Anda di halaman 1dari 4

Covid-19 Infodemic: Peran Media Sosial dalam Membantu dan Memperburuk Situasi

Selama Pandemi Covid-19


Alifia Shafa Salsabilla
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Pendahuluan
Sekarang ini, dunia sedang berperang melawan pandemi coronavirus yang mana
dimulai pada bulan Desember 2019 ketika sebuah penyakit tidak teridentifikasi dengan ciri-
ciri seperti pneumonia berkembang di China Utara, Provinsi Hubei. Sampai akhir tahun 2019,
komunitas ilmuwan lokal mencari sumber penyakit dari coronavirus dan ditemukan hubungan
antara coronavirus dan virus SARS yang mana juga menjadi wabah 17 tahun yang lalu.
Tahun 2020, coronavirus resmi menjadi pandemi global oleh WHO dan namanya
diubah menjadi Covid-19 (Putri, 2020). Setiap negara baru yang terkena virus mengalami panic
attack dan terjadi peningkatan permintaan akan perkembangan informasi terkait penyakit ini.
Hasilnya, media sosial menjadi seuatu yang sangat diperlukan dan menjadi sumber dari
informasi penting yang mana hal itu dapat menjadi tempat yang strategis untuk menyebarkan
berita palsu atau hoax. Bahkan WHO memberikan pernyataan bahwa kita tidak hanya melawan
pandemi tapi juga melawan infodemic. Situasi saat ini menjadi bukti kekuatan sosial media dan
menandai seberapa banyak kita dapat membatasi penyebaran berita palsu/hoax.

Pandemi-pandemi di era sosial media


Pandemi Covid-19 bukan pandemi yang pertama kali muncul di era media sosial:
setidaknya tiga pandemi global lainnya terjadi dalam di 10 tahun terakhir. Pandemi H1N1 (flu
babi), Pandemi Ebola, dan wabah Zika memiliki pengaruh yang sama seperti Covid-19 serta
dulunya juga diinformasikan secara meluas di media sosial. Sepuluh tahun yang lalu, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) belum dilengkapi dengan manajemen resiko terhadap informasi
online sehingga orang-orang yang menggunakan media sosial untuk mencari arahan/informasi
dihadapkan dengan akun-akun tidak resmi yang mana memiliki ‘suara’ paling keras dalam
menyebarkan hoax. WHO sudah mempersiapkan kampanye yang berkaitan dengan pandemi
saat itu dengan lebih baik dan para influencer membantu dalam penyebaran beritanya. Namun,
pelaku media sosial sendiri sulit mengidentifikasi mana pelaku penyebaran hoax dan belum
bisa membedakan mana informasi yang benar dan salah.
Di masa sekarang, pemerintah telah melakukan progres yang sangat meningkat dalam
caranya mengelola media sosial agar para pelaku hoax tidak dengan sembarang menyebarkan
berita palsu. Sosial media menjadi semakin matang dan lebih baik dalam komunikasi daring
dan yang menjadi pertanyaan saat ini adalah sebenarnya peran apa yang media sosial punya?

Sumber informasi yang dapat diverifikasi


Indonesia sendiri awalnya belum siap menghadapi pandemi Covid-19. Belajar dari
pengalaman Itali yang mana terkesan menutupi informasi terkait perkembangan Covid-19,
sejak awal, Indonesia terbuka dan transparan mengenai situasi Covid-19 di media sosial. Pada
hari-hari setelah berita awal muncul, dimana dikabarkan 2 orang Indonesia telah dinyatakan
positif terpapar virus Covid-19 di Depok (Fadli, 2020), telah banyak masyarakat Indonesia
yang terkena ‘serangan panik’ karena sebelumnya tidak ada kasus covid-19 yang terjadi di
Indonesia. WHO dan beberapa organisasi kesehatan masyarakat di Indonesia juga
menggunakan media sosial untuk memberi informasi kepada publik terkait wabah ini dan
berusaha mengontrol kepanikan masyarakat. Tentu saja kepanikan ini menjadi momen bagi
para penyebar berita palsu dalam usahanya menyebarkan teori-teori konspirasi wabah Covid-
19. Para penyebar hoax sering kali menawarkan klarifikasi serta menyalahkan seseorang atas
kekacauan yang terjadi. Sejumlah teori konspirasi berbahaya ‘meledak’ dan menarik para
pembaca meskipun berita tersebut sama sekali tidak masuk akal. Beberapa mengklaim bahwa
virus itu adalah senjata biologis yang diciptakan oleh Amerika Serikat untuk membunuh orang
China atau China untuk membunuh orang Amerika. Beberapa juga mengklaim bahwa wabah
itu didalangi oleh suatu teknologi untuk melemahkan status China sebagai pusat manufaktur
teknologi tinggi dunia.
Situs web di media sosial secara aktif memerangi hoax dan sekaligus ketakutan
masyarakat. Seperti halnya teknologi raksasa di China, yang sudah berpengalaman dalam
sensor, memanfaatkan alat mereka dengan baik untuk mencegah penyebaran berita hoax.
Pencipta WeChat, platform media sosial nomor satu di China, menggunakan platform
pengecekan fitur fakta populer untuk menghilangkan kesalahpahaman diantara masyarakat.
Situs web barat seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, juga bekerja secara aktif untuk
memastikan bahwa hanya sumber yang benar yang disebarkan kepada masyarakat. Ketika
orang mencari ‘coronavirus’ pada platform ini, mereka cenderung tidak akan menemukan
klaim yang tidak berdasar. Konten dari akun ‘yang memiliki reputasi baik’ diberi prioritas,
sementara akun amatir akan diteliti dan diperiksa kebenaran beritanya.
Namun, penciptaan teknologi tidak selalu sempurna. Tetap ada berita-berita tanpa dasar
dan bukti valid yang tidak terjaring oleh sistem aplikasi. Ketika coronavirus menjadi topik
yang sedang hangat, banyak orang mencoba mengambil keuntungan dari popularitas
‘coronavirus’ dengan cara yang tidak dapat di prediksi. Ada beberapa blogger remaja berpura-
pura terinfeksi untuk mengejutkan teman mereka, belas kasihan dari followers media sosial
mereka dan ada pula yang memanfaatkan ini dengan menghubung-hubungkan teori agamis
dengan virus Covid-19 ini. Pelaku seperti ini cenderung akan menghadapi konsekuensi atas
tindakan mereka yang menyebarkan kepanikan dengan sengaja.

Metode komunikasi
Berbagai kota di Indonesia sedang dalam masa lockdown untuk mencegah penyebaran
Covid-19 yang mana lebih dari 250 jiwa dilarang keluar kota bahkan dihimbau untuk tetap
dirumah. Di berbagai belahan dunia, mereka yang dicurigai memiliki penyakit dengan ciri-ciri
sesak nafas, batuk, dan demam akan dikarantina di institusi medis yang telah disediakan atau
melakukan karantina mandiri. Dalam kondisi ini, media sosial berfungsi sebagai satu-satunya
cara yang dapat diandalkan bagi para korban virus ini untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
Semua orang ingin menceritakan kisah mereka dan mendokumentasikan kehidupan
mereka sehari-hari dalam menghadapi penyakit mematikan ini. Hal ini khususnya berlaku
untuk orang-orang di lingkungan yang sangat terisolasi, seperti contoh kapal pesiar Diamond
Princess, kapal yang terinfeksi Covid-19 dimana pada bulan Februari lebih dari 3500 orang
terperangkap dengan diantaranya 700 pasien coronavirus. Para penumpang tidak diizinkan
untuk berbaur dan hanya sedikit yang dievakuasi. Dalam menghadapi kengerian ini, media
sosial menjadi satu-satunya cara bagi penumpang untuk tetap berhubungan dengan keluarga
mereka dan dunia. Mereka membuat vlog, blog, dan muncul di siaran langsung TV. Warga
China, khususnya mereka yang tinggal di Utara, menghindari berpergian dan menggunakan
media sosial dalam berkomunikasi untuk mengurangi risiko terinfeksi. Mereka dapat tetap
berhubungan dengan teman-teman mereka, saling bertukar kabar terbaru, dan bahkan memesan
makanan dari aplikasi online berkat media sosial.

Mendukung infrastruktur
Media sosial juga berperan penting dalam membantu memperbaiki situasi. Seperti
lahirnya penggalangan dana daring dimana penggalangan ini ditujukan untuk rumah sakit yang
sedang kesulitan dalam mengatasi melimpahnya korban Covid-19 dan mengapresiasi tenaga
medis. Media sosial juga turut berperan dalam kolaborasi ilmuwan-ilmuwan untuk saling
melakukan brainstorming solusi secara daring, berlomba-lomba mencari obat dan penyebab
pasti terjadinya wabah Covid-19 ini. Masyarakat dapat menggunakan media sosial untuk
memberikan dukungan moral kepada mereka yang terkena virus. Media sosial juga dipakai
menjadi ruang berduka dimana salah satu ilmuwan yang pertama kali menemukan virus
meninggal karena penyakit ini. Kematiannya memicu berbagai tanggapan tentang
keberaniannya melawan wabah tanpa pamrih (Aida, 2020).

Kesimpulan
Sementara cakupan pengaruh media sosial di masa pandemi ini sebagian besar terfokus
pada penyebaran informasi palsu/hoax yang mana tidak adil jika kita menyamaratakan peran
sosial media seperti itu. Jejaring sosial melakukan perannya dengan menciptakan alat-alat baru
untuk menjaring berita palsu dan teori konspirasi. Pada titik ini, mereka melakukan lebih
banyak hal baik daripada hal buruk untuk membantu korban-korban Covid-19. Peran sosial
media dalam menciptakan peluang penggalangan dana, kolaborasi ilmiah, dan tetap
menghubungkan antarsesama menjadi kekuatan yang tak terhentikan, terutama di saat krisis
seperti saat ini.

Referensi
Aida, N. R. (2020, Februari 7). Dokter Li, yang Pertama Kali Peringatkan Wabah Virus
Corona di China, Meninggal Dunia. Diambil kembali dari Kompas.com:
https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/07/110345665/dokter-li-yang-pertama-
kali-peringatkan-wabah-virus-corona-di-china?page=all

Fadli, R. (2020, Maret 2). Virus Corona Masuk ke Indonesia, 2 Orang Positif di Depok.
Diambil kembali dari Halodoc: https://www.halodoc.com/virus-corona-masuk-ke-
indonesia-2-orang-positif-di-depok

Putri, G. S. (2020, Maret 12). WHO Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi
Global. Diambil kembali dari Kompas.com:
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/
who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global

Anda mungkin juga menyukai