak badai yang paling ditakutkan adalah rusak dan
tenggelamnya perahu yang ditumpangi. Pada saat tim peneliti mengunjungi
perkampungan nelayan Pepela, diperoleh informasi bahwa sejak Maret 2012, dua
perahu dengan jumlah awak sebanyak 16 orang yang berlayar ke MOU Box 1974
belum kembali dan tidak ada informasi tentang keberadaan mereka hingga saat
penulis melakukan kunjungan yang kedua pada bulan Juni 2012.
Ketiadaan informasi tentang keberadaan nelayan adalah hal lazim dialami oleh
keluarga para nelayan. Letak lokasi MOU Box 1974 yang jauh dan terisolasi tidak
memungkinkan bagi para nelayan untuk membangun komunikasi dengan keluarga
yang ditinggalkan setiap saat. Ketiadaan komunikasi dengan keluarga merupakan
salah satu masalah yang menghambat beberapa nelayan khususnya nelayan yang
masuk kategori generasi muda yang telah terbiasa menggunakan alat komunikasi
khususnya telpon genggam. Namun hal yang paling utama adalah ketiadaan informasi
yang disediakan oleh pemerintah Australia kepada keluarga dan/atau pemerintah
segera pasca penahanan nelayan yang diduga telah melanggar batas teritorial
Australia. Kurangnya kepedulian pemerintah Australia juga terjadi selama para
nelayan menjalani proses hukum, dimana bantuan hukum yang diperoleh para
nelayan umumnya berasal dari individu warga Australia yang terpanggil untuk
meringankan beban para nelayan, tidak ada bantuan hukum yang disediakan oleh
pemerintah Australia (Stacey 1999).
Page | 53
5.2.14.3 Keberlanjutan Produksi
Masa depan produksi sirip hiu dan teripang dari ketiga lokasi yang menjadi
sampel penelitian berbeda-beda, selain karena perbedaan produk perikanan yang
dikumpulkan, juga karena perbedaan berbagai aspek lain seperti demografi, sosial,
ekonomi dan budaya komunitas nelayan. Berbagai data statistik yang diperlihatkan
oleh para peneliti maupun otoritas pemerintah Australia memperlihatkan penurunan
potensi perikanan yang cukup besar di MOU Box 1974 (Wiadnyana 2010). Hal ini
terlihat dari jumlah tangkapan yang semakin menurun di satu sisi dan jumlah waktu
yang dibutuhkan untuk menangkap yang cenderung lebih lama bila dibandingkan
dengan kondisi sepupul tahun yang lalu.
Secara statistik keberlanjutan produksi perikanan di ketiga lokasi dapat dilihat
dari jumlah nelayan dan perahu yang cenderung memperlihatkan penurunan. Di Landu
dimana pelayaran ke MOU Box 1974 difokuskan pada pengumpulan sirip hiu hanya
berlangsung selama tahun 2005 hingga tahun 2007. Kegiatan pengumpulan sirip hiu
dihentikan setelah perubahan kebijakan di MOU Box 1974 yang berakibat pada
penahanan dan pembakaran perahu-perahu dari Landu yang menggunakan mesin
untuk menggerakan perahu. Hingga tahun 2012, jumlah perahu yang dianggap masih
layak untuk melakukan pelayaran ke MOU Box 1974 sebanyak 4 (empat) unit. Jumlah
ini jauh lebih sedikit dari jumlah perahu yang dimiliki oleh nelayan Landu pada tahun
2007 yaitu sebanyak 23 unit dimana 18 unit yang ditahan/dibakar. Dari dua pemodal
sekaligus pengepul hasil di Landu juga diketahui bahwa jumlah tangkapan nelayan
berupa teripang telah menurun jauh bila dibandingkan dengan jumlah teripang yang
dapat dikumpulkan pada sepuluh tahun lalu. Pada tahun 2002 jumlah teripang kering
yang dapat dikirim ke Kupang mencapai 1 ton/bulan, maka kondisi terkini pada tahun
2012 hanya sebanyak 50-100 kg per bulan. Dampak penurunan produksi ikan dapat
pula dilihat dari jumlah migrasi penduduk Landu ke daerah lain yang semakin
meningkat. Dari jumlah penduduk sebanyak 771 jiwa pada tahun 2012, sesungguhnya
sebanyak 177 jiwa telah keluar mencari kerja di daerah lain sejak tahun 2007.
Menariknya lebih dari 100 penduduk yang keluar ini masih bekerja pada sektor
perikanan dan kelautan.
Kondisi serupa dapat juga dijumpai di Oelua dimana telah terjadi penurunan
jumlah produksi yang telah membawa dampak perubahan livelihood pada berbagai
aspek dan berbagai pihak. Berdasarkan data yang terhimpun, terlihat adanya
Page | 54
penurunan jumlah tangkapan yang sangat signifikan yang disebabkan oleh beberapa
hal seperti perubahan kebijakan di MOU Box 1974, penangkapan yang berlebihan,
perubahan orientasi livelihood penduduk dan peluang lapangan kerja baru yang
ditawarkan oleh sektor lain. Pada dekade 2000-an terdapat 39 perahu layar yang
diadakan dengan tujuan khusus untuk berlayar ke MOU Box 1974, namun hingga
tahun 2012 jumlah perahu yang masih aktif menurun menjadi 12 unit, sedangkan 6
unit telah berubah fungsi mengangkut bahan bakar minyak dari Kupang ke Sabu dan
Rote dan 21 unit lainnya dalam dibiarkan nggangur di pantai, baik karena dalam
kondisi rusak maupun karena ketiadaan juragan dan anak buah perahu untuk berlayar
ke MOU Box 1974. Menurunnya minat generasi muda di Oelua terhadap kegiatan
pengumpulan teripang di MOU Box 1974 membuat ketergantungan yang tinggi
terhadap tenaga kerja dari daerah lain khususnya dari Alor, namun karena jarak Rote
dan Alor yang jauh, peluang untuk mendapatkan tenaga kerja Alor cukup sulit dan
mahal. Dari total 24 juragan dan anak buah perahu yang telah bergabung dengan 3
(tiga) perahu yang akan berlayar ke MOU Box 1974, sekitar 16 orang berasal dari Alor,
sisanya adalah tenaga kerja yang berasal dari Oelua. Dampaknya terlihat dari
produksi teripang yang semakin menurun dari sekitar 33,3 ton pada tahun 2004
menjadi 5, 2 ton pada tahun 2011.

35
30
25
20
15
10
5
0
2004 2011

Grafik 5.2.14. Perkembangan Produksi Teripang (Ton)

Nelayan di Pepela menghadapi kemungkinan yang sedikit berbeda dari kondisi


nelayan di Landu dan Oelua. Penurunan partisipasi nelayan dari Landu dan Oelua
memberi keuntungan kompetisi, baik dalam hal penangkapan maupun dalam hal
penjualan. Terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh nelayan
sehubungan dengan kebijakan pemerintah Australia yang keras dan tegas,
Page | 55
kemunduran partisipasi tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat. Besarnya
jumlah perahu layar yang mencapai 43 unit dan bodi yang mencapai 56 unit dan
juragan dan anak buah perahu yang mencapai 999 orang disertai dengan kuatnya
hubungan patron-client antara pemodal dan nelayan merupakan beberapa variabel
yang memberi pengaruh kuat. Dalam kunjungan pertama pada bulan April 2012,
sebagai contoh, seorang juragan yang diwawancara menggunakan bodi yang
digerakan oleh mesin sehingga bodinya di bakar dan ia menjalani hukuman penjara
hingga Februari 2012. Namun dalam kunjungan kedua pada bulan Juni 2012, nelayan
tersebut kembali berlayar ke area MoU Box 1974 dengan menggunakan perahu layar
lainnya. Hukuman penjara dan pembakaran perahu terbukti tidak efektif (Fox 1998).
Keberlanjutan partisipasi ini juga didorong oleh semakin berkurangnya sumberdaya
kelautan dan perikanan di perairan Rote, termasuk di dalamnya adalah berkurangnya
area untuk usaha budidaya rumput, walaupun dalam prakteknya budidaya rumput laut
yang merupakan alternatif mata pencarian (livelihoods) lebih banyak dilaksanakan
oleh perempuan dan anak-anak.
Faktor pendorong perubahan livelihood lainnya adalah kecenderungan
peningkatan tawaran yang cukup menjanjikan bagi anak buah perahu untuk
menyelundupkan transmigran ke Australia melalui perairan Indonesia, khususnya
Rote. Kenyataan bahwa anak buah perahu telah memiliki pengetahuan dan
ketrampilan untuk melakukan pelayaran ke Australia melalui area MOU Bx 1974 hanya
dengan mengandalkan perahu layar dan kompas, telah dimanfaatkan oleh jaringan
penyelundup manusia dengan memberi upah yang jauh lebih besar dari pada
keuntungan yang diperoleh dengan menjadi anak buah perahu penangkap sirip hiu
dan teripang. Tawaran ini telah ditanggapi khususnya oleh anak buah perahu yang
masuk kategori muda bahkan anak-anak. Antara tahun 2009 dan 2011 jumlah anak
dibawah umur yang telah tertangkap dengan tuduhan menyelundupkan imigran
mencapai 34 orang yang semuanya berumur kurang dari 18 tahun. Pilihan usia ini
terkait erat dengan hukum pemerintah federal Australia yang tidak melihat anak di
bawah umur tertentu sebagai subjek hukum yang pantas dan layak untuk dituntut atas
kesalahan yang telah diperbuat.

Page | 56
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rantai pasok, negosiasi biaya
dan pembagian keuntungan antara pemodal/pemilik perahu/kapal, juragan dan
anak buah perahu seperti ketersediaan tenaga kerja, tingkat kemampuan dan
ketrampilan fisik juragan dan anak buah perahu, sistim penyediaan (kuantitas
dan kualitas) inputs, jenis hubungan antara pemodal/pemilik perahu dengan
juragan dan anak buah perahu, transparansi dan pengelolaan pasca panen,
kondisi klimatologis saat berlayar, dan kondisi (kualitas dan kuantitas) inputs
pasca panen. Dapat dikatakan bahwa dalam negosiasi pembagian beban dan
keuntungan pada ketiga desa sangat bervariasi, namun peran pemodal dan
pemilik perahu sangat dominan. Hal ini disebabkan terutama oleh adanya
ketergantungan juragan dan anak buah perahu terhadap pemodal/pemilik
perahu berupa “hutang abadi” yang telah terjadi berulang-ulang dan untuk
jangka waktu yang lama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menciptakan hubungan patron-client baik di dalam pekerjaan produksi ikan/non-
ikan maupun dalam kehidupan sosial masyarakat secara umum. Kondisi ini
menyebabkan banyak nelayan yang terperangkap dalam rantai pekerjaan dan
rantai kemiskinan, dimana pekerjaan menangkap sirip hiu dan teripang menjadi
satu-satunya andalan mereka, peluang keluar tidak ada karena pemodal/pemilik
perahu harus memenuhi kebutuhan sirip hiu dan teripang yang telah disepakati
dengan pedagang lain pada rantai pasok yang lebih tinggi. Sehingga terlepas
dari kondisi pekerjaan yang buruk, tradisi nelayan yang telah mereka warisi, dan
pembagian keuntungan yang kurang berpihak, perubahan kebijakan atas MOU
Box 1974 tidak akan berdampak kuat terhadap kegiatan penangkapan sirip hiu
dan teripang oleh nelayan Rote.

6.1.2 Implementasi manajemen rantai pasok perikanan dalam meningkatkan


pendapatan nelayan di Kabupaten Rote Ndao tidak berjalan sebagaimana
mestinya, dikarenakan para nelayan tidak bisa secara bebas menjual hasil
tangkapannya dan informasi harga sangat asimetris, hanya pemilik modal yang
mengetahui dan menentukannya, sehingga ketergantungan ini membuat para
Page | 57
nelayan tetap memperoleh keuntungan tidak sebanding dengan apa yang
diperoleh dari pemilik modal yang memperoleh keuntungan yang jauh lebih
besar dari hasil penjualan ikan tersebut. Sehingga seperti klasifikasi yang dibuat
oleh Champion dan Fearne (2001) pada tabel 2.1. di atas pengelolaan produksi-
pengolahan-pemasaran sirip hiu dan teripang masuk kategori pendekatan
konvensional dan bukan termasuk dalam ketegori pendekatan rantai pasok.

6.1.3 Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao dalam memecahkan


permasalahan yang berhubungan dengan rantai pasok sirip hiu dan teripang
khususnya penangkapan di Area MOU Box 1974 belum efektif. Berbagai
langkah telah ditempuh untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, dan daya
tawar nelayan tradisional Rote, terutama dengan memberi bantuan GPS,
pembentukan kelembagaan nelayan, dalam meningkatkan kepastian hukum
selama pelayaran, namun respon pemerintah Australia belum serius. Hal ini
terbukti dari banyak nelayan yang ditangkap oleh pemerintah Australia dengan
alasan menangkap di luar area yang diijinkan dan melanggar kesepakatan
bersama yang mengatur tentang syarat jenis alat berlayar dan alat menangkap.
Para nelayan yang ditangkap terbukti bersalah dan dihukum dengan cara
menyita dan membakar perahu, hasil tangkap dan alat tangkap. Para nelayan di
kembalikan ke Indonesia setelah menjalani hukuman di Australia, namun tanpa
mendapat bantuan hukum yang patut. Beberapa nelayan yang telah kembali
mengakui bahwa mereka tidak memasuki wilayah perairan Australia tetapi
mereka dikondisikan supaya masuk wilayah Australia sehingga mereka
dinyatakan melanggar batas dan dihukum.

Page | 58
6.2 Saran

6.2.1 Nelayan di Kabupaten Rote Ndao yang secara turun-temurun dari nenek
moyang, telah menjadikan Area MOU Box 1974 sebagai sumber teripang, sirip
hiu dan sumber kehidupan. Namun kata turun-temurun telah disalahartikan
sebagai tradisional dalam MOU 1974, bukan tradisi sebagaimana mestinya. Hal
inilah yang berdampak pada penangkapan, pembakaran perahu dan hukuman
yang dijalani nelayan Rote. Pemerintah Indonesia dan Australia patut
membentuk Dewan Pengelola Perbatasan Indonesia-Australia dengan
keanggotaan yang partisipatif, agenda dan target waktu yang jelas untuk
melakukan pembaharuan terhadap MOU 1974 yang sudah tertinggal oleh
perkembangan teknologi;

6.2.2 Pemerintah daerah dan pemerintah pusat patut memperkuat institusi yang
dapat mendukung nelayan dalam mengelola rantai pasok sirip hiu dan teripang
sehingga kepastian usaha dan keuntungan antara berbagai pihak yang terlibat
dalam rantai pasok dapat meningkatkan pendapatan dan kesejateraan nelayan
kecil yang masih hidup dalam kemiskinan.

Page | 59
DAFTAR PUSTAKA

Balint, R. 2005. Troubled waters: Borders, boundaries and possession in the Timor
Sea. Allen & Unwin, New South Wales, Australia.

Brown, W.J, 2003. Agribusiness Cases in Supply Chain Management. Paper. IFMA
Congress.

Carnegie, M, 2008. Development prospects in Eastern Indonesia: Learning from


Oelua’s diverse economy. Asia Pacific Viewpoint, Vol. 4.

Campbell, B. & Wilson, Bu V. E. 1993. The Politics of Exclusion: Indonesian Fishing in


theAustralian Fishing Zone. Indian Ocean Centre for Peace Studies and the Australian
Centre for International Agricultural Research, Perth.9, No. 3, December 2008

Champion, S.C. dan A.P.Fearne. 2001. Supply Chain Management: A First Principles
Consideration of Its Application to Wool Marketing. Jurnal Wool Technology of Sheep
Breeding Vol. 49 (3). Hal. 222-236.

Fox.J.J. 2002. In a Single Generation: A Lament for the Forests and Seas of
Indonesia. Paper prepared for EDEN II Workshop “Sustainability and Depletion in
Island Southeast Asia: Forests and Fisheries, Past and Present.” Leiden, 20-22 June
2002

Fox, J.J. and Sen.S. 1999. A study of socio-economic issues facing traditional
Indonesian fishers who access the MOU Box. A Report for Environment Australia.

Fox, J.J.1998. Reefs and shoals in Australia-Indonesia relations: traditional Indonesian


fishermen. In A. Milner & M. Quilty (eds) Australia in Asia: Episodes. Oxford University
Press, Melbourne, pp. 111–139.

Fox,J.J 1977. Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia, Harvard
University Press, Cambridge and London.

Gereffi, G., J. Humphrey, et al. 2003. The Governance of Global Value Chains: An
Analytical Framework.

Long, D, 2006. Logistics and Supply Chain Management. Global Supply Chains
Conference. Ottawa, February 15-16, 2006

Prasad S Tata J Madam M, 2009. Build To Order Supply Chain in Developed and
developing countries. Journal or Operation Management.

Ridwan. 2009. Metoda dan Teknik Penyusunan Proposal Penelitian, Penerbit Alfabet,
Bandung

Russell, B. & Vail, L. 1988. Report on Traditional Indonesian Fishing Activity at


Ashmore Reef Nature Reserve. Australian National Parks and Wildlife Service, Darwin,
Unpublished.
Page | 60
Stacey, N. Karam, J. Dwyer, D. Speed, C. Meekan, M. 2008. Assessing Traditional
Ecological Knowledge of Whale Sharks (Rhincodon typus) in eastern Indonesia: A pilot
study with fishing communities in Nusa Tenggara Timur. Final Report, School for
Environmental Research Charles Darwin University

Stacey, N. 2001. Crossing Borders: Implications of the Memorandum of Understanding


on Bajo fishing activity in northern Australian waters. A Draft paper presented at the
Symposium: “Understanding the Cultural and Natural Heritage Values and
Management Challenges of the Ashmore Region” 4-6 April 2001, Darwin.

Stacey, N.1999. Boats to burn: Bajo fishing activity in the Australian fishing zone

Suharsimi Arikunto. 2000. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Rineka


Cipta, Jakarta

Therik, W, 2008. Nelayan Dalam Bayang Juragan: Potret Kehidupan Nelayan


Tradisional Bajo di Tanjung Pasir, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Working Paper
Institute of Indonesia Tenggara Studies

Widayana N.N. 2010. Tinjauan tentang nelayan pelintas batas terkait MoU Box 1974.
Dokumen Presentasi. Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan
Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Page | 61

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai