DISUSUN OLEH :
20901900096
B. PENYEBAB
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada
pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka
kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo
(2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan
antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
C. KLASIFIKASI
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan
berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score (PSS). Derajat ringan:
skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: 19 skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012).
Selain itu, ada juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit
BPH. Derajat penyakit BPH disajikan pada tabel :
D. MANIFESTASI KLINIK
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan
gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah,
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, 20 benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak
nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual
yang besar
E. PATOFISIOLOGI
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon
sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT), DHT
merupakan androgen dianggap sebagai mediator utama munculnya BPH ini. Pada
penderita ini hormon DHT sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh
pada pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan uretra yang
mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif yaitu : hiperaktif kandung
kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016). Penyebab BPH masih
belum jelas, namun mekanisme patofisiologinya diduga kuat terkait aktivitas hormon
Dihidrotestosteron (DHT).
DHT merupakan suatu androgen yang berasal dari testosteron melaui kerja enzim
5α-reductase dan metabolitnya, 5α- androstanediol merupakan pemicu utama terjadinyaa
poliferase kelenjar pada pasien BPH. Pengubahan testosteron menjadi DHT diperantai
oleh enzim 5αreductase. Ada dua tipe enzim 5α-reductase, tipe pertama terdapat pada 10
folikel rambut, kulit kepala bagian depan, liver dan kulit. Tipe kedua terdapat pada
prostat, jaringan genital, dan kulit kepala. Pada jaringanjaringan target DHT
menyebaabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat (Mc Vary et al, 2010).
F. PATHWAYS
G. PENATALAKSANAAN
1. Watchful Waitting
Watchful waitting artinya, pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan keadaan penyakitnya tetap diawasi dokter, pilihan watchful waitting
ini ditujukan untuk pasien BPH dengan keluhan sedang hingga berat, pancaran urin
melemah dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram (Dhingra dkk, 2011). Setiap 6
bulan, klien diminta untuk memeriksakan diri dan memberitahukan mengenai
perubahan keluhan yang dirasakannya (Giatrininggar, 2013).
2. Medical Therapies (Terapi Farmakologi)
Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat sedang,
atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH tingkat berat.
Tujuan terapi medikametosa adalah 1) untuk mengurangi resistensi leher buli-buli
dengan obat-obatan golongan αadrenergik blocker dan 2) mengurangi volume prostat
dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron atau dehidrotestosteron (DHT)
(Purnomo, 2008)
3. Alpha-Blockers
Golongan α-adrenergik bloker bekerja dengan menghalangi kontraksi reseptor
adrenergik simpatik dari otot polos prostat dan leher kandung kemih. dengan relaksasi
otot polos di bagian leher prostat, saluran kemih dibuka yang memungkinkan aliran
urin. Alpha-blocker memiliki onset cepat, dalam waktu 3 sampai 5 hari. setelah obat
dihentikan, gejala biasanya kembali ke pra-pengobatan, tingkat dasar (Kapoor, 2012).
4. 5-Alpha-reductase inhibitors (5-ARIs)
Obat golongan 5α-reduktase inhibitors bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT), sehingga terjadi penurunan kadar zat aktif
dehidrotestosteron dan mengecilnya ukuran prostat (Giatrininggar, 2013). 5-Alpha-
reductase inhibitors (5-ARIs) bekerja dengan memblok konversi testosteron menjadi
dihidrotestoteron (DHT), dimana DHT ini merupkan androgen yang dapat memicu
pembesaran prostat. Apabila kadar dihidrotestosteron mengalami penurunan
mengakibatkan penurunan ukuran prostat (Tanguay et al, 2009).
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endapan Urin
Pada pemeriksaan makroskopis yang diperiksa adalah volume, warna, kejernihan,
berat jenis, bau dan pH urin. Pemeriksaan kimia urin dipakai untuk pemeriksaan pH,
protein, glukosa, keton, bilirubin, darah, urobilinogen dan nitrit (Hapsari, 2010).
2. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria.
Benign Prostate Hyperplasia yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, yaitu:
karsinoma buli-buli insitu atau striktur uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjukkan adanya kelainan.
3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius
bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 3−30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa
disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak.
4. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen
Prostate Specific Antigen (PSA) disintesis oleh sel epitel kelenjar prostat dan bersifat
organ spesifik tetapi bukan kanker spesifik. Serum PSA dapat dipakai untuk
mengetahui perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin
lebih buruk, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan volume
kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.
5. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi
mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave),
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.
6. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral dan perifer prostat terlihat abu-
abu muda sampai gelap homogen. Sedangkan zona transisional yang terletak lebih
anterior terlihat hipoekogenik heterogen. Keheterogenan dan kehipoekogenikan
tergantung dari variasi jumlah sel stromal dan epitelial kelenjar (Hapsari, 2010).
7. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk melihat
perubahan metabolisme dari perubahan jaringan yang terjadi. Pemeriksaan ini sangat
penting dalam kaitan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam
penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga
terganggu (McVary & Roehrborn, 2010).
I. FOKUS PENGAKAJIAN
1. Identitas klien
2. Riwayat penyakit
3. Riwayat penyakit keluarga
4. Pemeriksaan fisik
5. Pemeriksaan penunjang
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
K. INTERVENSI
Edukasi
Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma
terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Bowen, J.M., Whelan, JP., Hopkins, RB., Burke, N., Woods, EA., Mcisaac, GP., Reilly DJ., Xie,
F., Sehatzadeh, S., Levin, L., Mathew, SP., Patterson, LL., Goeree, R., and Tarride, JE.,
2013. Photoselective Vaporization for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia.
Ontario Health Technology Assessment Series; Vol. 13: No. 2, pp. 1–34, August 2013.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., (2015). Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
Giatrininggar, E., (2013). Continuous Bladder Irrigation (Cbi) Pada Klien Benign a Prostate
Hyperplasia (Bph) Post Transurethral Resection Prostate (Turp) Di Ruang Anggrek
Tengah Kanan RSUP Persahabatan. Depok: Karya Ilmiah Akhir-Ners.
Homma, Y., Gotoh, M., Yokoyama, O., Masumori, N., Kawauchi, A., Yamanishi, T., Ishizuka,
O., Seki, N., Kamoto, T., Nagai, A., and Ozono, S., (2011). JUA clinical guidelines for
benign prostatic hyperplasia. International Journal of Urology (2011) 18, e1–e33.
Kapoor, A., (2012). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The Primary Care
Setting. The Canadian Journal of Urology., Vol. 19 No. 1, pp.2027-2040.
Sjamsuhidajat, dkk. (2012). Buku ajar ilmu bedah Samsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC
Skinder, D., Zacharia, I., Studin, J., and Covino, J., (2016). Benign Prostatic Hyperplasia: A
Clinical Review Vol. 29 No. 8.
Tanguay, S., Awde, M., Brock, G., Casey, R., Kozak J., Lee J., Nickel C., Saad, F.,(2009).
Diagnosis and management of benign prostatic hyperplasia in primary care. Canadian
Urol Associatin Journal. 3(3Suppl2): S92-100