Anda di halaman 1dari 13

KORELASI ANTARA STATUS IMUNISASI DAN HASIL PASIEN DIFTERI ANAK DI

KABUPATEN SAMPANG, 2011-2015


Kevin Sastra Dhinata1, Atika2, Dominicus Husada3, Dwiyanti Puspitasari3
p-ISSN 0030-9311; e-ISSN 2338-476X; Vol.58, No.3(2018). p. 110-15; doi: http://dx.doi.org/10.14238/pi58.3.2018.110-15

Abstrak
Latar Belakang: Jumlah kasus difteri baru-baru ini meningkat, sehingga wabah dinyatakan di
Provinsi Jawa Timur, yang mencakup Kabupaten Sampang. Status penyelesaian imunisasi
adalah faktor penentu untuk infeksi difteri.
Tujuan: Untuk menyelidiki hubungan antara status imunisasi dan hasil (tingkat keparahan,
kematian, dan komplikasi) pasien difteri di Kabupaten Sampang.
Metode: Penelitian cross-sectional analitik ini menggunakan data sekunder dari Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada pasien dipteria berusia 0-20 tahun selama wabah 2011-
2015 di Kabupaten Sampang dan wawancara dengan pasien difteri di wilayah tersebut. Tim
Peneliti Difteri Rumah Sakit Dr. Soetomo mengumpulkan data tentang status imunisasi,
tingkat keparahan difteri (ringan, sedang, atau berat), fatalitas kasus (meninggal atau selamat),
dan komplikasi pada pasien (dengan atau tanpa komplikasi). Tes tepat Spearman, Chi-square,
dan Fisher digunakan untuk analisis data. Hasil Tujuh puluh satu pasien dengan difteri klinis
diidentifikasi, 17 di antaranya dikonfirmasi dengan hasil kultur positif. Tingkat fatalitas kasus
adalah 7% pada pasien dengan klinis dan 5,9% pada difteri yang dikonfirmasi. Tidak ada
korelasi antara status imunisasi pasien dan tingkat keparahan (P = 0,469 klinis, P = 0,610
dikonfirmasi), atau kematian (P = 0,618 klinis, P = 0,294 dikonfirmasi) dari difteri dalam
klinis dan pasien diphtheria dikonfirmasi. Namun, ada korelasi antara status imunisasi pasien
dan munculnya komplikasi pada klinis (P = 0,013), tetapi tidak pada pasien diphtheria yang
dikonfirmasi (P = 0,620).
Kesimpulan: Ada hubungan antara status imunisasi dan komplikasi pada pasien klinis difteri.
Hubungan seperti itu tidak ditemukan dalam kasus difteri yang dikonfirmasi karena tidak ada
pasien yang memiliki status imunisasi lengkap

Page 1
Diftery penyakit menular akut yang terutama mempengaruhi bayi dan anak-anak
di tahun-tahun awal kehidupan. Jumlah kasus difteri telah menurun di seluruh dunia.
Namun, Pemerintah Provinsi Jawa Timur Indonesia mengumumkan wabah difteri karena
tingginya jumlah kasus difteri di provinsi tersebut, termasuk Kabupaten Sampang. Dari
2009 hingga 2012, ada sekitar 1.870 kasus difteri yang dilaporkan di provinsi ini, dengan
643 kasus didiagnosis secara klinis dengan difteri di pusat-pusat layanan kesehatan. Dari
643 kasus difteri berdasarkan diagnosis klinis, lima puluh di antaranya dikonfirmasi oleh
hasil kultur positif berdasarkan laporan resmi yang dirilis antara 2013 hingga 2014.2,3 Di
Kabupaten Sampang saja, sekitar 91 kasus ditemukan dari 2011 hingga 2015.
Difteri disebabkan oleh eksotoksin bakteri Corynebacterium diphtheria.1 Cara
kerja utama toksin difteri adalah menghambat sintesis protein. Toksin ini dapat menyebar
relatif cepat ke berbagai bagian tubuh, menyebabkan komplikasi pada pasien, seperti
miokarditis dan disfungsi neurologis.4-6 Difteri ditransmisikan terutama oleh tetesan
bersin dan batuk, tetapi juga dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan luka difteri
kulit.7 Awalnya, tanda-tanda dan gejala difteri tidak spesifik, seperti malaise, demam
sekitar 38o Celcius, suara serak, sakit tenggorokan, dan rinore. Ketika penyakit
berkembang, pseudomembran berkembang dalam banyak kasus, yang dapat
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan. Obstruksi ini dapat menyebabkan kematian
pasien.7 Diagnosis pasti difteri dilakukan dengan mendapatkan spesimen dari lesi yang
dicurigai dan membiakkannya di media khusus untuk Corynebacterium diphtheria.4,6,7
Pemeriksaan suportif juga dapat dilakukan untuk membantu proses diagnostik, dalam
bentuk reaksi berantai polimerase (PCR), uji sensitivitas antibiotik untuk
mengidentifikasi resistensi antimikroba, uji Elek untuk mengidentifikasi toksin difteri,
dan uji Shick untuk mengidentifikasi antibodi serum terhadap toksin difteri.8,9
Jumlah kasus difteri telah berkurang secara signifikan sejak penemuan dan
pengenalan vaksinasi difteri. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi terhadap
toksin difteri, terutama IgG dan IgA, membuat toksin tidak dapat berikatan dengan
reseptor toksin selama infeksi di masa depan. 4 Studi telah menunjukkan bahwa dari
banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran difteri di masyarakat, imunisasi paling
menonjol. faktor signifikan dan berpengaruh.10 Kami bertujuan untuk mengidentifikasi

Page 2
korelasi antara status imunisasi dan tingkat keparahan difteri, kematian, dan komplikasi
di Kabupaten Sampang selama wabah difteri dari 2011 hingga 2015.
Metode
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Subjek
penelitian adalah pasien dengan diagnosa klinis difteri di Kabupaten Sampang Pulau
Madura, Jawa Timur. Data diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada
pasien difteri 2011-2015 dan dengan wawancara yang dilakukan terhadap pasien wabah
difteri 2011-2015 di wilayah tersebut oleh Tim Peneliti Difteri Rumah Sakit Soetomo
yang terdiri dari dokter anak, warga, dokter, ahli epidemiologi, kesehatan masyarakat
petugas, perawat, dan mahasiswa kedokteran. Kriteria inklusi adalah pasien dengan
diagnosis klinis difteri, usia maksimum 20 tahun pada saat diagnosis, data lengkap dan /
atau catatan medis, dan didiagnosis tidak dikompromikan oleh dokter medis. Jumlah
minimum yang diperlukan dari subyek dihitung menggunakan rumus uji hipotesis untuk
dua sampel, dan ditemukan menjadi 56.
Hasil
Ada 81 pasien difteri yang tercatat di Kabupaten Sampang selama 2011-2015. Sepuluh
pasien tidak dimasukkan karena berusia ≥ 20 tahun dan / atau data tidak lengkap. Tujuh
puluh satu pasien dengan diagnosis klinis difteri dilibatkan dalam penelitian ini, 17
(23,9%) di antaranya memiliki hasil kultur positif untuk Corynebacterium diphtheriae.
Sebagian besar dari mereka positif untuk mitis biovar, seperti yang dijelaskan dalam
Tabel 1.

Page 3
Sebagian besar pasien difteri adalah wanita dan karakteristik pasien relatif sama antara
kedua kelompok (klinis dan dikonfirmasi difteri). Kedua kelompok didominasi usia 5-9
tahun pada saat infeksi. Kedua kelompok juga memiliki karakteristik usia yang relatif
sama. Tetapi pasien dengan diphtheria yang dikonfirmasi memiliki kisaran usia yang
sedikit lebih sempit pada saat infeksi. Karakteristik subjek dirangkum dalam Tabel 2.
Tabel 2

Pasien difteri ditemukan di 12 dari total 14 kabupaten di Kabupaten Sampang.


Sejumlah besar kasus ditemukan di Kabupaten Banyuates dan Kabupaten Sampang.
Namun, tidak ada pasien yang ditemukan di Kabupaten Sreseh dan Pangarengan, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 1. Ada proporsi yang lebih besar dari diptheria parah
pada pasien tanpa imunisasi lengkap. Namun, uji korelasi Spearman mengungkapkan
tidak ada korelasi yang signifikan antara status imunisasi dan tingkat keparahan difteri
pada pasien dengan difteri klinis dan dikonfirmasi (Tabel 3).

Page 4
Uji pasti Fisher menunjukkan tidak signifikan

Figure 1

Peta distribusi pasien difteri menurut kecamatan di Kabupaten Sampang. Kotak


kiri (font hitam): jumlah pasien dengan difteri klinis; Kotak kanan (font merah): jumlah
pasien dengan diphthania dikonfirmasi. korelasi antara status imunisasi dan status
kematian pada pasien difteri dengan difteri klinis dan dikonfirmasi (Tabel 4).
Komplikasi terjadi pada 26 dari 71 (36,6%) pasien difteri. Sebagian besar pasien
dengan komplikasi mengalami bullneck, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Dari
total 26 pasien yang mengalami komplikasi difteri, 8 di antaranya termasuk dalam
kelompok 17 pasien dengan diphtheria yang dikonfirmasi, yang dianalisis lebih lanjut.
Uji Chi-square mengungkapkan korelasi yang signifikan antara status imunisasi dan
komplikasi pasien dengan difteri klinis, tetapi tidak ada korelasi antara status imunisasi
dan komplikasi pada pasien dengan difteri yang dikonfirmasi (Tabel 6).

Page 5
Tabel 3

Tabel 4

Tabel 5

Page 6
persentase hasil kultur positif yang rendah (17/71, 23,9%) juga dicatat oleh
Puspitasari et al. di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia, di mana
hanya 22,8% pasien memiliki hasil kultur positif.14 Selain itu, Rusmil et al. menemukan
bahwa hanya 1,9% dari subyek yang memiliki kultur positif selama wabah difteri di
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.15 Persentase kultur positif yang
relatif rendah menghasilkan
Tabel 6

Diskusi
Dari 71 subyek, 17 (23,9%) memiliki hasil kultur positif untuk Corynebacterium
diphtheriae, dengan mitis biovar lebih umum daripada gravis biovar. Temuan ini mirip
dengan yang ditemukan dalam studi wabah 1990-an di negara-negara baru yang merdeka
yang sebelumnya merupakan Uni Soviet, di mana mitis biovar mendominasi hasil kultur.
Dua pasien dengan biovar gravis diidentifikasi dalam penelitian kami. Pasien pertama
diidentifikasi pada Desember 2011 dan selamat, tetapi kasus kedua diidentifikasi pada

Page 7
Juli 2015 dan meninggal karena miokarditis. Itu Studi difteri disebabkan oleh sulitnya
pertumbuhan bakteri Corynebacterium diphtheriae dalam medium.16
Fasilitas laboratorium yang terbatas juga berkontribusi terhadap rendahnya
persentase subjek dengan hasil kultur positif.13 Karena Kabupaten Sampang memiliki
fasilitas yang tidak memadai untuk membudidayakan Corynebacterium diphtheriae,
kultur laboratorium dilakukan di Laboratorium Besar Kesehatan Surabaya (Balai Besar
Laboratorium Kesehatan Surabaya) di Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur.
Dalam penelitian kami, kedua kelompok pasien (klinis dan diphtheria dikonfirmasi)
memiliki lebih banyak perempuan daripada pasien laki-laki. Demikian pula, sebuah studi
Hyderabad, India memiliki lebih banyak pasien wanita daripada pasien pria, mulai dari
pasien anak-anak hingga dewasa.17 Analisis multivariat oleh Volkze et al. di Jerman
menemukan bahwa wanita dewasa memiliki respon imun yang lebih lemah dalam bentuk
titer antibodi yang lebih rendah yang juga berlangsung untuk waktu yang lebih singkat
daripada pada pria dewasa. Respons imun yang lebih lemah ini membuat mereka 45%
lebih rentan terhadap difteri daripada pria Dalam penelitian kami, sebagian besar pasien
berusia 5-9 tahun. Temuan ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya titer antibodi dari
pemberian booster yang tidak memadai.16 Difteri juga terjadi sebagian besar pada tahun-
tahun anak usia dini (9 tahun ke bawah) karena kinerja sistem kekebalan yang tidak
memadai.16 Anak usia sekolah mengalami peningkatan frekuensi kontak dengan patogen
penyebab penyakit, yang menyebabkan kekebalan alami yang lebih tinggi terhadap
difteri.19
Kami tidak menemukan korelasi antara status imunisasi dan tingkat keparahan
difteri. Sebuah studi selama wabah di Buri Ram, Thailand juga mencatat tidak adanya
korelasi seperti itu.20 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor lain, seperti
kelembaban perumahan, kepadatan rumah tangga, dan jenis dinding di rumah-rumah
memiliki korelasi yang signifikan dengan tingkat keparahan difteri. 21 Kabupaten
Sampang endemik terhadap difteri, sehingga penduduk mungkin sering kontak dengan
patogen penyebab penyakit. Situasi seperti itu mengarah pada kekebalan alami yang lebih
tinggi terhadap difteri, memungkinkan tingkat keparahan difteri pada pasien untuk
dikompromikan.19 Kami tidak mengukur tingkat antibodi pasien, yang mungkin telah
menunjukkan hubungan langsung antara kekebalan pasien dan keparahan difteri.

Page 8
Kami juga tidak menemukan korelasi antara status imunisasi dan kematian pasien
difteri. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa kekebalan rendah karena gizi buruk,
usia lebih muda, tidak memadai atau tidak adanya imunisasi, dan keterlambatan
pengobatan dapat meningkatkan risiko kematian pada pasien difteri. 22,23 Namun, status
imunisasi adalah satu-satunya variabel, dari yang disebutkan di atas (multifaktorial),
dianalisis dalam penelitian ini. Kami juga menggunakan data status imunisasi dari
wawancara pasien, selain data Dinas Kesehatan Provinsi, yang mungkin menyebabkan
bias mengingat. Namun demikian, kami secara konsisten menemukan bahwa mereka
dengan status imunisasi lengkap menderita penyakit yang kurang parah, dan kematian
yang lebih rendah, walaupun hasilnya tidak signifikan secara statistik.
Kami menemukan korelasi yang signifikan secara statistik antara status imunisasi
dan komplikasi pada pasien dengan difteri klinis, tetapi tidak pada mereka dengan difteri
yang dikonfirmasi. Jumlah pasien dengan diphtheria yang dikonfirmasi lebih kecil secara
signifikan dibandingkan dengan difteri klinis. Imunisasi yang tidak memadai dapat
mengakibatkan risiko komplikasi yang lebih tinggi pada difteri.20 Hal ini ditunjukkan
oleh penelitian difteri di antara pasien alkohol dewasa di Swedia di mana semua pasien
dengan komplikasi neurologis memiliki titer antibodi di bawah 0,01 IU / mL. Tidak ada
penelitian serupa dilakukan pada pasien anak. Imunisasi lengkap terbukti meningkatkan
titer antibodi pada penerima, kemungkinan menurunkan kemungkinan komplikasi.19
Tidak adanya korelasi antara status imunisasi dan komplikasi pada pasien dengan
diphtheria yang dikonfirmasi adalah karena tidak ada kasus diphtheria yang dikonfirmasi
memiliki status imunisasi lengkap. Dengan demikian, dalam kasus diphtheria yang
dikonfirmasi, risiko mengembangkan komplikasi untuk pasien yang tidak lengkap dan
tidak diimunisasi adalah serupa lebih tinggi dibandingkan dengan mereka dengan
imunisasi lengkap
Penelitian ini terbatas karena ada banyak sumber data: rekam medis resmi di
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, data yang diperoleh oleh Tim Peneliti Difteri, dan
anamnesis dari pasien difteri dan keluarga mereka. Data yang diperoleh dari pasien difteri
dan keluarga mereka mungkin mengalami bias mengingat, menyebabkan ketidakakuratan
beberapa bagian data. Selain itu, kami tidak mengukur tingkat antibodi terhadap toksin
difteri, sehingga pengukuran yang lebih objektif tidak dapat dilakukan.

Page 9
Kesimpulannya, ada korelasi yang signifikan antara status imunisasi dan komplikasi pada
pasien dengan difteri klinis, tetapi tidak pada pasien dengan difteri yang dikonfirmasi.
Ketidakhadiran ini kemungkinan karena tidak ada kasus diphtheria yang dikonfirmasi
memiliki imunisasi lengkap untuk difteri.
Konflik kepentingan
Tidak ada yang dinyatakan.
Pengakuan Pendanaan
Para penulis tidak menerima hibah khusus dari agen pendanaan mana pun di sektor
publik, komersial, atau nirlaba.

Page
10
Daftar Pustaka

1. Ogle JW, Anderson MS. Diphtheria in: Hay WM, Levin MJ, Deterding RR, Abzug MJ,

Sondheimer JM, editor. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics, 21st ed. San Francisco:
McGraw-Hill; 2012. p. 1255-7.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012. Surabaya:
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur; 2013. p. 34-36.
3. Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Timur 2014. Kasus difteri di Jatim alami penurunan.
[cited 1 August 2015]. Available from: http://kominfo.jatimprov.go.id/ watch/41913.
4. Carroll KC. Corynebacterium diphtheriae. In: Brooks, GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner

TA, editors. Jawetz, Melnick & Adelberg’s medical microbiology, 26th ed. San Francisco:
McGraw-Hill; 2013. p. 188-190.
5. Kaufmann SHE, Sher A, Ahmed R. Immunology of infectious disease. Washington DC: ASM
Press; 2002. p.207-221
6. Basuki PS, Soegijanto S. Diphtheria. In: Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum
Dokter Soetomo Surabaya. Vol. I, ed. 3. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga;
2008. p. 76-83.
7. Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, Steinbach WJ, Hotez PJ, editors. Felgin and Cherry’s Textbook of

Pediatric Infectious Diseases. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. p. 1301-10.
8. Acang N. Difteri. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam, vol. III 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p. 2955-61.
9. Sunarno, Sariadji K, Wibowo HA. Potensi Gen dtx dan dtxR sebagai marker untuk deteksi dan
pemeriksaan toksigenitas Corynebacterium diphtheriae. Buletin Penelitian Kesehatan. 2013;41:1-10.
10. Pracoyo NE, Roselinda. Survei titer anti bodi anak sekolah usia 6-17 tahun di daerah KLB difteri
dan non KLB di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 2013;41:237-47.
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2016. p. 1-11.
12. Dittmann S, Wharton M, Vitek C, Ciotti M, Galazka A, Guichard S, et al. Successful control of
epidemic diphtheria in the states of the former Union of Soviet Socialist Republics:

Page
11
lesson learned. J Infect Dis. 2000;181:S10-22.
13. Markina SS, Maksimova NM, Vitek CR, Bogatyreva EY, Monisov AA, Diphtheria in the Russian
Federation in the 1990s. J Infect Dis.. 2000;181:S27-34.
14. Puspitasari D, Ernawati, Husada D. Gambaran klinis penderita difteri anak di RSUD Dr.
Soetomo (Clinical features of children with diphtheria on Soetomo Hospital). Media Jurnal
Ners. 2012;7:1-7.
15. Rusmil K, Chairulfatah A, Fadlyana E, Dhamayanti M. Wabah Difteri di Kecamatan Cikalong
Wetan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia. Sari Pediatri. 2011;12(6):397- 403.
16. Felgin RD, Cherry JD, editors. Felgin and Cherry’s textbook of pediatric infectious diseases. 3rd ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 1992. p. 1110-1115
17. Bitragunta S, Murhekar MV, Hutin YJ, Penumur PP, Gupte MD. Persistence of diphtheria in
Hyderabad, India, 2003- 2006. Emerg Infect Dis. 2008;14:1144-6.
18. Volzke H, Kloker KM, Kramer A, Guertler L, Doren M, Baumeister SE, et al. Susceptibility to
diphtheria in adults: prevalence and relationship to gender and social variables. Clin Microbiol
Infect. 2006;12:961-7.
19. Hughes GJ, Mikhail AF, Husada D, Irawan E, Kafatos G, Bracebridge S, et al. Seroprevalence and
determinants of immunity to diphtheria for children living in two districts of contrasting incidence
during an outbreak in East Java, Indonesia. Pediatr Infect Dis J. 2015;34:1152-6.
20. Pantukosit P, Arpornsuwan M, Sookananta K. A diphtheria outbreak in Buri Ram, Thailand.
Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2008;39:690-6.
21. Sari PM, Zain IM. Pengaruh kondisi sanitasi rumah, status imunisasi, dan pengetahuan ibu
terhadap kejadian difteri pada bayi di kota Surabaya. J Mahasiswa Teknologi Pendidikan.
2012;1:1-7.
22. Setiyono, Soetrisno R, Ismail D, Susatya B, Sudiantoro YE, Partatmo A, et al. Difteri pada
anak: faktor-faktor yang mempengaruhi kematian. Berita Kedokteran Masyarakat. 1989;5:5-11.
23. Quick ML, Sutter RW, Kobaidze K, Malakmadze N, Strebel PM, Nakashidze R, et al. Epidemic
diphtheria an outbreak of diphtheria among alcoholics. Scand J Infect Dis. 1986;18:235-9.in the
Republic of Georgia, 1993-1996: risk factors for fatal outcome among hospitalized patients. J
Infect Dis. 2000;181:S130-7.
24. Bjorkholm B, Bottiger M, Christenson B, Hagberg L. Antitoxin antibody levels and the
outcome of illness during

Page
12
Page
13

Anda mungkin juga menyukai