Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

DISUSUN OLEH :

WINDI PUJI CAHYANI

20901900096

PROGRAM STUDI PROFESI NRES KEPEAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG


2020
A. PENGERTIAN
Benign prostate hyperplasia atau sering disebut pembesaran prostat jinak adalah
sebuah penyakit yang sering terjadi pada pria dewasa di Amerika dimana terjadi
pembesaran prostat (Dipiro et al, 2015). BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana
sel stroma dan sel epitel berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh
hormon seks dan respon sitokin. Pada penderita BPH hormon dihidrotestosteron (DHT)
sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin dapat memicu respon inflamasi dengan
menginduksi epitel. Prostat membesar mengakibatkan penyempitan uretra sehingga
terjadi gejala obstruktif yaitu : hiperaktif kandung kemih, inflamasi, pancaran miksi
lemah (Skinder et al, 2016).
Benign prostate hyperplasia (BPH) dikaitkan dengan gejala saluran kemih bawah,
Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat jinak yaitu
nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat, mengeluarkan urin disertai
darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih (Dipiro et al, 2015).

B. PENYEBAB
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada
pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka
kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo
(2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan
antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
C. KLASIFIKASI
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan
berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score (PSS). Derajat ringan:
skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: 19 skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012).
Selain itu, ada juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit
BPH. Derajat penyakit BPH disajikan pada tabel :

Derajat Colok dubur Sisa volume urine


1 Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba <50 ml
2 Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50−100 mL
3 Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 mL
4 Retensi urin total

D. MANIFESTASI KLINIK
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan
gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah,
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, 20 benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak
nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual
yang besar

E. PATOFISIOLOGI
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon
sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT), DHT
merupakan androgen dianggap sebagai mediator utama munculnya BPH ini. Pada
penderita ini hormon DHT sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh
pada pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan uretra yang
mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif yaitu : hiperaktif kandung
kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016). Penyebab BPH masih
belum jelas, namun mekanisme patofisiologinya diduga kuat terkait aktivitas hormon
Dihidrotestosteron (DHT).
DHT merupakan suatu androgen yang berasal dari testosteron melaui kerja enzim
5α-reductase dan metabolitnya, 5α- androstanediol merupakan pemicu utama terjadinyaa
poliferase kelenjar pada pasien BPH. Pengubahan testosteron menjadi DHT diperantai
oleh enzim 5αreductase. Ada dua tipe enzim 5α-reductase, tipe pertama terdapat pada 10
folikel rambut, kulit kepala bagian depan, liver dan kulit. Tipe kedua terdapat pada
prostat, jaringan genital, dan kulit kepala. Pada jaringanjaringan target DHT
menyebaabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat (Mc Vary et al, 2010).

F. PATHWAYS
G. PENATALAKSANAAN
1. Watchful Waitting
Watchful waitting artinya, pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan keadaan penyakitnya tetap diawasi dokter, pilihan watchful waitting
ini ditujukan untuk pasien BPH dengan keluhan sedang hingga berat, pancaran urin
melemah dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram (Dhingra dkk, 2011). Setiap 6
bulan, klien diminta untuk memeriksakan diri dan memberitahukan mengenai
perubahan keluhan yang dirasakannya (Giatrininggar, 2013).
2. Medical Therapies (Terapi Farmakologi)
Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat sedang,
atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH tingkat berat.
Tujuan terapi medikametosa adalah 1) untuk mengurangi resistensi leher buli-buli
dengan obat-obatan golongan αadrenergik blocker dan 2) mengurangi volume prostat
dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron atau dehidrotestosteron (DHT)
(Purnomo, 2008)
3. Alpha-Blockers
Golongan α-adrenergik bloker bekerja dengan menghalangi kontraksi reseptor
adrenergik simpatik dari otot polos prostat dan leher kandung kemih. dengan relaksasi
otot polos di bagian leher prostat, saluran kemih dibuka yang memungkinkan aliran
urin. Alpha-blocker memiliki onset cepat, dalam waktu 3 sampai 5 hari. setelah obat
dihentikan, gejala biasanya kembali ke pra-pengobatan, tingkat dasar (Kapoor, 2012).
4. 5-Alpha-reductase inhibitors (5-ARIs)
Obat golongan 5α-reduktase inhibitors bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT), sehingga terjadi penurunan kadar zat aktif
dehidrotestosteron dan mengecilnya ukuran prostat (Giatrininggar, 2013). 5-Alpha-
reductase inhibitors (5-ARIs) bekerja dengan memblok konversi testosteron menjadi
dihidrotestoteron (DHT), dimana DHT ini merupkan androgen yang dapat memicu
pembesaran prostat. Apabila kadar dihidrotestosteron mengalami penurunan
mengakibatkan penurunan ukuran prostat (Tanguay et al, 2009).

5. Minimally Invasive Therapies


Prosedur invasif minimal melibatkan penempatan stent endoskopik ke dalam uretra
prostat, sehingga dapat mengatasi gejala BPH dan meminimalkan komplikasi karena
sayatan kecil dan trauma berkurang ke jaringan sekitarnya (Skinder et al, 2016).
6. Transurethral Needle Ablation (TUNA)
Prosedur TUNA Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini bertujuan untuk meminimalkan
perdarahanan dan mempertahankan mekanisme ejakulasi. sistem TUNA
meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping yang lebih
sedikit bila 18 dibandingkan dengan reseksi transurethral prostate (TURP ) (Mc Vary
et al, 2010).
7. Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Transurethral microwave thermotherapy (TUMT) merupakan tindakan pemanasan
prostat dengan memakai energi mikro prosedurnya dengan memasukan kateter yang
telah diberi elektrode dan diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang
dipakai antara lain adalah Prostatron (Purnomo, 2000)
8. Surgical Therapies (Terapi Pembedahan)
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasia prostat yang sudah menimbulkan
penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuria, infeksi
saluran kemih bagian atas yang tidak menunjukkan perbaikan setelah menjalani
pengobatan medikamentosa (Purnomo, 2000).
9. Open Prostatectomy
Open prostatectomy atau pembedahan terbuka merupakan alternativ sesuai pada
pasien BPH dengan gejala LUTS yang parah. Prostatektomi terbuka melibatkan
operasi pengangkatan dari bagian dalam prostat melalui sayatan suprapubik atau
retropubik dibagian bawah perut. Pembedahan terbuka dianjurkan pada pasien dengan
pembesaran prostat yang sangat besar dengan volume prostat diperkirakan lebih dari
80-100 cm5 (Kevin et al, 2010).
10. Transurethral Holmium aser ablation of the prostate (HoLAP)
Transurethral holmium laser ablation of the prostate (HoLAP) adalah alternatif bedah
minimal invasif untuk pengobatan BPH. Data 19 klinis yang mendukung ablasi laser
holmium prostat (HoLAP) menunjukkan kesetaraan dengan TURP dengan
komplikasi lebih sedikit dan daya tahan jangka panjang hingga 7 tahun. Secara
umum, dokter telah memanfaatkan teknologi laser holmium untuk mengobati BPH.
Pengobatan dengan laser holmium telah memungkinkan Ahli Urologi untuk
mengobati bagian yang lebih luas dari pasien, dan mencapai hasil klinis yang sukses
dengan komplikasi potensial yang lebih sedikit daripada prosedur TURP (Gambla,
2007).
11. Transurethral Holmium Laser Enucleation of the Prostate (HoLEP)
Prosedur ini melepaskan adenoma prostate dari jaringan kapsul dengan menggunakan
laser, mudah diserap dan menggunakan larutan normal saline yang digunakan sebagai
cairan irigasi. HoLEP dapat digunakan pada pria dengan ukuran prostat besar > 100
ml. Beberapa studi menunjukan bahwa tingginya insiden pasca operasi seperti
inkonstinensia dan gangguan ejakulasi. Beberapa RCT membandingkan HoLEP dan
TURP, waktu operasi HOLEP lebih lama dibandingkan dengan TURP yaitu 62,1-
94,6 vs 33,1-73,8 menit (Homma et al, 2011).
12. Holmium Laser Resection of the Prostate (HoLRP)
Holmium laser resection of the prostate (HoLRP) merupakan prosedur dengan
adenoma prostat diresekresi menggunakan serat laser holmium dan khusus diadaptasi
resectoscope. Sebuah data menunjukkan bahwa perbaikan gejala didapatkan setelah
holmium laser resection kemungkinan sebanding dengan hasil yang diperoleh setelah
melakukan prosedur TURP (McVary et al, 2010).
13. Photoselective Vaporization of the Prostate (PVP)
Photoselective vaporization of the prostate (PVP) merupakan prosedur pembedahan
prostat dengan cara menghancurkan kelebihan jaringan prostat dengan keluarnya
urine dengan menggunakan sinar laser ang dikendalikan (McVary.,et al, 2010).
Dibandingkan dengan transurethral resection of the prostate (TURP), Photoselective
vaporization of the prostate (PVP) lebih ekonomis (Bowen et al, 2013).
14. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Transurethral incision of the prostate Merupakan prosedur dengan cara memotong
prostat pada posisi jam 5:00 dan 7:00 dari leher kandung kemih tujuannya untuk
membuka uretra. Prosedur ini digunakan untuk prostat yang berukuran relatif kecil <
20-30 ml. Menurut salah satu jurnal RCT Transurethral incision of the prostate
(TUIP) seefektif TURP untuk BPH yang ukuran prostatnya relatif kecil < 20-30 ml.
Waktu operasinya lebih singkat (Homma et al, 2011).
15. Transurethral Vaporization of the Prostate (TUVP)
Transurethral vaporization of the prostate (TUVP) merupakan modifikasi dari TURP
dan TUIP, dan memanfaatkan arus listrik tinggi untuk menguapkan dan membekukan
jaringan yang menghambat prostat. efisiensi jangka panjang sebanding dengan
TURP, tetapi sejumlah pasien telah ditemukan mengalami efek samping iritasi
(Dhingra dkk, 2011).
16. Transurethral resection of the prostate (TURP)
Transurethral resection of the prostate (TURP) adalah prosedur efektif yang
umumnya untuk pengobatan BPH, pada prosesnya dimasukkan endoskop melalui
uretra sehingga adenoma prostat dihapus melalui lingkaran elektroda. TURP ini
efektif untuk mengatasi gejala BPH tetapi dapat menyebabkan komplikasi seperti
perdarahan, hiponatremia, dan gangguan ejakulasi (Skinder et al, 2016). Prosedur ini
digunakan untuk pasien BPH dengan ukuran prostat sedang < 50-80 ml. Kompilikasi
yang timbul meliputi perdarahan dan hiponatremia (Homma et al, 2011).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endapan Urin
Pada pemeriksaan makroskopis yang diperiksa adalah volume, warna, kejernihan,
berat jenis, bau dan pH urin. Pemeriksaan kimia urin dipakai untuk pemeriksaan pH,
protein, glukosa, keton, bilirubin, darah, urobilinogen dan nitrit (Hapsari, 2010).
2. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria.
Benign Prostate Hyperplasia yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, yaitu:
karsinoma buli-buli insitu atau striktur uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjukkan adanya kelainan.
3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius
bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 3−30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa
disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak.
4. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen
Prostate Specific Antigen (PSA) disintesis oleh sel epitel kelenjar prostat dan bersifat
organ spesifik tetapi bukan kanker spesifik. Serum PSA dapat dipakai untuk
mengetahui perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin
lebih buruk, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan volume
kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.
5. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi
mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave),
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.
6. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral dan perifer prostat terlihat abu-
abu muda sampai gelap homogen. Sedangkan zona transisional yang terletak lebih
anterior terlihat hipoekogenik heterogen. Keheterogenan dan kehipoekogenikan
tergantung dari variasi jumlah sel stromal dan epitelial kelenjar (Hapsari, 2010).
7. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk melihat
perubahan metabolisme dari perubahan jaringan yang terjadi. Pemeriksaan ini sangat
penting dalam kaitan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam
penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga
terganggu (McVary & Roehrborn, 2010).

I. FOKUS PENGAKAJIAN

1. Identitas klien
2. Riwayat penyakit
3. Riwayat penyakit keluarga
4. Pemeriksaan fisik
5. Pemeriksaan penunjang

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Retensi urine b.d disfungsi neurologis

2. Nyeri akut b.d agen cidera fisik

3. Resiko infeksi b.d efek prosedur infasif

K. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


Dx 1 Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan selama 3 x 24
1. Periksa kondisi pasien
jam didapatkan hasil :
1. Desakan berkemih
Teraupetik
meningkat
2. Berkemih tidak 1. Siapkan peralatan,
tuntas meningkat bahan-bahan dan
ruangan tindakan
2. Siapkan pasien
3. Pasang sarung tangan
4. Bersihkan daerah
perineal atau
preposium dengan
cairan NaCl atau
aquades
5. Lakukan insersasi
kateter urin dengan
menerapkan prinsip
aseptik
6. Sambungkan kateter
urin dengan urin bag
7. Isi balon dengan
NaCl 0,9% sesuai
anjuran
8. Fiksasi selang ketetr
diatas simpisis atau
paha
9. Pastikan kantung urin
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
10. Berikan label waktu
pemasangan

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan


prosedur pemasang
kateter urine
2. Anjurkan menarik
nafas saat insersi
selang kateter

Dx 2 Setelah diberikan asuhan Observasi


keperawatan selama 3 x 24
1. lokasi, karakteristik,
jam diharapkan :
durasi, frekuensi,
1. Melaporkan nyeri
kualitas, intensitas
terkontrol
nyeri
meningkat
2. Identifikasi skala
2. Keluhan nyeri nyeri
menurun 3. Identifikasi respon
3. Penggunaan nyeri non verbal
analgesic menurun 4. Identifikasi faktor
: yang memperberat
dan memperingan
nyeri
5. Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
8. Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

1. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma
terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Dx 3 Setelah diberikan asuhan Observasi


keperawatan selama 3 x 24 1.
jam diharapkan : gejala infeksi lokal
1. Tingkat infeksi dan sistemik
menurun Teraupetik
2. Integritas dan 1.
jaringan membaik pengunjung
3. Kontrol resiko 2.
meningkat pada daerah edema
3.
dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
4.
aseptik pada pasien
beriko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka
3. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi.

DAFTAR PUSTAKA

Bowen, J.M., Whelan, JP., Hopkins, RB., Burke, N., Woods, EA., Mcisaac, GP., Reilly DJ., Xie,
F., Sehatzadeh, S., Levin, L., Mathew, SP., Patterson, LL., Goeree, R., and Tarride, JE.,
2013. Photoselective Vaporization for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia.
Ontario Health Technology Assessment Series; Vol. 13: No. 2, pp. 1–34, August 2013.

Dhingra, Neelima., Bhagwat, Deepak. 2011. Benign Prostatic Hyperlasia: an Overview of


Existing Threatment. Indian J Pharmacol. 43 (1): 6-12.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., (2015). Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

Giatrininggar, E., (2013). Continuous Bladder Irrigation (Cbi) Pada Klien Benign a Prostate
Hyperplasia (Bph) Post Transurethral Resection Prostate (Turp) Di Ruang Anggrek
Tengah Kanan RSUP Persahabatan. Depok: Karya Ilmiah Akhir-Ners.

Homma, Y., Gotoh, M., Yokoyama, O., Masumori, N., Kawauchi, A., Yamanishi, T., Ishizuka,
O., Seki, N., Kamoto, T., Nagai, A., and Ozono, S., (2011). JUA clinical guidelines for
benign prostatic hyperplasia. International Journal of Urology (2011) 18, e1–e33.

Kapoor, A., (2012). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The Primary Care
Setting. The Canadian Journal of Urology., Vol. 19 No. 1, pp.2027-2040.

Mc Vary, K. T.; Roehrborn, C. G.; Avins, A. L. (2010) American Urological Association


Guideline: Management of Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). American Urological
Association Education and Research, Inc

Purnomo, B. (2011). Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto.

Purnomo, B.B., (2008). Dasar dasar Urologi. Ed. 2. Jakarta: CV Infomedika

Sjamsuhidajat, dkk. (2012). Buku ajar ilmu bedah Samsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC
Skinder, D., Zacharia, I., Studin, J., and Covino, J., (2016). Benign Prostatic Hyperplasia: A
Clinical Review Vol. 29 No. 8.

Tanguay, S., Awde, M., Brock, G., Casey, R., Kozak J., Lee J., Nickel C., Saad, F.,(2009).
Diagnosis and management of benign prostatic hyperplasia in primary care. Canadian
Urol Associatin Journal. 3(3Suppl2): S92-100

Anda mungkin juga menyukai