Anda di halaman 1dari 21

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Oleh:
Wecitria Bimaviola, S.Ked
NPM. 19360158
Dinda Dwi Fajarwati. S. Ked
NPM. 16310079

Preceptor:
dr. Bara ade wijaya, Sp.THT - KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RS PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG
PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hidung merupakan organ penciuman dan jalan utama keluar-masuknya udara

dari dan ke paru-paru. Hidung juga memberikan tambahan resonansi pada suara dan

merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata. Hidung

bagian atas terdiri dari tulang dan hidung bagian bawah terdiri dari tulang rawan

(kartilago). Di dalam hidung terdapat rongga yang dipisahkan menjadi 2 rongga oleh

septum, yang membentang dari lubang hidung sampai ke tenggorokan bagian

belakang.1

Tulang yang disebut konka nasalis menonjol ke dalam rongga hidung,

membentuk sejumlah lipatan. Lipatan ini menyebabkan bertambah luasnya daerah

permukaan yang dilalui udara. Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir dan

pembuluh darah Luasnya permukaan dan banyaknya pembuluh darah memungkinkan

hidung menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk dengan segera. Sel-sel

pada selaput lendir menghasilkan lendir dan memiliki tonjolan-tonjolan kecil seperti

rambut (silia).

Biasanya kotoran yang masuk ke hidung ditangkap oleh lendir, lalu disapu

oleh silia ke arah lobang hidung atau ke tenggorokan. Cara ini membantu

membersihkan udara sebelum masuk ke dalam paru-paru. Bersin secara otomatis

membersihkan saluran hidung sebagai respon terhadap iritasi, sedangkan batuk

membersihkan paru-paru.2

Sel-sel penghidu terdapat di rongga hidung bagian atas. Sel-sel ini memiliki

silia yang mengarah ke bawah (ke rongga hidung) dan serat saraf yang mengarah ke
atas (ke bulbus olfaktorius, yang merupakan penonjolan pada setiap saraf

olfaktorius/saraf penghidu). Saraf olfaktorius langsung mengarah ke otak.2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung

2.1.1. Anatomi Hidung

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior

hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum

nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap

kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan

superior.2

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh

palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di

sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang

berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina,

fossa pterigoides.2

Gambar 1. Anatomi kavum


nasi14
A) Dasar hidung

Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os

nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding

medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi,

lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi,


3
septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.

B) Dinding lateral

Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat

prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka,

dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides

medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka

terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih

kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka

suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.15 Diantara konka-

konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan

meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara

septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal

terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus

sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.3

Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus

maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka

media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk
bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan

sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus

semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang

berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal,

antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal

dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus

maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.3

Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai

muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di

belakang batas posterior nostril.

C) Septum Hidung

Gambar 2. Anatomi septum


hidung14
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh

kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan

inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.3

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang

disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.5

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara

ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung

tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya

penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.5

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung5


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum

selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau


otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari

n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan

serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum

terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.4

Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung.5

Gambar 4. Inervasi hidung5

2.1.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)

fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir

udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk

resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri

melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban

kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.2


2.2 Penyakit-penyakit pada hidung

2.2.1 Rinitis Alergi


Reaksi alergi terdiri atas dua fase yaitu fase sensitisasi dan fase aktivasi.

Paparan alergen terhadap mukosa menyebabkan alergen tersebut dipresentasikan

oleh Antigen Presenting Cell (APC) ke CD4+ limfosit T. Ikatan antara sel penyaji

antigen dan sel Th0 memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Hal ini

mengakibatkan sitokin-sitokin IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan Granulocyte-

Macrophage Colony-Stimulating (GMCSF) dilepaskan.12

IL 3 dan IL4 kemudian berikatan dengan reseptornya yang berada pada

permukaan sel limfosit B dan menyebabkan aktivasi sel B untuk memproduksiIgE.

IgE dapat berikatan dengan reseptornya (FceRI) di permukaan sel mast yang ada di

sirkulasi darah dan jaringan membentuk ikatan IgE-sel mast. Dengan adanya

komplek tersebut, individu ini disebut individu yang sudah tersensitisasi.12

Selanjutnya, pada fase aktivasi, paparan antigen yang sama pada mukosa

nasal akan menyebabkan adanya crosslinking (ikatan antara dua molekul igE yang

berdekatan pada permukaan sel mast dan basofil dengan alergen yang polivalen).

Hasil akhirnya adalah degranulasi sel mastosit dan basofil hingga pengeluaran

mediator kimia (preformed mediators) terutama histamin, triptase, dan bradikinin.

Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain PGD2,

LTD4, LTC4, bradikinin, TNF-α, IL-4, serta Platelet Activating Factor (PAF) dan

berbagai sitokin.19 Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil

akan berikatan dengan reseptor yang berada pada ujung saraf, endotel pembuluh

darah, dan kelenjar mukosa hidung.6

Histamin sebagai mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil

mengakibatkan lebih dari 50% gejala reaksi hidung. Efek histamin pada kelenjar

karena aktivasi reflek parasimpatis yang meningkatkan efek sekresi kelenjar dan
mengakibatkan gejala rinore dengan seros yang akan memperberat gejala sumbatan

hidung. Histamin juga menstimulasi sel-sel endotel untuk mensintesis relaxan yang

bekerja pada pembuluh darah seperti Prostaglandin (PGI)2 dan Nitrit Oksida (NO)

yang menyebabkan vasodilatasi dan timbulnya gejala hidung.12

Leukotrien berefek pada maturasi esinofil, bertindak sebagai

chemoattractants eosinofil, mendorong adhesi eosinofil dan menginhibisi

apoptosis eosinofil.20 PGI D2 adalah prostanoid utama yang diproduksi pada fase

cepat reaksi alergi. Prostaglandin berhubungan dengan efek hipertrofi dan

infalamasi pada hidung dan peningkatan jumlah eosinofil. Prostaglandin akan

terikat pada reseptornya di pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi.10

Eosinofil adalah sel yang paling berperan dalam RAFL. Eosinofil

melepaskan berbagai mediator pro-inflamasi seperti leukotrien sisteinil, eosinofil

peroksidase dan protein basic.22 Sitokin lain, PAF, juga mempunyai peranan dalam

mekanisme sumbatan hidung dengan cara retraksi dan relaksasi sel-sel endotel

pembuluh darah dan vasodilatasi.10

Hasil pelepasan sitokin dan mediator lain adalah mukosa nasal menjadi

terinfiltrasi dengan sel inflamasi seperti eosinofil, neutrofil, basofil, sel mast dan

limfosit. Hal ini membuat reaksi inflamasi pada mukosa hidung semakin parah

sehingga menyebabkan hidung tersumbat.7

2.2.1.1 Kelainan Anatomi

Anatomi bentuk hidung seseorang akan sesuai dengan tipe suku bangsa

atau ras tertentu. Bentuk dan ukuran hidung bagian luar akan mempengaruhi

ukuran dan bentuk hidung bagian dalam atau rongga hidung, sehingga akan

mempengaruhi pula tahanan hidungnya. Kelainan anatomi yang dapat

menyebabkan sumbatan hidung adalah septum deviasi, konka hipertrofi, konka

bulosa. Sedangkan kelainan anatomi yang bersifat kongenital adalah atresia koana
dan celah palatum.8

A) Septum Deviasi

Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung, namun bisa

terdapat kelainan berupa septum yang tidak terletak di tengah yang disebut septum

deviasi. Septum deviasi dapat menyebabkan gangguan jalan napas dan gejala

sumbatan hidung. Defleksi anterior yang memiliki dampak terbesar pada aliran

udara.9

Tipe septum menurut Mladina adalah:

-Tipe I, terdapat rista unilateral di puncak septum yang tidak mengganggu

fungsi katup hidung

-Tipe II, krista unilateral di ujung konka media

-Tipe III, terdapat krista unilateral di ujung konka media

-Tipe IV, terdapat dua krista, satu krista terletak berdekatan dengan ujung

konka media, sedangkan krista lain terletak di sisi berseberangan pada area

katub

-Tipe V, krista unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain septum

lurus.

-Tipe VI, menunjukan sulkus pada sisi yang berseberangan dengan krista
B) Konka Hipertrofi

Konka terdiri dari struktur tulang yang dibatasi oleh mukosa. Mukosanya

memiliki epitel kolumnar pseudostratifed bersilia dengan sel goblet dan banyak

mengandung pembuluh darah dan kelenjar lendir. Konka melindungi hidung

dengan mengatur temperatur dan kelembaban udara inspirasi dan menyaring

benda-benda asing yang terhirup bersama udara inspirasi. Hipertrofi konka


menimbulkan keluhan hidung tersumbat dengan mekanisme proses inflamasi.

Inflamasi dapat diakibatkan rinitis maupun rinosinusitis. Inflamasi ini

menyebabkan adanya vasodilatasi, dan produksi mukus yang meningkat sehingga

aliran udara terhambat dan timbul gejala hidung tersumbat.13

2.2.1.2 Tumor Hidung

Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung

dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung

luar dan vestibulum nasi. Tumor hidung sering tidak diketahui sejak dini karena

letaknya yang terlindung dan sulit dideteksi. Gejala awalnya pun tidak spesifik

seperti hidung tersumbat, epistaksis, atau nyeri wajah.13

Klasifikasi tumor hidung dibagi menjadi 2, yaitu tumor hidung ganas dan

tumor hidung jinak. Contoh tumor jinak adalah papilloma squamosa, displasia

fibros dan angiofibroma. Sedangkan contoh tumor ganas adalah melanoma,

karsinoma adenoid kistik, dan karsinoma sel squamosa..12

Tumor hidung mengakibatkan kavum nasi semakin menyempit. Hal ini

akan berakibat pada tahanan hidung yang meningkat sehingga aliran udara

terhambat dan semakin sempit yang akhirnya menyebabkan sumbatan hidung.

2.2.2 Sinusitis

Sinusitis merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di


dunia dan sering ditemukan dalam praktek sehari-hari.Sinusitis adalah inflamasi
mukoperiosteum sinus paranasal. Mukosa hidung dan sinus secara embriologis
berhubungan, sehingga sinusitis merupakan kelanjutan dari rhinitis (one way one
disease). Istilah sinusitis juga dikenal dengan rinosinusitis.10

Sinusitis terjadi karena faktor :

1. Kelainan / obstruksi pada komplek ostiomeatal


Merupakan celah sempit sebagai unit drainase fungsional hidung. Terletak
di meatus nasi media. Terdiri atas : bula ethmoid, procesus uncinatus,
infundibulum ethmoid, hiatus semilunaris, ostium sinus maksila, resesus
frontalis. Skema komplek ostiomeatal :

2. Bakteri dalam rongga sinus


3. Adanya faktor predisposisi : obstruksi sinus akibat infeksi dan alergi,
variasi anatomi (septum deviasi, konka bulosa), gangguan klirens mukosa
(pada kistik fibrosis, sindrom kartagener), imunosupresi, kebiasaan
merokok, hipertrofi adenoid.

4. Infeksi gigi rahang atas (periodontitis, infeksi periapikal), meyebar secara


langsung ke sinus maksila maupun lewat pembuluh darah dan limfe.10

Berikut pategenesis sinusitis :

Rinosinusitis dibedakan menjadi :


1. Sinusitis akut ;sinusitis kronik
2. Sinusitis pada anak ; sinusitis pada dewasa
3. Sinusitis odontogen (akibat dari infeksi gigi rahang atas) ; sinusitis
rinogen (karena infeksi / kelainan pada hidung)

Menurut EPPPOS 2012 (European Position Paper on Rhinosinusitis and


Nasal Polyps), definisi rhinosinusitis pada dewasa adalah : inflamasi hidung dan
sinus paranasal yang ditandai oleh dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya
harus berupa hidung tersumbat, atau adanya discart pada hidung (dapat berupa post
nasal drip) disertai :
± nyeri wajah / rasa tertekan pada wajah
± berkurangnya penciuman

gejala lain :
● pemeriksaan endoskopi :
- polip hidung
- discaj mukopurulen yang keluar dari meatus nasi media, dan / atau
- udem / obstruksi mukosa pada meatus nasi media, dan / atau
● CT scan :
- perubahan mukosa dalam kompleks osteomeatal dan / atau sinus

Menurut EPPPOS 2012, rhinosinusitis pada anak adalah : Inflamasi


hidung dan sinus paranasal yang ditandai oleh dua atau lebih gejala, dimana
salah satu gejalanya harus berupa hidung tersumbat, atau adanya discaj pada
hidung (dapat berupa post nasal drip) disertai :
± nyeri wajah / rasa tertekan pada wajah
± batuk gejala lain :
● pemeriksaan endoskopi :
- polip hidung
- discaj mukopurulen yang keluar dari meatus nasi media, dan / atau
- udem / obstruksi mukosa pada meatus nasi media
● CT scan :
- perubahan mukosa dalam kompleks osteomeatal dan / atau sinus

Menurut EPPPOS, disebut rinosinusitis akut jika gejala muncul selama


< 12 minggu, rinosinusitis akut jika gejala muncul selama ≥ 12 minggu.
Sedangkan menurut konsensus 2004 membagi menjadi sinusitis akut (<4
minggu), sinusitis sub akut (4 minggu – 3 bulan), sinusitis kronik (>3 bulan ).
Etiologi sinusitis :
1. Virus : influenza A, rhinovirus
2. Bakteri aerob : streptococcus pnemoni, haemofilus influenza,
staphylococcus
3. Bakteri anaerob : bacteroides

Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan :
- Sering pilek biasa yang tidak sembuh sembuh
- Ingus kuning kental
- Rasa lendir di tenggorok
- Hidung buntu
- Nyeri wajah
- Nyeri kepala sesuai lokasi sinus yang sakit
- Batuk (terutama pada anak anak)
- Bau mulut
- Penciuman berkurang
- Demam (akut)
- Suara kadang sengau

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


 Pemeriksaan fisik :
- Nyeri ketok daerah pipi, dahi.
Gambar lokasi nyeri kepala akibat sinusitis :

- Pemeriksaan rinoskopi anterior : mukosa hidung udem dan hiperemi,


tampak sekret mukopurulen kental warna kuning kehijauan pada cavum
nasi dan meatus media.
- Orofaring : tampak post nasal drip (sekret mengalir ke orofaring.
- Mencari faktor predisposisi dari hidung dan nasofaring menggunakan
lampu kepala, spekulum hidung, spatel lidah, kaca laring.
- Diafanoskopi (transiluminasi) : sinus yang sakit tampak suram.

 Pemeriksaan penunjang :
- Nasoendoskopi sangat dianjurkan, karena dapat menilai secara jelas ada
tidaknya sekret purulen di meatus media, mukosa udem dan hiperemi,
obstruksi meatus media. Juga dapat menilai kelainan anatomi seperti
septum deviasi, ada tidaknya polip.
- Pemeriksaan mikrobiologi kultur kuman dan pemeriksaan resistensi
dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius.
- Foto polos posisi waters, PA, dan lateral. Hanya mampu melihat sinus
besarseperti maksila dan frontal dengan gambaran perselubungan dan
batas udara-air (air fluid level) serta penebalan mukosa.

- CT scan, merupakan gold standart karena pemeriksaan ini sangat jelas


melihat komplek ostiomeatal (struktur tulang). Tetapi biayanya lebih
mahal dan tidak semua fasilitas kesehatan memiliki CT scan.
Pemeriksaan CT scan pada fase akut tidak disarankan, karena dapat
rancu untuk membedakan penebalan mukosa atau fluid level.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dapat digunakan kriteria EPPPOS 2012, Saphiro &
Rachelefsky 1992, atau kriteria Task forse AAOA dan ARS 1997.

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


- Penatalaksanaan :
Sinusitis akut :
1. Antibiotik spektrum luas selama 11-21 hari. Antibiotik lini I seperti
amoxicillin, clotrimazol. Lini II amoxiclav, ampicillin sulbaktam,
cefalosporin generasi II, gol makrolide.
2. Dekongestan topikal atau sistemik
3. Mukolitik
4. Antihistamin / kortikosteroid topikal (jika riwayat alergi)
5. Simptomatik : analgetik / antipiretik

Sinusitis kronik :
1. Antibiotik sesuai kultur (min. 10-14 hari)
2. Dekongestan hidung
3. Mukolitik
4. Kortikosteroid sistemik
5. Jika tak terkontrol : irigasi sinus, operasi FESS (functional endoscopic
sinus surgery), CWL (CaldWell-Luck).8,9

2.2.3 Rhinitis medikamentosa

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung, berupa


gangguan respon normal vasomotor, sebagai akibat dari pemakaian
vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau obat semprot hidung),
dalam waktu lama dan jumlah yang berlebihan(drug abuse) sehingga
menyebabkan sumbatan yang menetap dan ireversibel.7

Pemakaian topikal vasokonstriktor yang lama dan berulang akan


menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga terjadi gejala obstruksi. Hal ini menyebabkan
pasien makin sering menggunakan vasokonstriktor topikal kembali,
sehingga kadar agonis alfa adrenergik di mukosa hidung tinggi, diikuti
dengan penurunan sensitivitas reseptor alfa adrenergik di pembuluh darah
sehingga terjadi toleransi. Hal ini menyebabkan dilatasi dan kongesti
mukosa hidung (rebound congestion).7

Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan :
Pasien mengeluh hidung tersumbat terus menerus dan berair.

- Faktor risiko :
Penggunaan obat vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau semprot
hidung) dalam waktu yang lama dan jumlah yang berlebihan

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


- Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior menggunakan lampu kepala, akan
didapatkan hipertrofi konka dan adanya sekret yang berlebihan

- Pemeriksaan penunjang :
Dilakukan jika pada rinoskopi anterior kurang jelas menilai hipertrofi
konka : nasoendoskopi, X foto polos PA, CT scan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


- Diagnosis Klinis :
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
- Diagnosis Banding : Rhinitis vasomotor
- Komplikasi :
Polip hidung, sinusitis kronik, Otitis media
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
- Penatalaksanaan :
o Pemberian obat kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek,
dosis diturunkan bertahap (tappering off). Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu.

o Pemberian obat dekongestan oral (pseudoefedrin)

- Konseling & Edukasi :


Hentikan penggunaan obat tetes maupun semprot vasokonstriktor
hidung

Sarana Prasarana
1. Lampu kepala

2. Spekulum hidung11,12
BAB III
KESIMPULAN

Hidung merupakan organ penciuman dan jalan utama keluar-masuknya

udara dari dan ke paru-paru. Hidung juga memberikan tambahan resonansi pada

suara dan merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran air mata.

Hidung bagian atas terdiri dari tulang dan hidung bagian bawah terdiri dari tulang

rawan (kartilago). Di dalam hidung terdapat rongga yang dipisahkan menjadi 2

rongga oleh septum, yang membentang dari lubang hidung sampai ke tenggorokan

bagian belakang.

Dan banyak penyakit yang tersering pada rongga hidung, Hidung tersumbat

atau kongesti hidung terjadi karena adanya aliran udara yang terhambat dikarenakan

rongga hidung yang menyempit. Penyempitan rongga ini bisa terjadi akibat proses

inflamasi yang memberikan efek vasodilatasi atau sekresi mukus yang berlebih, kelainan

struktural anatomi yang mempersempit rongga, serta infeksi.


DAFTAR PUSTAKA

1. American academy of otolaryngology head and neck surgery. Adult With Possible
Sinusitis. www.entnet.org/adultsinusitisCPG

2. Broek, P.V.D., Feenstra, L. 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal. Buku
Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta: EGC, 99-
100.
3. Brook, I. 2015. Acute Sinusitis. Department of Pediatrics, Georgetown University
School of Medicine. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/232670overview#a3
4. BZ, Joshua., et al. 2013. Comparison of clinical data, CT, and bone histopathology
in unilateral chronic maxillary sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 148 (1):145-
50. [Medline].
5. CDC, 2012. Chronic Sinusitis. http://www.cdc.gov/nchs/fastats/sinuses.htm.
D’Ascanio, L., C, Lancione., et al. 2010. “Craniofacial growth in children with
nasal septum deviation a ephalometric comparative study.” International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology, 1180-1183.
6. Damayanti, S., Mangunkusumo, E. 2012. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N. Buku ajar ilmu penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; hal.127-129
7. Dhingra, P. L., Dhingra S., 2013. Diseases of Ear, Nose, Throat, Head and Neck
Surgery 6th Edition. Elsevier: India, 192-196. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012
8. (EPOS).2012.Vol. Available from:
http://www.rhinologyjournal.com/supplement_20.pdf. ER, Groppo., El-Sayed, IH.,
et al. 2011. Computed tomography and magnetic resonance imaging characteristics
of acute invasive fungal sinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surgery. 137
(10):1005-10. [Medline]
9. Fadda, G.L., Rosso, S., et al. 2012. Multiparametric Statistical Correlations
between Paranasal Sinus Anatomic Variations and Chronic Rhinosinusitis. ACTA
Otorhynolaryngologica Italica. Hilger, P.A. 2015. Hidung : Anatomi dan Fisiologi
terapan, dalam: Adams, G.L., Boies: Buku Ajar Penyakit THT (Boeis
Fundamentals of Otolaryngology), Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 174, 240-247.
10. M, Maillet., WR, Bowler., et al. 2011. Cone-beam computed tomography
evaluation of maxillary sinusitis. J Endod. 37 (6):753-7. [Medline].
11. Mansjoer A, suprohaita, wardani WI, setiowulan W. Sinusitis dalam kapita selekta
kedokteran edisi 3 jilid 1. Media Aesculapius FK UI, Jakarta. 2003, 102-105.
12. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorokan kepala leheredisi ke 6. FK UI, Jakarta. 2007, 150-154.
13. Medical associated clinic and health plants. Clinical Practice Guideline for Sinusitis
Treatment (Rhinosinusitis).
https://www.mahealthcare.com/assets/pdf/Practice_guidelines/Sinusitis.pd

Anda mungkin juga menyukai