Anda di halaman 1dari 7

Contoh Artikel

Guru Sejati dan Revolusioner


[10/19/2013 10:57:00 PM | 116 comments ]

Oleh : Arif Luqman Nadhirin

Setiap orang pasti sepakat kalu seorang guru harus menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat.
Bukahkah guru itu digugu lan ditiru. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut
penulis tidak. Mengapa? Karena guru juga harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu
disoroti di sini juga semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.

Secara implist, bisa disimpulkan ada “guru sejati” dan “guru aspal”. Guru sejati adalah meraka
yang menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan dan semangat revolusioner
mendidik anak bangsa. Sedangkan guru aspal adalah mereka yang berorientasi pada “rupiah”
belaka, mengajar tanpa mendidik, memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa
di sekolah.

era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh
kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh dari tugasnya sebagai guru
di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya kebijakan sertifikasi semakin menjadikan guru
salah niat dalam mengajar. Padahal kebijakan tersebut seharusnya menjadikan guru lebih kreatif,
inivatif, dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan sekedar
mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan.

Lalu bagai mana caranya? Caranya adalah dimulai dari mencegah munculnya guru aspal. Karena
apa artinya rupiah, jika guru tidak biasa menjalankan tugas sucinya. Maka sebagai insan
pendidikan, hal itu harus disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah
munculnya guru aspal dengan beberapa solusi dan trobosan yang efektif. Setidaknya ada
beberapa cara, antara lain:

Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri, PNS atau
GTT. Mengapa demikian? Karena, selama ini masih banyak orang masuk sekolah dan menjadi
guru hanya “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah/dinas, asalkan punya
uang ratusan juta rupiah, maka akses masuk jadi guru juga mudah.

Kedua, mempertegas aturan dan kiteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru
tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa setidaknya seorang guru harus
memiliki empat kompetensi pendidikan, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Agama
Islam, maka yang diajar gura mata pelajran agama Islam pula. Masih sering kita jumpai fakta di
lapangan, guru mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa
Indonesia mengajar materi bahasa Inggris, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi
Ekonomi, dan sebagainya.

Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan kriteria plus-plus.
Artinya, selama ini banyak guru yang pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi
pendidik yang mampu memberikan motivasi dan semangat bagi siswanya. Inilah yang disebut
dengan “kemampuan puls-plus” yang jarang dimiliki oleh guru. Bahkan banyak guru killer yang
ditakuti siswanya, guru yang selalu memakai metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis), guru
yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatal kepada sisiwinya, dan masih
banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan sampai guru aspal merusak
pendidikan di negara ini.

Guru Revolusioner
Apakah cukup dengan itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu tidak, yang tak
kalah urgen adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh dengan motivasi tinggi
dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia. Menurut Dian Marta Wijayanti, guru
revolusioner memiliki beberapa ciri.

Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh
kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan,
karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan
pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.

Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagai mana mungkin siswa akan
bersikp disiplin kalau gurunya tidak.

Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat
dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak sekedar menjadi manusia
berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal.

Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekedar “mejadi apa” (to be), tapi
yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do).

Inilah yang harus ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan
semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan aspal.
Maka dari itu jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan aspal. Bagaimana menurut Anda?

Keterangan:
Tulisan ini terinspirasi dari Artikel berjudul “Guru Revolusioner”, karya Dian Marta Wijayanti
(Suara Merdeka edisi 19/10/2013)

Kendal, 19 Oktober 2013 M


Ciri-Ciri Sekolah yang Melaksanakan Pembelajaran Aktif
[6/08/2011 10:33:00 PM | 228 comments ]

Pembelajaran Aktif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang dipandang sesuai dengan
tuntutan pembelajaran mutakhir. Oleh karena itu, setiap sekolah seyogyanya dapat
mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran aktif ini dengan sebaik mungkin.
Dengan merujuk pada gagasan dari Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), berikut ini
disajikan sejumlah indikator atau ciri-ciri sekolah yang telah melaksanakan proses pembelajaran
aktif ditinjau dari aspek: (a) ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi; (b) sumber daya
manusia; (c) lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar; dan (d) proses belajar-mengajar dan
penilaian.

A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI

Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, po bunga, tempat sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan
ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali
dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada
lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama
guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga
kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang
terkait (stakeholders).

B. SUMBER DAYA MANUSIA

Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta
didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan
orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan
verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan
kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar
kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin
membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.

C. LINGKUNGAN, FASILITAS, DAN SUMBER BELAJAR

Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.


Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya
peserta didik yang baru.
Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga
berdebu.
Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam
buku cukup tinggi.
Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
Ada sarana belajar yang bervariasi.
Digunakan beragam sumber belajar.

D. PROSES BELAJAR-MENGAJAR DAN PENILAIAN

Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran
yang relevan.
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar mengajar.
Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator
kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk
kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat
penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang
dinilai. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan
maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah
semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta
didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil
diagnosis kondisi peserta didik.
Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah
dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta
didik.
Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk
menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik
dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan
perbaikan atau pengayaan.
Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak
dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan
pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk
mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin
guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.

==========

Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan


Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-
Nilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.

==============

REFLEKSI:

Sejauhmana sekolah Anda telah mampu memenuhi indikator di atas?


Upaya apa yang bisa dilakukan agar sekolah-sekolah kita dapat memenuhi ciri-ciri di atas?

Anda mungkin juga menyukai