Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
SAAT ini hampir setiap orang sangat memungkinkan untuk saling terhubung bahkan tanpa
saling bertatap muka, dahulu orang tua kita tentu harus bersabar hingga berminggu – minggu
untuk mendapatkan balasan surat dari sahabat pena-nya. Namun saat ini kurang dari 1 detik, kita
semua sudah dapat mengirmkan teks, audio, foto dan video melalui aplikasi media sosial.
Konektifitas media sosial tidaklah terbatas, bisa diakses oleh siapa saja dan bahkan gratis.
Namun dampaknya media sosial juga bisa menjadi boomerang jika tidak dimanfaatkan
sebagaimana mestinya, seperti penipuan, penyebaran berita bohong / hoax sampai pada
ungkapan provokatif yang membuat hubungan sosial di dunia nyata semakin runyam.
Ekses penggunaan media sosial selama hiruk – pikuk kampanye pemilu pada waktu lalu,
sangatlah terasa dalam kehidupan sosial kita. Secara tidak langsung masyarakat terbelah secara
dikotomis menjadi “kita” dan mereka.
Sehingga apabila ada pihak yang berseberangan sudah pasti dia adalah lawan kita,
padahal bisa jadi dia yang menjadi lawan kita adalah sahabat karib sejak lama, namun karena
perbedaan pilihan, hubungan kekerabatannyapun retak bahkan mendadak menjadi lawan debat
kusir.
Semua orang yang ada diseberang pilihan, bisa menjadi orang asing secara tiba – tiba,
hingga patut untuk dicurigai dan dijauhi. Tak sedikit pula yang berubah menjadi galak di sosial
media, dengan menyebarkan beragam berita yang menyerang pihak lawannya.
Jagad media sosial juga tak kebal terhadap hinaan, caci maki, hingga sumpah serapah
bernada provokatif terhadap kubu tertentu, sila ke 3 pancasila seakan hanya tulisan semata,
warganet di berbagai media sosial semakin terpolarisasi.
Negara mengendus bahaya dan khalayak rama kemudian terperanjak ketika pemerintah
mengumumkan pembatasan sebagian layanan media sosial selama 4 hari terhitung mulai dari 22
– 25 Mei 2019. Para pelaku usaha yang memerlukan akses internet pun terganggu, hingga
berdampak pada omzet harian mereka.
Semua itu merupakan sebab dari pergeseran fungsi dan rasa, media sosial yang awalnya
digunakan sebagai sarana komunikasi antarpersonal, belakangan makin banyak dimanfaatkan
untuk keperluan lain, seperti bisnis, berita dan politik.
Lalu bertambah repot ketika banyak orang menggunakannya untuk menyemai konten
negatif seperti fake news, provokasi dan terorisme. Sejak saat itulah negara mulai membuat
regulasi untuk membatasi pemakaian media sosial, hal tersebut dikarenakan konten yang
berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban.
Pengguna Media Sosial yang memiliki rasa ingin tahu yang lebih cenderung lebih mudah
terjebak dalam berita yang ada di media sosial yang belum terverifikasi kebenarannya, parahnya
berita tersebut dibagikan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Dalam bermedia sosial tentu masyarakat harus menyadari bahwa dunia maya merupakan
hutan belantara berita dan informasi. Untuk itulah para warganet (netizen) harus pandai – pandai
dalam memilah mana informasi yang substansial dan mana yang hanya sekedar sensasional.
Dalam tahun politik, produksi konten provokatif dan hoax amatlah sulit untuk diredam,
banyak yang saling melempar fitnah, saling mencela dan saling menjelekkan. Padahal tindakan
seperti itu bukanlah tata krama masyarakat Indonesia, hal itu juga bukan nilai – nilai islami yang
kita miliki.
Media sosial di Indonesia juga tak lepas dari sisi ambiguitas, di satu sisi literasi digital
kita masih rendah, namun di sisi lain pemerintah juga harus mengantisipasi perilaku warganet
(netizen) yang cenderung melanggar undang – undang informasi dan transaksi elektronik, terkait
dengan pelarangan penyebaran konten kekerasan, hasutan, ujaran kebencian dan SARA yang
cukup sensitif di Indonesia.
Pembatasan media sosial merupakan pil pahit yang harus ditelan, hal tersebut tentu cukup
menghambat para warganet untuk memanfaatkan media sosial secara positif, seperti
mengunggah foto atau video promosi atau melakukan transaksi dengan pembeli.
Namun Pil pahit yang diresepkan pemerintah juga bertujuan untuk menyehatkan media
sosial itu sendiri. Tentu kita dan masyarakat haruslah menjaga fungsi media sosial pada
khittahnya agar dapat menjadi media dalam mempertemukan yang jauh, bukan lantas
memisahkan.
Media sosial sudah semestinya menjadi jembatan konektivitas yang mengukuhkan, bukan
lantas menghancurkan persatuan di Indonesia dengan konten provokatif, hoax, SARA, dan lain
sebagainya.
Membuat Anak Bijak dalam Bermedia Sosial
Beberapa tahun terakhir, pertumbuhan angka pengguna media sosial seperti facebook
atau twitter meningkat dengan sangat pesat bak jamur di musim hujan. Pengguna aktif media
sosial tersebut berasal bukan hanya dari kalangan orang dewasa melainkan juga anak-anak usia
sekolah dasar dan remaja. Data yang dirilis di situs www.socialbakers.com menyebutkan bahwa
pengguna facebook di Indonesia untuk rentang usia 13-15 tahun adalah 10% dari total jumlah
pengguna facebook di Indonesia. Masih berkaitan dengan jumlah pengguna facebook, Charlene
Chian, kepala komunikasi facebook untuk Asia-Pasifik mengatakan saat ini ada 64 juta
pengguna aktif facebook di Indonesia. Jika merunut kepada data tersebut, diperkirakan ada 6,4
juta pengguna aktif facebook berusia remaja di Indonesia dan angka tersebut belum termasuk
mereka yang berusia di bawah 13 tahun.
Banyaknya pengguna media sosial seperti facebook didorong oleh semakin mudahnya
akses internet yang didapat oleh anak-anak. Terkait hal ini, Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos
dan Informatika (SDPP) Kemenkominfo Budi Setiawan mengatakan bahwa kebanyakan yang
mengakses internet di Indonesia berusia antara 15-20 tahun. Selain itu usia 10-14 tahun adalah
yang paling dominan. Di satu sisi, jejaring sosial menolong anak dan remaja dalam memperluas
jaringan pertemanan atau sekedar mencari informasi. Namun, dampak negatif yang
ditimbulkannya pun tidak kalah hebat. Dampak negatif dari jejaring sosial yang paling masif
terjadi akhir-akhir ini adalah praktek bullying dan penipuan yang berujung pada kekerasan
terhadap anak serta remaja. Kerugian yang dialami bukan sekedar trauma psikologis, namun
dapat berimbas pada masa depan anak yang bersangkutan.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah anak dan remaja mengakses jejaring sosial
hampir mustahil dilakukan mengingat ada banyak perangkat yang bisa digunakan di samping
kemudahan akses internet yang bisa didapatkan oleh mereka. Namun, setidaknya ada edukasi
yang bisa diberikan kepada anak dan remaja ketika mereka mengakses jejaring sosial sehingga
mereka bisa terhindar dari praktek bullying (baik sebagai pelaku maupun korban) dan penipuan
dari orang yang tidak bertanggungjawab. Berikut adalah beberapa tips bagi orangtua untuk
mengedukasi anaknya agar bisa menggunakan jejaring sosial dengan bijak:
1. Ingat Golden Rule
Saat menggunakan internet, ada orang-orang tertentu yang menyamarkan identitasnya untuk
menyerang, memfitnah dan mendiskreditkan orang lain dengan alasan tidak menyukai orang
tersebut atau hanya sekedar iseng. Saat menggunakan jejaring sosial atau blog, sangat mudah
bagi kita untuk menemukan profil seseorang yang tidak kita kenal. Orangtua perlu mengajarkan
kepada anak bahwa mereka harus menaruh rasa hormat kepada setiap orang, termasuk orang
yang tidak dikenal, yang mereka jumpai lewat internet dan jejaring sosial. Itulah yang dimaksud
dengan Golden Rule, yang juga berlaku di dunia nyata dimana kita harus memperlakukan orang
lain sebagaimana kita juga ingin diperlakukan oleh orang tersebut.
2. Jangan menyebarkan gosip
Ajarkan kepada anak untuk mampu membedakan informasi yang benar dan yang salah sebelum
mereka memposting suatu berita atau informasi di jejaring sosial. Kemampuan tersebut akan
mencegah beredarnya gosip atau informasi yang tidak benar yang bisa menghancurkan reputasi
seseorang dan merugikan pihak-pihak tertentu. Hal ini dikarenakan berita yang diposting di
jejaring sosial akan cepat menyebar ke banyak orang dalam hitungan detik. Dengan memeriksa
kebenaran informasi sebelum mempostingnya, anak-anak belajar untuk menjadi pengguna
jejaring sosial yang bertanggungjawab.
3. Menjaga informasi yang sifatnya rahasia
Beberapa perusahaan memfokuskan bisnisnya pada usaha untuk mengumpulkan informasi
pribadi dari pengguna jejaring sosial dan kemudian menjualnya kepada para pemasar.
Kemungkinan terburuknya adalah informasi tersebut jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
bertanggungjawab dan berniat mengambil keuntungan dengan cara yang tidak benar. Orangtua
perlu mengingatkan anak-anaknya untuk tidak membagikan informasi pribadi yang sensitif untuk
diketahui publik. Anak-anak perlu tahu bahwa informasi pribadi yang mereka share secara online
di jejaring sosial tidak hanya berdampak bagi diri sendiri tapi juga keluarga mereka.
4. Melawan praktek cyberbullying
Cyberbullying atau praktek bullying yang terjadi di dunia maya, khususnya jejaring sosial,
menjadi salah satu problem paling serius bagi anak dan remaja yang sering online di internet.
Anak-anak dan remaja paling rentan untuk disakiti, ditipu serta dimanfaatkan orang-orang yang
tidak bertanggungjawab apalagi jika tidak ada kontrol atas aktivitas online mereka di jejaring
sosial. Ajarkan kepada anak-anak jika suatu kali mereka mendapati praktek cyberbullying baik
terhadap diri mereka atau seseorang yang mereka kenal, maka mereka harus segera melapor
kepada orangtua atau otoritas dari orang yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat diambil
tindakan secepatnya untuk memutus praktek cyberbullying tersebut.
5. Berpikir tentang masa depan
Pengguna jejaring sosial yang baik akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu.
Berbagai macam hal atau informasi yang telah dibagikan oleh anak dan remaja di jejaring sosial
sama seperti tato digital yang akan tetap terlihat untuk selamanya. Jika orangtua mengajarkan
kepada anaknya tentang memandang masa depan, termasuk memikirkan bagaimana orang-orang
yang dikenal melihat reputasi hidupnya, tentu mereka akan memutuskan dengan bijak hal-hal
apa saja yang akan mereka bagikan di jejaring sosial. Tolonglah anak untuk menjadi pengguna
jejaring sosial yang bijaksana.