Anda di halaman 1dari 42

ANALISIS KASUS HAZARD DAN RISIKO

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keselamatan Pasien dan
Keselamatan Kesehatan Kerja dalam Keperawatan

Dosen Pembimbing:
Ns. Septiyanti., S. Kep., M. Pd

Disusun oleh:
Kelompok 4

Agung Robby I (P0 5120420 001) Wisti Agustina (P0 5120420 034)
Elda Damayanti (P0 5120420 007) Woelan Okta. A (P0 5120420 035)
Tria Pratiwi (P0 5120420 031) Yohana Dewi. A (P0 5120420 036)
Widya Oktari (P0 5120420 032) Yola Anggraeni (P0 5120420 037)
Winda Aprilia (P0 5120420 033)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu kegiatan dalam mata kuliah
Keselamatan Pasien dan Keselamatan Kesehatan Kerja dalam Keperawatan
sebagai tugas yang harus diselesaikan. Makalah juga menjadi salah satu aspek
penilaian dalam nilai akhir yang digunakan sebagai nilai tambah. Kami membuat
makalah ini yang berjudul “Analisis Kasus Hazard dan Risiko” berdasarkan
sistematika yang diberikan Dosen Pembimbing dengan menggunakan Buku
Panduan dan dari berbagai literatur sebagai sumber referensi utama.
Penulisan makalah ini juga sebagai pelatihan bagi kami sebagai bekal
untuk pembuatan Karya Tulis Ilmiah yang nanti akan berguna bagi kami dan
menjadi dasar dari nilai akhir. Oleh karena itu makalah merupakan salah satu
aspek yang sangat penting dalam kegiatan belajar di lingkungan pendidikan kami.
Kritik dan saran yang membangun selalu diterima demi sempurnanya
makalah ini. Akhirnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.

Bengkulu, Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Pendahuluan........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2
BAB II ISI.........................................................................................................................3
A. Cedera Punggung (Back Injury).........................................................................3
B. Paparan Penyakit Menular (Exposure to Communicable Disease)..................9
C. Cedera Akibat Pasien Agresif (Injury from Aggressive Clients).....................11
D. Cedera Tertusuk Jarum Suntik (Needle Stick Injury)....................................13
E. Paparan Bahan Kimia Berbahaya (Exposure to Hazardous Chemicals)........14
F. Kecelakaan (Accidents).....................................................................................20
G. Alergi Lateks (Latex Allergies).........................................................................22
H. Stres dalam Bekerja (Stress from Work)..........................................................29
I. Risiko Berdiri Terlalu Lama (Long Standing Risks).......................................32
BAB III PENUTUP........................................................................................................37
A. Kesimpulan........................................................................................................37
B. Saran..................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan
memegang peranan penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. WHO
(2013) mencatat, dari 39,47 juta petugas kesehatan di seluruh dunia, 66,7%-
nya adalah perawat. Di Indonesia, perawat juga merupakan bagian terbesar
dari tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit yaitu sekitar 47,08% dan
paling banyak berinteraksi dengan pasien (Depkes RI, 2014). Ada sekitar dua
puluh tindakan keperawatan, delegasi, dan mandat yang dilakukan dan yang
mempunyai potensi bahaya biologis, mekanik, ergonomik, dan fisik terutama
pada pekerjaan mengangkat pasien, melakukan injeksi, menjahit luka,
pemasangan infus, mengambil sampel darah, dan memasang kateter
(Anggrianti, 2017).
Hasil penelitian di beberapa negara membuktikan bahwa rumah sakit
adalah salah satu tempat kerja yang berbahaya dan perawat adalah salah satu
petugas kesehatan yang berisiko untuk mengalami gangguan kesehatan dan
keselamatan kerja akibat dari pekerjaannya. Sebagai gambaran, biro statistik
ketenagakerjaan dan Konsil Nasional Asuransi Amerika (2013)
menyimpulkan pada rumah sakit di Amerika setiap 100 jam kerja terjadi 6,8
kejadian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK). Angka ini
menempatkan kecelakaan kerja dan PAK di rumah sakit sedikit lebih tinggi
dibanding dengan kecelakaan kerja dan PAK di sector lainnya, seperti sektor
konstruksi, manufaktur, dan pelayanan profesional dan bisnis lainnya.
Sebanyak 48% kecelakaan kerja disebabkan karena penggunaan tenaga/otot
yang berlebihan oleh perawat ketika menangani pasien, seperti mengangkat,
memindahkan atau menjangkau pasien, dan peralatan medis lainnya. Selain
itu, 54% jenis kecelakaan yang dialami berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal, seperti sprain dan strain otot, dan hal ini menempatkan
gangguan muskuloskeletal sebagai penerima klaim kompensasi terbesar dari

1
2

biaya rumah sakit. Kerugian material yang harus dikeluarkan dari kecelakaan
kerja dan PAK setiap tahunnya sekitar 2 Milyar US$ (Anggrianti, 2017).
Penelitian lainnya di negara berkembang seperti India juga
menyimpulkan hasil yang sama. Nayak et al (2016) melaporkan dalam 1
tahun terakhir 5,4% perawat rumah sakit di India mengalami luka akibat
tertusuk jarum suntik, 7,4% mengalami varises, dan 56,9% mengalami stres
kerja. Situasi menegangkan yang sering dialami perawat adalah tindakan
kekerasan dan pelecehan dari pasien. Sementara itu data-data tentang
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada petugas kesehatan rumah
sakit di Indonesia belum tercatat dan dilaporkan dengan baik, hal ini
mengindikasikan penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit
di Indonesia masih memerlukan upaya perbaikan.
Usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko gangguan
kesehatan dan keselamatan kerja dari aktivitas pekerjaan yang dilakukan
perawat yaitu pengelolaan risiko atau dikenal dengan manajemen risiko.
Menurut standar Australia/New Zealand (2004), pada dasarnya manajemen
risiko bersifat pencegahan terhadap terjadinya kerugian maupun kecelakaan
kerja. Langkah-langkah pengelolaan risiko dilakukan secara berurutan yang
bertujuan untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik
dengan melihat risiko dan dampak yang kemungkinan ditimbulkan. Tujuan
dari manajemen risiko itu sendiri adalah meminimalkan kerugian dengan
urutan terdiri dari penentuan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko,
evaluasi risiko, pengendalian risiko, monitor dan evaluasi, serta komunikasi
dan konsultasi (Anggrianti, 2017).

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan hasil analisis kasus dari hazard dan risiko pada perawat?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hasil analisis kasus hazard dan risiko pada perawat
BAB II
ISI

A. Cedera Punggung (Back Injury)


1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah cedera punggung (back injury)
2. Risiko yang terjadi pada cedera punggung:
a. Cedera tulang belakang
b. Cedera pada saraf
c. Perubahan postur tubuh
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi cedera punggung:
Biasanya low back pain hilang secara spontan. Kekambuhan sering
terjadi karena aktivitas yang disertai pembebanan tertentu. Penderita yang
sering mengalami harus diteliti untuk menyingkirkan kelainan neurologik
yang mungkin tidak jelas sumbernya. Berbagai telaah yang dilakukan
untuk melihat perjalanan penyakit menunjukkan bahwa proporsi pasien
yang masih menderita low back pain selama 12 bulan adalah sebesar 62%
(kisaran 42 % - 75 %), agak bertentangan dengan pendapat umum bahwa
90% gejala low back pain akan hilang dalam 1 bulan. Penanganan terbaik
terhadap penderita LBP adalah dengan menghilangkan penyebabnya
(kausal) walaupun tentu saja pasien pasti lebih memilih untuk
menghilangkan rasa sakitnya terlebih dahulu (simptomatis). Jadi perlu
digunakan kombinasi antara pengobatan kausal dan simptomatis. Secara
kausal, penyebab nyeri akan diatasi sesuai kasus penyebabnya. Misalnya
untuk penderita yang kekurangan vitamin saraf akan diberikan vitamin
tambahan. Para perokok dan pecandu alkohol yang menderita LBP akan
disarankan untuk mengurangi konsumsinya. Pengobatan simptomatik
dilakukan dengan menggunakan obat untuk menghilangkan gejala-gejala
seperti nyeri, pegal, atau kesemutan. Pada kasus LBP karena tegang otot
dapat dipergunakan Tizanidine yang berfungsi untuk mengendorkan
kontraksi otot (muscle relaxan). Untuk pengobatan simptomatis lainnya
kadang-kadang memerlukan campuran antara obat-obat analgesik, anti
inflamasi, NSAID, obat penenang, dan lain-lain.

3
4

4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus


cedera punggung:
Fokus yang paling utama untuk pengendalian risiko seyogianya
diarahkan pada faktor risiko utama yang teridentifikasi, sesuai dengan
prinsip manajemen risiko dan tujuan ergonomi yaitu seni penerapan
teknologi untuk menyerasikan dan menyeimbangkan sarana yang
digunakan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik
fisikmaupun mental. Risiko LBP pada perawat dapat dikurangi, sesuai
dengan hirarki pengendalian risiko di dalam bidang keselamatan dan
kesehatan kerja, dengan demikian maka pengendalian teknik diutamakan
dalam pengendalian risiko akibat pekerjaan membungkuk, disusul
pengendalian adminstratif dan baru terakhir mempergunakan alat
pelindung diri bila masih tersisa risiko yang tidak dapat diterima
(Kurniawidjaja, Purnomo, Maretti, & Pujiriani, 2014).
Disarankan menggunakan tempat tidur yang tingginya dapat
disesuaikan seperti di RSS, dengan demikian perawat dapat menyesuaikan
tinggi tempat tidur dengan tinggi badannya sehingga mengurangi sudut
lengkung punggung. Selain itu, juga perlu untuk disediakan tempat duduk
yang tingginya dapat dinaikkan atau diturunkan, agar perawat dapat
menyesuaikan tinggi tempat tidur sejajar dengan bagian bawah siku
lengan atasnya saat memberikan pelayanan dengan durasi lebih dari dua
menit dan berulangulang, seperti pada saat menjahit luka, menyuntik
intravena, dan juga memasang infus pada pasien dehidrasi (Kurniawidjaja
et al., 2014).
Pasien dehidrasi sering kali mengalami hipotensi dan venanya
seolah-olah menghilang sehingga sulit untuk dapat dijangkau.
Selanjutnya, sudut lengkung tubuh juga perlu dikurangi saat mengukur
urin, disarankan menyediakan meja atau troli agar perawat dapat bekerja
dengan tubuh tegak, meja dinding selebar 30 cm dalam kamar mandi, atau
toilet juga merupakan solusi yang baik Begitu pula, pekerjaan untuk dapat
mengangkatdan memindahkan pasien disarankan agar dapat
5

menggunakan tempat tidur rawat dan brankar pasien yang ketinggiannya


dapat disesuaikan, dengan demikian kesenjangan ketinggian antara tempat
tidur dan juga brankar transportasi dapat dihindari, maka postur
membungkuk juga dapat diminimalkan.
Selain itu, untuk mengurangi beban frekuensi, maka rasio jumlah-
perawat pasien minimal harus dipenuhi, perawat harusdilatih agar
pekerjaan mengangkat dan memindahkan pasien minimal dilakukan oleh
2 orang perawat yang kompeten dalam teknik pemindahan pasien,
perawat yang tidak terlatih terbukti merupakanfaktor risiko LBP yang
signifikan.
5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus cedera
punggung:
a. Menggunakan bangku untuk pekerjaan yang membungkuk pada saat
memberikan pelayanan pasien yang sedang berbaring di tempat tidur
b. Melakukan teknik angkat angkut pasien dengan benar
c. Melakukan perengangan otot
d. Tidak merokok
e. Melakukan kegiatan olahraga secara teratur untuk meningkatkan
kekuatan dan kelenturan otot penyangga tulang belakang
6. Konsep Teori Low Back Pain (LBP)
Low back pain merupakan salah satu gangguan muskuloskletal
yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik (Maher & Pellino,
2002). Hampir dari 80 % penduduk pernah mengalami low back pain
dalam siklus kehidupannya dan low back pain merupakan keluhan nomor
dua yang sering muncul setelah keluhan pada gangguan sistem
pernafasan. Low back pain dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
muskuloskeletal, gangguan psikologis dan mobilisasi yang salah. Menurut
Smeltzer & Bare (2002) kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan
oleh salah satu dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal: regangan
lumbosakral akut, ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan
otot, stenosis tulang belakang, masalah diskus invertebralis,
6

ketidaksamaan panjang tungkai). Low back pain diklasifikasikan ke dalam


dua kelompok yaitu kronik dan akut. Low back pain akut terjadi dalam
waktu kurang dari 12 minggu. Sedangkan low back pain kronik terjadi
dalam waktu 3 bulan
a. Faktor Risiko Low Back Pain (LBP)
1) Faktor Pekerjaan
Berikut ini faktor-faktor pekerjaan yang mampu
menyebabkan terjadinya cidera otot atau jaringan tubuh:
a) Posisi saat Bekerja
Posisi tubuh saat bekerja yang menyimpang dari normal
dan dilakukan secara berulang akan meningkatkan resiko
terjadinya LBP. Kriteria Penilaian sikap tubuh:
 Sikap tubuh normal: tegak/sedikit membungkuk 0-20º dari
garis vertical
 Sikap tubuh fleksi sedang: membungkuk 20-45º dari garis
vertikal
 Sikap tubuh fleksi berlebih: membungkuk >45º dari garis
vertical
 Sikap tubuh fleksi ke samping atau berputar: menekuk ke
samping kanan atau kiri atau berputar >15º dari vertical
LBP pada pekerja dengan sikap tubuh fleksi sedang pada kasus
lima kali lebih banyak dari kontrol dan pada pekerja dengan
sikap tubuh fleksi berlebih, fleksi ke samping dan berputar
enam kali lebih banyak dari kontrol
b) Masa Bekerja
Masa bekerja merupakan lamanya seseorang bekerja di
suatu perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut, MSDs
merupakan penyakit kronis yang membutuhkan waktu lama
untuk bermanifestasi. Jadi semakin lama seseorang bekerja di
suatu perusahaan atau semakin lama terpajan oleh faktor
resiko, maka semakin tinggi pula terjadinya MSDs.
7

c) Durasi Bekerja
Ketika manusia duduk, beban yang diterima lebih berat
6-7 kali dari berdiri. Jika riding position-nya salah, bagian
tulang belakang yakni vertebra lumbal 2-3 akan terserang LBP.
Durasi bekerja yang produktif adalah 8-10 jam sehari.
Diperkirakan apabila lebih dari 10 jam produktivitas kerja akan
menurun.
d) Repetisi
Pengulangan gerakan kerja yang terjadi secara terus
menerus dengan pola yang sama mampu meningkatkan
terjadinya LBP. Hal ini dapat terlihat dimana frekuensi
pekerjaan yang harus dikerjakan tinggi, sehingga pekerja harus
terus menerus bekerja sesuai sistem yang ada. Gerakan bekerja
yang berulang mampu menyebabkan degenerasi tulang
punggung daerah lumbal.
e) Pekerjaan statis
Pekerjaan dengan postur yang dinamis, memiliki resiko
MSDs lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan yang
menuntut postur statis. Hal ini disebabkan karena dengan
postur yang statis mampu menurunkan sirkulasi darah dan
nutrisi pada jaringan otot.
f) Pekerjaan yang membutuhkan tenaga atau beban
Pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar akan
memberikan beban mekanik yang besar terhadap otot, tendon,
ligamen, dan sendi. Beban yang berat tersebut akan
menyebabkan iritasi, inflamasi otot, kerusakan otot, tendon dan
jaringan lainnya.
2) Faktor Individu
a) Usia
8

Usia mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap


keluhan otot, terutama otot leher dan bahu. Pada usia 50-60
tahun kekuatan otot menurun sebesar 25%, kemampuan
sensoris motoris menurun sebesar 60%, dan kemampuan fisik
seseorang berusia > 60 tahun akan menurun hingga 50% dari
seseorang yang berumur 25 tahun.
b) Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi terjadinya keluhan
otot. Hal ini secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih
rendah daripada pria. Berdasarkan beberapa penelitian yang
menunjukkan prevalensi kasus MSDs lebih tinggi wanita
dibanding pria dengan perbandingan keluhan otot antara pria
dan wanita adalah 1:3.
c) Kebiasaan Merokok
Beberapa penelitian mengatakan bahwa riwayat merokok
berhubungan dengan terjadinya keluhan otot. Semakin lama
dan semakin tinggi kebiasaan merokok, maka semakin tinggi
pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok
mampu menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga
kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen juga menurun. Bila
seseorang dituntut untuk melakukan tugas yang berat, maka
akan cepat lelah karena kandungan oksigen dalam darah
rendah. Nikotin pada rokok mampu menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen dalam darah, sehingga otot
mudah lelah.
d) Kebiasaan Olahraga
Aerobic fitness meningkatkan kontraksi otot. Delapan
puluh persen (80%) kasus LBP disebabkan karena kurangnya
kelenturan tonus otot atau kurang berolahraga.
e) Tinggi Badan
9

Berdasarkan penelitian oleh NIOSH dipaparkan bahwa


tinggi seseorang berpengaruh terhadap herniated lumbar disc
pada jenis kelamin pria dan wanita serta pendeknya seseorang
berpengaruh terhadap keluhan leher dan bahu.

f) Obesitas
Obesitas atau kegemukan adalah terjadinya penimbunan
lemak di jaringan lemak tubuh. Keadaan ini diakibatkan
konsumsi kalori tidak seimbang dengan kebutuhan energi.
Seseorang dikatakan obesitas apabila berat badan lebih dari
20% dari berat badan ideal. Berat badan berlebihan (obesitas)
menyebabkan tonus abdomen melemah, sehingga
menimbulkan kelelahan pada otot paravertebra, hal ini
merupakan faktor resiko terjadinya LBP.

B. Paparan Penyakit Menular (Exposure to Communicable Disease)


1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah paparan penyakit menular
2. Risiko yang terjadi pada kasus paparan penyakit menular:
Penularan penyakit melalui kontak langsung, percikan, udara, kendaraan
penular (seperti makanan, air dan permukaan yang terkontaminasi) serta
vektor.
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi kasus penularan penyakit menular:
a. Jarak fisik/menjaga jarak
b. Higienitas: menyediakan disinfektan untuk tangan dan mencuci
tangan dengan sabun dan air
c. Menjaga kebersihan
d. Alat Perlindungan Diri (APD) yang lengkap Manajemen yang harus
dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus
4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus
Manajemen Risiko Penyakit Menular:
10

a. Melakukan kebersihan tangan menggunakan hand sanitizer jika


tangan tidak terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan
terlihat kotor
b. Menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut
c. Terapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut
dengan lengan atas bagian dalam atau tisu, lalu buanglah tisu ke
tempat sampah
d. Pakailah masker medis jika memiliki gejala pernapasan dan
melakukan kebersihan tangan setelah membuang masker
e. Menjaga jarak (minimal 1 m) dari orang yang mengalami gejala
gangguan pernapasan
5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus paparan
penyakit menular:
a. Kebersihan tangan dan pernapasan
b. Penggunaan APD sesuai risiko
c. Pencegahan luka akibat benda tajam dan jarum suntik
d. Pengelolaan limbah yang aman
e. Pembersihan lingkungan, dan sterilisasi linen dan peralatan perawatan
pasien
6. Konsep Teori Alergi
Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah
dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun
melalui perantara). Penyakit menular (comunicable diseasse) adalah
penyakit yang disebabkan oleh transmisi infectius agent/produk toksinnya
dari seseorang/reservoir ke orang lain/susceptable host (Irwan, 2017).
Cara penularan (Mode of Transmission) penyakit yaitu:
a. Penularan langsung yakni penularan penyakit terjadi secara langsung
dari penderita atau resevoir, langsung ke penjamu potensial yang baru
b. Penularan tidak langsung yakni penularan penyakit terjadi dengan
melalui media tertentu seperti melalui udara (air bone) dalam bentuk
11

droplet dan dust, melalui benda tertentu (vechicle borne), dan melalui
vektor (vector borne) (Irwan, 2017).
WHO pada tahun 2000 mencatat kasus infeksi akibat tertusuk
jarum suntik yang terkontaminasi virus diperkirakan mengakibatkan
Hepatitis B sebesar 32%, Hepatitis C sebesar 40%, dan HIV sebesar 5%
dari seluruh infeksi baru Panamerican Health Organization tahun 2017
memperkirakan 8-12% SDM Fasyankes sensitif terhadap sarung tangan
latex (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
Berdasarkan data Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan tahun 1987-2016
terdapat 178 petugas medis yang terkena HIV AIDS. Penelitian yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 85%
suntikan imunisasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan ternyata tidak
aman (satu jarum dipakai berulang) dan 95% petugas kesehatan mencoba
ketajaman jarum dengan ujung jari. Selain itu dari hasil penelitian Start
dengan Quick Investigation of Quality yang melibatkan 136 Fasyankes
dan 108 di antaranya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
menunjukkan bahwa hampir semua petugas Puskesmas belum memahami
dan mengetahui tentang kewaspadaan standar (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018).

C. Cedera Akibat Pasien Agresif (Injury from Aggressive Clients)


1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah cedera akibat pasien agresif
2. Risiko yang terjadi pada kasus cedera akibat pasien agresif:
a. Cedera fisik
b. Cedera psikologi (gangguan emosional)
c. Percobaan bunuh diri
d. Risiko jatuh
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi kasus cedera akibat pasien agresif:
a. Lakukan restrain pada pasien
12

b. Penanganan luka/cedera yang dialami


c. Terapi perilaku (emosional) sesuai kejadian (Muttaqin, 2008)
4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus
cedera akibat pasien agresif:
a. Melakukan pelatihan keperawatan kejiwaan
b. Memperbaiki fasilitas ruangan agar aman (Indragiri & Yuttya, 2017)
5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus cedera akibat
pasien agresif:
a. Perawat mengetahui kondisi-kondisi yang terjadi pada pasien
sehingga dalam penanganan akan sesuai dengan asuhan keperawatan
yang benar
Mengetahui kondisi yang terjadi dengan pasien ini berkaitan
dengan asuhan keperawatan yang akan diberikan. Perawat harus
mampu mengetahui kondisi yang dialami pasien ini dapat dilakukan
dengan melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, membaca mimik
dan ekspresi wajah dan lain-lain.
b. Perawat harus melakukan tindakan yang tepat dalam mengerjakan
tugasnya
Ketika perawat melakukan tugasnya dengan benar maka tidak
akan terjadi kecelakaan terhadap pasien sehingga angka keselamatan
pasien akan meningkat.
6. Konsep Teori Cedera Akibat Pasien Agresif
Cedera adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal
diakibatkan karena keadaan patologis. Cedera adalah kerusakan fisik yang
terjadi ketika tubuh manusia tiba-tiba mengalami penurunan energy dalam
jumlah yang melebihi ambang batas toleransi fisiologi atau akibat dari
kurangnya satu atau lebih elemen penting seperti oksigen.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri atau orang lain, disertai dengan amuk, gaduh gelisah yang
tidak terkontrol. Perilaku kekerasan/agresif adalah sikap atau perilaku
13

atau kata-kata yang menggambarkan perilaku amuk, permusuhan dan


potensi untuk merusak secara fisik (Kusumawati & Hartono, 2010).
Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari
kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC), kejadian
nyaris cedera (KNC), dan kejadian potensial cedera (KPC).
D. Cedera Tertusuk Jarum Suntik (Needle Stick Injury)
1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah cedera tertusuk Jarum Suntik
2. Risiko yang terjadi pada cedera jarum suntik adalah penularan penyakit
melalui jarum suntik seperti HBV dan AIDS
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi cedera tertusuk jarum suntik:
a. Mencuci tangan 6 langkah dengan air mengalir
b. Melakukan penanganan luka
4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus:
a. Manajemen Risiko Penyakit Menular
1) Menggunakan APD yang lengkap (masker, handscoon ketika
kontak langsung dengan pasien yang memiliki diagnosa penyakit
menular maupun tidak menular)
2) Melakukan tindakan dengan penerangan yang cukup
3) Penyediaan tempat penampungan sampah medis tajam (safety
box)
4) Memahami informasi tentang SOP kewaspadaan standar dan
tindakan injeksi yang aman (Mallapiang, Azriful, Nildawati, &
Septiani, 2019)
5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus cedera
tertusuk jarum suntik:
a. Sebelum melakukan tindakan atau injeksi perawat menggunakan APD
terutama handscoon dan masker
b. Memperhatikan lingkungan sekitar pasien, agar saat tindakan perawat
lebih bisa konsentrasi
14

6. Konsep Teori Cedera Tertusuk Jarum Suntik


Cedera akibat tusukan jarum pada petugas kesehatan merupakan
masalah yang signifikan dalam institusi pelayanan kesehatan dewasa ini
diperkirakan lebih dari satu juta jarum digunakan setiap tahun oleh tenaga
perawat. Ketika perawat tanpa sengaja menusuk dirinya sendiri dengan
jarum suntik yang sebelumnya masuk ke dalam jaringan tubuh pasien,
perawat berisiko terjangkit sekurang-kurangnya dua patogen potensial.
Dua patogen yaitu hepatitis B (HBV) dan menyebabkan masalah ialah
virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) Selain itu juga rawan adalah
saat petugas kesehatan melakukan recapping (memasukan dengan tangan
jarum suntik bekas pakai pada tutupnya sebelum dibuang) (Pangalila,
Sekeon, & Doda, 2017).
Injeksi adalah salah satu metode medis yang paling sering
digunakan untuk memperkenalkan obat atau zat lain ke dalam tubuh
untuk tujuan pengobatan atau pencegahan. Di sarana pelayanan kesehatan
yang terbatas, jarum suntik digunakan kembali tanpa melalui proses
sterilisasi dan desinfeksi tingkat tinggi. Dibeberapa negara, proporsi
injeksi yang tidak aman adalah 70%. Praktik injeksi yang tidak aman
seperti menggunakan spuit dan jarum yang tidak steril, dapat
menyebabkan penularan 32 % Hepatitis B Virus (HBV), 40 % Hepatitis C
Virus (HCV), dan 5% Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Cedera akibat jarum suntik telah dikenal secara luas sebagai
sumber pajanan patogen yang ditularkan melalui darah untuk pekerja
terutama pada mereka yang bekerja di sektor kesehatan. Ada lebih dari 20
patogen yang ditularkan melalui darah yang dapat ditularkan dari yang
terkontaminasi jarum atau benda tajam, termasuk hepatitis B (HBV),
hepatitis C (HCV), dan human immunodeficiency virus (HIV).
Risiko penularan HIV mengikuti cedera jarum berongga sekitar
0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk HCV dan 30% untuk HBV. Di
seluruh dunia, lebih dari 100 petugas kesehatan telah tertular HIV yang
15

diakibatkan oleh cedera akibat jarum suntik akibat faktor pekerjaan dan
ribuan lainnya HBV atau HCV.

E. Paparan Bahan Kimia Berbahaya (Exposure to Hazardous Chemicals)


1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah terpapar bahan kimia berbahaya
2. Risiko yang terjadi pada kasus terpapar bahan kimia berbahaya, yaitu:
a. Iritasi kulit
b. Luka bakar
c. Iritasi mata
d. Iritasi saluran pernapasan
e. Alergi
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi kasus terpapar bahan kimia:
a. Terpapar bahan kimia pada mata
Mata yang terkena bahan kimia berbahaya diperlukan untuk
segera melakukan pembilasan air mengalir selama 15-20 menit. Tidak
semua bahan kimia memiliki efek yang sama pada mata (beberapa
bahan kimia tidak menimbukan iritasi, namun beberapa bahan kimia
lain dapat menimbulkan cedera parah). Berikut periode waktu yang
diperlukan untuk membilas mata dengan air:
1) 5 menit untuk bahan kimia non iritan atau iritan sedang
2) 15-20 menit untuk bahan kimia iritan sedang hingga iritan berat
dan bahan kimia yang dapat menyebabkan toksis jika terserap
pada kulit
3) 30 menit untuk bahan kimia bersifat korosif
4) 60 menit untuk basa kuat seperti natrium, kalium atau kalsium
hidroksida.
Pembilasan air perlu segera dilakukan setelah bahan kimia mengenai
mata atau kulit. Jika kondisi yang terjadi parah maka memerlukan
perawatan darurat di rumah sakit terlebih jika saluran pernafasan
terganggu. Jika diperlukan pembilasan dengan air harus terus
dilakukan selama perjalanan menuju rumah sakit.
16

b. Terpapar bahan kimia melalui pernapasan


Ketika terjadi pemaparan bahan kimia melalui udara maka perlu
dengan segera untuk menghirup udara segar yang memiliki
kandungan oksigen tinggi. Direkomendasikan untuk dapat menghirup
oksigen menggunakan tabung oksigen darurat dan melakukan
pemeriksaan di rumah sakit. Hal ini bertujuan agar dapat dilakukan
perawatan dan pemeriksaan yang lebih teliti.

c. Terpapar bahan kimia melalui pencernaan


Muntah tidak bisa menjadi selalu pertolongan pertama ketika
bahan kimia tertelan secara sengaja atau tidak sengaja. Berikut
beberapa alasan mengapa muntah tidak dapat menjadi pertolongan
pertama jika menelan bahan kimia:
1) Jumlah bahan kimia yang tertelan oleh orang dewasa memiliki
jumlah yang kecil yaitu sekitar 14-21 ml.
2) Tidak ada bukti yang pasti jika memuntahkan bahan kimia yang
tertelan memberikan hasil yang lebih baik dari pada jika
mendiamkan.
3) Memuntahkan bahan kimia dapat menimbulkan resiko yang lebih
besar terutama dalam kondisi darurat. Misalnya seperti ketika
muntah kemudian mengalami tersedak dapat menyebabkan bahan
kimia masuk kedalam saluran nafas.
4) Perawatan medis di rumah sakit merupakan jalan terbaik untuk
menangani kejadian tertelannya bahan kimia karena dokter dan
tenaga medis lainnya dapat memberikan tindakan terbaik.
Sering kali kita mendengar ketika menelan bahan kimia atau racun
perlu segera mengkonsumsi susu untuk penetral racun. Namun
menurun evaluasi dari The American Heart Association dan American
Red Cross bahwa seseorang yang menelan bahan kimia atau racun
tidak perlu mengkonsumsi apapun melalui mulut.
17

Mempersiapkan penetral racun merupakan upaya pertolongan


pertama yang dapat dilakukan. Direkomendasikan pada klinik atau
rumah sakit terdekat lingkungan kerja mengetahui bahan kimia yang
digunakan agar dapat memiliki persediaan penetral racun.
d. Terpapar bahan kimia pada kulit
Pertolongan pertama jika terpapar bahan kimia pada kulit dapat
dilakukan berdasarkan kondisi iritasi dan jenis bahan kimianya.
Berikut beberapa upaya untuk pertolongan pertama pada kulit:
1) Jika terjadi iritasi pada kulit akibat paparan bahan kimia maka
dapat dibersihkan dengan lembut.
2) Jika bahan kimia yang mengenai kulit berbentuk padat maka perlu
membilas menggunakan air kulit yang terkontaminasi. Jika bahan
kimia berbentuk cair dan dapat menembus pakaian maka perlu
segera melepas pakaian dan membilas tubuh dengan menggunakan
air. Segera dapatkan perawatan medis di rumah sakit.
3) Jika terjadi radang dingin akibat bahan kimia maka perlu segera
mendapatkan perawatan medis dan sangat tidak diperbolehkan
untuk menggosok atau menyiram dengan air. Untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan yang lain maka tidak diperbolehkan
untuk melepas pakaian (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir Badan
Tenaga Nuklir Nasional, 2016).
4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus
terpapar bahan kimia berbahaya:
a. Identifikasi dan Inventarisasi Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
yang di Rumah Sakit
1) Mengidentifikasi jenis, lokasi, dan jumlah semua Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) dan instalasi yang akan ditangani
untuk mengenal ciri-ciri dan karakteristiknya. Diperlukan
penataan yang rapi dan teratur, hasil identifikasi diberi label atau
kode untuk dapat membedakan satu dengan lainnya.
18

2) Mengawasi pelaksanakan kegiatan inventarisasi, penyimpanan,


penanganan, penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
b. Menyiapkan dan Memiliki Lembar Data Keselamatan Bahan
(Material Safety Data Sheet)
Informasi mengenai bahan-bahan berbahaya terkait dengan
penanganan yang aman, prosedur penanganan tumpahan, dan prosedur
untuk mengelola pemaparan sudah yang terbaru dan selalu tersedia.
c. Menyiapkan sarana keselamatan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
1) Lemari Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
2) Penyiram badan (body wash);
3) Pencuci mata (eyewasher);
4) Alat Pelindung Diri (APD);
5) Rambu dan Simbol Bahan Berbahaya dan Beracun (B3); dan
6) Spill Kit
d. Pembuatan Pedoman dan Standar Prosedur Operasional Pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang Aman
1) Menetapkan dan menerapkan secara aman bagi petugas dalam
penanganan, penyimpanan, dan penggunaan bahanbahan dan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
2) Menetapkan dan menerapkan cara penggunaan alat pelindung diri
yang sesuai dan prosedur yang dipersyaratkan sewaktu
menggunakannya.
3) Menetapkan dan menerapkan pelabelan bahan-bahan dan limbah
berbahaya yang sesuai.
4) Menetapkan dan menerapkan persyaratan dokumentasi, termasuk
surat izin, lisensi, atau lainnya yang dipersyaratkan oleh peraturan
yang berlaku.
5) Menetapkan mekanisme pelaporan dan penyelidikan (inventigasi)
untuk tumpahan dan paparan, Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
6) Menetapkan prosedur untuk mengelola tumpahan dan paparan.
e. Penanganan Keadaan Darurat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
19

1) Melakukan pelatihan dan simulasi tumpahan Bahan Berbahaya


dan Beracun (B3).
2) Menerapkan prosedur untuk mengelola tumpahan dan paparan
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
3) Menerapkan mekanisme pelaporan dan penyelidikan (inventigasi)
untuk tumpahan dan paparan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus terpapar


bahan kimia berbahaya:
a. Mengikuti pelatihan sebelum menangani obat-obatan berbahaya dan
terus memperbarui informasi yang baru
b. Mengikuti panduan penanganan obat-obatan berbahaya
c. Menggunakan BSC dalam penyiapan obat-obatan berbahaya
d. Menggunakan sarung tangan, jubah, dan pelindung respirasi dan
pelindung muka secara konsisten
e. Mencuci tangan setelah melakukan penanganan obat-obatan
berbahaya dan segera melepaskan APD secara tepat
f. Memusnahkan material yang terkontaminasi dengan obat-obatan
berbahaya secara terpisah dengan limbah lainya dalam kontainer
khusus.
g. Membersihkan tumpahan obat-obatan berbahaya segera sesuai
prosedur dan kebijakan rumah sakit
h. Menjalankan prosedur pelaporan dan tindak lanjut apabila terjadi
pajanan obat-obatan berbahaya sesuai prosedur dan kebijakan rumah
sakit
6. Konsep Teori Terpapar Bahan Kimia
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlah, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat membahayakan kesehatan,
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup serta mencemarkan
20

dan/atau merusak lingkungan hidup sekitarnya. Limbah Bahan Berbahaya


dan Beracun (B3) adalah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung B3. Untuk di Rumah Sakit, limbah medis termasuk limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Risiko yang dapat mengakibatkan perawat pada resiko terpajan zat
kimia adalah seperti penggunaan sarung tangan lateks, menggunakan
deterjen dan solven; manipulasi obat-obatan antineoplastik dan antibiotik;
agen antivirus seperti gansiklovir; inhalasi gas anestik; pajanan
formaldehid dan glutaraldehid dan gas sterilisasi.
Penggunaan desinfektan dan zat sterilisasi (misal; glutaraldehid,
etilen oksida), obat-obatan berbahaya, pajanan lateks, medikasi yang
tumpah, material karsinogenik, gas atau cairan yang membius termasuk
bahaya kimia. Penggunaan desinfektan dan zat sterilisasi dapat
mengakibatkan dermatitis dan asma. Penanganan obat-obat kemoterapi
atau antineoplastik juga dapat membahayakan perawat. Xelegati et al
(2006) menyatakan dari 53 perawat yang diteliti 100% terpapar antibiotik
dan benzene, 99.1% iodin, 88,7% bedak lateks, 86,7% antineoplastik,
79,2% glutaraldehid dan 75,5% etilen oksida; paparan tersebut
menyebabkan gangguan kesehatan seperti keluarnya air mata, reaksi
alergi, mual dan muntah.

F. Kecelakaan (Accidents)
1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah kecelakaan (terjatuh)
2. Risiko yang terjadi pada kasus kecelakaan (terjatuh):
a. Luka
b. Strain
c. Nyeri
d. Dislokasi
e. Memar
f. Kurangnya kemampuan untuk merawat pasien
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi kasus kecelakaan (terjatuh):
21

a. Istirahatkan diri dari pekerjaan terlebih dahulu


b. Bersihkan apabila terjadi luka
c. Lakukan konsultasi ke dokter apabila terjadi dislokasi, strain hingga
fraktur
d. Laporkan kejadian kepada pihak manajemen rumah sakit

4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus


kecelakaan (terjatuh):
a. Membuat kebijakan pelaporan apabila terdapat kerusakan pada lantai,
tumpahan air/minyak dan lainnya yang dapat menyebabkan insiden
terjatuh
b. Membuat persediaan dan produk-produk pembersih dan keselamatan
mudah diakses oleh semua staf.
c. Masukkan kesadaran slip, trip, dan fall (STF) dan pencegahan ke
dalam pelatihan keselamatan rutin.
d. Lakukan kampanye di dalam fasilitas layanan kesehatan melalui stan,
poster, email dan media lainnya yang mendidik karyawan tentang
risiko STF di tempat kerja dan apa yang dapat mereka lakukan untuk
mencegah cedera.
e. Perkuat penggunaan peralatan pencegahan (pegangan tangan dan alas
kaki yang sesuai misalnya)
f. Berikan umpan balik kepada karyawan tentang cara kerja fasilitas
terkait dengan tingkat cedera STF (Bell, Collins, Dalsey, & Virginia,
2010)
5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus kecelakaan
(terjatuh):
a. Bersihkan area yang mungkin terdapat tumpahan air dan laporkan
pada petugas
b. Pakailah sepatu anti slip
c. Jangan gunakan pakaian yang panjangnya menyentuh hingga lantai
d. Keringkan alas kaki apabila baru terkena air
22

e. Perhatikan area rumah sakit yang mungkin dapat menyebabkan STF


f. Apabila terdapat panggilan darurat (emergency) harus tetap bergerak
cepat dengan hati-hati untuk mengurangi risiko STF
6. Konsep Teori Kecelakaan (Terjatuh)
Insiden terkait tergelincir, tersandung dan jatuh dapat sering
mengakibatkan cedera serius yang melumpuhkan yang mempengaruhi
kemampuan karyawan layanan kesehatan untuk melakukan pekerjaannya.
Statistik Tenaga Kerja AS (2009) menyebutkan tingkat kejadian cedera
tergelincir, tersandung dan jatuh (STF) pada hari kerja di rumah sakit
adalah 38,2 per 10.000 karyawan. STF secara keseluruhan adalah
penyebab paling umum kedua dari cedera pada hari kerja di rumah sakit.
Analisis klaim cedera kompensasi pekerja dari rumah sakit
menunjukkan bahwa ekstremitas bawah (lutut, pergelangan kaki, kaki)
adalah bagian tubuh yang paling sering terluka saat terjadi STF dan sifat
cedera paling sering adalah terkilir, tegang, dislokasi, dan robekan. Selain
itu, STF secara signifikan lebih mungkin menyebabkan patah tulang dan
banyak cedera daripada jenis cedera lainnya.
Kecelakaan kerja di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan
kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Sebagai faktor
penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas
serta keterampilan pekerja yang kurang memadai (Bell et al., 2010).

G. Alergi Lateks (Latex Allergies)


1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah alergi sarung tangan lateks
2. Risiko yang terjadi pada alergi sarung tangan lateks:
a. Hipersensitivitas Langsung (Tipe I): Gejala dapat termasuk urtikaria,
asma, rinitis, konjungtivitis, edema orbit, angioedema, edema bibir,
dan anafilaksis
b. Hipersensitivitas Lambat (Tipe IV): Gejala umum termasuk eritema,
bengkak, kulit pecah-pecah, gatal, mengeluarkan cairan, dan kulit
kering.
23

c. Dermatitis Kontak Iritan: Gejala yang muncul adalah kemerahan,


lecet, kulit kering, pecah-pecah dan mengelupas (American
Association of Nurse Anesthestistis, 2018)
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi alergi sarung tangan lateks:
a. Mencuci bagian luar sarung tangan dengan cermat sesudah dipakai
b. Melepaskan sarung tangan pelan-pelan dan meletakkannya di tempat
yang tepat
c. Tidak menarik lepas, mengibaskan dan melemparkan sarung tangan
ke dalam tempat pembuangan
d. Selalu mencuci tangan dengan cermat sesudah melepaskan sarung
tangan
e. Memakai sarung tangan bebas serbuk (non lateks)
f. Penggunaan kortikosteroid topikal jika terdapat lesi. Jika disertai
infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik oral maupun topikal
g. Pada lesi akut dan luas dapat diberikan kortikosteroid sistemik dengan
dosis 40-60 mg/hari atau prednisolone 1mg/kgBB selama dua minggu
tanpa tapering.
h. Untuk mengatasi pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin
H1 (AH1) yang berkeja sebagai inhibitor kompetitif histamine
(Anonim, 2004)
4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus
alergi sarung tangan lateks:
a. Dorong karyawan untuk melaporkan gejala apa pun kepada atasan
langsung mereka
b. Anjurkan petugas layanan kesehatan dengan alergi lateks tentang opsi
perawatan. Petugas kesehatan dengan alergi lateks yang dikonfirmasi
harus mengikuti langkah-langkah ini untuk membantu mengurangi
gejala dan paparan di masa depan
c. Menyediakan sarung tangan non-lateks saja
d. Hindari area di mana sarung tangan lateks atau produk lateks lainnya
digunakan dan dibagikan
24

e. Hindari kontak dengan produk lateks


f. Cari pengobatan untuk alergi
g. Jika memungkinkan permintaan untuk memindahkan petugas ke
lingkungan yang aman lateks atau 'zona aman' yang didefinisikan
sebagai area di mana produk non-lateks digunakan dan protein lateks
telah dihapus dari lingkungan, memahami kebijakan pegawai dalam
hal melindungi pegawai yang peka NRL di tempat kerja
h. Fasilitas harus mengembangkan, memelihara, dan secara teratur
memperbarui sistem basis data yang berisi semua produk lateks,
penggantinya, dan mendokumentasikan kasing dengan reaksi terkait
lateks (American Association of Nurse Anesthestistis, 2018)
5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus alergi sarung
tangan lateks:
a. Mengidentfikasi alergi tertentu dengan berkonsultasi dengan dokter
jika perlu
b. Menggunakan sarung tangan non lateks seperti sarung tangan nitril
c. Melaporkan tanda-tanda dan gejala alergi yang timbul berulang
d. Memeriksa rumah untuk mengetahui apakah ada barang yang
mengandung unsur NRL
e. Merawat kulit dengan seksama, karena kulit merupakan barier imun
alami
f. Menghindari kontak dengan agen yang menyebabkan alergi tertentu,
baik secara langsung maupun dengan yang mengapung di udara
g. Segera mengupayakan perawatan medis untuk gangguan kulit
(Anonim, 2004)
6. Konsep Teori Alergi Sarung Tangan Lateks
Sarung tangan yang mengandung NRL (Natural Rubber Latex)
merupakan barrier tangan penting dan pemakaiannya menjadi bagian
integral dari praktek perawatan kesehatan. Meskipun sarung tangan
memberikan perlindungan sangat baik terhadap penyebaran agen-agen
25

infeksi, sarung tangan bedah khususnya telah dikaitkan dengan reaksi


kulit merugikan pada beberapa pemakai.
NRL adalah suatu jenis karet tertentu yang berasal dari getah putih
pohon Hevea brasiliensis. Bahan ini digunakan untuk membuat sarung
tangan bedah dan banyak produk lain untuk perawatan kesehatan dan
konsumen. Kebanyakan orang secara tetap terdedah pada NRL karena
bahan ini terdapat dalam barang-barang seperti pakaian, mainan, ban,
bahan pengedap pintu dan jendela dan elastik.
Sebagian besar sarung tangan bedah masih dibuat dari NRL karena
sulit untuk meniru manfaat NRL dalam hal elastisitas, rasa enak dipakai,
kekuatan, barier, daya tahan terhadap alkohol dan kehematannya. NRL
juga merupakan produk alami yang dapat dibiogradasikan, serta tidak
mengandung produk sampingan petroleum atau dioksina.
a. Risiko yang terjadi dari alergi sarung tangan lateks:
Hipersensitivitas Hipersensitivitas Lambat
Dermatitis kontak iritan
Langsung (Tipe I) (Tipe IV)
Penyebab Reaksi Terdedah pada alergen Kontak langsung dengan  Sering mencuci tangan
Merugikan tertentu secara langsung alergen tertentu (seringkali dan tidak dikeringkan
atau dengan yang bahan kimia seperti dengan baik.
mangapundi udara. akselerator kimia).  Teknik mencuci
tangan yang agresif
dan detergen.
 Keadaan iklim yang
ekstrim.
 Eksema atau
dermatitis yang sudah
ada sebelumnya.
 Gerakan abrasif
mekanis dari serbuk
sarung tangan.
 Kulit melunak karena
lama memakai sarung
tangan.
 Perbedaan kulit antara
perorangan.
Mekanisme Antigen lateks yang Masuknya antigen Tidak ada mekanisme
Alergi beredar berhubungan- menyebabkan alergi.
silang dengan reseptor IgE terbentuknya sel-sel T,
pada sel-sel mast dan yang sudah tersensitifkan
melepaskan histamin dan terhadap antigen tertentu.
mediator kimia lain.
Respons Pelepasan mediator kimia Pelepasan agen-agen Peradangan lokal.
Fisiologi mengakibatkan vasodilasi, peradangan lokal, seperti
26

meningkatnya sitokina dan makrofage.


permeabilitas pembuluh
darah kapiler, leukositosis
darah dan jaringan.
Gejala Dan Efek kulit: Akut:  Eritema
Tanda- Tanda  Ruam.  Eritema.  Pecah dan lecet
Klinis  Urtikaria lokal dan  Pruritis atau gatal.  Kering dan
umum.  Lepuh dengan kulit mengelupas
Efek sistemik: pecah- pecah,  Retak dan merekah.
 Oedema. mengerak atau  Gatal berlebihan dan
 Rinokonjungtivitis dan mengelupas. rasa panas.
asma atau Kronis:  Kadang-kadang lepuh.
pembengkakan dan  Kekeringan secara
gatal pada kulit yang kronis Tanda-tanda klinis sangat
terdedah, terutama  Kulit merekah jelas dan terbatas di tempat
pada muka.  Kulit menebal dan terjadinya kontak dengan
 Mata gatal dan berair; warna bertambah sarung tangan.
hidung gatal dan gelap
ingusan.  Eksema atau
 Bersin dan sulit dermatitis.
bernafas, batuk dan
nafas berbunyi. Tanda-tanda klinis
 Merasa pusing atau mungkin terjadi di luar
ringan kepala tempat terjadinya kontak.
disebabkan oleh
tekanan darah rendah.

Pada orang yang alergi,


efek sistemik dapat
berkembang menjadi
reaksi anafilaksis. Kasus
ini jarang terjadi.
Waktu Mulainya Biasanya 5-30 menit 6-48 jam. Dalam waktu beberapa
Reaksi sesudah kontak mula-mula, menit atau beberapa jam
tetapi dapat terjadi dengan (tergantung pada
segera. perorangan).
Rekomendasi  Upayakan diagnosa  Gunakanlah merk  Kurangilah kontak
yang pasti dan sarung tangan yang dengan agen
rekomendasi dari dicuci atau penyebab.
dokter berkualifikasi. dilelehkan (leached)  Ikutilah disiplin
 Pakailah gelang selama proses perawatan kulit secara
peringatan medis pembuatan untuk teratur.
(medical alert mengurangi residu  Hindarilah krem
bracelet). bahan kimia yang tangan dengan bahan
 Hindarilah kontak mungkin dasar minyak/lemak.
dengan NRL. menyebabkan alergi.  Pakailah sarung tangan
 Bergantilah dengan  Hindarilah produk bebas serbuk.
sarung tangan sintetis yang mengandung
(non-NRL). bahan kimia tertentu
yang menyebabkan
alergi.
 Upayakan diagnosa
yang pasti dan
rekomendasi dari
27

dokter
berkualifikasi.

b. Faktor-Faktor yang Dapat Menyebabkan Terjadinya Alergi Sarung


Tangan Lateks
1) Seringnya dan lamanya terdedah pada NRL
2) Berkali-kali terdedah pada lateks untuk waktu yang lama
3) Kerusakan kulit atau penyakit kulit yang sudah ada
4) Sebelumnya sebagai akibat sering mencuci tangan, mencuci
tangan secara intensif (scrub) dan abrasi serbuk sarung tangan
5) Tidak mencuci tangan sesudah memakai sarung tangan
6) Berkeringat di bawah sarung tangan
7) Barier kulit alami yang menurun, seperti luka terpotong atau kulit
merekah pada tangan
8) Kontak antara alergen dengan selaput lendir, seperti mulut, hidung
atau bagian lain saluran pernafasan
9) Masuknya alergen ke dalam sistem peredaran
c. Alergen Lateks
Lateks memiliki 2 jenis alergen yaitu:
1) Antigen kimia
Bahan-bahan kimia yang terutama (major sensitizer)
ditambahkan dalam proses pembuatan rubber yaitu akselerator dan
antioksidan yang mencapai lebih dari 90%. Akselerator yang
ditambahkan pada NRL terdiri dari Thiuram-mix, Carba-mix dan
Mercapto-mix.
Akselerator adalah bahan kimia yang mempercepat proses
pengikatan antara sulfur dan bahan sarung tangan. Sulfur
digunakan untuk mengikat bahan sarung tangan ke dalam struktur
‘unsur dasar/ruang’ (‘matrix/lattice’ structure), yang membuat
bahan itu bisa merentang dan menyusut kembali. Ini
memungkinkan proses pembuatan yang lebih cepat dengan mutu
yang konsisten. Residu akselerator dapat menyebabkan iritasi pada
28

kulit yang dapat mengakibatkan gatal-gatal, kulit menjadi merah


dan dermatitis kontak. Ada tiga golongan utama akselerator kimia,
yaitu Tiuram, Ditiokarbamat dan Merkaptobenzotiazola.
2) Antigen protein
Untuk menganalisa alergen protein yang terdapat pada NRL
menggunakan 2-D elektroforesis. Pada NRL ditemukan lebih dari
250 jenis protein / polipeptida dan hanya 30 jenis yang dapat
berikatan dengan antibodi IgE serum penderita alergi NRL.
Alergen protein NRL yang umumnya dijumpai pada pekerja
kesehatan, yaitu Hev b 5: 62%, Hev b 6 : 65% dan Hev b 7: 41%
sedangkan pada anak-anak penderita spina bifida yaitu Hev b 1,
Hev b 3.
NRL sebagian besar dikoagulasi (88%) menggunakan asam
dengan pH 4,5 dan dibuat menjadi lembaran-lembaran kering atau
crumb rubber. Sebaliknya NRL yang tidak dikoagulasi (12%)
hanya diberikan ammonia 0,7% (high-ammoniated NRL) atau
kombinasi 0,2% ammonia dengan thiuram (low-ammoniated NRL)
dan selanjutnya dengan metode dipping dibuat produk seperti
sarung tangan karet, balon dan kondom.
Selama proses pengolahan dan pembuatan produk NRL
ditambahkan beberapa bahan kimia. Bahan-bahan kimia yang
sering menimbulkan alergi terhadap NRL, yaitu akselerator dan
antioksidan. Bahan-bahan tambahan (additive) ini bersifat sebagai
sensitizers. Pada proses pembuatan sarung tangan karet
ditambahkan powder yang berfungsi sebagai pelicin sehingga
protein yang terdapat pada NRL akan berikatan dengan powder.
Powder tersebut bertindak sebagai protein carrier NRL dan
merupakan suatu airbone allergens. Dengan demikian, proses
sensitisasi terhadap lateks dapat terjadi melalui kontak dengan kulit
atau mukosa, kontak peritoneal selama pembedahan dan inhalasi
airbone allergens.
29

d. Pemeriksaan Diagnostik Alergi NRL atau bahan kimia lainnya:


Tes Indikasi Metodologi Risiko pada perorangan
Tes plester (patch test) Menilai hipersensitivitas Lengan diberi setetes Rendah sampai tinggi.
baik terhadap alergen ekstrak sarung tangan yang
kimia maupun protein. dapat larut, atau potongan
sarung tangan karet.
Tempat ini diperiksa
sesudah waktu tertentu
(biasanya 20 menit) untuk
melihat respons kulit.
Tes tusuk kulit (Skin Menilai hipersensitivitas Protein yang dapat larut Tinggi (harus tersedia
prick test) terhadap alergen protein. larut diambil dari potongan peralatan penyadar)
sarung tangan dan
Tidak digunakan untuk dilarutkan.
diagnose rutin Lengan diberi setetes
hipersensitivitas terhadap larutan ini, kemudian
lateks. ditusuk dengan lanset.
Reaksi yang timbul
dibandingkan dengan
larutan garam (saline)
sebagai kontrol negatif dan
histamin atau kodein
sebagai kontrol positif.
Tes radio-alergosorben Ukuran kuantitatif antibodi Metode ini menggunakan Tingkat risiko berkurang
(RAST) IgE terhadap alergen sampel darah dari karena menggunakan tes
(Radio-allergosorbent tertentu dalam serum perorangan yang diduga darah tanpa orang
test) perorangan yang diberi tes. peka NRL. Mengukur bersangkutan terdedah pada
antibodi IgE tertentu alergen.
terhadap alergen NRL.
Menurut laporan RAST
memiliki sensitivitas 80%
dan spesifisitas 100% pada
perorangan yang non-
atopik.
Tes provokasi dalam Tes ini digunakan jika hasil Perorangan harus memakai Tinggi (harus tersedia
pemakaian (In-use tes tusuk kulit tidak sesuai salah satu jari atau seluruh peralatan penyadar).
provocation test) dengan sejarah kasusnya. sarung tangan NRL pada
Perorangan yang hasil tes satu tangan, dan pada
tusuk kulit atau RAST tangan yang lain memakai
menunjukkan sedikit sarung tangan PVC sebagai
positif selalu harus diberi kontrol negatif. Orang
tes ini untuk memastikan tersebut kemudian
adanya alergi. diperiksa selama 15 menit
untuk melihat apakah ada
gejala yang timbul.
(Anonim, 2004)

H. Stres dalam Bekerja (Stress from Work)


1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah stress dalam bekerja
2. Risiko yang terjadi pada stress dalam bekerja:
30

a. Gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis


b. Meningkatnya kesalahan dalam penanganan pasien
c. Jika lama dapat juga mengalami gangguan sistem kardiovascular,
gangguan sistem muskuloskeletal,g angguan jiwa (Herqutanto,
Harsono, Damayanti, & Setiawati, 2017)

3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi stress dalam bekerja:


Menurut Unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta:
a. Menyeimbangkan lingkungan sosial dan pekerjaan
b. Tenangkan pikiran dan teknik relaksasi
c. Lakukan kegiatan sesuai kemampuan
d. Istirahat dan tidur yang cukup
4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus
stress dalam bekerja:
a. Memberikan pelatihan manajemen stress
b. Melakukan sistem roling atau pergantian shift yang efektif dan efisien
c. Manajemen perawat agar beban dan jam kerja seimbang
d. Fasilitas dan lingkungan yang nyaman (Widodo, Priyono, & Herman,
2018)
5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus stress dalam
bekerja
a. Kenali batas kemampuan anda
b. Konsumsi makanan yang sehat
c. Lakukan olahraga yang teratur
d. Hindari konflik
e. Istirahat dan tidur yang cukup
f. Disipin waktu dan pekerjaan
6. Konsep Teori Stress dalam Bekerja
31

Stres kerja adalah kondisi ketika stessor kerja secara sendiri atau
bersama faktor lain berinteraksi dengan karakteristik individu,
menghasilkan gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis (Colligan
et al., n.d.).
Jika berlangsung lama, gangguan itu dapat mengganggu sistem
kardiovaskuler, gangguan jiwa, gangguan muskuloskeletal, dan gangguan
kesehatan lain. Selain itu stres kerja dapat berhubungan dengan
kecelakaan dan kekerasan di tempat kerja. Stres kerja juga dapat
menyebabkan organizational strain dalam bentuk absensi, penurunan
performa kerja, peningkatan angka cedera dan turn-over karyawan.
Keperawatan adalah profesi dengan pajanan berbagai situasi yang
berpotensi menimbulkan stres di tempat kerja. Sumber stres dalam profesi
keperawatan berhubungan dengan interaksi terhadap pasien dan profesi
kesehatan lain. Perawat memiliki banyak tugas yang harus dilakukan
dibandingkan profesi lain. Hasil penelitian Persatuan Perawat Nasional
Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan 50,9% perawat Indonesia
pernah mengalami stres kerja, dengan gejala sering pusing, kurang
ramah, merasa lelah, kurang istirahat akibat beban kerja berat serta
penghasilan tidak memadai. Menurut data Kementerian Kesehatan RI
tahun 2014 jumlah perawat di Indonesia mencapai 237.181 orang, dengan
demikian angka kejadian stres kerja pada perawat cukup besar.
Surilena et al mendapatkan faktor konflik peran dan beban kerja
berlebih secara kualitatif berhubungan dengan stres kerja, sedangkan
tanggung jawab personal, pengembangan karir, beban kerja berlebih
secara kuantitatif, dan ketidakjelasan peran tidak berhubungan dengan
stres kerja. Yana mendapatkan faktor individu (kepercayaan diri) dan
dukungan (dukungan atasan) merupakan faktor yang berhubungan dengan
tingkat stres kerja, sedangkan usia, masa kerja, jenis kelamin, status
pernikahan, pendidikan, dan status kepegawaian tidak berhubungan
dengan stres kerja. Revalicha tidak menemukan hubungan antara kerja
shift di instalasi rawat inap medik dengan stres kerja. Almasitoh yang
32

meneliti di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta menemukan


hubungan antara konflik peran ganda dan dukungan sosial dengan stres
kerja.
Di rumah sakit, perawat berperan sangat penting karena bagian

keperawatan memberikan pelayanan selama 24 jam. Perawat juga


dituntut selalu siap dan siaga selama melaksanakan pelayanan, juga harus
memeriksa secara berkala dan terus menerus perkembangan kesehatan
pasien selama dalam perawatan. Di sisi lain, konflik di tempat kerja dapat
mempengaruhi kehidupan rumah tangga dan sebaliknya konflik rumah
tangga dapat mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian
konflik peran ganda rawan terjadi dalam kehidupan keluarga dan
pekerjaan seorang perawat. Dituntut kemampuan untuk menyesuaikan
dan menyeimbangkan kedua peran tersebut agar dapat memberikan
pelayanan terbaik bagi pasien.
Faktor lain adalah dukungan sosial dari tempat kerja yang dapat
berkontribusi pada produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Rumah
sakit dan FKTP memberikan dukungan sosial yang berbeda. Karakteristik
pekerjaan di rumah sakit dengan beban kerja lebih tinggi kurang mampu
memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan perawat. Dukungan sosial
rekan kerja berhubungan secara langsung dengan integrasi seseorang pada
lingkungan sosial di tempat kerja. Rekan kerja yang mendukung
menciptakan situasi tolong menolong, bersahabat, dan bekerja sama akan
menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan serta menimbulkan
kepuasan dalam bekerja. Dukungan sosial mengacu pada kenyamanan,
peduli, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk seseorang dari orang
lain atau kelompok. Dukungan dapat datang dari pasangan atau kekasih,
organisasi, keluarga, teman, dokter, atau komunitas.
Orang yang memiliki dukungan sosial percaya bahwa mereka
dicintai dan dihargai, serta merasa sebagai bagian dari jaringan sosial,
seperti keluarga atau komunitas organisasi yang dapat membantu pada
saat dibutuhkan. Jadi, dukungan sosial mengacu pada tindakan yang
33

dilakukan oleh orang lain (received support). Dukungan juga mengacu


pada pengertian atau persepsi seseorang bahwa kenyamanan, kepedulian,
dan bantuan akan tersedia jika diperlukan (perceived support).

I. Risiko Berdiri Terlalu Lama (Long Standing Risks)


1. Bahaya yang terjadi pada kasus adalah risiko berdiri terlalu lama
2. Risiko yang terjadi pada kasus berdiri terlalu lama:
Berdiri merupakan salah satu postur alami manusia yang
sebenarnya tidak menimbulkan bahaya kesehatan tertentu. Tapi jika
dilakukan dalam jangka waktu yang lama hal ini akan mempengaruhi
kondisi tubuh, sama seperti halnya bahaya bekerja teralalu lama duduk.
Bekerja dalam posisi berdiri untuk jangka waktu panjang secara teratur
bisa menyebabkan kaki sakit, pembengkakan kaki, varises, kelelahan otot
umum, nyeri pinggang serta kekakuan pada leher dan bahu.
3. Hal yang harus dilakukan jika terjadi risiko berdiri terlalu lama:
a. Saat waktu istirahat tiba, manfaatkan dengan duduk di kursi dan
posisikan kaki sedikit lebih tinggi dari tempat duduk Anda.
b. Selain itu, selama Anda bekerja, ubahlah posisi Anda secara rutin saat
berdiri. Gerakkan kaki kanan dan kiri bergantian, ke depan atau ke
belakang guna melancarkan aliran darah di daerah tersebut.
c. Hal yang juga tak kalah penting adalah menjaga pola makan, lakukan
aktivitas fisik dengan teratur, dan jaga berat badan tetap ideal untuk
mengurangi beban yang tertumpu pada tungkai dan kaki
4. Manajemen yang harus dilakukan rumah sakit untuk mencegah kasus
risiko berdiri terlalu lama:
Rumah Sakit perlu menyusun sebuah program manajemen risiko
fasilitas/lingkungan/proses kerja yang membahas pengelolaan risiko
keselamatan dan kesehatan melalui penyusunan manual K3RS, kemudian
berdasarkan manual K3RS yang ditetapkan dipergunakan untuk membuat
rencana manajemen fasilitas dan penyediaan tempat, teknologi, dan
sumber daya. Organisasi K3RS bertanggung jawab mengawasi
34

pelaksanaan manajemen risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja dimana


dalam sebuah Rumah Sakit yang kecil, ditunjuk seorang personil yang
ditugaskan untuk bekerja purna waktu, sedangkan di Rumah Sakit yang
lebih besar, semua personil dan unit kerja harus dilibatkan dan dikelola
secara efektif, konsisten dan berkesinambungan.

5. Upaya yang harus dilakukan perawat untuk mencegah kasus berdiri


terlalu lama:
a. Menggunakan alas kaki yang nyaman serta tidak mengubah bentuk
kaki. Jika memang harus menggunakan sepatu bertumit sebaiknya
pilihlah tinggi sepatu yang kecil atau di bawah 5 cm.
b. Usahakan untuk duduk disela-sela waktu kerja atau setidaknya ketika
ada waktu istirahat
c. Melakukan peregangan secara teratur misalnya setidaknya 30 menit
atau 1 jam, peregangan dilakukan untuk mengurangi tekanan pada
kaki, bahu, leher dan kepala.
d. Mengubah posisi kerja secara teratur, sehingga seseorang hanya
melakukan satu posisi dalam jangka waktu pendek.
e. Jika memungkinkan, bisa mengubah posisi kerja secara teratur,
sehingga hanya melakukan satu posisi dalam jangka waktu pendek
dan lebih fleksibel untuk bergerak
f. Lantai kerja dilapisi alas berbahan yang lebih empuk untuk
mengurangi kelelahan saat berdiri terlalu lama
g. Jika lantai kerja licin, gunakan sepatu anti slip agar tidak mudah
tergelincir saat beraktivitas
h. Konsumsi makanan rendah lemak dan bergizi, tidur yang cukup, dan
olahraga secara teratur untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
6. Konsep Teori Risiko Berdiri Terlalu Lama
35

Semakin besar nilai risiko ergonomi maka semakin besar pula


kemungkinan terjadinya keluhan nyeri otot baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang. Semakin lama pekerja bekerja dengan
postur janggal, semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan kondisi tersebut sehingga dampak kelelahan yang
ditimbulkan semakin kuat dan menyebabkan keluhan nyeri otot.
Aktivitas kerja mekanik ini dilakukan dengan postur statis dan
postur janggal seperti berdiri dan menunduk dalam waktu lama, gerakan
repetitif dan membutuhkan ketelitian. Dari beberapa penelitian yang
dilakukan oleh pakar-pakar fisiologi kerja ditemukan bahwa postur kerja
yang tidak alamiah seperti sikap statis dalam waktu lama dapat
mengakibatkan gangguan pada sistem otot rangka atau MSDs.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai keluhan nyeri kaki dapat
diketahui bahwa 100% pekerja memiliki keluhan nyeri kaki dan mayoritas
pekerja memiliki keluhan nyeri kaki dengan kategori ringan. Berdasarkan
hasil wawancara keluhan nyeri kaki yang dirasakan oleh pekerja berupa
rasa sakit, nyeri, pegal, kesemutan, kram yang terus menerus dirasakan
akibat pekerjaan. Keluhan nyeri yang dirasakan sebagian besar terjadi
pada area betis dan paha dikarenakan pekerja menopang komponen
kendaraan menggunakan paha sehingga berat tubuh lebih condong
bertumpu pada satu kaki.
Keluhan nyeri kaki dapat menurunkan kemampuan pergerakan,
efisiensi, dan ketahanan otot sehingga akan mempengaruhi produktivitas
kerja. Selain itu setiap pekerja memiliki cara yang berbeda dalam
mengatasi rasa nyeri kaki saat bekerja, seperti melakukan peregangan dan
relaksasi ditempat atau sekedar berjalan, mengganti posisi tubuh saat
terasa nyeri dengan posisi yang lebih nyaman, menahan rasa nyeri hingga
berkesempatan untuk istirahat, dan sebagainya. Dengan kata lain semua
pekerja memilliki kemungkinan yang sama dalam mengalami rasa nyeri
kaki dan yang membedakan ialah faktor individu sendiri.
36

Berdiri dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan perubahan


pada sistem tubuh. Menurut teori, terdapat tiga dampak yang ditimbulkan
ketika seseorang berdiri dalam waktu yang lama tanpa istirahat atau
peregangan, yaitu tekanan pada sendi, insufisiensi aliran balik darah ke
kaki, dan kelelahan otot. Saat seseorang yang berdiri dalam waktu lama,
akan mengakibatkan aliran darah ke jantung terhambat dikarenakan tidak
optimal melawan efek gravitasi bumi.14 Berdiri dalam waktu yang lama
mengakibatkan kontraksi otot sehingga menghalangi kelancaran
peredaran darah dan mengakibatkan terjadinya refluks darah (darah akan
menggenang dan statis di pembuluh darah vena sehingga menyebabkan
pembengkakan). Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang berdiri
lebih dari 50% waktu bekerjanya maka pekerja tersebut memiliki risiko
mengalami nyeri kaki lebih tinggi dibanding pekerja yang hanya berdiri
sebentar ketika bekerja.15 Untuk itu peregangan sangat dibutuhkan
sebelum memulai pekerjaan untuk mempersiapkan otot, saat tubuh telah
merasa lelah, maupun saat jeda setelah melakukan pekerjaan (Anggrianti,
2017).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya untuk
menciptakan perlindungan dan keamanan dari risiko kecelakaan dan bahaya
baik fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan,
masyarakat dan lingkungan. Jadi kesehatan dan keselamatan kerja tidak
melulu berkaitan dengan masalah fisik pekerja, tetapi juga mental, psikologis
dan emosional.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu unsur yang
penting dalam profesi perawat. Oleh karena itulah sangat banyak berbagai
peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur masalah
kesehatan dan keselamatan kerja. Meskipun banyak ketentuan yang mengatur
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi masih banyak faktor di
lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja yang disebut
sebagai bahaya kerja dan bahaya nyata.

B. Saran
Sebagai mahasiswa/i keperawatan, kita harus mengetahui apa itu hazard
dan risiko dalam bekerja agar kita dapat memperhatikan keselamatan dalam
bekerja baik dari segi perawat maupun pasien.

37
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Nurse Anesthestistis. (2018). Latex Allergy


Management Guidelines. Retrieved from
https://www.aana.com/docs/default-source/practice-aana-com-web-
documents-(all)/latex-allergy-management.pdf?sfvrsn=9c0049b1_8
Anggrianti, S. M. (2017). Hubungan Antara Postur Kerja Berdiri Dengan Keluhan
Nyeri Kaki Pada Pekerja Aktivitas Mekanik Section Welding Di Pt. X.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 5(5), 369–377.
Anonim. (2004). Pengelolaan Alergi Lateks. Retrieved from
file:///C:/Users/BUKANS~1/AppData/Local/Temp/calibre_xiuqao/10.pdf
Bell, J., Collins, J. W., Dalsey, E., & Virginia, S. (2010). Slip , Trip , and Fall
Prevention for Healthcare Workers. Colombia: NIOSH.
Colligan, M., Swanson, N., Joseph, H., Scharf, F., Sinclair, R., Grubb, P., …
Tisdale, J. (n.d.). Stress... At Work.
https://doi.org/10.1177/105256298000500315
Herqutanto, Harsono, H., Damayanti, M., & Setiawati, E. P. (2017). Stres Kerja
pada Perawat di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
EJournal Kedokteran Indonesia, 5(1), 12–17.
https://doi.org/10.23886/ejki.5.7444.12-7
Indragiri, S., & Yuttya, T. (2017). Risiko Menggunakan Identification Risk
Assessment and Risk (Hirarc). 1080–1094.
Irwan. (2017). Buku Epidemiologi Menular. Yogyakarta: CV. Absolute Media.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Rumah Sakit. , Pub. L. No. 66, 1689 (2016).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. , Pub. L. No. 52 (2018).
Kurniawidjaja, L. M., Purnomo, E., Maretti, N., & Pujiriani, I. (2014).
Pengendalian Risiko Ergonomi Kasus Low Back Pain pada Perawat di
Rumah Sakit. Majalah Kedokteran Bandung, 46(4), 225–233.
https://doi.org/10.15395/mkb.v46n4.342
Kusumawati, F., & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Maher, S., & Pellino. (2002). Low Back Pain Syndroma. Philadelphia: Davis
Company.
Mallapiang, F., Azriful, Nildawati, & Septiani, H. (2019). Studi Pengendalian
Kejadian Tertusuk Jarum Suntik pada Petugas Instalasi Gawat Darurat RS. X
Kota Makassar. Al-Sihah :Public Health Science Journal, 11(2), 169–184.
Retrieved from http://repositori.uin-alauddin.ac.id/id/eprint/13149
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem

38
39

Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.


Nayak, S., Mayya, S., Chakravarthy, K., Andrews, T., Goel, K., & Pundir, P.
(2016). Work-related injuries and stress level in nursing professional.
International Journal of Medical Science and Public Health, 5(8), 1693.
https://doi.org/10.5455/ijmsph.2016.03122015288
Pangalila, C. M., Sekeon, S. A. S., & Doda, D. V. (2017). Hubungan antara beban
kerja dengan cedera tertusuk jarum suntik pada perawat di rumah sakit
GMIM Kalooran Amurang. Kesmas, 6(4). Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/download/23097/22793
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional. (2016).
Pedoman Keselamatan Kerja. In Widyaiswara Muda LPMP DIY.
Yogyakarta.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.
Widodo, A., Priyono, D., & Herman. (2018). Hubungan Perilaku Agresif Pasien
Gangguan Jiwa Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat Diruang Rawat Inap
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.

Anda mungkin juga menyukai