Oleh:
Wecitria Bimaviola, S.Ked
NPM. 19360158
Dinda Dwi Fajarwati. S. Ked
NPM. 16310079
Preceptor:
dr. Bara ade wijaya, Sp.THT - KL
A. LATAR BELAKANG
dari dan ke paru-paru. Hidung juga memberikan tambahan resonansi pada suara dan
merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata. Hidung
bagian atas terdiri dari tulang dan hidung bagian bawah terdiri dari tulang rawan
(kartilago). Di dalam hidung terdapat rongga yang dipisahkan menjadi 2 rongga oleh
belakang.1
permukaan yang dilalui udara. Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir dan
hidung menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk dengan segera. Sel-sel
pada selaput lendir menghasilkan lendir dan memiliki tonjolan-tonjolan kecil seperti
rambut (silia).
Biasanya kotoran yang masuk ke hidung ditangkap oleh lendir, lalu disapu
oleh silia ke arah lobang hidung atau ke tenggorokan. Cara ini membantu
membersihkan paru-paru.2
Sel-sel penghidu terdapat di rongga hidung bagian atas. Sel-sel ini memiliki
silia yang mengarah ke bawah (ke rongga hidung) dan serat saraf yang mengarah ke
atas (ke bulbus olfaktorius, yang merupakan penonjolan pada setiap saraf
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior
hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum
nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap
kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior.2
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang
fossa pterigoides.2
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os
medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi,
B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih
kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan
meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk
bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal
dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
C) Septum Hidung
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.3
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
oleh Antigen Presenting Cell (APC) ke CD4+ limfosit T. Ikatan antara sel penyaji
antigen dan sel Th0 memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Hal ini
mengakibatkan sitokin-sitokin IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan Granulocyte-
IgE dapat berikatan dengan reseptornya (FceRI) di permukaan sel mast yang ada di
sirkulasi darah dan jaringan membentuk ikatan IgE-sel mast. Dengan adanya
Selanjutnya, pada fase aktivasi, paparan antigen yang sama pada mukosa
nasal akan menyebabkan adanya crosslinking (ikatan antara dua molekul igE yang
berdekatan pada permukaan sel mast dan basofil dengan alergen yang polivalen).
Hasil akhirnya adalah degranulasi sel mastosit dan basofil hingga pengeluaran
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain PGD2,
LTD4, LTC4, bradikinin, TNF-α, IL-4, serta Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin.19 Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil
akan berikatan dengan reseptor yang berada pada ujung saraf, endotel pembuluh
Histamin sebagai mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil
mengakibatkan lebih dari 50% gejala reaksi hidung. Efek histamin pada kelenjar
karena aktivasi reflek parasimpatis yang meningkatkan efek sekresi kelenjar dan
mengakibatkan gejala rinore dengan seros yang akan memperberat gejala sumbatan
hidung. Histamin juga menstimulasi sel-sel endotel untuk mensintesis relaxan yang
bekerja pada pembuluh darah seperti Prostaglandin (PGI)2 dan Nitrit Oksida (NO)
apoptosis eosinofil.20 PGI D2 adalah prostanoid utama yang diproduksi pada fase
peroksidase dan protein basic.22 Sitokin lain, PAF, juga mempunyai peranan dalam
mekanisme sumbatan hidung dengan cara retraksi dan relaksasi sel-sel endotel
Hasil pelepasan sitokin dan mediator lain adalah mukosa nasal menjadi
terinfiltrasi dengan sel inflamasi seperti eosinofil, neutrofil, basofil, sel mast dan
limfosit. Hal ini membuat reaksi inflamasi pada mukosa hidung semakin parah
Anatomi bentuk hidung seseorang akan sesuai dengan tipe suku bangsa
atau ras tertentu. Bentuk dan ukuran hidung bagian luar akan mempengaruhi
ukuran dan bentuk hidung bagian dalam atau rongga hidung, sehingga akan
bulosa. Sedangkan kelainan anatomi yang bersifat kongenital adalah atresia koana
dan celah palatum.8
A) Septum Deviasi
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung, namun bisa
terdapat kelainan berupa septum yang tidak terletak di tengah yang disebut septum
deviasi. Septum deviasi dapat menyebabkan gangguan jalan napas dan gejala
sumbatan hidung. Defleksi anterior yang memiliki dampak terbesar pada aliran
udara.9
-Tipe IV, terdapat dua krista, satu krista terletak berdekatan dengan ujung
konka media, sedangkan krista lain terletak di sisi berseberangan pada area
katub
-Tipe V, krista unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain septum
lurus.
-Tipe VI, menunjukan sulkus pada sisi yang berseberangan dengan krista
B) Konka Hipertrofi
Konka terdiri dari struktur tulang yang dibatasi oleh mukosa. Mukosanya
memiliki epitel kolumnar pseudostratifed bersilia dengan sel goblet dan banyak
dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung
luar dan vestibulum nasi. Tumor hidung sering tidak diketahui sejak dini karena
letaknya yang terlindung dan sulit dideteksi. Gejala awalnya pun tidak spesifik
Klasifikasi tumor hidung dibagi menjadi 2, yaitu tumor hidung ganas dan
tumor hidung jinak. Contoh tumor jinak adalah papilloma squamosa, displasia
akan berakibat pada tahanan hidung yang meningkat sehingga aliran udara
2.2.2 Sinusitis
gejala lain :
● pemeriksaan endoskopi :
- polip hidung
- discaj mukopurulen yang keluar dari meatus nasi media, dan / atau
- udem / obstruksi mukosa pada meatus nasi media, dan / atau
● CT scan :
- perubahan mukosa dalam kompleks osteomeatal dan / atau sinus
Pemeriksaan penunjang :
- Nasoendoskopi sangat dianjurkan, karena dapat menilai secara jelas ada
tidaknya sekret purulen di meatus media, mukosa udem dan hiperemi,
obstruksi meatus media. Juga dapat menilai kelainan anatomi seperti
septum deviasi, ada tidaknya polip.
- Pemeriksaan mikrobiologi kultur kuman dan pemeriksaan resistensi
dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius.
- Foto polos posisi waters, PA, dan lateral. Hanya mampu melihat sinus
besarseperti maksila dan frontal dengan gambaran perselubungan dan
batas udara-air (air fluid level) serta penebalan mukosa.
Sinusitis kronik :
1. Antibiotik sesuai kultur (min. 10-14 hari)
2. Dekongestan hidung
3. Mukolitik
4. Kortikosteroid sistemik
5. Jika tak terkontrol : irigasi sinus, operasi FESS (functional endoscopic
sinus surgery), CWL (CaldWell-Luck).8,9
- Faktor risiko :
Penggunaan obat vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau semprot
hidung) dalam waktu yang lama dan jumlah yang berlebihan
- Pemeriksaan penunjang :
Dilakukan jika pada rinoskopi anterior kurang jelas menilai hipertrofi
konka : nasoendoskopi, X foto polos PA, CT scan.
Sarana Prasarana
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung11,12
BAB III
KESIMPULAN
udara dari dan ke paru-paru. Hidung juga memberikan tambahan resonansi pada
suara dan merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata.
Hidung bagian atas terdiri dari tulang dan hidung bagian bawah terdiri dari tulang
rongga oleh septum, yang membentang dari lubang hidung sampai ke tenggorokan
bagian belakang.
Dan banyak penyakit yang tersering pada rongga hidung, Hidung tersumbat
atau kongesti hidung terjadi karena adanya aliran udara yang terhambat dikarenakan
rongga hidung yang menyempit. Penyempitan rongga ini bisa terjadi akibat proses
inflamasi yang memberikan efek vasodilatasi atau sekresi mukus yang berlebih, kelainan
1. American academy of otolaryngology head and neck surgery. Adult With Possible
Sinusitis. www.entnet.org/adultsinusitisCPG
2. Broek, P.V.D., Feenstra, L. 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal. Buku
Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta: EGC, 99-
100.
3. Brook, I. 2015. Acute Sinusitis. Department of Pediatrics, Georgetown University
School of Medicine. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/232670overview#a3
4. BZ, Joshua., et al. 2013. Comparison of clinical data, CT, and bone histopathology
in unilateral chronic maxillary sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 148 (1):145-
50. [Medline].
5. CDC, 2012. Chronic Sinusitis. http://www.cdc.gov/nchs/fastats/sinuses.htm.
D’Ascanio, L., C, Lancione., et al. 2010. “Craniofacial growth in children with
nasal septum deviation a ephalometric comparative study.” International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology, 1180-1183.
6. Damayanti, S., Mangunkusumo, E. 2012. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N. Buku ajar ilmu penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; hal.127-129
7. Dhingra, P. L., Dhingra S., 2013. Diseases of Ear, Nose, Throat, Head and Neck
Surgery 6th Edition. Elsevier: India, 192-196. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012
8. (EPOS).2012.Vol. Available from:
http://www.rhinologyjournal.com/supplement_20.pdf. ER, Groppo., El-Sayed, IH.,
et al. 2011. Computed tomography and magnetic resonance imaging characteristics
of acute invasive fungal sinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surgery. 137
(10):1005-10. [Medline]
9. Fadda, G.L., Rosso, S., et al. 2012. Multiparametric Statistical Correlations
between Paranasal Sinus Anatomic Variations and Chronic Rhinosinusitis. ACTA
Otorhynolaryngologica Italica. Hilger, P.A. 2015. Hidung : Anatomi dan Fisiologi
terapan, dalam: Adams, G.L., Boies: Buku Ajar Penyakit THT (Boeis
Fundamentals of Otolaryngology), Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 174, 240-247.
10. M, Maillet., WR, Bowler., et al. 2011. Cone-beam computed tomography
evaluation of maxillary sinusitis. J Endod. 37 (6):753-7. [Medline].
11. Mansjoer A, suprohaita, wardani WI, setiowulan W. Sinusitis dalam kapita selekta
kedokteran edisi 3 jilid 1. Media Aesculapius FK UI, Jakarta. 2003, 102-105.
12. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorokan kepala leheredisi ke 6. FK UI, Jakarta. 2007, 150-154.
13. Medical associated clinic and health plants. Clinical Practice Guideline for Sinusitis
Treatment (Rhinosinusitis).
https://www.mahealthcare.com/assets/pdf/Practice_guidelines/Sinusitis.pd