Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Kolelitiasis


2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu
a. Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu (vesika felea) merupakan organ berbentuk seperti buah pir,
berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam
suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati oleh jaringan ikat yang
longgar. Dinding kandung empedu terutama tersusun dari otot polos. Kandung
empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus sistikus (Smeltzer &
Bare, 2002).
Kandung empedu memiliki bagian berupa fundus, korpus, dan kolum. Fundus
berbentuk bulat, berujung buntu pada kandung empedu sedikit memanjang di atas
tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah
bagian sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan duktus sistikus
(Smeltzer & Bare, 2002).
Empedu yang disekresikan dari hati akan disimpan sementara waktu dalam
kandung empedu. Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak diantara
lobulus hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit dan membawanya ke
saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus.
Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu bergabung untuk
membentuk duktus koledokus (common bile duct) yang akan mengosongkan isinya
ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum dikendalikan oleh sfingter
oddi yang terletak pada tempat sambungan (junction) dimana duktus koledokus
memasuki duodenum (Smeltzer & Bare, 2002).

6
7

Gambar 2.1
Anatomi kandung empedu

Sumber: Winslow, T (2015)

b. Fisiologi Kandung Empedu


Kandung empedu berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu. Kapasitas
kandung empedu adalah 30-50ml empedu. Empedu yang ada di hati akan dikeluarkan
di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh
hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air
dalam empedu diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam
kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat
disekresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum
akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai
oleh sekresi hormon kolesistokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus
(Smeltzer & Bare, 2002).
Empedu memiliki fungsi sebagai ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan
sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam
empedu. Selain membantu proses pencernaan dan penyerapan lemak, empedu juga
berperan dalam membantu metabolisme dan pembuangan limbah dari tubuh, seperti
pembuangan hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol. Garam empedu membantu proses penyerapan dengan cara
meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak, dan vitamin yang larut dalam lemak
(Smeltezer & Bare, 2002).
8

2.1.2 Definisi Kolelitiasis


Kolelitiasis atau batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen
empedu (kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium dan protein) (Bravo, Contardo,
& Cea, 2016). Menurut Rendy & Margareth (2012), kolelitiasis adalah inflamasi akut
atau kronis dari kandung empedu, biasanya berhubungan dengan batu kandung
empedu yang tersangkut pada duktus kristik dan menyebabkan distensi kandung
empedu (Rendy & Margareth, 2012).
Gambar 2.2
Batu empedu

Sumber : Albert J (2016)

.1.3 Etiologi Kolelitiasis


Etiologi kolelitiasis atau batu empedu masih belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisi terpenting dari penyebab kolelitiasis yaitu adanya gangguan
metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis
empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan komposisi empedu kemungkinan
merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita
batu empedu kolesterol mengekskresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol.
Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang
belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu (Albert J, 2016).
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi, atau keduanya dapat
menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat
9

dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu. Infeksi bakteri dalam


saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatkan
viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/
pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding penyebab
terbentuknya batu (Albert J, 2016).
.1.4 Patofisiologi Kolelitiasis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Kolesistitis
kalkulus akut disebabkan oleh tersumbatnya duktus sistikus hingga menyebabkan
distensi kandung empedu. Biasanya sumbatan ini adalah disebabkan adanya batu
empedu yang mempunyai dua tipe yaitu batu kolesterol dan batu pigmen (Albert J,
2016).
Pada batu kolesterol, empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol dilarutkan
dalam daerah hidrofobik micelle, kemudian terjadinya kristalisasi dan akhirnya
presipitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain membentuk matriks batu. Pada batu
pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni dan batu kalsium bilirubinat. Batu
pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan penampilannya hijau sampai hitam.
Proses terjadinya batu ini berhubungan dengan sekresi pigmen dalam jumlah yang
meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap di dalam empedu.
Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen (Albert J,
2016).
Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan empedu
menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan seterusnya akan
merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi atau peradangan dan
supurasi. Seiring membesarnya ukuran kantong empedu, aliran darah dan drainase
limfatik menjadi terganggu hingga menyebabkan terjadinya di dinding kandung
empedu iskemia, nekrosis mukosa dan jika lebih berat terjadinya ruptur (Albert J,
2016).
10

Gambar 2.3
Kolesistitis akut yang disebabkan oleh batu empedu

Sumber : Albert J (2016)

Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutannya. Bila empedu terkonsentrasi di dalam
kandung empedu, larutan akan berubah menjadi jenuh dengan bahan-bahan tersebut,
kemudian endapan dari larutan akan membentuk kristal mikroskopis. Kristal
terperangkap dalam mukosa bilier, akan menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari
saluran oleh endapan dan batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu
(Debas, 2004).
Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena mengandung
garam empedu terkonjugasi dan lesitin dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di
dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol berbanding garam empedu dan
lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat
jenuh ini mungkin karena hati memproduksi kolesterol dalam bentuk konsentrasi
tinggi. Zat ini kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal
kolesterol (Debas, 2004).
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke dalam empedu oleh hati. Sebagian besar bilirubin di dalam empedu
berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi
sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi,
seperti lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya cenderung untuk membentuk
presipitat tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif bersama
dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian heme tinggi, seperti hemolisis kronis
11

atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkin berada dalam empedu pada
konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin kemudian
mengkristal dari larutan dan akhirnya membentuk batu pigmen hitam (Debas, 2004).
Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium bilirubinat, bakteri
hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang komplek dengan kalsium
dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang dihasilkan memiliki konsistensi disebut
batu pigmen coklat (Debas, 2004).
Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan
peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit menghidrolisis
bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol
bisa mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinat dan garam kalsium, lalu
menghasilkan campuran batu empedu (Debas, 2004).
Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi keluhan pada
pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu empedu
yang menyumbat duktus sistikus dan biliaris komunis untuk sementara waktu,
tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan peristaltik di tempat
penyumbatan mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrum, mungkin dengan
penjalaran ke punggung. Respon nyeri, gangguan gastrointestinal dan anoreksia akan
meningkatkan penurunan intake nutrisi. Respon komplikasi akut dengan peradangan
akan memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respon kolik bilier secara
kronis akan meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien cenderung
mengalami kelelahan. Respon adanya batu akan dilakukan intervensi medis
pembedahan, intervensi litotripsi atau intervensi endoskopi (Debas, 2004).
12

.1.5 Pathway

Proses degenerasi hati Penururnan fungsi hati Gangguan metabolisme

Peradangan dalam,
Pengendapan kolesterol Sekresi kolesterol Sintesis kolesterol
kantong empedu

BATU EMPEDU (KOLELITIASIS)

Menyumbat aliran getah pankreas

Distensi kandung empedu Aliran balik getah empedu


RESIKO INFEKSI
(duktus kolekditus ke pankreas)

Bagian fundus menyentuh


bagian abdomen kartilago Iritasi lumen Port de entree pasca bedah

Merangsang ujung saraf Inflamasi


eferen simpatis Intervensi pembedahan

Serabut saraf eferens Termostrat hipotalamus Enzyme SGOT dan SGPT


hipotalamus

Peningkatan suhu Bersifat iriatif saluran cerna


NYERI

HIPERTERMI Merangsang nervous

Permeabilitas kapiler Menekan parasimpatis

RESIKO
KEKURANGAN Penurunan peristaltik
Cairan shif ke peritonium
VOLUME CAIRAN

KETIDAKEFEKTIFAN Makanan tertahan di lambung


RESIKO SYOK NUTRISI KURANG DARI
(HIPOVOLEMIK) KEBUTUHAN TUBUH

Mual, Muntah
13

.1.6 Manifestasi Kllinis Kolelitiasis


Gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya gangguan pada
epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti rasa penuh diperut, distensi
abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas.
a. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami distensi
kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I yang
menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan sehingga
menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman. Nyeri akan
dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan makanan berlemak
yang disertai rasa mual dan ingin mual muntah  pada pagi hari karena metabolisme di
kandung empedu akan meningkat.
b. Mual
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu
sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu
dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar hepatobiliar
yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan peningkatan
SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus
vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan
peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan
di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula
oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-
neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan
muntah. Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di
sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah
kembung.
c. Ikterik dan BAK berwarna kuning
Akibat adanya obstuksi saluran empedu menyebabkan eksresi cairan empedu ke
duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen
14

empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang
disebut Clay Colored. Selain mengakibatkan peningkatan alkali fosfat serum, eksresi
cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan peningkatan
bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi sistem sehingga
terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin dieksresikan oleh ginjal
sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.
d. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E, dan K yang
larut lemak. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
.1.7 Pemeriksaan Penunjang Kolelitiasis
a. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Pemeriksaan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan
maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit
dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada
dengan palpasi biasa.
Gambar 2.4
USG batu empedu

Sumber : Nathanson (2009)


15

b. CT-Scan
Metode ini juga merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya
batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.
Gambar 2.5
CT scan abdomen

Sumber : Nathanson (2009)

c. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


ERCP merupakan sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan
duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil
batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang
disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang
disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki
gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah
diangkat.
Gambar 2.6
ERCP

Sumber : Nathanson (2009)


16

.1.8 Penatalaksanaan Kolelitiasis


Penatalaksasnaan umum yang dapat dilakukan pada pasien dengan kolelitiasis
adalah tirah baring, pemberian cairan intravena dan nutrisi parentral untuk mencukupi
kebutuhan cairan dan kalori, diet ringan tanpa lemak dan menghilangkan nyeri
dengan petidin (demerol) dan buscopan dan terapi simtomatik lainnya. Antibiotik
diberikan untuk mengobati septikemia serta mencegah peritonitis dan empiema.
Antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti
golongan sefalosporin, metronidazol, ampisilin sulbaktam dan ureidopenisilin.
Terapi definitif kolestisistitis akut adalah kolesistektomi dan sebaiknya dilakukan
dalam waktu 2-3 hari (dalam 7 hari sejak onset gejala) atau ditunggu 6-10 minggu
selepas diterapi dengan pengobatan karena akan mengurangi waktu pengobatan di
rumah sakit (Peter, 2014).
Menurut Freeman (2015), pasien dengan kolesistektomi laparoskopik dapat keluar
rumah sakit dalam 1-2 hari pascaoperasi dengan jaringan parut minimal dan dapat
beraktivitas lebih cepat dibandingkan dengan pasien dengan kolesistektomi
konvensional. Sekitar 10% kolesistektomi laparoskopik harus diubah menjadi operasi
terbuka (kolesistektomi konvensional) di kamar operasi karena adanya inflamasi yang
luas, perlekatan, atau adanya komplikasi, seperti cedera saluran empedu yang
memerlukan perbaikan.
Gambar 2.7
Kolesistektomi terbuka dan laparoskopik

Sumber : Albert J (2016)


17

.2 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Kolelitiasis


.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan yang sistematis dalam
pengumpulan data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Setiadi, 2012). Pada saat pengkajian pasien dengan kolelitiasis, tenaga kesehatan
khususnya perawat dapat menanyakan keluhan utama klien seperti apakah ada rasa
sakit pada bagian abdomen kanan dan perubahan warna urin dan feses, riwayat
penyakit dahulu, kebiasaan makan dan gaya hidup klien seperti apakah klien senang
mengkonsumsi makanan berlemak dan berkolesterol, untuk klien wanita dapat
ditanyakan apakah klien menggunakan kontrasepsi hormonal atau tidak. Selain itu,
perawat dapat mengobservasi warna kulit dan sklera klien apakah mengalami ikterik
atau tidak.
Pada klien yang akan menjalani pembedahan penyakit kandung empedu
(kolesistektomi), anamnesis dan pemeriksaan harus difokuskan pada persoalan yang
paling penting bagi klien serta bagi tim kesehatan yang akan menangani perawatan
klien selama dan sesudah pembedahan. Pengkajian harus difokuskan kepada status
pernapasan klien. Jika operasi yang direncanakan berupa pembedahan konvensional,
insisi abdomen yang diperlukan selama pembedahan dapat mempengaruhi gerakan
penuh pernapasan (Smeltzer dan Bare, 2002).
.2.2 Diagnosa Keperawatan
Berikut ini diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien dengan
kolelitiasis menurut Yasmara, Nursiswati, & Arafat (2016), antara lain :
a. Nyeri
b. Hipertermi
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
d. Resiko kekurangan volume cairan
e. Resiko syok hipovolemik
f. Resiko infeksi
18

.2.3 Intervensi
Diagnosa Hasil yang Intervensi
No
Keperawatan NANDA Dicapai (NOC) (NIC)
1 Nyeri akut Kontrol Nyeri: Manajemen Nyeri :
Yang berhubungan a. Melaporkan Independen
dengan: nyeri mereda a. Lakukan pengkajian nyeri
Agen biologis – atau
komprehensif.
obstruksi atau spasme terkontrol.
duktus, proses b. Mendemonst b. Observasi ketidaknyamanan
inflamasi, iskemia rasikan
secara nonverbal.
jaringan. penggunaan
keterampilan c. Ajarkan startegi
Definisi : relaksasi dan
nonfarmakologi untuk
Pengalaman sensori dan aktivitas
emosional tidak pengalih mengurangi nyeri.
menyenangkan yang sesuai
d. Kolaborasi pemberian
muncul akibat indikasi
kerusakan jaringan untuk situasi analgetik.
aktual atau potensial individual.
e. Anjurkan pasien untuk
atau yang digambarkan
sebagai kerusakan istirahat/tidur yang adekuat
(International
untuk membantu
Association for the
Study of Pain); awitan menurunkan nyeri.
yang tiba-tiba atau
lambat dari intensitas
ringan hingga berat
dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau
diprediksi.
2 Hipertermi Termoregulasi: Pengaturan suhu :
Definisi a. Suhu tubuh a. Monitor minimal tiap 2 jam
suhu tubuh naik diatas dalam b. Rencanakan monitoring
rentang normal Batasan rentang suhu secara kontinyu
karakteristik: kenaikan normal c. Monitor TD, nadi, dan RR
suhu tubuh naik diatas b. Nadi dan RR d. Monitor warna dan suhu
rentang normal, dalam kulit
kenaikan suhu tubuh rentang e. Monitor tanda-tanda
diatas rentang normal, normal hipertermi dan hipotermi
serangan atau konvulsi c. Tidak ada f. Tingkatkan intake cairan
(kejang), kulit sakit kepala dan nutrisi
kemerahan, d. Tidak ada g. Selimuti pasien untuk
19

pertambahan RR, nyeri otot mencegah hilangnya


takikardi, saat disentuh e. Tidak ada kehangatan tubuh
tangan terasa hangat tremor h. Berikan antipiretik jika
f. Berkeringat perlu
Faktor yang saat
berhubungan: kepanasan
a. Penyakit/trauma g. Menggigil
b. Peningkatan saat
metabolisme kedinginan
c. Aktivitas yang h. Hidrasi
berlebihan adekuat
d. Pengaruh i. Melaporkan
anestesi/medikasi kenyamanan
e. Ketidakmampuan/ suhu tubuh
penurunan
kemampuan
berkeringat
f. Terpapar di
lingkungan panas
g. Dehidrasi
3 Ketidakseimbangan Status Nutrisi Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari Menunjukkan Independen
kebutuhan tubuh berat badan stabil a. Auskultasi bising usus,
Yang berhubungan atau kenaikan dengan memperhatikan
dengan : yang progresif ketiadaan bisisng usus dan
a. Ketidakmampuan sesuai tujuan bisisng usus hiperaktif
mencerna dengan b. Pantau haluaran slang NGT.
makanan/mengabs normalisasi nilai Catat adanya muntah dan
orbsi nutrien – laboratorium dan diare.
disfungsi usus, tidak ada tanda c. Ukur lingkar abdomen.
abnormalitas malnutrisi. d. Kaji abdomen dengan
metabolik sering untuk mengetahui
b. Ketidakmampuan kembalinya kelunakan,
menelan – mual, muncul kembalinya bising
muntah usus normal, dan
pengeluaran flatus.
Definisi: Kolaboratif
Asupan nutrisi tidak a. Pantau BUN, protein,
cukup untuk prealbumin atau albumin,
memenuhi kebutuhan glukosa, dan keseimbangan
metabolik. nitrogegen, sesuai indikasi
b. Beri makan enteral atau
20

parenteral, sesuai indikasi


c. Tingkatkan diet sesuai
toleransi – cairan jernih ke
makanan lunak.
4 Risiko kekurangan Hidrasi: Manajemen Cairan/Elektroli:
volume cairan Menunjukkan Independen
Faktor risiko: keseimbangan a. Pantau asupan dan haluaran
a. Kehilangan cairan adekuat (I&O), termasuk drainase
melalui rute yang ditandai dari slang NG, slang T, dan
abnormal – dengan tanda- luka. Timbang berat badan
aspirasi tanda vital stabil, klien secara berkala.
nasogastrik (NG), membran mukosa b. Pantau tanda-tanda vital.
munta, perubahan lembab, turgor Kaji membrna mukosa,
koagulasi kulit baik, turgor kulit, denyut nadi
b. Penyimpangan pengisian kapiler perifer, dan pengisian
yang memengaruhi baik, dan haluaran kapiler.
asupan-asupan urine individual c. Observasi adanya tanda
yang dibatasi sesual. perdarahan, seprti
secara medis hematemesis, melena,
Definisi: petekia, ekimosis,
Kerentanan mengalami epistaksis, dan merembes
penurunan volume dari area insisi dan injeksi.
cairan intravaskular, Kolaboratif:
interstisial, dan/atau d. Pantau pemeriksaan
intraseluler, yang dapat laboratorium, seperti hitung
mengganggu kesehatan. darah lengkap, elektrolit,
masa protrombin dan
pembekuan darah dan
amilase.
e. Beri cairan intavena (IV),
produk darah, dan vitamin
K, elektrolit sesuai indikasi.
5 Resiko syok Status Sirkulasi Pencegahan Syok
hipovolemik Mempertahankan Independen
Definisi: dan memperbaiki a. Periksa perubahan tingkat
Rentan mengalami perfusi jaringan kesadaran dan laporan
ketidakcukupan aliran yang ditandai tentang pusing atau sakit
darah ke jaringan tubuh, dengan tanda- kepala.
yang dapat tanda vital stabil, b. Kaji kulit untuk mengetahui
mengakibatkan kulit angat, adanya kedinignan, pucat,
disfungsi seluler yang denyut nadi diaforesis, denyut nadi yang
mengancam jiwa, yang perifer teraba, lemah hampir tidak teraba.
21

dapat mengganggu GDA dalam batas c. Catat haluaran urine dan


kesehatan. normal, dan berat jenis urine. Pasang
haluran urine folley kateter untuk
adekuat. mengukur urine secara
akurat sesuai indikasi
d. Catat laporan nyeri
abdomen, terutama nyeri
yang mendadak dan hebat
atau nyeri yang menyebar
ke bahu
Kolaborasi
a. Pantau GDA dan oksimetri
b. Beri oksigen tambahan jika
diindikasikan
c. Beri cairan IV, sesuai
indikasi
6 Risiko infeksi Pencegahan Kontrol infeksi 
Yang berhubungan infeksi a. Batasi pengunjung bila perlu.
dengan: imunitas tubuh a. Tidak ada tanda- b. Intruksikan kepada
menurun, prosedur tanda infeksi pengunjung untuk mencuci
tangan saat berkunjung dan
invasive. b. Vital sign dalam
sesudahnya.
batas normal c. Lakukan cuci tangan sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan.
d. Gunakan baju dan sarung
tangan sebagai alat pelindung.
e. Lakukan dresing infus dan dan
kateter setiap hari  Sesuai
indikasi
f. Tingkatkan intake nutrisi dan
cairan
g. Berikan antibiotik sesuai
program.

Proteksi terhadap infeksi


a. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal.
b. Monitor hitung granulosit dan
WBC.
c. Pertahankan teknik aseptik
untuk setiap tindakan.
d. Inspeksi kulit dan mebran
mukosa terhadap kemerahan,
22

panas.
e. Dorong istirahat yang cukup.
f. Dorong peningkatan mobilitas
dan latihan.
g. Ajarkan keluarga/klien tentang
tanda dan gejala infeksi.

(Herdman, T.H. & Kamitsuru, S., 2014)


(Bulecheck, M.G., 2012)
(Moorhead, S., 2012)

.3 Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Batuk Efektif Pasca Operasi


.3.1 Teknik Relaksasi Nafas Dalam
a. Definisi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari
ketegangan dan stress seingga dapat meningkatkan toleransi. Latihan napas dalam
adalah bernapas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Parsudi,
2006).
b. Tujuan
Tujuan relaksasi nafas dalam adalah untuk mencapai ventilasi yang lebih
terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernafas, meningkatkan relaksasi
otot, mengurangi nyeri luka pascabedah, menghilangkan ansietas, menyingkirkan
pola aktifitas otot-otot pernapasan yang tidak berguna dan tidak terkoordinasi,
meningkatkan kapasitas paru, dan mencegah atelektasis (Suddarth & Brunner, 2006).
c. Penatalaksanaan
1) Pernapasan diafragma
a) Posisi klien bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring kiri atau ke
kanan, mendatar atau setengah duduk.
b) Klien meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah, tangan
yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas mengembang dan
23

tulang rusuk bagian bawah membuka. Klien perlu disadarkan bahwa


diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi)
dada minimal. Dinding dada dan otot bantu napas relaksasi.
c) Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspiprasi pelan-pelan
melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja
dibuat aktif dan memaksimalkan pengembangan perut. Otot perut bagian
depan dibuat berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan
diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian bawah.
d) Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk
menggerakkan diafragma lebih tinggi.

Gambar 2.7
Pernapasan Diafragma

2) Pursed Lips Breathing


a) Menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung
(bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup.
b) Kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut
dengan posisi seperti bersiul.
c) Pursed lips breathing dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen
selama ekspirasi.
d) Selama pursed lips breathing tidak ada udara ekspirasi yang mengalir
melalui hidung.
24

e) Dengan pursed lips breathing akan terjadi peningkatan tekanan pada


rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-
cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan kolaps saluran
napas kecil pada waktu ekspirasi.

Gambar 2.8
Pursed lips breathing

.3.2 Batuk Efektif


a. Definisi
Batuk merupakan gerakan refleks yang bersifat reaktif terhadap masuknya benda
asing dalam saluran pernapasan. Gerakan ini terjadi atau dilakukan tubuh sebagai
mekanisme alamiah terutama untuk melindungi paru-paru. Gerakan ini pula yang
kemudian dimanfaatkan kalangan medis sebagai terapi untuk menghilangkan lendir
yang menyumbat saluran pernapasan akibat sejumlah penyakit (Apriyadi, 2013).
Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar, dimana klien dapat
mengemat energi sehingga tidak mudah lelah mengeluarkan dahak secara maksimal.
Batuk efektif merupakan batuk yang dilakukan dengan sengaja. Namun dibandingkan
dengan batuk biasa yang bersifat refleks tubuh terhadap masuknya benda asing dalam
saluran pernapasan, batuk efektif dilakukan melalui gerakan yang terencana atau
dilatihkan terlebih dahulu. Dengan batuk efektif, maka berbagai penghalang yang
menghambat atau menutup saluran pernapasan dapat dihilangkan (Apriyadi, 2013).
25

b. Tujuan
Batuk efektif merupakan teknik batuk efektif yang menekankan inspirasi
maksimal yang dimulai dari ekspirasi, yang bertujuan untuk sebagai berikut:
(Trabani, 2010)
1) Merangsang terbukanya sistem kolateral. Sistem koleteral adalah suatu jalur
aliran darah baru untuk mengalir suatu jaringan atau organ yang sama. Saluran
kolateral terbentuk bila terjadi sumbatan yang menutup aliran darah utama tubuh
kita. Seperti bila terjadi sumbatan pada arteri koronaria yang mengaliri jantung
kita, maka arteri koroner yang lebih kecil akan mengembangkan jalur pembuluh
darah baru di sekitar sumbatan dengan tujuan agar jantung tetap mendapat supali
darah dan oksigen.
2) Meningkatkan distribusi ventilasi
3) Meningkatkan volume paru
4) Memfasilitasi pembersihan saluran napas untuk mengeluarkan dahak atau
sputum.
5) Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping atau gas
trapping yaitu retensi abnormal paru-paru dimana sulit untuk menghembuskan
napas sepenuhnya.
6) Memperbaiki fungsi diafragma
7) Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
8) Meningkatkan sekresi dari jalan napas bagain atas dan bawah. Jalan napas atas
merupakan suatu saluran terbuka yang memungkinkan udara atmosfer masuk
melalui hidung, mulut, dan bronkus hingga ke alveoli. Jalan napas atas terditi
dari rongga hidung, rongga mulut, laring, dan trakea. Jalan napas bawah terdiri
dari bronkus dan percabangannya serta paru-paru.
c. Penatalaksanaan
Batuk efektif merupakan satu upaya untuk mengeluarkan dahak dan menjaga
paru-paru agar tetap bersih disamping dengan memberikan tindakan nebulizer dan
postural drainage. Batuk efektif dapat diberikan pada pasien dengan cara diberikan
26

posisi yang sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar. Batuk efektif ini merupakan
bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan pernapasan akut dan
kronis, termasuk pasien bedrest atau pascaoperasi. Pasien dapat dilatih melakukan
teknik batuk efektif dengan cara sebagai berikut:
1) Pasien condong ke depan dari posisi semifowler, letakkan satu tangan didada dan
satu tangan diabdomen diatas insisi.
2) Memasang perlak, pengalas di pangkuan pasien dan handuk pada dada.
3) Meminta pasien menarik nafas dalam lewat hidung dan menelan nafas untuk
beberapa detik.
4) Meminta pasien abtuk 2 kali, batu pertama untuk melepaskan mucus dan batuk
kedua untuk mengeluarkan secret. Kemudian tampung lendir dalam sputum pot.
Bila pasien merasakan nyeri dada, pada saat batuk tekan dada dengan bantal.
5) Ulangi lagi sesuai kebutuhan
6) Merapikan pasien.

Anda mungkin juga menyukai