Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Strategi pembangunan bangsa diarahkan pada upaya kebijakan dan

program yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan

masyarakat yang akan menghasilkan masyarakat Indonesia yang unggul. Karena

itu, salah satu prioritas pembangunan bangsa adalah dengan cara pembentukan

karakter bangsa, salah satunya yang ditentukan  oleh kecukupan gizi.

Kebutuhan tubuh terhadap gizi berhubungan erat dengan fungsi dan

manfaat gizi itu sendiri. Manfaat itu antara lain, memelihara tubuh serta

mengganti jaringan tubuh yang rusak, memproduksi energi, mengatur

metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air dan mineral, cairan tubuh

lainnya, serta berperan dalam mekanisme pertahaan tubuh terhadap berbagai

penyakit (Maharani, 2015).

Kekurangan gizi pada balitaakan berdampak pada perkembangan balita

dan selanjutnya perkembangan potensi diri pada usia produktif. Masalah gizi pada

balita bisa terjadi bukan hanya karena balitasusah makan, tetapi jika orang tua

menyediakan makanan bagi balita dengan gizi yang salah, kekurangan asupan

makanan, maka masalah lebih besar bisa terjadi pada balita dikemudian hari.

Makanan bagi balita merupakan faktor yang sangat penting untuk

diperhatikan.Bukan hanya dari segi kuantitas jumlah makanan yang diberikan,

juga dari segi kualitasnya.Makanan yang banyak memang bisa mengenyangkan

perut, tetapi lebih penting adalah gizi yang cukup agar dapat menjamin

pertumbuhan balita secara sempurna (Marcia. 2016).


Balita yang mengalami gizi kurang/buruk akan mengalami gangguan

pertumbuhan dan perkembangan otak, otot, komposisi tubuh, dan metabolic

programming glukosa, lemak dan protein dan nantinya memiliki efek negatif

terhadap kemampuan untuk belajar dan memproses informasi dan menjadi orang

dewasa yang produktif. Kekurangan gizi juga mempengaruhi fungsi kekebalan

tubuh, sehingga lebih rentan untuk menderita penyakit infeksi.Kurang Energi

Protein (KEP) adalah keadaan yang disebebkan oleh rendahnya konsumsi energi

dan protein (IDAI, 2011).

Balita yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada

pemeriksaan hanya nampak kurus, sedangkan gejala klinis KEP berat secara garis

besar dapat dibedakan menjadi 3 yaitu Marasmus, Kwasiorkor, dan Marasmik-

Kwasiorkor.Marasmus dan Kwasiorkor atau Marasmik- Kwasiorkordikenal

dimasyarakat sebagai busung lapar (World Bank, 2010 dalam Nocholas 2011).

Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan masalah gizi. Pada

kelompok tersebut mengalami siklus pertumbuhan dan perkembangan yang

membutuhkan zat-zat gizi yang lebih besar dari kelompok umur yang lain

sehingga balita paling mudah menderita kelainan gizi(A, Dewi, 2012).

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu gizi buruk ?

2. Apakah saja faktor penyebab gizi buruk ?

3. Bagaimana gambaran gizi buruk di Kota Bukittinggi ?

4. Apa saja penanggulangan gizi buruk?


C. Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi gizi buruk.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab gizi buruk.

3. Untuk mengetahui gambaran gizi buruk di Kota Bukittinggi.

4. Untuk mengetahui penanggulangan gizi buruk.


BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Defenisi Gizi Buruk


Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi ecara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat yang tidak digunakan
untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ –
organ serta menghasilkan energi. Akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat
gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini
berlangsung lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi
kemerosotan jaringan.
Seseorang yang gizi buruk disebakan oleh rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari – hari. Pada umumnya penderita KEP berasal dari
keluarga yang berpenghasilan rendah, tanda – tanda klinis gizi buruk dapat
menjadi indicator yang sangat penting untuk mengetahui seseorang menderita
gizi buruk. Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak factor.

B. Faktor Penyebab Gizi Buruk

WHO menyebutkan bahwa banyak faktor dapat menyebabkan gizi buruk,

yang sebagian besar berhubungan dengan pola makan yang buruk, infeksi berat

dan berulang terutama pada populasi yang kurang mampu. Diet yang tidak

memadai, dan penyakit infeksi terkait erat dengan standar umum hidup, kondisi

lingkungan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,

perumahan dan perawatan kesehatan (WHO, 2012). Banyak faktor yang

mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya adalah status sosial ekonomi,

ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak, dan Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR) (Kusriadi, 2010).


1. Konsumsi zat gizi

Konsumsi zat gizi yang kurang dapat menyebabkan keterlambatan

pertumbuhan badan dan keterlambatan perkembangan otak serta dapat

pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap

penyakit infeksi (Krisnansari d, 2010). Selain itu faktor kurangnya asupan

makanan disebabkan oleh ketersediaan pangan,nafsu makan

anak,gangguan sistem pencernaan serta penyakit infeksi yang diderita

(Proverawati A, 2009).

2. Penyakit infeksi

Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat. Infeksi pada anak-

anak yang malnutrisi sebagian besar disebabkan kerusakan fungsi

kekebalan tubuh, produksi kekebalan tubuh yang terbatas dan atau

kapasitas fungsional berkurang dari semua komponen seluler dari sistem

kekebalan tubuh pada penderita malnutrisi

3. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan

Seorang ibu merupakan sosok yang menjadi tumpuan dalam mengelola

makan keluarga. pengetahuan ibu tentang gizi balita merupakan segala

bentuk informasi yang dimiliki oleh ibu mengenai zat makanan yang

dibutuhkan bagi tubuh balita dan kemampuan ibu untuk menerapkannya

dalam kehidupan sehari-hari (Mulyaningsih F, 2008). Kurangnya

pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan

untuk menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan

salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi (Notoadmodjo S, 2003).

Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan


keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu

tentang makanan dan gizinya.Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan

kesalahan pemilihan makanan terutama untuk anak balita (Nainggolan J

dan Zuraida R, 2010).

4. Pendidikan ibu

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah

diberikan pengertian mengenai suatu informasi dan semakin mudah untuk

mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam

hal kesehatan dan gizi (Ihsan M.Hiswani, Jemadi, 2012). Pendidikan ibu

yang relatif rendah akan berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam

menangani masalah kurang gizi pada anak balitanya (Oktavianis, 2016).

5. Pola asuh

Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang diterapkan kepada

anak balita dan pemeliharaan kesehatan. Pola asuh makan adalah praktik-

praktik pengasuhan yang diterapkan ibu kepada anak balita yang berkaitan

dengan cara dan situasi makanPola asuh yang baik dari ibu akan

memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan perkembangan

balita sehingga akan menurunkan angka kejadian gangguan gizi dan begitu

sebaliknya (Siti M, 2015).

6. Sanitasi

Sanitasi lingkungan termasuk faktor tidak langsung yang mempengaruhi

status gizi.Gizi buruk dan infeksi kedua – duanya bermula dari kemiskinan

dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk (Suharjo, 2010).
7. Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor eksternal yang

mempengaruhi status gizi balita. Keluarga dengan status ekonomi

menengah kebawah, memungkinkan konsumsi pangan dan gizi terutama

pada balita rendah dan hal ini mempengaruhi status gizi pada anak balita

( Supariasa IDN, 2012).

8. Ketersediaan pangan

Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung

terjadinya status gizi kurang atau buruk.Masalah gizi yang muncul sering

berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, salah satunya timbul akibat

masalah ketahananpangan ditingkat rumahtangga, yaitu kemampuan

rumahtangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya.

9. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga berperan dalam status gizi seseorang.Anak yang

tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi.apabila

anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang,

asupan makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab

langsung karena dapat menimbulkan manifestasi berupa penurunan berat

badan atau terhambat pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak

merupakan faktor yang turut menentukan status gizi balita (Faradevi R,

2011).
10. Sosial budaya

Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan

dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya serta untuk

siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi. Sehingga

hal tersebut dapat menimbulkan masalah gizi buruk.

C. Klasifikasi Gizi Buruk

1. Marasmus

Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup.Marasmus

sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan.Pada kasus marasmus,

anak terlihat kurus kering sehingga wajah seperti orangtua, kulit keriput,

cengeng dan rewel meskipun setelah makan, perut cekung, rambut tipis,

jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas dan pantat kendur dan keriput

(baggy pant).

2. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat

disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun

asupan protein yang inadekuat (Liansyah TM, 2015). Beberapa tanda

khusus dari kwashiorkor adalah: rambut berubahmenjadi warna

kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah rontok, apabila rambut

keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan biasanya disertai anemia,

terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau protein.

Pada kulit yang terdapat dispigmentasi akan tampak pucat, Sering terjadi

dermatitis (radang pada kulit), terjadi pembengkakan, terutama pada kaki


dan tungkai bawah sehingga balita terlihat gemuk. Pembengkakan yang

terjadi disebabkan oleh akumulasi cairan yang berlebihan.Balita memiliki

selera yang berubah-ubah dan mudah terkena gangguan pencernaan.

3. Marasmus-kwashiorkor

Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan

kwashiorkor.Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan

energi untuk pertumbuhan normal.Pada penderita berat badan dibawah

60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor seperti

edema, kelainan rambut, kelainan kulit serta kelainan biokimia (Pudjiadi

S, 2010).

D. Gambaran Status Gizi Buruk di Bukittinggi

Keadaan gizi buruk di kota Bukittinggi melalui hasil survey e-PPGM

(Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) tahun 2018 adalah sebagai

berikut Puskesmas Guguk Panjang sebesar 2,18 %, Puskesmas Rasimah Ahmad

sebesar 1,30 %, Puskesmas Mandiangin sebesar 0,49 %, Puskesmas Nilam sari

sebesar 0,27 %, Puskesmas Gulai Bancah sebesar 0,91 %, Puskesmas Plus

Mandiangin sebesar 0,20 %, dan Puskesmas Tigo Baleh sebesar1,00 %.


E. Penanggulangan Gizi Buruk

Penemuan Kasus gizi buruk melalui hasil penimbangan rutin di

posyandu, laporan bidan desa, melalui kader. Balita yang teiah dinyatakan

gizi buruk dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit.

Seharusnya sarana dan prasarana yang ada diposyandu harus

dilengkapi seperti yang diuraikan dalam Pedoman Respon Cepat

penanggulangan gizi buruk yang dikeluarkan Kemenkes 2011 bahwa

Kecamatan/puskesmas mempersiapkan kebutuhan alat dan bahan dari

seluruh posyandu yang ada di wilayahnya. Disamping sarana dan Prasarana

Posyandu yang kurang, ternyata sarana dan prasarana juga tidak lengkap,

terutama sarana KIE dan buku panduan balita gizi buruk tidak ada di

puskesmas. Tidak adanya sarana KIE dan buku panduan tatalakasana gizi

buruk di puskesmas akan mengakibatkan penanggulangan gizi buruk tidak

berdasarkan atas alur atau protap yang telah ditentukan. Petugas tentu tidak

akan memahami tentang program gizi secara keselumhan. Sehingga yang

dilakukan puskesmas kurang maksimal, hanya tergantung dari hasil rapat

atau instruksi dari Dinas Kesehatan Kabupaten saja.

Sebagai akibat kurangnya sarana dan prasarana di posyandu terutama

alat yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan Ibu yaitu media

KIE kalau tidak ada, maka posyandu yang dijadikan tempat memberikan

pendidikan ibu untuk meningkatakan pemahamannya tentang pencegahan

dan penanggulangan balita gizi buruk tidak dapat terlaksana.

Hasil penelitian mengenai pembinaan tatalaksana gizi buruk bagi Peran

kader dalam implementasi gizi buruk sesuai dengan Kemenkes RI 2008


sangat berperan sekali dalam penemuan kasus di masyarakat baik melihat

secara langsung sesuai dengan tanda dan gejala klinis yang ditemukan,

maupun dalam kegiatan penimbangan rutin di posyandu. Selain dari itu kader

juga berperan dalam tindak lanjut pemulihan status gizi di rumah. Untuk itu

sangat penting sekali kader dibekal pengetahuan melalui pembinaan tentang

penatalaksanaan gizi buruk oleh petugas kesehatan yang ada di puskesmas.

Jumlah petugas gizi juga masih kurang. Disamping secara kuantitas

kurang. Secara kuailtas belum ada upaya pelatihan bagi petugas yang

berhubungan langsung dengan penanggulangan gizi buruk seperti TPG dan

dokter.

Menurut Kemen.Kes, RI, 2011, kehadiran wajib petugas puskesmas

hanya diselenggarakan satu kali sebulan saja, jadi jika buka posyandu lebih

dari satu kali sebulan pelayanan kesehatan tidak bisa diberikan oleh kader

karena jumlah kadernya adalah 4 orang. Jadi sebaiknya perlu penambahan

kader perlu ditambah 1 orang lagi masing-masing posyandu sehingga

pelayanan kesehatan bisa tetap diberikan sesuai dengan kewenangannya

walaupun petugas kesehatan tidak datang pada saat posyandu. (Adriwasti

Masro, 2013)

Pelacakan dilaksanakan setelah terjadi penjaringan atau didapatkan

kasus balita gizi buruk dengan mendatangi rumah balita gizi buruk tersebut.

Kegiatan yang dilakukan dalam pelacakan balita gizi buruk diantaranya

adalah memberikan kuesioner atau tanya jawab langsung kepada orang tua

balita gizi buruk, melakukan pengukuran ulang antropometri bila diperlukan,

melakukan rujukan ke Puskesmas dan atau ke rumah sakit bila ada penyakit
yang menyertai serta melakukan dokumentasi. Hal ini sesuai dengan

Pedoman penatalaksana Gizi Buruk di Rumah Tangga dan Puskesmas.

Pelaksana tim penanggulangan gizi buruk dalam melaksanakan

tugasnya bekerja pada sore hari, ini dirasa sangat mengganggu oleh anggota

tim. Perlu dipikirkan kembali oleh pimpinan Puskesmas dalam penjadwalan

kegiatan pelacakan dan penjaringan giziburuk pada balita diwilayah kerja

Puskesmas.

Perlu meningkatkan intervensi ke posyandu sehingga lebih

meningkatkan pencapaian D/S posyandu mengingat pentingnya posyandu

sebagai sarana pelayanan kesehatan dalam upaya pencegahan dan

penanggulangan KEP pada balita. Petugas perlu meningkatkan motivasi

pentingnya penimbangan diposyandu kepada masyarakat dengan mengikut

sertakan lintas sektoral dan key person (tokoh agama, tokoh masyarakat,

sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat ke posyandu. (Rahma

Edy Pakaya, 2008)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi ecara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat yang tidak digunakan

untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ

– organ serta menghasilkan energi. Akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat

gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini

berlangsung lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi

kemerosotan jaringan.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya

adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang

baik untuk anak, dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Keadaan gizi buruk di kota Bukittinggi melalui hasil survey e-PPGM

(Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) tahun 2018 adalah sebagai

berikut Puskesmas Guguk Panjang sebesar 2,18 %, Puskesmas Rasimah

Ahmad sebesar 1,30 %, Puskesmas Mandiangin sebesar 0,49 %, Puskesmas

Nilam sari sebesar 0,27 %, Puskesmas Gulai Bancah sebesar 0,91 %,

Puskesmas Plus Mandiangin sebesar 0,20 %, dan Puskesmas Tigo Baleh

sebesar1,00 %.

Penemuan Kasus gizi buruk melalui hasil penimbangan rutin di posyandu,

laporan bidan desa, melalui kader. Balita yang teiah dinyatakan gizi buruk

dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit.


Seharusnya sarana dan prasarana yang ada diposyandu harus dilengkapi

seperti yang diuraikan dalam Pedoman Respon Cepat penanggulangan gizi

buruk yang dikeluarkan Kemenkes 2011 bahwa Kecamatan/puskesmas

mempersiapkan kebutuhan alat dan bahan dari seluruh posyandu yang ada di

wilayahnya. Disamping sarana dan Prasarana Posyandu yang kurang, ternyata

sarana dan prasarana juga tidak lengkap, terutama sarana KIE dan buku

panduan balita gizi buruk tidak ada di puskesmas. Tidak adanya sarana KIE

dan buku panduan tatalakasana gizi buruk di puskesmas akan mengakibatkan

penanggulangan gizi buruk tidak berdasarkan atas alur atau protap yang telah

ditentukan. Petugas tentu tidak akan memahami tentang program gizi secara

keselumhan. Sehingga yang dilakukan puskesmas kurang maksimal, hanya

tergantung dari hasil rapat atau instruksi dari Dinas Kesehatan Kabupaten saja.

B. Saran

Semoga dari makalah yang kami buat bermanfaat bagi pembaca dan juga

penulis, sehingga dapat memahami mengenai gizi buruk dan penanggulangannya.

Kami sebagai penulis memohon kritikan dan saran akan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Faradevi, R. 2011. Perbedaan besar pengeluaran keluarga, jumlah anak serta
asupan energi dan protein balita antara balita kurus dan normal.Skripsi.
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
Kusriadi. 2010. Analisis faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kurang gizi
pada anak balita di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) [Tesis]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Masro, Adriwasti, dkk. 2014. Implementasi Penanggulangan Gizi Buruk di
Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman,
8(1), 21-26
Mulyaningsih, F. 2008. Hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi Balita dan
pola makan balita terhadap status Gizi balita di kelurahan srihardono
Kecamatan pundong.Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Negeri
Yogyakarta
Nainggolan, J., Zuraida, R. 2014. Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap Gizi
Ibu dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rajabasa Indah
Kelurahan Rajabasa Raya Bandar Lampung.Skripsi. Universitas Lampung.
Oktavianis, S. 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Pada
Balita di Puskesmas Lubuk Kilangan. Jurnal Human Care. Volume 1 No. 3
Tahun 2016
Pakaya, Rahma Edy. Dkk. 2008. Upaya Penanggulangan Gizi Buruk Pada Balita
Melalui Penjaringan Dan Pelacakan Kasus, 24(2), 69-75
Proverawati, Asfuah S., 2009. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Pudjiadi S, 2010. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:EGC
Suhardjo.2010. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Supariasa, IDN. 2012. Pendidikan Dan Konsultasi Gizi. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai