Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk P
Analisis Manajemen Rantai Pasok Produk P
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/315834325
CITATIONS READS
0 687
5 authors, including:
Jermi Haning
Massey University
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Jermi Haning on 09 April 2017.
KEMENTERIAN/LEMBAGA:
Peneliti:
1.Petrus Sembiring, Tarya Adiwijaya dan Dimaz Rezamudra
2.Jermi Haning dan
3.Maria Bria
1.Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenetrian Pertahanan Republik Indonesia;
2.Peneliti pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Rote Ndao, NTT
3.Mahasiswi Pasca Sarjana pada Facuty of Environmental Science pada University of Western Australia
INTISARI
Manajemen rantai pasok secara teoritik dilihat sebagai pendekatan filosofis untuk
menciptakan manajemen dengan fokus pada permintaan dan pasokan. Pengelolaan
rantai pasok mendorong aliran produk dan informasi/pengetahuan yang menjembatani
terciptanya hubungan ketergantungan antara para pelaku sepanjang rantai produksi,
distribusi, pengolahan, pemasaran hingga konsumsi.
Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Rote Ndao memiliki potensi kelautan dan
perikanan yang besar, dapat dlihat dari kontribusi sektor perikanan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Rote Ndao yang mencapai 13 %. Namun
demikian ternyata kualitas kehidupan para nelayan masih sangat memprihantinkan,
sebagian besar masuk dalam kategori penduduk miskin. Sebanyak 67,38% dari total
115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan subsistem, dengan pendapatan
kurang dari Rp.15.000 per hari.
Page | 2
DAFTAR ISI
Halaman
INTISARI ........................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4
1.1 Latar belakang.... ...................................................................... 4
1.2 Pokok permasalahan.................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Pengertian Manajemen Rantai Pasok........................................ 7
2.2 Kerangka analisis....................................................................... 9
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT 11
3.1 Tujuan ...................................................................................... 11
3.2 Manfaat .................................................................................... 11
BAB IV METODOLOGI ................................................................................... 12
4.1 Langkah penelitian... .................................................................. 12
4.2 Metode Penelitian....................................................................... 12
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 14
5.1 Pemetaan Potensi Perikanan..................................................... 14
5.2 Pemetaan rantai pasok............................................................... 18
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 57
24. Kesimpulan ................................................................................ 57
25. Saran ......................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
Page | 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Rote Ndao yang terletak di sebelah barat daya Pulau Timor
merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kekayaan maritim yang sangat besar
namun belum dikelola secara optimal. Dengan jumlah pulau sebanyak 102, total luas
daratan 1.280,10 km2, luas lautan mencapai 2.376 km2 dan panjang pantai mencapai
330 km, jumlah penduduk mencapai 120.861 jiwa (2011) dan sekitar 6.438 Kepala
Keluarga yang hidup dari usaha perikanan dan kelautan.
Data statistik memperlihatkan bahwa potensi perikanan mencapai 17.875
ton/tahun, dimana potensi perikanan tangkap mencapai 14.300 ton/tahun. Selain itu
para nelayan juga memiliki akses ke Australian Fishery Zone (AFZ) yang masuk dalam
wilayah MOU Box 1974 yang secara turun-temurun telah menjadi area favorit nelayan
Indonesia pergi mencari dan menangkap ikan. Area MOU Box 1974 ini kaya akan ikan
Hiu, Teripang dan Lola yang merupakan makanan favorit dan bergengsi kaum
bangsawan dan orang kaya di daratan China.
Namun demikian produksi perikanan per tahun baru mencapai 30 persen yang
terdiri dari ikan Demersal sebanyak 40 persen dan ikan Pelagis sebanyak 60 persen.
Sehingga kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kabupaten Rote Ndao cukup signifikan dan cenderung meningkat pada angka
sekitar 13 %. Sebagian besar kualitas kehidupan nelayan masih sangat
memprihantinkan, masuk dalam kategori penduduk miskin. Secara keseluruhan,
sebanyak 67,38% dari total 115.332 penduduknya hidup sebagai petani/nelayan
subsisten, dengan pendapatan kurang dari Rp.15.000 per hari. Efek domino yang
timbul adalah : busung lapar yang tercatat mencapai 10 anak setiap tahun, angka
kematian bayi mencapai 7,5 /1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar
421/100.000 kelahiran hidup.
Salah satu jawaban terhadap kondisi paradoksial ini dijumpai dalam penelitian
terhadap kehidupan ekonomi sosial yang dilakukan oleh Therik (2008) di Desa Papela
(Pusat nelayan di sebelah timur Rote) dan Carnegie (2008) di Desa Oelua (Pusat
nelayan di sebelah barat Rote) yang berargumentasi bahwa permasalahan kemiskinan
yang dihadapi oleh para nelayan di kedua kantong nelayan ini bukan hanya terletak
pada produksi/produktifitas perikanan yang rendah tetapi masih terdapat banyak
Page | 4
faktor lainnya seperti faktor hubungan patron-klien yang merugikan bahkan cenderung
eksploitatif yang mempengaruhi negosiasi biaya dan pembagian keuntungan di antara
pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok ikan. Sementara itu Fox & Sen (1999),
Stacey (1999; 2001) dan Balint (2005) cenderung menyalahkan pemerintah Australia
atas kebijakan pengelolaan perikanan di area MOU Box 1974 yang tidak hanya
membatasi pemanfaatan teknologi perikanan tetapi juga semakin memarginalkan
nelayan tradisional.
Menyadari permasalahan di atas, pemerintah daerah baik pemerintah Provinsi
NTT maupun pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah menempuh beberapa kebijakan
untuk meringankan beban usaha para nelayan. Dengan reformasi anggaran,
pemerintah provinsi memberi hibah anggaran sebesar Rp.250 juta per desa melalui
program Desa Mandiri Anggur Merah sedangkan pemerintah kabupaten
mengalokasikan anggaran sebesar Rp.65 juta per desa melalui program Lakamola
Anan Sio untuk membantu masyarakat desa melaksanakan usaha ekonomi produktif
di sektor pertanian dan perikanan. Lebih khusus pemerintah kabupaten Rote Ndao
telah mencoba membangun komunikasi dengan pemerintah Australia untuk
mencarikan solusi yang lebih tepat dalam memberdayakan nelayan kecil Rote guna
menghindari praktek penangkapan ikan khususnya sirip hiu dan teripang yang tidak
berkelanjutan di area MOU Box 1974. Namun demikian, dari studi awal yang telah
dilakukan, diketahui bahwa pendekatan yang diadopsi oleh pemerintah belum
dilaksanakan secara komprehensif dan masih menyisahkan isu lainnya seperti isu
kelembagaan yang memungkinkan para nelayan kecil memiliki hubungan yang saling
menguntungkan dengan berbagai pihak yang terlibat dalam rantai pasok kegiatan
perekonomian di sektor perikanan dan isu pasca panen lainnya yang juga ikut
mempengaruhi produksi dan produktifitas nelayan. Sehingga studi lanjutan ini melihat
manajemen rantai pasok sirip hiu dan teripang, dua produk perikanan yang
dikumpulkan dari AFZ khususnya area MOU Box 1974 yang telah dilakukan secara
turun-temurun oleh nenek moyang nelayan Rote. Studi ini tidak melihat menejem
rantai pasok perikanan secara menyeluruh, hal ini bukan disebabkan oleh
keterbatasan waktu dan dana tetapi lebih pada upaya untuk memahami permasalahan
nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao.
Page | 5
1. 2 Pokok Permasalahan
Page | 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Masalah besar yang sangat jelas terlihat adalah tidak adanya sinergi dan
keterpaduan dalam kerja di lapangan dalam rangka pembangunan pertanian yang
berkelanjutan dan peningkatan kesejateraan nelayan kecil. Sehingga dengan
Page | 7
pendekatan menyeluruh terhadap semua rantai (chain approach), diharapkan peta
permasalahan produksi perikanan dapat dipahami secara komprehensif dan
memungkinkan dilakukan intervensi yang lebih sistematis.
Sistim pendukung:
1. Kebijakan pemerintah
2. Lembaga keuangan
3. Pedagang internasional
Gambar di atas merupakan skema sederhana dari rantai (tata niaga) ikan yang
terdiri dari beberapa pelaku yang terbatas. Situasi ini tentu lebih kompleks, dimana
pelaku bisa lebih banyak dan lebih panjang. Setiap pelaku dalam rantai ini memiliki
peran dan pengaruh yang berbeda baik setiap rantai/pelaku maupun dalam
hubungannya dengan pelaku/rantai lain. Peran dan pengaruh ini menentukan besaran
nilai tambah (value added) yang dinikmati oleh masing-masing pelaku.
Selain pelaku di tiap rantai, peran sistem pendukung/institusi eksternal juga
memegang peran penting dalam mempengaruhi rantai (tataniaga ikan), seperti
kebijakan pemerintah, perbankan, koperasi, lembaga keuangan, aturan perdagangan
global (WTO), dan sebagainya. Interaksi para pihak dan intitusi eksternal inilah yang
mempengaruhi kinerja rantai pasok yang berimplikasi pada besaran porsi nilai tambah
yang diterima oleh para pelaku, khususnya nelayan.
Page | 8
Uraian di atas sejalan dengan rincian manfaat rantai pasok yang disampaikan
oleh Champion dan Fearne (2001) yang dengan rinci mencoba membandingkan
manfaat pendekatan berbasis rantai pasok dengan pendekatan konvensional (Tabel
1). Manfaat pengelolaan rantai pasok ini dipakai sebagai kerangka analisis dalam
penelitian ini untuk menilai seperti apa pengelolaan sirip hiu dan teripang di Rote
Ndao, antara pendekatan konvensional dan rantai pasok.
Page | 9
2.1.4 Transportasi untuk menangani manajemen sistem pasok dan manajemen
lalulintas. Pihak-pihak yang terlibat adalah perusahaan jasa angkutan darat, laut
maupun udara yang memiliki kompetensi dan pengalaman terkait.
Page | 10
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Tujuan.
3.2. Manfaat.
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :
3.2.1 Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap masalah manajemen rantai pasok produk perikanan yang ada di
Kabupaten Rote Ndao.
3.2.2 Secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
masyarakat khususnya nelayan serta aparat pemerintah Kabupaten Rote Ndao.
3.2.3 Dari penelitian yang dihasilkan berupa sebuah Konsep Model Pemberdayaan
Pengelolaan Rantai Pasok Produk Perikanan ( Sirip Hiu dan Teripang) di Kabupaten
Rote Ndao NTT yang dapat dipakai pimpinan (Bupati) Rote Ndao dalam pengambilan
kebijakan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan di Kabupaten
Rote Ndao.
Page | 11
BAB IV METODOLOGI
Page | 12
wawancara yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Meskipun riset ini bersifat induktif
empirik, pertanyaan-pertanyaan terutama dalam wawancara awal yang dibuat
diinspirasi dari konsep-konsep (teori) yang dipakai, disamping literatur-literatur
terdahulu. Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara selanjutnya akan dikembangkan
dari temuan terdahulu (wawancara terdahulu disamping inspirasi teoritik dan literatur).
Disamping itu penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa laporan
penelitian menyangkut industri perikanan baik yang dikeluarkan lembaga resmi
pemerintah dan organisasi internasional maupun yang dikeluarkan lembaga penelitian
ekonomi non pemerintah. Data-data sekunder ini juga diperkaya dari sumber-
sumber lain, seperti artikel, jurnal, buku-buku dan berita.
Dalam penelitian ini proses analisis data banyak dituntun oleh kerangka teoritik
yang digunakan tetapi tidak bersifat membatasi. Untuk data numerik, proses analisis
data menggunakan metode statistik dengan formula tertentu yang sesuai dengan
tujuan dan bentuk data. Hasil penelitian diagregasi untuk diinterpretasikan
berdasarkan kerangka numerik yang dipakai. Sementara untuk data non numerik
proses analisis data melibatkan tiga prosedur utama, yakni pertama redaksi dan
refunary mendalam untuk menentukan data mana yang perlu diteliti lebih lanjut dan
mana yang perlu dibuang. Kedua, kategorisasi data berdasarkan variabel dan konsep
yang diturunkan dari teori yang dipakai. Ketiga, interpretasi data berdasarkan alur
logika teoritik yang dipakai dalam penelitian. Dalam proses interpretasi ini, penilaian
dari peneliti sangat dimungkinkan. Penilaian ini mempengaruhi proses narasi dalam
laporan penelitian.
Kepekaan teoritis dan subjective assesment peneliti menjadi faktor yang sangat
menentukan dalam proses analisis data. Secara umum dalam penelitian ini teori
menjadi panduan dalam mencari data dan interpretasi data-data tersebut. Oleh
karenanya dalam penelitian ini data atau fakta yang ditelusuri disesuaikan dengan
indikator-indikator yang dioperasionalkan dari konsep-konsep yang ada dalam teori
yang dipakai. Selanjutnya berdasarkan konsep dan katagori tematik tersebut data-data
yang telah diperoleh ini di coding dan dianalisis. Hasil analisis ini digeneralisasi untuk
memperoleh gambaran dan penjelasan umum (inference) terhadap fenomena yang
diteliti.
Page | 13
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Page | 14
Rendahnya produksi perikanan dan non perikanan ikut dipengaruhi oleh metode
penangkapan yang destruktif, merusak ekosistim laut yang mendukung produksi
perikanan. Maraknya penggunaan pukat harimau dan bahan kimia beracun seperti
sianida untuk menangkap masih terus berlangsung di banyak area laut. Hasil kajian
Tim Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu (2012), demikian juga hasil studi awal
yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (2012)
memperlihatkan tingkat kerusakan ekosistim laut yang cukup parah di berbagai
wilayah laut di kabupaten Rote Ndao. Hal ini diperburuk oleh pencemaran laut Timor
pada tahun 2009 yang membawa dampak luas dan besar di seluruh perairan
kabupaten Rote Ndao. Produksi ikan yang besar pada tahun 2007 dan 2008 masing-
masing sebanyak 3.170 ton dan 3.500 ton kemudian menurun drastis menjadi 2.731
ton pada tahun 2009 dan 990 ton pada tahun 2010. Demikian juga dengan produksi
rumput laut kering yang pada tahun 2009 sebanyak 6.127 ton dan tahun 2010
sebanyak 7.334 ton menurun drastis menjadi 1.512 ton pada tahun 2009 dan 946 ton
pada tahun 2010.
Kerusakan ekosistim khususnya ekosistim pesisir ini kurang didukung dengan
pengembangan perikanan tangkap untuk memaksimal hasil tangkapan pada laut lepas
yang kaya dengan sumberdaya ikan baik karena ekosistim yang masih baik maupun
yang masuk dalam jalur migrasi ikan. Data yang terkumpul memperlihatkan rasio
kepemilikan alat tangkap dan kualitas sumber daya manusia yang masih sangat
rendah khususnya pursue seine sebanyak 100 unit dengan rincian 60 unit dimiliki oleh
nelayan Rote dan 40 unit milik nelayan dari daerah lain. Dimana baru sekitar 112 awak
yang terlatih untuk 14 kapal sehingga rerata hasil tangkapan semua kapal ini
sebanyak 600 kg/kapal/hari, atau sebanyak 30% dari kapasitas tangkap yang
sejatinya.
Page | 16
Gambar 5.1 Peta Jalur Migrasi Hiu di Pulau Rote
Tabel 5.1 Rincian pendapatan dari Retribusi Teripang dan Sirip Hiu (Rp.)
Page | 17
5.2 Pemetaan Rantai Pasok.
Page | 21
5.2.2 Pemetaan Proses
Suatu peta rantai nilai yang komprehensif dan mencakup keseluruhan hal tidak
akan pernah ada (ACIAR 2012). Proses yang diidentifikasi dalam rantai nilai teripang
dan sirip hiu minimal terdiri dari 8 (delapan) tahapan. Empat tahapan awal yaitu
penyediaan input, penangkapan, pengolahan awal dan pengumpulan dilakukan oleh
para nelayan dan pemilik perahu di Rote, sedangkan tahapan pengolahan lanjutan,
pengiriman, pemasaran dan pengolahan akhir dilakukan di Kupang, Makasar,
Surabaya dan negara tujuan.
Page | 22
bulan, sedangkan nelayan Pepela dan Landu yang menangkap hiu hanya
membutuhkan waktu 7 – 21 hari.
Page | 23
kekuatan tawar-menawar antara para pelaku dengan pemodal pasca penangkapan.
Para pemodal memiliki kekuatan untuk menekan para pelaku untuk secepatnya
mengembalikan modal pinjaman yang telah mereka peroleh dan untuk menghindari
beban bunga tambahan yang dapat dikenakan, dipihak lain para pelaku yang telah
meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama dibebani oleh tanggungjawab untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
Page | 24
Data yang berhasil dikumpulkan hanya sebatas data pendapatan pemerintah
daerah yang bersumber dari retribusi yang dikenakan terhadap produk sirip hiu dan
teripang yang diantarpulaukan keluar Rote. Tidak ada data yang jelas dan spesifik per
lokasi, namun menurut Dinas Kelautan dan Perikanan, bahwa sumber retribusi sirip
hiu hanya berasal dari Pepela, sedangkan sumber retribusi teripang umunya berasal
dari Oelua yang mencapai 60% sedangkan selebihnya berasal dari desa Netenaen.
Sedangkan untuk informasi jumlah pelaku dan jumlah lapangan kerja diperoleh
dari jumlah pelayaran yang dilakukan oleh setiap perahu. Hampir semua perahu, baik
yang menangkap hiu maupun mengumpulkan teripang diawaki oleh minimal 7 orang
yang terdiri dari 1 juragan dan 6 anak buah perahu. Setiap tahun rata-rata terdapat 5
perahu dari Oelua yang berlayar mengumpulkan teripang dengan jumlah rerata nilai
penjualan produk mencapai Rp. 20 juta, sedangkan jumlah perahu dari Pepela yang
berlayar ke area MOU Box 1974 dapat mencapai 43 unit, dimana rata-rata 1 unit
perahu dapat melakukan pelayaran sebanyak 2 kali per tahun dengan jumlah nilai
penjualan produk dapat mencapai Rp.30 juta per pelayaran.
Peluang peningkatan produksi ke MOU Box 1974 tetap terbuka jika masalah
keterbatasan tenaga kerja dapat diatasi. Penurunan minat generasi muda yang terlihat
dari kesulitan para pemilik perahu untuk memperkerjakan juragan dan anak buah
perahu, meningkatnya peluang lapangan kerja di sektor lain dan di daerah lain yang
mendorong meningkatnya urbanisasi disertai dengan persyaratan khususnya yang
harus dimiliki seperti kemampuan menyelam yang tinggi dan kemampuan untuk hidup
terisolasi dan terputus komunikasi dengan keluarga untuk jangka waktu yang lama
merupakan beberapa fakta yang memperngaruhi persediaan tenaga kerja.
Page | 25
Secara umum jumlah tenaga kerja yang tersedia semakin terbatas dan langka.
Dalam hal kualitatif, lebih dari 80% tenaga kerja lokal pada tahap produksi telah
berusia antara 40 hingga 50 tahun khususnya di Oelua. Sementara itu secara
kuantitatif, lebih dari 80% tenaga kerja di Oelua didatangkan dari Alor setiap tahun
dengan beban biaya tambahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
memperkerjakan tenaga kerja lokal. Permasalahan ketersedian tenaga kerja tidak
dihadapi oleh di Pepela. Dari total 43 unit perahu layar di Pepela yang dapat berlayar
ke area MoU Box 1974, 33 unit perahu ini dikemudikan sendiri oleh pemilik dengan
rerata usia antara 30 tahun sampai dengan 40 tahun, sedangkan usia anak buah
perahu masih relatif muda, rerata usia mereka antara 20 tahun hingga 30 tahun dan
merupakan penduduk asli Pepela.
Para pelaku dalam rantai nilai memiliki hubungan antara satu sama lain karena
mereka bertujuan memperoleh manfaat dari hubungan tersebut. Suatu identifikasi
adanya manfaat (atau kurangnya manfaat) juga memerlukan identifikasi hambatan
dalam meningkatkan keterhubungan dan kepercayaan di antara para partisipan rantai
nilai.
Umunya pemilik perahu diLandu dan Oelua tidak ikut berlayar bersama dengan
juragan/anak buah kapal ke MOU Box 1974. Kadangkala beberapa pemilik perahu
turut serta berlayar dengan perahu di saat-saat pertama kali mereka memperkerjakan
juragan baru, namun disaat jumlah perahu bertambah, para pemilik perahu yang
sudah tua harus belajar mempercayai juragan yang masih muda. Untuk memastikan
keselamatan perahu dan awak kapal, biasanya juragan perahu adalah saudara atau
Page | 27
kenalan dekat pemilik perahu yang telah terbukti pengalamannya. Sementara itu
untuk urusan yang berhubungan dengan anak buah kapal, pemilik perahu
mempercayakan sepenuhnya kepada juragan kapal.
Hal ini berlaku khususnya jika juragan kapal berasal dari Alor dimana anak buah
perahu terkenal dengan kemampuan menyelam yang tinggi. Jika juragan adalah
bukan saudara pemilik perahu, maka biasanya anak buah kapal adalah juga kenalan
dekat juragan perahu dan/atau pemilik perahu. Khusus untukk perahu di Pulau Landu,
pada awalnya yatu sekitar tahun 2003 juragan perahu berasal dari Papela, sedangkan
anak buah kapal adalah penduduk asli Pulau Landu. Hal ini terjadi demikian karena
para juragan kapal asli Landu belum memiliki pengalaman berlayar ke MOU Box 1974.
Selanjutnya mulai sejak tahun 2005 juragan perahu direkrut dari anak buah perahu asli
Landu yang telah memiliki pengalaman melakukan pelayaran ke MOU Box 1974.
Titik penting lainnya dalam hubungan para pihak yang ada sehubungan dengan
penimbangan dan penentuan harga jual per satuan berat tertentu. Di Oelua dan
Papela penimbangan berat dan kesepakatan harga dilakukan bersama ketiga pihak
dihadapan pihak pembeli yang datang mengumpul hasil di kedua desa ini sehingga
peluang kesalahan penimbangan yang dapat menimbulkan konflik, kecurigaan dan
ketidakpercayaan dapat dicegah. Namun hal ini tidak terjadi di Landu, dimana hanya
pemilik kapal yang melakukan penimbangan dan transaksi dengan pembeli yang
berkedudukan di Kupang.
Dalam prakteknya pengadaan GPS dilihat sebagai bagian tidak terpisahkan dari
kapal/perahu sehingga biaya pengadaannya ditanggung seutuhnya oleh pemilik kapal.
GPS sangat mempengaruhi produksi, membantu nelayan untuk berlayar mengikuti
pergerakan ikan tanpa kuatir melanggar garis batas yang telah ditetapkan sehingga
kepemilikan GPS menjadi salah satu faktor pertimbangan juragan dan anak buah
perahu dalam memilih kapal/perahu yang akan mereka pakai dan dalam mengambil
keputusan sehubungan dengan waktu pelayaran.
Page | 29
5.2.8 Pemetaan Tata Kelola: Koordinasi, Regulasi dan Kendali
Analisis tata kelola dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi dan memahami
berbagai aturan yang mendukung rantai pasok, serta sistem koordinasi, regulasi, dan
kendali yang berjalan saat terbentuknya nilai dalam suatu rantai (Gereffi, G., J.
Humphrey, et al. 2003).
Tata kelola rantai pasok sirip hiu dan teripang mengacu pada aturan-aturan
“resmi” yang terkait dengan keluaran serta berbagai syarat penting untuk berkompetisi
dalam perniagaan yang mempengaruhi struktur produksi (Tabel 5.2.8). Dalam
prakteknya ternyata tata kelola yang terbangun tidak berdasarkan aturan-aturan resmi
yang dipahami dan menjadi pengetahuan publik. Kebutuhan akan sirip hiu dan
teripang memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun bisnis ini masih
belum di atur secara resmi. Pada level pemerintah daerah, telah dikeluarkan
Keputusan Bupati Rote Ndao Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan peraturan
daerah kabupaten Rote Ndao Nomor 34 2004 tentang Retribusi pelaksanaan izin
pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, namun tatakelola
kegiatan pengumpulan, pengeluaran dan harga beli diserahkan kepada mekanisme
pasar. Tidak ada aturan hukum yang memberi perlindungan kepada nelayan, demikian
juga tidak ada mekanisme dan informasi pasar yang difasilitasi oleh pemerintah.
Sejatinya dengan adanya peningkatan permintaan di satu sisi dan penurunan
potensi di pihak lain, kompetisi semakin kuat sehingga posisi pelaku pada level
produksi semakin kuat, namun ternyata posisi tawar-menawar produsen masih lemah.
Hubungan kerja antara juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat
informal, tidak ada kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban
pemilik perahu. Hal serupa juga ditemui dalam hubungan Hubungan kerja antara
juragan dan anak buah perahu dengan pemilik perahu bersifat informal, tidak ada
kontrak tertulis yang menjelaskan hak para pekerja dan kewajiban pemilik perahu.
Dalam hal upah, sebagai contoh, tidak ada kepastian jumlah minimal yang akan
diperoleh juragan dan anak buah perahu, demikian pula bila terjadi kecelakaan kerja
yang dapat menyebabkan cacat fisik bahkan kehilangan nyawa. Hal serupa juga
ditemui dalam hubungan antara para pemilik perahu dengan pemodal yang sekaligus
berperan sebagai pembeli/pedagang.
Persyaratan sederhana seperti kualitas produk, ukuran, warna tesktur
ditetapkan oleh pemodal/pembeli, namun karena posisi tawar-menawar juragan dan
Page | 30
anak buah perahu yang lemah dalam menentukan grade produk yang dijual sehingga
insentif untuk memproses produk guna meningkatkan nilai jualnya hampir tidak ada.
Hal ini diperburuk oleh asimetri informasi yang berhubungan dengan pembeli alternatif
dan ketiadaan upaya untuk mengorganisir para pemasok membuat para pelaku pada
level produksi tidak memiliki pilihan lain selain segera menjual produk yang termasuk
kategori mudah rusak.
Salah satu regulasi lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Rote Ndao
adalah Keputusan Bupati Rote Ndao nomor 119 tahun 2004 tentang pelaksanaan
peraturan daerah kabupaten Rote Ndao nomor 34 tahun 2004 tentang retribusi izin
pengumpulan dan pengeluaran hasil kelautan dan perikanan, yang menetapkan
jumlah retribusi yang harus dibayarkan oleh pengepul/pembeli teripang dan sirip hiu
(Tabel 5.2.8b). Namun pelaksanaanya secara teknis dalam taksasi volume dan jenis
dan transaksi keuangan tidak dilakukan pemisahan sebagaimana mestinya, para
pembeli lebih cenderung melakukan penyeragaman yang mempermudah taksasi
namun dapat merugikan nelayan dan pemerintah daerah.
Page | 33
tahun 2007 anak buah perahu asal Landu yang telah memahami kondisi dan jalur
pelayaran dapat mengisi jabatan sebagai juragan.
Kondisi serupa juga terjadi di Oelua dimana terdapat ketergantungan terhadap
tenaga kerja dari luar khususnya dari Alor semakin tinggi. Adalah nelayan Oelua yang
secara turun-temurun memperkerjakan tenaga kerja lokal sebagai anak buah perahu
dan juragan. Namun kondisi ini mulai berangsur-angsur bergeser semenjak 16 tahun
lalu seiring dengan semakin langkahnya teripang pada area yang dangkal yang dapat
dikumpulkan tanpa membutuhkan banyak kerja keras khususnya kemampuan
menyelam yang tinggi. Seiring dengan perubahan tingkat pendidikan generasi muda di
Oelua dan terbukanya peluang kerja di sektor lain di tempat lain yang lebih baik,
jumlah tenaga kerja lokal yang mampu dan mau berlayar ke area MOU Box 1974
semakin berkurang. Inilah yang mendorong pemilik perahu untuk beralih mencari
tenaga kerja dari Pulau Alor. Tenaga kerja asal Alor terkenal dengan kemampuan
menyelam yang sangat tinggi. Abraham, seorang anak buah perahu yang bekerja
untuk Kepala Desa Oelua, menuturkan bahwa di usianya yang ke 49 ia masih memiliki
kemampuan untuk menyelam hingga kedalaman 30-40 depa. Kemampuan ini hampir
tidak dapat disamai oleh penyelam asal Oelua.
Namun karena keterbatasan tenaga kerja asal Alor, maka pelayaran ke MOU
Box 1974 tergantung dari kesedian dan kemampuan pemilik kapal untuk membayar di
muka termasuk membayar biaya transportasi dan akomodasi tenaga kerja dari Alor ke
Rote. Hingga akhir Juni 2012, baru 4 perahu dari total 10 perahu yang layak berlayar
yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berlayar dengan rincian 3 perahu
memperkerjakan tenaga kerja asal Alor dan 1 perahu yang memakai tenaga kerja
lokal. 6 perahu lainnya belum jelas waktu pelayaran bahkan kemungkinan besar
mereka tidak akan berlayar. Alasan inilah yang terjadi dengan pemilik perahu yang
juga Kepala Desa Oelua dimana selama tahun 2010 dan 2011 perahunya tidak
berlyar. Ia baru bisa memberangkatkan perahunya setelah ia berhasil memperkerjakan
anak buah perahu dan juragan asal Alor pada tahun 2012 ini. Jika kondisi ini tidak
mengalami perubahan, maka sangat mungkin bagi 6 perahu tersebut di atas untuk
menyusul 21 perahu lainnya yang tidak lagi berlayar ke MOU Box 1974 karena
kesulitan tenaga kerja.
Kesulitan yang di alami oleh para pemilik perahu di Oelua tidak terjadi di
Pepela. Selain sebagai pusat pemukiman nelayan asal Bajo, target tangkapan nelayan
Page | 34
Pepela adalah sirip hiu, bukan teripang sebagaimana halnya nelayan Oelua.
Perbedaan ini ikut mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang layak untuk diperkerjakan.
Penangkapan hiu dengan menggunakan longlines membutukn sedikit tenaga dan
kemampuan menyelam yang tidak harus tinggi seperti halnya dengan pengumpulan
teripang. Perbedaan target ini juga mempengaruhi waktu pelayaran pergi dan pulang,
dan waktu menangkap/mengumpulkan hasil di MOU Box 1974. Rerata waktu yang
dibutuhkan untuk berlayar dan menangkap hiu hanya selama 21 hari, sementara itu
waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dan mengumpulkan teripang dapat mencapai
56 hari. Hal lainnya berhubungan dengan kuatnya hubungan patron-client di Pepela
yang selain menyediakan solusi berupa bantuan finansial bagi nelayan disaat mereka
membutuhkan, juga sekaligus bersifat mengikat dan memaksa para nelayan untuk
pergi berlayar guna melunasi hutang pinjaman yang diberikan oleh pemilik modal. Di
Pepela terdapat 5 bos pemilik modal sekaligus sebagai pedagang sirip hiu dan pemilik
perahu yang ikut berperan besar terhadap penangkapan hiu. Hal ini yang
menyebabkan perbedaan dinamika pelayaran ke area MOU Box 1974 antara nelayan
Pepela dan nelayan Oelua.
Page | 35
Di Landu terdapat dua bos besar yang memberi pinjaman kepada para nelayan
di 18 perahu. Pinjaman yang diberikan mencapai Rp.5 juta untuk sekali perjalanan dan
bebas dari bunga. Sebagian besar pinjaman ini dipakai untuk membeli bahan bakar
mesin perahu, sedangkan biaya lainnya jauh lebih sedikit karena waktu perjalan dan
pengumpulan hasil disana yang relatif singkat yaitu 6 hari perjalanan pergi pulang dan
dua hari mengumpul hasil. Kewajiban para nelayan dan pemilik perahu adalah menjual
hasil (sirip hiu) kepada pemodal dengan besaran harga yang ditentukan sendiri oleh
pemodal. Selanjutnya pemodal yang akan menjual hasil tangkapan ke pembeli di
Kupang, sehingga harga hasil tangkapan hanya diketahui oleh pemodal sendiri.
Di Oelua terdapat sekitar 10 pemilik perahu yang masih aktif ke MOU Box 1974
yang juga bertindak selaku pemodal pelayaran, namun kadang-kadang pembeli dari
Kupang langsung membiayai biaya pelayaran. Pinjaman yang diberikan dapat
mencapai Rp.8 juta yang sebagian besar dipakai untuk ransom, kayu bakar,
kebutuhan makanan/minuman, dan merokok. Pinjaman dikembalikan bersama dengan
10% bunga setelah hasil tangkapan (teripang) dibeli oleh pembeli dari
Kupang/Surabaya/Makasar yang datang ke Desa Oelua untuk membeli sendiri dengan
harga yang diketahui bersama oleh juragan/anak buah kapal dan pemilik kapal.
Di Desa Papela terdapat 2 bos yang membiayai hampir semua biaya pelayaran
43 perahu yang melakukan pelayaran ke area MoU Box 1974. Kedua bos ini adalah
juga pembeli yang memberi pinjaman tanpa syarat bahkan jauh sebelum para nelayan
melakukan pelayaran. Setiap saat para nelayan baik juragan maupun anak buah
perahu mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman yang cepat, maka
kedua bos ini adalah tempat pelarian yang cepat memberi bantuan. Pinjaman yang
diberikan bervariasi, dapat mencapai Rp. 1,5 juta kemudian diberikan hingga dapat
mencapai Rp.2,5 juta per orang saat para nelayan memutuskan untuk melakukan
pelayaran. Tidak ada bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan,
namun disinilah letak posisi tawar-menawar pemodal saat dilakukan taksasi volume,
kualitas dan harga hasil tangkapan nelayan, pemodal adalah juga pembeli hasil
tangakapan nelayan.
Page | 36
Tabel 5.2.9 Perbandingan Jenis Produk, Sumber Pinjaman dan Penentuan Kualitas
dan Harga.
Lokasi Produk Sumber Pinjaman Besar Bunga Penentuan
Pinjaman (%) Kualitas &
Harga
Landu Sirip hiu Pemodal 8.000.000 0 Pemodal
Oelua Teripang Pemilik kapal 5.000.000 10 Bersama
Papela Sirip hiu Pemodal 0 Pemodal
Namun karena berbagai alasan seperti faktor cuaca dan demi efektifitas dan
efisiensi biaya dan waktu perjalanan ke dan pulang dari Mou Box 1974, sehingga
sampai dengan tahun 2012, masih terdapat beberapa nelayan yang mencoba untuk
memakai perahu bermotor. Secara umum, jumlah perahu yang menyimpang dari
kesepakatan ini terus mengalami penurunan sebagai akibat dari semakin gesitnya
aparat pemerintah Australia menempuh kebijakan tangkap, tahan dan bakar.
Page | 37
motornya dibakar oleh pemerintah Australia pada tahun 1996 – membeli perahunya
sebesar Rp.95 juta dengan kekuatan mesin sebesar 52 PK.
Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki perahu motor, ikut
mempengaruhi kepemilikan dan pemilik perahu di ketiga lokasi penelitian. Di Landu
jumlah kepemilikan perahu hampir merata, terdapat 2 pemilik modal yang memiliki 6
perahu sedangkan selebihinya hanya memiliki 1 perahu. Kondisi serupa juga ditemui
di Oelua dimana jumlah rerata kepemilikan perahu cukup merata yaitu 1 perahu per
orang, sedangkan seorang pemiliki modal yang saat ini telah berubah fungsi menjadi
transportasi barang dan jasa memiliki 3 perahu. Kondisi sosial ekonomi kedua lokasi
ini berbeda jauh dari kondisi kepemilikan perahu di Pepela, dimana lebih dari separuh
perahu dimiliki oleh 2 pemodal besar.
Jumlah perahu motor di Landu telah mengalami penurunan yang cukup drastis
dari 23 unit pada tahun 2005 menjadi 5 unit pada tahun 2012. Pengurangan ini adalah
sebagai akibat langsung dari kebijakan penahanan dan pembakarann perahu oleh
aparat pemerintah Australia yang mencapai 37 unit antara tahun 2004 dan 2006. Di
Oelua jumlah perahu yang masih bisa berlayar ke area MOU Box 1974 sebanyak 12
unit, atau mengalami pengurangan sebanyak 27 unit secara berangsur-angsur
semenjak tahun 2005 yang disebabkan oleh ketiadaan tenaga kerja (21 unit) dan
perubahan peruntukan yaitu menjadi pengangkut bahan bakar minyak dan sembilan
bahan pokok kebutuhan rumah tangga, dan 48 unit yang dibakar oleh pemerintah
Australia. Keadaan serupa juga dialami oleh pemilik perahu di Pepela. Jumlah perahu
yang dimiliki oleh nelayan Pepela yang berlayar ke MOU Box 1974 mengalami
penurunan yang cukup drastis menjadi 43 unit pada tahun 2012, dimana 170 unit
dibakar oleh pemerintah Australia antara tahun 2005 hingga tahun 2012 sebanyak 250
unit, selebihnya rusak karena usia dan karena dijual ke daerah lain. Sehingga secara
keseluruhan, jumlah perahu yang telah ditahan dan dibakar oleh pemerintah Australia
dari ketiga lokasi antara tahun 2005 dan 2012 sebanyak 250 unit.
Page | 38
Gambar 5.2.10.1 Perahu Tradisional yang Digunakan Nelayan
Page | 40
5.2.11 Pemetaan Produk Tangkapan
5.2.11.1 Pemetaan Kualitas
Ukuran fisik dan jenis adalah hal pertama yang menentukan harga jual sirip hiu
maupun teripang. Namun seiring dengan perubahan kebijakan di area MoU box 1974,
maka kualitas tangkapan berdasarkan karakter jenis dan ukuran yang memiliki nilai
jual tinggi semakin berkurang. Untuk memaksimalkan efektifitas pelayaran, maka
penangkapan dilakukan siang dan malam hari, saat air laut pasang dan surut bahkan
kadang di dalam dan di luar area MoU Box 1974.
Pengumpulan teripang umunya dilakukan selama air pasang surut khususnya
bagi anak buah perahu yang secara fisik lemah, namun jumlah teripang di area ini
semakin berkurang, dan termasuk kategori teripang dengan nilai jual rendah dan
ukuran yang kecil. Teripang yang dikumpulkan saat pasang surut seperti teripang
coklat, cerak, koro batu, bintik dan loreng; sedangkan teripang yang hanya bisa
dikumpulkan dengan cara menyelam adalah yang memiliki ukuran fisik besar dan nilai
jual tinggi, seperti teripang koro batu, koro susu, nanas, duyung dan bintik polos.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rote
Ndao (2012), diketahui bahwa hampir 80% jumlah teripang yang dikumpulkan di area
MoU Box 1974 maupun di perairan sekitar Rote termasuk kategori teripang bintik,
sedangkan selebihnya termasuk teripang cera, koro batu dan koro susu.
Demikian halnya dengan sirip hiu, dimana hiu dengan ukuran dan kualitas tinggi
semakin langka di dalam area MoU Box 1974, sehingga kadang-kadang para nelayan
terpaksa memancing di luar area MoU Box 1974. Sirip hiu terbagi ke dalam dua
kelompok: putih dan hitam. Sirip hiu hitam dijual pada harga yang lebih rendah dari
pada sirip hiu putih, penyebabnya adalah karena sirip hiu putih mengandung lebih
banyak jarum tulang sirip. Hiu yang dihargai tinggi adalah hiu putih yang jarum tulang
siripnya seperti garis-garis sinar (Rhynchobatus djiddensis). Kedua adalah sirip hiu
hitam, yang sering dijumpai sepanjang pantai (Carcharhinus); hiu harimau
(Galeocerdo cuvier) dan Hammerhead sharks (Eusphyra blochii dan Sphyrna) (Stacey
1999). Selanjutnya penilaian tergantung pada ukuran, kandungan air, dan metode
pemotongan. Umumnya sirip hiu hitam dipotong menurut tiga jenis: potong biasa
(berat), setengah bulan (ringan) dan bulan penuh (lebih ringan). Potongan yang
terakhir ini memilki nilai jual yang lebih tingi, namun oleh karena posisi tawar-menawar
nelayan yang rendah khususnya dalam hal taksasi ukuran dan berat sirip hiu, dimana
Page | 41
seringkali sirip hiu yang telah dipotong menjadi setengah bulan atau bulan penuh
masih sering dipotong lagi oleh pembeli sehingga kebanyakan nelayan memlilih
metode potong biasa, yang msih mengandung lebih banyak daging dan lebih berat
namun nilai jualnya lebih rendah.
Tabel 5.2.11.1b Perkembangan Harga Sirip Hiu Hitam, panjang lebih dari 35 cm
Jenis potongan
Dan Harga per kilo
(Rp.)
Page | 42
5.2.11.2 Pemetaan Pengolahan
Pengolahan hasil pasca panen atau pengumpulan sirip hiu dan teripang
dilakukan melalui proses yang berbeda-beda, namun sangat menentukan kualitas
produk. Pengoalahan sirip hiu dan teripang yang dilakukan oleh nelayan Landu, Oelua
dan Pepela dilakukan secara tradisional sehingga mutu produk relatif rendah.
Pengolahan sirip hiu jauh lebih mudah dan mudah yaitu cukup melalui penggaraman
dan pengeringan yang dilakukan selama pelayaran dan tambahan beberapa hari di
darat, total diutuhkan rata-rata 20 hari. Sedangkan pengolahan teripang jauh lebih
kompleks, lebih mahal dan lebih lama mulai dari pembuangan isi perut, perebusan,
penirisan, pengasapan dan pengiringan yang membutuhkan rata-rata...hari.
Pengeringan adalah proses pengolahan akhir yang paling lama, bahkan hingga
dilakukan transaksi pembelian. Selain untuk mengurangi kandungan kadar air,
pengeringan dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya kelembaban selama
penyimpanan yang dapat merusak kualitas produk.
Dibandingkan dengan sirip hiu, teripang merupakan salah satu hasil laut yang
mempunyai sifat cepat busuk sehingga sebelum diolah diusahakan teripang tetap
hidup. Caranya, teripang diletakkan pada wadah uang berisi air but dan ditempatkan di
tempat yang teduh. Jumlah teripang yang dipanen harus disesuaikan dengan waktu
dan kapasitas alat pengolahan agar tidak mengalami kemunduran mutu.
Pembuangan isi perut dapat dilakukan dengan pisau. Caranya, perut teripang
diiris secara membujur. Diusahakan pisau terbuat dari bahan yang tidak mudah
Page | 43
berkarat, tajam, dan berujung runcing. Ini bertujuan agar tekstur hasil irisan
berpenampakan rapi. Selain dengan pisau, pengeluaran isi perut juga dapat dilakukan
dengan bambu. Caranya, bagian anus teripang ditusuk dengan bambu yang runcing.
Bambu itu lalu diputar sambil dilakukan sedikit peremasan pada tubuh teripang dan
ditarik keluar. Dengan cara demikian, isi perut teripang akan keluar. Cara seperti ini
tidak dianjurkan karena kemungkinan tidak seluruh isi perut dapat dikeluarkan. Selain
itu, juga menimbulkan penampakan yang kurang sempurna sehingga menurunkan
mutu teripang.
Perebusan dilakukan dengan alat rebus yang terbuat dari bahan antikarat,
mudah dibersihkan, dan tahan lama. Air yang digunakan adalah air tawar yang bersih
dan diberi garam dapur dengan konsentrasi kurang dari 15 %. Setelah air mendidih,
teripang yang telah dikeluarkan isi perutnya dan telah dicuci bersih dimasukkan ke
dalamnya. Perebusan dilakukan sampai semua teripang menjadi keras tekstumya
(kenyal), selama 20 - 30 menit. Perebusan ini selain berfungsi untuk mengeraskan
tekstur tubuh teripang juga berfungsi untuk mematikan dan mencegah timbulnya
mikroorganisme pembusuk serta menurunkan kadar air pada tahap awal. Umunya
kandungan air pada tubuh teripang relatif tinggi, antara 80 – 90 %, sehingga perlu
diturunkan secara bertahap.
Teripang yang telah ditiris masih mempunyai kadar air yang cukup tinggi
sehingga perlu pengeringan sampai kadar air kurang dari 20 %. Pengeringan yang
mudah dan murah dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah matahari di atas
perahu yang terbuka sehingga tiupan angin ikut serta mempengaruhi proses
pengeringan. Proses pengeringan tak boleh terialu mendadak agar proses
pengeringan tidak menimbulkan terjadinya kerut-kerutan pada tubuh teripang.
Pengeringan dengan cara ini sangat dipengaruhi oleh ukuran teripang, kadar air
teripang, cuaca, suhu udara, kelembapan udara, dan kecepatan angin.
Pengeringan dapat pula dilakukan dengan alat pengering mekanis, tetapi harus
dipertimbangkan tentang harga, ketersediaan bahan bakar, listrik, serta efisiensinya.
Pengeringan dengan cara ini umumnya diterapkan oleh eksportir dalam upaya
pengolahan ulang untuk perbaikan mutu. Atau, dipergunakan pada kondisi yang
memaksa, misalnya musim penghujan, dan karena adanya keterbatasan lahan,
misalnya di kota-kota besar. Teripang kering olahan mengandung garam dan bersifat
higroskopis sehingga penyimpanan harus diusahakan pada suhu ruang yang tidak
terlalu tinggi dan kelembabannya rendah. Teripang kering ini harus diletakkan
langsung di atas para-para dan disusun rapi agar tidak menghambat sirkulasi udara.
Tempat penyimpanan yang baik harus terlindung dari sinar matahari, tidak terkena air
hujan, pertukaran udaranya cukup baik, dan hanya khusus untuk penyimpanan
teripang. Jika tidak memenuhi syarat ini, akan menyebabkan tumbuhnya jamur dan
mikroorganisme pembusuk serta meningkatnya kadar air.
Page | 45
Gambar 5.2.11.2 Pengolahan Sirip Hiu dan Tripang
Page | 46
tingkatan yang lebih dekat kepada produsen, maka semakin kecil peluang
pembentukan rantai pasok baru dengan melibatkan pihak-pihak ini.
Dalam kondisi di atas, maka informasi pasar sangat tertutup, terbatas, tidak
berubah dan bahkan dapat menyesatkan. Kenyataan ini yang terjadi di Pepela,
beberapa pemilik perahu mengakui bahwa harga jual yang mereka terima pada tahun
2012 sama dengan harga jual pada tahun 2011. Fakta ini sangat mempengaruhi
keberlanjutan produksi dan produktifitas. Produsen tidak memiliki pengetahuan yang
cukup dan terkini untuk memperkirakan dinamika perkembangan permintaan pasar
sehingga peluang investasi baru untuk peningkatan produksi tidak dapat
dimanfaatkan. Keputusan yang diambil oleh para produsen lebih didasarkan pada
pengalaman masa lalu dari pada pengetahuan akan masa yang akan datang.
Sehingga apa yang telah terjadi ini telah memenuhi kriteria “gagal pasar” yang ditandai
dengan kuatnya pengaruh pembeli dalam penentuan harga: sirip hiu dan teripang
dijual segera kepada pemodal setelah para nelayan tiba kembali di Rote, berapapun
harganya, nelayan tidak punya pilihan untuk menunggu hingga harga naik.
Page | 50
di perairan Australian dengan metode tradisional yang telah dipraktekan untuk jangka
waktu yang lama” (1974 MOU).
Selanjutnya dengan amendemen MOU 1974 pada tahun 1989, definisi asli yang
memberi akses kepada nelayan di perairan Australian disyaratkan lebih lanjut untuk
memenuhi ijin jenis perahu dan teknologi. Dengan amendemen 1989, akses ke area
MOU Box 1974 dibatasi kepada: nelayan tradisional Indonesia menggunakan metode
tradisional dan perahu tradisional yang konsisten dengan tradisi untuk jangka waktu
yang lama, yang tidak termasuk metode penangkapan ikan dan perahu yang
menggunakan motor atau mesin (Practical Guidelines for Implementing the 1974,
dikutip oleh Stacey 1999).
Perikanan tradisional didefinisikan melalui metode dan perahu yang telah
digunakan secara tradisional yaitu “untuk jangka waktu yang lama”, minimum periode
adalah dua dekade, yang tidak boleh termasuk metode dan perahu yang modern
(Stacey 1999). Referensi kepada nelayan Indonesia yang telah secara historis
mengambil ikan di ZPA tidak dimasukan, tetapi sesungguhnya mengandung makna
bahwa nelayan yang dimaksud adalah yang telah mengambil ikan untuk “beberapa
dekade”. Tidak jelas apakah “beberapa dekade” berlaku untuk dua dekade sebelum
1974 ketika MOU ditandatangani atau dua dekade termasuk penandatanganan
amendemen 1989. Implisit di dalam MOU, adalah ide bahwa masyarakat yang statis
dan tidak berubah dalam beberapa dekade. Berdasarkan pengaturan ini, maka hak
akses tradisional ditentukan melalui penggunaan “tradisi” yaitu teknologi yang tidak
berubah (Stacey 1999; Fox 1998).
Page | 51
Gambar 5.2.14 Peta Area MoU Box 1974
35
30
25
20
15
10
5
0
2004 2011
Page | 56
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.1.1 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rantai pasok, negosiasi biaya
dan pembagian keuntungan antara pemodal/pemilik perahu/kapal, juragan dan
anak buah perahu seperti ketersediaan tenaga kerja, tingkat kemampuan dan
ketrampilan fisik juragan dan anak buah perahu, sistim penyediaan (kuantitas
dan kualitas) inputs, jenis hubungan antara pemodal/pemilik perahu dengan
juragan dan anak buah perahu, transparansi dan pengelolaan pasca panen,
kondisi klimatologis saat berlayar, dan kondisi (kualitas dan kuantitas) inputs
pasca panen. Dapat dikatakan bahwa dalam negosiasi pembagian beban dan
keuntungan pada ketiga desa sangat bervariasi, namun peran pemodal dan
pemilik perahu sangat dominan. Hal ini disebabkan terutama oleh adanya
ketergantungan juragan dan anak buah perahu terhadap pemodal/pemilik
perahu berupa “hutang abadi” yang telah terjadi berulang-ulang dan untuk
jangka waktu yang lama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menciptakan hubungan patron-client baik di dalam pekerjaan produksi ikan/non-
ikan maupun dalam kehidupan sosial masyarakat secara umum. Kondisi ini
menyebabkan banyak nelayan yang terperangkap dalam rantai pekerjaan dan
rantai kemiskinan, dimana pekerjaan menangkap sirip hiu dan teripang menjadi
satu-satunya andalan mereka, peluang keluar tidak ada karena pemodal/pemilik
perahu harus memenuhi kebutuhan sirip hiu dan teripang yang telah disepakati
dengan pedagang lain pada rantai pasok yang lebih tinggi. Sehingga terlepas
dari kondisi pekerjaan yang buruk, tradisi nelayan yang telah mereka warisi, dan
pembagian keuntungan yang kurang berpihak, perubahan kebijakan atas MOU
Box 1974 tidak akan berdampak kuat terhadap kegiatan penangkapan sirip hiu
dan teripang oleh nelayan Rote.
Page | 58
6.2 Saran
6.2.1 Nelayan di Kabupaten Rote Ndao yang secara turun-temurun dari nenek
moyang, telah menjadikan Area MOU Box 1974 sebagai sumber teripang, sirip
hiu dan sumber kehidupan. Namun kata turun-temurun telah disalahartikan
sebagai tradisional dalam MOU 1974, bukan tradisi sebagaimana mestinya. Hal
inilah yang berdampak pada penangkapan, pembakaran perahu dan hukuman
yang dijalani nelayan Rote. Pemerintah Indonesia dan Australia patut
membentuk Dewan Pengelola Perbatasan Indonesia-Australia dengan
keanggotaan yang partisipatif, agenda dan target waktu yang jelas untuk
melakukan pembaharuan terhadap MOU 1974 yang sudah tertinggal oleh
perkembangan teknologi;
6.2.2 Pemerintah daerah dan pemerintah pusat patut memperkuat institusi yang
dapat mendukung nelayan dalam mengelola rantai pasok sirip hiu dan teripang
sehingga kepastian usaha dan keuntungan antara berbagai pihak yang terlibat
dalam rantai pasok dapat meningkatkan pendapatan dan kesejateraan nelayan
kecil yang masih hidup dalam kemiskinan.
Page | 59
DAFTAR PUSTAKA
Balint, R. 2005. Troubled waters: Borders, boundaries and possession in the Timor
Sea. Allen & Unwin, New South Wales, Australia.
Brown, W.J, 2003. Agribusiness Cases in Supply Chain Management. Paper. IFMA
Congress.
Champion, S.C. dan A.P.Fearne. 2001. Supply Chain Management: A First Principles
Consideration of Its Application to Wool Marketing. Jurnal Wool Technology of Sheep
Breeding Vol. 49 (3). Hal. 222-236.
Fox.J.J. 2002. In a Single Generation: A Lament for the Forests and Seas of
Indonesia. Paper prepared for EDEN II Workshop “Sustainability and Depletion in
Island Southeast Asia: Forests and Fisheries, Past and Present.” Leiden, 20-22 June
2002
Fox, J.J. and Sen.S. 1999. A study of socio-economic issues facing traditional
Indonesian fishers who access the MOU Box. A Report for Environment Australia.
Fox,J.J 1977. Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia, Harvard
University Press, Cambridge and London.
Gereffi, G., J. Humphrey, et al. 2003. The Governance of Global Value Chains: An
Analytical Framework.
Long, D, 2006. Logistics and Supply Chain Management. Global Supply Chains
Conference. Ottawa, February 15-16, 2006
Prasad S Tata J Madam M, 2009. Build To Order Supply Chain in Developed and
developing countries. Journal or Operation Management.
Ridwan. 2009. Metoda dan Teknik Penyusunan Proposal Penelitian, Penerbit Alfabet,
Bandung
Stacey, N.1999. Boats to burn: Bajo fishing activity in the Australian fishing zone
Widayana N.N. 2010. Tinjauan tentang nelayan pelintas batas terkait MoU Box 1974.
Dokumen Presentasi. Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan
Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Page | 61