Oleh:
Purwo Subekti/ F361150141, Universitas Pasir Pengaraian
Dedi Dwi Haryadi/ F361150131, Politeknik Negeri Jakarta
Muji Paramuji/ F36115011, Universitas Islam Sumatera Utara
1. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara dengan perkebunan sawit terluas di dunia, pada tahun
2014 luas kebun kelapa sawit mencapai 10,9 juta hektar dengan produksi Crude Palm
Oil (CPO) sebesar 29,3 juta ton dengan jumlah Pabrik Kelapa Sawit 695 unit (BPS 2014).
Perkembangan industri kelapa sawit akan terus meningkat seiring dengan rencana
pemerintah tahun 2020, Indonesia ditargetkan mampu menghasilkan 40 juta ton CPO per
tahun. Rencana tersebut didukung dengan adanya Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
(RKTN) tahun 2011-2030, pemerintah akan mengalokasikan kawasan hutan untuk
dimanfaatkan menjadi sektor perkebunan (Kemenhut 2011).
Perkembangan pesat sektor industri kelapa sawit tersebut ternyata menimbulkan
dampak lain. Dari proses produk CPO, dihasilkan limbah padat dan limbah cair kelapa
sawit. Limbah pabrik kelapa sawit di Indonesia mencapai 28,7 juta ton limbah
cair/tahun dan 15,2 juta ton limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS)/tahun
(Kementerian Pertanian 2008). Berbagai persoalan muncul berkaitan dengan isu
lingkungan yang disebabkan aktivitas industri kelapa sawit. Permasalahan kerusakan
lingkungan ini mendapat perhatian serius dari pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), maupun dunia internasional.
Aktivitas industri minyak sawit mulai dari penanaman, pemupukan, penggunaan
energi, pengolahan limbah dan lainnya diduga sebagai penyebab peningkatan gas rumah
kaca (GRK). GRK merupakan gas-gas yang terdapat di atmosfer, yang menyerap dan
memantulkan kembali radiasi inframerah sehingga berakibat pada peningkatan suhu
bumi (Cicerone 1987). GRK pada industri kelapa sawit yang berkontribusi terhadap
pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida
1
(N2O). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menjelaskan bahwa setiap
GRK mempunyai potensi pemanasan global (Global Warming Potential/GWP) yang diukur
secara relatif berdasarkan emisi CO2. Semakin besar nilai GWP maka akan semakin bersifat
merusak (IPCC 2007).
Environmental Protection Agency (EPA), lembaga pemerintah urusan
lingkungan hidup AS menyatakan bahwa sumberdaya energi terbarukan harus bisa
mengurangi emisi GRK sebesar 20 % (EPA 2011). Apabila hal tersebut tidak dilakukan
maka akan berdampak pada daya beli produk turunan kelapa sawit oleh negara-negara maju.
Sebagai langkah solutif meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia, pemerintah
menerapkan peraturan yang tersusun dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Terdapat 7 prinsip ISPO yang harus dipenuhi perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu
sistem perizinan dan manajemen perkebunan, penerapan pedoman teknis budidaya dan
pengolahan kelapa sawit, pengelolaan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja,
tanggung jawab sosial dan kominitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat, dan
peningkatan usaha secara berkelanjutan. Salah satu kriteria dalam prinsip pengelolaan
lingkungan adalah perusahaan diharuskan melakukan identifikasi sumber emisi GRK
(Ditjenbun 2014). Untuk penanganan dampak lingkungan produksi CPO maka perlu
suatu sistem manajemen yang holistik, sehingga diharapkan akan ditemukan akar
permasalahan dan alternatif pengembangan sistem yang ideal untuk mengatasinya.
Soft Systems Methodology (SSM) adalah sebuah pendekatan holistik di dalam melihat
aspek-aspek riil dan konseptual di masyarakat. SSM dipandang sebagai salah satu strategi
dalam menangani berbagai masalah manajemen yang lahir dari sistem aktivitas manusia
(human activity system) (Bergvall-Kareborn, 2002; Martin, 2008). Serangkaian aktivitas
manusia disebut sebagai sebuah sistem karena setiap aktivitas- aktivitas tersebut saling
berhubungan antara satu sama lainnya dan membentuk suatu ikatan (keterkaitan) tertentu.
Pendekatan soft systems dianggap sebagai metodologi yang sangat produktif untuk
mempelajari setiap aktivitas manusia yang terorganisir di dalam mencapai tujuan-tujuan
tertentu tersebut (Patel, 1995). SSM sangat cocok diimplementasikan sebagai sebuah
kerangka kerja (framework) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus pada
keadaan yang secara hakikatnya masalah tersebut sulit untuk didefinisikan (Martin, 2008;
Sinn, 1998). SSM juga sering dipakai untuk membuat konsep model, memperbaiki tindakan
pragmatis, mencari kompromi, maupun pembelajaran bersama dan partisipatif seperti
pengembangan organisasi dan pengembangan komunitas, dan juga untuk pengembangan
usaha.
2
Seperti pendekatan sistem lainnya, inti dari SSM ini sendiri adalah memberikan
perbandingan antara dunia nyata dengan beberapa permodelan yang diperkirakan
merepresentasikan dunia itu sendiri. Dengan tujuan perbandingan ini nantinya akan
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia nyata (research) dan memberikan
ide-ide perbaikan (action) (Sonata & Prayama, 2011; Checkland & Scholes, 1990;
Brocklesby, 1995). SSM memiliki kapabilitas dalam menyediakan kerangka kerja untuk
memahami masalah yang dihadapi bahkan masalah yang kompleks sekalipun (Daellenbach
& McNickle, 2005). Implementasi SSM pada berbagai disiplin ilmu sudah banyak
diterapkan oleh para pakar, peneliti dan akademisi, mulai dari persoalan struktural,
kebijakan, militer, lingkungan, metode pengajaran, sosial, permasalahan energi, inovasi dan
sebagainya (Khisty, 1995; Bjerke, 2008; Patel 1995; Cox, 2010; Konis 1994; Staker 1999).
Penerapan metode SSM untuk penanganan dampak lingkungan pada produksi CPO
ini dilakukan di P abri k P engol ah an Ke l apa S awi t (P P KS ) PTPN V Lubuk
Dalam Kabupaten Siak Propinsi Riau, yang merupakan salah satu industri kelapa sawit
milik pemerintah Indonesia. Penanganan dampak lingkungan dilakukan mulai tahap
pembibitan, perkebunan, transportasi, dan pengolahan CPO. Dengan penerapan SSM ini,
diharapkan mampu memberikan informasi dan rekomendasi bagi perusahaan dalam
mengambil keputusan terkait permasalahan penggunaan sumberdaya, energi, dan dampaknya
terhadap lingkungan serta solusi alternatif penanganannya.
2. METODE ANALISIS
3
1. Mengkaji Masalah Yang
7. Melakukan Tindakan
Tidak Terstruktur
Perbaikan Atas Masalah
6. Menetapkan Perubahan
Yang Layak
Dan Diinginkan
1. Mengkaji masalah yang tidak terstruktur, Pada tahap ini akan dilakukan
pengumpulan sejumlah informasi yang diperlukan berkaitan dengan dampak
lingkungan produksi CPO termasuk pandangan dan asumsi para pihak yang
terlibat. Informasi dapat diperoleh dari pelaku industri kelapa sawit, dokumen-
dokumen kepustakaan lembaga pemerintah dan swasta termasuk bahan-bahan hasil
penelitian, juga dari hasil wawancara atau focus group discussion (FGD). Tujuan
tahap ini bukan untuk mendefinisikan masalah, tetapi untuk memperoleh sejumlah
pemikiran yang sedang berkembang sehingga rentang pilihan- pilihan keputusan
yang mungkin menjadi terbuka (Martin, 2008).
2. Mengekspresikan situasi masalah, informasi yang diperoleh pada tahap
pertama, selanjutnya digunakan untuk membangun rich picture (penggambaran
peta dunia nyata) atau disebut juga representasi keadaan sekarang. Gambar ini
melukiskan proses aktivitas dari setiap institusi dan aktor yang terlibat dalam
situasi tersebut yang mengindikasikan struktur-struktur elemen, aliran komunikasi
dan lingkungan interpretasi individu (Sonatha & Prayama 2011; Eriyatno & Larasati,
2013).
4
3. Membangun definisi permasalahan yang berkaitan dengan situasi masalah, pada
bagian ini akan merumuskan root definition (definisi akar), yaitu suatu kalimat
singkat yang menyatakan “suatu sistem melakukan P dengan cara Q untuk mencapai
R”. Root definition selanjutnya dituangkan dalam elemen dan deskripsi CATWOE
yang rinciannya pada Tabel 1.
5
(keberlanjutan).
6. Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan, tujuan tahap ini adalah untuk
mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara sistemik dan layak
menurut budaya. Perubahan dapat terjadi dalam hal struktur, prosedur, atau sikap
orang-orang.
7. Melakukan tindakan perbaikan atas masalah, pada tahap ini akan muncul
rekomendasi perubahan untuk dapat diimplementasikan. Akan ditunjukkan
sistem yang tepat untuk melakukan perubahan yang aktivitasnya dapat menjadi
“dunia nyata”.
Inti dari SSM adalah membangun model dari sistem-sistem yang berkaitan dengan
situasi masalah. Model-model ini digunakan sebagai media diskusi guna membawa
perubahan situasi aktual. Proses diskusi membolehkan partisipan untuk berdebat dan saling
bertanya sedemikian rupa sehingga keragaman perspektif dapat terungkapkan (Martin,
2008).
3. ANALISA HASIL
3.1 . Identifikasi Masalah Yang Tidak Terstruktur
Tahap awal dalam industri kelapa sawit adalah pembibitan dan perkebunan. Pada
tahap pembibitan dan perkebunan, utilitas yang memberikan dampak terhadap lingkungan
antara lain penggunaan pupuk, pestisida, herbisida, dan solar (RSPO 2012). Semakin besar
penggunaan utilitas tersebut maka akan semakin besar dampak yang diberikan terhadap
lingkungan. Pupuk merupakan salah satu penyumbang emisi yang besar dalam pertanian
sehingga penggunaannya harus mendapat perhatian yang khusus (Vijaya et al. 2008b).
Terdapat dua jenis pupuk yang biasa digunakan dalam pertanian yakni pupuk sintetik
dan pupuk organik. Pupuk yang sering digunakan dalam perkebunan sawit adalah urea, pupuk
NPK, kieserit, MOP, dolomit, RP, dan TSP. Pupuk sintetik dapat menimbulkan emisi yang
berasal dari produksi pupuk itu sendiri (penggunaan energi fosil selama produksi),
transportasi pupuk ke lapangan, emisi langsung di lapangan baik secara fisik maupun
mikroba tanah, dan emisi tidak langsung akibat re-deposisi (RSPO 2012). Pada kajian ini,
emisi pupuk yang diperhitungkan hanya pada emisi langsung saat aplikasi dilapangan. Emisi
dari pupuk organik juga tidak diperhitungkan dalam kajian ini karena jumlahnya yang relatif
6
sedikit sehingga tidak akan berpengaruh banyak. Pada perkebunan kelapa sawit sendiri
pupuk organik yang digunakan berasal dari limbah padat pabrik seperti tandan kosong dan
lumpur limbah cair.
Pestisida dan herbisida juga memberikan dampak terhadap lingkungan karena dapat
menghasilkan emisi. Pestisida dan herbisida memiliki konversi emisi yang cukup besar
(ISCC 2011). komponen lain di perkebunan yang memberikan dampak lingkungan adalah
penggunaan bahan bakar fosil seperti solar (IPCC 2006). Solar biasanya digunakan untuk
menjalankan mesin pertanian atau transportasi selama di kebun. Dari hasil studi kasus di
PKS Lubuk dalam menunjukkan aktifitas kebun tidak menggunakan peralatan yang
menggunakan solar untuk perkebunan. Pestisida dan herbisida digunakan pada waktu
tertentu saja dalam artian tidak rutin digunakan. Penggunaan pestisida hanya jika kebun
terserang hama seperti ulat api dan kumbang tanduk. Herbisida digunakan jika kondisi
sekitar tanaman sawit terdapat banyak gulma sehingga perlu dibasmi agar tidak
mengganggu pertumbuhan sawit.
Analisis selanjutnya adalah tahap transportasi tandan buah begar (TBS) dari kebun ke
pabrik. Transportasi TBS dilakukan dengan menggunakan truk berbahan bakar solar.
Kebutuhan solar inilah yang nantinya diperhitungkan penggunaannya karena penggunaan
solar sebagai bahan bakar memberikan dampak langsung kepada lingkungan (IPCC
2006). TBS yang diolah oleh PKS berasal dari kebun sendiri dan kebun pihak luar. Pada
kajian ini diasumsikan bahwa semua TBS yang diterima pabrik kelapa sawit berasal dari
kebun sendiri. TBS diangkut dari kebun ke PKS dengan menggunakan truk berkapasitas
rata-rata 9 ton. Jumlah pengangkutan dapat diperkirakan yakni dengan membagi total TBS
diterima dengan kapasitas angkut truk. Kebutuhan solar yang sebenarnya tidak tercatat
karena truk yang digunakan merupakan truk pihak luar yang disewa berdasarkan jumlah
TBS yang diangkut. Oleh karena itu, kebutuhan solar diestimasi berdasarkan konsumsi solar
truk per km jarak yang ditempuh. Truk kosong membutuhkan solar 0,25 liter/km sedangkan
truk bermuatan (10 ton) membutuhkan solar 0,49 liter/km (ISCC 2011).
Tahapan terakhir dalam ruang lingkup kajian adalah pengolahan CPO. Pada
tahap ini, TBS akan melalui serangkaian proses mulai dari penimbangan, sortasi, perebusan,
pengepresan, dan pemurnian minyak. Utiliti pada tahap pengolahan yang memberikan
dampak antara lain listrik, solar, dan steam (ISCC 2011, RSPO 2012). Listrik yang
diperoleh dari pembangkit turbin yang memanfaatkan uap dari bolier digunakan untuk
menjalankan berbagai mesin pengolahan. Solar digunakan sebagai bahan bakar genset
untuk menghasilkan listrik apabila kebutuhan listrik belum cukup terpenuhi oleh boiler.
7
Steam digunakan pada proses perebusan TBS yang diperoleh dari pembakaran cangkang dan
fiber pada boiler. Berikut di tampilkan data tentang dampak lingkungan yang di timbulkan dari
prose pembibitan, perkebunan, transportasi dan pengolahan di PPKS Lubuk Dalam di Kabupaten
Siak.
Sedangkan pada tabel 2 merupakan rincian data penggunaan utilitas pembibitan, perkebunan,
transportsi, pengolahan dan out put dari PPKS Lubuk Dalam.
Jumlah
Utilitas Satuan
(per ton CPO)
Pembibitan dan
Perkebunan
Tandan Buah ton 4,83
Segar (TBS)
Pupuk N kg 2,57
Pupuk P kg 4,80
Pupuk K kg 8,96
Urea kg 11,29
Kieserit kg 0,26
Dolomit kg 26,29
Herbisida liter 0,05
Pestisida liter 0,02
Transportasi TBS
Solar liter 3,25
Pengolahan
Listrik kwh 58,35
Solar liter 0,79
8
Uap kg 2360,49
Air m3 2,19
Output
CPO ton 1,00
Palm Kernel ton 0,27
Mesocarp Fiber ton 0,65
Shell ton 0,32
Tandan Kosong ton 0,95
Limbah Cair m3 2,90
Sumber: Nugroho, 2014
Untuk tabel 3 diperlihatkan data kebutuhan energi pada produksi 1 ton CPO, Net
energi menunjukkan seberapa besar energi yang dibutuhkan dan yang dihasilkan yang
dinyatakan dalam MJ/ton CPO. Setiap utiliti memiliki konversi energi (calorific value)
masing-masing yang menunjukkan jumlah energi (MJ) dari setiap volume. Tabel 3
merupakan hasil perhitungan energi, sedangan tabel 4 menunjukkan nilai NEV dan NER.
Pupuk N 360,86
Pupuk P 51,79
Pupuk K 44,80
Herbisida 12,88
Pestisida 4,56
Transportasi TBS
Solar 116,86
Pengolahan
Listrik 210,06
Solar 28,31
Uap 5499,94
Output
CPO 39360
Sumber: Nugroho, 2014
9
Tabel 4. Total energi masuk, energi keluar, Net Energy Ratio (NER)
dan Net Energy Value (NEV)
Efisiensi energi yang ditunjukkan berdasarkan nilai NER dan NEV menunjukkan
hasil yang baik dimana nilai NER positif dan NEV lebih dari 1. Peningkatkan efisiensi
energi dapat dilakukan dengan beberapa upaya, misalnya dengan meningkatkan
rendemen CPO, meningkatkan kinerja boiler, dan pemanfaatan gas metana sebagai
pembangkit listrik. Peningkatan rendemen CPO akan meningkatkan NER dan NEV. Setiap 1
% peningkatan rendemen akan meningkatkan 4 % NER dan 5 % NEV. Teknologi proses
yang diterapkan seperti kondisi mesin dan teknik pengolahan sangat menentukan hasil
rendemen. Faktor penting lain yang cukup berpengaruh terhadap rendemen adalah
kematangan TBS yang diolah dan lama waktu tunggu TBS sejak pemetikan hingga
diproses.
Pemanfatan gas metana sebagai pembangkit listrik akan meningkatkan efisiensi
energi berupa kenaikan NER dan NEV. Gas metana yang dihasilkan limbah cair cukup besar.
Pada pengolahan limbah cair kolam terbuka, akan dihasilkan sekitar 12,36 kg CH4/ton POME
(Yacob et al. 2006). Setiap kg gas metana setara dengan 45,1 MJ (JRC 2011). Emisi CO2
dipengarui oleh faktor emisi CO2 yang berasal dari penggunaan dan produksi utilitas
maupun energi.
Tabel 5. Jumlah emisi pada produksi 1 ton CPO di PPKS Lubuk Dalam
Jumlah Emisi
Aktivitas
(kg CO2-eq/ton CPO)
Pembibitan dan
Perkebunan
Pupuk N 15,11
Pupuk P 4,85
Pupuk K 5,11
Urea 37,35
Kieserit 0,05
Dolomit 3,42
Herbisida 0,54
Pestisida 0,16
10
Transportasi TBS
Solar 8,67
Pengolahan
Listrik 52,51
Solar 2,1
Uap 437,39
Limbah Cair 895,38
Total 1462,65
Sumber: Nugroho, 2014
Dari data-data diatas dapat di simpulkan dalam penagnan dan penggulangan dampak
lngkungan pada PPKS, Tabel 6 menunjukkan detail herarki permasalahan penanganan
dampak lingkungan produksi CPO.
Keterlibatan
Pengembangan Produk
Pengelola PPKS parapihak secara
Strategis PPKS
Manajer holistik terhadap
Pelaksana Efisiensi Utiliti
Kerjasama antar setiap tahapan
Pejabat terkait, proses
instansi Terkait dan
LSM, Masyarakat masyarakat penanganan
sekitar dampak
lingkungan PPKS
Manajer unit Tersediannya fasilitas
Program berkala
PPKS yang Memadai untuk
Taktis penanganan
Pimpinan Unit menunjang
dampak lingkungan
Utiliti pengembangan PPKS
U nit terkait dilakukan mulai
Penggunaan Utiliti yang
Kelompok ramah lingkungan dan tahap pembibitan,
pemerhati berkelanjutan perkebunan,
lingkungan Konsistensi terhadap transportasi, dan
dan kelompok penerapan kebijakan pengolahan CPO
masyarakat dan pengawasan
aktifitas PPKS
11
Peningkatan efesiensi Dampak
Pimpinan dan PPKS dan Pengelolaan lingkungan PPKS
Operasional Limbah yang ramah teridentifikasi
Jajaran
PPKS lingkungan dengan baik dan
Pengelola Utiliti Perawatan, pemanfaatan benar dan di kelola
PPKS dan pemeliharaan Utiliti dengan azas
Staf terkait yang yang efektif dan ramah manfaat dan
profesional, lingkungan keberlanjutan serta
Pelaksanaan ramah lingkungan.
Karang taruna dan
pengawasan yang
media lingkungan holistik dan
kolaboratif sesuai SOP
Dari tabel 6 diatas terlihat analisis awal para pihak yang terlibat dalam penanganan dampak
lingkungan PPKS. Karena Peran pemangku kepentingan dalam bentuk kelembagaan sangat
penting dalam strategi pengembangan sistem manajemen kualitas agroindustri terutama
sebagai media penyebaran inovasi hasil pertanian (Budi dkk., 2009). Kelembagaan adalah suatu
sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya
(Nasution, 2002). Sedangkan untuk klasifikasi sistem yang ada di PPKS bisa dilihat pada tabel 7.
12
Manajemen Pengembangan bibit unggul Pemenuhan bibit unggul dan
Pembibitan dan dan penerapan efisiensi pengadaan utilitas yang
perkebunan dengan penggunaan utilitas memadai dan efektif
pola ramah Penggunaan teknologi yang senhingga menghasilkan TBS
lingkungan dan
efektif untuk pengolahan yang unggul dan berkualitas
keberlanjutan
Manajemen PPKS limbah PPKS Berkuranganny emisi udara
Desain Penerpan standar ISPO yang menyebabkan gas
yang ramah
lingkungan dan rumah kaca (GRK) dari
keberlanjutan limbah PPKS
Kebijakan Pemberian insentif dari
pemerintah untuk pemerintah dan lembaga
pemberian insentif lainnya
Report aktifitas Analisa data report aktifitas Adanya perbaikan dari hasil
yang up to date dan yang cepat dan langsung di tindak lanjut analisa menjadi
menyeluruh tindak lanjuti lebih baik
Pelaksanaan Kolaborasi pengawsan dan Penurnan emisi udara dalam
pengawasan yang
Kontrol kerjasama antar instansi rangka mewujudkan PPKS
konsisten dan
terpadu antara yang ramah lingkungan dan
PPKS, pemerintah keberlanjutan
dan masyarakat
Dari tabel 7 diatas terlihat bahwa penanganan dampak lingkungan PPKS tidak hanya di
lakukan oleh pengelola PPKS, tetapi harus adanya keterlibatan pemerintah dan masyarakat
sekitar. Sehingga diharpkan akan didapatkan lingkungan yang kondusif dan berkelanjutan,
dengan sendirinya terciptanya kerjasama antar pelaku usaha PPKS, pemerintah dan masyarakat
akan mendukung terciptanya penurunan emisi udara.
Dampak lingkungan dari produksi CPO di PPKS meliputi peningkatan emisi udara,
bau yang kurang mengenakan, daerah aliran sungai dan struktur tanah. Dalam kajian ini yang
akan di bahas adalah tentang emisi udara sebagai salah satu penyebab meningkatnya suhu
udara. Dari tabel 5 diatas terlihat bahwa emisi terbesar berasal dari proses
pengolahan. PKS Lubuk Dalam menerapkan pengolahan limbah cair sistem anaerobik
sehingga dihasilkan gas methane yang tinggi. Menurut Yacob et al. (2006), limbah cair
dapat menghasilkan 12,36 kg CH4/ton POME. Gas metan (CH4) merupakan salah satu gas
rumah kaca yang membahayakan. 1 kg CH4 setara dengan 25 kg CO2 (IPCC 2007).
Penerapan metode SSM dalam kajian ini diperlukan Rich picture untuk
menunjukkan situasi masalah dari berbagai perspektif, dan menekankan struktur, proses,
hubungan, konflik dan ketidakpastian, serta mengungkapkan masalah, nilai-nilai yang
diyakini, yang divisualisasikan melalui simbol-simbol. Gambar 2 memperlihatkan
13
gambaran permasalhan yang di sebabkan oleh limbah PPKS. Kerjasama dan peranan
pengelola PPKS, Pemerintah dan masyarakat sangat di perlukan dalam menunjang
terwujudnya PPKS yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Gambar 2 merupakan Rice
Picture dari berbagi sektor dalam rangka penanganan dampak lingkungan produksi CPO.
14
PEMDA
DIREKSI
PENANGANAN DAMPAK
LINGKUNGAN
PRODUKSI CPO
14
Dari gambar 2 terlihat bahwa penangan dampak lingkungan dari produksi CPO
merupakan tanggung jawab bersama antara pihak PPKS, Pemerintah dan masyarakat. Ketika
sektor tersebut salng terkait, pihat peerintah mengeluarkan regulasi dan pengawasan terhadap
lingkungan PPKS, pihak PPKS melaksanakan proses produksi CPO dengan berpedoman pada
SOP PPKS dan regulasi dari pemerintah. Sedangkan pihak masyarakat, dalam hal ini baik
masyarakat sekitar PPKS, media dan LSM bersama manajemen PPKS untuk saling kontrol
terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan dari produksi CPO. Dengan sinerginya
koordinasi antar sektor diharapkan akan tercipta lingkungan yang baik sesuai prinsip dari
ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil)
15
Tabel. 8. Analisa CATWOE dan Root Difinition
Deskripsi Analisa
Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, Kementrian KLHK, Kementrian
C Costumer Pertanian (Dirjen Perkebunan), Pemerintah Daerah, Direksi, Manajer
Operasional, Manajer PPKS, Manajer Kebun dan Masyarakat.
Manajer PPKS, Koordinator operasional seluruh unit di PPKS
Manajer Kebun, Koordinator operasional di Kebun
Operator PPKS, pelaksana masing-masing unit di PPKS mulai dari
penerimaan TBS dari Kebun, proses, kontrol hasil CPO dan operasional
A Actor
unit limbah.
Operator Kebun, pelaksana masing –masing unit di kebun mulai dari
pembibitan, pemupukan, pemeliharaan, panen, transportasi ke PPKS dan
kontrol kualitas TBS.
Koordinasi antar lembaga pemerintah, PPKS dan masyarakat semakin
baik sehingga akan terbentuk efektifitas dan peningkatan SDM dalam
T Transformation
rangka pelaksanaan program penanganan dampak lingkungan produksi
CPO menjadi lebih baik.
Efisensi energi dan utiliti yang ada di setiap unit, sehingga akan
menurunkan emisi udara
Pemanfaatan by produk untuk kebun dalam rangka penurunan emisi akibat
W World-view
penggunaan pupuk sintetis.
Pemanfaatan limbah cair untuk biogas sebagi usaha untuk meningkatkan
niali ekonomis dan menurunkan emisi udara.
O Owner Pemerintah, PPKS, Masyarakat
Kurangnya SDM pemerintah untuk pengawasan, kontrol dan menjalin
kerjasama dengan PPKS
E Environment Membutuhkan biaya mahal untuk konversi LCPK dan TKKS ke biogas
Belum adanya insentif dari pemerintah bagi PPKS dengan emisi udara
rendah
ROOT DEFINITION :
Sistem untuk melakukan kegiatan perencanaan, proses dan penanganan dampak lingkungan
produksi CPO (P) melalui pelaksanaan dan koordinasi perencanaan, proses dan penanganan
dampak lingkungan produksi CPO oleh semua lembaga terkait (Q) sehingga dampak lingkungan
yang ditimbulkan oleh produksi CPO yaitu Emisi Udara dapat berkurang (R)
16
1. Pembibitan, inofasi 2. Perkebunan, Peningkatan
bibit unggul, SDM, penggunaan pupuk by
penggunaan pupuk produk PPKS, pengurangan
by produk PPKS penggunaan pestisida,
Kualtias TBS
7. Pengawasan, kontorl
regulasi dan pelaksanaan 8. Inovasi Teknologi,
penanganan dampak Perlu tindak lanjut
lingkungan oleh manajemen penggunaan tenologi
PPKS, pejabat Pemerintah mathane capture
dan masyarakat LPCKS untuk PLTBg
9. Standar, tercapinya
PPKS sesuai standar
ISPO
Tabel.9 Formulasi 5 E
No Aspek Formulasi
Koordinasi antara pemerintah PPKS dan masyarakat akan
menciptakan suasana kondusif dalam penanganan dampak
1 Efficacy
lingkungan
Efisiensi energi, transportasi dan efektifitas untiliti
2 Efficiency proses kebun dan PPKS
Perencanaan, pelaksanaan proses dan pengawasan yang lebih baik
3 meningkatkan produktifitas dan penurunan emisi udara
Effectiveness
Kontrol dan pelaksanaan regulasi yang konsisten akan
4 Ethicallity mempermudah pencapaian penurunan emisi udara
Tercapinya standar ISPO sebagi wujud komitemen PPKS ramah
5 Elegance lingkungan dan berkelanjutan
18
pemakaian pupuk, pestisida dapat di
kurangi.
Perbaikan jalan, efektifitas Armada, Perbaikan jalan secar berkala biarpun
jalan diperbaiki jika ada kendala belum terjadi kerusakan parah, serta
transportasi, penyedia jasa trasportasi kordinasi dengan pihak penyedia
kurang memperhatikan performance armada angkutan TBS untuk selalu
armada, sehingga sering terjadi macet memelihara armada sehingga tidak
Transportasi
di areal kebus sehingga meningkatkan menimbulkan kemacetan, dengan
emisi udara akibat penggunaan BBM sendirinya efektifitas penggunaan
yang tidak efektif. armada dan jalan yang baik akan
mengurangi penggunaan BBM secara
langsung mengurangi emisi udara.
Fisiensi penggunaan energi, masih Efektifitas, perawatan dan penggunaan
menggunakan sumber listrik dari utilit yang baik di PPKS akan
Turbin yang di gerakan dengan uap menurunkan penggunaan energi,
dari Boiler, sedangkan untuk disamping itu juga pertimbangan
emergensi menggunakan genset manajemen untuk alternatif
dengan solar sebagai BBM, belum pemanfaatan LCPKS sebagi
Energi adanya pemanfaatan Energi PLTBg Pembangkit Tenaga Listrik Biogas
dari LCPKS maka emisi yang (PLTBg), sehingga penggunaan listrik
ditimbulkan dari penggunaan energi dari Power Plant di proses akan
masih tinggi. berkurang sehingga menurunkan kerja
Boiller sehingga dengan sendirinya asap
yang ditimbulakn dari pembakaran
bahan bakar berkurang.
Peningkatan kualitas SDM terus Program peningkatan kualitas SDM
berjalan sesuai program, efektifitas harus di ditambah dengan kerjasama
utiliti PPKS akan meningkatkan dengan PPKS lain dalam rangka berbagi
kinerja dan capaian kapasitas olah, pengalaman dan motifasi, pengawasan
peningkatan rendemen terus kinerja operator terus ditingkatkan
Pengolahan
diupayakan untuk menekan biaya seiring dengan capian peningkatan
TBS
operasional, kualitas CPO terus rendemen untuk meningkatkan kualitas
ditingkatkan sebagi efek persaingan CPO, monitoring utiliti PPKS yang
yang semakin ketat. ketat sehingga downtime setiap unit
semakin turun sehingga meningkatkan
performance unit.
Pengkomposan TKKS belum Alternatif peningkatan kualitas TKKS
dilakukan, TKKS langsung di dengan melakukan pengkomposan,
aplikasikan ke lahan tanpa melalui dengan media LCKS sehingga
pengkomposan terlebih dahulu, dihasilkan kualitas pupuk kompos yang
LCPKS setelah melalui proses di lebih baik dengan sendirinya tingkat
kolam pengolahan langsung di alirkan kesuburan tanah di perkebunan juga
ke lahan. baik. Alternatif lain melakukan
Pengolahan
pemanfaatan LCPKS untuk PLTBg
Limbah
dengan melakukan methane capture
untuk mendapatkan biogas sebagi bahan
bakar genset , sehingga di hasilkan
listrik sebagai alternatif peningkatan
nilai tambah LCPKS dan pengurangan
emisi udara.
19
masih kurang maksimal ini di tandai lingkungan PPKS, sehingga tidak ada
tidak konsistennya nilai kadar limbah selisih paham dengan masyarakat
masih ada yang diatas amabng batas, sekitar. Dengan pelaksanaan
serta kerjasama dengan masyarakat pengawasan, kontrol dan kerjasama
dalam bidang pengawasan masih yang baik diharapkan akan tercipata
sangat lemah masyarakat, hal ini pengangan dampak yang kondusif dan
seringnya ketidaktahuan masyarakat berkelanjutan
tentang kadar ambang batas limbah
PPKS.
Untuk menetapkan perubahan yang layak dan diingikan sehingga penanganan dampak
lingkungan PPKS dapat direalisasikan. Perubahan tersebut seperti terlihat pada tabel 11
dibawah ini.
20
Tabel 11. Perubahan yang layak dan diinginkan untuk penanganan dampak lingkungan PPKS
Potensi
Kendala/
Perubahan penurunan emisi Manfaat lain
kekurangan
udara (CO2)
Mampu - Pembangkit listrik Biaya investasi
mereduksi - Sisa sludge sebagai Tinggi
Penangkapan hingga 895 kg pupuk organik dan
biogas CO2 eq/ton CPO pakan ternak
(Methane atau 61%
Captures) dari total emisi
21
Setiap limbah padat yang dibuang ke tanah akan mengalami pembusukan oleh
mikroorganisme baik mikroba dari tanah atau mikroba dari limbah itu sendiri. Faktor
penting dalam proses pengomposan adalah kebutuhan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba
yang dinyatakan dalam nisbah C/N. Jika nisbah C/N dalam limbah terlalu besar berarti N
tidak mencukupi sehingga akan menggunakan cadangan N dalam tanah. Nisbah C/N yang
optimal untuk pengomposan adalah antara 15-20. Sebelum melakukan pengomposan, tankos
dirajang untuk memperkecil ukuran agar dekomposisi dapat dipercepat atau bisa juga
pengomposan dilakukan tanpa perajangan. Meskipun biaya lebih tinggi, pengomposan
dengan dirajang struktur yang dihasilkan lebih homogen, mudah dalam distribusi, dan
memungkinkan produk kompos dapat dijual. Pengomposan tanpa dirajang memerlukan
biaya lebih rendah namun kompos yang dihasilkan tidak homogen dan sulit dalam
pendistribusian (Deptan 2006).
Limbah padat Tandan Kosong (Tankos) merupakan limbah padat yang jumlahnya
cukup besar yakni sekitar 5 ribu ton yang tercatat pada tahun 2013 ( PKS Lubuk Dalam).
Setiap ton Tankos mengandung unsur hara N, P, K dan Mg berturut-turut setara dengan 3
kg Urea; 0,6 kg CIRP; 12 kg MOP; dan 2 kg Kieserit (Lubis dan Tobing, 1989). Apabila
semua tankos yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai pupuk organik dengan demikian
akan dihasilkan pupuk organik setara dengan 15 ton Urea; 3 ton CIRP; 60 ton MOP; dan
10 ton Kieserit.
Penggunaan pupuk organik akan mengurangi penggunaan pupuk sintetik sehingga
akan dapat mengurangi dampak emisi CO2. Berdasarkan ekivalen masing-masing pupuk
maka penggunaan pupuk organik sebagai subtitusai pupuk sintetik akan mengurangi emisi
sebesar 75 ton CO2 –eq/tahun atau sekitar 1,5 kg CO2 –eq/ton CPO/tahun.
22
dioksida, dan sedikit H2S. Dengan sistem kolam terbuka, produksi biogas secara teknis
sulit dikumpulkan dan dimanfaatkan, sehingga terbuang ke atmosfir dan berkontribusi
terhadap masalah lingkungan global (efek rumah kaca). Setiap 1 kg gas metana setara dengan
25 kg gas CO2 (IPCC 2007).
Jumlah gas metana yang dihasilkan dari limbah cair cukup besar. Limbah cair
sendiri dihasilkan oleh industri sebanyak 0,5-0,7 ton limbah cair/ ton TBS yang diolah.
Pada pengolahan limbah cair kolam terbuka, akan dihasilkan sekitar 12,36 kg CH4/ ton
POME (Yacob et al. 2006). Jumlah biogas yang dihasilkan juga dapat diestimasi secara
teoritis dan empiris berdasarkan nilai COD limbah cair dan tingkat degradasinya. Setiap kg
COD yang terdegradasi pada kondisi anaerobik dapat dihasilkan sekitar 0,4 m3 CH4 (USDA
dan NSCS 2007).
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan di PKS Lubuk Dalam pengolahan limbah
cair dilakukan pada kolam terbuka tanpa ada pemanfaatan biogas. Selama tahun 2013,
PKS Lubuk Dalam menghasilkan 157 ribu m3 limbah cair/tahun yang setara dengan
895 kg CO2 –eq/ ton CPO. Melihat besarnya reduksi emisi GRK yang besar pada tahap
ini, pemanfaatan biogas tersebut sangat disarankan. Dengan menggunakan teknologi
yang sesuai, misalnya UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) dan AFBR (Anaerobic
Fluidized Bed React), bahan organik dalam limbah cair minyak kelapa sawit dapat
dikonversi menjadi energi terbarukan berupa biogas pada kondisi yang lebih terkendali, dan
biogas yang diproduksi dengan mudah dapat dikumpulkan ditampung untuk
dimanfaatkan (Suprihatin 2009).
Selain dapat mengurangi emisi, biogas yang ditangkap dapat dimanfaatkan untuk
keperluan lain. Biogas diperangkap untuk digunakan sebagai pembangkit listrik.
Menurut Hutzler (2004), satu kg COD dapat dikonversi menjadi 0,6 m3 biogas
yaitu gas campuran dengan kandungan utama metana (50-70%vol.), karbon diokasida
(30-40%vol.) serta sejumlah kecil gas kelumit seperti H2•H2S, uap H2O, dan nitrogen.
Nilai kalor biogas adalah sekitar 6 kWh/m3, setara dengan 0,5 Liter solar. Menurut
JRC (2011), setiap kg CH4 yang dihasilkan setara dengan 45,1 MJ.
Sludge dari pengolahan limbah cair dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Lumpur sawit merupakan larutan buangan yang dihasilkan selama proses pemerasan dan
ekstraksi minyak. Kandungan lemak dan protein yang relatif tingg i tersebut menjadikan
limbah lumpur sawit dan serat merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan
23
mikroorganisme. Limbah lumpur kering kelapa sawit yang terdiri dari sludge dan serat
cukup potensial untuk diolah lebih lanjut. Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai pakan
ternak. Dalzell (1978) setelah melakukan kajian dengan menambahkan limbah kelapa
sawit pada makanan sapi, akhirnya menyimpulkan bahwa limbah kelapa sawit merupakan
bahan pakan yang potensial, selain itu juga dapat mengatasi masalah polusi dan
memberi nilai tambah pada pabrik pengolahan kelapa sawit.
24
adalah 25 kg/hari x 365 hari = 9.125 kg, maka setiap ha kebun sawit dapat memenuhi
80% kebutuhan pakan satu ekor sapi.
Hijauan antar tanaman (HAT) dapat dimanfaatkan untuk pakan hijauan
ternaknya. Namun sampai sekarang belum terdata potensi nyata dari HAT ini. Potensi ini
dapat ditingkatkan dengan menanam rumput yang tahan naungan dan pada lahan yang
kosong karena pohon sawitnya mati. Berdasarkan pengamatan Dinas Peternakan Jambi
(2003), HAT dapat memenuhi kebutuhan minimal 1 ekor sapi/ha.
c. Penghasil Biogas
Pemanfaatan kotoran sapi sebagai penghasil biogas banyak dilakukan di
sejumah tempat karena menghasilkan gas metan yang cukup tinggi. Dalam kotoran
sapi terkandung berbagai bahan yang dapat menghasilkan biogas melalui reaksi
anaerobik. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa kotoran sapi mengandung
22,59% sellulosa; 18,32% hemiselulosa; 10,20% lignin; 34,72% total karbon
organik; 1,26% total nitrogen; 27,56:1 rasio C:N; 0,73% P, dan 0,68% K
(Lingaiah dan Rajasekaran 1986). Produksi biogas/gas metana dipengaruhi oleh
C/N rasio input (kotoran ternak), residence time, pH, suhu dan toksisitas. Menurut
Sutarno dan Firdaus (2007), kotoran sapi seberat 25 kg setara dengan 1 m3 biogas.
4. SIMPULAN
25
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan Terimakasih Disampaikan Kepada Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif,
M.Eng, Dipl.Ing, DEA, Sebagai Dosen Rekayasa Sistem Dan Strategi Agroindustri
Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor,
Desember 2015
6. DAFTAR PUSTAKA
Budi LS, Maarif MS, Sailah I, dan Raharja S. 2009. Strategi Pemilihan Model
Kelembagaan dan Kelayakan Finansial Agroindustri Wijen. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian 19:2, 56-63.
Cicerone R J. 1987. Changes in Stratospheric Ozone. J. Science 237: 35-42.
Checkland P & Scholes J. 1990. Soft System Methodology in Action, England: Jhon Wiley &
Sons Ltd.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014, Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO
2009-2015,[diunduh tanggal 01 Desember 2015]
Dalzell R. 1978. A case Study on The Utilization of Effluent and by Products of Oil Palm
by cattle and Buffaloes on an Oil Palm Estate. Malaysian Agriculture Research and
Development Institute. Serdang-Selangor.
Daellenbach H & McNickle D. 2005. Management Science: Decision Making through
Systems Thinking. Hampsire: Palgrave Macmillan.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri kelapa
Sawit. Jakarta.
[Disnak] Dinas Peternakan Provinsi Jambi. 2003. Potensi Dan Peluang
Pengembangan Sistem Integrasi Sawit-Sapi Di Provinsi Jambi. Lokakarya
Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.
[EPA] Environmental Protection Agency. 2011. Regulatory Announcement: EPA Issues
Notice of Data Availability Concerning Renewable Fuels Produced from Palm Oil
Under the RFS Program. Environmental Protection Agency. United States.
Hutzler N. 2004. Solid Waste Management. Lecture Note online.
www.cee.mtu.edu/~hutzler/ce3503/Solid Waste Managementnjh.ppt. [Diunduh 07
Desember 2015].
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National
Greenhouse Gas Inventories Volume 2: Energy. www.ipcc.ch. [Diunduh 07 Desember
2015].
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. IPCC Fourth
Assessment Report: Climate Change 2007. www.ipcc.ch. [Diunduh 07 Desember
2015].
[ISCC] International Sustainability and Carbon Certification. 2011. GHG Emissions
Calculation Methodology and GHG Audit. www.iscc-system.org [Diunduh 07
Desember 2015].
[JRC] Joint Research Center of the EU Commission, [EUCAR] European Council for
Automotive Research and Development, [CONCAWE] Oil companies’ European
association for environment, health and safety in refining and distribution. 2011. Well-
to-wheels analysis of future automotive fuels and powertrains in the European context.
http://ies.jrc.ec.europa.eu/WTW.
26
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Rencana Kehutanan Tingkat
Nasional (RKTN) 2011-2030. http://www.dephut.go.id. [Diakses 07 Desember 2015].
Khisty CJ. 1995. Soft-System Methodology, as Learning and Management Tool. Journal of
Urban Planning and Development 121: 3, 91-107.
Lingaiah V dan Rajasekaran P. 1986. Biodigestion of Cowdung and Organic Wastes
Mixed with Oil Cake in Relation to Energy in Agricultural Wastes 17 (1986): 161-
173.
Lubis dan Tobing. 1994. Penggunaan Betagen-Rispa Untuk Pengendalian Limbah
Kelapa Sawit. Berita PPKS. 2 (3) 221-230.
Martin E. 2008. Aplikasi Metodologi Sistem Lunak untuk Pengelolaan Kawasan Hutan
Rawan Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nasution M. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri.
Bogor: IPB Press.
Nugroho W.A., 2014. Life Cycle Assessment (Lca) Industri Pengolahan Crude Palm Oil
(Cpo) (Studi Kasus Di Ptpn V (Persero) Provinsi Riau), Departemen Teknologi Industri
Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
[RSPO] Roundtable on Sustainable Palm Oil. 2012. A Greenhouse Gas
Accounting Tool for Palm Products. Malaysia. www.rspo.org [Diunduh 07 Desember
2015].
Patel NV. 1995. Application of Soft Systems Methodology to the Real World Process of
Teaching and Learning. International Journal of Educational Management 9: 1, 13-23.
Sinn JS. 1998. A Comparison of Interactive Planning and Soft Systems Methodology:
Enhancing the Complementarist Position. Systemic Practice and Action Research 11: 4,
435–453.
Sonatha Y & Prayama D. 2011. Penerapan Soft System Methodology dalam Mengatasi
Permasalahan Home Monitoring. Poli Rekayasa 6: 2, 154-160.
Suprihatin. 2009. Manfaat Ekologis Dan Finansial Pemanfaatan Limbah Cair Agroindustri
Sebagai Bahan Baku Dalam Produksi Biogas Untuk Mereduksi Emisi Gas
Rumah Kaca. Departemen Teknologi Industri Pertnaian. Institut Pertanian Bogor.
Sutarno dan Firdaus. 2007. Analisis Prestasi Produksi Biogas (CH4) dari Polyethilene
Biodigester Berbahan Baku Limbah Ternak Sapi. Teknik Kimia FTI UII
Subekti Purwo, 2015, Pengolahan Limbah Cair Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi
Biogas Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg). Mahasiswa Program
Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor.
USDA dan NSCS. 2007. An Analysis of Energy Production Costs from Anaerobic Digestion
Systems on U.S. Livestock Production Facilities. Technical Note No. 1, Issued October
2007.
Vijaya et al. 2008b. Life cycle inventory of the production of crude palm oil – A gate to
gate case study of 12 palm oil mills. Journal Of Oil Palm 30 Research 20:484-
494.
Yacob S, Hassan M A, Shirai Y, Wakisaka M, Subash S. 2006. Baseline Study of Methane
Emission from Anaerobic Ponds of Palm Oil Mill Effluent Treatment. Science
of the Total Environment 366: 187-196.
27