Anda di halaman 1dari 88

J

URNALI
LMI
AH
PSI
KOL
OGI
INDUSTRI
&ORGANI
SASI

GambarandanFaktor-Faktoryang
MempengaruhiMotivasiBerprest
asi
Fi
eldCol
lec
tor(
FC)padaPT. Y

Prol Ef
ekti
vit
asKepemi mpinan
Supervi
sorPenjual
andi
Per ahaanPembi
us ayaanOtomotif

Prol KepuasanKerj
a
TenagaMar ket
ingPerus
ahaan
PembiayaanOt omotf
i

Gambar anDimens danFakt


i orPenyebab
Peril
akuKontraprodukti
fPada
CreditMarket
ingOffic er(
CMO)PT.OM

GambaranKontr
akPs i
kologi
s
PadaI
nstr
ukturdiYayasanB

Standari
sas
iKompetensi
PewartaFotoI
ndonesi
a

J
PIO Vol
.3 Halaman Jakar
ta ISSN UMB
No.1 1-80 J
uni2016 2302-8440 API
O-HI
MPSI
Sidang Penyunting
JURNAL ILMIAH PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
Pelindung:
Rektor Universitas Mercu Buana
Ketua Umum Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO-HIMPSI)

Pengarah:
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana

Ketua Penyunting:
Juneman Abraham, S.Psi., C.W.P., M.Si.

Penyunting Eksekutif:
Anisa Rezkinda, S.Psi.

Mitra Bebestari:
Prof. Dr. Fendy Suhariadi (Universitas Airlangga, Indonesia)
Prof. Dr. Murnizam Hj. Halik (Universiti Malaysia Sabah, Malaysia)
Prof. Dr. Hora Tjitra (Zhejiang University, Republik Rakyat Tiongkok)
Prof. Dr. Moch. Enoch Markum (Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia)
Dr. Phil. Hana Rochani G. Panggabean (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Indonesia)
Dr. H. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.Si. (Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia)

Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi (JPIO) merupakan sebuah jurnal yang menggelorakan riset,
pertukaran akademis dan praktek profesional yang berkenaan dengan persoalan-persoalan psikologis industri dan
organisasi. Jurnal ini mengapresiasi integrasi interdisiplin antara psikologi industri dan organisasi dengan ilmu-
ilmu sosial lainnya sebagai salah satu pendekatannya.

JPIO didirikan di Jakarta dengan Surat Keputusan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta No.
21/059/F-SKep/XI/2012. Selanjutnya, pada 17 November 2012, telah ditandatangani Nota Kesepahaman tentang
Kerjasama antara Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi-Himpunan Psikologi Indonesia (APIO-PP HIMPSI)
dengan FPsi UMB dalam rangka penerbitan JPIO. JPIO terbit setiap Juni dan Desember dalam setahun.

Sidang Penyunting JPIO hanya menerima artikel hasil penelitian empiris. Setiap artikel yang masuk dikenai proses
blind peer review oleh mitra bebestari. Panduan bagi penulis dapat diunduh pada
http://www.jpio.org/jpio_template.doc

Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi (JPIO)


ISSN 2302-8440
UNIVERSITAS MERCU BUANA, FAKULTAS PSIKOLOGI
KAMPUS A MERUYA
Jl. Raya Meruya Selatan No. 01, Kembangan, Jakarta Barat 11650
Tel. +6221-5840816 (hunting), +6282112655387 Fax. +6221-5840815
http://www.jpio.org ; http://fpsi.mercubuana.ac.id ; http://apioindonesia.wordpress.com
E-mail: penyunting@jpio.org; juneman@gmail.com
JPIO ISSN 2302-8440
2016, Vol. 3, No. 1

Daftar Isi

Sidang Penyunting i

Daftar Isi ii

Gambaran dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi Field 1-10


Collector (FC) pada PT. Y
Evania Kristiani & Benedicta Prihatin Dwi Riyanti

Profil Efektivitas Kepemimpinan Supervisor Penjualan di Perusahaan 11-23


Pembiayaan Otomotif
Gloria Stefanie Wiguna & Hana Panggabean

Profil Kepuasan Kerja Tenaga Marketing Perusahaan Pembiayaan Otomotif 24-38


Nilam Meyti Sari & Hana Panggabean

Gambaran Dimensi dan Faktor Penyebab Perilaku Kontraproduktif Pada Credit 39-53
Marketing Officer (CMO) PT. OM
Christina Anjar Astya & Elmira N. Sumintardja

Gambaran Kontrak Psikologis Pada Instruktur di Yayasan B 54-68


Vincentia A. Stephanie Gozali & Hana Panggabean

Standarisasi Kompetensi Pewarta Foto Indonesia 69-80


Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Panduan Bagi Penulis


JPIO ISSN 2302-8440
2016, Vol. 3, No. 1, 1-10
MOTIVASI BERPRESTASI 1

Gambaran dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Motivasi Berprestasi Field Collector (FC) pada PT. Y

Evania Kristiani & Benedicta Prihatin Dwi Riyanti


Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

One caused of employee excellent work performance is a high motivation


to reach their needs to achieve their own target. This research aim is to
describe the achievement motivation of Field Collector (FC) at PT.Y and
which factors that have an influence within it. Based on the performance
appraisal of FCs, 36% has lower marks. The behavior of FCs shows that
they have a low achievement motivation. Achievement motivation is an
individual needs to do something better than before (McClelland, 1987).
This research conducted with mix method explanatory design with simple
random sampling technique. The respondent of its research was 183 from
243 FCs as a population. The instrument used in this research was an
achievement motivation questionnaire and an interview guide based on
Achievement Motivation theory from McClelland (1987). This research
found that most of FC still at medium category in Achievement
Motivation, with range frequency from low to high implying that the FCs
of PT.Y are not have a high achievement motivation yet. It was found that
the achievement motivation's dimension which have a low value are task
risk options and feedback.

Keywords: achievement motivation, work performance, feedback form

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan transaksi antara pembeli atau konsumen
aset yang paling penting sebagai penggerak (account) dengan penjual atau supplier. Apabila
proses unit bisnis perusahaan. PT.Y sebagai dibutuhkan, konsumen akan mengisi formulir
perusahaan dalam bidang pembiayaan permohonan kepada PT.Y untuk melakukan
kendaraan bermotor (leasing) berusaha untuk pembiayaan fasilitas yang dibutuhkan. Guna
menghadapi persaingan bisnis dengan mengganti pembiayaan yang sudah dilakukan,
kompetitor lainnya. Salah satunya yaitu dengan maka account harus melakukan pembayaran
selalu berusaha menjaga performa setiap SDM dengan jumlah dan waktu tertentu sesuai
atau karyawan yang bekerja didalam perjanjian yang sudah disetujui. Apabila terjadi
perusahaannya guna mendukung pelaksanaan keterlambatan dalam pembayaran, maka
proses bisnis perusahaan. dibutuhkan penagihan guna menjaga
Alur bisnis perusahaan leasing dimulai dari pendapatan perusahaan melalui stabilitas Return

1
2 KRISTIANI & RIYANTI

of Investment (ROI). Field Collector (FC) mereka dalam bekerja. Dilanjutkan dengan
berperan besar dan bertanggung jawab dalam interaksi di dalam kelompok, melalui dukungan
penagihan ini. Mereka dituntut untuk dapat dan masukan dari rekan kerja seharusnya dapat
menyelesaikan target account yang terlambat membantu mereka lebih mudah dalam
melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan.
kasus yang terjadi sehingga dapat berubah-ubah Kemudian analisa terhadap perilaku FC
setiap bulannya. dalam pekerjaan, mereka dengan penilaian
Pada kenyataannya, dari wawancara yang performa kerja low cenderung menilai umpan
dilakukan kepada Performance Management balik sebagai hukuman atas kesalahan yang
Department Head selaku pihak yang melakukan mereka buat. Tidak berusaha mencari alternatif
supervisi, didapatkan bahwa beberapa bulan atas kesulitan yang mereka alami dalam proses
terakhir (Januari hingga Agustus 2015), 36% pelaksanaan pekerjaan, serta tidak melakukan
FC memiliki penilaian kerja dalam kategori low follow up ketika melakukan penagihan karena
dan very low. Hal ini berdampak langsung pada alasan jarak. Berdasarkan uraian sebelumnya,
pendapatan perusahaan dimana hingga bulan dapat disimpulkan bahwa penurunan performa
Desember 2015 tidak dapat mencapai revenue yang terjadi di PT.Y disebabkan oleh perilaku
perusahaan bahkan hingga akhir tahun tidak dari individu tersebut.
mencapai 90%. Berbeda dengan tahun Motivasi merupakan penggerak dari
sebelumnya yang tetap dapat mencapai bahkan seorang karyawan untuk dapat bekerja dan
melebihi target. mencapai tujuan pekerjaannya semaksimal
Dengan kondisi tersebut, maka dilakukan mungkin (Amstrong, 1990). Dari kondisi yang
analisa terhadap PT.Y. Menurut Davis (2000), terjadi pada PT.Y, terdapat indikasi bahwa
performa kerja karyawan dipengaruhi oleh motivasi pada FC rendah. Mereka tidak
ability (kemampuan dan ketrampilan) serta berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan
motivasi yang tinggi untuk melakukan mencari alternatif lain.
pekerjaan. Perusahaan sudah berusaha Hal ini sejalan dengan pendapat Adhi,
mengontrol kemampuan dan ketrampilan FC Hardienata dan Sunaryo (2013), karyawan yang
dengan menentukan standar tertentu dalam memiliki motivasi kerja rendah cenderung tidak
proses rekrutmen dan seleksi. Setelah itu, dalam menyelesaikan tugas tepat waktu dan tidak
proses pekerjaannya FC diberi bekal dengan mengikuti standar kerja. Dengan tipe pekerjaan
pelatihan tertentu yang dapat membantu mereka FC yang harus menyelesaikan kredit macet
dalam menyelesaikan pekerjaan. sesuai dengan jumlah kasus, maka motivasi
Perusahaan juga berusaha memperhatikan kerja yang dimaksud bukan hanya berusaha
kesulitan yang mereka hadapi dalam pekerjaan memberikan pekerjaan tepat waktu dan sesuai
dengan adanya proses briefing oleh Collection standar. Melainkan berusaha lebih baik dari
Head (CH) selaku pihak yang mengawasi sebelumnya untuk menyelesaikan jumlah target
pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Proses ini yang terus berubah.
dilakukan untuk memberikan solusi dan Kembali pada perilaku yang diperlihatkan
masukan atas masalah yang dihadapi serta hal oleh FC, karakteristik ini sejalan dengan
apa saja yang perlu diperbaiki untuk membantu pendapat McClelland (1987) yang menyatakan
MOTIVASI BERPRESTASI 3

bahwa individu tersebut memiliki motivasi seseorang untuk dapat melakukan sesuatu jauh
berprestasi yang rendah. Individu yang lebih baik dari sebelumnya dengan berusaha
memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung melebihi standar yang ada. Sejalan dengan
menyalahkan faktor diluar dirinya ketika pendapat Daft (2008), motivasi berprestasi
mengalami kegagalan dalam pekerjaan. merupakan keinginan untuk menyelesaikan
Motivasi berprestasi adalah dorongan seorang tugas yang menantang dan dapat mencapai hasil
individu untuk dapat bekerja lebih baik dari lebih baik dari sebelumnya.
sebelumnya atau mencapai suatu standar Aswathappa (2005), menjelaskan bahwa
keunggulan tertentu dikenal dengan motivasi karyawan dengan motivasi berprestasi yang
berprestasi (Need to achieve). tinggi dapat mengarahkan pada kepuasan dalam
Sejalan dengan hasil penelitian Rivai usaha pencapaian target. Selain itu, Murray
(2004), bahwa semakin kuat motivasi (dalam Chaplin, 2004) juga mengungkapkan
berprestasi maka dapat mempengaruhi tingkat bahwa motivasi berprestasi merupakan motif
kinerja karyawan. Bagaimana seseorang dapat untuk dapat mengatasi rintangan hingga dapat
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi juga menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sebaik
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mungkin. Hal ini sejalan dengan pendapat dari
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu Santrock (2003), bahwa motivasi berprestasi
internal maupun eksternal oleh McClelland adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu
(1987). Dengan dukungan dari berbagai faktor demi tercapainya bahkan melebihi suatu standar
tersebut maka diharapkan akan berdampak kesuksesan atau melakukan usaha untuk dapat
signifikan pada motivasi berprestasi mereka. mencapai kesuksesan.
Dengan demikian, terjadinya penurunan
performa kerja pada FC PT.Y diindikasikan Kerangka Berpikir
karena motivasi berprestasi yang rendah. Penurunan performa kerja yang terjadi pada
Sehingga ketika dihadapkan pada tugas dari FC di PT.Y diindikasikan sebagai dampak dari
karakteristik pekerjaan ini justru menjadi rendahnya motivasi berprestasi. Terlihat dari
menyalahkan faktor luar dan berdampak pada perilaku dalam bekerja yang menunjukkan hal
penilaian kerja mereka. tersebut sehingga berdampak pada tidak
tercapainya revenue perusahaan. Dengan
Tujuan Penelitian demikian menjadi penting bagi sebuah
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah perusahaan untuk melihat bagaimana gambaran
untuk memperoleh gambaran dan faktor-faktor motivasi berprestasi serta apa saja faktor yang
yang motivasi berprestasi FC pada PT.Y. mempengaruhi untuk dapat menjadi bahan
Dengan mengetahui hal ini, perusahaan dengan pertimbangan guna memecahkan masalah
melihat apa saja yang perlu menjadi perhatian dalam karyawannya.
terkait dengan motivasi berprestasi mereka. Oleh karena itu, dilakukan pengukuran
mengenai motivasi berprestasi berdasarkan
Motivasi Berprestasi Three Needs Theory dari McClelland (1987)
Menurut McClelland (1987), motivasi yang terdiri dari 6 dimensi atau aspek utama
berprestasi dapat diartikan sebagai keinginan dalam motivasi berprestasi menurut McClelland
4 KRISTIANI & RIYANTI

(1987), antara lain (1) Tanggung Jawab, (2) penyelesaian tugas, umpan balik, keinginan
Resiko Pemilihan Tugas, (3) Waktu untuk menjadi yang terbaik dan kreatif-inovatif.
Penyelesaian Tugas, (4) Umpan Balik, (5) Enam aspek tersebut diukur melalui 36 item
Keinginan untuk Menjadi yang Terbaik dan (6) dengan 26 pernyataan favorable dan 10
Kreatif-Inovatif. Selain aspek tersebut, terdapat pernyataan unfavorable. Penilaian pengisian
juga 2 faktor yang mempengaruhi motivasi skor pada kuesioner ini menggunakan skor 1-5.
berprestasi, antara lain (1) Faktor Intrinsik yang Pada pernyataan favorable skor diberikan mulai
terdiri dari keinginan untuk sukses, self- dari angka 5 (sangat sesuai), 4 (sesuai), 3
efficacy, value, kekhawatiran terhadap (netral), 2 (tidak sesuai), 1 (sangat tidak
kegagalan, faktor demografis; (2) Faktor sesuai). Sedangkan pernyataan unfavorable,
Ekstrinsik yang terdiri dari hubungan atasan- angka 5 (sangat tidak sesuai), 4 (tidak sesuai),
bawahan, hubungan rekan kerja, sistem 3 (netral), 2 (sesuai), 1 (sangat tidak sesuai).
pelatihan, sistem kesejahteraan, kondisi fisik Pengolahan data dalam penelitian ini
lingkungan kerja, status kerja, upah, menggunakan SPSS versi 21.00. Dilakukan uji
kesempatan karir, kebijakan perusahaan. validitas dan reliabilitas terlebih dahulu pada
instrumen yang digunakan. Uji validitas
Metode dilakukan menggunakan content validity
dengan expert judgement yang dilakukan
Penelitian ini merupakan mix method kepada dosen pembimbing penelitian dan
explanatory research dengan menggunakan People Development Division Head PT.Y.
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Variabel Selain itu dilakukan juga uji corrected item-
yang diukur dalam penelitian adalah motivasi total correlation, berikut hasil perhitungannya
berprestasi. Populasi yang digunakan dalam (Tabel 1).
penelitian adalah 243 FC dengan status
karyawan tetap. Selanjutnya, pengambilan Tabel 1. Hasil Perhitungan Analisis Item
sampel dilakukan dengan menggunakan simple Corrected Corrected
No. No.
Item Total Item Total
random sampling dengan jumlah minimal Item Item
Correlation Correlation
sebanyak 151 orang. 1. 0.247 19. 0.186
2. 0.056 20. 0.577
Pemilihan sampel dilakukan dengan dengan 3. 0.462 21. 0.464
cara memberikan nomor urut pada daftar nama, 4, 0.379 22. 0.415
5. 0.323 23. 0.254
yang kemudian setiap nomor dimasukkan 6. 0.515 24. 0.389
kedalam fish bowl. Selanjutnya diambil secara 7. 0.310 25. 0.517
acak dari fish bowl sebanyak jumlah sampel 8. 0.543 26. 0.132
9. 0.318 27. 0.402
minimal menurut perhitungan sebelumnya. 10. 0.371 28. 0.568
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian 11. 0.416 29. 0.426
12. 0.489 30. 0.505
ini adalah kuisioner motivasi berprestasi yang 13. 0.282 31. 0.282
disusun tahun 2005 oleh Mangkunegara. 14. 0.300 32. 0.333
15. 0.319 33. 0.420
Terdapat 6 aspek yang dilihat dalam alat ukur 16. 0.448 34. 0.412
ini berdasarkan teori McClelland (1987) yaitu 17. 0.256 35. 0.186
18. 0,231 36. 0.469
tanggung jawab, resiko pemilihan tugas, waktu
MOTIVASI BERPRESTASI 5

Terdapat 4 item perlu direvisi berdasarkan dimensi terhadap data demografis dengan
rtabel (p-value = 0.210). Setelah itu dilakukan menggunakan Kruskal-Wallis Test.
revisi, item tersebut digunakan untuk proses Setelah didapatkan hasil analisa data,
pengambilan data selanjutnya. Sedangkan untuk dilakukan wawancara kepada FC dengan
uji reliabilitas, digunakan perhitungan dengan kategori high dan low berdasarkan analisa.
menggunakan Coefficient Alpha Cronbach, Wawancara dilakukan berdasarkan panduan
berikut hasil perhitungannnya (lihat Tabel 2). yang disusun dari teori McClelland (1987)
untuk mengetahui faktor mana yang paling
Tabel 2. Hasil Uji Reliabilitas mempengaruhi motivasi berprestasi FC PT.Y.
Cronbach’s Alpha N of Items
0.847 36
Hasil
Berdasarkan Guilford (1978), suatu alat
ukur dikatakan reliabel apabila koefisien Responden yang akhirnya digunakan dalam
reliabilitasnya lebih dari 0.7. Hal serupa penelitian ini berjumlah 183 orang yang
dijelaskan oleh Davis (1985), bahwa koefisien tersebar di 57 cabang PT.Y seluruh Indonesia.
reliabilitas suatu alat ukur yang baik berada Berikut pembagian data demografis responden
diantara 0.6 hingga 0.8. Berdasarkan pedoman (lihat Gambar 1 sampai dengan Gambar 4).
tersebut, maka dapat dikatakan kuisioner
motivasi berprestasi yang digunakan dalam
penelitian ini reliabel.
Setelah itu, dilakukan uji perhitungan
normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-
Smirnov dan Saphiro-Wilk (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas


Kolmogorov- Saphiro- Gambar 1. Pembagian berdasarkan regional
Variabel
Smirnov Willk
Motivasi
0.191 0.077
Berprestasi

Berdasarkan perhitungan tersebut, p-value


= 0.191 dan 0.077 > 0.05. Maka, dapat
disimpulkan data yang digunakan pada variabel
motivasi berprestasi terdistribusi normal.
Selanjutnya, gambaran umum motivasi
berprestasi pada penelitian ini akan dihitung
dengan melakukan transformasi dari skor total Gambar 2. Pembagian berdasarkan usia
ke dalam bentuk z-score. Untuk perhitungan
perbedaan dimensi didalamnya dilakukan
dengan menggunakan Friedmann Test. Setelah
itu, dilakukan analisa lanjutan pada setiap
6 KRISTIANI & RIYANTI

memiliki motivasi berprestasi tinggi yang


mempengaruhi performa kerja mereka. Oleh
karena itu menjadi penting untuk dapat
meningkatkan motivasi berprestasi FC sehingga
dapat memberikan performa kerja dengan
seoptimal mungkin.
Berdasarkan hasil analisa sebelumnya, akan
dilakukan wawancara berdasarkan temuan pada
Gambar 3. Pembagian berdasarkan masa perhitungan kuantitatif. Wawancara dilakukan
kerja pada FC dengan kategori high dan low untuk
mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai
faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi
mereka. Motivasi berprestasi sendiri terdiri dari
enak aspek utama yaitu tanggung jawab, resiko
pemilihan tugas, waktu penyelesaian tugas,
umpan balik, keinginan untuk menjadi yang
terbaik dan kreatif-inovatif. Berikut hasil
perhitungan kategorisasi pada setiap dimensi di
Gambar 4. Pembagian berdasarkan latar dalam motivasi berprestasi (lihat Tabel 4).
belakang pendidikan
Tabel 4. Kategorisasi Dimensi Motivasi
Berdasarkan gambaran responden
Berprestasi
sebelumnya, maka dilakukan perhitungan
No. Dimensi Mean Kategorisasi
terhadap skor yang didapatkan untuk melihat 1. Tanggung Jawab 3.22 Sedang
bagaimana gambaran motivasi berprestasi FC 2. Resiko Pemilihan 1.12 Rendah
Tugas
(lihat Gambar 5). 3. Waktu 3.89 Sedang
Penyelesaian
Tugas
4. Umpan Balik 2.46 Rendah
5. Keinginan untuk 4.90 Tinggi
Menjadi Terbaik
6. Kreatif - Inovatif 5.41 Tinggi

Berdasarkan hasil analisa, responden


memberikan penilaian yang rendah pada
dimensi resiko pemilihan tugas dan umpan
Gambar 5. Distribusi motivasi berprestasi balik. Untuk itu dilakukan analisa lebih
mendalam pada setiap dimensi berdasarkan data
Dari gambaran skor yang didapatkan, maka demografis yang digunakan dalam penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar FC yaitu usia, masa kerja dan latar belakang
masih berada pada kategori rendah dan sedang pendidikan dan regional. Berikut hasil dari
yaitu sejumlah 81%. Dengan demikian, dapat perhitungannya (lihat Tabel 5).
dijelaskan bahwa sebagian besar FC belum
MOTIVASI BERPRESTASI 7

untuk 3 (tiga) dimensi lainnya tidak


Tabel 5. Signifikansi Uji Beda terhadap Data memiliki perbedaan yang signifikan
Demografis terhadap latar belakang pendidikan.
Data Demografis 4. Terdapat perbedaan yang signifikan pada
Dimensi
Latar
No Motivasi Masa
Berprestasi
Usia
Kerja
Belakang Regional dimensi “tanggung jawab” dengan nilai
Pendidikan
1. Tanggung 0.503 0.170 0.005 0.003 signifikansi = 0.003 < 0.05 dan dimensi
Jawab
2. Resiko 0.874 0.310 0.027 0.780
umpan balik dengan nilai signifikansi =
Pemilihan 0.022 < 0.05 terhadap data demografi
Tugas
3. Waktu 0.136 0.080 0.165 0.743 regional. Sedangkan untuk 3 (tiga) dimensi
Penyelesaian
Tugas lainnya tidak memiliki perbedaan yang
4. Umpan Balik 0.183 0.112 0.738 0.022
5. Keinginan 0.315 0.190 0.303 0.110
signifikan terhadap regional.
untuk
Menjadi
Terbaik Berdasarkan hasil yang sudah didapatkan
6. Kreatif - 0.069 0.043 0.306 0.447
Inovatif sebelumnya, maka dilakukan wawancara
kepada 4 responden yang dipilih secara acak.
Dari hasil perhitungan diatas, maka Dua diantara berada pada kategori low,
didapatkan beberapa penjelasan berdasarkan sedangkan dua diantaranya berada pada
perhitungan analisa data, antara lain: kategori high. Proses wawancara ini dilakukan
1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk melihat faktor yang paling mempengaruhi
antara seluruh dimensi yang terdapat dalam motivasi berprestasi FC di PT.Y. Dari proses
motivasi berprestasi dengan kelompok wawancara, didapatkan beberapa hasil. Namun,
demografi usia. Baik yang berada dalam yang paling menonjol dari antara lainnya adalah
kategori 1 (< 25th), kategori 2 (26 – 30th), pemahaman mereka mengenai umpan balik
kategori 3 (31 – 34th) dan kategori 4 (> yang selama ini dilakukan oleh perusahaan.
35th). Hal ini terlihat dari nilai signifikansi Mereka menilai bahwa sistem yang
(p) keempat kategori yang tidak ada yang dilakukan oleh perusahaan mengenai umpan
berada dibawah 0.05. balik pada dasarnya dapat membantu mereka
2. Terdapat perbedaan yang signifikan pada melakukan pekerjaan. Jika dibandingkan
dimensi “kreatif-inovatif” terhadap data dengan pelatihan yang menurut mereka
demografi masa kerja dengan nilai dibutuhkan adanya refreshment oleh pihak
signifikansi = 0.043 < 0.05. Sedangkan perusahaan, umpan balik justru dapat
untuk 5 (lima) dimensi lainnya tidak membantu dalam pelaksanaan pekerjaan.
memiliki perbedaan yang signifikan Sayangnya dua diantara mereka tidak
terhadap data demografi masa kerja. sependapat akan hal ini, menurut mereka dalam
3. Terdapat perbedaan yang signifikan pada penyampaian umpan balik itu sendiri hanya
dimensi “tanggung jawab” dengan nilai mendasarkan pada hal-hal terkait tercapai atau
signifikansi = 0.005 < 0.05 dan “resiko tidaknya target sebagai hasil akhir pekerjaan.
pemilihan tugas” dengan nilai signifikansi Sedangkan aspek-aspek dalam mendukung
= 0.027 < 0.05 terhadap data demografi pelaksanaan pekerjaan itu sendiri tidak menjadi
latar belakang pendidikan. Sedangkan perhatian dalam pemberian feedback. Selain itu
8 KRISTIANI & RIYANTI

dalam prosedurnya tidak mendasar pada urutan kepada FC untuk melihat faktor yang
atau suatu prosedur tertentu. Sesuai dengan mempengaruhi motivasi berprestasi mereka.
temuan fenomena di awal penelitian, maka Menurut penjelasan, faktor eksternal dalam hal
diperlukan adanya perhatian perusahaan akan ini umpan balik yang diberikan pada dasarnya
hal ini untuk dapat meningkatkan motivasi sudah cukup membantu dalam pekerjaan. Bagi
berprestasi FC di PT. Y. mereka yang tidak sependapat, prosedur
pelaksanaan dari umpan balik itu sendiri tidak
Diskusi fokus kepada hal-hal yang perlu diperbaiki
dalam mendukung pencapaian target pekerjaan.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, Hanya melihat berhasil atau tidaknya
dimensi resiko pemilihan tugas memiliki pencapaian target sebagai hasil pekerjaan.
kategorisasi paling rendah dibandingkan dengan Sehingga hal ini membuat mereka merasa
yang lainnya. Dengan karakteristik pekerjaan dihukum atas ketidakberhasilan dalam usaha
FC, sudah menjadi resiko untuk menyelesaikan dari pencapaian target itu sendiri.
pekerjaan dengan mengatasi segala hambatan
yang ada. McClelland (1987) menjelaskan Perhitungan analisa statistik menjelaskan
apabila individu memiliki motivasi berprestasi bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
tinggi maka ia akan berusaha mengatasi segala antara motivasi berprestasi dengan usia FC. Hal
tantangan dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, ini berbanding terbalik dengan teori McClelland
jika FC memiliki motivasi berprestasi yang (1987) bahwa usia merupakan salah satu faktor
tinggi maka akan berdampak pada performa yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi
kerja untuk berusaha mengatasi segala seseorang. Dengan usia karyawan yang lebih
hambatan dalam penyelesaian pekerjaannya. tua dan berpengalaman, mereka beranggapan
Dari hasil analisa juga didapatkan bahwa bahwa sudah tidak banyak kesempatan kerja
umpan balik mendapatkan penilaian yang yang dapat mereka lakukan diluar. Selain itu,
rendah dibandingkan dengan dimensi lainnya. dengan penilaian kerja yang hanya didasarkan
Dengan jumlah penyebaran 57 cabang yang pada pencapaian target membuat tidak
luas di seluruh Indonesia, dibutuhkan adanya terlihatnya perbedaan, selama mereka dapat
prosedur untuk menjadi panduan agar mencapai target maka dinilai sudah memenuhi
pelaksanaannya terstandar. Berdasarkan KPI dari perusahaan.
keterangan dari Performance Management
Department Head, pelaksanaan umpan balik Limitasi Penelitian
selama ini tidak memiliki prosedur atau sistem Hasil dari penelitian ini hanya dapat
tertentu dari perusahaan. Hasil dari digunakan untuk dapat melihat gambaran dari
pelaksanaannya pun tidak dicatat sehingga motivasi berprestasi FC pada PT.Y. Tidak dapat
hanya terbatas pada bagaimana pelaksanaan di digeneralisasikan ke lingkungan perusahaan
lapangan, tidak melihat aspek apa yang lain. Selain itu, dalam proses pemilihan
mungkin perlu dikembangkan untuk membantu pengambilan sampel peneliti juga tidak
FC dalam melaksanakan pekerjaannya. mempertimbangkan regional yang ada sehingga
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara memungkinkan adanya ketidakseimbangan
MOTIVASI BERPRESTASI 9

antar regional yang ada. Dengan demikian, kreatif-inovatif. Sedangkan yang paling rendah
untuk penelitian selanjutnya terkait dengan berada pada kategori FC dengan masa kerja
regional ataupun area tertentu diharapkan dapat dibawah 2 tahun.
menggunakan teknik cluster random sampling Apabila dilihat dari data demografi latar
sehingga mendapatkan sampel yang lebih belakang pendidikan, dimensi yang memiliki
menggambarkan populasi FC pada PT.Y. perbedaan signifikan adalah tanggung jawab
Dalam pelaksanaannya, keterbatasan untuk dan resiko pemilihan tugas. FC yang memiliki
mengakses data juga menjadi hambatan. latar belakang pendidikan SMA berada pada
Walaupun sudah mendapatkan persetujuan dari kategori tinggi di dimensi resiko pemilihan
atasan atau pihak yang berwenang, namun tugas namun rendah pada dimensi tanggung
kenyataannya di cabang terdapat beberapa data jawab. Sedangkan FC dengan latar belakang
yang tidak sesuai dengan pusat. Sehingga harus pendidikan S1 berada pada kategori tinggi pada
dilakukan pengecekan ulang dan menghambat dimensi tanggung jawab, namun rendah pada
proses pelaksanaan pengambilan data. dimensi resiko pemilihan tugas.
Berdasarkan letak regional responden,
Kesimpulan dan Saran wilayah Sumatera Bagian Utara berada pada
kategori tinggi pada dimensi tanggung jawab.
Kesimpulan Sedangkan DKI 1 berada di kategori rendah
Gambaran secara umum mengenai motivasi pada dimensi ini. Di sisi lain, apabila dilihat
berprestasi FC pada PT.Y berada pada kategori dari dimensi umpan balik, regional NTB-Bali
sedang. Apabila dilihat pada prosentasenya, memiliki kategori tinggi sedangkan yang
sebagian besar FC berada pada kategori rendah terendah adalah Sumatera Bagian Selatan.
dan sedang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Dari hasil wawancara yang dilakukan
hal ini menunjukkan FC pada PT.Y belum terhadap 4 (empat) responden yang dipilih
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. secara acak didapatkan hasil bahwa pada
Apabila melihat lebih lanjut pada dimensi dasarnya sistem briefing yang dilakukan setiap
didalam motivasi berprestasi, kreatif-inovatif hari dapat membantu pelaksanaan kerjanya
dan keinginan untuk menjadi terbaik berada namun beberapa diantaranya tidak sependapat
pada kategori tinggi. Sedangkan resiko akan hal tersebut.
pemilihan tugas dan umpan balik berada pada
kategori rendah. Saran
Kembali melihat pada hasil perhitungan uji Untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya,
beda antar dimensi dengan data demografis terdapat beberapa hal yang mungkin perlu
responden, didapatkan bahwa kategori usia diperhatikan dalam pelaksanaannya:
tidak memiliki perbedaan signifikan dengan 1. Mengingat dari hasil analisa data perlu
seluruh dimensi dalam motivasi berprestasi. dipertimbangkan mengenai beberapa
Untuk data demografi masa kerja, hanya referensi lanjutan untuk menjawab
dimensi kreatif-inovatif yang memiliki bagaimana perbedaan antara responden
perbedaan signifikan dimana FC dengan masa dengan latar pendidikan berbeda dalam
kerja diatas 10 tahun lebih tinggi pada dimensi mempengaruhi tingkat motivasi berprestasi
10 KRISTIANI & RIYANTI

mereka. Begitu juga dengan perbedaan Aswathappa, K. (2005). Human resource and
regional asal responden yang dapat dibantu personnel management. New Delhi: Tata
dengan data kualitatif sehingga dapat McGraw-Hill Education.
menjelaskan hasil dari analisa akhir dengan Chaplin, J. P. (2004). Kamus lengkap psikologi.
lebih elaboratif, tidak hanya terbatas pada Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
wawancara mengenai faktor yang Daft, R. L. (2008). Organization theory and
mempengaruhi motivasi berprestasi. design (10th ed.). Cengage Learning.
2. Dapat mempertimbangkan regional dalam Davis, K., & Newstorm, J. N.. (2000). Perilaku
pemilihan teknik pengambilan sampel dalam Organisasi (7th ed.). Jakarta:
dengan menggunakan teknik cluster Erlangga.
random sampling sehingga didapatkan Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1978).
jumlah yang lebih proporsional. Fundamental statistics in psychology and
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat education. Tokyo: McGraw-Hill
beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Kogakusha, Ltd.
perusahaan, antara lain: McClelland, D. C. (1987). Human motivation.
1. Melakukan diskusi lebih lanjut dengan New York: Cambridge University Press.
pihak Organizational Development dan Rivai, V. (2004). Manajemen sumber daya
Performance Management mengenai hal manusia untuk perusahaan. Jakarta: PT.
apa yang dapat dilakukan berdasarkan hasil Raja Grafindo.
penelitian yang sudah dilakukan untuk Santrok, J. W. (2003). Adolescence. Jakarta:
meningkatkan motivasi berprestasi FC. Erlangga.
2. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut
kepada CH maupun FC secara bertahap
mengenai rendahnya dimensi resiko
pemilihan tugas dan umpan balik. Dapat
dilakukan dengan FGD sehingga terlihat
hal apa saja yang perlu menjadi perhatian
terkait dengan dimensi yang rendah.

Referensi

Adhi, S., Hardienata, S., Sunaryo, W. (2013).


The effect of organizational culture,
transformational leadership and work
Motivation toward Teacher Performance.
Indian Journal of Positive Psychology,
4(4), 537-539.
Amstrong, M. (1990). Manajemen sumber daya
manusia. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo
JPIO ISSN 2302-8440
2016, Vol. 3, No. 1, 11-23
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN 11

Profil Efektivitas Kepemimpinan Supervisor Penjualan


di Perusahaan Pembiayaan Otomotif

Gloria Stefanie Wiguna & Hana Panggabean


Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

At PT X, the Credit Head (CRH) serves as leader in supervisory level.


They are responsible to lead and manage subordinates to achieve company
targets. However, lack of leadership knowledge and skills prevents them
from doing their job effectively. This condition is confirmed by the
emergence of complaints from superiors, subordinates and also from
human resources department. Therefore, this study aims at mapping the
leadership effectiveness of CRHs at PT X. Common indicators of the
leader effectiveness are the extent to which performance of the team or
organizational units was increased and the achievement of objectives is
facilitated. Applying Yukl (2010) theoretical framework, Leadership
Effectiveness is measured based on three dimensions: task, people and
change-oriented behavior. This study is an applied research aiming at
profiling leadership effectiveness of CRHs at PT. X. A questionnaire
prepared by adapting Gary Yukl’s theory of leadership effectiveness is
used to collect data from 33 CRHs which are located in regional Jakarta
and West Java. Research sampling is conducted with purposive sampling
technique. A frequency distribution table is used as descriptive statistical
analysis techniques to show the picture of the overall population. The
result shows that the leadership effectiveness of CRHs is below average
on all dimensions. To overcome the problem, the researcher proposes
training to improve leadership effectiveness of CRHs..

Keywords: leadership effectiveness, leadership behaviour, leadership


competencies

Kemajuan penjualan sebuah perusahaan berhasil mengembangkan dirinya dari hanya 14


tidak hanya berasal dari strategi yang cabang di tahun 2003 hingga saat ini sudah
direncanakan oleh manajemen namun juga memiliki lebih dari 170 cabang yang tersebar di
didukung oleh peran karyawan yang seluruh Indonesia. Peran terbesar dalam
mengimplementasikan strategi tersebut dalam kemajuan ini berasal dari bantuan dari
pekerjaan sehari-hari. PT. X adalah salah satu karyawan-karyawan yang berada di kantor
perusahaan yang bergerak di bidang cabang sebagai pelaksana khususnya dari divisi
pembiayaan otomotif skala nasional, yang marketing yang terdiri dari Credit Marketing
11
12 WIGUNA & PANGGABEAN

Officer (staff), Credit Head dan Marketing Manager), bawahan (Credit Marketing Officer)
Head (supervisor). dan juga Area People Development Head (yang
Perkembangan yang dialami oleh PT. X bertanggung jawab terhadap proses seleksi dan
menyebabkan adanya peralihan fokus bisnis rekrutmen di kantor cabang). Beberapa Branch
yang semula pengembangan pasar (tanggung Manager menyatakan bahwa permasalahan
jawab Marketing Head) menjadi peningkatan kepemimpinan yang kerap muncul pada Credit
penjualan (tanggung jawab Credit Head). Oleh Head yaitu kelemahan dalam mengelola tim
karena itu, dapat dikatakan bahwa saat ini khususnya dengan jumlah bawahan yang
Credit Head merupakan garda terdepan penentu banyak. Idealnya seorang Credit Head di PT. X
pencapaian target di divisi marketing. Daya membawahi tujuh sampai delapan orang Credit
analisa dan kecakapan Credit Head dalam Marketing Officer, namun tidak jarang pula
menafsirkan kualitas aplikan menjadi kunci ditemui Credit Head yang memiliki 14 orang
penentu keberhasilan divisi marketing. Sebagai atau lebih bawahan. Pandangan lain diberikan
seorang supervisor, Credit Head juga memiliki oleh Area People Development Head yang
peran dalam memimpin Credit Marketing menilai bahwa Credit Head belum cukup peka
Officer yang berada langsung di bawah terhadap kebutuhan bawahannya. Hal ini
naungannya. Ia memiliki tanggung jawab dalam muncul ketika Credit Head dirotasi ke daerah
membina Credit Marketing Officer yang baru lain dan mereka cenderung memimpin tim
maupun senior untuk dapat bekerja sebagai tim menggunakan cara yang kaku dan tidak adaptif.
sehingga dapat mendukung pencapaian target Keluhan yang muncul dari Credit
marketing. Dari penjelasan tersebut dapat Marketing Officer yaitu munculnya perasaan
dikatakan bahwa seorang Credit Head yang tidak diperhatikan oleh atasan serta kurangnya
efektif sebagai pemimpin, perlu terampil dalam interaksi personal antara atasan dan bawahan.
menjalankan tugas serta mengelola bawahannya Hal ini diperkirakan dapat menyebabkan
agar dapat mendukung pencapaian tujuan demotivasi kerja bawahan yang juga
perusahaan dari segi pencapaian target dan juga mempengaruhi persentase produktivitas tim
kualitas kredit. yang menjadi rendah sebagai akibat kurangnya
Berdasarkan kondisi saat ini ditemui interaksi antara atasan dengan bawahan. Selain
indikasi bahwa sebagian Credit Head memiliki itu, kurang efektifnya Credit Head dalam
penilaian dibawah standar untuk aspek mengelola tim kerja juga diperkirakan dapat
kepemimpinan. Beberapa faktor yang diduga memicu konflik antara Credit Head dengan
sebagai penyebab rendahnya kepemimpinan Credit Marketing Officer yang berujung pada
Credit Head antara lain belum adanya ketidakmampuan bekerja sama.
pembekalan komprehensif yang diberikan oleh Tantangan bagi seorang Credit Head dalam
perusahaan ketika promosi jabatan terjadi serta bekerja tidak hanya harus memastikan target
minimnya pengetahuan dan pengalaman tim tercapai namun juga harus selalu siap
menjadi seorang pemimpin. menghadapi kendala situasi di lapangan.
Dampak yang muncul dari kondisi tersebut Kendala yang kerap kali ditemui oleh Credit
adalah beberapa keluhan mengenai kinerja Head antara lain dealer yang sulit memberikan
Credit Head muncul dari atasan (Branch aplikasi pada bawahan, Credit Marketing
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN 13

Officer yang tidak bekerja secara efektif, Keberhasilan dari seorang Credit Head
keluhan dari Marketing Head mengenai dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara
bawahan yang bermasalah dengan dealer, serta dirinya dengan bawahan, rekan kerja dan juga
tekanan dari Branch Manager terkait dengan atasan. Seorang Credit Head dikatakan efektif
kegagalan pembayaran angsuran debitur selama sebagai pemimpin jika mampu mengarahkan,
6 bulan pertama. Credit Head sebagai seorang mengelola dan mempengaruhi tim untuk
pemimpin, diharapkan mampu mengatasi mencapai tujuan bersama.
kendala-kendala tersebut dengan seefektif Berdasarkan kondisi yang ada saat ini,
mungkin. peneliti menduga bahwa fungsi kepemimpinan
Sosok supervisor sebagai pemimpin Credit Head masih belum efektif. Akan tetapi
memiliki fungsi untuk mengelola beberapa anak ketidakefektifan ini masih belum terindikasi
buah atau bawahan, seperti mengarahkan secara spesifik sehingga dibutuhkan penelitian
aktivitas grup untuk mencapai tujuan bersama, untuk mendalami hal tersebut.
mempengaruhi agar kelompok bersedia bekerja
melebihi hal rutin, dan memanfaatkan sumber Tujuan Penelitian
pengaruh situasional, politis, psikologis maupun
sumber lainnya untuk membangkitkan, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melibatkan dan memenuhi tujuan bersama mendapatkan gambaran efektivitas
(Northouse, 2013; Katz & Kahn, 1978; Bass, kepemimpinan Credit Head di PT. X yang
1990). Selain itu, supervisor juga berperan dilihat dari tiga dimensi efektivitas
untuk memahami dan menyetujui apa yang kepemimpinan Yukl (2010) yaitu perilaku
dibutuhkan dalam melaksanakan tugas, berorientasi tugas, orang dan juga perubahan.
bagaimana melakukan tugas itu, serta proses Hasil penelitian selanjutnya akan digunakan
untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif sebagai dasar pembuatan rekomendasi
guna mencapai tujuan bersama serta rancangan intervensi untuk pengembangan
menciptakan tim kerja yang solid (Yukl, 2010; aspek kepemimpinan Credit Head.
Hartman, 1999). Efektivitas kepemimpinan
seorang supervisor dapat dilihat dari Efektivitas Kepemimpinan
kemampuannya dalam mengelola orang-orang Gary Yukl (2010) mendefinisikan
di sekitarnya untuk membantunya dalam kepemimpinan sebagai proses di mana individu
menjalankan fungsi kerjanya secara lebih mempengaruhi kelompok untuk mencapai
optimal (Schreuder, Groothoff, Jongsma, & van tujuan bersama. Salah satu indikator umum
Zweeden, 2013) keefektifan pemimpin adalah hingga sejauh
Beberapa pandangan di atas menunjukkan mana kinerja tim atau unit organisasi itu
pentingnya efektivitas kepemimpinan seorang meningkat dan sejauh mana pencapaian tujuan
Credit Head sebagai supervisor untuk difasilitasi, dimana efektivitas kepemimpinan
mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan ini diukur berdasarkan pada beberapa perilaku
grup atau organisasi yang sedang dilakukan dan yang fokus pada tugas, orang dan juga
memastikan bahwa semuanya dipersiapkan perubahan (Yukl, 2010).
untuk memenuhi tantangan di masa depan.
14 WIGUNA & PANGGABEAN

Yukl (2010) mendeskripsikan perilaku keberhasilan yang nyata, dan kontribusi penting
yang berorientasi tugas ditunjukkan melalui bagi organisasi. Pengakuan berguna untuk
kepedulian terhadap pencapaian tujuan dengan menguatkan perilaku yang diinginkan,
efisien dan dalam cara yang dapat diandalkan. meningkatkan hubungan antar pribadi, dan
Perencanaan, klarifikasi, dan pengawasan meningkatkan kepuasan kerja.
merupakan perilaku orientasi tugas yang khusus Perilaku yang berorientasi pada perubahan
dan secara bersama-sama mempengaruhi terutama peduli pada pemahaman akan
kinerja bawahan. Perencanaan melibatkan lingkungan, penemuan cara inovatif untuk
pembuatan keputusan tentang tujuan, prioritas, beradaptasi dengan hal itu, serta penerapan
strategi, alokasi sumber daya, pemberian perubahan besar ke dalam strategi, produk, dan
tanggungjawab, pembuatan jadwal aktivitas, proses. Perubahan tidak hanya terkait pada
dan alokasi waktu pemimpin itu sendiri. konteks kondisi di sekitar pemimpin itu sendiri
Klarifikasi meliputi pemberian tugas, namun juga diri pemimpin sebagai bagian dari
penjelasan tentang tanggung jawab pekerjaan, perubahan. Perubahan tidak hanya terkait pada
penjelasan tentang peraturan dan prosedur, konteks kondisi di sekitar pemimpin itu sendiri
pemberitahuan tentang prioritas, penetapan namun juga diri pemimpin sebagai bagian dari
sasaran kinerja khusus dan tenggat waktu, serta perubahan. Seorang pemimpin yang berorientasi
pemberian instruksi tentang bagaimana pada perubahan tidak hanya mampu dengan
melakukan pekerjaan tertentu. Pengawasan cepat mengenali kondisi disekitarnya namun
melibatkan tindakan untuk mendapatkan bisa dengan sigap menentukan strategi yang
informasi yang dibutuhkan guna mengevaluasi dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi yang
operasi unit kerja dan kinerja tiap-tiap bawahan. ada.
Perilaku yang berorientasi pada orang
terutama peduli dengan peningkatan rasa saling Kerangka Berpikir
percaya, kerja sama, kepuasan kerja, dan Credit Head sebagai seorang pemimpin
identifikasi dengan organisasi. Pemberian memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
dukungan, pengembangan, dan pengakuan mengelola orang di sekitarnya yaitu rekan kerja
merupakan perilaku penting yang berorientasi (Marketing Head), bawahan (Credit Marketing
pada hubungan. Pemberian dukungan meliputi Officer) dan juga vendor rekanan (dealer) agar
kisaran luas perilaku yakni pemimpin dapat mencapai tujuan organisasi. Credit Head
memperlihatkan penerimaan, perhatian pada juga memiliki tugas untuk memastikan target
kebutuhan dan perasaan seseorang. penjualan tercapai, menjaga kualitas
Pengembangan meliputi perilaku yang bertujuan pembayaran debitur serta meminimalisasi
meningkatkan keterampilan yang berhubungan kemungkinan terjadinya kegagalan pembayaran
dengan pekerjaan dan memudahkan oleh debitur. Kepemimpinan seorang Credit
penyesuaian pekerjaan serta kemajuan karir Head akan terlihat pula dari kemampuannya
seseorang. Contohnya meliputi pelatihan, dalam mengelola perubahan dalam pekerjaan.
pendampingan, dan konseling karir. Pengakuan Seorang Credit Head dapat dikatakan efektif
mencakup pemberian pujian dan apresiasi dalam menjalankan perannya sebagai seorang
terhadap orang lain atas kinerja yang efektif, pemimpin jika ia tidak hanya mampu mengelola
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN 15

pekerjaan, namun juga mengelola orang-orang kelompok spesifik sebagai sampel dengan
di sekitarnya dan juga perubahan pada situasi pertimbangan tertentu.
kerja yang mungkin terjadi secara bersamaan. Populasi pada penelitian ini adalah
Efektivitas kepemimpinan seorang Credit karyawan di PT. X yang menjabat sebagai
Head dilihat melalui kecakapannya dalam Credit Head. Adapun karakteristik partisipan
mengelola setiap dimensi dalam pekerjaannya. yaitu karyawan di PT. X yang menjabat sebagai
Salah satu masalah yang muncul terkait dengan Credit Head dan berada di Regional Jakarta
kemampuan mengelola orang yaitu Credit Head serta Jawa Barat. Saat ini jumlah Credit Head
yang kesulitan dalam mengelola bawahan untuk PT. X adalah sebanyak 44 orang yang tersebar
dapat bekerja mengikuti arahannya. Masalah di seluruh Indonesia dan 40 orang diantaranya
yang muncul terkait dengan kemampuan berada di Regional Jakarta dan Jawa Barat.
mengelola tugas yaitu terkait pencapaian target Berdasarkan proporsi jumlah tersebut, maka
kerja secara individu maupun tim. Masalah lain penelitian akan menggunakan responden dari
yang seringkali muncul terkait kemampuan regional Jakarta dan Jawa Barat, karena
mengelola perubahan adalah ketika Credit Head jumlahnya dianggap representatif untuk
sendiri yang menjadi bagian dari perubahan mewakili populasi.
pada saat rotasi area terjadi. Ketika seorang Instrumen penelitian yang digunakan
Credit Head mampu menyelesaikan adalah kuesioner efektivitas kepemimpinan.
permasalahan-permasalahan tersebut secara Kuesioner efektivitas kepemimpinan ini disusun
efektif, maka ia bisa membawa tim untuk berdasarkan teori milik Gary Yukl (2013) yang
mencapai tujuan organisasi sebagaimana merumuskan tiga dimensi untuk mengukur
harapan organisasi kepada sosok pemimpin. efektivitas kepemimpinan yaitu perilaku yang
Tapi jika Credit Head belum mampu berorientasi pada tugas, orang (hubungan), dan
menjalankan efektivitas kepemimpinannya perubahan. Jumlah item pada kuesioner ini
maka diperkirakan akan berdampak pada berjumlah 73. Skala yang digunakan pada alat
produktivitas tim, turn over karyawan serta ukur ini adalah skala Likert dengan rentang skor
keuntungan perusahaan. jawaban 1 (tidak pernah), 2 (jarang), 3 (sering),
dan 4 (selalu). Cara skoring untuk mendapatkan
Metode Penelitian nilai efektivitas kepemimpinan adalah dengan
menjumlahkan skor total jawaban partisipan.
Jenis penelitian ini tergolong penelitian Semakin besar skor total maka dapat
terapan karena teknik, prosedur, dan metode diinterpretasikan bahwa semakin efektif
yang digunakan untuk menjawab permasalahan kepemimpinan jabatan yang diukur.
yang ada. Penelitian ini menggunakan Uji validitas dilakukan dengan
pendekatan kuantitatif dengan tujuan menggunakan content validity, face validity,
mendapatkan data dari partisipan penelitian dan construct validity. Metode yang digunakan
yang dapat digeneralisasikan ke dalam populasi untuk melakukan content validity adalah dengan
penelitian (Kumar, 2005). menggunakan expert judgement dan uji
Teknik pengambilan sampel menggunakan keterbacaan. Expert judgement dilakukan
purposive sampling, yaitu memilih kelompok- kepada Prof. Dr. phil. Hana Rochani G.
16 WIGUNA & PANGGABEAN

Panggabean, Psi. dan Esther Muliana Kembaren tergolong baik karena mayoritas berasal dari
M.Si., Psi. (selaku ahli dalam bidang jenjang S1. Jika dilihat dari masa kerja, Credit
kepemimpinan) dan Mardyatmo Eko (selaku Head saat ini dapat dikategorikan cukup loyal
pembimbing lapangan). Face validity (uji pada perusahaan dan berdasarkan masa
keterbacaan) yang dilakukan dengan cara menjabat Credit Head diharapkan sudah cukup
menanyakan kepada beberapa orang yang memahami tugas dan tanggung jawab dari
menjadi responden penelitian apakah masing- pekerjaannya.
masing item alat ukur dapat dipahami bunyinya.
Hasil uji validitas menunjukkan tiga item harus Tabel 1. Data Demografi Credit Head
dieliminasi karena memiliki nilai r < 0.3 Usia (tahun) Jumlah Persentase
(Crocker & Algina, 1986), sehingga total item 26-30.9 1 3.03%
31-35.9 11 33.33%
alat ukur berjumlah 73 item.
36-40.9 17 51.52%
Uji reliabilitas dilakukan dengan teknik 41-45.9 4 12.12%
item total correlation dan dihasilkan koefisien Total 33 100%
reliabilitas alat ukur sebesar 0.957.
Pengolahan data menggunakan SPSS versi Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 33 100%
16.0. Teknik analisis statistik deskriptif yang
Perempuan 0 0%
akan digunakan yaitu menggunakan tabel Total 33 100%
distribusi frekuensi sehingga dapat
memperlihatkan gambaran keseluruhan Pendidikan Jumlah Persentase
populasi. Terakhir
SMA 3 9.1%
D3 11 33.3%
Hasil S1 19 57.6%
S2 0 0%
Kuesioner efektivitas kepemimpinan Total 33 100%
disebar kepada 40 orang Credit Head di area
Jakarta dan Jawa Barat, tetapi kuesioner yang Lama Bekerja Jumlah Persentase
kembali berjumlah 33 buah. Gambaran (tahun)
1-4.9 0 0%
demografis sampel dilihat berdasarkan usia,
5-8.9 22 66.67%
jenis kelamin, pendidikan akhir, lama bekerja >=9 11 33.33%
dan lama menjabat sebagai Credit Head dari 33 Total 33 100%
data yang ada (lihat Tabel 1).
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan Lama Menjabat Jumlah Persentase
(bulan)
bahwa mayoritas Credit Head di PT. X saat ini
1-12.9 17 51.5%
masih tergolong usia produktif yaitu berada 13-24.9 0 0
pada rentang 36 sampai 40. Adapun dominasi 25-36.9 16 48.5%
jenis kelamin yaitu laki-laki dikarenakan Total 33 100%
pertimbangan perusahaan atas beban kerja dan
lingkup area survey yang luas sehingga
Analisis Efektivitas Kepemimpinan
membutuhkan kekuatan fisik selama perjalanan. Uji Normalitas
Latar belakang pendidikan Credit Head juga
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN 17

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas mayoritas Credit Head mendapatkan skor


Variabel Shapiro-Wilk efektivitas kepemimpinan di bawah mean dan
Statistic df Sig. termasuk dalam kategori kurang. Data tersebut
Efektivitas Kepemimpinan 0.969 33 0.444 dapat menjelaskan fenomena penelitian bahwa
Dimensi Tugas 0.978 33 0.720
Dimensi Orang 0.966 33 0.378 Credit Head di PT. X saat ini memiliki
Dimensi Perubahan 0.968 33 0.422 efektivitas kepemimpinan yang cenderung
kurang. Oleh karena itu dapat dikatakan Credit
Dari hasil uji normalitas (lihat Tabel 2 dan Head sebagai pemimpin masih tergolong
Tabel 3) diperoleh hasil nilai signifikansi untuk kurang efektif dalam mengelola dan
efektivitas kepemimpinan serta ketiga memfasilitasi kinerja tim untuk mencapai tujuan
dimensinya lebih besar dari α 0.05 sehingga organisasi.
dapat dikatakan bahwa data sudah terdistribusi
normal. Gambaran Tingkat Efektivitas Kepemimpinan
Setiap Dimensi
Tabel 3. Norma
Variabel Rentang Kategori Tabel 5. Tingkat Efektivitas Kepemimpinan
Skor Credit Head per Dimensi
Efektivitas ≤192 Rendah Dimensi Kategori f %
Kepemimpinan 193 - 217 Kurang Perilaku Berorientasi Rendah 5 15.2%
218 - 242 Cukup Tugas Kurang 12 36.3%
≥243 Baik Cukup 11 33.3%
Dimensi Perilaku ≤57 Rendah Baik 5 15.2%
Berorientasi Tugas 58 – 65 Kurang Total 33 100%
66 – 72 Cukup Perilaku Berorientasi Rendah 5 15.2%
≥73 Baik Orang Kurang 14 42.4%
Dimensi Perilaku ≤54 Rendah Cukup 9 27.2%
Berorientasi Orang 55 – 61 Kurang Baik 5 15.2%
62 – 68 Cukup Total 33 100%
≥69 Baik Perilaku Berorientasi Rendah 4 12.1%
Dimensi Perilaku ≤79 Rendah Perubahan Kurang 15 45.5%
Berorientasi 80 – 91 Kurang Cukup 11 33.3%
Perubahan 92 – 104 Cukup Baik 3 9.1%
≥105 Baik Total 33 100%
Gambaran tingkat efektivitas kepemimpinan
Berdasarkan data di atas (lihat Tabel 5)
secara keseluruhan
dapat dilihat bahwa mayoritas Credit Head saat
Tabel 4. Tingkat Efektivitas Kepemimpinan ini memiliki skor dibawah mean yang
Responden mengindikasikan bahwa mereka masih kurang
Variabel Kategori f % efektif dalam menjalankan perilaku yang
Efektivitas Rendah 5 15.2%
berorientasi pada tugas, orang maupun
Kepemimpinan Kurang 14 42.4%
Cukup 9 27.2% perubahan. Nilai kurang pada dimensi perilaku
Baik 5 15.2% berorientasi pada tugas mengindikasikan bahwa
Total 33 100% Credit Head kurang menunjukkan adanya
kepedulian terhadap pencapaian tujuan dengan
Jika dilihat dari data di atas (lihat Tabel 4),
18 WIGUNA & PANGGABEAN

cara yang efektif dan efisien. Nilai kurang pada diperoleh masih terbatas dan belum cukup kaya
perilaku berorientasi orang menunjukkan bahwa untuk menggambarkan efektivitas
Credit Head kurang memperlihatkan kepemimpinan dalam situasi khas yang dialami
kepedulian pada hubungan kerja. Nilai kurang oleh Credit Head. Kedalaman informasi yang
pada perilaku berorientasi perubahan perlu digali yaitu faktor-faktor penyebab tinggi
menunjukkan bahwa Credit Head tergolong rendahnya nilai dari efektivitas kepemimpinan
kurang peduli pada pemahaman lingkungan tersebut. Hal tersebut tidak dapat dilakukan
sehingga menjadi kurang adaptif dan inovatif hanya dengan menggunakan pendekatan secara
terhadap perubahan yang terjadi. kuantitatif namun harus disertai dengan
pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan
Diskusi wawancara.

Penelitian ini memberikan gambaran


Kesimpulan, Implikasi dan Saran
bahwa Credit Head tergolong kurang efektif
sebagai pemimpin. Dimensi yang paling Kesimpulan
menonjol kelemahannya yaitu perilaku Hasil penelitian mengenai gambaran
berorientasi pada orang dan diduga jarang efektivitas kepemimpinan Credit Head di PT. X
muncul dalam pekerjaan sehari-hari. Hasil ini didapatkan kesimpulan bahwa responden
tidak saja mendukung dugaan awal bahwa penelitian paling banyak berada pada kategori
Credit Head lebih fokus pada tugasnya dan kurang untuk efektivitas kepemimpinan serta
kurang memperhatikan relasi dengan bawahan dimensi-dimensi di dalamnya. Hal ini
serta perubahan yang terjadi, namun juga menunjukkan bahwa Credit Head di PT. X saat
terlihat bahwa dari segi tugas pun Credit Head ini tergolong kurang efektif dalam memfasilitasi
belum efektif. Ada indikasi bahwa saat ini tim kerja untuk dapat mencapai tujuan
memang Credit Head belum memiliki organisasi berdasarkan perilaku berorientasi
pengetahuan dan keterampilan tentang pada tugas, orang, dan juga perubahan. Hasil
pemimpin yang efektif. tersebut menjawab fenomena penelitian di awal
Efektivitas kepemimpinan pada penelitian bahwa memang Credit Head belum secara
ini hanya dilihat dari satu sudut pandang saja efektif menjalankan kepemimpinannya sebagai
yaitu Credit Head sendiri. Peneliti merasa akan Credit Head.
lebih baik jika untuk penelitian lanjutan,
penilaian terhadap efektivitas kepemimpinan Implikasi
Credit Head dapat dilakukan juga oleh atasan, Dalam penelitian ini, dimensi yang paling
bawahan dan rekan kerja. Data tambahan ini menonjol dari efektivitas kepemimpinan
dapat digunakan sebagai data penunjang untuk adalah perilaku berorientasi orang. Hal ini
mendapatkan profil kepemimpinan secara lebih dikarenakan Credit Head masih belum
komprehensif serta sebagai salah satu bentuk memiliki pemahaman maupun pengalaman
konfirmasi data. yang cukup dalam mengenali dan mengelola
Meskipun penelitian yang dilakukan sudah kelemahan dan kekuatan bawahan. Oleh
mampu menjawab permasalahan yang ada, karena itu, kondisi ini diprediksi akan
namun peneliti menyadari bahwa data yang berdampak terhadap kualitas pengembangan
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN 19

sumber daya manusia yang menjadi kurang dilakukan, peneliti menemukan beberapa saran
tepat sasaran. yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan
Beberapa program atau intervensi yang yaitu:
dapat dilakukan organisasi untuk bisa a. Pemilihan metode pengambilan data
mencapai efektivitas kepemimpinan yang menggunakan mix-method dengan kuesioner
optimal antara lain memberikan coaching dan wawancara agar dapat menggali lebih
kepada Credit Head yang sudah dalam dalam masalah mengenai efektivitas
kategori cukup untuk dapat meningkatkan kepemimpinan level supervisor di PT. X
kinerjanya. Untuk Credit Head yang masih serta variabel-variabel lain yang mungkin
dalam kategori rendah dan kurang, selain berkorelasi.
diberikan pelatihan mengenai efektivitas b. Dalam proses penelitian, sebaiknya peneliti
kepemimpinan, dapat juga diberikan melakukan komunikasi intensif secara
pendampingan oleh Credit Head dengan berkala dengan perusahaan mengenai
kategori sudah baik melalui forum diskusi kemajuan proses penelitian sehingga
ataupun pertemuan rutin bulanan. mereka dapat memahami kebutuhan data
Pengembangan lain yang dapat dilakukan tambahan serta urgensinya bagi penelitian.
adalah pada proses asesmen untuk promosi c. Perusahaan perlu mempertimbangkan
karyawan. Jika sebelumnya asesmen penyusunan program untuk mempersiapkan
terhadap aspek kepemimpinan hanya untuk karyawan yang akan menjadi Credit Head
mengukur tinggi rendahnya kemampuan setidaknya dengan pengetahuan mengenai
tersebut, maka bisa ditambahkan pengukuran efektivitas kepemimpinan.
profil pemimpin dalam kelompok. Dengan
begitu, sebelum karyawan dinyatakan efektif Rancangan Intervensi
dipromosikan, manajemen sudah dapat
mempersiapkan program-program Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan
pembekalan untuk memaksimalkan data bahwa Credit Head dinyatakan kurang di
efektivitas kepemimpinan karyawan semua dimensi efektivitas kepemimpinan. Atas
berdasarkan profil yang dimiliki. dasar hasil tersebut, maka peneliti memberikan
Hal serupa juga dapat dilakukan pada rekomendasi rancangan intervensi yaitu berupa
proses seleksi kandidat agar tidak hanya pelatihan mengenai efektivitas kepemimpinan
terpaku pada pengukuran kemampuan dengan fokus sasaran pada aspek kognitif
intelektual dan sikap kerja saja, tapi juga peserta. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk
memperhatikan kemampuan menjalin relasi membekali peserta dengan pengetahuan
sosial dan bekerja sama. Aspek tersebut mengenai efektivitas kepemimpinan Credit
diprediksi mampu menggambarkan Head berdasarkan perilaku berorientasi tugas,
kemampuan kandidat dalam membina orang dan juga perubahan.
hubungan dengan bawahan maupun rekan Oleh karena belum adanya pembekalan
kerja saat mencapai posisi supervisor nanti. yang yang pernah diberikan oleh perusahaan,
maka rancangan intervensi ini merupakan tahap
Saran pertama yang akan diberikan kepada Credit
Berdasarkan dari penelitian yang telah
20 WIGUNA & PANGGABEAN

Head untuk mendukung mereka dalam b. Peserta mampu mengidentifikasi perilaku


menjalankan perannya dengan lebih efektif. penunjang efektivitas kepemimpinan yang
Harapan untuk kedepannya adalah jika secara berorientasi pada tugas.
pengetahuan Credit Head sudah punya c. Peserta mampu mengidentifikasi perilaku
pemahaman yang cukup, maka bisa dilakukan penunjang efektivitas kepemimpinan yang
pelatihan tahap lanjutan untuk mengasah berorientasi pada orang.
perilaku efektivitas kepemimpinan di tempat d. Peserta mampu mengidentifikasi perilaku
kerjanya dengan cara penugasan ke cabang penunjang efektivitas kepemimpinan yang
lainnya selama periode waktu tertentu. berorientasi pada perubahan.
Pelatihan bertahap ini diharapkan mampu
memfasilitasi Credit Head tidak hanya untuk Rancangan Intervensi
memahami konsep mengenai efektivitas Pelatihan ini dirancang untuk dilakukan
kepemimpinan namun juga mengaplikasikannya dalam satu hari kegiatan dengan durasi delapan
dalam pekerjaan. jam. Jumlah peserta yaitu sebanyak 15 orang
dalam satu kali kegiatan. Jumlah peserta
Efektivitas Kepemimpinan dibatasi menjadi kelas kecil dengan
Efektivitas kepemimpinan adalah hasil yang pertimbangan untuk menjaga situasi kelas agar
dicapai pemimpin dalam mencapai tujuan lebih kondusif dan supaya setiap peserta dapat
organisasi yang dilihat melalui perilaku berperan aktif selama kegiatan pelatihan
pemimpin dalam pekerjaan. Pemimpin berlangsung.
dianggap efektif apabila mampu menghasilkan Pelatihan ini menggunakan metode yang
profit bagi organisasi dan mencapai bervariasi antara lain games, sharing
produktivitas yang tinggi. Perilaku yang pengalaman, ceramah, studi kasus, diskusi dan
menggambarkan efektivitas menurut Gary Yukl presentasi. Hal ini bertujuan agar peserta dapat
(2010) terbagi dalam tiga jenis yaitu perilaku lebih memahami materi yang diberikan dengan
yang berorientasi pada tugas (pengenalan dan pendekatan yang aplikatif. Pelatihan terbagi
pemahaman terhadap pekerjaan), orang menjadi empat sesi utama. Pada sesi pertama
(membina relasi dan mempertahankan materi yang diberikan adalah mengenai
hubungan) dan juga perubahan (adaptasi efektivitas kepemimpinan, sedangkan untuk sesi
terhadap kondisi kerja dan pencarian solusi kedua sampai dengan keempat membahas
masalah yang inovatif). perilaku-perilaku efektivitas kepemimpinan
yang berorientasi tugas, orang dan perubahan
Tujuan Pelatihan secara terpisah.
Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk Pada sesi pertama, peserta diminta untuk
membekali peserta dengan pengetahuan mengisi form penilaian efektivitas
mengenai efektivitas kepemimpinan sebagai kepemimpinan dan melakukan skoring
Credit Head. Adapun tujuan khusus yang akan bersama-sama. Hasil tersebut selanjutnya
tertuang pada setiap sesi adalah sebagai berikut. dibahas bersamaan dengan pemberian materi
a. Peserta mampu memahami konsep mengenai efektivitas kepemimpinan. Pada sesi
efektivitas kepemimpinan dalam bekerja. kedua, seorang narasumber diminta untuk
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN 21

menceritakan pengalaman sukses bekerja pelatihan, peneliti melakukan validasi


sebagai Credit Head. Lalu kegiatan dilanjutkan user kepada People Development
dengan memberikan kesempatan pada peserta Division Head (selaku perwakilan pihak
untuk bertanya pada narasumber. Berdasarkan perusahaan) yang bertujuan untuk
kegiatan tersebut, selanjutnya peserta diminta memastikan bahwa rancangan pelatihan
untuk menuliskan fungsi dan tanggung sudah sesuai dengan kebutuhan Credit
jawabnya sebagai Credit Head. Peneliti Head saat ini. Adapun hasil dari validasi
kemudian memberikan materi mengenai yang dilakukan adalah adanya
perilaku yang berorientasi pada tugas dan perubahan dalam teknis pelaksanaan
melakukan review secara singkat terhadap pelatihan, yang meliputi penentuan
fungsi dan tanggung jawab yang sebelumnya peserta pelatihan oleh perusahaan,
sudah dituliskan oleh peserta. jumlah peserta yang akan mengikuti uji
Kegiatan pada sesi ketiga diawali dengan coba hanya 15 orang dan pemberian
studi kasus yang diselesaikan dalam kelompok. materi pelatihan oleh pihak eskternal
Setelah itu setiap kelompok menunjuk (peneliti). Selain uji coba ini dilakukan
perwakilannya untuk presentasi dan diakhir sesi pihak perusahaan melakukan review
fasilitator mengkaitkan temuan-temuan selama terhadap isi materi dan metode
diskusi berlangsung dengan materi mengenai penyampaian untuk perbaikan.
perilaku berorientasi pada orang. Di sesi
keempat, beberapa orang peserta diminta untuk Referensi
menceritakan pengalamannya ketika
menemukan perubahan selama bekerja dan
peserta lain diminta untuk memberikan Agochiya, D. (2002). Every trainer’s handbook.
tanggapan. Setelah itu peserta diberikan materi New Delhi, India. Sage Publication India
terkait perilaku berorientasi pada perubahan. Pvt Ltd.
Pelatihan ini dilakukan secara eksternal Anastasi, A., & Urbina, S. (1997).
oleh peneliti sendiri dengan dibantu oleh pihak Psychological testing (7th ed.). New
internal perusahaan secara teknis dan terkait Jersey: Prentice Hall.
sarana prasarana. Adapun alasan pemberian Bass, B. M. (1990). Bass & Stogdill’s handbook
materi pelatihan secara eksternal adalah dengan of leadership: Theory, research, and
mempertimbangkan ketajaman informasi yang managerial applications. New York:
diberikan serta kemampuan dalam mengkaitkan MacMillan Publishing Company.
antara materi dengan poin pembelajaran. Biech, E. (2005). Training for dummies.
Evaluasi kegiatan pelatihan yaitu dengan Indiana: Wiley Publishing.
mengukur reaksi peserta terhadap pelatihan dan Cascio, W., & Boudreau, J. (2003). Investing in
juga melakukan pre dan posttest menggunakan people: Financial impact of human
kuesioner. resource initiatives (2nd ed.). Upper
Saddle River, NJ: Pearson. Education, Inc.
Validasi User FT Press.
2. Setelah penyusunan rancangan Chemers, M. M., Ayman, R., & Fiedler, F.
(1995). The contingency model of
22 WIGUNA & PANGGABEAN

leadership effectiveness: Its levels of behavioral research. Washington, DC:


analysis. Leadership Quarterly, 6 (2), 147- American Psychological Association.
167. Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (2007). The
Crocker, L., & Algina, J. (1986). Introduction leadership challenge. New Jersey: John
to classical and modern test theory. Wiley & Sons.
Australia: Wadsworth. Kumar, R. (2005). Research methodology: A
Ekvall, G., & Arnoven, J. (1991). Change- step-by-step guide for beginners. London:
centered leadership: An extension of the SAGE Publications.
two-dimensional model. Scandinavian Laird, D. (1985). Approaches to training and
Journal of Management, 7, 17-26. development (2nd ed.). Reading, MA:
Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1987). Addison-Wesley.
Fundamental statistics in psychological Mangunsong, F. (2009). Faktor Intrapersonal,
and education. Auckland: McGraw-Hill. Interpersonal, dan Kultural Pendukung
Gupta, A., House, R. J., Hanges, P. J., Javidan, Efektivitas Kepempimpinan Perempuan
M., & Dorfman, P. W. (2004). Culture, Pengusaha dari Empat Kelompok Etnis di
leadership, and organizations: The globe Indonesia. Jurnal Sosial Humaniora, 13(1),
study of 62 societies. London: SAGE 19-28.
Publications. Nadler, L. (1984). The handbook of human
Hartman, L. (1999). A psychological analysis of resource development. New York: John
leadership effectiveness. Strategy & Wiley & Sons.
Leadership, 27(2), 30-32. Nanus, B., & Bennis, W.G. (1985). Leaders:
Hughes, R.L., Ginnet, R. C., & Curphy, G. J. the strategies for taking charge. Inggris:
(2009). Leadership: Enhancing the lessons Harper Prennial.
of experience (6th ed.).Singapore: Northouse, P.G. (2013). Leadership: theory and
McGraw-Hill. practice (6th ed.). California: SAGE
Ivancevich, J.M. (2001). Human resource Publications, Inc.
management (8th ed.). New York: Onkham, W., Elattar, A., & Rabelo, L. (2013).
McGraw-Hill Companies, Inc. Effective leadership using system
Kaplan, R. M., & Saccuzzo, D. P. (2009). dynamics and the matrix of change. IIE
Psychological testing: Principles, Annual Conference, 884-893.
applications and issues. California: Rachmawati, B. & Rahmawati, S. (2007).
Wadsworth Publishing Company. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
Katz, D., & Kahn, R. L. (1978). The social efektivitas kepemimpinan dalam
psychology of organizations (2nd ed.). meningkatkan produktivitas karyawan PT.
New York: John Wiley. Bridgestone Tire Indonesia. Jurnal
Kerlinger, F. N., & Lee, H. B. (2000). Managemen, 3(1), 45-54.
Foundations of behavioral research. Redick, A., Reyna, I., Schaffer, C., & Toomey,
Inggris: Wadsworth Publishing Company. D. (2014). Four-factor model for effective
Kline, R. B. (1986). Beyond significance project leadership competency. Journal of
testing: reforming data analysis methods in Information Technology and Economic
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN 23

Development, 5(1), 21-35.


Sarjana, S. (2012). Pengaruh motivasi dan
efektivitas kepemimpinan terhadap
produktivitas. Jurnal Perkotaan, 4(2), 91-
100.
Schreuder, J. A. H., Groothoff, J. W., Jongsma,
D., & van Zweeden, N. F. (2013).
Leadership effectiveness: A supervisor’s
approach to manage return to work.
Journal of Occupational Rehabilitation,
23(3), 428-437.
Sumual, E. F. M. & Lee, J. (2011). Gambaran
Efektivitas Kepemimpinan Bina Nusantara
Computer Club Kepengurusan Ke-22
Berdasarkan Fiedler’s Contingency Model.
Jurnal Humaniora, 2(1), 245-256.
Tjitra, H., Panggabean, H., & Murniati, J.
(2012). Pemimpin dan Perubahan:
Langgam Terobosan Profesional Bisnis
Indonesia. Jakarta: PT Elex media
Komputindo.
Vaculik, M., Prochazka, J., & Smutny, P.
(2014). Competencies and leadership
effectiveness: Which skills predict
effective leadership?. European
Conference on Management, Leadership &
Governance, 337-344.
Wright, P. L. & Taylor, D. S. (1994).
Improvingleadership performance:
Interpersonal skills for effective leadership
2nd. UK : Prentice Hall International.
Yukl, G. (2010). Leadership in organization
(7th ed.). New Jersey: Pearson Education,
Inc.
Yukl, G. & Kim, H. (1995). Relationship of
managerial effectiveness and advancement
to self-reported and subordinate-reported
leadership behaviors from the multiple-
linkage model. Leadership Quarterly, 6(3),
361-378.
JPIO ISSN 2302-8440
24
2016, Vol. 3, No. 1, 24-38
SARI & PANGGABEAN

Profil Kepuasan Kerja Tenaga Marketing Perusahaan


Pembiayaan Otomotif

Nilam Meyti Sari & Hana Panggabean


Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

One of the antecedents of employee turnover is their innability to reach


work satisfaction. This study describes work satisfaction as the
descrepancies of feelings between what they should receive/get and what
exactly they receive from the organization. This study is an applied
research aiming at profiling job satisfaction level for credit marketing
officers (CMO) at PT ABC. The Minnesota Satisfaction Questionnaire is
delivered to 207 CMOs. Research sampling is conducted with stratified
random sampling procedure. The result shows that the CMOs's level of
job satisfaction is moderate, with frequency distribution is ranging from
low to moderate, and implies that the CMOs of PT ABC have not been
satisfied with their job. Compensation and security dimensions have the
lowest score of satisfaction. This study found that poor organizational
communication in this company become the critical antecedent of the
lowest score. Therefore, we develop an intervention program of
developing a communication system between management and
employees.

Keywords: job satisfaction, leasing company, standard operating


procedure, organizational communication

Seiring dengan perkembangan ekonomi di tersebut, aset yang paling penting adalah
Indonesia, hal ini memicu munculnya berbagai manusia yang berperan sebagai pekerja dan
perusahaan pembiayaan kendaraan, khususnya pemimpin (Robbins, 2003).
untuk mobil. Oleh karena itu, setiap perusahaan Tidak heran jika perusahaan selalu
pembiayaan harus dapat bersaing dan memiliki berupaya untuk melakukan berbagai hal terkait
strategi yang jitu agar dapat lebih unggul untuk dengan pengembangan SDM, baik pada saat
menghadapi kompetitor dalam pangsa pasar. menjalankan seleksi maupun pengelolaan SDM
Faktor yang dapat membantu perusahaan untuk dalam perusahaan. Selain itu, perusahaan juga
dapat terus bersaing dan menjadi yang terdepan harus dapat selalu memperhatikan kebijakan
adalah aset yang dimiliki oleh perusahaan yang diterapkan kepada pekerjanya. Apabila
seperti SDM, mesin, bahan mentah, metode kebijakan perusahaan dinilai tidak sesuai
atau cara kerja dan pasar. Dari keenam aset dengan harapan dan kebutuhan pekerja, hal ini

24
KEPUASAN KERJA 25

dapat berdampak buruk terhadap sikap kerja aspek dalam pekerjaan mereka saat ini.
mereka di perusahaan tersebut. Sejalan dengan Kepuasan kerja merupakan perasaan yang
hal tersebut, Gilmer (1961) menjelaskan bahwa muncul dari diri seseorang yang merupakan
pekerja yang memiliki sikap positif terhadap hasil persepsi atau pemaknaan dari sebuah
pekerjaannya akan rendah tingkat absensi dan pekerjaan untuk memenuhi nilai yang dianggap
pengunduran dirinya (turnover). penting dalam berkerja (Noe, 2007). Dalam
Masalah turnover karyawan mendapat bekerja, kepuasan kerja karyawan tergantung
perhatian yang cukup besar oleh perusahaan, pada perbedaan antara sesuatu yang diharapkan
karena menimbulkan kerugian dan berdampak dengan yang didapat oleh karyawan tersebut.
pada menurunnya produktivitas pekerjaan Sejalan dengan penjelasan tersebut, Martoyo
(Mathias dan Jackson, 2003). Data turnover (1994) juga mengemukakan bahwa kepuasan
tahunan pada Credit Marketing Officer (CMO) kerja merupakan keadaan emosional karyawan
di PT. ABC sampai dengan bulan Juli 2015 dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu
menunjukkan angka sebesar 18,13%, yaitu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari
sebanyak 130 orang. Jika dihitung rata-rata, perusahaan dengan tingkat nilai balas jasa yang
maka kurang lebih terdapat sekitar 17-18 CMO diinginkan oleh karyawan.
yang keluar per bulannya. Angka ini sudah Untuk meningkatkan kualitas SDM,
jauh di atas rata-rata angka turnover yang bisa perusahaan perlu mewujudkan kepuasan kerja
diterima, yaitu 5-10% (Gillies, 1989). Hal ini karyawannya agar lebih termotivasi dalam
tentunya menjadi perhatian perusahaan mencapai hasil kerja yang maksimal. Hastono
mengingat CMO merupakan penghubung utama (2013) dalam penelitiannya menuliskan bahwa
perusahaan dengan dealer dan pelanggan. Jika semakin bertambah kepuasan kerja karyawan,
CMO di lapangan terus berganti, maka relasi maka akan semakin meningkatkan motivasi
dengan dealer maupun pelanggan harus selalu dalam melakukan pekerjaannya dengan baik.
dimulai dari awal yang tentunya akan menjadi Hal ini sejalan dengan penelitian yang
kesempatan emas kompetitor untuk masuk. dilakukan oleh Taba (2008) yang menemukan
Sejumlah alasan pengunduran diri yang bahwa tingkat kepuasan seseorang berpengaruh
didapatkan berdasarkan catatan exit interview, terhadap komitmen organisasi dan prestasi
antara lain kurang mendapatkan kesempatan kerja. Semakin tinggi kepuasan kerja seorang
berkembang, merasa kompensasi yang karyawan maka makin tinggi pula komitmennya
diberikan kurang sesuai dengan usaha yang terhadap organisasi sehingga membuat orang
mereka keluarkan, kompensasi yang kurang tersebut dapat mencapai hasil yang maksimal
kompetitif dibandingkan dengan perusahaan dan berprestasi dalam bidang pekerjaannya.
sejenis lainnya, prosedur kerja yang kurang Terdapat beberapa dampak dari kepuasan
efisien sehingga menjadi kurang kompetitif, dan kerja, antara lain: kinerja karyawan, tingkat
perusahaan dirasa lebih fokus pada pencapaian kehadiran dan tingkat keluar masuknya
target sehingga kurang memperhatikan karyawan (turnover). Penelitian yang dilakukan
kesulitan CMO di lapangan. Munculnya oleh Rosari (2011) pada salah satu perusahaan
fenomena ini mengindikasikan bahwa CMO pembiayaan terbesar di Indonesia menemukan
yang keluar merasa tidak puas terhadap aspek- adanya kaitan antara kepuasan kerja karyawan
26 SARI & PANGGABEAN

dengan keinginan untuk pindah. Organisasi Jika karyawan memiliki kepuasan kerja yang
dengan karyawan yang lebih puas cenderung tinggi maka ia akan menunjukkan perilaku yang
memiliki kinerja dan tingkat kehadiran positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya jika
karyawan yang lebih tinggi serta turnover yang karyawan memiliki kepuasan kerja yang rendah
lebih rendah dibandingkan dengan organisasi maka ia akan menunjukkan perilaku yang
yang memiliki karyawan yang kurang puas negatif terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja
(Robbins, 2003). merupakan sikap umum individu terhadap
Pada PT. ABC, terjadinya turnover pada pekerjaannya sehingga lebih mencerminkan
CMO diduga karena para CMO tersebut tidak sikap dari pada perilaku. Hal ini sejalan dengan
merasakan kepuasan kerja terhadap beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh Noe (2007)
aspek di dalam pekerjaan mereka, seperti yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah
insentif, jenjang karir, iklim kerja dan lain perasaan dari diri seseorang yang merupakan
sebagainya, sehingga kemudian ketika hasil persepsi atau pemaknaan terhadap sebuah
dihadapkan pada sejumlah tanggung jawab dan pekerjaan untuk memenuhi nilai yang dianggap
tantangan dalam pekerjaan para CMO tersebut penting dalam berkerja.
tidak termotivasi dan memutuskan untuk Seseorang dapat dikatakan memiliki
meninggalkan perusahaan. kepuasan kerja yang tinggi jika orang tersebut
secara umum menghargai dan memiliki kesan
Tujuan Penelitian positif terhadap pekerjaannya. Begitupun
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki
gambaran mengenai kepuasan kerja pada CMO kepuasan kerja yang tinggi, artinya orang
di PT. ABC. Schermerhorn (1991) menjelaskan tersebut secara umum kurang menyukai, kurang
mengenai pentingnya sebuah organisasi menghargai dan memiliki nilai negatif terhadap
mengetahui informasi mengenai gambaran pekerjaannya tersebut (Gibson, 2000). Hal ini
kepuasan kerja karyawannya secara akurat sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan
sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil oleh Locke (dalam Judge, Thoresen, Picik &
keputusan dalam memperbaiki, mencegah dan Welbourne 2001) bahwa kepuasan kerja
memecahkan masalah yang dihadapi oleh merupakan perasaan senang atau keadaan
karyawannya. Dengan mengetahui gambaran emosional yang positif sebagai hasil penilaian
kepuasan kerja, akan membantu perusahaan terhadap pekerjaannya. Panggabean (2002)
untuk memetakan hal-hal penting yang perlu menjelaskan terdapat beberapa dampak dari
diperhatikan terkait kepuasan kerja CMO dan kepuasan kerja, yaitu: tingkat turnover, tingkat
menjadi dasar peneliti untuk membuat absensi, komitmen organisasi, dan timbulnya
intervensi yang sesuai dengan kondisi yang semangat kerja.
terjadi dalam organisasi. Penelitian ini menggunakan dua teori yang
saling berhubungan dalam menjelaskan
Kepuasan Kerja kepuasan kerja. Teori pertama adalah teori
Robbins (2003) menjelaskan kepuasan perbedaan (discrepancy theory) yang
kerja sebagai perilaku secara keseluruhan yang dikemukakan oleh Porter (dalam Wexley &
ditunjukkan karyawan terhadap pekerjaannya. Yukl, 2005). Teori ini menjelaskan bahwa
KEPUASAN KERJA 27

kepuasan merupakan perbedaan antara apa yang promosi dan sebagainya yang mencakup
dirasakan oleh karyawan mengenai hal-hal yang dimensi: compensation, advancement, human
seharusnya diterima dengan yang ia rasakan relations supervision, company policies and
tentang apa yang sebenarnya ia terima. Orang practices dan recognitions.
akan merasa puas apabila tidak ada perbedaan Ketiga, general satisfaction, merupakan
antara yang diinginkan dengan yang aspek yang didapatkan ketika individu merasa
didapatkannya. puas dengan kondisi pekerjaan dan rekan kerja
Teori kedua adalah teori Penyesuaian Kerja secara keseluruhan mencakup dimensi:
(Theory of Work Adjustment) yang coworkers dan working conditions.
dikemukakan oleh Weiss (1967). Teori ini
mengansumsikan bahwa kepuasan kerja Kerangka Berpikir
merupakan hasil penyesuaian antara individu Terjadinya turnover yang tinggi pada CMO
dengan perusahaan dalam memenuhi tuntutan di PT. ABC diduga karena ada persoalan
pekerjaan dan tuntutan kebutuhan dari individu. kepuasan kerja, seperti insentif, jenjang karir
Ketika individu berhasil menunjukkan dan iklim kerja sehingga kemudian ketika
usaha untuk memenuhi tuntutan pekerjaan yang dihadapkan pada sejumlah tanggung jawab dan
diberikan perusahan dan imbalan yang diterima tantangan dalam pekerjaan para CMO tersebut
sesuai dengan ekspektasi serta usaha yang tidak termotivasi dan memutuskan untuk
dikeluarkan oleh individu maka dapat meninggalkan perusahaan. Oleh karena itu,
menimbulkan kepuasan kerja pada karyawan. menjadi penting bagi PT. ABC untuk
Hal ini sejalan dengan discrepancy theory yang mengetahui gambaran kepuasan kerja CMO
menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan secara akurat. Pemetaan seperti ini berguna
perbedaan antara apa yang diharapkan dengan untuk memecahkan masalah kepuasan kerja
apa yang didapat, semakin kecil perbedaan yang sedang dihadapi.
antara harapan dengan kenyataan maka orang Berdasarkan teori penyesuaian kerja
tersebut akan semakin puas. (Theory of Work Adjustment) maka pada studi
Terdapat tiga aspek kepuasan kerja ini akan dilakukan pengukuran kepuasan kerja
menurut Theory of Work Adjustment yaitu terhadap dua puluh dimensi yang terbagi ke
pertama, spek instrinsik, merupakan aspek dalam tiga aspek: intrinsik, ekstrinsik dan
kepuasan yang didapatkan saat seseorang dapat general factor.
berhasil melaksanakan pekerjaannya dengan
baik yang mencakup dimensi: activity, Metode
independence, variety, social status, moral
values, security, social services, authority, Jenis penelitian ini adalah descriptive and
ability utilization, responsibility, creativity dan applied research dengan menggunakan
achievement. pendekatan kuantitatif. Variabel yang diukur
Kedua, aspek ekstrinsik, merupakan aspek dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja.
kepuasan yang didapatkan dari imbalan yang Populasi yang disasar dalam penelitian ini
diperoleh oleh individu, bukan hanya berupa adalah Credit Marketing Officer (CMO) yang
uang tetapi bisa juga berupa pujian, kesempatan telah menjadi karyawan tetap dengan lama kerja
28 SARI & PANGGABEAN

di atas satu tahun. kelompok sudah ditentukan, kemudian


Populasi CMO di PT. ABC berjumlah 424 pemilihan CMO yang akan menjadi sampel
orang. Pengambilan sampel penelitian penelitian dilakukan dengan memilih secara
dilakukan dengan menggunakan stratified acak dari daftar nomor telepon. Daftar tersebut
random sampling dengan jumlah sampel diberi nomor urut kemudian dimasukkan ke
sebanyak 204 orang. dalam fish bowl. Sampel akan diambil secara
Berikut gambaran populasi CMO acak dari fish bowl tersebut sebanyak jumlah
berdasarkan tabel pengelompokkan (lihat Tabel sampel yang dibutuhkan untuk setiap
1). kelompoknya.
Pada penelitian ini, pengukuran kepuasan
Tabel 1. Gambaran Penyebaran Populasi CMO kerja akan diukur menggunakan kuisioner MSQ
Usia Masa Kerja Jabatan Pendidikan (Minnesota Satisfaction Questionnare) yang
< 23- > < 2- > SMA, S1,
23 35 35 2thn 5thn 5thn Jr Med Sr D1 D3 S2 disusun pada tahun 1967 oleh Weiss, Dawis,
DKI 1 0 53 20 1 33 39 48 22 3 6 27 40
DKI 2 0 51 24 1 27 47 41 34 0 10 23 42 England, dan Lofquist berdasarkan teori
Jabar 0 30 21 0 18 33 27 24 0 2 17 32
Jateng 0 27 7 0 12 23 12 23 0 1 10 24 penyesuaian kerja (Theory of Work Adjustment)
Jatim 0 29 16 0 19 26 36 9 0 3 7 35
Kal Sul 1 40 6 0 23 23 38 8 0 6 10 30 yang mereka kembangkan di Minnesota
NTB 0 13 1 0 9 5 10 4 0 2 0 12
dan
(George & Jones, 2002; Spector, 1997).
Bali Terdapat tiga aspek dalam kepuasan kerja yaitu
Sumba 0 37 2 1 25 13 33 6 0 2 8 29
g intrinsik, ekstrinsik dan general satisfaction.
Selatan
Sumba 1 39 6 0 29 17 30 16 0 5 10 31 Ketiga aspek tersebut diukur melalui dua puluh
g Utara
dimensi elemen kebutuhan yang penting dalam
menciptakan kepuasan kerja dengan
Berdasarkan populasi tersebut kemudian menggunakan MSQ long version, yang terdiri
ditentukan jumlah sampel untuk masing-masing dari 5 pernyataan untuk setiap dimensi sehingga
kelompok sampel. Hal ini bertujuan agar semua total 100 penyataan. Pengisian kuisioner
kelompok sampel yang dipilih dapat mewakili menggunakan skor 1-5, yaitu mulai dari skor 5
seluruh populasi yang ada. Berikut adalah (sangat puas); 4 (puas); 3 (netral); 2 (tidak
pembagian sampel (lihat Tabel 2). puas); 1 (sangat tidak puas).
Peneliti melakukan uji validitas dan
Tabel 2. Sampel Penelitian reliabilitas pada instrumen penelitian yang
Usia Masa Kerja Jabatan Pendidikan digunakan. Uji validitas yang digunakan adalah
< 23- > < 2- > SMA, S1,
23 35 35 2thn 5thn 5thn Jr Med Sr D1 D3 S2
DKI 1 0 3 3 1 3 2 2 2 2 2 2 2 content validity dengan melakukan proses
DKI 2 0 3 3 1 2 3 3 3 0 2 2 2
Jabar 0 3 3 0 3 3 3 3 0 3 2 2
penerjemahan alat ukur dan dilanjutkan dengan
Jateng 0 3 3 0 3 3 3 3 0 1 2 3 expert judgment yang dilakukan oleh dosen
Jatim 0 3 3 0 3 3 3 3 0 2 2 2
Kal Sul 1 3 2 0 3 3 3 3 0 2 2 2 pembimbing penelitian dan Kepala Divisi
NTB 0 5 1 0 4 2 3 3 0 1 0 4
dan Organization Development PT. ABC untuk
Bali
Sumba 0 5 1 1 3 2 3 3 0 1 2 3 melihat kesesuaian bahasa dengan konstruk
g
Selatan yang ingin diukur. Selain itu peneliti juga
Sumba 1 3 2 0 4 2 3 3 0 2 2 2
g Utara menguji validitas item dengan melihat
corrected item-total correlation, instrumen
Setelah jumlah sampel untuk setiap
KEPUASAN KERJA 29

penelitian dikatakan berfungsi dengan baik jika usia antara 23-35 tahun yaitu sebanyak 81.6%
D ≥ 0.40 (Crocker & Algina, 2008). Terdapat (n=169). Selain itu responden juga didominasi
12 item yang harus direvisi (D ≤ 0.40). Setelah oleh CMO yang memiliki jabatan Junior yaitu
dilakukan revisi, item tersebut digunakan untuk sebanyak 62.8% (n=130).
proses pengambilan data selanjutnya.
Sedangkan untuk uji reliabilitas, peneliti
Tabel 3. Data Demografis Partisipan Penelitian
menggunakan perhitungan Coefficient Alpha
Data Demografi Frekuensi Presentase
Cronbach (α). Nunally (dalam Spector, 2008) Usia Di bawah 23 tahun 1 0.4 %
23-35 tahun 169 81.6 %
menjelaskan jika koefisien nilai yang diperoleh Di atas 35 tahun 37 17.9 %
dari perhitungan statistik menunjukkan nilai Pendidikan SMA dan D1 2 1%
D3 45 21.7 %
alpha lebih besar dari 0.7 maka dianggap S1 dan S2 160 77.3 %
Jabatan Junior 130 62.8 %
memiliki konsistensi yang tinggi. Berdasarkan Medior 71 34.4 %
pengukuran reliabilitas terhadap alat tes MSQ Senior 6 2.9 %
Regional DKI 1 23 11.1 %
yang terdiri dari 100 item pernyataan DKI 2 27 13.0 %
Jawa Barat 34 16.4 %
didapatkan koefisien realibilitas (α = 0.962), Jawa Tengah 22 10.6 %
hasil ini menunjukkan bahwa alat tes yang Jawa timur 33 15.9 %
NTB dan Bali 9 4.3%
digunakan dalam penelitian ini reliabel. Kalimantan dan 21 10.1 %
Sulawesi
Setelah data terkumpul, peneliti melakukan Sumatera bag Utara 23 11.1 %
uji normalitas data menggunakan Kolmogorov- Sumatera bag Selatan 15 7.2 %
Masa Di bawah 2 tahun 6 2.9 %
Smirnov. Berdasarkan hasil perhitungan Kerja
2-5 tahun 113 54.6 %
(D=0.065, p > 0.05) dapat disimpulkan bahwa Di atas 5 tahun 88 42.5 %
data pada variabel kepuasan kerja merupakan
data yang terdistribusi normal.
Pengolahan data dalam penelitian ini
menggunakan program SPSS versi 21.00.
Perhitungan gambaran umum Kepuasan Kerja
pada penelitian ini akan dihitung dengan
menggunakan standard score. Kemudian untuk
mengidentifikasi perbedaan pada data
demografis, dilakukan perhitungan uji beda
dengan Kruskal-Wallis Test.

Hasil

Total responden yang berhasil diperoleh Gambar 1. Distribusi Skor Kepuasan Kerja
dalam penelitian ini berjumlah 207 orang. Data
Berdasarkan penyebaran skor Kepuasan
mengenai demografis dapat dilihat dari Tabel 3.
Kerja (lihat Gambar 1) menunjukkan bahwa
Berdasarkan data demografis di atas terlihat
rentang nilai mean berada pada skor 2.20
bahwa responden dalam penelitian ini
sampai 5.00 dengan rata-rata 3.60. Skor tersebut
didominasi oleh CMO yang memiliki rentang
kemudian diubah ke dalam Z-Skor karena
30 SARI & PANGGABEAN

asumsi normalitas berhasil dipenuhi. masing aspek pada variabel Kepuasan Kerja
Berdasarkan skor yang telah diubah tersebut, (lihat Tabel 6).
kemudian ditentukan tiga kategori yaitu tinggi,
sedang, dan rendah. Berikut ini adalah tabel Tabel 6. Hasil Perhitungan Kategorisasi Aspek-
aspek Kepuasan Kerja
norma dari skor Kepuasan Kerja berdasarkan
Dimensi Mean Kategorisasi
kategori tersebut (lihat Tabel 4). Intrinsik 3.61 Sedang
Ekstrinsik 3.50 Sedang
Tabel 4. Norma Variabel Kepuasan Kerja General Satisfaction 3.75 Sedang
Norma Rentang Skor
Rendah 2.20 – 3.06 Berdasarkan hasil perhitungan kategorisasi
Sedang 3.08 – 4.11
Tinggi 4.13 – 5.00 aspek-aspek kepuasan kerja, nilai mean yang
dimiliki oleh masing-masing aspek berada pada
Berdasarkan tabel di atas rata-rata skor pada
kategori sedang, hal ini menunjukkan persepsi
variabel Kepuasan Kerja (3.60) berada dalam
partisipan terhadap aspek penghargaan
kategori Sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa
(intrinsik), aspek imbalan (ekstrinsik) dan
harapan para partisipan terhadap hal-hal yang
persepsi partisipan terhadap aspek kondisi kerja
seharusnya diterima dan dirasakan dalam
serta rekan kerja (general satisfaction) belum
pekerjaannya belum terpenuhi. Untuk
sesuai dengan harapan.
mengetahui lebih jauh mengenai gambaran
Terdapat dua puluh dimensi pada kepuasan
kepuasan kerja, didapatkan dengan melihat
kerja yang diukur dalam penelitian ini. Nilai
frekuensi skor total kepuasan kerja (lihat Tabel
rata-rata pada setiap dimensi kemudian dibuat
5).
kategorisasi sebagai berikut (lihat Tabel 7).
Tabel 5. Frekuensi Skor Total Kepuasan Kerja
Norma Frekuensi Persentase
Tabel 7. Kategorisasi Dimensi Variabel
Rendah 32 15.45 %
Sedang 148 71.49 % Kepuasan Kerja
Tinggi 27 13.04 % Norma Rentang Skor
Total 207 100 % Rendah 3.29 – 3.52
Sedang 3.53 – 3.62
Tinggi 3.63 – 3.97
Berdasarkan tabel di atas, secara spesifik
gambaran kategori norma yang menunjukkan Berdasarkan tabel di atas, berikut hasil
prosentase tersebar dengan jumlah frekuensi perhitungan kategorisasi yang dilakukan pada
yang cukup besar berada pada kategori sedang masing-masing dimensi (lihat Tabel 8).
dan rendah, yaitu 180 orang (86.8%). Untuk memastikan signifikansi
Sedangkan frekuensi pada kategori tinggi perbedaan kategorisasi pada tabel di atas, maka
sebanyak 27 orang (13.04%). Sehingga dapat dilakukan analisis uji beda antar dimensi dalam
disimpulkan berdasarkan frekuensi, para CMO variabel yang dilakukan dengan menggunakan
di PT. ABC belum mencapai kepuasan kerja. Kruskal-Wallis Test (lihat Tabel 9).
Kepuasan kerja memiliki tiga aspek utama Dari hasil uji beda, diketahui bahwa
yaitu intrinsik, ekstrinsik dan general terdapat perbedaan yang signifikan dari masing
satisfaction. Berikut hasil perhitungan dimensi pada variabel Kepuasan Kerja
kategorisasi yang dilakukan pada masing- (sig=0.000 < 0.05). Hasil data di atas dapat
KEPUASAN KERJA 31

dinyatakan bahwa terdapat perbedaan penilaian dapat memprediksi tingkat absensi dan turnover
kepuasan kerja pada tiap dimensi. Berdasarkan karyawan. Bila kompensasi tidak kompetitif
data di atas, responden memberikan penilaian dan tidak memenuhi prinsip keadilan, maka
kepuasan kerja yang rendah pada enam dimensi akan berimplikasi banyaknya karyawan yang
yaitu dimensi compensation, security, company baik akan keluar. Pada perusahaan ini, tidak
policies and practices, working conditions, tercapainya kepuasan kerja CMO pada dimensi
moral values, social status. compensation disebabkan karena para CMO
merasa tidak menerima informasi dan
Tabel 8. Hasil Perhitungan Dimensi dalam penjelasan yang komprehensif mengenai
Variabel Kepuasan Kerja kebijakan yang ditetapkan perusahaan terkait
dengan pendapatan mereka seperti insentif atau
bonus. Sedangkan pihak perusahaan merasa
telah mensosialisasikan dan menginformasikan
dengan jelas segala kebijakan yang telah
ditetapkan kepada regional dan cabang agar
dapat diteruskan kepada CMO. Penyampaian
informasi yang tidak berjalan dengan lancar
membuat CMO tidak menerima informasi
dengan jelas dan lengkap sehingga memicu
munculnya perasaan bahwa kebijakan tersebut
dianggap tidak berpihak kepada mereka. Hal ini
Tabel 9. Uji Beda Dimensi pada Variabel kemudian yang menyebabkan tidak tercapainya
Kepuasan Kerja kepuasan kerja pada dimensi compensation.
Test Statistics Skor
Chi-Square 188.893 Sedangkan untuk dimensi security dan
df 19 company policies and practices mendapatkan
Asymp. Sig. .000 penilaian kepuasan kerja yang juga rendah
Kruskal Wallis Test
Grouping Variable: Dimensi karena terkait dengan skala organisasi PT ABC
yang cukup besar yaitu lima puluh tujuh cabang
yang tersebar di sembilan wilayah regional
Diskusi yang mencakup sebagian besar provinsi di
Indonesia. Sampai saat ini perusahaan masih
Jika dilihat dari seluruh dimensi kepuasan terus berusaha untuk membuat sistem
kerja, dimensi compensation merupakan komunikasi organisasi yang mapan dan dapat
dimensi yang memiliki nilai kepuasan kerja digunakan untuk menyampaikan informasi
yang paling rendah. Handoko (1993) tentang kebijakan dan peraturan kepada
mengemukakan bahwa kepuasan dan karyawan, dalam hal ini CMO. Berdasarkan
ketidakpuasan atas kompensasi yang diterima informasi dari Kepala Divisi People
adalah fungsi dari ketidakcocokan antara apa Development PT. ABC dan timnya, kantor
yang diharapkan dengan kenyataan yang pusat membuat kebijakan dan peraturan sesuai
diterima oleh seseorang. Kepuasan kompensasi dengan kebutuhan dengan segala pertimbangan
32 SARI & PANGGABEAN

yang tentunya tidak memberatkan CMO. aturan dan kebijakan yang diberlakukan oleh
Kebijakan dan peraturan tersebut kemudian perusahaan tidak sesuai dengan kondisi di
seharusnya disosialisasikan ke regional dalam lapangan sehingga dianggap menyulitkan dan
bentuk email ataupun meeting dan forum. bahkan menghambat pelaksanaan kerja para
Regional akan melanjutkan informasi tersebut marketing tersebut. Hal yang paling sering
ke kepala cabang yang kemudian akan dikeluhkan adalah proses verifikasi dan
dilanjutkan lagi kepada kepala marketing persetujuan kredit yang panjang dan terlalu
hingga kemudian informasi tersebut sampai kaku membuat para calon pelanggan cemas dan
kepada para CMO. Karena rantai yang cukup beralih memilih produk lain.
panjang tersebut, kemungkinan besar informasi Pada tenaga marketing, aspek aturan dan
dan penjelasan terkait kebijakan serta peraturan kebijakan perusahaan (company policies and
yang disampaikan tidak diterima dengan practices) menjadi aspek yang cukup kuat yang
maksimal. Tidak adanya kontrol dan evaluasi perlu diperhatikan. Karena aturan dan kebijakan
mengenai efektivitas sosialisasi yang sudah merupakan representasi bagaimana perusahaan
dilakukan diduga menjadi penyebab membangun ruang bagi para karyawan untuk
terhambatnya informasi mengenai kebijakan bekerja dalam situasi di luar kantor. Berbeda
dan peraturan perusahaan kepada para CMO. dengan tenaga marketing, beberapa penelitian
Jika secara umum kepuasan kerja lebih pada bidang kerja lain menunjukkan bahwa
banyak dipengaruhi oleh jumlah kompensasi aspek kompensasi merupakan aspek kepuasan
yang didapat, justru hal yang cukup kerja yang seringkali mendapatkan penilaian
mempengaruhi kepuasan kerja bagi para terendah. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
marketing adalah aturan dan kebijakan Noor (2010) dan Farhadjafari (2014) yang
perusahaan yang terkait dengan pekerjaan meneliti kepuasan kerja pada karyawan dan
mereka. Hal ini sesuai dengan temuan pada tenaga ahli di rumah sakit. Kompensasi menjadi
penelitian ini dimana aspek aturan dan aspek utama yang mendapatkan penilaian
kebijakan perusahaan (company policies and terendah dan berpengaruh signifikan terhadap
practices) merupakan salah satu aspek kepuasan kepuasan kerja para karyawan dan tenaga ahli
kerja yang memiliki penilaian rendah yang tersebut. Sejalan dengan penjelasan tersebut,
perlu diperhatikan setelah aspek kompensasi. penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2008)
Tenaga Marketing, terutama yang berada pada pada tenaga ahli kecantikan pada sebuah brand
perusahaan pembiayaan otomotif, lebih banyak ternama yang juga menunjukkan bahwa
menjalankan pekerjaannya di luar kantor. kompensasi memiliki pengaruh paling dominan
Mereka secara aktif mencari dan membangun terhadap kepuasan kerja.
relasi dengan calon pelanggan, pihak dealer
maupun orang-orang yang sudah menjadi Limitasi Penelitian
pelanggan. Untuk mengontrol pekerjaan para Penelitian ini berfokus pada CMO dengan
marketing di lapangan, pihak perusahaan melibatkan berbagai kelompok sampel, seperti
membuat sejumlah aturan dan kebijakan agar usia, jabatan, latar belakang pendidikan,
pelaksanaan di lapangan dapat tetap berjalan regional dan masa kerja. Dengan variasi sampel
sesuai yang diharapkan. Namun seringkali yang cukup banyak dan tersebar di seluruh
cabang di Indonesia serta waktu dan biaya
KEPUASAN KERJA 33

pengambilan data yang terbatas, maka peneliti sedang. Hal ini juga menunjukkan bahwa CMO
memutuskan untuk melakukan pengambilan PT. ABC belum mencapai kepuasan kerja.
data dengan metode kuantitatif. Namun dalam Secara lebih spesifik, CMO PT. ABC
menganalisa hasil perhitungan kuantitatif memiliki kepuasan kerja yang tinggi pada
peneliti merasakan data yang didapat akan lebih dimensi coworkers (kesempatan memiliki
mendalam jika dilengkapi dengan data hubungan baik dengan sesama rekan kerja).
kualitatif. Melalui data kualitatif tentunya akan Sedangkan dua dimensi kepuasan kerja yang
membantu peneliti untuk menggali dan mendapatkan penilaian kepuasan kerja paling
mengkonfirmasi data-data dari hasil rendah adalah compensation (besarnya imbalan
perhitungan kuantitatif. atau upah yang diterima) dan security
Pada pelaksanaan penelitian ini, (kepastian kerja yang diberikan)
keterbatasan untuk mengakses data juga
menjadi hambatan. Terdapat beberapa data Saran
yang dianggap sesnsitif bagi perusahaan untuk Bagi penelitian selanjutnya, terdapat
dibagikan sehingga perlu waktu yang panjang beberapa saran dari segi metode yang mungkin
dalam perizinan, seperti data turnover, data exit dapat dilakukan, yaitu:
interview, data insentif dan lain sebagainya. a. Untuk penelitian selanjutnya, dapat
Selain itu, jumlah CMO di lapangan terus mempertimbangkan untuk menambahkan
berubah tiap bulannya karena di beberapa metode kualititatif dalam penelitian. Data
cabang terdapat CMO yang keluar atau kualitatif juga cukup dibutuhkan karena akan
dipindahkan ke cabang lain. Hal ini membantu mendukung analisa data secara
mempengaruhi pengambilan sampel yang umum. Dengan menambahkan metode
menggunakan teknik stratified random kualitatif dalam penelitian akan memperkuat
sampling. Peta sampel berdasarkan kategori hasil kuantitatif yang didapat.
harus dicek dan dirubah jika terjadi perbedaan b. Dalam melakukan penelitian ini perlu
jumlah CMO di lapangan dengan data yang disiapkan sebuah alur komunikasi yang dapat
diterima. Selain itu, data di kantor pusat juga menjembatani perubahan data terkait dengan
seringkali tidak sama dengan kenyataan di kelengkapan demografis. Misalnya dengan
cabang karena belum terinformasikan. meminta kepada setiap cabang untuk
mengirimkan data CMO terkini minimal per
Kesimpulan dan Saran bulan kepada HRD pusat agar peneliti dapat
mengakses data terbaru dari HRD pusat
sehingga penentuan sampel dan pelaksanaan
Kesimpulan
di lapangan dapat berjalan lancar.
Secara umum kepuasan kerja CMO PT.
c. PT. ABC perlu mempertimbangkan untuk
ABC berada pada tingkat kepuasan sedang. Jika
mengevaluasi dimensi yang mendapat
dilihat secara lebih mendalam melalui
penilaian kepuasan kerja paling rendah
penyebaran frekuensi partisipan di setiap
misalnya seperti compensation dan security.
kategori, tampak adanya dominasi CMO yang
Evaluasi dapat dilakukan dengan FGD kepada
berada pada tingkat kepuasan rendah dan
CMO untuk mendapatkan data keluhan utama
34 SARI & PANGGABEAN

pada dimensi-dimensi kepuasan kerja Sehingga jika ada informasi mengenai


tersebut. kebijakan atau peraturan perusahaan baru
terutama yang berhubungan dengan
Rancangan Intervensi kepegawaian, tidak tersampaikan dengan
baik.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada
pemberian informasi mengenai peraturan dan
PT. ABC menunjukkan bahwa dari dua puluh
kebijakan perusahaan antar cabang juga
dimensi kepuasan kerja yang diukur,
belum terstandarisasi. Di satu cabang
compensation dan security mendapatkan
penjelasan diberikan secara terperinci,
penilaian kepuasan kerja paling rendah.
sedangkan di cabang lainnya informasi
Rendahnya kepuasan kerja pada kedua
tersebut hanya disampaikan saja tetapi tidak
dimensi tersebut bukan terletak pada sistem
dijelaskan. Selain itu pimpinan cabang juga
atau aturannya, tetapi pada cara penyampaian
belum memiliki acuan atau panduan dalam
informasi. Berdasarkan wawancara terpisah
melaksanakan penyampaian informasi pada
dengan pihak manajemen pusat dan CMO di
rapat mingguan. Hal ini menyebabkan
lapangan didapatkan fakta bahwa para CMO
perbedaan penerimaan informasi sehingga
seringkali merasa tidak mendapatkan
setiap CMO mungkin saja memiliki
penjelasan mengenai peraturan dan kebijakan
pemahaman yang berbeda terhadap informasi
yang diterapkan oleh manajemen pusat.
yang disampaikan.
Sehingga mereka menilai aturan tersebut tidak
Berdasarkan masalah tersebut maka
jelas dan terkesan tidak transparan.
perusahaan perlu membuat sebuah media
Sedangkan pihak manajemen pusat merasa
komunikasi organisasi dengan prosedur
bahwa keputusan yang diambil merupakan
operasional yang terstandarisasi atau SOP
keputusan terbaik untuk CMO yang selama
sebagai acuan pelaksanaan penyampaian
ini selalu disampaikan ke masing-masing
informasi peraturan dan kebijakan
cabang.
perusahaan. Dengan demikian, diharapkan
Informasi mengenai peraturan dan
para CMO memperoleh informasi yang
kebijakan perusahaan selama ini disampaikan
komprehensif dan jelas mengenai peraturan
oleh pihak manajemen pusat kepada ke setiap
dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
cabang dan diterima oleh Branch Manager
manajemen pusat sehingga dapat meluruskan
(BM). Setelah itu informasi tersebut akan
pandangan CMO yang mungkin selama ini
disampaikan kepada CMO dengan
merasa kurang jelas dan menganggap pihak
menyelipkan agenda pada saat rapat
manajemen kurang transparan. Susanto
mingguan. Akan tetapi pemilihan rapat
(2002) dalam penelitiannya menjelaskan
mingguan sebagai media penyampaian
bahwa komunikasi merupakan salah satu
informasi mengenai peraturan dan kebijakan
sumber kepuasan kerja yang berpengaruh
perusahaan dinilai tidak berjalan dengan baik.
terhadap kinerja karyawan.
Hal ini dikarenakan fokus pada rapat tersebut
Pada rancangan intervensi ini, media rapat
adalah informasi mengenai target dan hal-hal
sebagai sarana komunikasi organisasi perlu
yang berhubungan dengan penjualan.
KEPUASAN KERJA 35

dilengkapi dengan SOP karena para karyawan digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi
di PT. ABC cukup familiar dengan penerapan banyak juga digunakan untuk kepentingan
SOP dalam pekerjaan mereka sehingga bisnis, kantor dan organisasi.
dengan dibuatnya SOP ini diprediksi para b. Media Kelompok, yaitu media yang
CMO akan dapat langsung menerapkannya digunakan dalam aktivitas komunikasi yang
dan membantu masalah yang ada. Selain itu melibatkan banyak orang, misalnya: rapat,
saat ini perusahaan belum memiliki SOP seminar dan konferensi. Rapat biasanya
pelaksanaan penyampaian peraturan dan digunakan untuk membicarakan informasi
kebijakan perusahaan. penting terkait organisasi.

Komunikasi Organisasi Standard Operating Procedure (SOP)


Komunikasi organisasi adalah pengiriman Standar Prosedur Operasional (SOP)
dan penerimaan berbagai pesan organisasi di merupakan sistem yang disusun untuk
dalam kelompok formal maupun informal memudahkan, merapihkan dan menertibkan
pada sebuah organisasi (Wiryanto, dalam pekerjaan. Sistem ini berisi urutan proses
Khomsahrial, 2011). Komunikasi formal melakukan pekerjaan dari awal sampai akhir.
merupakan komunikasi yang disetujui oleh Hartatik (2014) menjelaskan SOP adalah satu
organisasi tersebut dan berorientasi pada set instruksi tertulis yang digunakan untuk
kepentingan organisasi. Sedangkan kegiatan rutin atau aktivitas yang berulang
komunikasi informal merupakan komunikasi kali dilakukan oleh sebuah organisasi. SOP
yang disetujui oleh sosial dan berorientasi juga merupakan panduan yang digunakan
pada anggotanya secara individual, bukan untuk memastikan kegiatan operasional
pada organisasi. Arni (2009) menjelaskan organisasi atau perusahaan berjalan dengan
bahwa komunikasi organisasi merupakan lancar (Sailendra, 2015).
sebuah proses menciptakan dan saling SOP sebagai suatu instrumen yang memuat
menukar pesan dalam suatu jaringan tentang proses dan prosedur suatu kegiatan
hubungan yang saling bergantung satu sama yang bersifat efektif dan efisien berdasarkan
lain untuk mengatasi lingkungan yang selalu suatu standar yang baku. Pengembangan
berubah-ubah. instrumen manajemen tersebut dimaksudkan
Media merupakan alat atau saran yang untuk memastikan bahwa proses yang
digunakan untuk menyampaikan pesan dari berjalan dapat terkendali dan sesuai dengan
komunikator kepada komunikan atau ketentuan yang ada.
khalayak. Terdapat beberapa macam media
komunikasi dalam organisasi, yaitu: Rancangan Intervensi
a. Media Antar Pribadi, yaitu bentuk media Pada rancangan intervensi ini, media rapat
komunikasi antar pribadi antara lain telepon sebagai sarana komunikasi organisasi perlu
dan email. Seiring dengan berkembangnya akan dilengkapi dengan dengan SOP. Adapun
teknologi, penggunaan telepon genggam dan hal-hal penting yang disusun dalam SOP
email semakin tinggi. Saat ini penggunaan antara lain:
media komunikasi pribadi tidak hanya a. Tujuan
36 SARI & PANGGABEAN

Pada bagian ini dijelaskan tujuan dari selama rapat pembahasan berlangsung;
diberlakukannya SOP dalam memberikan Melakukan pendokumentasian rapat sebagai
informasi mengenai peraturan dan laporan pelaksanaan dari cabang ke
kebijakan yang telah ditetapkan oleh manajemen pusat; Menetapkan penanggung
perusahaan jawab untuk setiap satuan kegiatan dalam
b. Cakupan SOP.
Bagian ini menjelaskan siapa saja yang
terlibat dalam pelaksanaan SOP, yaitu Validasi User
Kepala cabang dan CMO Rancangan SOP Penyampaian
c. Definisi Peraturan/Kebijakan Perusahaan kepada
Pada bagian ini dijelaskan definisi dari CMO divalidasi oleh pihak PT. ABC yang
masing-masing hal dan bagian yang terlibat dihadiri oleh Kepala Divisi Organization
dalam pelaksanaan SOP seperti definisi Development, Kepala Departemen dan Deputi
Peraturan/kebijakan Perusahaan dan Organizational & Policy Development.
Penyampaian peraturan/kebijakan kepada Dalam pertemuan tersebut peneliti
Kepala Cabang dan CMO memberikan uraian penjelasan mengenai
d. Dokumen temuan dari penelitian dan saran intervensi
Memuat daftar dokumen yang diperlukan yang dapat dilakukan, yaitu pembuatan SOP
dalam pelaksanaan SOP seperti buklet Penyampaian Peraturan/Kebijakan
peraturan/kebijakan perusahaan, lembar Perusahaan Kepada CMO agar CMO
absensi dan lembar notulen rapat mendapatkan informasi yang komprehensif
e. Pelaksanaan mengenai peraturan/kebijakan yang diambil
Jika sebelumnya pemberian informasi oleh perusahaan.
dilakukan ketika rapat mingguan, maka Secara umum masukan yang diperoleh
pada intervensi ini akan dibuatkan sebuah melalui validasi user tersebut adalah adanya
rapat terpisah yang khusus membahas Manajemen Pusat yang akan terlibat dalam
kebijakan/peraturan baru. Waktu penyampaian informasi ke cabang hingga
pelaksanaan dapat disesuaikan dengan sampai ke CMO. Berikut beberapa poin
kebutuhan, yaitu setiap adanya mengenai perubahan rancangan awal SOP
peraturan/kebijakan baru dari perusahaan berdasarkan hasil validasi oleh pihak
f. Rincian Prosedur perusahaan:
Pada pelaksanaan rapat, rincian prosedur a. Cakupan
pelaksanaannya antara lain: Memberikan Melibatkan Manajemen Pusat untuk
informasi mengenai adanya informasi baru memulai proses awal penyampaian
tentang kebijakan/peraturan baru pada rapat peraturan/kebijakan hingga dengan tahap
mingguan terdekat; Memberlakukan absensi evaluasi pelaksanaan. Departemen
dan pencatatan pelaksanaan rapat dalam Organizational & Policy Development
bentuk notulen rapat; Memberikan buklet ditunjuk sebagai wakil dari Manajemen pusat
yang berisikan peraturan/kebijakan baru yang yang bertanggung jawab memastikan proses
akan disampaikan; Adanya sesi tanya jawab pelaksanaan SOP berjalan dengan lancar
KEPUASAN KERJA 37

b. Pelaksanaan YKPN.
Waktu pelaksanaan rapat ditetapkan Hartatik, Indah Puji. (2014). Buku praktis
menjadi tiga bulan sekali dan dilakukan mengembangkan SDM. Yogyakarta:
setelah rapat besar evaluasi manajemen pusat Laksana.
dengan regional Judge, T. A., Thoresen, C. J., Picik, V., &
c. Rincian Prosedur Welbourne, T. M. (2001). Managerial
Pada rincian prosedur, hal yang coping with organizational change: A
ditambahkan adalah rincian tugas Manajemen dispositional perspective. Journal of
Pusat dalam menyampaikan informasi Applied Psychology, 84, 107-122.
peraturan/kebijakan baru kepada cabang Khomsahrial, R. (2011). Komunikasi organisasi
hingga kemudian menerima laporan lengkap. Jakarta: Grasindo.
pelaksanaan sebagai bentuk kontrol dari Martoyo, Susilo. (1994). Manajemen sumber
pelaksanaan SOP dalam rapat. daya manusia (4th ed.).Yogyakarta: BPFE.
Mathis, R. L. & Jackson. J. H (2003). Human
Referensi resource management (10th ed.). Australia:
South-Western.
Arni, M. (2009). Komunikasi organisasi. Noe, R., Hollenback, J., Gerhart, B., & Wright,
Jakarta: Bumi Aksara. P. (2007). Fundamental of human resource
Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to management. New York: McGraw-Hill.
classical and modern test theory. Belmont Panggabean, M. S. (2002). Manajemen sumber
CA: Wadsworth Thomson Learning. daya manusia. Jakarta: Gahlia Indonesia.
George, J. M., G. R. Jones. (2002). Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior
Understanding and managing (10th ed.). New Jersey: Pearson Education
organizational behavior. New Jersey: Inc.
Prentice Hall. Rosari, Y. D. (2011). Analisis terhadap
Gibson, J. L, Ivancevich, J. M., & Donnely, J. kepuasan kerja karyawan terhadap
H. (2000). Organizations: Behaviour, keinginan untuk pindah pada PT. X. Jurnal
structure, and process (10th ed.). New Managemen Atma Jaya, 8(2), 219-232.
York: McGraw-Hill Book. Sailendra, A. (2015). Langkah-langkah praktis
Gillies, DA. (1989). Manajemen keperawatan: Membuat SOP. Yogyakarta: Trans Idea
Suatu pendekatan sistem (2nd ed.). Illioni: Publishing.
WB Saunders Company. Schermerhorn, J., Hunt, J., & Osborn, R.
Gilmer, B. (1961). Industrial psychology. New (1991). Managing organizational behavior
York: McGraw Hill. (4th ed.). New York: John Wiley & Sons.
Hastono, H. I. (2013). Hubungan kepuasan Spector, P. E. (2008). Industrial and
kerja dengan motivasi kerja pada karyawan organizational psychology: Research and
bank BTPN Madiun. Jurnal Psikologi practice (5th ed.). New York: John Wiley &
Industri dan Organisasi, 2(2), 1-7. Sons.
Handoko, T. H. (1993). Manajemen personalia Taba, M. I. (2010). Pengaruh komitmen
dan sumber daya manusia. Yogyakarta: organisasi, prestasi kerja, dan sistem
38 SARI & PANGGABEAN

imbalan terhadap kepuasan kerja karyawan.


Jurnal Aplikasi Manajemen, 8(4), 1098-
1104.
Wexley, K. N., & Yukl, G. A. (2005). Perilaku
organisasi dan psikologi personalia.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
JPIO ISSN 2302-8440
2016, Vol. 3, No. 1, 39-53
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 39

Gambaran Dimensi dan Faktor Penyebab


Perilaku Kontraproduktif Pada
Credit Marketing Officer (CMO) PT. OM

Christina Anjar Astya & Elmira N. Sumintardja


Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

This study attempts to describe the dimensions and antecedents of


counterproductive work behavior on credit marketing officer of a leasing
company. Data are collected through both self-report using Workplace
Behavior Survey, developed by Gruys (1999) and a survey of work
condition. Those surveys are administered to credit marketing officer (N =
129) from nine regions using Cluster Sampling Technique. Eleven
categories of counterproductive work behaviors are measured, which are
Theft and related behavior, Destruction of Property, Misuse of
Information, Misuse of Time and Resources, Unsafe Behavior, Poor
Attendance, Poor Quality Work, Alcohol Use, Drug Use, Inappropriate
Verbal Actions and Inappropriate Physical Action. Five antecedent of
counterproductive work behaviors such as job characteristics, work group
characteristics, organizational culture, control systems, and injustice are
also examined. The result shows that Misuse of Time and Resource have
the highest tendency to occur. Another dimensions with high tendencies
are Poor Attendance and Inappropriate Verbal Actions. Meanwhile,
dimensions which categorized as moderate tendencies are Unsafe
Behavior, Poor Quality Work, Misuse of Information, Theft and related
behavior, and Destruction of Property. Survey of work conditions shows
that the most conditions responded by CMOs are Control System and
Injustice.

Keywords: counterproductive behavior, antecedents, deviance, control


system

Persaingan bisnis pembiayaan mobil officer (CMO) untuk melakukan berbagai


mendorong perusahaan pembiayaan untuk strategi untuk bisa mencapai target yang telah
memiliki strategi yang baik dan personel yang ditetapkan. Pada pelaksanaannya seringkali
siap menghadapi berbagai tantangan kerja di CMO dihadapkan pada sejumlah tantangan
lapangan serta tuntutan untuk mencapai target. untuk melakukan pelanggaran. Fenomena di
Tuntutan kerja marketing sebagai ujung tombak lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi
perusahaan mendorong para credit marketing pelanggaran terkait tugas dan tanggung jawab
39
40 ASTYA & SUMINTARDJA

CMO. Pelanggaran yang terjadi yang terkait ini tentunya merupakan kerugian finansial
dengan kewajibannya melakukan survey antara dimana perusahaan sudah terlanjur
lain tidak melakukan survey dengan teliti, tidak membayarkan kepada pihak dealer namun uang
melakukan survey lingkungan yang berakibat tersebut tidak kembali sebagaimana mestinya.
pada pemalsuan foto aset pelanggan Pelanggaran lain yang tidak terkait
(rumah/kantor), pemalsuan data customer langsung dengan tugas CMO namun tetap
seperti kartu keluarga, KTP, fotokopi tabungan, berakibat negatif terhadap perusahaan antara
slip gaji, dan surat keterangan kerja. Kemudian lain datang terlambat dan tidak kembali ke
terkait dengan tugas untuk menganalisa kantor tanpa kabar, meninggalkan pekerjaan
kemampuan pelanggan, ada kalanya CMO untuk urusan pribadi, tidak masuk kerja dengan
sengaja melakukan upping capacity, yaitu alasan yang tidak jelas atau bahkan tidak
menuliskan besar penghasilan pelanggan lebih memberi kabar, menjalankan bisnis pribadi
tinggi ketika pengajuan kredit agar pengajuan ketika jam kerja, menggunakan mobil
diterima dan baru menyusulkan lampiran slip operasional kantor untuk urusan pribadi,
gaji di kemudian hari. Pelanggaran yang terjadi memalsukan bon reimburse pembelian BBM,
ketika kunjungan dealer adalah CMO menerima dan bersama dengan atasan menggunakan
sejumlah uang dari dealer untuk meloloskan insentif mingguan CMO untuk acara informal
pengajuan kredit yang sebenarnya tidak para CMO.
memenuhi syarat. Cukup banyak juga dealer Perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh
yang mengambil jalan pintas dengan CMO tersebut sejalan dengan pengertian dari
memberikan sejumlah uang atau barang kepada perilaku kontraproduktif, yaitu perilaku yang
CMO agar aplikasi kreditnya segera diproses dilakukan dengan sengaja oleh anggota
dan disetujui oleh PT. OM. CMO tersebut organisasi/karyawan yang dinilai sebagai
kemudian menjadi lebih memprioritaskan perilaku yang bertentangan dengan tujuan
aplikasi dari dealer tersebut walaupun mungkin organisasi (Gruys & Sackett, 2003). Perilaku-
kualitas pelanggannya kurang baik. Apabila perilaku tersebut juga menggambarkan
pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan beberapa dimensi yang dikemukakan oleh
dan aplikasi kreditnya disetujui, maka Gruys (1999), yaitu penyalahgunaan informasi,
perusahaan memberikan kredit kepada penyalahgunaan waktu, pencurian dan
pelanggan yang berpotensi menyebabkan kredit sejenisnya dan absensi.
macet. Berdasarkan temuan audit, pada tahun
Ketika kredit macet terjadi pun masih 2015 terdapat 155 dari total 424 CMO atau
terdapat celah bagi CMO untuk melakukan sekitar 36% melakukan pelanggaran dan
pelanggaran, yaitu dengan cara membayarkan mendapat konsekuensi berupa surat teguran
terlebih dahulu angsuran pelanggan selama (ST) dan surat peringatan (SP1 – SP3). Jumlah
enam bulan agar performa kerjanya terlihat baik tersebut telah mengalami penurunan dari 183
berdasarkan kriteria penilaian performa CMO. kasus pada tahun 2014. Pelanggaran ini terjadi
Apabila terjadi kredit macet maka mobil yang hampir di seluruh cabang dan cukup merata
dijaminkan tersebut akan ditarik oleh PT. OM baik di cabang besar, cabang sedang maupun
dan nantinya akan dilelang. Bagi perusahaan hal cabang kecil.
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 41

Perilaku kontraproduktif bisa disebabkan dan Altheide, 1978; Bensman dan Gerver,
oleh faktor situasional karakteristik pekerjaan, 1963; Henry, 1978a, 1978b; Horning, 1970;
karakteristik kelompok kerja, budaya Robin, 1970; Roy, 1952; Taylor dan Walton,
organisasi, sistem kontrol dan ketidakadilan 1971). Kemudian penelitian berkembang dan
dalam organisasi (Sackett & DeVore, 2001). berusaha memahami konsep perilaku
Terkait dengan sejumlah pelanggaran yang kontraproduktif dengan cara membuat kategori-
terjadi, PT. OM telah berusaha mengupayakan kategori yang lebih terstrukur. Hollinger dan
beberapa hal untuk mengontrol faktor Clark (1982, 1983a, 1983b) berusaha
situasional tersebut, seperti membuat aturan dan mengelompokkan sejumlah perilaku
SOP bagi CMO, menyusun mekanisme kontraproduktif yang spesifik ke dalam dua
pemberian sanksi, menyusun mekanisme kategori yaitu property deviance
pemberian insentif, dan mekanisme penilaian (penyalahgunaan asset perusahaan, seperti
kinerja namun pelanggaran tersebut tetap pencurian, perusakan properti dan
terjadi. penyalahgunaan diskon karyawan) dan
Usaha untuk mengontrol faktor situasional production deviance (meliputi pelanggaran
tersebut sayangnya tidak disertai dengan norma mengenai cara penyelesaian tugas,
evaluasi terhadap efektifitas penerapannya. Para seperti absen, bekerja lambat, mengambil jam
pimpinan cabang juga tidak banyak membahas istirahat lebih lama serta perilaku yang terkait
mengenai perilaku kerja bawahannya. Pada penggunaan alkohol dan kecenderungan untuk
pertemuan seperti briefing atau meeting bekerja asal-asalan), dimana latar belakang
mingguan di cabang umumnya hanya penelitiannya lebih banyak pada karyawan
membahas mengenai pencapaian target dan pabrik dan retail.
tidak pernah ada evaluasi mengenai perilaku Robinson dan Bennett (1995) dalam
kerja CMO. Selain itu tidak dilakukan juga penelitiannya menambahkan dua kategori selain
pemeliharaan soft skill melalui bentuk-bentuk property deviance dan production deviance
pelatihan oleh departemen learning center. yang dikemukakan oleh Hollinger dan Clark
Yang dilakukan oleh perusahaan terkait (1983a), yaitu personal aggression (meliputi
pelanggaran ini selama ini hanyalah perilaku kontraproduktif terhadap individu
melaksanakan sistem punishment yang ada, seperti pelecehan dan pencurian dari rekan
tanpa diimbangi bentuk-bentuk apresiasi atas kerja) dan political deviance (penyebaran issue,
kejujuran dan kepatuhan pada CMO. menyalahkan orang lain atas kesalahan yang
dibuat, dan favoritisme atau pilih kasih).
Dimensi Perilaku Kontraproduktif dan Faktor Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gruys
Penyebabnya dan Sackett (2003) yang mengkaji lebih dari
Penelitian terdahulu lebih banyak 250 perilaku kontraproduktif dari sejumlah
membahas secara spesifik dan terpisah-pisah literatur dan menghasilkan 11 dimensi perilaku
mengenai bentuk-bentuk perilaku kontraproduktif. dimensi tersebut adalah
kontraproduktif, seperti perilaku pencurian, pencurian dan sejenisnya, perusakan properti,
sabotase, ketidakhadiran, dan performa kerja penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan
lambat dan tidak rapi (Altheide, Adler, Adler waktu dan sumber daya, perilaku tidak aman,
42 ASTYA & SUMINTARDJA

absensi, kualitas kerja buruk, penyalahgunaan resiko terdeteksi atau meningkatkan


alkohol, penyalahgunaan obat terlarang, hukuman/penalty atas perilaku
perkataan tidak pantas dan tindakan fisik yang kontraproduktif tersebut.
tidak pantas (Gruys & Sackett, 2003). 5. Ketidakadilan dalam organisasi, yaitu
Dimensionalitas yang dikemukakan oleh Gruys keadilan antara usaha yang diberikan
dan Sackett (2003) ini dinilai paling lengkap dengan imbalan yang didapat, serta
dan dapat mewakili perilaku kerja di masa keseimbangan alokasi reward-punishment
sekarang. di perusahaan.
Menurut Sackett & DeVore (2001),
perilaku kontraproduktif disebabkan oleh faktor Kerangka pemikiran
situasional sebagai berikut: Sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh
1. Karakteristik pekerjaan, yang meliputi para CMO menggambarkan bahwa perilaku
keragaman keterampilan kerja, identitas kontraproduktif yang terjadi di PT. OM dinilai
tugas, wewenang, otonomi untuk cukup besar dan perlu mendapat perhatian dari
melakukan perencanaan dan penyelesaian perusahaan. Bentuk perilaku kontraproduktif
tugas, tantangan dalam bekerja, tanggung yang terjadi pun beragam, sehingga untuk
jawab dan umpan balik akan mengarah mengatasi permasalahan tersebut perusahaan
pada sejumlah pengalaman psikologis perlu mengetahui bentuk perilaku apa yang
(merasa memiliki pekerjaan yang berarti, paling menonjol terjadi pada CMO.
merasa bertanggung jawab akan tugas- Oleh karena itu, pengukuran perilaku
tugas dan pengetahuan akan outcome dari kontraproduktif dengan menggunakan sebelas
aktivitas-aktivitas dalam pekerjaan). dimensi perilaku dari Gruys dan Sackett (2003)
2. Karakteristik kelompok kerja, dimana dilakukan untuk melihat dimensi mana yang
perilaku kontraproduktif bisa terjadi karena paling menonjol, baik itu yang sesuai dengan
adanya pola perilaku dalam kelompok serta fenomena yang terjadi maupun kecenderungan
kelekatan antar anggota kelompok. perilaku yang selama ini belum muncul. Selain
3. Budaya organisasi, yaitu budaya kejujuran pengukuran dimensi perilaku kontraproduktif,
di perusahaan (climate of honesty). Persepsi penting pula bagi perusahaan untuk mengetahui
karyawan mengenai ada atau tidaknya kode faktor apa yang paling banyak berkontribusi
etik yang kuat, tingkat kejujuran dari pada pelanggaran CMO tersebut. Dengan
manajemen atas pendisiplinan dan mengetahui dimensi dan faktor yang menonjol
pemberitaan/publisitas atas ditemukannya dalam konteks kerja CMO, maka perusahaan
pelanggaran, akan mempengaruhi perilaku akan dapat mengambil langkah penyelesaian
karyawan dan kecenderungannya untuk masalah yang tepat sasaran.
terlibat atau tidak dengan perilaku
kontraproduktif. Metode
4. Sistem kontrol, yaitu suatu prosedur dalam
perusahaan yang secara khusus dibuat Populasi dan Sampel Penelitian
untuk mencegah terjadinya perilaku Populasi penelitian adalah para Credit
kontraproduktif dengan cara meningkatkan marketing officer (CMO) PT. OM yang
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 43

berstatus karyawan tetap dan memegang jabatan situasinya, saya tidak akan terlibat dalam
CMO Junior, CMO Middle maupun CMO perilaku tersebut” dan skala 7 menggambarkan
Senior, yaitu sebanyak 424 karyawan yang “pada berbagai situasi, saya akan terlibat pada
tersebar di 57 cabang di Indonesia. perilaku tersebut”. partisipan diminta untuk
Sampel penelitian dipilih menggunakan menjawab tiap pernyataan dengan
cluster sampling berdasarkan pembagian mempertimbangkan sejumlah situasi yaitu
regional kerja CMO. Prosentase jumlah sampel kondisi kerja, penalti atau hukuman yang
yang diambil untuk tiap regional adalah 60%, mungkin diterima, perilaku tidak adil dan
dengan simulasi sebagai berikut (lihat Tabel 1). tingkat kepuasan kerja. Partisipan juga akan
diminta mengisi data-data demografis antara
Tabel 1. Simulasi Cluster Sampling lain usia, masa kerja, jabatan, tingkat
Regional Populasi Sampel pendidikan, status marital dan regional
DKI 1 73 37 penempatan kerja.
DKI 2 75 38 Untuk pengukuran faktor penyebab
Jawa Barat 51 26 perilaku kontraproduktif alat ukur dibuat
Jawa Tengah 35 18 berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Jawa Timur 45 23 Sackett & DeVore (2001), yaitu yang mengukur
Kalimantan- 46 23 faktor karakteristik pekerjaan, karakteristik
Sulawesi
kelompok kerja, budaya organisasi, sistem
NTB-Bali 14 8
kontrol dan ketidakadilan dalam organisasi.
Sumbagsel 40 20
Sumbagut 46 23 Kuesioner tersebut terdiri dari 22 item dengan
Total 424 216 dua pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak”.
Pada penelitian ini dilakukan uji validitas
Alat Ukur dan reliabilitas terhadap alat ukur Workplace
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian Behavior Survey. Uji validitas dilakukan
ini adalah Workplace Behavior Survey yang dengan menggunakan metode content validity,
dikembangkan oleh Gruys (1999), dengan yaitu dengan melakukan penerjemahan terhadap
jumlah 66 item yang terbagi dalam sebelas alat tes yang dilanjutkan dengan proses expert
dimensi perilaku. Dimensi perilaku yang diukur judgement untuk memastikan ketepatan bahasa
adalah pencurian dan sejenisnya, perusakan atau kalimat item dalam mengukur konstruk.
properti, penyalahgunaan informasi, Expert judgement dilakukan oleh dosen
penyalahgunaan waktu dan sumber daya, pembimbing dan Kepala Divisi Organization
perilaku tidak aman, absensi, kualitas kerja Development PT. OM. Selain itu dilakukan juga
buruk, penyalahgunaan alkohol, pengujian validitas item dengan menggunakan
penyalahgunaan obat terlarang, perkataan tidak corrected item total correlation dan
pantas dan tindakan fisik yang tidak pantas. menghasilkan 59 item valid, 3 item
Item-item tersebut akan disajikan secara acak membutuhkan sedikit revisi dan 2 item
dan tidak terbagi dalam kategori-kategori. dieliminasi. Dengan demikian pengambilan data
Alat ukur ini menggunakan 7 poin skala, riil dilakukan dengan menggunakan 64 item.
dimana skala 1 menggambarkan “apapun Perhitungan reliabilitas dengan
44 ASTYA & SUMINTARDJA

menggunakan alpha Cronbach menghasilkan Tabel 2. Data Demografis Partisipan Penelitian


koefisien reliabilitas sebesar 0.96. Menurut Data Demografi Frekuens Presentase
i
Nunnally (dalam Spector, 2008), nilai koefisien Usia Di bawah 27 11 9%
reliabilitas di atas 0.7 dianggap memiliki tahun
27-35 tahun 96 74 %
konsistensi yang tinggi dalam mengukur Di atas 35 tahun 22 17 %
konstruk. Dengan demikian dapat disimpulkan Pendidikan SMA dan D1 1 1%
D3 23 18 %
bahwa alat tes ini reliabel dalam mengukur S1 dan S2 105 81 %
kecenderungan perilaku kontraproduktif. Jabatan Junior 82 64 %
Medior 46 36 %
Mengingat bahwa topik perilaku Senior 1 1 %
kontraproduktif merupakan topik yang sensitif Status Menikah 104 81 %
Marital Belum Menikah 25 19 %
dan memiliki social desirability tinggi, maka
Masa Kerja Di bawah 2 6 5%
dilakukan beberapa prosedur kontrol bias untuk tahun
mengatasi hal tersebut. Pengisian data 2-5 tahun 63 49 %
Di atas 5 tahun 60 47 %
karyawan menggunakan anonimitas dimana Regional DKI 1 12 10.26 %
responden boleh tidak memberi nama atau DKI 2 11 10.28 %
Jawa Barat 17 26.15 %
mengisi dengan nama samaran maupun inisial Jawa Tengah 18 45 %
yang bukan merupakan three letter code resmi Jawa timur 27 37.50 %
NTB dan Bali 4 7.02 %
karyawan. Selain itu masing-masing responden Kalimantan dan 12 15.79 %
diberikan amplop dimana setelah responden Sulawesi
Sumatera bag 18 28,57 %
selesai mengisi kuesioner, peneliti akan Utara
meminta dan memastikan responden untuk Sumatera bag 10 38,46 %
Selatan
memasukkan kuesioner ke dalam amplop dan
menyegelnya. Dengan demikian responden
melihat sendiri bahwa kuesioner tersebut Di dalam penelitian ini terdapat 11 dimensi
tersegel dan terjaga kerahasiaannya, serta perilaku kontraproduktif yang diukur. Uji
identitas pemiliknya pun tidak diketahui. normalitas menggunakan Shapiro-Wilk
menghasilkan p-value > 0.005 untuk semua
Hasil dimensi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi
penyebaran data pada 11 dimensi tersebut tidak
Dari 216 kuesioner yang disebarkan normal. Oleh karena penyebaran data pada
terdapat 207 kuesioner yang kembali, namun sebelas dimensi tersebut tidak normal, maka
tidak semua data lengkap dan dapat digunakan. kategorisasi dimensi dilakukan dengan
Data yang digunakan dalam perhitungan dan menggunakan persentil 33.3 dan 66.7. Nilai
analisa sebanyak 129 data dengan gambaran composite mean atau nilai rata-rata tiap dimensi
demografis sebagai Tabel 2. digunakan dalam kategorisasi sebagai berikut
Berdasarkan data demografis, partisipan (lihat Tabel 3).
penelitian didominasi oleh CMO pada rentang
usia 27-35 tahun (n = 96; 74%), berstatus
marital menikah (n = 104; 81%) dan berada
pada level jabatan CMO Junior (n = 82; 64%).
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 45

Tabel 3. Kategorisasi Skor Dimensi termasuk di dalamnya cara bicara yang lebih
Norma Rentang Skor bebas dibanding di back office. Mobilitas kerja
Rendah 1.14 – 1.29 di lapangan juga meningkatkan kemungkinan
Sedang 1.30 – 1.84 terjadinya perilaku tidak aman dalam berlalu
Tinggi 1.85 – 1.94 lintas. Kondisi kerja lain yang juga
memungkinkan terjadinya perilaku
Berdasarkan tabel di atas, berikut kontraproduktif dalam skala yang lebih kecil
kategorisasi yang terbentuk untuk 11 dimensi adalah kesempatan untuk meminta atau
(lihat Tabel 4). menerima uang jasa dari pelanggan untuk
memperlancar proses kredit. Hal ini jarang
Tabel 4. Kategorisasi Dimensi Perilaku terjadi di PT. OM, namun kebiasaan menerima
Kontraproduktif uang atas balas jasa yang terjadi di masyarakat
Composite
Dimensi Mean
Kategori
meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku
Penyalahgunaan Waktu & 1.94 Tinggi
suap-menyuap salam proses pengajuan kredit.
Sumber Daya
Perkataan Tidak Pantas 1.91 Tinggi Dalam upayanya mencari pelanggan, CMO
Absensi/Kehadiran Buruk 1.90 Tinggi
tidak diwajibkan untuk melakukan ‘entertain’
Perilaku Tidak Aman 1.84 Sedang
Penyalahgunaan Informasi 1.59 Sedang dalam membina hubungan baik dengan pihak
Kualitas Kerja Buruk 1.59 Sedang
dealer. Dalam hal ini aktivitas CMO terhadap
Perusakan Properti 1.34 Sedang
Pencurian dan Sejenisnya 1.29 Sedang bentuk-bentuk entertain yang melibatkan
Tindakan Fisik Tidak Pantas 1.20 Rendah
penyalahgunaan alkohol, obat terlarang maupun
Penyalahgunaan Alkohol 1.18 Rendah
Penyalahgunaan Obat 1.14 Rendah tindakan fisik yang tidak pantas relatif tidak
ada. Dari hasil wawancara yang dilakukan
CMO sebagai pekerja lapangan memiliki terhadap beberapa atasan langsung CMO
jam kerja yang tidak terikat secara mutlak pada diketahui bahwa perilaku-perilaku tersebut
aturan jam kerja umum di perusahaan. Mereka umumnya tidak terkait pada upaya penyelesaian
memiliki keleluasaan untuk mengatur pekerjaan, melainkan kembali ke pribadi
penyelesaian tugas mereka agar mencapai target masing-masing CMO.
penjualan bulanan. Dalam proses pencapaian Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel
target ini para CMO dituntut untuk dapat 4, untuk memastikan bahwa 11 dimensi tersebut
mencari pelanggan sebanyak-banyaknya, berbeda secara signifikan, dilakukanlah analisis
mengatur prioritas penyelesaian tugas sekaligus uji beda dengan menggunakan Friedman Test.
tetap menjaga kualitas kinerjanya. Kualitas
kinerja yang dimaksud adalah kelayakan Tabel 5. Uji Beda Dimensi Perilaku
pelanggan untuk diberi pembiayaan kredit yang Kontraproduktif
nantinya dinilai berdasarkan kelancaran Test Statistics Skor
pembayaran angsuran oleh pelanggan. Chi-Square 1117.975
Kondisi kerja seperti ini memungkinkan df 10
terjadinya penyalahgunaan waktu dan sumber Asymp. Sig. .000
daya dan kehadiran oleh para karyawan serta Friedman Test
perilaku lain terkait tugas mereka di lapangan,
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa
46 ASTYA & SUMINTARDJA

terdapat perbedaan yang signifikan dari masing- menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
masing dimensi (sig = 0.000, p<0.05). Dengan kecenderungan perilaku kontraproduktif dengan
demikian dapat dikatakan bahwa terdapat masa kerja CMO.
perbedaan kecenderungan perilaku
kontraproduktif pada tiap dimensi. Berdasarkan Tabel 7. Hasil Perhitungan Uji Beda
tabel kategorisasi dimensi, para CMO memiliki Berdasarkan Data Demografis
kecenderungan tinggi untuk terlibat dalam Demografis
Dimensi Kategori Masa
Usia Jabatan Regional
perilaku penyalahgunaan waktu dan sumber Kerja
Penyalahgunaan Tinggi 0.089 0.339 0.916 0.014
daya, absensi dan perkataan tidak pantas. Para waktu, sumber
daya
CMO juga memiliki kecenderungan sedang Absensi Tinggi 0.444 0.686 0.744 0.079
Perkataan tidak Tinggi 0.002 0.211 0.306 0.347
untuk terlibat dalam perilaku tidak aman, pantas
Perilaku tidak Sedang 0.952 0.626 0.471 0.177
penyalahgunaan informasi, kualitas kerja buruk, aman
Kualitas kerja Sedang 0.439 0.582 0.339 0.237
perusakan properti serta pencurian dan buruk
sejenisnya. Pengkategorian berdasarkan Penyalahgunaan Sedang 0.876 0.382 0.944 0.113
informasi
persentil 33.3 dengan 66.7 diaplikasikan juga Perusakan Sedang 0.795 0.470 0.593 0.034
properti
untuk mengategorikan tiap item dalam dimensi Pencurian dan Sedang 0.236 0.252 0.415 0.007
sejenisnya
yang masuk dalam kecenderungan tinggi dan Penyalahgunaan Rendah 0.441 0.589 0.732 0.002
alkohol
sedang. Hal ini dilakukan untuk melihat item Penyalahgunaan Rendah 0.181 0.036 0.437 0.027
obat
perilaku mana yang paling tinggi Tindakan tidak Rendah 0.273 0.488 0.312 0.006
pantas
kecenderungannya untuk dilakukan oleh para
CMO pada masing-masing dimensi (lihat Tabel
Hasil perhitungan uji beda (lihat Tabel 7)
6).
juga menunjukkan perbedaan yang signifikan
pada kecenderungan CMO untuk terlibat di
Tabel 6. Korelasi Dimensi Dengan Usia dan
beberapa dimensi perilaku kontraproduktif.
Masa Kerja
Demografis
Dimensi Kategori Masa
Usia
Kerja
Penyalahgunaan waktu, Tinggi 0.045 -0.014
sumber daya
Perkataan tidak pantas Tinggi 0.302 0.094
Absensi Tinggi -0.141 -0.102
Perilaku tidak aman Sedang -0.022 -0.096
Kualitas kerja buruk Sedang -0.004 0.074
Penyalahgunaan informasi Sedang -0.096 0.082
Perusakan properti Sedang -0.082 -0.044
Pencurian dan sejenisnya Sedang -0.086 -0.031
Tindakan tidak pantas Rendah 0.078 0.066 Gambar 1. Uji beda dimensi perkataan tidak
Penyalahgunaan alkohol Rendah 0.103 -0.120
Penyalahgunaan obat Rendah 0.027 -0.142 pantas bedasarkan usia

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa CMO Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa


yang berusia lebih tua memiliki kecenderungan CMO yang berusia di atas 35 tahun memiliki
yang lebih tinggi untuk berkata tidak pantas. kecenderungan paling tinggi untuk berkata tidak
Sementara hasil perhitungan yang tidak pantas. Sedangkan CMO yang berusia di bawah
signifikan antara dimensi dengan masa kerja 27 tahun adalah yang memiliki kecenderungan
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 47

terkecil untuk mengeluarkan perkataan tidak Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa


pantas. Dalam hal ini CMO yang lebih tua lebih secara umum, regional Sumbagsel, Sumbagut,
memiliki keberanian dan merasa lebih leluasa Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki
untuk berkata tidak pantas sementara CMO kecenderungan lebih tinggi dibanding regional
yang lebih muda lebih menjaga perkataan lain untuk terlibat pada dimensi
mereka. penyalahgunaan waktu dan sumber daya,
pencurian, penyalahgunaan alkohol,
penyalahgunaan obat (narkoba), perusakan
properti dan tindakan tidak pantas. Sedangkan
regional lain cukup bervariasi responnya
terhadap dimensi-dimensi tersebut. Pada
dimensi kecenderungan tinggi, yaitu
penyalahgunaan waktu dan sumber daya,
regional yang masuk dalam peringkat pertama
Gambar 2. Uji beda dimensi penyalahgunaan adalah Jawa Barat. Dapat dilihat juga bahwa
obat berdasarkan masa kerja regional NTB/Bali secara umum memiliki
kecenderungan rendah untuk terlibat dalam
Hasil perhitungan uji beda (lihat Gambar 2) sejumlah perilaku kontraproduktif. Regional
menunjukkan bahwa CMO dengan masa kerja NTB/Bali merupakan regional yang baru
kurang dari dua tahun memiliki kecenderungan berjalan selama dua tahun, dimana jumlah
untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat. karyawannya masih sedikit dan bentuk-bentuk
CMO yang masih tergolong karyawan baru pelanggaran masih kecil kemungkinannya
umumnya adalah para fresh graduate yang untuk terjadi.
seringkali masih terbawa dengan pergaulan
anak muda atau pergaulan lain di luar kantor.
Mereka masih terbawa untuk mengikuti gaya
hidup dan kebiasaan yang marak dilakukan di
lingkungan tersebut.

Gambar 4. Penyebaran respon subyek pada


faktor penyebab perilaku kontraproduktif

Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa


Gambar 3. Uji beda berdasarkan regional faktor ketidakadilan dalam organisasi yang
paling banyak direspon oleh para CMO.
48 ASTYA & SUMINTARDJA

Berdasarkan data jumlah respon tersebut kategori tinggi, yaitu dimensi absensi justru
dilakukanlah perhitungan uji beda dengan tidak berkorelasi dengan faktor penyebab
menggunakan Friedman Test dan menghasilkan perilaku kontraproduktif. Hal ini berarti dalam
nilai signifikansi 0.000. Hal ini berarti bahwa situasi apapun para CMO memiliki
terdapat perbedaan yang signifikan pada respon kecenderungan tinggi untuk terlibat dalam
CMO terhadap kelima faktor situasional perilaku terkait absensi. Para CMO memiliki
tersebut. kecenderungan yang tinggi untuk terlibat dalam
perilaku penyalahgunaan waktu dan sumber
Tabel 8. Mean Rank Faktor Penyebab Perilaku daya apabila berhadapan dengan situasi yang
Kontraproduktif terkait dengan karakteristik kelompok kerja,
Faktor Penyebab Mean Rank budaya organisasi, ketidakadilan dan
Sistem Kontrol 3.97 karakteristik pekerjaan.
Ketidakadilan Dalam Organisasi 3.87
Karakteristik Pekerjaan 2.73 Tabel 9. Korelasi antara Dimensi dan Faktor
Karakteristik Kelompok Kerja 2.34 Penyebab Perilaku Kontraproduktif
Dimensi Kate- Faktor Penyebab Perilaku Kontraproduktif
Budaya Organisasi 2.09 gori ST Peker- Kel. Budaya Siste Ketidak-
jaan kerja m adilan
Waktu Tinggi 0.285 0.190 0.262 0.252 0.110 0.247
Absensi Tinggi 0.008 -0.012 0.011 0.091 0.013 -0.019
Dilihat dari mean rank pada Tabel 8 di atas Perkataan Tinggi 0.264 0.161 0.116 0.226 0.097 0.300
Tdk aman Sedang 0.130 0.180 - 0.097 0.037 0.126
terlihat bahwa faktor sistem kontrol menempati 0.008
Kualitas Sedang 0.166 0.101 0.050 0.270 0.074 0.148
urutan pertama dan ketidakadilan menempati Informasi Sedang 0.115 0.021 0.126 0.117 0.083 0.098
Perusakan Sedang -0.003 -0.015 0.005 0.037 0.024 -0.027
urutan kedua. Selain sistem kontrol perlu Pencurian Sedang -0.022 0.062 - 0.047 - -0.036
0.011 0.109
dicermati juga faktor lain yang juga menonjol, Tindakan Rendah -0.140 -0.051 - -0.031 - -0.133
0.081 0.172
yaitu ketidakadilan dalam organisasi. Hal ini Alkohol Rendah -0.057 0.015 0.025 -0.010 - -0.072
0.126
menunjukkan bahwa ketidakadilan banyak Narkoba Rendah -0.071 0.073 -
0.015
-0.096 -
0.151
-0.077

dirasakan oleh para CMO. Ketidakadilan ini Keterangan :


Waktu = Penyalahgunaan waktu dan sumber daya; Perkataan =
bisa terkait kompensasi yang didapat oleh para Perkataan yang tidak pantas; Tdk aman = Perilaku tidak aman;
CMO maupun penerapan sistem reward- Kualitas = Kualitas kerja buruk; Perusakan = Perusakan
punishment yang dinilai tidak adil oleh para properti; Tindakan = Tindakan tidak pantas; Alkohol =
Penggunaan alkohol; Narkoba = Penyalahgunaan obat
CMO. Mengacu pada hasil perhitungan tersebut (Narkoba); ST = Skor total faktor penyebab; Pekerjaan =
dapat dikatakan bahwa faktor sistem kontrol Karakteristik pekerjaan; Kel. Kerja = Karakteristik kelompok
dan ketidakadilan dalam organisasi sama-sama kerja; Budaya = Budaya organisasi; Sistem = Sistem kontrol;
Ketidakadilan = Ketidakadilan dalam organisasi.
menjadi faktor penting untuk dicermati dalam
kaitannya dengan perilaku kontraproduktif para
Menurut Sackett & DeVore (2001), salah
CMO.
satu karakteristik pekerjaan yang dibahas adalah
Pada dimensi-dimensi yang masuk ke
wewenang dan otonomi untuk melakukan
dalam kategori kecenderungan tinggi terlihat
perencanaan dan penyelesaian tugas. Semakin
adanya korelasi dengan skor total faktor
besar keleluasaan para CMO untuk mengatur
penyebab perilaku kontraproduktif dan
pekerjaan mereka maka semakin tinggi pula
beberapa dimensi di dalamnya (lihat Tabel 9).
kecenderungan untuk menyalahgunakan waktu.
Namun pada salah satu dimensi yang masuk
Selain itu apabila para CMO secara umum
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 49

sering menyalahgunakan waktu dan tidak dalam bunyi itemnya, (berdasarkan kategorisasi
diberikan punishment dari atasan, maka para menggunakan persentil 33.3 dan 66.7) perilaku
CMO lain yang melihat hal tersebut akan yang paling banyak mendapat respon adalah
merasa bahwa penyalahgunaan waktu adalah ‘Menjalankan bisnis pribadi pada jam kerja’
hal yang boleh dilakukan sehingga (mean = 2.71), ‘Mengambil waktu makan siang
kecenderungan untuk melakukan hal tersebut atau coffee break lebih lama tanpa ijin’ (mean =
menjadi tinggi. Kemudian terkait dengan 2.57) dan ‘Membuang waktu ketika bekerja’
dimensi perkataan tidak pantas yang berkorelasi (mean = 1.96). Apabila dikaitkan dengan faktor
dengan faktor budaya organisasi dan penyebab yang berkorelasi dengan dimensi ini
ketidakadilan menunjukkan bahwa semakin maka faktor karakteristik pekerjaan CMO
besar ketidakadilan dan ketidakjujuran sebagai orang lapangan yang leluasa mengatur
manajemen yang dirasakan oleh CMO maka waktu penyelesaian tugas dapat menjelaskan
semakin tinggi pula kecenderungan mereka kondisi tersebut. Begitu juga dengan faktor
untuk berkata tidak pantas. Mereka cenderung karakteristik kelompok kerja yang berkorelasi
semakin terbuka untuk mengutarakan apa yang paling besar dengan dimensi ini, dimana
mereka rasakan dan pikirkan. kelekatan dan kekompakan para CMO untuk
Pada dimensi dengan kecenderungan melakukan pelangaran bersama-sama dan
sedang sebagian besar tidak berkorelasi dengan menutupi kesalahan satu sama lain. Selain itu
faktor-faktor penyebab perilaku kontra- penerapan rewards-punishment terhadap CMO
produktif. Hanya terdapat dua dimensi yang ini akan menjadi patokan bagi CMO lainnya.
berkorelasi dengan faktor penyebab, yaitu Apabila ada pelanggaran yang tidak mendapat
kualitas kerja buruk yang berkorelasi dengan konsekuensi maka CMO yang melihat hal
faktor budaya organisasi dan dimensi perilaku tersebut memiliki kecenderungan lebih tinggi
tidak aman yang berkorelasi dengan untuk melakukan pelanggaran itu juga.
karakteristik pekerjaan. Wewenang dan Pada dimensi absensi yang juga masuk
otonomi CMO sebagai pekerja lapangan dalam dalam kecenderungan tinggi, hasil penelitian
penyelesaian tugas menuntut mereka untuk menunjukkan bahwa para CMO memiliki
berpindah-pindah tempat dengan menggunakan kecenderungan tinggi untuk terlibat dalam
kendaraan. Semakin tinggi mobilitas para CMO perilaku terkait absensi dan relatif sama untuk
maka semakin besar pula kecenderungan semua rentang usia, masa kerja, level jabatan
mereka untuk terlibat dalam perilaku tidak dan regional penempatan kerja. Selain itu
aman. dimensi ini juga tidak berkorelasi dengan faktor
penyebab manapun. Hal ini menunjukkan
Diskusi bahwa dalam situasi apapun dan latar belakang
demografis apapun, CMO memiliki
Dari seluruh dimensi perilaku kecenderungan tinggi untuk terlibat absensi.
kontraproduktif, dimensi penyalahgunaan Dengan demikian kontrol perusahaan akan hal
waktu dan sumber daya memiliki tersebut perlu lebih diperhatikan.
kecenderungan paling tinggi untuk dilakukan Kemudian pada dimensi perkataan tidak
oleh para CMO. Jika dilihat secara detil ke pantas yang juga masuk dalam kecenderungan
50 ASTYA & SUMINTARDJA

tinggi, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
CMO yang lebih tua, khususnya berusia di atas Kemudian sistem lain yang terkait dengan
35 tahun memiliki kecenderungan paling tinggi insentif dan penerapan reward punishment,
untuk berkata tidak pantas. Hasil pengamatan di seringkali bila ada perubahan tidak
lapangan menunjukkan bahwa mereka memiliki tersampaikan dengan baik kepada para CMO.
gaya bicara yang memang terbuka, terdengar penerapan reward-punishment pun lebih banyak
seperti memaki, namun tidak kemudian menjadi pada pemberian sanksi daripada apresiasi.
hal yang negatif bagi mereka sendiri. Bagi Bentuk sistem kontrol lain terkait
mereka, gaya bicara seperti itu bukanlah pencegahan dan penanganan perilaku
merupakan suatu pelanggaran, sehingga dalam kontraproduktif adalah pelatihan. Menurut data
konteks perusahaan ini dimensi perkataan tidak pelaksanaan pelatihan dan silabus pelatihan
pantas bukan merupakan perilaku CMO yang dimiliki oleh departemen Learning
kontraproduktif. Center PT. OM, para CMO hanya mendapatkan
Pada dasarnya permasalahan perilaku pelatihan pada saat pertama kali bergabung di
kontraproduktif ini dapat diatasi dengan adanya PT. OM yaitu new employee orientation (NEO)
sistem kontrol dan evaluasi yang memadai. yang lebih banyak membahas mengenai alur
Tidak hanya untuk dimensi perilaku dengan bisnis perusahaan secara umum. Tidak pernah
kategori tinggi saja, melainkan juga pada ada pemberian materi mengenai hal terkait
dimensi yang masuk dalam kategori sedang. pekerjaan CMO seperti tantangan-tantangan
Pada dimensi perilaku tidak aman misalnya, sebagai CMO dan cara mengatasinya, peran
selama ini telah dijalankan kampanye safety CMO dalam perusahaan dan bagaimana
riding namun hingga saat ini tetap saja masih kontribusi dan dampak pekerjaan CMO bagi
ada pelanggaran terkait hal tersebut. Begitu juga departemen lain dan bagi perusahaan, ataupun
dengan dimensi penyalahgunaan informasi, bentuk-bemtuk refreshment training yang
kualitas kerja buruk dan pencurian yang ditujukan bagi CMO yang sudah bekerja selama
umumnya terjadi pada proses pengajuan bertahun-tahun.
dokumen kredit. Adanya kebijakan dan SOP Hasil perhitungan korelasi antara dimensi
mengenai penyelesaian tugas CMO serta dan faktor penyebab menunjukkan tidak adanya
mekanisme pemberian sanksi atas pelanggaran korelasi antara sistem kontrol dengan dimensi
masih membuka peluang bagi CMO untuk perilaku kontraproduktif. Namun respon dari
melakukan pelanggaran. partisipan menunjukkan bahwa masalah dalam
Sistem kontrol yang terkait dengan absensi sistem kontrol yang paling disadari dan
dan penyalahgunaan waktu pada dasarnya dirasakan oleh para CMO.
sudah dibuat, yaitu dengan memperbolehkan Apabila dikaitkan dengan konstruksi alat
mereka menggunakan kartu absen apabila tidak tes faktor penyebab perilaku kontraproduktif,
dapat melakukan absen fingerprint untuk alasan pilihan respon ada dua, yaitu “Ya” dan “Tidak”.
pekerjaan. Namun pada kenyataannya kartu Hal ini menyebabkan respon subyek menjadi
absen tersebut dapat dimanipulasi oleh CMO. homogen dan menghasilkan varians skor yang
Perusahaan belum melakukan evaluasi terhadap kecil. Apabila varians skor kecil maka akan
sistem absen tersebut apakah masih efektif atau sulit dikorelasikan dengan variabel lain.
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 51

Banyaknya partisipan yang memberi skor 1 Faktor sistem kontrol dan ketidakadilan
pada faktor sistem kontrol mengakibatkan dalam organisasi menjadi faktor yang perlu
kecilnya varians skor pada faktor tersebut yang diperhatikan terkait upaya pencegahan dan
kemungkinan menyebabkan tidak munculnya penanganan perilaku kontraproduktif CMO.
korelasi antara faktor sistem kontrol dengan untuk itu rencana penanganan masalah
dimensi perilaku kontraproduktif yang skornya sebaiknya difokuskan pada evaluasi sistem
lebih bervariasi. Hal ini yang kemudian menjadi kontrol dan kebijakan yang ada, terkait dengan
salah satu limitasi dalam penelitian ini. sistem reward-punishment dan hal-hal yang
Selain itu terdapat juga limitasi dalam mengatur perilaku kerja para CMO.
kajian mengenai kecenderungan perilaku
kontraproduktif berdasarkan regional kerja.
Pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa Implikasi
regional Sumbagsel, Sumbagut, Jawa Barat dan Fokus pembahasan mengenai perilaku
Jawa Timur memiliki kecenderungan lebih kontraproduktif tentunya berbeda pada tiap
tinggi dibanding regional lain untuk terlibat perusahaan, tergantung pada jenis usaha dan
dalam sejumlah perilaku kontraproduktif. Oleh kondisi kerja di perusahaan tersebut. Upaya
karena hasil perhitungan tidak dilanjutkan pencegahan atau minimalisasi terjadinya
dengan wawancara untuk mengkonfirmasi hal perilaku kontraproduktif merupakan salah satu
tersebut sehingga tidak banyak yang bisa bidang kerja dari para psikolog bidang industri
dijelaskan mengenai fenomena ini. Namun dan organisasi. Para praktisi di bidang ini dapat
demikian hal ini tetap dapat menjadi informasi memanfaatkan hasil penelitian untuk
penting untuk dicermati oleh perusahaan. melakukan kajian lebih dalam dan
mengembangkan program perbaikan bagi
perusahaan yang berupaya meminimalisasi
Kesimpulan dan Saran perilaku kontraproduktif. Program
pengembangan salah satunya dapat berbentuk
Kesimpulan pelatihan, coaching, pendampingan pada
Para CMO memiliki kecenderungan tinggi karyawan yang melakukan perilaku
untuk terlibat dalam penyalahgunaan waktu dan kontraproduktif, maupun perubahan pada sistem
sumber daya, absensi dan perkataan tidak yang ada di perusahaan. Para praktisi juga dapat
pantas. Mereka juga memiliki kecenderungan memanfaatkan hasil penelitian ini dalam proses
taraf sedang untuk terlibat dalam perilaku tidak asesmen untuk mencari calon karyawan atau
aman, penyalahgunaan informasi, kualitas kerja pengembangan SDM di perusahaan. Khususnya
buruk, perusakan properti dan pencurian. Dari pencarian karyawan yang memiliki
semua partisipan di semua regional, terlihat kecenderungan rendah untuk berperilaku
bahwa CMO di regional Sumbagsel, Sumbagut, kontraproduktif sesuai dengan jenis usaha
Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki perusahaannya. Dalam hal ini pengetahuan
kecenderungan lebih tinggi untuk terlibat pada mengenai dimensi-dimensi perilaku
sejumlah perilaku kontraproduktif dibanding kontraproduktif dapat dikaitkan dengan aspek
CMO di regional lainnya. potensi dan kompetensi yang ingin digali dalam
52 ASTYA & SUMINTARDJA

proses asesmen. dan Jawa Tengah, mengingat regional


tersebut cukup sering muncul di peringkat
Saran atas untuk beberapa dimensi perilaku
Bagi penelitian selanjutnya, terdapat kontraproduktif.
beberapa saran terkait metode yang dapat 4. Apabila nantinya rancangan intervensi dapat
dilakukan, yaitu: dilakukan, pihak HRD maupun divisi
1. Pada penelitian yang bertujuan untuk marketing perlu terlibat dalam mengawasi
mengukur faktor-faktor penyebab perilaku penerapan intervensi tersebut.
kontraproduktif, peneliti dapat menyusun
alat ukur dengan menggunakan pilihan Referensi
respon berupa skala kontinum. Dengan
demikian varians skor responden lebih besar
Altheide, D. L., Adler, P. A., Adler, P. &
dan lebih terlihat dalam perhitungan korelasi.
Altheide, D. A. (1978). The social meaning
2. Peneliti juga dapat menambahkan metode
of employee theft. In J. M. Johnson and J.
pengambilan data dengan menggunakan
D. Douglas (Eds.), Crime at the Top (pp.
wawancara untuk memperkaya data yang
90-124). Philadelphia: Lippincott.
terkait dengan kecenderungan perilaku
Bensman, J. & Gerver, J. (1963). Crime and
kontraproduktif di regional-regional tertentu
punishment in the factory: The function of
(misalnya, Sumbagsel, Sumbagut, Jawa
deviancy in maintaining the social system.
Barat dan Jawa Timur).
American Sociological Review, 28, 588-
598.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat
Gruys, M., & Sackett, P. (2003). Investigating
pula beberapa saran yang dapat dilakukan oleh
the Dimensionality of Counterproductive
perusahaan untuk menangani permasalahan
Work Behavior. International Journal of
perilaku kontraproduktif CMO, yaitu:
Selection and Assessment, 11(1).
1. Perusahaan dapat lebih memperhatikan
doi:10.1111/1468-2389.00224.
perilaku kerja para CMO khususnya yang
Gruys, M. L. (1999). The dimensionality of
terkait dengan penyalahgunaan waktu dan
deviant employee behavior in the
sumber daya, absensi, penyalahgunaan
workplace. Unpublished doctoral
informasi, kualitas kerja, pencurian dan
disertation, University of Minnesota,
perusakan properti.
Minneapolis, MN.
2. Perusahaan dapat mengkaji atau
Henry, S. (1978a). The hidden economy: The
mengevaluasi penerapan sistem kontrol dan
context and control of borderline crime.
sistem reward-punishment yang berlaku bagi
London: Martin Robertson.
CMO.
Henry, S. (1978b). Crime at work: The social
3. Perusahaan dapat lebih memperhatikan
construction of amateur property theft.
penerapan kebijakan, melakukan
Sociology, 12, 245-263.
pengawasan perilaku kerja dan pemantauan
Hollinger, R. C., & Clark, J. P. (1983a).
performa kerja untuk divisi marketing di
Deterrence in the workplace: Perceived
regional Sumbagsel, Sumbagut, Jawa Timur
certainty, perceived severity and employee
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF 53

theft. Social Forces, 62, 398-418.


Hollinger, R. C., & Clark, J. P. (1983b). Theft
by employees. Lexington, MA: Heath.
Horning, D.N.M. (1970). Blue collar theft:
Conceptions of property, attitudes toward
pilfering, and work group norms in a
modern industrial plant. In E.O. Smigel
and H.L. Ross (Eds.), Crimes against
bureaucracy (pp. 46-64). Ney York: Van
Nostrand Reinhold.
Robin, G. D. (1970). The corporate and judicial
disposition of employee thieves. In E.O.
Smigel and H.L. Ross (Eds.), Crimes
against bureaucracy (pp. 119-142). Ney
York: Van Nostrand Reinhold.
Robinson, S. L., & Greenberg, J. (1998).
Employees behaving badly; Dimensions,
determinants and dilemmas in the study of
workplace deviance. In C. L. Cooper & D.
M. Rousseau (Eds.), Trends in
Organizational Behavior (pp.1-30). New
York: John Wiley & Sons.
Roy, D. (1952). Quota restriction and
goldbricking in a machine shop. American
Journal of Sociology, 57, 427-442.
Sackett & DeVore. (2001). Counterproductive
behavior at work. In N. Anderson, D. S.
Ones, H. K. Sinangil, & C. Viswesvaran,
(Eds.), Handbook of industrial, work &
organizational psychology. London: SAGE
Publications Ltd.
Spector, P. E. (2008). Industrial and
organizational psychology: Research and
practice (5th ed.). New York: John Wiley
& Sons.
Taylor, L. & Walton, P. (1971). Industrial
sabotage: Motives and meanings. In S.
Cohen (Ed.), Images of deviance (pp. 219-
245). London: Penguin.
JPIO ISSN 2302-8440
54
2016, Vol. 3, No. 1, 54-68
GOZALI & PANGGABEAN

Gambaran Kontrak Psikologis Pada Instruktur di


Yayasan B

Vincentia A. Stephanie Gozali & Hana Panggabean


Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

This study was conducted to evaluate the psychological contract of


training instructors in B Foundation. The construct of interest was
psychological contract, which is an individual's faith in the shared
obligation between the company and the employee. The research method
used in this study was mixed-method explanatory sequential, in which
both quantitative and qualitative approach were used. Quantitative data
were collected using the Psychological Contract Scale (PCS)
questionnaire, and analyzed using the Kruskal-Wallis and Mann-Whitney
test. Qualitative data were collected through semi-structured interview,
and analyzed using thematic analysis. The sampling technique used in this
study was criterion sampling method, where all participants have led at
least two trainings. Results showed that the training instructors had
moderate level of psychological contract, and the majority of participants
had balanced type; followed by transactional, relational, and transitional
psychological contract. Other findings suggest that work system
standardization and socialization may had significant impact on
psychological contract.

Keywords: psychological contract, types of psychological contract,


psychological contract scale

Yayasan B didirikan oleh salah satu pendiri berharap, dengan dikembangkannya


Grup A untuk membantu meningkatkan subkontraktor tersebut, maka proses akhir dari
keterampilan teknik, manajemen, pemasaran, seluruh proses bisnis manufaktur akan memiliki
pembiayaan, dan teknologi informasi Usaha kualitas yang sesuai dengan Grup A. Oleh
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) karena itu, Yayasan B dibangun untuk dapat
binaannya. Grup A yang mayoritas unit memberikan pelatihan dan pendampingan pada
bisnisnya bergerak di bidang manufaktur UMKM hingga berada pada tingkat kualitas
mendirikan Yayasan B sebagai wadah untuk yang baik.
mengembangkan subkontraktor-subkontraktor Yayasan B memiliki empat program untuk
yang berada di dalam proses bisnis di dalam melakukan pengembangan atas UMKM yang
masing-masing perusahaan Grup A. Grup A tergabung di dalamnya, yaitu pelatihan,

54
KONTRAK PSIKOLOGIS 55

pendampingan, fasilitasi pasar dan fasilitasi B baik mengenai kontrak kerja ataupun
pembiayaan. Pelatihan dan pendampingan peraturan perusahaan yang berlaku. Hubungan
merupakan ujung tombak pelayanan Yayasan B antara instruktur dengan Yayasan B hanyalah
pada UMKM. Untuk dapat menjalankan sebatas hubungan kemitraan. Hal ini kemudian
pelatihan UMKM, Yayasan B membutuhkan menimbulkan pengambilan keputusan sepihak
kehadiran instruktur pelatihan yang sesuai. dari Yayasan B apabila ada instruktur yang
Instruktur pelatihan merupakan orang yang dianggap bermasalah. Permasalahan terkait
memberikan pelatihan kepada para peserta atau instruktur yang muncul antara lain
yang biasa disebut trainer. permasalahan etis dan kinerja.
Yayasan B melakukan pendekatan informal Masalah etis yang muncul pada Yayasan B
kepada karyawan ataupun mantan karyawan ini yaitu instruktur membuka jasa pelatihan
dari Grup A untuk diajak menjadi instruktur di pribadi dengan topik yang sama, tarif yang
Yayasan B. Instruktur pelatihan di Yayasan B lebih mahal dan mengatasnamakan Yayasan B
ini masing-masing sudah memiliki keahlian di lalu menawarkannya kepada peserta pelatihan
setiap bidang pelatihan tersebut. Keahlian saat yang bersangkutan sedang memberikan
masing-masing instruktur ini pula yang pelatihan untuk Yayasan B. Tidak hanya
membuat mereka menjadi prioritas sebagai membuka jasa pelatihan pribadi, ada juga
instruktur pada pelatihan tertentu. Proses instruktur yang mencari pekerjaan di tempat
informal yang dilakukan Yayasan B untuk lain dengan mengatasnamakan Yayasan B.
karyawan aktif dengan cara mendatangi anak Selain masalah etis, adapun permasalahan
perusahaan Grup A yang dirasa memiliki terkait kinerja instruktur, yaitu mengenai cara
karyawan potensial dari segi kompetensi materi penyampaian materi dirasakan kurang menarik
untuk diberikan kepada UMKM binaan ataupun dan kurang dapat membantu peserta memahami
mendekati pimpinan yang ada di anak materi tersebut. Tidak hanya itu, terkadang
perusahaan tersebut untuk kemudian meminta materi yang diberikan oleh instruktur juga
mereka mengajukan karyawannya yang bisa dirasa kurang up to date. Kedua permasalahan
menjadi instruktur di Yayasan B. Sedangkan ini menimbulkan kerugian bagi Yayasan B
untuk pasca karyawan, Yayasan B akan terutama terkait nama baik dan penilaian akan
menawarkan kesempatan menjadi instruktur pelayanan yang diberikan oleh Yayasan B
kepada salah satu lembaga yang menaungi para (komunikasi pribadi, 11 Agustus 2015).
karyawan pensiunan tersebut. Ataupun Permasalahan etis dan kinerja dari instruktur
mendekati karyawan yang sudah pensiun ini tentu berakibat bagi Yayasan B dan
tersebut untuk ditawarkan menjadi instruktur. instruktur yang bersangkutan. Akibat yang
Keberadaan instruktur di Yayasan B muncul yaitu dinonaktifkannya instruktur yang
merupakan hal yang sangat penting karena memiliki masalah etis karena dianggap telah
instruktur tersebut merupakan aset utama melakukan pelanggaran oleh Yayasan B. Hal ini
perusahaan. Terkait dengan keberadaan dan tentu menyebabkan berkurangnya sumber daya
pentingnya peran instruktur di Yayasan B, yang dimiliki oleh Yayasan B (Komunikasi
sejauh ini belum terdapat peraturan ataupun pribadi, 11 Agustus 2015). Pemutusan
kesepakatan antara instruktur dengan Yayasan hubungan kemitraan ini tidak hanya berakibat
56 GOZALI & PANGGABEAN

pada instruktur yang bersangkutan dan Yayasan contract merupakan persepsi pada kedua belah
B. Menurut Nadin dan Williams (2012), pihak terhadap hubungan kerja mengenai
beberapa jenis pelanggaran yang terjadi seperti perjanjian dan kewajiban yang timbal balik.
pemberhentian tanpa pemberitahuan dan Jadi kontrak psikologis merupakan kontrak
penolakan pengerjaan tugas dapat berimbas tidak tertulis terkait harapan karyawan dan
pada pelaku, perusahaan serta karyawan atasan mengenai hubungan timbal balik yang
lainnya. Adanya pemutusan hubungan kerja terjalin.
secara tiba-tiba dapat berpengaruh pada Menurut Sims (dalam Cross, Barry dan
instruktur yang masih bertahan di Yayasan B. Garavan, 2009), adanya kontrak psikologi yang
Sejauh ini, Yayasan B merupakan pihak seimbang antara karyawan dan perusahaan akan
yang membutuhkan jasa para instruktur tersebut menciptakan hubungan yang harmonis dan
dan hubungan kemitraan yang dijalin masih berkelanjutan bagi kedua belah pihak tersebut.
bersifat informal terutama jika dilihat dari Cross, Barry dan Garavan (2009) menyatakan
proses perekrutan yang dilakukan. Proses bahwa psychological contract berperan dalam
informal antara Yayasan B dan instruktur ini kepuasan kerja dan hubungan karyawan untuk
pula yang membuat Yayasan B tidak dapat menentukan pengaruhnya pada faktor lainnya
menentukan peraturan atau sanksi bagi para seperti pekerjaan dan karakteristik organisasi.
instruktur yang ada. Maka dari itu pihak Psychological contract juga dapat mengurangi
Yayasan B hanya dapat mengandalkan ketidakpastian yang dirasakan oleh individu
hubungan timbal balik yang terbentuk dengan dengan menyetujui kondisi kerja yang
instruktur. Perilaku instruktur tersebut membuat disepakati bersama (Djlantik dan Soetjipto,
Yayasan B merasa dirugikan dan kesulitan 2006). Menurut Shore dan Tetrick dalam
dalam mencapai tujuan organisasinya. Perilaku Santosa (2004), manfaat lain yang diperoleh
instruktur yang dianggap tidak sesuai dengan dari psychological contract yaitu mengarahkan
harapan dari Yayasan B mengindikasikan perilaku karyawan tanpa menuntut pengamatan
bahwa hubungan timbal balik antara kedua dari atasan dan membuat karyawan merasa
belah pihak tersebut belum terjalin dengan baik. dapat menentukan nasibnya serta mampu
Dalam konteks Psikologi Industri dan memilih tanggung jawabnya di organisasi sejak
Organisasi, hubungan timbal balik antara mereka memiliki kontrak tersebut.
instruktur dengan Yayasan B terkait dengan Terdapat empat tipe kontrak psikologis
permasalahan etis dan kinerja instruktur yang yaitu transaksional, transisional, relasional dan
belum maksimal serta tidak adanya ikatan balance (Tanchaisak, 2005). Tipe transaksional
tertulis antara instruktur dengan Yayasan B berfokus pada faktor pertukaran ekonomi yang
dapat disebut dengan psychological contract. diterima oleh karyawan dari perusahaan,
Psychological contract merupakan suatu keterkaitan karyawan dalam organisasi pun
kontrak informal tidak tertulis yang terdiri dari rendah. Tipe transisional merupakan tahap
ekspektasi karyawan dan atasan mengenai kognitif yang merefleksikan konsekuensi dari
hubungan kerja yang bersifat timbal balik perubahan organisasi dan transisi yang tidak
(Djlantik dan Soetjipto, 2006). Adapun menurut jelas dengan adanya pengaturan hubungan kerja
Guest, dalam Latornell (2009), psychological sebelumnya. Tipe relasional merupakan
KONTRAK PSIKOLOGIS 57

hubungan yang berdasarkan kesetaraan Kontrak Psikologis


keyakinan dan loyalitas, hubungan yang
dikembangkan berdasarkan stabilitas jangka
Psychological contract atau kontrak
panjang. Tipe terakhir yaitu balance merupakan
psikologi merupakan suatu kontrak informal
tipe hubungan yang dinamis antara perusahaan
tidak tertulis yang terdiri dari ekspektasi
dan karyawan, adanya kesempatan karyawan
karyawan dan atasan mengenai hubungan kerja
untuk mengembangkan karirnya di perusahaan
yang bersifat timbal balik (Djlantik dan
tersebut dan perusahaan juga memberikan
Soetjipto, 2006). Menurut Rousseau (dalam
kesempatan itu.
Latornell, 2009), psychological contract
Yayasan B sendiri berharap hubungan yang
merupakan keyakinan individu bahwa terdapat
dibentuk dengan instruktur merupakan
suatu perjanjian yang dibuat dan ditawarkan
hubungan jangka panjang yang dilandaskan
oleh masing-masing pihak serta mengikat
pada rasa percaya satu dengan yang lainnya.
masing-masing pihak pada kewajiban yang
Instruktur juga diharapkan memberikan hasil
bersifat timbal balik. Kontrak psikologi muncul
yang optimal ketika memberikan pelatihan dan
ketika karyawan meyakini bahwa kewajiban
pendampingan kepada UMKM. Harapan
perusahaan pada karyawan akan sebanding
Yayasan B ini sesuai dengan psychological
dengan kewajiban yang diberikan karyawan
contract tipe relasional. Tetapi pada
kepada perusahaan.
kenyataannya, hubungan yang terbentuk saat ini
Guest (dalam Latornell, 2009) mengatakan
masih belum optimal dan belum mengarah pada
bahwa psychological contract melibatkan
tipe relasional seperti yang diharapkan oleh
persepsi kedua belah pihak terhadap hubungan
Yayasan B. Maka dari itu dibutuhkan pemetaan
kerja mengenai perjanjian serta kewajiban
tipologi untuk kemudian digunakan dalam
timbal balik. Menurut Armstrong (2009),
menyusun program pengembangan terhadap
psychological contract merupakan kontrak
instruktur.
informal tidak tertulis, terdiri dari harapan
Berdasarkan hal yang sudah dipaparkan
karyawan dan atasannya mengenai hubungan
sebelumnya, muncul indikasi bahwa kontrak
kerja yang bersifat timbal balik. Artinya kontrak
psikologis antara Yayasan B dengan instruktur
psikologis muncul ketika karyawan meyakini
dirasakan masih belum optimal. Dengan kondisi
bahwa kewajiban perusahaan pada karyawan
seperti ini, untuk dapat mendukung hubungan
akan sebanding dengan kewajiban yang
timbal balik antara Yayasan B dan instruktur
diberikan karyawan kepada perusahaan.
maka peneliti ingin mengetahui gambaran tipe
Menurut Rousseau, kontrak psikologis
kontrak psikologis yang ada sehingga dapat
memiliki empat tipe yaitu transaksional,
digunakan untuk pengelolaan pengembangan
transisional, relasional dan balance
instruktur sesuai dengan kondisi yang ada.
(Tanchaisak, 2005). Keempat tipe tersebut
Pengelolaan pengembangan ini dapat
dapat ditampilkan sebagai berikut (lihat Gambar
didasarkan pada tipologi psychological contract
1).
yang terbentuk antara Yayasan B dengan
instruktur.
58 GOZALI & PANGGABEAN

kontrak psikologis yang terbentuk pada


karyawannya adalah tipe transisional.
Tipe ketiga yaitu relasional merupakan
hubungan kerja jangka panjang yang didasarkan
pada kesetaraan rasa percaya dan loyalitas.
Imbal jasa yang diberikan kepada karyawan
tergantung pada keanggotaan dan partisipasinya
dalam organisasi. Pada tipe ini, karyawan
memiliki kemauan dan berusaha sendiri dalam
mengembangkan dirinya untuk dapat terus
mendukung perusahaan. Muncul harapan
adanya timbal balik emosional dengan
perusahan. Karyawan diwajibkan untuk
melakukan segala hal demi mendukung
perusahaan dan perusahaan pun berkomitmen
Gambar 1. Tipe kontrak psikologis (Rousseau, untuk menawarkan upah yang stabil dan
1995) hubungan kerja jangka panjang kepada
karyawannya. Contoh hubungan seperti ini
Berdasarkan keempat tipe tersebut, tipe
pertama yaitu transaksional merupakan yaitu pada karyawan di perusahaan keluarga.
Tipe terakhir yaitu balance yang merupakan
hubungan kerja yang dibangun untuk jangka
hubungan yang seimbang antara perusahaan dan
waktu yang singkat dan terbatas pada tuntutan
karyawan, tergantung pada kondisi kesuksesan
kerja yang spesifik, berfokus pada pertukaran
ekonomi. Perusahaan mengharapkan karyawan ekonomi organisasi dan kesempatan karyawan
untuk mengembangkan karyawannya. Dalam
bekerja dengan baik dan produktif sesuai
hubungan ini perusahaan dan karyawan sama-
dengan tuntutan dan upah yang diberikan. Pada
sama berkontribusi dalam proses pembelajaran
tipe ini pengembangan terhadap karyawan
serta pengembangan masing-masing pihak.
sangat minim bahkan tidak ada. Kontrak tipe ini
Upah yang diberikan pada karyawan tergantung
biasanya muncul pada agen asuransi atau
pada performa dan kontribusinya terhadap
karyawan yang bekerja pada musim tertentu.
keunggulan organisasi. Perusahaan
Tipe kedua, transisional merupakan tahap
kognitif yang merefleksikan konsekuensi dari berkomitmen untuk meningkatkan hubungan
jangka panjang dan mendukung peningkatan
perubahan organisasi atau transisi yang tidak
kemampuan karyawan dengan membuka
jelas dengan adanya pengaturan hubungan kerja
peluang pengembangan karier. Contoh kontrak
sebelumnya. Kontrak psikologis tipe ini
biasanya terdapat pada perusahaan yang psikologis tipe ini yaitu pada kelompok kerja
yang membutuhkan keterkaitan yang kuat antar
mengalami akuisisi atau merger. Keadaan
anggota.
perusahaan yang tidak stabil akibat perubahan
Menurut Shore dan Tetrick (1994), kontrak
yang terjadi dapat menyebabkan kebingungan
bagi karyawannya sehingga bisa membuat psikologis dapat memberikan manfaat bagi
hubungan yang terjalin antara karyawan dengan
KONTRAK PSIKOLOGIS 59

perusahaan. Kontrak psikologis dapat yang ada di Yayasan B. Penelitian ini


mengurangi ketidakpastian individu dengan menggunakan mixed method explanatory
membangun kesepakatan berdasarkan kondisi sequential design yaitu dengan pendekatan
pekerjaan. Walaupun sudah memiliki kontrak kuantitatif dan kualitatif dalam pengumpulan
tertulis yang jelas, namun masih datanya. Pengumpulan data kuantitatif
memungkinkan kontrak tersebut tidak akan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
berhasil pada setiap pekerjaan. Maka dari itu gambaran psychological contract yang dimiliki
kontrak psikologis berfungsi untuk oleh instruktur di Yayasan B. Setelah data
menjembatani kesepakatan tersebut. Kontrak kuantitatif didapatkan, pengumpulan data
psikologis juga dapat mengontrol perilaku kualitatif kemudian digunakan untuk
karyawan tanpa pengawasan dari atasan memperdalam informasi mengenai
sehingga membantu perusahaan membentuk psychological contract dari instruktur di
karyawan yang bertanggungjawab. Terakhir, Yayasan B sebagai dasar untuk interpretasi
kontrak psikologis membantu karyawan merasa hasil. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan
bahwa mereka mampu mempengaruhi nasib melakukan wawancara kepada partisipan
mereka di perusahaan akrena mereka penelitian yang sudah ditentukan. Kedua
merupakan bagian dari kontrak yang ada, pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan
menyetujui persyaratan yang berlaku dan juga gambaran psychological contract intrstuktur di
karena mereka bisa memilih untuk Yayasan B secara menyeluruh.
melaksanakan kewajiban mereka atau tidak.
Apabila kontrak psikologis sudah terjalin Metode Kuantitatif
dengan tepat antara karyawan dan perusahaan, Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
maka perusahaan dapat memperoleh manfaat ini yaitu Psychological Contract Scale yang
yang sesuai dan dapat membantunya mencapai dikembangkan oleh Kumar (2012). Alat ukur
tujuan organisasi secara lebih maksimal. ini sebelumnya sudah diadaptasi dalam Bahasa
Menurut Hardiyanto (dalam Charisma, Indonesia oleh Kristiani, Ginanjar, Sari dan
Nukman, dan Widrayini, n.d.), implementasi Soeryantoputri (2012). Kuesioner PCS ini
kontrak psikologis secara efektif dapat terdiri dari 40 item yang mewakili keempat tipe
membantu menghasilkan sumber daya yang yang ada yaitu transaksional, transisional,
handal dan mempunyai komitmen tinggi agar relasional dan balance. PCS menggunakan
dapat meningkatkan intensitas kerja karyawan skala likert untuk pilihan jawaban dengan
menuju yang lebih baik. rentang 1-6 yaitu sangat tidak setuju sampai
sangat setuju.
Dalam penelitian kali ini, peneliti
Metode melakukan uji coba kembali untuk alat ukur ini.
Terdapat beberapa penyesuaian item sebelum
Penelitian ini tergolong descriptive dan dilakukan uji coba dan saat pengambilan data.
applied research, yang mana hasil dari Hal ini terkait dengan konteks pekerjaan
penelitian ini akan dijadikan acuan untuk instruktur yang menjadi partisipan dalam
menentukan program pengelolaan instruktur penelitian ini. Berikut ini paparan lengkap
60 GOZALI & PANGGABEAN

terkait penyesuain alat ukur dalam penelitian dilakukan, proses pengambilan data kemudian
ini: dilakukan. Penentuan partisipan untuk
1. Proses penyesuaian item didasarkan pada penelitian ini menggunakan metode criterion
konteks kerja partisipan dan pengubahan sampling dimana penentuan sampel didasarkan
beberapa item unfavorable menjadi pada kriteria tertentu sesuai dengan kebutuhan
favorable karena jumlah item tersebut tidak penelitian (Poerwandari, 2001). Kriteria
sebanding tersebut adalah instruktur di Yayasan B yang
2. Setelah proses penyusunan item selesai dan sudah pernah memberikan
peneliti mendapatkan persetujuan pelatihan/pendampingan minimal dua kali.
pelaksanaan uji coba, maka uji coba Proses pengambilan data dilakukan melalui
dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kuesioner online yang disebar melalui pihak
Psychological Contract Scale versi online. Yayasan B. Teknik analisis data kuantitatif
3. Uji coba alat ukur diberikan kepada siapa menggunakan statistik deskriptif. Perhitungan
saja yang berprofesi sebagai trainer lepas. uji beda untuk data demografi menggunakan
Hasil uji coba ini terkumpul 30 data yang Kruskal-Wallis Test dan Mann-Whitney Test.
kemudian dilakukan analisis item dengan Untuk perbandingan tipe kontrak psikologis
menggunakan uji item discrimination digunakan metode transformasi sehingga
dengan cara menghitung korelasi Pearson diketahui tipe mana yang lebih dominan.
dengan corrected item total correlation.
Menurut Thorndike & Thorndike-Christ Tabel 1. Rekapitulasi Item
(2010), batas korelas minimum item yaitu Nomor Item Jumlah
Total
Item
0.3. Berdasarkan hasil perhitungan yang Jumlah Item
Domain yang
Favorable Unfavorable Item yang
dilakukan, terdapat 15 item yang tidak tidak
Lolos
lolos
memenuhi standar minimum 0.3. Terdapat 9
6, 12, 16,
9, 14, 17, 19,
item yang dibuang dan 6 item yang direvisi Relational 20, 21, 28, 15 3 12
27, 30, 36
34, 39
kemudian digunakan untuk pengambilan
Transacti 2, 22, 29,
1, 3, 5, 23 8 4 7
data. Item bernilai 0.2-0.29 dilakukan revisi onal 37
sehingga dapat digunakan untuk penelitian 4, 7, 8, 10,
Balanced 25, 26, 32, 18, 33 10 3 8
ini. Hasil akhir item setelah uji validats dan 35
revisi untuk penelitian ini adalah 31 item Transiti 13, 24, 31,
11, 15, 40 7 4 4
onal 38
(lihat Tabel 1).
4. Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat
konsistensi alat ukur. Menurut Nunnally dan
Menurut Urbina (2007), within group norm
Bernstein (1994), nilai batas koefisien alpha
merupakan norma yang digunakan untuk
uang digunakan yaitu 0.7. Hasil perhitungan
membandingkan individu dalam suatu
reliabilitas dalam penelitian ini yaitu 0.887.
kelompok. Data kelompok tersebut harus
Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan
terdistribusi normal dan representatif terhadap
reliabilitas alat ukur ini sudah memenuhi
populasi. Penelitian ini merupakan penelitian
kriteria reliabilitas yang baik.
populatif sehingga data yang digunakan
Setelah uji validitas dan reliabilitas selesai
merupakan data populasi yang representatif dan
KONTRAK PSIKOLOGIS 61

terdistribusi normal. Maka dari itu, penggunaan pendampingan yang diberikan oleh Yayasan B
within group norms dalam penentuan kategori yang memang banyak terkait dengan bdiang
untuk penelitian ini sudah memadai. manufaktur sesuai bisnis unit yang banyak
dimiliki oleh Grup A sebagai perusahaan induk
Metode Kualitatif dari Yayasan B. bidang kerja manufaktur
Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam sendiri banyak didominasi oleh laki-laki. Maka
penelitian ini menggunakan metode wawancara dari itu jumlah partisipan laik-laki yang lebih
untuk mendapatkan gambaran kontrak banyak dalam penelitian ini dapat dikaitkan dan
psikologis dari instruktur di Yayasan B secara terpengaruh dari unit bisnis manufaktur
lebih mendalam melalui aspek-aspek yang tersebut.
digali di dalamnya. Panduan wawancara yang
digunakan untuk penelitain ini diadaptasi dari Tabel 2. Data Demografis Partisipan
Cross, Barry dan Garavan (2009). Data Demografi Frekuensi
Proses adaptasi panduan wawancara ini Laki-laki 10
Jenis kelamin
melalui proses penerjemahan ke dalam Bahasa Perempuan 1
Indonesia kemudian diterjemahkan kembali ke 20-39 tahun 4
Usia 40-59 tahun 6
Bahasa Inggris yang dilakukan oleh tenaga ahli.
>60 tahun 1
Setelah tahap tersebut selesai, barulah panduan
<1 tahun 1
wawancara ini dapat digunakan pada partisipan Lama
1-3 tahun 7
penelitian yang dipilih sesuai kriteria dengan bergabung
>3 tahun 3
menggunakan metode maximum variation Status Pasca karyawan 4
sampling. Pelaksanaan wawancara ini dilakukan karyawan Karyawan aktif 7
setelah pengambilan data kuesioner. Metode
analisis kualitatif dalam penelitian ini Usia partisipan penelitian ini juga cukup
menggunakan tematik analisis untuk melihat beragam mulai dari 26 tahun sampai dengan 62
tema yang muncul dan berhubungan dengan tahun. Partisipan berdasarkan status karyawan
penelitian ini. lebih didominasi oleh instruktur dari kelompok
karyawan aktif yaitu 7 orang dan 4 lainnya dari
Hasil kelompok pasca karyawan.
Variasi data demografi lainnya terdapat
Gambaran Umum Partisipan Penelitian pada lama bergabung instruktur di Yayasan B.
Partisipan penelitian ini terdiri dari 11 Mulai dari 6 bulan hingga yang paling lama
instruktur di Yayasan B. Berikut ini gambaran yaitu 5 tahun. Berdasarkan lama bergabung,
data demografis partisipan penelitian (lihat terlihat paling banyak partisipan berada pada
Tabel 2). kelompok 1-3 tahun. Berikut ini tabel frekuensi
Berdasarkan data yang ada, terlihat bahwa serta lama bergabung instruktur (lihat Tabel 3).
sebagian besar partisipan penelitian ini berjenis
kelamin laki-laki dan hanya satu orang
partisipan perempuan. Hal ini mungkin saja
dipengarui oleh jenis pelatihan dan
62 GOZALI & PANGGABEAN

Tabel 3. Lama Bergabung dan Frekuensi Yayasan B untuk dapat meningkatkan


No Lama Bergabung Frekuensi Persentase persentase pada kategori tinggi serta sedang
1. <1 tahun 1 9%
untuk kontrak psikologis dari para instruktur
2. 1-3 tahun 7 64%
agar dapat memberikan kinerja yang maksimal.
3. >3 tahun 3 27%

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan


Gambaran Umum Kontrak Psikologis
pada masing-masing tipe kontrak psikologis,
Partisipan
didapatkan gambaran umum tipe kontrak
psikologis yang terbentuk pada instruktur di
Berdasarkan hasil yang didapat, nilai
Yayasan B. Berikut gambaran tersebut
terendah yang dimiliki oleh partisipan yaitu 94
dan nilai tertinggi 172. Skor rata-rata untuk 11
Gambaran Perbandingan Antar Tipologi
partisipan penelitian ini yaitu 140.55 yang
Kontrak Psikologis Partisipan
menunjukkan kontrak psikologis berada pada
kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
instruktur memiliki keyakinan bahwa kewajiban
Yayasan B pada instruktur dinilai sebanding
dengan yang diberikan instruktur kepada
Yayasan B.

Tabel 4. Gambaran kontrak psikologis instruktur


Yayasan B
No Kategori Percentile Frekuensi Persentase
1. Tinggi ≥148 4 orang 36%
2. Sedang 129-147 3 orang 28% Gambar 2. Perbandingan kontrak psikologis antar
3. Rendah ≤128 4 orang 36% tipologi

Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa tipe


Gambaran kontrak psikologis pada kontrak psikologis yang dominan terbentuk
instruktur di Yayasan B ini juga menunjukkan antara instruktur dengan Yayasan B yaitu tipe
bahwa 64% instruktur masih berada pada balance dan transaksional. Kemudian diikuti
kategori sedang dan rendah (lihat Tabel 4). Hal tipe relasional dan transisional. Berikut
ini menunjukkan bahwa kontrak psikologis pemaparan gambaran tipe kontrak psikologis
yang terbentuk masih belum optimal karena tersebut.
yang diharapkan instruktur dapat berada pada 1. Pada tipe balance, terdapat hubungan
kategori tinggi sehingga keyakinan yang yang seimbang antara karyawan dan organisasi,
dimiliki dan hubungan yang terjalin antara kedua pihak saling berkontribusi dalam proses
instruktur dengan Yayasan B dapat lebih pembelajaran dan pengembangan. Instruktur
menekankan hubungan timbal balik yang saling melihat bahwa di Yayasan B tersedia peluang
menguntungkan bagi kedua belah pihak. bagi mereka untuk dapat mengembangkan dan
Hasil tersebut menunjukkan bahwa masih meningkatkan kemampuan diri mereka.
diperlukan upaya yang cukup besar dari Menurut instruktur, Yayasan B juga
KONTRAK PSIKOLOGIS 63

mendukung mereka untuk dapat berkembang instruktur sehingga mereka belum bisa
sehingga proses pengembangan antara mengetahui hal yang positif dan negatif yang
instruktur dengan Yayasan B selalu berjalan. mereka miliki. Berdasarkan penelitian Cross,
Tidak hanya pengembangan dari Yayasan B, Barry dan Garavan (2009), karyawan merasa
instruktur juga menngembangkan kemampuan bahwa performance monitoring merupakan
diri mereka dengan mencari tahu hasil evaluasi salah satu hubungan seimbang antara karyawan
dan mencari informasi terbaru di dunia dengan perusahaan dimana karyawan
manufaktur untuk mendukung tugasnya di berkembang dan perusahaan memfasilitasi
Yayasan B. pengembangan tersebut. Berkaitan dengan
masalah kinerja yang ada di Yayasan B, tidak
“Baru kemarin Yayasan B memanggil PT adanya evaluasi kinerja yang diberikan kepada
X untuk training for trainer. Jadi semua instruktur membuat instruktur tidak mengetahui
instruktur diundang, yang ngasih training apa yang sudah baik dan apa yang harus mereka
dari PT X. Jadi untuk pengembangan perbaiki demi kemajuan karier mereka dan
instruktur“. (Y) Yayasan B. Maka dari itu muncul permasalahan
bahwa kinerja dari para instruktur dirasa kurang
“Ya jadi saya gak menunggu dari Yayasan sesuai dengan yang diinginkan Yayasan B.
B mengembangkan saya, tapi saya harus “Misalnya saya disana berhasil
mengembangkan diri. Bagaimana saya membawa perusahaan atau ukm itu
dipake Yayasan B. Gak menunggu apa-apa sesuai tergetnya. Mencapai sertifikat
dari Yayasan B, gak menunggu Yayasan B ISO. Nah itu tolong disampaikan ke
harus gimana gimana. Tapi saya harus pimpinan bahwa Pak SBU ini berhasil
memberikan nilai kepada Yayasan B” (Y) atau sebaliknya Pak SBU perlu
improvement lagi. Perlu diriviu lagi
Proses pengembangan yang dilakukan terkait dengan pekerjaannya supaya
Yayasan B tentu memberikan nilai positif bagi kita juga tau yang baik dan yang
para instruktur untuk terus memberikan yang kurang.” (U)
terbaik bagi Yayasan B. Selain itu Yayasan B
juga mendukung instruktur yang berkeinginan 2. Pada tipe transaksional yang merupakan
untuk menambah pengetahuannya. Hal ini hubungan yang terbatas pada tuntutan kerja
membuat instruktur memiliki kemauan untuk serta berfokus pada sesuai tidaknya imbalan
terus maju agar menjadi lebih bernilai. Namun, yang diberikan perusahaan atas kerja
proses pengembangan ini tentu membutuhkan karyawan. Instruktur berpendapat bahwa
usaha dari kedua belah pihak untuk saling apa yang mereka terima saat ini sudah
mendukung dan berkembang. Maka dari itu cukup sesuai dengan apa yang mereka
penting untuk dapat saling mendukung satu berikan kepada Yayasan B. Namun ada juga
sama lain agar terjalin hubungan jangka pandangan yang menyatakan bahwa apa
panjang yang saling menguntungkan. yang mereka terima saat ini dirasakan masih
Pengembangan yang dijalani Yayasan B belum sesuai dengan yang sudah mereka
saat ini dirasakan masih belum optimal karena berikan.
belum pernah ada evaluasi terkait kinerja para “Kalau honor itu, kita ikut aturan standar
64 GOZALI & PANGGABEAN

saja. Kalau itu saya rasa sih cukuplah, inilah yang kemudian membuat hubungan
memadai dengan apa yang kita lakukan. mereka dapat terus berjalan. Selain keyakinan,
Itu..”. (T) kesamaan nilai dan budaya yang dirasakan
oleh instruktur membuat mereka merasa
“ya.. terus juga, kita kan modelnya ada nyaman menjadi instruktur di Yayasan B.
pendampingan dan training. Nah itu kan Partisipan juga menyatakan bahwa mereka
kita kalo pendampingan kan tiga minggu berusaha untuk membangun relasi yang baik
sekali ke perusahaan itu kita datangi. dengan Yayasan B melalui berbagai cara agar
Disitu sarana transportasi juga agak… ya
hubungan kerja mereka dapat terus berjalan.
akhirnya naik taksilah walaupun agak
Hal ini pula yang mendukung instruktur ini
repot. Cuma mesti cari taksi dulu, mesti
untuk dapat terus bekerja sebagai instruktur di
jalan, apa namanya eee… pokoknya
Yayasan B.
kurang nyamanlah. Ada kendaraan tapi
“ya yang diberikan tentunya pertama
gak ada sopirnya. Gak ada drivernya.
adalah kepercayaan. Yayasan B sudah
Kayak gitu sebenernya juga mengganggu
memberikan kepercayaan kepada saya
dan mengurangi image. Eee… kami
sebagai trainer maupun instruktur. Ya itu..
khususnya dan juga Yayasan B”. (U)
kalau sudah punya kepercayaan kan sudah
enak.” (Y)
Adanya pandangan yang menyatakan bahwa
apa yang diberikan instruktur saat ini masih belum
“sistemnya menurut saya sudah bagus.
sebanding dengan apa yang diberikan oleh
Yang tadi itukan, kita sudah sama-sama
Yayasan B dapat dikaitkan dengan fenomena yang satu irama orang Grup A. Orang Grup A
terjadi di Yayasan B terkait dengan masalah etis itu kan iramanya begitu. Kita kan sudah
yang muncul. Tidak sebandingnya apa yang bertahun-tahun sudah menjadi
diberikan oleh instruktur dengan apa yang mereka budayalah.” (T)
dapat membuat mereka mencari cara tersendiri
untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga “saya mau terus menjadi instruktur selama
muncul permasalahan etis seperti yang dipaparkan dibutuhin aja dan sesuai dengan
sebelumnya. kompetensinya saja.” (U)

3. Tipe ketiga yaitu relasional yang merupakan Tipe relasional ini memberikan dampak
hubungan jangka panjang yang didasarkan yang positif terutama jika dilihat pada lamanya
pada keyakinan yang dibangun dan loyalitas hubungan kerja yang terjalin antara karyawan
yang terbentuk. Hubungan yang terbangun dan organisasi. Hubungan yang berlandaskan
pada tipe ini menunjukkan hubungan jangka keyakinan ini juga membuat karyawan untuk
panjang antar kedua belah pihak. Instruktur dapat memberikan hal yang lebih kepada
merasa bahwa Yayasan B memiliki keyakinan perusahaan. Begitu pula perusahaan sudah
terhadap kemampuan mereka dan mereka pun yakin kepada karyawan sehingga mereka dapat
memiliki keyakinan pada Yayasan B sebagai terus mempekerjakan karyawannya tersebut.
pihak pemberi kerja dalam hal stabilitas kerja. Namun hubungan yang berlandaskan keyakinan
Keyakinan antara instruktur dan Yayasan B ini dapat menjadi kurang baik apabila terjadi
KONTRAK PSIKOLOGIS 65

pelanggaran dari salah satu pihak. Seperti yang Instruktur menyatakan bahwa sistem
diungkapkan dalam penelitian Nadin dan pelaksanaan kerja di Yayasan B masih ada yang
Williams (2012), adanya investasi emosi antara kurang dan perlu penyamarataan. Sistem kerja
karyawan dan perusahaan akan memperburuk yang tidak seragam ini dapat menyebabkan
perasaan keduanya terkait pelanggaran dan kebingungan bagi para instruktur yang ada
merusak hubungan yang dibangun atas dasar sehingga dapat mempengaruhi kinerja mereka.
keyakinan dan saling menghormati. Sebagai contoh, ada instruktur yang
kebingungan dalam menyusun invoice karena
4. Tipe terakhir yaitu transisional yang sebelumnya tidak pernah diberitahukan dari
merupakan tahapan kognitif individu dalam pihak Yayasan B sehingga ia harus bertanya
merefleksikan konsekuensi dari perubahan kepada instruktur lain yang dinilai lebih senior.
yang terjadi. Instruktur dapat melihat Standarisasi sistem kerja dirasakan penting
adanya konsekuensi dari perubahan namun masih belum dilaksanakan di Yayasan
peraturan yang berbeda dari peraturan B.
sebelumnya. Instruktur berpendapat bahwa Selain dibutuhkan standarisasi sistem kerja,
pasti ada konsekuensi dari setiap tindakan instruktur juga menyatakan bahwa perlu
yang mereka lakukan namun mereka kurang dilakukan sosialisasi peraturan jika memang
begitu memahami peraturan yang ada di ada. Sejauh ini belum pernah ada sosialisasi
Yayasan B karena dari Yayasan B sendiri peraturan yang kemudian juga bisa
tidak pernah menyampaikan peraturan yang menyebabkan kerja instruktur menjadi tidak
berlaku kepada para instruktur sehingga sama antara satu dengan yang lainnya.
tuntutan yang ada juga masih belum jelas.
“semua kita bicara dengan sop, ya kan.
Misalnya untuk tuntutan kerja, selama ini
Sekarang adalah bagaimana penyamaan
belum ada tuntutan tertulis yang diminta
Bahasa dengan instruktur. Itu aja yang
dari Yayasan B maka dari itu instruktur
kasarannya masih agak lemah." (Y)
kurang begitu memahami tuntutannya
seperti dan mereka hanya menjalankan “salah satunya adalah, tapi gak tau ini
pekerjaannya sebaik mungkin. masih masuk apa nggak. Salah satunya
“target kerja sih secara tertulis saya gak begini kalau saya mau bikin invoice,
tau. Target yang ditargetkan Yayasan B standard nya apa sih. Sop ny seperti
seperti apa, kriterianya yang bagus apa.” (Y)
seperti apa. Mungkin Yayasan B punya
target tapi saya tidak tahu. Jadinya ya “Teknikalnya ngerti banget, ya kan. Tapi
saya hanya berusaha memberikan yang belum tentu dia bisa menyampaikan
terbaik.” (Y) dengan baik kepada peserta training, apa
yang dia lakukan, apa yang dia
Berdasarkan hasil wawancara yang ada, praktekkan selama ini di pabrik. Nah itu
partisipan juga menyebutkan bahwa perihal mungkin bisa jadi. Dikasihlah ilmu
terkait standarisasi kerja dan sosialisasi sistem training for trainers. Nah itu salah satu
kerja masih perlu diperbaiki karena hal ini dapat yang perlu disamakan. Yang kedua,
berpengaruh pada kontrak psikologis mereka. mungkinkan ada para trainer ini yang
66 GOZALI & PANGGABEAN

paham ilmu-ilmu apa yang pernah dari Yayasan B kepada instruktur sehingga
ditrainingkan. Mungkin ya, gak tau ya para instruktur belum mengetahui apa yang
apa sudah ada programnya atau belum. sudah baik dan perlu diperbaiki.
Diseragamkan. Ya diseragamkan 4. Berkaitan dengan tipe transaksional, ada
materinya sama, mungkin apa gitu kan. dua pandangan instruktur yaitu ada yang
Adakan, kalo training needs nya sama merasa imbal jasa yang diterima sudah
gitu kan. Mungkin materinya bisa sesuai da nada yang merasa imbal jasa yang
disamakan.” (U). diterima belum sesuai. Ketidaksesuaian
imbal jasa ini dapat mempengaruhi perilaku
instruktur untuk mencari cara lain dalam
Kesimpulan dan Saran
memenuhi kebutuhannya.
5. Dari hasil wawancara, didapati bahwa
Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
belum adanya standarisasi sistem kerja
dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait
sosialisasi dapat berpengaruh terhadap
kontrak psikologis instruktur di Yayasan B:
kontrak psikologis instruktur karena dapat
1. Kontrak psikologis instruktur di Yayasan B
menyebabkan kebingungan pada instruktur.
berada pada kategori sedang. Artinya
6. Berdasarkan gambaran tipe kontrak
instruktur memiliki keyakinan terhadap
psikologis yang ada, maka pengembangan
Yayasan B. instruktur memandang bahwa
instruktur dapat dilakukan sesuai dengan
kewajiban Yayasan B terhadap mereka
tipe dominan serta sesuai dengan kondisi di
dinilai sebanding dengan apa yang mereka
Yayasan B.
berikan. Hal ini menunjukkan bahwa
kontrak psikologis yang terbentuk masih
Berdasarkan kesimpulan dari hasil
belum optimal.
penelitian di atas, terdapat beberapa saran yang
2. Tipe kontrak psikologis yang dominan
dapat diberikan kepada Yayasan B untuk
muncul pada instruktur di Yayasan B adalah
pengembangan instruktur nantinya:
balance dan transaksional kemudian diikuti
1. Terkait dengan pengembangan masing-
relasional dan transisional.
masing individu dapat dilakukan pemberian
3. Pada tipe balance, instruktur merasa bahwa
umpan balik berkala ataupun setiap
ada kesempatan bagi mereka untuk
instruktur selesai bertugas. Selain itu hasil
berkembang di Yayasan B dan Yayasan B
evaluasi pelatihan juga dapat disampaikan
juga memberikan kesempatan bagi mereka
kepada instruktur agar mereka mengetahui
untuk berkembang. Namun dukungan
apa yang sudah baik dan apa yang masih
pengembangan yang diberikan Yayasan B
perlu ditingkatkan.
dirasa masih belum optimal karena belum
2. Terkait sistem kerja dapat dibuat
ada umpan balik bagi kinerja mereka saat
standarisasi sistem kerja agar seluruh
ini. Hal ini pula dapat terkait dengan
instruktur menjalani setiap proses yang
permasalahan kurang optimalnya kinerja
sama dari awal hingga akhir. Standarisasi
dari para instruktur yang dirasakan oleh
sistem kerja ini juga perlu disosialisasikan
Yayasan B. Padahal hal ini dapat juga
agar seluruh instruktur memahami peraturan
terjadi karena belum adanya umpan balik
KONTRAK PSIKOLOGIS 67

yang ada. Tidak hanya itu, Yayasan B juga pelatihan dan menjadi instruktur di YDBA.
perlu memperhatikan imbal jasa bagi Setelah sharing selesai, seluruh peserta
instruktur terkait fasilitas agar dapat dapat berdiskusi dan memberikan masukan.
membantu instruktur semakin memberikan Begitu juga dengan pihak dari Yayasan B
kinerja yang terbaik. dapat ikut berdiskusi dan memberikan saran
3. Terkait dengan harapan Yayasan B dalam kepada instruktur mereka.
mengarahkan kontrak psikologis dengan
instruktur ke arah relasional, maka yang Referensi
perlu dilakukan kegiatan bersama bagi para
instruktur untuk dapat mendukung
terbentuknya kontrak psikologis tipe Abdullah, N. L., Hamzah, N., Arshad, R., Isa,
tersebut dengan cara saling berbagi ilmu R. M. & Ghani, R. A. (2011). Psychological
(Conway & Briner dalam O’Neil dan Adya, contract and knowledge sharing among
2007). Kegiatan ini dapat dilakukan melalui academicians: Mediating role of relational
knowledge sharing yang merupakan social capital. International Business
kegiatan bertukar ilmu dengan tujuan untuk Research, 4(4), 231-241.
membantu orang lain dengan belajar Armstrong, M. (2009). Armstrong’s handbook
bersama, memfasilitasi perukaran of human resource management practice.
pengetahuan dan meningkatkan kemampuan Kogan Page: London.
untuk mencapai tujuan individu maupun Kumar, R. (2005). Research methodology: A
organisasi (Dyer & Nobeoka dalam step-by-step guide for beginners (2nd ed.).
Abdullah, 2011). Knowledge sharing London: SAGE Publications Ltd.
dilakukan agar instruktur dapat saling Nadin, S. J. & Williams, C. C. (2012).
berbagi satu sama lain serta menyampaikan Psychological contract violation beyond an
pandangan mereka terkait pekerjaan di employer’s perspective: The perspective of
Yayasan B. Yayasan B juga dapat employers. Employee Relations, 34(2), 110-
mendengarkan pandangan dari para 125.
instruktur yang selama ini dirasakan karena Peraturam Direktur Jenderal Pajak. (2009).
dengan mendengarkan pandangan instruktur Departemen Keuangan Republik Indonesia
tersebut dapat membuat instruktur merasa Direktorat Jenderal Pajak.
dihargai oleh pihak Yayasan B. Perasaan Poerwandari, E. K. (2009). Pendekatan
dihargai ini dapat memunculkan rasa kualitatif dalam penelitian perilaku manusia
kesetaraan bagi para instruktur yang (3th ed.). Depok: Lembaga Pengembangan
kemudian dapat mengarahkan pembentukan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
kontrak psikologis tipe relasional pada Psikologi Universitas Indonesia.
instruktur di Yayasan B. Knowledge sharing Rousseau (1995) Psychological contracts in
dapat dilakukan secara berkala setiap 6 organizations: Understanding written and
bulan sekali. Setiap kegiatan mengajak 3 unwritten agreements. London: Sage.P98..
instruktur untuk sharing ilmu serta Rousseau, D. M. (2000). Psychological contract
pengalaman mereka dalam memberikan inventory technical report. Pittsburgh:
Heinz School of Public Policy and Graduate
68 GOZALI & PANGGABEAN

School of Industrial Administration,


Carnegie Mellon University.
Tanchaisak, K. (2005). An examination of
psychological contract in Thailand. Au
Journal of Management, 3(1), 31-40.
Toppin, L. M. (2006). Defining the
psychological contract of the virtual
worker: Implication for the human.
Unpublished dissertation, George
Washington University, USA.
Urbina, S. (2007). Essentials of psychology
testing. New Jersey: John Wiley & Sons.
JPIO ISSN 2302-8440
2016, Vol. 3, No. 1, 69-80
STANDARISASI KOMPETENSI 69

Standarisasi Kompetensi Pewarta Foto Indonesia

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo


Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya, Banten

For the first time after 18 years of establishment, Indonesian


Photojournalist Association (Pewarta Foto Indonesia/PFI) - a professional
organization consisting of more than 800 photojournalists in 20 cities in
Indonesia - assembles the standard of competence of this profession.
Competence comprises of knowledge, skills, abilities and other
characteristics to perform a job. Based on Indonesian Press Council
guidelines and standards previously developed by Alliance of Independent
Journalists (Aliansi Jurnalis Independen/AJI), Indonesian Television
Journalists Associataion (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia/IJTI) and
Indonesian Journalists Association (Persatuan Wartawan Indonesia/PWI),
this descriptive qualitative action research focuses on PFI as a case study
and uses semi-structure interview to 11 photojournalism experts from PFI
to bring together their very own standard of competence. It is hoped that
this writing contributes to PFI in developing its national standard as well
as to Industrial and Organizational (I/O) Psychology as a relevant body of
knowledge. Findings identity 11 key competence divided into basic
(Pewarta Foto Muda), intermediate (Madya) and advanced (Utama) levels.
This research recommends a different set of competences for
freelancers/stringers who choose non-managerial career path in news
organizations.

Keywords: Competence, competency standardization, competency test,


professional organization, Indonesian Photo Journalist

Menurut Aamondt (2010), kompetensi pelayanan publik yang memberikan jasa penting
(competencies) adalah pengetahuan bagi masyarakat (Mortensen & Keshelashvili,
(knowledge), keterampilan (skills), kemampuan 2013) Para pengemban profesi memiliki
(abilities) dan karakteristik-karakteristik lain kompetensi eksklusif melalui rangkaian
yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan pendidikan dan pelatihan yang membekali nilai
(to perform a job). Agar dapat menjalankan dan norma sebagai panduan yang
pekerjaannya dengan baik, seseorang butuh dikodifikasikan antara lain menjadi kode etik.
kompetensi sesuai (Rogelberg, 2007). Uraian Karakteristik tersebut memberi otonomi pada
tersebut mencakup juga ke konteks profesi - tiap profesi untuk mengendalikan praktik-
pekerjaan (occupations) dengan orientasi praktik di dalamnya dan memungkinkan tiap

69
70 SOERJOATMODJO

profesi menentukan siapa saja yang dapat disebarluaskan melalui media massa (Laba,
memasuki profesi tersebut. Laba, Rusmiwari, & Diahloka, 2013). Foto
Di Indonesia, Kementerian jurnalistik memiliki sifat serupa seperti berita
Ketenagakerjaan Republik Indonesia tulis yakni memuat unsur apa (what), siapa
mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 (who), dimana (where), kapan (when), dan
Tahun 2016 tentang Sistem Standardisasi mengapa (why), dengan kekuatan pada
Kompetensi Kerja Nasional yang menjelaskan penyampaian tentang bagaimana (how) yaitu:
tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional pembaca tidak perlu berandai-andai tentang
(SKKNI). SKKNI adalah rumusan kemampuan bagaimana kejadian berlangsung karena hal
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, tersebut jelas dalam foto, secara langsung foto
keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja jurnalistik menciptakan persepsi kejadian, serta
yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan foto jurnalistik mampu menimbulkan respon
syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan emosional lebih cepat daripada tulisan (Novia,
ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal 2012). Lebih lanjut, Novia (2012) menjelaskan
ini kemudian diterjemahkan oleh berbagai bahwa pewarta foto merekam berbagai obyek
instansi, termasuk Dewan Pers sebagai lembaga atau peristiwa untuk disampaikan kembali
independen yang berfungsi mengembangkan kepada khalayak ramai. Oleh karena itu,
dan melindungi kehidupan pers di Indonesia. seorang pewarta foto perlu memiliki
Dewan Pers menyusun standar kompetensi kompetensi tertentu dalam mengungkapkan
untuk profesi wartawan yang memberikan obyek foto sebagai fakta yang kemudian diolah
kesempatan kepada siapapun menjadi jurnalis sebagai produk jurnalistik.
asalkan memiliki kompetensi. Di sisi lain, Di Indonesia, Pewarta Foto Indonesia
standar kompetensi bertujuan meningkatkan menjadi wadah bagi mereka yang berprofesi
profesionalisme para jurnalis karena publik kini sebagai pewarta foto, baik yang berstatus
dapat menilai jurnalis mana yang kompeten dan karyawan di media tertentu maupun freelance
tidak (Dewan Pers, 2010a). Salah satu atau dikenal juga dengan istilah stringer.
organisasi profesi jurnalis yaitu Aliansi Jurnalis Pewarta Foto Indonesia (2015a) menjelaskan
Independen (AJI) menyatakan bahwa semua bagaimana organisasi profesi ini berawal.
jurnalis harus ikut uji kompetensi agar kualitas Sejarah pewarta foto Indonesia dimulai ketika
kerja jurnalis terukur dan publik dapat pewarta foto kantor berita Jepang, Domei, Alex
mengontrol perilaku jurnalis di lapangan Mendur, dan adiknya Frans yang bekerja
(Aliansi Jurnalis Independen, 2014). sebagai fotografer koran Asia Raya,
Salah satu profesi jurnalistik yang mengabadikan Soekarno yang membacakan
memandang penting isu kompetensi adalah Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur
Pewarta Foto Indonesia (PFI). Seperti halnya 56 pada pagi tanggal 17 Agustus 1945.
jurnalis, pewarta foto menghasilkan karya Sejarawan Asvi Warman Adam bahkan
jurnalistik dalam bentuk foto. Foto jurnalistik menggugah, seandainya Mendur bersaudara
merupakan produk atau karya visual dari tidak ada di Pegangsaan Timur 56 ketika itu,
jurnalisme yang memiliki nilai berita atau pesan maka boleh jadi Proklamasi diyakini tidak
yang penting diketahui khalayak dan benar terjadi. Sejarah Indonesia kemudian
STANDARISASI KOMPETENSI 71

bergerak terus sampai bergulirnya reformasi bagaimana gambaran kompetensi profesi


menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru pewarta foto di Indonesia? Untuk menjawab hal
yang kemudian jadi tonggak lahirnya kebebasan tersebut, maka tulisan ini menggunakan
pers di Indonesia. Perusahaan pers tumbuh sistematika yang terdiri dari latar belakang,
subur seiring hilangnya pemberlakuan Surat kajian literatur, metodologi penelitian yang
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk kemudian diikuti hasil penelitian serta ditutup
mendirikan perusahaan pers. Seiring dengan itu dengan diskusi dan kesimpulan.
lahir banyak pewarta foto sejalan dengan Dalam konteks Psikologi Industri dan
meningkatnya kebutuhan akan profesi tersebut. Organisasi, kajian tentang kompetensi
Proses transisi politik menuju era reformasi mewarnai pembahasan seputar Manajemen
dalam perjalanannya mengalami banyak Sumber Daya Manusia. Pembicaraan tentang
turbulensi dimana kebebasan pers belum sesuai kompetensi umumnya dikaitkan dengan analisis
dengan marwahnya dan tindakan represif jabatan (job analysis) yaitu upaya
dialami insan pers terutama pewarta foto. Oleh mengidentifikasi tugas-tugas yang dilakukan
karenanya, dilandasi nafas yang sama untuk dalam sebuah pekerjaan, dalam kondisi-kondisi
membangun sistem perlindungan profesi yang seperti apa pekerjaan tersebut dilakukan dan
kuat, maka sejumlah pewarta foto kemudian pengetahuan, keterampilan serta kemampuan
menggagas dibentuknya organisasi PFI. apa saja yang dibutuhkan untuk menjalankan
Pewarta Foto Indonesia (2015a) sebuah pekerjaan dalam kondisi-kondisi
menjelaskan bahwa PFI yang berawal dari tersebut (Aamondt, 2010). Kemudian seiring
perkumpulan bernama Fokus di tahun 1992 dengan perjalanan waktu, berkembanglah apa
kemudian berkembang menjadi organisasi yang disebut sebagai competencies modeling
profesi pada tanggal 18 Desember 1998. Sejak yang menjadi pengembangan lebih lanjut dari
2015, PFI diminta Dewan Pers untuk mengelola analisis jabatan (Rogelberg, 2007). Selain itu,
standarisasi kompetensi pewarta foto untuk isu kompetensi juga lazim dikaji pada saat
dinormalisasi tahun ini. Maka di tahun ini, membicarakan tentang penimbangan kinerja
untuk pertama kalinya sejak berdiri 18 tahun (performance appraisal).
lalu, PFI yang mewadahi lebih dari 800 jurnalis Dengan menggunakan berbagai metode,
foto/pewarta foto di 20 kota di seluruh penimbangan kinerja yang digunakan organisasi
Indonesia menyusun standarisasi kompetensi. sebaiknya dilakukan untuk mengembangkan
Agar dapat tepat menyusun standarisasi kompetensi (Kondrasuk, 2011). Dibandingkan
kompetensi, PFI membutuhkan gambaran dengan metode-metode lain, keunggulan
kompetensi profesi pewarta foto. Studi menggunakan dimensi penimbangan kinerja
deskriptif ini diperlukan sebagai basis yang fokus pada kompetensi adalah adanya
standarisasi kompetensi atas anggota-anggota kemudahan dalam memberikan umpan balik
PFI yang tersebar di seluruh Indonesia. dan mengusulkan langkah-langkah yang
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dibutuhkan guna mengkoreksi kelemahan yang
gambaran tentang kompetensi profesi pewarta berhasil teridentifikasi (Aamondt, 2015).
foto guna menjawab kebutuhan di atas. Adapun Pemahaman tentang kompetensi ini berguna
rumusan masalah penelitian ini adalah: untuk berbagai praktik manajemen sumber daya
72 SOERJOATMODJO

manusia termasuk rekrutmen, seleksi, pelatihan standar kompetensi. Dewan Pers (2010)
dan pengembangan, mengidentifikasi orang- merumuskan kompetensi kunci sebagai
orang terbaik untuk mengisi posisi-posisi kemampuan yang harus dimiliki untuk
tertentu dan menjadi pondasi dari rencana- mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam
rencana pengembangan yang memungkinkan pelaksanaan tugas - yang terdiri dari 11
berbagai individu untuk menargetkan hal-hal kompetensi yaitu: 1) memahami dan menaati
yang menjadi kekuatan atau membutuhkan etika jurnalistik, 2) mengidentifikasi masalah
pengembangan lebih lanjut (Noe, Hollenbeck, terkait yang memiliki nilai berita, 3)
Gerhart & Wright, 2012). membangun dan memelihara jejaring dan lobi,
Terkait dengan kompetensi, dunia kerja 4) menguasai bahasa, 5) mengumpulkan dan
mengenal apa yang disebut sebagai standar menganalisis informasi (fakta dan data) dan
kompetensi. Standar kompetensi adalah acuan informasi bahan berita, 6) menyajikan berita, 7)
penting yang menyatakan tentang kompetensi menyunting berita, 8) merancang rubrik atau
sumber daya manusia - yang dapat digunakan kanal halaman pemberitaan dan/atau slot
antara lain untuk peningkatan kualitas dan daya program pemberitaan, 9) manajemen redaksi,
saing tenaga kerja; rekrumen, seleksi dan 10) menentukan kebijakan dan arah
penempatan sampai sertifikasi kompetensi pemberitaan, dan terakhir 11) menggunakan
(Antara News, 2015). Terkait hal terakhir, peralatan teknologi pemberitaan.
sertifikasi kompetensi ini dapat digunakan Kompetensi-kompetensi tersebut di atas
untuk memastikan agar kompetensi, diujikan oleh Lembaga Penguji dengan
keterampilan dan keahlian kerja yang dimiliki menggunakan Uji Kompetensi dalam bentuk
tenaga kerja Indonesia diakui oleh pasar kerja assessment center, yakni digunakannya
baik di dalam maupun di luar negeri. beragam metode yang memunculkan berbagai
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, karakteristik untuk digunakan dengan tujuan
sejak tahun 2010, Dewan Pers bersama penilaian (Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright,
komunitas pers menjalankan program sertifikasi 2012). Hal ini mengerucut pada hasil berupa
jurnalis untuk pemenuhan standar kompetensi keputusan kompeten atau tidaknya seseorang,
jurnalis profesional (Al Hafiz et. al., 2014). yang merupakan potret dari competency
Disusun berdasarkan konsensus masyarakat assessment – yakni analisis atas serangkaian
pers, standar kompetensi ini menjadi alat ukur keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan
profesionalisme jurnalis dalam melindungi hal-hal lain yang dibutuhkan terutama agar bisa
kepentingan publik, hak pribadi masyarakat berhasil pada pekerjaan-pekerjaan yang
sekaligus menjaga kehormatan profesi. Dewan berorientasi pada pengambilan keputusan
Pers menjelaskan sejumlah kata kunci (decision-oriented) dan memiliki bobot intensif
(keywords) terkait standarisasi kompetensi pada pengetahuan (knowledge-intensive), yang
sebagai Tabel 1. memotret sifat-sifat apa saja yang dibutuhkan
Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya seseorang agar dapat memunculkan kinerja baik
adalah apakah yang Dewan Pers sebut sebagai – antara lain motivasi, kepribadian,
kompetensi minimal yang harus dimiliki keterampilan antar pribadi dan lain-lain - dan
seorang jurnalis sebagaimana ditetapkan dalam bagaimana sifat-sifat tersebut sebaiknya
STANDARISASI KOMPETENSI 73

Tabel 1. Kata Kunci Standarisasi Kompetensi (Dewan Pers, 2010b)


Kata Kunci Pengertian
Standar Patokan baku yang menjadi pegangan ukuran dan dasar; model bagi karakter unggulan
Kompetensi Kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran,
pengetahuan dan keterampilan
Wartawan Orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran lainnya
Kompetensi Kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalistik
wartawan atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang
kewartawanan; menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Lembaga Lembaga yang memenuhi kriteria Dewan Pers untuk melaksanakan uji kompetensi, yakni:
Penguji
Kompetensi 1) perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi/jurnalistik, 2) lembaga
pendidikan kewartawanan, 3) perusahaan pers dan 4) organisasi wartawan. Lembaga
penguji berperan menentukan kelulusan dalam uji kompetensi dan Dewan Pers
mengesahkan kelulusan uji kompetensi tersebut. Lembaga Penguji melalui proses
verifikasi oleh Dewan Pers. Setelah dinyatakan lulus verifikasi dari Dewan Pers, maka
Lembaga Penguji kemudian menentukan jenjang kompetensi.
Uji Ujian kompetensi dilakukan oleh Lembaga Penguji. Soal Uji Kompetensi disiapkan oleh
Kompetensi lembaga penguji dengan mengacu pada perangkat Uji Kompetensi dengan skala penilaian
10-100.

Pilihan metode dalam Uji Kompetensi adalah a) ujian lisan, b) peragaan, c) praktik, d)
studi kasus, e) jawaban tertulis, f) pilihan ganda, g) pemeriksaan produk, h) referensi, i)
dokumen hasil kerja, j) pengamatan, k) metode lain yang terkait.Hasil Uji Kompetensi
adalah a) kompeten (memperoleh nilai minimal 70) atau b) belum kompeten. Jurnalis
yang belum kompeten dapat mengulang pada kesempatan ujian berikut. Apabila terjadi
sengketa antar lembaga penguji atas hasil uji kompetensi, maka hal tersebut diselesaikan
dan diputuskan Dewan Pers.
Sertifikat Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas
Kompetensi jurnalistik. Apabila jurnalis pemegang sertifikat kompetensi tidak menjalankan tugas
jurnalistik selama dua tahun berturut-turut, maka apabila yang bersangkutan kembali
menjalankan tugas jurnalistik, maka kompetensi yang diakui adalah kompetensi terakhir
dalam sertifikat tersebut
Jenjang Berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), kualifikasi kompetensi
Kualifikasi kerja dikategorikan menjadi Jenjang I, II dan III. Untuk wartawan, kualifikasi kompetensi
Kompetensi adalah:

1) Kualifikasi 1 Wartawan Muda (kompetensi: melakukan kegiatan),


2) Kualifikasi II Wartawan Madya (kompetensi: mengelola kegiatan) dan
3) Kualifikasi III Wartawan Utama (kompetensi: mengevaluasi dan memodifikasi proses
kegiatan).

Setelah menjalani jenjang Wartawan Muda sekurang-kurangnya 3 tahun, jurnalis tersebut


berhak mengikuti uji kompetensi Wartawan Madya. Setelah menjalani jenjang kompetensi
Wartawan Madya sekurang-kurangnya 2 tahun, jurnalis tersebut berhak mengikuti uji
kompetensi Wartawan Utama.

digunakan dalam konteks dan budaya organisasi Selanjutnya standar kompetensi dari
tertentu (Shell & Bohlander, 2007). Dewan Pers tersebut mengalami pengembangan
74 SOERJOATMODJO

Tabel 2. Subjek Penelitian

No Subyek Gender Keterangan


1 AP L Dosen fotografi spesialisasi foto jurnalistik
2 AR L Pewarta foto media berita nasional
3 BW L Pewarta foto kantor berita internasional
4 DW L Praktisi agensi foto
5 EW L Praktisi freelance
6 EP L Praktisi agensi foto
7 EN P Mantan editor kantor berita internasional
8 H L Editor foto media berita nasional
9 P L Dosen komunikasi
10 OM L Kurator galeri foto jurnalistik
11 YS L Peneliti sejarah foto jurnalistik Indonesia

Gambar 1. Wawancara pengambilan data

Gambar 2. Triangulasi hasil penelitian

sesuai dengan karakteristik jurnalis per media. berbeda dengan jurnalis media cetak, maka
Hal ini muncul dari media televise. Karena Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI)
jurnalis televisi memiliki ciri khas tersendiri kemudian mengembangkan instrumen uji
dengan platform media audio visual yang kompetensi yang diadopsi dari standar Dewan
STANDARISASI KOMPETENSI 75

Pers di atas dan diadaptasikan sesuai dengan yang bertujuan salah satunya untuk
kebutuhan (Al Hafiz et. al., 2013). Mengacu meningkatnya kemampuan anggota suatu
pada 11 kompetensi tersebut, IJTI menguraikan komunitas menentukan takdirnya sendiri
tiap kompetensi secara mendetil menggunakan (Mertens, 2009). Hal ini sesuai dengan tujuan
deskripsi yang kontekstual dengan produk PFI menyusun standarisasi kompetensi. Karena
jurnalistik televisi sebagai karya kolaboratif. kajian ini fokus pada satu unit analisa yakni
Dengan aspirasi serupa dengan IJTI, PFI PFI, maka penelitian ini termasuk studi kasus
berproses menyusun versi yang sesuai (case study) (Willig, 2008). Metode kualitatif
kebutuhan profesi pewarta foto. Standarisasi dipilih karena bertujuan mendapatkan gambaran
kompetensi tersebut dimaksudkan untuk mengenai makna, termasuk di dalamnya
diberlakukan pada mereka yang berprofesi interpretasi yang dibuat oleh individu atas diri
sebagai pewarta foto. Pewarta foto didefinisikan mereka (Gigun, 2013). Hal ini sesuai dengan
secara operasional sebagai orang yang tujuan penelitian yaitu menjawab pertanyaan
melakukan tugas-tugas fotografi jurnalistik penelitian tentang gambaran kompetensi
secara konsisten untuk kepentingan media pewarta foto dimana deskripsi tersebut
cetak, media online dan kantor berita (Pewarta diperoleh melalui uraian bagaimana pewarta
Foto Indonesia, 2015b). Definisi tersebut foto memaknai profesinya, merefleksikan dan
mencakup juga pewarta foto lepas menginterpretasikan kompetensi apa saja yang
(freelancer/stringer) yang dijabarkan sebagai dibutuhkan untuk menghasilkan foto jurnalistik
pewarta foto yang secara konsisten karya dengan baik.
fotonya dimuat di media cetak, media online Strategi penggalian informasi dalam
dan kantor berita - tanpa memandang status penelitian ini adalah wawancara semi
kepegawaian. Adapun pihak yang nantinya terstruktur (semi-structured interview) dimana
menjadi peserta standarisasi kompetensi ini sejumlah pertanyaan disusun berdasarkan
adalah anggota PFI yaitu pewarta foto warga urutan tertentu sehingga jawaban satu orang
negara Indonesia - baik yang bekerja pada dapat diperbandingkan dengan orang lain, akan
media cetak, media on-line, kantor berita tetapi tetap ada ruang penggalian informasi
maupun pewarta foto lepas yang karyanya lebih lanjut misalnya dengan pertanyaan
dimuat secara konsisten selama dua tahun - lanjutan (probing) maupun menambah
serta mendapat rekomendasi dari Pengurus Kota pertanyaan baru (Kothani, 2004 dan Stewart &
atau Pengurus Induk dari organisasi PFI Cash, 2006). Aspek komparasi wawancara semi
(Pewarta Foto Indonesia, 2015b). terstruktur ini sesuai manfaat penelitian yang
Metode ingin dicapai yakni standarisasi kompetensi; di
sisi lain strategi ini memungkinkan fleksibilitas
Kenyataan bahwa PFI sebagai satu-satunya penggalian mengingat aspek kebaruan (novelty)
organisasi profesi pewarta foto di Indonesia dan penelitian ini. Sejalan dengan strategi, teknik
pertama kali melakukan kajian standarisasi analisis penelitian adalah coding yaitu reduksi,
kompetensi merupakan salah satu aspek dalam kondensasi, distilasi, pengelompokan dan
menentukan metode penelitian. Penelitian ini klasifikasi atas data kualitatif yang tekstual,
memilih pendekatan riset aksi (action research) non-numerik dan tidak terstruktur sampai
76 SOERJOATMODJO

Tabel 3. Kompetensi Pewarta Foto Muda, Madya dan Utama


No Kompetensi Kunci Pewarta Foto
Muda Madya Utama
1 Memahami dan Mampu memahami dan Mampu memahami, Mampu memahami,
menaati Kode Etik mematuhi: mematuhi dan mematuhi, menegakkan dan
Jurnalistik (KEJ) menegakkan: melakukan edukasi dan/atau
1. UU Pers 1. UU Pers advokasi:
2. KEJ 2. KEJ 1. UU Pers
3. Kode Etik PFI 3. Kode Etik PFI 2. KEJ
3. Kode Etik PFI
2 Mengidenti-fikasi 1) Mampu memahami Mampu mengelola Mampu mengevaluasi
masalah yang kebijakan redaksi peliputan dengan dan/atau menentukan
terkait dan 2) Mampu menyusun rencana dan kebijakan dan/atau
memiliki nilai mengidentifikasi masalah strategi memutuskan dan/atau
berita yang memiliki nilai berita melakukan edukasi terkait
foto sesuai kebijakan nilai berita foto
redaksi
3 Membangun dan 1) Mampu membuka Mampu mampu mengelola Mampu mengevaluasi
memelihara komunikasi dan dan/atau dan/atau memberikan
jejaring dan lobi membangun kepercayaan mengkoordinasikan masukan terkait dengan
narasumber jejaring dan lobi jejaring dan lobi
2) Mampu membuka dan
mempertahankan
hubungan baik dengan
narasumber
3) Mampu memiliki basis
data narasumber yang
akurat dan terus
diperbaharui
4 Menggunakan Mampu menuliskan photo 2) Mampu menuliskan (3) Mampu menuliskan
bahasa caption secara akurat features secara akurat opini secara akurat sesuai
sesuai kaidah jurnalistik sesuai standar sesuai standar sesuai kaidah
5W1H kaidah jurnalistik 5W1H jurnalistik 5W1H
5 Mengumpul-kan Mampu memiliki inisiatif Mampu melakukan Mampu mengevaluasi
dan menganalisis mencari, menggali, dan/atau informasi dan/atau
informasi berupa memilih dan memilih mengkoordinasikan tim memberikan informasi
fakta dan data informasi di lapangan untuk mengumpulkan dan tambahan untuk pengayaan
bahan berita dan/atau melakukan riset menganalisis informasi
dari berbagai sumber
untuk kepentingan liputan
6 Membuat foto Mampu membuat single 1) Mampu membuat photo 1) Mampu membuat photo
picture sesuai standar foto story sesuai standar foto critics sesuai standar foto
jurnalistik jurnalistik, dan/atau jurnalistik, dan/atau
2) Mampu mengelola 2) Mampu mengevaluasi
dan/atau dan/atau mengubah proses
mengkoordinasikan proses peliputan foto
peliputan foto
7 Mengedit foto Mampu melakukan editing Mampu memberikan Mampu mengevaluasi
dasar (memilih, resize, arahan dan/atau pengayaan kebijakan pemuatan foto
cropping, brightness, dan/atau membuat dan/atau menyusun
contrast, dll) dan filing keputusan terkait foto standarisasi karakteristik
foto sendiri sesuai dengan yang dimuat sesuai dengan foto jurnalistik
standar foto jurnalistik standar foto jurnalistik

diperoleh data yang memfasilitasi pemahaman


STANDARISASI KOMPETENSI 77

Kompetensi Pewarta Foto Muda, Madya dan Utama (lanjutan Tabel 3)


8 Merancang rubrik Tidak ada Mampu mengisi foto untuk Mampu mengevaluasi
dan/atau kanal rubrik dan/atau kanal dan/atau merencanakan
halaman halaman pemberitaan kebijakan dan/atau
pemberitaan memutuskan rubrik /kanal
(Berita Umum, pemberitaan
Berita Ekonomi,
Berita Olahraga
dan Berita
Budaya)
9 Manajemen Mampu melaksanakan Mampu menyusun 1) Memiliki kemampuan
redaksi rencana kerja dan/atau memodifikasi kepemimpinan/leader-ship
rencana kerja (program, dalam meng-arahkan
budget, manajemen SDM, kebijakan redaksi
penimbangan 2) Mampu mengevaluasi
kinerja/performance laporan kerja dan/atau
appraisal, dll) dan mengembangkan program
menyusun laporan hasil peningkatan
kerja secara periodik kapasitas/capacity building
SDM dan/atau
mengembangkan sistem
secara periodik
10 Menentukan 1) Mampu mengikuti Mampu menerjemahkan Mampu mengevaluasi
kebijakan dan keputusan rapat redaksi keputusan rapat redaksi dan/atau mengubah
arah pemberitaan 2) Mampu menerjemahkan dalam mengelola dan/atau keputusan rapat redaksi
keputusan rapat redaksi mengkoordinir proses
dalam pembuatan foto liputan foto
3) Mampu memberi usul
liputan foto dalam rapat
redaksi
11 Menggunakan Mampu menggunakan dan 1) Mampu mengatur 1) Mampu membuat
peralatan merawat alat kerja dan/atau mengusulkan keputusan investasi terkait
teknologi (kamera, lensa, flash, peralatan fotografi alat kerja
informasi baterei, tripod, dll) sesuai 2) Mampu merancang 2) Mampu menyusun sistem
pemberitaan standar liputan sesuai alat kerja dan infrastruktur terkait alat
3) Mampu mengikuti kerja
perkembangan teknologi
informasi pemberitaan

atas fenomena (Basit, 2003). metode pengambilan sampel berdasarkan


Langkah penelitian ini adalah sebagai kriteria yang relevan dengan penelitian,
berikut. Setelah melakukan serangkaian diskusi mewakili karakteristik kelompok yang diteliti
terkait rencana penelitian, PFI menyediakan serta sebisa mungkin mencerminkan
daftar narasumber yaitu para pewarta foto yang keberagaman dari populasi yang dikaji (Ritchie,
dianggap pakar dalam organisasi profesi Lewis & Elam, 2003). Adapun narasumber
tersebut, mencerminkan keberagaman profesi tersebut adalah sebagai Tabel 2. Semua berusia
pewarta foto serta memiliki kemampuan di atas 40 dengan pengalaman bekerja sebagai
artikulasi memadai untuk memberikan uraian pewarta foto minimal 5 tahun.
deskriptif tentang kompetensi. Kriteria ini yang Selama November-Desember 2015
digunakan untuk purposive sampling, yaitu dilakukanlah tahap pengumpulan data.
78 SOERJOATMODJO

Sebanyak 15 orang mahasiswa yang mengambil telah disusun oleh organisasi profesi jurnalistik
mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi lainnya seperti Aliansi Jurnalis Independen
mendapatkan pembekalan seputar isu (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
kompetensi. Mereka kemudian difasilitasi untuk dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
menyusun daftar pertanyaan wawancara. Uji Adapun alat analisis (tool of analysis) yang
coba daftar pertanyaan dilakukan melalui digunakan dalam penelitian ini adalah 11
wawancara panel (panel interview) dengan kompetensi kunci Dewan Pers yaitu: 1)
salah satu narasumber (lihat Gambar 1). memahami dan menaati etika jurnalistik, 2)
Setelah mendapatkan penugasan mengentifikasi masalah terkait yang memiliki
narasumber yang dilakukan secara acak, para nilai berita, 3) membangun dan memelihara
mahasiswa kemudian melakukan riset internet jejaring dan lobi, 4) menguasai bahasa, 5)
tentang biodata para narasumber - termasuk di mengumpulkan dan menganalisis informasi
dalamnya mempelajari karya para pewarta foto (fakta dan data) dan informasi bahan berita, 6)
sebagai bahan pembuka wawancara dan menyajikan berita, 7) menyunting berita, 8)
membangun hubungan baik (rapport). merancang rubrik atau kanal halaman
Kemudian kelompok yang terdiri dari 2-3 orang pemberitaan dan/atau slot program pemberitaan,
mahasiswa melakukan wawancara tatap muka 9) manajemen redaksi, 10) menentukan
maupun via telpon berdurasi 60-90 menit kebijakan dan arah pemberitaan, dan terakhir
dengan para narasumber yang diawali dengan 11) menggunakan peralatan teknologi
pernyataan kesediaan (informed consent) (lihat pemberitaan . Kesebelas kompetensi ini
Gambar 1). Karena satu narasumber adalah digunakan d alam bentuk matriks atau tabel.
warga negara asing yang mampu berbahasa Langkah-langkah di atas dilakukan sepanjang
Indonesia namun lebih nyaman bercakap-cakap bulan Februari-April 2016. Di bulan Mei, hasil
menggunakan b ahasa ibunya, maka satu tersebut didiskusikan dengan anggota PFI untuk
wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. mendapatkan masukan (lihat Gambar 2).
Setelah menuntaskan pengumpulan data,
mahasiswa menyusun transkripsi semi verbatim
sebagai hasil wawancara sepanjang bulan Hasil dan Diskusi
Januari 2016.
Pengolahan data dilakukan dengan Setelah menjalani proses tersebut di atas,
mengaplikasikan coding atas transkripsi penelitian ini menghasilkan gambaran tentang
wawancara yang menghasilkan ekstraksi tema- kompetensi pewarta foto untuk kategori
tema kunci kompetensi pewarta foto. Teknik Pewarta Foto Muda, Madya dan Utama. Hasil
analisis yang digunakan adalah dari penelitian ini adalah sebanyak 11
mengidentifikasi kata-kata kunci yang muncul kompetensi pewarta foto sesuai ketiga jenjang
dalam hasil transkripsi tersebut, kata-kata kunci tersebut (lihat Tabel 3). Seperti dijelaskan
tersebut kemudian dikelompokkan sesuai sebelumnya, 11 kompetensi disusun mengikuti
dengan referensi yang digunakan dalam acuan standar kompetensi jurnalis media cetak
penyusunan standarisasi kompetensi ini yaitu dan televisi.
panduan dari Dewan Pers dan standar yang Diskusi yang muncul dari penelitian ini
STANDARISASI KOMPETENSI 79

adalah perlunya untuk lebih narasumber. Obyektivitas peneliti diupayakan


mempertimbangkan kompetensi yang mewakili dengan mewawancarai narasumber tersebut
freelancer/stringer yang notabene pewarta foto secara panel, menggunakan layanan profesional
fungsional atau yang memilih bekerja transkripsi, melakukan randomisasi urutan
sepenuhnya di lapangan sehingga tidak pengolahan data, serta narasumber tersebut
mengemban tanggung jawab struktural di dalam tidak terlihat dalam proses triangulasi. Peneliti
manajemen redaksi media. Hal ini mengemuka juga perlu menyatakan tentang pengalaman
terutama saat mendiskusikan tentang kerja peneliti sebagai jurnalis sebagai salah satu
Kompetensi 9 Manajemen Redaksi dan faktor yang melatarbelakangi disusunnya
Kompetensi 10 Menentukan Kebijakan dan penelitian ini.
Arah Pemberitaan.
Referensi
Kesimpulan

Aamodt, M.G. (2015). Industrial/organizational


Penelitian ini mendapatkan hasil berupa
psychology: An applied approach.
gambaran kompetensi pewarta foto,
California: Wadsworth Cengage Learning.
sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya.
Aamodt, M.G. (2010). Industrial/organizational
Penelitian ini menyimpulkan bahwa 11
psychology: An applied approach
kompetensi kunci inilah yang harus dikuasai
California: Wadsworth Cengage Learning.
oleh pewarta foto di seluruh Indonesia, baik
Antara News. (2015, 6 Februari). Indonesia
tingkat Muda, Madya maupun Utama, agar
baru miliki 406 standar kompetensi kerja.
dapat menjalani profesi menghasilkan foto
Diakses dari
jurnalistik dengan baik.
http://www.antaranews.com/berita/478547/
indonesia-baru-miliki-406-standar-
kompetensi-kerja.
Ucapan Terima Kasih
Antara Foto. (2013, 3 Desember). Peluncuran
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada buku IPPHOS: Remastered edition: Garda
Lucky Pransiska dan semua rekan PFI, serta depan fotografi jurnalistik kita. Diakses
mahasiswa mata kuliah Psikologi Industri dan dari
Organisasi yaitu: Sarah Meidyana Putri, http://www.antarafoto.com/artikel/v138614
Rachma Imandita Sapto, Thalia Mililani, 9730/garda-depan-fotografi-jurnalistik-kita
Stephanie Nina Harefa, Amanda Fajrin Aprilli, Al Hafiz, A., Yudha, H., Prikurnia, I. H.,
Thomas Panji Wicaksono, Arniansyah, Ratih Moera, M., Jazuli, M., & Hidayat, R.
Eminiar Permatasari, Adzka Adzkiya, Eriska (2014). Uji kompetensi jurnalis televisi.
Yunisha, Yuzi Wiraayu Putri, Irma Prilisiana Jakarta: Dewan Pers bekerjasama dengan
Paskahwati, Athaya Dwinda Zakiah, Yusrina Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.
Putri Febriani dan Karel Herman. Demi Aliansi Jurnalis Independen. (2014, 15
menegakkan etika penelitian, perlu disebutkan Februari). Uji kompetensi jurnalis untuk
bahwa peneliti menikah dengan salah satu mengukur kualitas jurnalis. Diakses dari
https://aji.or.id/read/berita/248/uji-
80 SOERJOATMODJO

kompetensi-jurnalis-untuk-mengukur- rubrik foto pekan ini (analisis semiotik foto


kualitas-jurnalis.html. dokumenter “Los, ruang cita rasa kelas
Basit, T. N. (2003). Manual or electronic? The atas” karya Raditya Mahendra Yasa
role of coding in qualitative data analysis. KOMPAS edisi 7 Agustus 2011. (Skripsi).
Educational Research, 45(2), 143-154. doi: Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa
10.1080/0013188032000133548. Timur.
Dewan Pers. (2010a, 28 Januari). Dewan Pers Pewarta Foto Indonesia. (2015a). Profil pewarta
selesaikan standar kompetensi wartawan. foto Indonesia. Manuskrip tidak
Diakses dari dipublikasikan.
http://dewanpers.or.id/berita/detail/332/dew Pewarta Foto Indonesia. (2015b). AD/ART
an-pers-selesaikan-standar-kompetensi- Pewarta Foto Indonesia Manuskrip tidak
wartawan. dipublikasikan.
Dewan Pers. (2010b). Standar kompetensi Rogelberg, S.G. (2007). Encyclopedia of
wartawan. Jakarta: Dewan Pers. industrial and organizational psychology.
Kondrasuk, J. (2011). So what would an ideal New Delhi: SAGE Publication.
performance appraisal look like? Journal of Ritchie J., Lewis, J., & Elam, G. (2003).
Applied Business and Economics, 12(1), Designing and selecting samples.
57. Qualitative research practice: A guide for
Kothani, C. R. (2004). Research methodology: social science students and researchers.
Methods and techniques. New Delhi: New London: SAGE Publication.
Age International. Snell, S., & Bohlander, G. (2007). Human
Laba, K., Rusmiwari, S., & Diahloka, C. resource management. Ohio: Thomson
(2013). Representasi visi surat kabar dalam Higher Education.
foto jurnalistik. Jurnal Ilmu Sosial dan Stewart, C., & Cash, W. (2006). Interviewing:
Ilmu Politik, 2(1). Principles and practices. New York:
Mertens, D. M. (2009). Transformative McGraw Hill.
research and evaluation. New York: The Willig, C. (2007). Introducing qualitative
Guilford Press. research in psychology. New York: Open
Mortensen, T. B. & Keshelashvili, A. (2013). If University Press.
everyone with a camera can do this, then
what? Professional photojournalists' sense
of professional threat in the face of citizen
photojournalism. Visual Communication
Quarterly, 20(3), 144-158. doi:
10.1080/15551393.2013.820587
Noe, R. A., Hollenbeck, J. R. & Gerhart, B. &
Wright, P. M. (2012). Human resource
management: Gaining a competitive
advantage. New York: McGraw-Hill
Novia, A. H. (2012). Representasi buruh dalam
STANDARISASI KOMPETENSI 81
JPIO ISSN 2302-8440

Panduan Bagi Penulis Jurnal Ilmiah


Psikologi Industri dan Organisasi
(Judul, 22 point Centered)

Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi


Nama dan alamat lembaga (12 point centered)

Abstract is written in English, limited to 250 words, and written in single


paragraph. Abstract should contain goal, research method, and short
description of result. (11 point, use block format, no indentation).

Keywords: written inline, three to ten words (10 point).

Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format Penulisan naskah pada umumnya mengikuti kaidah-
final artikel Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan kaidah yang tertuang dalam Publication Manual of
Organisasi (JPIO). Bagian pendahuluan ini tanpa the American Psychological Association (APA)
menggunakan heading “Pendahuluan” atau “Latar Edisi Keenam (2009). Heading tanpa penomoran
Belakang”. dengan maksimal tiga peringkat sub-heading:

Panduan Bagi Penulis Ini Heading


Isi artikel memerhatikan gagasan dasar yang Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush
dirumuskan oleh Sidang Penyunting, yang dapat Left, Capitalize Keywords)
dilihat dalam situs web www.jpio.org
Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first
softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading
ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah peringkat satunya adalah “Prosedur Pengumpulan
surat pemberitahuan revisi. dan Analisis Data”, maka teks dalam paragraf ini
Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan menerangkan hal tersebut.
artikel yang tidak dimuat. Kepastian Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a)
pemuatan/penolakan/revisi dilakukan secara tertulis. pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan
Manuskrip orisinal dikirimkan dalam format masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan
soft copy (Microsoft Word atau OpenOffice Writer) dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak
melalui media cakram kompak ke alamat surat diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian,
Sidang Penyunting, atau melalui surat elektronik gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan
dengan alamat penyunting@jpio.org dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji
hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan
Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi
dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan
Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New
problem-problem terkait yang dipandang dapat
Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan.
PANDUAN BAGI PENULIS

memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,


Referensi
implikasi, dan rekomendasi.
Tabel dan gambar harus diberi caption Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D.
(judul/keterangan) menggunakan huruf besar di (2002). The personality paradox in offender
awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case profiling: A theoretical review of the processes
untuk gambar), serta dengan penomoran yang involved in deriving background characteristics
berurutan. Caption tabel diletakkan di atas, from crime scene actions. Psychology, Public
sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar Policy, and Law, 8(1), 115-135.
dibuat ukurannya tidak terlalu kecil. Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of
Usahakan penggunaan gambar dua warna geographical profiling. UK: Virgin Books.
(hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar. Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997,
Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam April). Level of voice among adolescent males
format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian and females. Paper presented at the bi-annual
bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin meeting of the Society for Research in Child
penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus Development, Washington, D. C.
disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak Johnson, E. (1995). The role of social support and
ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah gender orientation in adolescent female
statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p < development. Disertasi, tidak diterbitkan,
0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05 University of Denver, Denver, CO.
untuk uji-t; 2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of
kai kuadrat, dan sejenisnya. latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound
syndromes, ethnopsychiatry, and alternative
therapies. Honolulu: The University Press of
Cara Mengacu dan Referensi
Hawaii.
Penulisan acuan mengikuti format APA. Contoh National Council Against Health Fraud. (2001).
cara mengacu: Pseudoscientific psychological therapies
Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, “Setiap scrutinized. NCAHF news, 24(4).
fase dari tahapan itu hendaknya dilalui,” namun .... Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari
Subagyo (“Kesalehan Lingual,” 2008) http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html
berargumen bahwa kekerasan verbal .... Petition for the recognition of police psychology as
Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter, a proficiency in professional psychology.
Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a; (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009,
McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police
serupa mengenai .... %20Psychology%20Proficiency%20Petition-
Referensi, terbatas pada sumber yang dirujuk, Final.pdf
disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori
termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. &
berasal dari sumber primer (laporan penelitian, Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya
artikel jurnal ilmiah). Contoh penulisan referensi asli diterbitkan tahun 1970)
adalah sebagai berikut. Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A new brain
for Intel. Time Magazine, 9-10.
JurnalI
lmi
ah Psi
kol
ogiI
ndustri& Organi
sasi

Anda mungkin juga menyukai