Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dinding Thoraks

Thoraks merupakan rongga yang dibatasi dan dikelilingi oleh dinding thoraks

yang dibentuk oleh tulang, kartilage, dan otot. Didalam rongga thoraks terdapat

dua ruangan yaitu paru-paru dan mediastinum serta terjadi proses sistem

pernapasan dan peredaran darah.Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu;

esophagus, paru paru, hepar, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe

(Ombregt, 2013).

Dinding thoraks merupakan sistem kompleks dari sejumlah struktur tulang,

tulang rawan, ligamen, otot dan tendon.Bagian superfisial dari dinding thoraks

adalah struktur tulang dan muskulus-tendon yang menghubungkan tungkai atas

dengan batang tubuh. Bagian kranial dibatasi oleh tulang vertebra thoraks

pertama, tulang kosta pertama, klavikula dan tepi atas manubrium. Batas inferior

dipisahkan terhadap abdomen oleh diafragma. Suatu kurungan thoraks terdiri dari

12 pasang tulang kosta. Setiap kosta terdiri dari kepala, leher, dan badan. Pada

bagian kepala memiliki suatu faset untuk terhubung dengan sendi

kostovertebra.Kecuali kosta satu dan dua, semuanya mempunyai cekungan untuk

perjalanan serat saraf dan pembuluh darah pada tepi bawah tulang(Ombregt,

2013). Tulang kosta berfungsi melindungi organ vital rongga thoraks seperti

jantung, paru-paru, hati dan Lien(Assi & Nazal, 2012)

7
8

Gambar 2.1 Anatomi tulang pada dinding thoraks(Drake, et al., 2010)

2.2 Trauma Thoraks

2.2.1 Definisi

Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan atau

organ intra thoraks, oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam (Mattox, et al.,

2013).

Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,

fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim

paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumothoraks

danhematothoraks(Milisavljevic, et al., 2012)


9

2.2.2 Epidemiologi

Trauma thoraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan

kondisi sosial ekonomi masyarakat.Di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata

mortalitas trauma tumpul thoraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25%

kematian multipel trauma disebabkan oleh trauma thoraks (Veysi, et al., 2009).

Trauma tumpul dinding dada terjadi lebih dari 10% kasus trauma yang datang ke

ruang gawat darurat di seluruh dunia, dengan morbiditas dan mortalitas tinggi

mulai 4 hingga 20% (Battle, et al., 2012).

2.2.3 Etiologi

Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan

trauma tajam.Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan

bermotor (63-78%) (Mattox, et al., 2013).Trauma thoraks dapat mengakibatkan

kerusakan pada tulang kosta dan sternum, rongga pleura saluran nafas intra

thoraks dan parenkim paru.Kerusakan ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi

tergantung mekanisme cedera (Gallager, 2014).

2.2.4 Patofisiologi

Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat

tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi

yang ringan pada dinding thoraks, berupa fraktur kosta simpel.Sedangkan

kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan

komplikasi pneumothoraks, hematothoraks dan kontusio paru.Trauma yang lebih

berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada

jantung(Mattox, et al., 2013).


10

2.3 Fraktur Kosta

2.3.1 Definisi Fraktur Kosta

Fraktur kosta adalah patah tulang yang terjadi pada tulang kosta. Flail chest

secara khusus didefinisikan dengan patah tulang pada 4 atau lebih patah tulang

kosta pada dua atau lebih lokasi yang menyebabkan adanya gerakan paradoksal

dari dinding thoraks selama pernafasan(Lube, 2013).

2.3.2 Epidemiologi

Fraktur kosta lebih sering terjadi pada usia lanjut dibandingkan usia muda, dan

disebabkan oleh ketidakelastisitas dari dinding thoaks usia lanjut(Marx, et al.,

2014).

Fraktur kosta pada remaja biasanya karena kegiatan olah raga dan rekreasi

sedangkan pada orang dewasa penyebab utamanya adalah kecelakaan lalu lintas.

Pada usia lanjut, penyebab utama terjadinya fraktur kosta adalah jatuh dari

ketinggian. Fraktur kosta juga bisa karena proses patologis (Assi & Nazal, 2012).

Pada anak- anak umur kurang dari 3 tahun penyebab terbanyak karena menjadi

korban kekerasan pada anak 82% dari 62 anak-anak dengan umur kurang dari 3

tahun menjadi korban kekerasan pada anak(Lafferty, et al., 2011).

Prevalensi dari fraktur kosta berhubungan dengan prevalensi penyebab dari

trauma. Fraktur kosta di dunia lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalulintas

(Lafferty, et al., 2011).

Lebih dari setengah dari semua pasien memerlukan tindakan operasi atau

penanganan ICU. Perburukan yang terjadi karena acute respiratory distress


11

syndrome (ARDS), pneumonia, intubasi yang tidak terantisipasi, transfer ke ICU

dengan hipoksemia atau meninggal (Lotfipour, et al., 2009).

Pada anak anak lebih banyak terjadi trauma pada bagian bawah thoraks dan

bagian perut sehingga bila terjadi fraktur kosta dapat menjadi tanda adanya

kemungkinan cedera dengan tenaga yang lebih besar. Pada anak-anak jarang

terjadi fraktur kosta karena tulang kosta anak anak lebih elastis dibandingkan

orang dewasa (Lafferty, et al., 2011; Bruner, et al., 2011)

2.3.3 Patofisiologi Fraktur Kosta

Struktur tulang kosta pada dinding thoraks dapat dibagi menjadi tiga area

berdasarkan tingkat trauma yang diperlukan untuk mengalami suatu cedera. Area

atas termasuk tulang kosta pertama hingga keempat. Fraktur pada area ini

umumnya memerlukan trauma dengan kecepatan tinggi dan berhubungan dengan

cedera pembuluh darah besar dan pleksus brakialis. Area tengah meliputi kosta

kelima hingga sembilan. Fraktur pada area ini lebih sering terjadi pada sisi

posterior atau lateral dengan komplikasi seperti laserasi paru, kontusio paru,

hematoma, hematothoraks, dan pneumothoraks. Area bawah termasuk kosta 10

hingga 12 dan berhubungan dengan cedera pada organ solid (cedera lien dan

hepar) (Park, 2012).

Stress Rib Fractures (SRF) merupakan cedera yang dimulai dengan adanya

tekanan kecil pada tulang, yang mana berlangsung terus menerus menyebabkan

fraktur mikrotubulus yang lama kelamaan menimbulkan fraktur pada kosta.

Cedera ini jarang terjadi dan terdiagnosis, paling sering terlihat pada pekerja dan

atlet dengan gerakan berulang (Vinther & Thornton, 2016). Paling sering terlihat
12

pada kosta empat hingga delapan sisi lateral atau anterolateral oleh karena

kontraksi berulang dari otot seratus anterior (McDonnell, et al., 2011). Temuan

radiografi mungkin normal pada tahap awal (Coris & Higgins, 2005).

Buckle fracture pada tulang kosta terjadi akibat retaknya korteks tulang bagian

dalam atau bagian luar (Maeseneer, et al., 2004). Tipe patah tulang ini tampak

sebagai keriput hingga adanya retakan pada korteks dan umumnya terlewatkan

pada pemeriksaan radiografi (Cho, et al., 2012).

Fraktur kosta nondisplaced didefinisikan sebagai fraktur dengan patahan

lengkap pada korteks dengan posisi yang masih satu kesejajaran, umumnya

melibatkan medula dan korteks bagian dalam dan bagian luar. Deteksi terhadap

fraktur kosta undisplaced sulit dan gambaran cedera ini seringkali terlihat pada

foto follow up saat muncul tanda tanda penyembuhan (Cho, et al., 2012).

Saat terjadi patahan pada korteks disertai hilangnya kesejajaran garis tulang,

fraktur tersebut dikatakan displaced. Pergeseran tulang ini dapat minimal atau

tampak jelas. Cedera pada jaringan dan struktur disekitarnya dapat terjadi, dan

berbagai komplikasi berbahaya lainnya telah dilaporkan pada berbagai literatur

(Boyles, et al., 2013). Fraktur displace ini teridentifikasi pada foto polos atau pada

CT Scan. Ketebalan dan densitas dari korteks kosta berhubungan dengan

displacement dari fraktur ini termasuk gaya yang diterima oleh tulang tersebut

(Kindig, et al., 2010). Elastisitas juga berpengaruh terhadap terjadinya

displacement yang mana berbeda pada tiap individu. Pada tulang anak anak

dengan elastisitas yang tinggi memerlukan suatu gaya yang lebih besar untuk
13

menimbulkan fraktur sempurna pada kosta anak anak dibandingkan dengan kosta

dewasa (Misseroni, et al., 2015).

Fraktur segmental merupakan cedera tingkat tinggi dengan dua buah patahan

yang sempurna yang terpisah pada satu kosta yang sama. Farktur segmental ini

mungkin masih dalam satu garis yang sejajar atau seringkali bergeser sebagian

atau seluruhnya pada satu atau kedua lokasi fraktur (Borman, et al., 2006). Fraktur

kosta segmental yang terjadi pada tiga atau lebih kosta yang berurutan

berhubungan dengan meningkatnya risiko flail chest. Flail chest menyebabkan

terjadinya gerakan pernapasan paradoksal, dimana dinding dada yang cedera

tertari kedalam pada saat inspirasi dan menggembung keluar pada saat ekspirasi

(Lafferty, et al., 2011).

2.3.4 Manifestasi Klinis

Gambaran mengenai kondisi prehospital yang diberikan oleh paramedis dapat

memberi informasi mengenai kemungkinan adanya fraktur kosta. Adanya

tabrakan kendaraan bermotor, deformitas dari setir kendaraan dan aktifnya sabuk

pengaman dan airbag berhubungan dengan cedera pada kosta (Lafferty, et al.,

2011).

Pasien dengan fraktur kosta mengeluh nyeri saat inspirasi dan sesak napas.

Nyeri pada saat palpasi, adanya krepitasi, dan deformitas dari dinding dada

merupakan tanda umum adanya fraktur kosta. Gerakan dinding dada yang

paradoksal saat bernapas merupakan tanda adanya flail chest. Adanya gangguan

oksigenasi dapat merupakan tanda adanya pneumothoraks, hematothoraks, atau

kontusio pulmonum (Lafferty, et al., 2011).Adanya kecurigaan fraktur kosta


14

bagian bawah perlu dilakukan penilaian adanya kecurigaan cedera pada organ

intraabdomen (Park, 2012).

Pada pasien dengan fraktur kosta tanpa riwayat trauma perlu dicurigai adanya

tumor tulang primer pada dinding dada yang bermanifestasi sebagai fraktur kosta,

termasuk adanya metastasis tulang akibat adanya keganasan pada organ lain

(Capps, et al., 2009).

2.4 Pemeriksaan Diagnostik

2.4.1 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna untuk

mengevaluasi kasusisolated rib fractures. Pemeriksaan urinalisis pada kasus

patah tulang kosta bagian bawahdiindikasikan pada kecurigaan trauma ginjal. Tes

fungsi paru seperti analisa gas darah digunakan untuk mengetahui adanya

kontusio paru tetapi bukan pemeriksaan untuk fraktur kosta itu sendiri(Mattox, et

al., 2013).

2.4.2 Foto Polos Thoraks

Pemeriksaan awal pada pasien dengan kecurigaan fraktur kosta paska trauma

thoraks adalah foto polos thoraks. Deteksi dini adanya fraktur kosta maupun

komplikasinya sangat penting untuk mengetahui kelainan patologis dan

perencanaan perawatan. (Mirka, et al., 2012).

Pemeriksaan foto polos thoraks sangat berguna untuk mengetahui cedera

lainnya seperti adanya hemothorax, pneumothorax, kontusio paru, atelectasis,

pneumonia dan cedera pembuluh darah. Adanya patah tulang sternum dan scapula

dapat menjadi kecurigaan adanya fraktur kosta. Cedera aorta tampak ada
15

pelebaran > 8 cm dari mediastinum pada bagian atas kanan dari hasil foto polos

Thoraks (Assi & Nazal, 2012).

Studi menunjukkan bahwa foto dalam posisi posteroanterior memiliki nilai

spesifisitas namun bukan sensitivitas terhadap fraktur kosta. Posisi anteroposterior

kurang sensitif dibandingkan dengan radiografi posisi posteroanterior (Bansidhar,

et al., 2002; Mirka, et al., 2012).

2.4.3 Ultrasonography

Pemeriksaan Ultrasonography (USG) memberikan diagnosa yang cepat tanpa

radiasi. Pemeriksaan USGjuga dapat mendeteksi kartilago tulang kosta dan

costochondral junction(Hosseini, et al., 2015). Proses penyembuhan dengan

callous formationjuga dapat dideteksi dengan USG(Melendez, et al., 2016).USG

dilaporkan mempunyai sensitivitas yang bisa diterima dengan hasil sensitivitas

lebih tinggi dibandingkan dengan radiografi (0.92 vs. 0.44) tetapi hasil ini sangat

tergantung pada operator alat dan alat yang digunakan (Hosseini, et al., 2015).

2.4.4 CT ScanThoraks

Fraktur kosta sederhana dapat dicurigai dan dinilai berdasarkan pemeriksaan

klinis dan tidak memerlukan pemeriksaan CT scan secara rutin, kecuali ditemukan

kondisi patologis lain pada rongga intrathorax yang memerlukan penilaian lebih

lanjut (Marx, et al., 2014; Mirka, et al., 2012).

CT scan thoraks lebih sensitif daripada foto polos thoraks untuk mengetahui

fraktur tulang kosta. Jika dicurigai adanya komplikasi dari fraktur kosta pada

pemeriksaan foto polos thoraks (Taylor, et al., 2013). CT scan dapat membedakan
16

area dari kontusio paru terjadi atelectasis atau aspirasi (Ganie, et al., 2013; Mirka,

et al., 2012).

2.4.5 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk mengetahui angulasi patah tulang kosta bagian

posterior lateral meskipun MRI tidak digunakan untuk diagnosis pertama pada

patah tulang kosta(Melendez, et al., 2016).

Mengidentifikasi penyebab nyeri dinding dada anterior seringkali sulit. Secara

klinis untuk diagnosis diferensialnya luas meliputi fraktur kosta, cedera kartilage

kosta, dan cedera jaringan otot. Cedera kartilage kosta merupakan diagnosis

pencitraan yang jarang namun sering terjadi didalam praktik klinis sehari hari dan

ditangani tanpa konfirmasi pencitraan. Pada pasien yang mana diagnosis klinis

tidak jelas atau memerlukan konfirmasi dan menyampingklan cedera lain,

terutama pada atlet profesional, MRI merupakan teknik yang berguna. (Subha, et

al., 2008).

2.5 Manajemen Fraktur Kosta

2.5.1 Sistem Skoring Pada Fraktur Kosta

Jumlah fraktur kosta berkaitan dengan keparahan dari cedera, sejalan dengan

faktor usia, keduanya merupakan determinan yang paling penting didalam

mengetahui morbiditas dan mortalitas. Jumlah fraktur empat keatas berkaitan

dengan tingginya angka mortalitas. Berdasarkan usia dan jumlah fraktur ini,

Easter menciptakan suatu rumusan untuk menentukan pasien dewasa mana yang
17

memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga membutuhkan penanganan oleh tingkat

pelayanan yang lebih tinggi. (Holcomb, et al., 2003)

Rumusan tersebut diformulasikan sebagai: Rib fracture score ¼ (breaks ×

sides) + age factor. Breaks adalah jumlah fraktur pada kosta, bukan jumlah kosta

yang fraktur. Side memiliki nilai bila sisi bilateral adalah 2 dan unilateral adalah

1. Didalam studi Maxwell dan kolega, tidak ditemukan validitas yang kuat

sebagai prediktor secara statistik, namun berguna sebagai sarana skrinning untuk

meningkatkan kewaspadaan akan timbulnya risiko. Sistem skoring ini juga

digunakan sebagai alat untuk menentukan tingkat obat analgetika yang tepat yang

dibutuhkan pasien. (Maxwell, et al., 2012)


18

Gambar 2.2 Algoritma Manajemen Nyeri pada Fraktur Kosta Multipel


(Holcomb, et al., 2003)
2.5.2 Manajemen Ventilasi

Penanganan ventilasi pada pasien dengan fraktur kosta dimulai dengan

pemberian oksigen tambahan. Pemberian cairan saline secara nebulizer dapat

berguna untuk mengurangi retensi sputum. Pemberian tekanan oksigen positif

dapat mencegah atelektasis, mengurangi intrapulmonary shunting, dan

mengurangi gerakan paradoksal bila terdapat flail chest. Bila semua usaha tersebut

gagal, diperlukan ventilasi secara invasif dengan sedasi. Hal ini sedapat mungkin

dihindari bila tidak terdapat cedera lain pada pasien. Sekali pasien terpasang

ventilator, proses pelepasan alat ini sangat sulit. Penanganan nyeri yang baik

merupakan kunci didalam penanganan pasien ini. (May, et al., 2016)

2.5.3 Manajemen Nyeri

Penanganan nyeri perlu dipertahankan selama perawatan dan merupakan

dasar dari kualitas perawatan pasien untuk menjamin kenyamanan pasien. Pasien

dengan patah tulang kosta akan mengalami nyeri berat ketika bernafas, berbicara,

batuk maupun ketika menggerakkan tubuh. Sehingga penanganan nyeri

merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru dan efek sistemik dari fraktur

seperti penurunan fungsi pernafasan yang memicu terjadinya hypoxia, atelectasis,

dan pneumonia(Esmailian, et al., 2015).

Pemberian analgetika dimulai sejak pasien berada di unit gawat darurat untuk

mengurangi nyeri pasien, meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah

komplikasi yang dapat muncul beberapa hari berikutnya.Golongan opioid

sebelumnya merupakan terapi utama, namun dengan efek samping yang


19

signifikan, diantaranya depresi napas, refleks batuk yang berkurang, dan delirium.

Saat ini digunakan analgetika yang sifatnya multi-modalitas, yang

menggabungkan blok saraf regional dan analgetika epidural thorakal.(May, et al.,

2016)

Tahap pertama dengan pemberian analgetika sederhana secara reguler, seperti

parasetamol, opioid golongan lemah, obat anti inflamasi non steroid, dan opioid

golongan kuat pada nyeri yang sangat berat. Bila analgetika yang diberikan sudah

cukup untuk pasien, regimen obat ini dilanjutkan. (May, et al., 2016).

Tahap kedua golongan opioid diberikan bila nyeri tidak tertangani dengan

baik pada intervensi tahap pertama. Pemberian morfin secara intravena dapat

dititrasi berdasarkan berat badan. Setelah efek analgetika yang didapat cukup,

opioid golongan kuat (morfin sulfat) dapat ditambahkan dalam resep reguler

menggantikan opioid golongan lemah. Efek samping dari opioid golongan kuat

seperti mual, muntah, konstipasi, dapat ditangani dengan pemberian obat sesuai

keluhan.(May, et al., 2016)

Tahap ketiga menggunakan analgetika yang dikontrol sendiri oleh pasien

secara intravena. Bila nyeri masih tidak dapat dikontrol atau sudah menggunakan

bolus morfin bermacam-macam, sudah saatnya memulai analgetika yang

dikontrol pasien. Penambahan gabapentinoid harus dipikirkan.(May, et al., 2016)

Tahap keempat menggunakan teknik anestesi regional dan fiksasi operasi.

Analgetika epidural telah menjadi standar ketika opioid tidak cukup tersedia.

Pasien dengan fraktur kosta dengan level yang lebih tinggi, bilateral, flail chest,

drain interkostal, dan dengan gangguan respirasi akibat nyeri dapat mendapatkan
20

manfaat dari pemberian analgetika epidural. Jumlah fraktur kosta, cedera pada

organ lain, usia, komorbiditas, dan status hemodinamik memberikan dampak

terhadap volume obat anestesi, penambahan opioid, dan jumlah awal yang diinfus.

Beberapa pasien trauma dengan cedera organ lain memiliki kontraindikasi

penggunaan epidural atau yang mana tidak memungkinkan untuk memposisikan

pasien saat insersi.Kerugian dari analgetika epidural thorakal diantaranya, secara

teknis lebih sulit pada saat insersi, dengan risiko menusuk dura atau cedera pada

medula spinalis, terjadi hipotensi, retensi urine dan pruritus.(Yeh, et al., 2012)

Blok paravetebra dengan cara injeksi obat anestesi lokal kedalam ruang

paravertebra thorakal untuk menimbulkan efek blok sensoris, motorik, dan

simpatik unilateral. Saraf spinalis tidak diikat oleh kumpulan fasia, sehingga

meningkatkan penyebaran dari obat anestesi. Pemberian dalam volume obat yang

adekuat mayoritas penyebaran secara kaudal dan kranial akan mencakup paling

tidak lima dermatom sensoris. Satu tusukan kateter dapat memberikan efek pada

enam fraktur kosta secara berurutan. Direkomendasikan pemberian

levobupivakain 0,25% bolus sebanyak 40ml, diikuti dengan pemberian cairan

infus mengandung levobupivakain 0,1% 5-10ml per jam. Infus ini dipertahankan

hingga 7 hari. Secara evidens, blok paravertebra sama efektifnya dengan epidural

thorakal dan mengurangi kontraindikasi, komplikasi, dan efek samping yang

terjadi pada epidural thorakal(Karmakar, et al., 2011).

Blok otot serratus pertama kali diperkenalkan oleh Blanco pada tahun 2013

untuk operasi pada dinding dada bagian anterolateral, dengan tujuan memberikan

anestesia pada hemithoraks. Blok ini digunakan sebagai alternatif selain blok
21

paravertebra dan epidural. Kontraindikasi blok ini diantaranya alergi terhadap

obat yang akan diberikan, adanya infeksi lokal, tanda anatomi sulit diidentifikasi

secara ultrasonografi akibat emfisema subkutis atau adanya drain thoraks.(Blanco,

et al., 2013)

Blok interpleura dengan memberika obat anestesi lokal dalam jumlah volume

yang besar melalui drain thoraks. Distribusi obat ini dipengaruhi gravitasi.

Adanya cairan atau darah didalam rongga pleura juga mempercepat dilusi dari

obatobatan yang diberikan. Dapat terjadi infeksi pada rongga pleura dan

menyebabkan empyema.(Karmakar, et al., 2011).

Blok interkostal secara tepat dapat memberikan efek analgetika dalam jangka

waktu 4-24 jam. Pemberian blok interkostal ini membutuhkan injeksi obat yang

berulang kali dengan risiko terjadi pneumothoraks dan injeksi intravaskuler.

Palpasi pada saat pemberian injeksi menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien

(May, et al., 2016).

2.5.4 Fiksasi Tulang Kosta

Penggunaan fiksasi patah tulang kosta meningkat untuk penanganan flail chest

karena peningkatan jumlah publikasi tentang peningkatan outcome pasien

(Taylor, et al., 2013). Fiksasi patah tulang melalui pembedahan/Surgical Rib

fixation (SRF) merupakan suatu penanganan pada flail chest untuk menjaga

stabilitas dinding thoraks(Unsworth, et al., 2015).

Fiksasi tulang dengan operasi untuk menstabilkan tulang dada telah banyak

dikerjakan di berbagai negara. Pasien dengan flial chest, kegagalan pernapasan,

penggunaan ventilator yang berkepanjangan, atau dengan fungsi paru-paru yang


22

berkurang sangat dipertimbangkan untuk dilakukan fiksasi dengan operasi.

Tujuannya adalah untuk menstabilkan dinding dada, mengembalikan mekanisme

pernapasan normal, dan mengurangi nyeri. Indikasi lain seperti fraktur kosta yang

tidak mempan dengan manajemen nyeri pada umumnya, fraktur yang sifatnya

non-union, dan saat tindakan thorakotomi akibat cedera primer yang lain.

(Hasenboehler, et al., 2011).

Prosedur ini umumnya dilakukan pada posisi lateral dibawah pembiusan

umum. Penggunaan tabung orotrakeal dengan lumen ganda dapat memberikan

kesempatan untuk evaluasi paru paru saat operasi. Fraktur kosta pada anterior,

anterolateral, dan posterolateral dapat difiksasi menggunakan plat. Beberapa

fraktur pada bagian posterior sulit untuk dinilai tanpa menyebabkan cedera pada

otot-ototnya. Foto polos thoraks paska operasi diperlukan untuk menilai fiksasi

fraktur dan pengembangan paru paru. (Karmakar, et al., 2011)

Studi uji klinis secara random melaporkan adanya penurunan signifikan angka

pneumonia pada fiksasi operasi dibandingkan yang dirawat dengan ventilasi

mekanis. Lama waktu perawatan intensif juga lebih rendah dan mengurangi angka

mortalitas (Battle, et al., 2013). Studi lain juga menyatakan fiksasi dengan operasi

mengurangi penggunaan opiod dan bersifat cost effective (Pressley, et al., 2012).

2.6 Komplikasi Fraktur Kosta

2.6.1 Hipoksia

Fraktur kosta mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme.

Ketidaksesuaian perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas dan penurunan


23

compliance paru sehingga secara klinis muncul gejala seperti hipoksia.(Mattox, et

al., 2013).

2.6.2 Atelektasis

Nyeri dari patah tulang kosta dapat disebabkan karena penekanan respirasi

yang menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Hipoksemia berhubungan dengan

ketidak sesuaian ventilasi dan perfusi karena penurunan ventilasi sehingga

meningkatkanFiO2(Mattox, et al., 2013).

2.6.3 Pneumonia

Pneumonia merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada

patah tulang kosta.Pneumonia dapat bervariasi tergantung pada patah tulang kosta

dan umur pasien.Insiden terjadinya pneumonia pada semua pasien yang dirawat di

rumah sakit dengan satu atau lebih patah tulang kosta sekitar 6 %(Melendez, et

al., 2016).

2.6.4 Kerusakan Organ Viseral

Fraktur pada kosta bagian bawah biasanya berhubungan dengan trauma pada

organ abdomen dibandingkan dengan parenkim paru.Fraktur pada bagian bawah

kiri berhubungan dengan trauma lien dan fraktur pada bagian bawah kanan

berhubungan trauma liver dengan fraktur pada kosta 11 dan 12 biasanya

berhubungan dengan cedera ginjal(Mattox, et al., 2013).

2.6.5 Pneumothoraks

Pneumothoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di

rongga pleura akibat robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau karena
24

trauma, yang mengakibatkan terjadinya peningkatantekanan negatif intrapleura

sehingga mengganggu proses pengembangan paru (Neto, et al., 2015).

2.6.6 Hematothoraks

Hematothoraks berhubungan dengan adanya darah/bekuan darah pada rongga

thoraksdan memerlukan tindakan segera thoracostomy drainage.Sumber

perdarahan umumnya berasal dari arteri interkostalis atau arteri mamaria

interna.Pasien hematothoraksdapat terjadi syok hipovolemik berat yang

mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan

yang nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam

rongga thoraks(Mattox, et al., 2013).

2.6.7 Kontusio paru

Fraktur kosta selalu berhubungan dengan kontusio paru. Patah tulang kosta

multipel ditemukan menjadi predisposisi terjadinya penurunan fungsi paru dan

compromised ventilation(Lafferty, et al., 2011).

2.6.8 Nyeri

Nyeri pada trauma tumpul thoraks berkaitan dengan fungsi pernapasan yang

terhambat, yang mana dapat memicu komplikasi serius. Berbagai modalitas

analgetika telah dinilai dan dibandingkan pada populasi fraktur kosta(Unsworth,

et al., 2015).

2.7 Nyeri

2.7.1 Definisi Nyeri

Definisi nyeri sebagai suatu pengalaman subyektif, adalah sensori yang tidak

menyenangkan dan pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan


25

jaringan atau yang berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan (Melzack & Wall,

2008).Sangat sedikit kasus cedera thorax non-bedah yang lebih nyeri

dibandingkan fraktur kosta (Shields, et al., 2010).

2.7.2 Nyeri kronis

Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang terjadi selama ≥ 3 bulan dan

umumnya tidak berespon terhadap terapi konvensional atau pembedahan. Alat

yang tepat untuk mengukur kualitas dan intensitas pengalaman nyeri diperlukan

agar dapat merencanakan tindak lanjut dan memprediksi hasilnya (Choi, et al.,

2015).

Fraktur kosta multipel merupakan kondisi yang umum menyebabkan nyeri.

Sebanyak 32% pasien yang menjalani pembedahan dan 50% pasien yang dirawat

secara konservatif masih mengalami nyeri pada dinding dada pada tahun pertama

paska operasi. Tidak diketahui pasti penyebab dari nyeri kronis tersebut. (Olsen,

2016)

Nyeri kronis saat ini merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang

mayor. Nyeri kronis secara negatif mempengaruhi fungsi fisik, kesehatan mental,

produktivitas kerja, kualitas hidup keseluruhan, dan berhubungan dengan

penggunaan sumber daya kesehatan yang berlebihan. Diperkirakan persentase

populasi umum dengan nyeri kronis di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa

berkisar 19% hingga 57%. Cedera trauma merupakan penyebab primer dari nyeri

kronis pada 12%-41%. (Tripp, et al., 2006; CB, et al., 2010; Breivik, et al., 2006).

Kemampuan untuk mengalami rasa nyeri adalah penting didalam bertahan

hidup. Sistem nyeri termasuk didalamnya serat aferen (nosiseptor) yang berespon
26

terhadap cedera dan jalur yang ditimbulkan oleh aferen ini, tidak hanya

menimbulkan reaksi menghindar terhadap cedera, tetapi juga menunjukkan fungsi

perlindungan terhadap cedera jaringan atau saraf. Didalam kondisi ini, neuron

didalam jalur nyeri menjadi terangsang (mengalami sensitisasi). Proses ini

merupakan respon adaptif yang memicu proses perlindungan pada wilayah yang

mengalami cedera. Pada beberapa kasus, proses perangsangan ini masih muncul

dalam jangka waktu yang lama, sehingga menimbulkan sindroma nyeri kronis

yang masih ada meskipun cedera yang akut telah hilang(Cavanaugh & Basbaum,

2011).

Sebuah penelitian ilmiah mengenai pengalaman nyeri membutuhkan suatu

instrumentasi pengukuran dan beberapa instrumentasi yang valid tersedia. Alat

yang paling sering digunakan adalah McGill Pain Questionnaire (MPQ) yang

diperkenalkan oleh Melzack yang terdiri dari 20 macam deskripsi verbal untuk

mengukur dimensi dari pengalaman nyeri; sensoris, afektif (emosional), dan

kognitif (Melzack & Wall, 2008).

Didalam MPQ terdapat Visual Analog Scale (VAS). VAS telah digunakan pada

berbagai macam klinis termasuk penilaian nyeri saat melahirkan, nyeri pelvis

kornis, dan sklerosis sistemik (Droz & Howard, 2011; El-Baalbaki, et al., 2011).

VAS telah divalidasi di berbagai negara termasuk bahasa Yunani, Swedia,

Thailand, dan Korea (Strand, et al., 2008).Pada kuesioner visual analog scale

dengan garis sepanjang 10 cm untuk menggambarkan seberapa berat nyeri yang

dialami. Nyeri diukur dari skala intensitas 0 hingga 10. Nilai VAS<3 dikategorikan

tidak ada nyeri atau nyeri yang ringan (Raad, 2015).


27

Penggunaan VAS untuk penelitian disediakan oleh Mapi Research Trust.

Didalam penelitian akademik dan praktik klinis individu, penggunaannya tidak

dikenakan biaya. Pada penggunaan komersial dengan tujuan profit, dikenakan

biaya sesuai ketentuan (Melzack, 2016).

2.8 Disabilitas

Sebagai hasil dari nyeri kronis, pasien dengan nyeri kronis manghadapi

keterbatasan didalam aktivitas sehari-hari. Sebagai contoh adanya kelelahan dan

keterbatasan gerak dapat menimbulkan perburukan fungsi fisik hingga

menimbulkan disabilitas(Choi, et al., 2015).

Sebuah studi menggambarkan penurunan yang signifikan dari kualitas hidup

pasien pasien fraktur kosta yang memerlukan rawat inap di rumah sakit. Angka

kembali bekerja dikatakan buruk dimana hanya 71% dari mereka yang klembali

bekerja sesuai pekerjaan awal sebelum mengalami cedera(Marasco, et al., 2015)

Pasien perempuan cenderung memiliki outcome kualitas hidup yang lebih

buruk dibandingkan laki-laki. Tidak ada pengaruh usia didalam studi ini,

walaupun pasien usia tua memiliki skor dibidang komponen mental yang lebih

baik mengindikasikan bahwa mungkin mereka dapat menerima keterbatasan yang

dimiliki dibandingkan pasien dengan usia lebih muda(Marasco, et al., 2015).

International Classificiation of Functioning (ICF) adalah klasifikasi yang

dibuat World Health Organization (WHO) dan digunakan untuk melihat keadaan

kesehatan dan kecacatan atau disabilitas. Dalam ICF disabilitas adalah suatu

kondisi kehidupan seseorang sebagai dampak dari interaksi hubungan yang

kompleks antara kondisi kesehatannya dengan faktor-faktor personal dan faktor


28

lingkungan. Faktor lingkungan saling berhubungan dengan fungsi tubuh, seperti

antara kualitas udara dengan pernapasan, penerangan dengan penglihatan, bunyi

dan pendengaran dan temperatur udara dan suhu tubuh seseorang. Sedangkan

faktor personal bagian dari latar belakang kehidupan seseorang yang

memperlihatkan gambaran kondisi kesehatan seseorang. Termasuk dalam faktor

personal adalah gender, ras, umur, kebugaran, gaya hidup, kebiasaan, latar

belakang sosial, pendidikan, pekerjaan, pengalaman dulu dan sekarang, secara

keseluruhan pola hidup dan karakteristik, dan mental seseorang memainkan

peranan pada kejadian disabilitas pada seseorang. Faktor lingkungan dan personal

saling berhubungan dengan kondisi kesehatan seseorang dan menentukan

tingkatan dan luasnya keadaan disabilitas pada seseorang (WHO, 2011)

Berdasarkan konsep ICF tersebut, WHO mengembangkan instrumen

mengukur disabilitas yang disebut WHO Disability Assessment Schedule

(WHODAS) yang dikembangkan lebih lanjut menjadi WHODAS Versi 2 , terdiri

dari 6 domain: aktivitas sehari-hari, pemahaman dan komunikasi, mobilitas,

perawatan diri, berinteraksi dengan orang sekitar, dan partisipasi dalam

masyarakat. Instrumen ni telah dipakai di banyak penelitian, dan mengalami uji

psikometri dan validitas dengan hasil yang baik (Carlozzi, et al., 2015; Olatz, et

al., 2010; Mikhail, et al., 2017)

WHODAS 2.0 dikatakan memiliki konsistensi internal yang tinggi

(Cronbach’s alpha, α: 0.86), struktur faktor resiko yang stabil, reliabilitas tes dan

re-tes yang tinggi (intraclass correlation coefficient:0.98), kesesuaian terhadap

skala Rasch antar populasi, dan responsitivitas yang tinggi. Suatu hasil validitas
29

yang konkuren atau bersamaan adalah seberapa baik hasil dari WHODAS 2.0

berkorelasi terhadap hasil dari instrumen lain yang mengukur disabilitas yang

sama. Dari penelitian ini didapatkan hasil konkurensi yang baik bila dibandingkan

dengan berbagai instrumen pengukuran disabilitas yang dikenal seperti WHO

Quality of Life measure (WHO QOL), the London Handicap Scale (LHS), the

Functional Independent Measure (FIM) and the Short Form Health Survey

(SF)(Üstün, et al., 2010).

Didalam dua lapangan uji, suatu versi pendek dari WHODAS versi 2.0 yang

berjumlah 12 pertanyaan yang menggambarkan 81% varian dari versi 36

pertanyaan. Dari masing masing domain, versi 12 pertanyaan memasukkan 2

pertanyaan dengan hasil skrinning yang mengidentifikasi lebih dari 90% dari

semua individu dengan disabilitas saat diuji menggunakan 36 pertanyaan (Üstün,

et al., 2010).

Didalam skoring sederhana, skor yang dituliskan pada masing-masing

pertanyaan (1, tidak ada; 2, ringan; 3, sedang; 4,berat; 5,sangat berat)

dijumlahkan. Skoring sederhana ini digunakan secara praktis pada situasi klinis

yang sibuk. Skoring sederhana ini hanya dapat digunakan pada jumlah sampel

yang sedikit. Skor maksimal pada sistem penilaian ini adalah 60. Semakin tinggi

skor mencerminkan semakin berat derajat disabilitas. Skor 12 mencerminkan

tidak ada disabilitas dan skor 60 mencerminkan disabilitas komplit. Skor ≥17

mencerminkan suatu disabilitas yang signifikan (Üstün, et al., 2010).


30
31

Anda mungkin juga menyukai