Anda di halaman 1dari 14

Film Boo!

Bikin Penonton Kecewa

Oleh : Chindy Yulia Permatasari

Menonton merupakan pilihan hiburan ketika manusia berada dititik jenuhnya. Tidak terkecuali dengan
film horror yang siap memompa semangat melawan rasa takut ketika menonton film tersebut. Boo! Merupakan
jenis film horror yang rilis sejak 21 September 2019. Disutradarai oleh Luke Jaden dan dibintangi oleh Jaden
Piner berperan sebagai Caleb, anak laki-laki yang dapat melihat hantu, Rob Zabrecky memerankan tokoh
James, Ayah dari Morgan dan Caleb, Aurora Perrineau sebagai Morgan , anak perempuan tertua, Jill Marie
Jone berperan Elyse istri James, dan Charley Palmer Rothwell sebagai Ash , kekasih Morgan.

Film ini dimulai dengan pasangan James dan Elyse yang sudah menikah berusaha mempertahankan
rumah tangganya ditengah ketidak harmonisan dan depresi yang diderita anak-anaknya karena masa lalu
mereka. Ketika Halloween pada tahun 1980 tiba, mereka mendapat sebuah peringatan yang diletakkan di depan
pintu. Secarik kertas itu tertulis "You have been booed!". Semuanya bermula saat mereka mengabaikan
peringatan yang sudah melegenda di kota Detroit. James tidak percaya akan adanya hantu dan mengira surat itu
hanya prank lalu membakar kertas peringatan tersebut. Namun mereka mulai menyadari bahwa mereka sedang
terjebak dalam teror. Nyawa satu keluarga terancam karena mereka mengabaikan peringatan. Hantu-hantu itu
mulai meneror mereka satu per satu.

Tidak bisa dipungkiri kesuksesan film horror adalah ketika penonton dihantui rasa takut saat sedang dan
setelah memonton film. Sayangnya film Boo! Terkesan tanggung dalam memberikan rasa takut itu yang
mengakibatkan rasa kecewa penonton. Apa yang membuat penonton film Boo! Kecewa? Bisa ditinjau dari
sounds dan gambarnya.

Hantu bayangan hitam, dan hantu anak kecil tanpa mata itu seakan kurang menghidupkan rasa takut
karena mata hantu itu terlihat seperti diberi polesan make up. Backsound music pengiring film ini juga terkesan
umum tidak ada baksound horor khusus. Alur cerita yang sulit dimengerti pada bagian awal dan ending cerita
yang gantung berhasil membuat penonton sontak mengatakan bagaimana kabar ketiga anggota keluarga setelah
terjebak dalam kebakaran?“huh”. Bisa saja ini taktik produksi film mungkin saja setelah ini aka nada film Boo!
Ke dua.

Tidak hanya dari segi gambar, amanat dari film ini terkesan dikit dan mudah terabaikan karena tertutupi
dengan banyaknay perilaku gaya hidup bebas yang tidak sesuai dengan budaya perilaku di Indonesia. Misalnya
seorang ibu yang minum alcohol dan perokok aktif, hal ini diikuti dengan anak perempuannya Morgan yang
kerap berkencan tengah malam tanpa izin bahkan ada adegan kiss. Percakpan antar tokoh yang terkesan kasar
seperti “fuck, shit” ini tidak baik didengar anak-anak. Meskipun film ini memberikan amanat mengenai
pentingnya mendengarkan keluhan orang lain, mengajarkan percaya dan terbuka dan membuang ego masing-
masing jika ingin keluarga kembali harmonis.

Sejatinya jika hanya untuk menghabiskan waktu libur, tidak masalah jika menonton film Boo!
Tergantung dari tingkat rasa takut pada diri masing-masing penonton, namun penulis pribadi masih merasa
kurang,. Terkhusus lagi alasanan menonton film ini untuk melatih skill bahasa inggrish yang pada faktanya
tidak terlalu memberikan efek pada kemampuan bahasa inggris dikarenakan percakapannya yang sedikit.
Setiap film memiliki pesan kebaikan jadi temukan pesan kebaikan itu dengan menontonnya. Film ini
dipasarkan untuk usia 17 tahun ke atas meskipun begitu tetap dampingin anak setiap menonton.
Boo! Movie Make the Audience Disappointed

By: Chindy Yulia Permatasari

Watching is an entertainment choice when humans are at the bored. No exception to the horror film that
is ready to pump the spirit against fear when watching the film. Boo Is a type of horror film released since
September 21, 2019. Directed by Luke Jaden and starring Jaden Piner as Caleb, a boy who can see ghosts, Rob
Zabrecky plays the character James, Father of Morgan and Caleb, Aurora Perrineau as Morgan, eldest daughter,
Jill Marie Jone plays Elyse's wife James, and Charley Palmer Rothwell as Ash, Morgan's lover.

The film begins with a married couple James and Elyse trying to maintain their household amid the
disharmony and depression suffered by their children because of their past. When Halloween arrived in 1980,
they got a warning placed at the door. The piece of paper says "You have been booed!". It all started when they
ignored the legendary warning in the city of Detroit. James did not believe in ghosts and thought the letter was
just a prank and then burned the warning paper. But they began to realize that they were trapped in terror. One
family's life is threatened because they ignored the warning. The ghosts began terrorizing them one by one.

It cannot be denied that the success of a horror film is when the audience is haunted by fear while on and
after watching the film. Unfortunately the movie Boo! Impressed responsibility in giving fear that resulted in
the audience feeling disappointed. What made the movie audience Boo! Disappointed? Can be viewed from the
sounds and images.

The ghost of a black shadow, and the ghost of a child without eyes seemed to turn less fear because the
ghost's eyes looked like they were given makeup. Backsound music that accompanies the film also impressed
general there is no special horror sounds. The storyline that is difficult to understand at the beginning and
ending of a hanging story succeeded in making the audience instantly say how are the three family members
after being trapped in a fire? It could be that this film production tactic might just be after this there will be
movie Boo! 2.

Not only in terms of pictures, the mandate of this film seems a little and easily overlooked because it is
covered with many free lifestyle behaviors that are not in accordance with the cultural behavior in Indonesia.
For example a mother who drinks alcohol and is an active smoker, this is followed by her daughter Morgan who
often dates midnight without permission and there is even a kiss scene. Conversations between characters who
seem rude like "fuck, shit" are not good for children to hear. Although this film gives a message about the
importance of listening to the complaints of others, teaches trust and openness and discard each other's ego if
you want the family back in harmony.

Indeed, if only to spend time off, no problem if watching Boo! Depending on the level of fear in each
audience, but the personal writer still feels less. Especially the reason for watching this film is to practice
English skills which, in fact, does not really have an effect on English skills because of the lack of conversation.
Every film has a message of goodness so find that message of goodness by watching it. This film is marketed
for the age of 17 years and over, although it is still with and around every child watching.
The word Pragmatic:

This second coordinate deals with the relationship between text and audience. The concern for the moral effects of
art is often drawn from mimetic theory. Plato invokes the flawed mimetic capacity of poetry as the source of its moral
contagiousness. "Psychological" critics like Wordsworth and Aristotle are pragmatists; they lay great stress on art's
supposed therapeutic value.

Kata Pragmatis:

Koordinat kedua ini berkaitan dengan hubungan antara teks dan audiens. Perhatian terhadap efek moral seni sering
diambil dari teori mimesis. Plato menyebut kapasitas mimesis yang cacat dari puisi sebagai sumber penularan moralnya.
Kritikus "psikologis" seperti Wordsworth dan Aristoteles adalah pragmatis; mereka memberi tekanan besar pada nilai
terapi yang seharusnya dari seni.

theories of this mode highlight the reader’s relation to the work. Towards the end of 19th century, pragmatism became
the furthermost vital school of thought with in American philosophy. It continued the observer tradition of grounding
knowledge on practice and stressing the inductive actions of experimental science.

Freud does the same. Another version of this psychological pragmatism is the one practiced by early aestheticians like
Baumgartner and Kant, who wrote about the "aesthetic emotions."

Pragmatic criticism is concerned, first andforemost, with the ethical impact any literary text has upon an audience.
Regardless of art's other merits or failings, the primaryresponsibility or function of art is social in nature. Assessing,
fulfilling, and shaping the needs, wants, and desires of an audience should be the first task of an artist.

They theorized about the effects of poetic language on the mind, as does Krieger today. Aside from moral and
psychological pragmatism, there is ideological or political pragmatism: cultural studies-oriented critics focus on gender,
race, and class issues. They inquire into the extent to which works support or undermine particular ideologies. This is
moral criticism with a political bent. One might ask, for example, what the effects of the portrayal of African-Americans
were in "Gone with the Wind."

Teori-teori mode ini menyoroti hubungan pembaca dengan karya. Menjelang akhir abad ke-19, pragmatisme menjadi
aliran pemikiran paling vital dengan filsafat Amerika. Ini melanjutkan tradisi pengamat landasan pengetahuan pada
praktik dan menekankan tindakan induktif sains eksperimental.
Freud melakukan hal yang sama. Versi lain dari pragmatisme psikologis ini adalah versi yang dipraktikkan oleh ahli
estetika awal seperti Baumgartner dan Kant, yang menulis tentang "emosi estetika".

Kritik pragmatis prihatin, pertama dan terutama, dengan dampak etis dari setiap teks sastra pada audiensi. Terlepas
dari kelebihan atau kegagalan seni lainnya, tanggung jawab utama atau fungsi seni bersifat sosial. Menilai, memenuhi,
dan membentuk kebutuhan, keinginan, dan keinginan audiens harus menjadi tugas pertama seorang seniman.

Mereka berteori tentang efek bahasa puisi pada pikiran, seperti halnya Krieger saat ini. Selain pragmatisme moral dan
psikologis, ada pragmatisme ideologis atau politis: kritikus yang berorientasi pada studi budaya berfokus pada masalah
gender, ras, dan kelas. Mereka menanyakan sejauh mana kerja mendukung atau melemahkan ideologi tertentu. Ini
adalah kritik moral dengan kecenderungan politis. Orang mungkin bertanya, misalnya, apa dampak penggambaran
orang Afrika-Amerika di "Gone with the Wind."

iii. Pragmatic Theories Poesy therefore [said Sidney] is an arte of imitation, for so Aristotle termeth it in the
word Mimesis, that is to say, a representing, counterfetting, or figuring foorth to speake metaphorically, a
speaking picture: with this end, to teach and delight." In spite of the appeal to Aristotle, this is not an
Aristotelian formulation. To Sidney, poetry, by definition, has a purpose-to achieve certain effects in an
audience. It imitates only as a means to the proximate end of pleasing, and pleases, it turns out, only as a means
to the ultimate end of teaching; for 'right poets' are those who 'imitate both to delight and teach, and delight 15
PRAGMATIC THEORIES to move men to take that goodnes in hande, which without delight they would flye
as from a stranger. peeds of the audience become the fertile grounds for critical distinctions and standards, In
order 'to teach and delight,' poets imitate not 'what is, hath been, or shall be,' but only 'what may be, and should
be,' so that the very of imitation become such as to guarantee the moral purpose. The " As a result, throughout
this essay the objects poet is distinguished from, and elevated above, the moral philosopher and the historian by
his capacity to move his auditors more forcefully to virtue, since he couples 'the general notion' of the
philosopher with 'the particular example' of the historian; while by disguising his doctrine in a tale, he en- tices
even 'harde harted evill men, unaware, into the love of goodness, 'as if they tooke a medicine of Cherries.' The
genres of poetry are discussed and ranked from the point of view of the moral and social effect each is suited to
achieve: the epic poem thus demonstrates itself to be the king poctry because it 'most inflameth the mind with
desire to be worthy, and even the lowly love lyric is conceived as an instrument for persuading a mistress of the
genuineness of her lover's passion." A history of criticism could be written solely on the basis of successive
interpretations of salient passages from Aristotle's Poetics. In this instance, with no sense of strain, Sidney
follows his Italian guides (who in turn had read Aristotle through the spectacles of Horace, Cicero, and the
Church fathers) in bending one after another of the key statements of the Poetics to fit his own theoretical
frame." For convenience we may name criticism that, like Sidney's, is ordered toward the audience, a 'pragmatic
theory,' since it looks at the work of an chiefly as a means to an end, an instrument for getting something done
and tends to judge its value according to its success'in achieving that aim There is, of course, the greatest
variance in emphasis and detail, but th central tendency of the pragmatic critic is to conceive a poem as
somethin made in order to effect requisite responses in its readers; to consider th author from the point of view
of the powers and training he must hav in order to achieve this end; to ground the classification and anatomy
poems in large part on the special effects cach kind and component is mo competent to achieve; and to derive
the norms of the poetic art and canor of critical appraisal from the needs and legitimate demands of the audien
to whom the poetry is addressed. The perspective, much of the basic vocabulary, and many of the char teristic
topics of pragmatic criticism originated in the classical theory rhetoric. For rhetoric had been universally
regarded as an instrument I of

aku aku aku. Teori Pragmatis oleh karena itu Poesy [kata Sidney] adalah seni imitasi, karena itu Aristoteles
menyebutnya dengan kata Mimesis, yaitu, mewakili, mewakili, melawan balik, atau mencari cara untuk
berbicara secara metaforis, gambar yang berbicara: dengan tujuan ini, untuk mengajar dan bergembira.
"Terlepas dari seruan kepada Aristoteles, ini bukan formulasi Aristoteles. Bagi Sidney, puisi, menurut definisi,
memiliki tujuan - untuk mencapai efek tertentu dalam audiensi. Ia meniru hanya sebagai sarana untuk tujuan
akhir. ternyata menyenangkan, dan menyenangkan, ternyata, hanya sebagai sarana untuk tujuan akhir
pengajaran, karena 'penyair yang benar' adalah mereka yang 'meniru keduanya untuk bersenang-senang dan
mengajar, dan menyenangkan 15 TEORI PRAGMATIK untuk menggerakkan manusia untuk mengambil
kebaikan itu di hande, yang tanpa senang mereka akan terbang seperti dari orang asing.kecepatan penonton
menjadi dasar subur untuk perbedaan kritis dan standar, Dalam rangka 'untuk mengajar dan bersenang-senang,'
penyair meniru bukan 'apa yang, telah, atau akan menjadi, 'tetapi hanya' apa yang mungkin, dan seharusnya, ' o
sehingga tiruan menjadi seperti untuk menjamin tujuan moral. "Sebagai akibatnya, sepanjang esai ini objek-
objek penyair dibedakan dari, dan diangkat di atas, filsuf moral dan sejarawan dengan kemampuannya untuk
memindahkan auditornya lebih kuat ke kebajikan, karena ia menyandingkan 'gagasan umum' filsuf dengan
'contoh khusus' dari sejarawan; sementara dengan menyamarkan doktrinnya dalam dongeng, dia bahkan
memasukkan 'harde harted semua orang, tanpa sadar, ke dalam cinta kebaikan,' seolah-olah mereka meminum
obat Ceri. ' Genre puisi dibahas dan diberi peringkat dari sudut pandang efek moral dan sosial yang cocok
untuk dicapai masing-masing: puisi epik dengan demikian menunjukkan dirinya sebagai raja poctry karena ia
'paling membakar pikiran dengan keinginan untuk menjadi layak, dan bahkan lirik cinta rendahan dikandung
sebagai alat untuk membujuk seorang simpanan akan keaslian gairah kekasihnya. " Sebuah sejarah kritik dapat
ditulis semata-mata atas dasar interpretasi berturut-turut dari bagian-bagian yang menonjol dari Aristoteles
Poetics. Dalam hal ini, tanpa merasa tegang, Sidney mengikuti panduan Italia-nya (yang pada gilirannya telah
membaca Aristoteles melalui kacamata Horace, Cicero, dan para ayah Gereja) dalam membungkuk satu per satu
pernyataan kunci dari Puitis agar sesuai dengan miliknya. kerangka teoretis sendiri. "Untuk kenyamanan kita
dapat menyebutkan kritik yang, seperti halnya Sidney, diperintahkan kepada audiens, sebuah 'teori pragmatis,'
karena ia memandang karya yang terutama sebagai alat untuk mencapai tujuan, alat untuk menyelesaikan
sesuatu dan cenderung menilai nilainya sesuai dengan keberhasilannya 'dalam mencapai tujuan itu. Tentu saja,
ada perbedaan terbesar dalam hal penekanan dan perincian, tetapi kecenderungan sentral kritik pragmatis adalah
menyusun sebuah puisi seperti yang dibuat untuk menghasilkan persyaratan. tanggapan dalam pembacanya,
untuk mempertimbangkan penulis dari sudut pandang kekuasaan dan pelatihan ia harus hav untuk mencapai
tujuan ini, untuk tanah klasifikasi dan anatomi puisi sebagian besar pada efek khusus cach jenis dan komponen
kompeten untuk dicapai; dan untuk mendapatkan norma-norma seni puitis dan walikota penilaian kritis dari
kebutuhan dan tuntutan yang sah dari audiens kepada siapa puisi itu ditujukan. Perspektif, sebagian besar kosa
kata dasar, dan banyak topik karistik kritik pragmatis berasal dari retorika teori klasik. Karena retorika secara
universal dianggap sebagai instrumen I

ORIENTATTON OF CRITICAL THEORIES achieving persuasion in an audience, and most theorists agreed
with Cicero that in order to perruade, the orator must conciliate, inform, and move the minds of his auditors."
The great classical exemplar of the application of the rhetorical point of view to poetry was, of course, the Ars
Poetica of Horace. As Richard McKeon points out, 'Horace's criticism is directed in the main to instruct the poet
how to keep his audience in their seats until the end, how to induce cheers and applause, how to please a Roman
audi- ence, and by the same token, how to please all audiences and win immor- tality." In what became for later
critics the focal passage of the Ars Poetica, Horace advised that 'the poet's aim is either to profit or to please, or
to blend in one the delightful and the useful.' The context shows that Horace held pleasure to be the chief
purpose of poetry, for he recommends the profitable merely as a mcans to give pleasure to the elders, who, in
contrast to the young aristocrats, 'rail at what contains no serviceable lesson." But prodesse and delectare, to
teach and to please, together with another term introduced from rhetoric, movere, to move, served for centuries
to collect under three heads the sum of acsthetic effects on the reader. The balance between these terms altered
in the course of time. To the overwhelming majority of Renais- sance critics, as to Sir Philip Sidney, the moral
effect was the terminal aim, to which delight and emotion were auxiliary. From the time of the critical essays of
Dryden through the eighteenth century, pleasure tended to become the ultimate end, although poetry without
profit was often held to be trivial, and the optimistic moralist believed with James Beattie that if poetry
instructs, it only pleases the more effectually." Looking upon a poem as a 'making,' a contrivance for affecting
an audi- ence, the typical pragmatic critic is engrossed with formulating the methods -the 'skill, or Crafte of
making' as Ben Jonson called it-for achieving the effects desired. These methods, traditionally comprehended
under the term poesis, or 'art' (in phrases such as 'the art of poetry'), are formulated as precepts and rules whose
warrant consists either in their being derived from the qualities of works wbose success and long survival have
proved their adaptation to human nature, or else in their being grounded directly on the paychological laws
governing the responses of men in general. The rules, therefore, are inherent in the qualities of each excellent
work of art, and when excerpted and codified these rules serve equally to guide the artist in making and the
critics in judging any future product. 'Dryden,' said Dr. Johnson, 'may be properly considered as the father of
English criticism, as the writer who first taught us to determine upon principles the merit of com-
PRAGMATIC THEORIES position."" Dryden's method of establishing those principles was out that poetry,
like painting, has an end, which is to please; that imitation of nature is the general means for attaining this end;
and that rules serve to specify the means for accomplishing this end in detail: Having thus shewn that imitation
pleases, and why it pleases in both these arts, it follows, that some rules of imitation are necessary to obtain the
end; for with- out rules there can be no art, any more than there can be a house without a door to conduct you
into it."

ORIENTATTON DARI TEORI KRITIS yang mencapai bujukan dalam audiensi, dan sebagian besar ahli teori
sepakat dengan Cicero bahwa untuk melakukan perruade, orator harus mendamaikan, memberi informasi, dan
menggerakkan pikiran auditornya. "Contoh klasik besar penerapan titik retorika dari pandangan terhadap puisi,
tentu saja, Ars Poetica dari Horace. Seperti yang ditunjukkan oleh Richard McKeon, 'Kritik Horace diarahkan
pada intinya untuk mengajari penyair bagaimana menjaga pendengarnya di tempat duduk mereka sampai akhir,
bagaimana cara mendorong sorakan dan tepuk tangan. , cara menyenangkan audiensi Romawi, dan dengan cara
yang sama, cara menyenangkan semua audiens dan memenangkan keabadian. " Dalam apa yang kemudian
menjadi kritikus bagian penting dari Ars Poetica, Horace menyarankan bahwa 'tujuan penyair adalah untuk
mendapatkan keuntungan atau untuk menyenangkan, atau untuk berbaur menjadi satu yang menyenangkan dan
berguna.' Konteksnya menunjukkan bahwa Horace merasa senang menjadi tujuan utama puisi, karena ia
merekomendasikan yang menguntungkan hanya sebagai cara untuk memberikan kesenangan kepada para
penatua, yang, berbeda dengan bangsawan muda, 'kereta api di tempat yang tidak mengandung pelajaran yang
bisa digunakan. " Tetapi dengan sopan dan halus, untuk mengajar dan menyenangkan, bersama dengan istilah
lain yang diperkenalkan dari retorika, penggerak, untuk bergerak, melayani selama berabad-abad untuk
mengumpulkan di bawah tiga kepala jumlah efek acsthetic pada pembaca. Keseimbangan antara istilah-istilah
ini diubah dalam kursus Bagi mayoritas kritikus Renaisans, seperti halnya bagi Sir Philip Sidney, efek moral
adalah tujuan akhir, di mana kegembiraan dan emosi menjadi pelengkap. Dari saat esai kritis Dryden hingga
abad ke delapan belas, kesenangan cenderung menjadi tujuan akhir, meskipun puisi tanpa keuntungan sering
dianggap sepele, dan moralis optimis percaya dengan James Beattie bahwa jika puisi memerintahkan, itu hanya
menyenangkan yang lebih efektif. " Melihat sebuah puisi sebagai 'pembuatan,' sebuah alat untuk
mempengaruhi audiens, kritik pragmatis yang khas sibuk dengan merumuskan metode - 'keterampilan, atau
keterampilan membuat' seperti yang Ben Jonson menyebutnya - untuk mencapai efek yang diinginkan .
Metode-metode ini, yang secara tradisional dipahami dengan istilah poesis, atau 'seni' (dalam frasa seperti 'seni
puisi'), diformulasikan sebagai sila dan aturan yang surat perintahnya terdiri dari sifat-sifat yang diturunkan dari
kualitas karya yang berhasil dan lama. kelangsungan hidup telah membuktikan adaptasi mereka terhadap
kodrat manusia, atau kalau tidak, didasarkan langsung pada hukum gaji yang mengatur respons manusia secara
umum. Karena itu, peraturan tersebut melekat dalam kualitas setiap karya seni yang luar biasa, dan ketika
dikutip dan dikodifikasikan, aturan ini berfungsi sama untuk memandu seniman dalam membuat dan mengkritik
dalam menilai setiap produk di masa depan. 'Dryden,' kata Dr. Johnson, 'dapat dianggap sebagai bapak kritik
bahasa Inggris, sebagai penulis yang pertama kali mengajar kita untuk menentukan pada prinsip-prinsip apa
yang pantas dari posisi THE PRAGMATIC THEORIES. "" Metode Dryden dalam menetapkan prinsip-prinsip
itu adalah bahwa puisi, seperti lukisan, memiliki tujuan, yaitu untuk menyenangkan; bahwa meniru alam
adalah cara umum untuk mencapai tujuan ini; dan bahwa aturan berfungsi untuk menentukan cara untuk
mencapai tujuan ini secara terperinci: Dengan demikian telah menunjukkan bahwa peniruan menyenangkan,
dan mengapa hal itu disukai dalam kedua seni ini, maka diikuti, bahwa beberapa aturan peniruan diperlukan
untuk mendapatkan tujuan; karena tanpa aturan tidak ada seni, tidak ada rumah tanpa pintu untuk membawa
Anda ke dalamnya. "

Emphasis on the rules and maxims of an art is native to all criticism that grounds itscelf in the demands of an
audience, and it survives today in the magazines and manuals devoted to teaching fledgling authors 'how to
write stories that sell.' But rulebooks based on the lowest common denominator of the modern buying public are
only gross caricatures of the complex and subtly rationalized neo-classic ideals of literary craftsmanship.
Through the carly part of the eighteenth century, the poet could rely confidently on the trained taste and expert
connoisseurship of a limited circle of readers, whether these were Horace's Roman contemporaries under
Emperor Au- gustus, or Vida's at the papal court of Leo X, or Sidney's fellow-courtiers under Elizabeth, or the
London audience of Dryden and Pope; while, in thcory, the voices even of the best contemporary judges were
subordinated to the voice of the ages. Some neo-classic critics were also certain that the rules of art, though
empirically derived, were ultimately validated by con- forming to that objective structure of norms whose
existence guaranteed the rational order and harmony of the universe. In a strict sense, as John Dennis made
explicit what was often implied, Nature 'is nothing but that Rule and Order, and Harmony, which we find in the
visible Creation'; so 'Poetry, which is an imitation of Nature,' must demonstrate the same properties. The
renowned masters among the ancients wrote not to please a tumultuous transitory Assembly, or a Handful of
Men, who were call'd their Countrymen; They wrote to their Fellow-Citizens of the Universe, to all Countrics,
and to all Ages. .. They were clearly convinc'd, that nothing could transmit their Immortal Works to Posterity,
but something like that har- monious Order which maintains the Universe.. ." Although they disagreed
concerning specific rules, and although many English critics repudiated such formal French requisites as the
unity of time and place, and the purity of comedy and tragedy, all but a few eccentrics among cighteenth-
century critics believed in the validity of some set of uni- versal rules. At about mid-century, it became popular
to demonstrate and 18 ORIENTATION OF CRITICAL THEORIES expound all the major rules for poetry, or
even for art in general, in a single inclusive critical system. The pattern of the pragmatic reasoning usually
employed may conveniently be studied in such a compendious treatment as James Beattie's Essay on Poetry and
Music as they affect the Mind (1762), or more succinctly still, in Richard Hurd's Disscrtation of the Idea of Uni-
versal Poetry' (1766). Universal poetry, no matter what the genre, Hurd says, is an art whose end is the
maximum possible pleasure. 'When we speak of poetry, as an art, we mean such a way or method of treating a
ubject, as is found most pleasing and delightful to us. And this idea 'if kept steadily in view, will unfold to us all
the mysteries of the poetic art. There needs but to evolve the philosopher's idea, and to apply it, as occasion
scrves." From this major premise Hurd evolves three properties, essential to all poetry if it is to effect the
greatest possible delight: figurative language, fiction' (that is to say, a departure from what is actual, or
empirically pos- sible), and versification. The mode and degree in which these three uni- versal qualities are to
be combined in any one species of poctry, however, will depend on its peculiar end, because each poetic kind
must exploit that special pleasure which it is generically adapted to achieve. 'For the art of every kind of poetry
is only this general art so modified as the nature of cach, that is, its more immediate and subordinate end, may
respectively require.

Penekanan pada aturan dan prinsip-prinsip seni adalah asli dari semua kritik yang mendasari pilihannya dalam
tuntutan audiens, dan bertahan sampai hari ini di majalah dan manual yang ditujukan untuk mengajar penulis
pemula 'bagaimana menulis cerita yang menjual.' Tetapi buku aturan berdasarkan penyebut umum terendah
dari masyarakat pembeli modern hanyalah karikatur kotor dari cita-cita neo klasik yang rumit dan
dirasionalisasi dari pengerjaan sastra. Melalui bagian carly dari abad kedelapan belas, penyair dapat
mengandalkan rasa percaya diri yang terlatih dan keahlian ahli dari kalangan pembaca yang terbatas, apakah ini
orang-orang sezaman Horace di zaman Romawi di bawah Kaisar Au-gustus, atau Vida di istana kepausan Leo
X, atau rekan-rekan istana Sidney di bawah Elizabeth, atau audiensi Dryden dan Paus di London; sementara,
dalam sejarah, suara-suara bahkan dari para hakim kontemporer terbaik tunduk pada suara zaman. Beberapa
kritikus neo-klasik juga yakin bahwa aturan-aturan seni, meskipun diturunkan secara empiris, pada akhirnya
divalidasi dengan membentuk struktur norma objektif yang keberadaannya menjamin keteraturan rasional dan
keselarasan alam semesta. Dalam arti yang ketat, seperti yang diungkapkan oleh John Dennis secara eksplisit
tentang apa yang sering disiratkan, Alam 'tidak lain adalah Aturan dan Tata Tertib, dan Harmoni, yang kita
temukan dalam Penciptaan yang terlihat'; jadi 'Puisi, yang merupakan tiruan Alam,' harus menunjukkan sifat
yang sama. Para master terkenal di antara orang-orang kuno menulis untuk tidak menyenangkan Majelis
sementara yang kacau, atau Segenggam Manusia, yang dipanggil sebagai Penduduk Desa mereka; Mereka
menulis kepada Rekan-Warga Warga Semesta, ke semua Countrics, dan ke semua Abad. .. Mereka jelas
diyakinkan, bahwa tidak ada yang bisa mengirimkan Karya Abadi mereka ke Posterity, tetapi sesuatu seperti
Ordo yang jahat yang menjaga Semesta ... "Meskipun mereka tidak setuju mengenai aturan khusus, dan
meskipun banyak kritikus Inggris menolak formal seperti itu. Persyaratan Prancis sebagai kesatuan waktu dan
tempat, dan kemurnian komedi dan tragedi, semuanya kecuali beberapa eksentrik di antara para pengkritik abad
ke-19 yang percaya pada validitas sejumlah aturan universal. Pada sekitar pertengahan abad, itu menjadi
populer untuk mendemonstrasikan dan menguraikan semua aturan utama untuk puisi, atau bahkan untuk seni
pada umumnya, dalam sistem kritis tunggal inklusif. Pola penalaran pragmatis yang biasanya digunakan dapat
dengan mudah dipelajari dalam perlakuan yang penuh kesungguhan seperti James Beattie Esai tentang Puisi
dan Musik ketika mereka mempengaruhi Pikiran (1762), atau lebih tepatnya, dalam Diskripsi Richard Hurd
tentang Ide Puisi Universal (1766). Puisi universal, tidak ada apa pun genre, Hurd mengatakan, adalah seni
yang ujungnya adalah kesenangan maksimum yang mungkin. 'Ketika kita berbicara tentang puisi, sebagai seni,
yang kita maksud adalah cara atau metode memperlakukan ubject, seperti yang ditemukan paling
menyenangkan dan menyenangkan bagi kita. Dan gagasan ini 'jika terus dipertahankan, akan membuka bagi
kita semua misteri seni puitis. Perlu tetapi untuk mengembangkan ide filsuf, dan untuk menerapkannya, sebagai
kesempatan. "Dari premis utama ini Hurd mengembangkan tiga sifat, penting untuk semua puisi jika ingin
mempengaruhi kesenangan terbesar yang mungkin terjadi: bahasa kiasan, fiksi '(yaitu untuk mengatakan,
penyimpangan dari apa yang sebenarnya, atau mungkin secara empiris), dan versifikasi.Cara dan tingkat di
mana ketiga kualitas universal harus dikombinasikan dalam salah satu spesies poctry, bagaimanapun, akan
tergantung pada keanehannya. akhirnya, karena setiap jenis puitis harus mengeksploitasi kesenangan khusus
yang secara umum disesuaikan untuk dicapai. 'Untuk seni setiap jenis puisi hanya seni umum ini yang
dimodifikasi seperti sifat cach, yaitu, akhir yang lebih cepat dan lebih rendah. , masing-masing mungkin
memerlukan.

For the name of poem will belong to every composition, whose primary end is to please, provided it be so
constructed as to afford all the pleasure, which its kind or sort will permit. On the basis of isolated passages
from his Letters on Chivalry and Ro- mance, Hurd is commonly treated as a 'pre-romantic' critic. But in the
summation of his poetic creed in the 'Idea of Universal Poetry,' the rigidly deductive logic which Hurd employs
to 'unfold' the rules of poetry from a primitive definition, permitting 'the reason of the thing' to override the evi-
of the actual practice of poets, brings him as close as anyone in Eng- land to the geometric method of Charles
Batteux, though without that critic's Cartesian apparatus. The difference is that Batteux evolves his rules from
the definition of poetry as the imitation of la belle nature, and Hurd, from its definition as the art of treating a
subject so as to afford the reader a maxi- mum pleasure; and this involves his assuming that he possesses an
empirical knowledge gratify the mind of the reader, Hurd says, knowledge of the laws of mind is necessary to
establish its rules, which are 'but so many MEANS, which ex- the psychology of the reader . For if the end of
poetry is to PRAGMATIC THRORIES perience finds most conducive to that end.'" Since Batteux and Hi ever,
are both intent on rationalizing what is mainly a common body of surprise us that, though they set out from
different poetic lore , it nced not or the compass, their paths often coincide." But to appreciate the power and
illumination of which a refined and fier- ehticiam is capable, we must turn from these abstract sys tematizers of
current methods and maxims to such a practical critic as Samuel Johnson. Johnson's literary criticism assumes
approximately the frame of critical reference I have described, but Johnson, who distrusts rigid and abstract
theorizing, applies the method with a constant appeal to specific literary examples, deference to the opinions of
other readers, but reliance on his own expert responses to uitimately, the text. As a result Johnson's com- ments
on poets and poems have persistently afforded a jumping off point differ particular judgments which is for later
critics whose frame of reference and radically from his own. For an instance of Johnson's especially interesting
because it shows how the notion of the imitation of nature is co-ordinated with the judgment of poetry in terms
of its end and eliects, consider that monument of neo-classic criticism, Johnson's Preface Shakespeare. Johnson
undertakes in his Preface to establish Shakespeare's rank pocts, and to do so, he is led to rate Shakespeare's
native abilities against the general level of taste and achievement in the Elizabethan age, and to meas- ure these
abilities in turn by their proportion to the general and collective ability of man." Since the powers and
excellence of an author, however, can only be inferred from the nature and excellence of the works he achieves,
Johnson addresses himself to a general examination of Shakespeare's In this systematic appraisal of the works
themselves, we find retains for Johnson a measure of authority as criterion. Repeatedly Johnson maintains that
'this therefore is the praise of Shakespeare, that his drama is the mirrour of life,' and of inanimate nature as well:
'He was an exact sur- procedure to among dramas that mimesis Shakespeare, whether life veyor of the
inanimate world. nature be his * But, John- subject, shews plainly, that he has seen with his own eyes..." s on
also claims, "The end of writing is to instruct; the end of poetry is to to this function of strated effect of a poem
upon its audience, that y, and to the demon- priority as acsthetic criterion. If a poem fails to please, whatever its
character otherwise, instruct by pleasing." It Johnson awards it is, as a work of art, nothing; though Johnson
insists, with a strenuous moralism that must already have seemed old-fashioned to contemporary readers , it
must please without violating the standards of truth and virtue.

Karena nama puisi akan menjadi milik setiap komposisi, yang tujuan utamanya adalah untuk menyenangkan,
asalkan itu dibangun sedemikian rupa untuk memberikan semua kesenangan, yang jenis atau jenisnya akan
memungkinkan. Atas dasar bagian-bagian yang terisolasi dari Surat-suratnya tentang Ksatria dan Kristen, Hurd
umumnya diperlakukan sebagai kritikus 'pra-romantis'. Tetapi dalam penjumlahan kredo puitisnya dalam 'Idea
Puisi Universal,' logika deduktif yang kaku yang Hurd gunakan untuk 'membuka' aturan puisi dari definisi
primitif, memungkinkan 'alasan sesuatu' untuk mengesampingkan bukti. dari praktik penyair yang sebenarnya,
membawanya sedekat siapa pun di Inggris ke metode geometris Charles Batteux, meskipun tanpa alat Cartesian
yang dikritik itu. Perbedaannya adalah bahwa Batteux mengembangkan aturan-aturannya dari definisi puisi
sebagai tiruan dari sifat la belle, dan Hurd, dari definisinya sebagai seni memperlakukan suatu subjek sehingga
memberi pembaca kesenangan maksimal; dan ini melibatkan anggapannya bahwa ia memiliki pengetahuan
empiris yang memuaskan pikiran pembaca, Hurd mengatakan, pengetahuan tentang hukum pikiran diperlukan
untuk menetapkan aturan-aturannya, yaitu 'tetapi begitu banyak SARANA, yang melampaui psikologi pembaca.
. Karena jika akhir puisi adalah untuk PRAGMATIC THRORIES, perience menemukan yang paling kondusif
untuk tujuan itu. '"Sejak Batteux dan Hi pernah, keduanya berniat merasionalisasi apa yang terutama merupakan
tubuh yang biasa mengejutkan kita, meskipun mereka berangkat dari berbagai cerita puitis yang berbeda. , itu
tidak atau kompas, jalan mereka sering bertepatan. " Tetapi untuk menghargai kekuatan dan iluminasi yang
mampu dimiliki oleh seorang yang halus dan berkuasa, kita harus beralih dari sistem abstrak dan metode saat ini
ke pepatah praktis seperti Samuel Johnson. Kritik sastra Johnson mengasumsikan kira-kira kerangka referensi
kritis yang telah saya jelaskan, tetapi Johnson, yang tidak mempercayai teori yang kaku dan abstrak,
menerapkan metode ini dengan daya tarik yang konstan pada contoh-contoh sastra tertentu, menghormati
pendapat pembaca lain, tetapi mengandalkan ahlinya sendiri. tanggapan untuk secara tepat, teks. Sebagai
akibatnya, komentar Johnson tentang puisi dan puisi terus-menerus memberikan titik lompatan yang berbeda
dengan penilaian khusus yang bagi para kritikus kemudian yang kerangka rujukannya dan secara radikal dari
sudut pandangnya sendiri. Sebagai contoh Johnson sangat menarik karena menunjukkan bagaimana gagasan
tentang peniruan alam dikoordinasikan dengan penilaian puisi dalam hal akhir dan efeknya, pertimbangkan
monumen kritik neo-klasik, Johnson's Preface Shakespeare. Johnson melakukan dalam Pendahuluannya untuk
mendirikan pangkalan peringkat Shakespeare, dan untuk itu, ia dituntun untuk menilai kemampuan asli
Shakespeare terhadap tingkat rasa dan prestasi umum di zaman Elizabethan, dan untuk mengukur kemampuan
ini pada gilirannya dengan proporsi mereka terhadap kemampuan umum dan kolektif manusia. "Karena
kekuatan dan keunggulan seorang penulis, bagaimanapun, hanya dapat disimpulkan dari sifat dan keunggulan
dari karya-karya yang dicapainya, Johnson mengarahkan dirinya ke pemeriksaan umum Shakespeare Dalam
penilaian sistematis ini dari Bekerja sendiri, kami menemukan untuk Johnson ukuran otoritas sebagai kriteria.
Berulang kali Johnson menyatakan bahwa 'karena itu adalah pujian dari Shakespeare, bahwa drama adalah
mukjizat kehidupan,' dan sifat mati juga: 'Dia adalah seorang yang tepat prosedur di antara drama yang
menirukan Shakespeare, apakah makhluk hidup dari dunia yang tidak hidup. Alam menjadi miliknya * Tetapi,
subjek John, menunjukkan dengan jelas, bahwa ia telah melihat dengan matanya sendiri ... "s pada juga
mengklaim, "Akhir dari penulisan ini adalah untuk mengajar; akhir dari puisi adalah fungsi dari efek puisi yang
dipentaskan kepada para pendengarnya, bahwa y, dan prioritas setan sebagai kriteria acsthetic. Jika sebuah
puisi gagal untuk menyenangkan, apa pun karakternya, instruksikan dengan senang hati. "Itu Johnson
menghargainya, sebagai sebuah karya seni, tidak ada apa-apa; meskipun Johnson bersikeras, dengan moralisme
yang keras yang pasti sudah tampak kuno bagi pembaca kontemporer. , itu harus menyenangkan tanpa
melanggar standar kebenaran dan kebajikan.

Accordingly, Johnon discriminates those elements in Shakespeare's plays which were introduced to appeal to
the local and passing tastes of the rather barbarour audience of his own time ('He knew, said Johnson, 'how he
should most please)," from those elements which are proportioned to the tastes of the common readers of all
time. And since in works 'appealing wholly to observation and experience, no other test can be applied than
length of duration and continuance of esteem,' Shakespeare's long survival as a poet 'read without any other
reason than the desire for pleasure' is the best evidence for his artistic excellence. The reason for this survival
Johnson explains on the subaidiary principle that 'nothing can please many, and please long, but just
representations of general nature. Shakespeare exhibits the eternal 'species of human character, moved by 'those
general passions and principles by which all minds are agitated. " Thus Shakespeare's excellence in holding up
the mirror to general nature turns out, in the long run, to be justified by the superior criterion of the appeal this
achievement holds for the enduring tastes of the general literary public. A number of Johnson's individual
observations and judgments exhibit a play of the argument between the two principles of the nature of the world
the poet must reflect, and the nature and legitimate requirements of the poer's audience. For the most part the
two principles co-operate toward a single conclusion. For example, both the empirical nature of the universe
and of the universal reader demonstrate the fallacy of those who censure Shakespeare for mixing his comic and
tragic scenes. Shakespeare's plays, Johnson says, exhibit "the real state of sublunary nature, which partakes of
good and evil, joy and sorrow, mingled with endless variety.' In addition, "the mingled drama may convey all
the instruction of tragedy or comedy by approaching nearer 'to the appearance of life'; while the objection that
the change of scene 'wants at last the power to move' is a specious reasoning 'rececived as true even by those
who in daily experience feel it to But when the actual state of sublunary affairs conflicts with the poet's obli-
gation to his audience, the latter is the court of final appeal. It is Shake- speare's defect, says Johnson, be false."
that he seems to write without any moral purpose... He makes no just distri- bution of good or evil, nor is
always careful to shew in the virtuous a disapproba- tion of the wicked... It is always a writer's duty to make the
world better, and justice is a virtue independant on time or place." The pragmatic orientation, ordering the aim
of the artist and the character of the work to the nature, the needs, and the springs of pleasure in the audi-
EXPRESSIVE THEORIES ence, characterized by far the greatest part of criticism from ti Horace through the
eighteenth century. Measured either by its duration or the number of its adherents, therefore, the pragmatic
view, broadly con- ceived, has been the principal aesthetic attitude of the Western world. Bur inherent in this
system were the elements of its dissolution. Ancient rhetoric had bequeathed to criticism not only its stress on
affecting the audience but also (since its main concern was with educating the orator) its detailed attention to the
powers and activities of the speaker himself-his 'nature,' or innate powers and genius, as distinguished from his
culture and art, and also the process of invention, disposition, and expression involved in his dis- course." In the
course of time, and particularly after the psychological con- tributions of Hobbes and Locke in the seventeenth
century, increasing atten- tion was given to the mental constitution of the poet, the quality and degree of his
'genius,' and the play of his faculties in the act of composition. Through most of the eighteenth century, the
poet's invention and imagi- nation were made thoroughly dependent for their materials their ideas and 'images-
on the external universe and the literary models the poet had to imitate; while the persistent stress laid on his
need for judgment and art- the mental surrogates, in effect, of the requirements of a cultivated audience -held
the poet strictly responsible to the audience for whose pleasure he exerted his creative ability. Gradually,
however, the stress was shifted more and more to the poet's natural genius, creative imagination, and emotional
spontancity, at the expense of the opposing attributes of judgment, learning. and artful restraints. As a result the
audience gradually receded into the back- ground, giving place to the poet himself, and his own mental powers
and emotional nceds, as the predominant cause and even the end and test of art. By this time other
developments, which we shall have occasion to talk about later, were also helping to shift the focus of critical
interest from audi- ence to artist and thus to introduce a new orientation into the theory of art.

Oleh karena itu, Johnon mendiskriminasi elemen-elemen dalam drama Shakespeare yang diperkenalkan untuk
menarik minat lokal dan selera penonton yang agak barbar pada masanya sendiri ('Dia tahu, kata Johnson,'
bagaimana dia seharusnya menyenangkan), "dari elemen-elemen yang proporsional dengan selera pembaca
umum sepanjang masa. Dan karena dalam karya-karya yang 'menarik sepenuhnya untuk pengamatan dan
pengalaman, tidak ada tes lain yang dapat diterapkan selain durasi dan kelanjutan penghargaan,' kelangsungan
hidup panjang Shakespeare sebagai penyair 'dibaca tanpa alasan lain selain keinginan untuk kesenangan 'adalah
bukti terbaik untuk keunggulan artistiknya. Alasan kelangsungan hidup ini Johnson menjelaskan pada prinsip
subaidiary bahwa' tidak ada yang dapat menyenangkan banyak orang, dan menyenangkan, tetapi hanya
representasi dari sifat umum. Shakespeare menunjukkan 'spesies manusia yang abadi, digerakkan oleh' gairah
dan prinsip-prinsip umum yang melaluinya semua pikiran gelisah. "Demikianlah keunggulan Shakespeare
dalam mengangkat cermin untuk sifat alami akhirnya, pada akhirnya, dibenarkan oleh kriteria superior dari
daya tarik pencapaian ini berlaku untuk selera abadi masyarakat sastra umum. Sejumlah pengamatan dan
penilaian individual Johnson memperlihatkan permainan argumen antara dua prinsip sifat dunia yang harus
direfleksikan oleh penyair, dan sifat serta persyaratan yang sah dari audiensi penyair. Sebagian besar kedua
prinsip tersebut bekerja sama menuju satu kesimpulan tunggal. Sebagai contoh, baik sifat empiris dari alam
semesta dan pembaca universal menunjukkan kekeliruan mereka yang mengecam Shakespeare karena
mencampurkan adegan komik dan tragisnya. Drama-drama Shakespeare, kata Johnson, menunjukkan "keadaan
nyata dari sifat sublunary, yang mengambil bagian dari kebaikan dan kejahatan, suka dan duka, bercampur
dengan variasi tanpa akhir." Selain itu, "drama yang bercampur dapat menyampaikan semua instruksi tragedi
atau komedi dengan mendekati lebih dekat 'pada penampilan kehidupan'; sementara keberatan bahwa
perubahan adegan 'akhirnya menginginkan kekuatan untuk bergerak' adalah alasan yang masuk akal 'diterima
kembali bahkan oleh mereka yang dalam pengalaman sehari-hari merasakannya. Tetapi ketika keadaan
sebenarnya dari urusan-urusan sublunary bertentangan dengan kewajiban penyair bagi pendengarnya, yang
terakhir adalah pengadilan banding terakhir. Ini adalah cacat Shake-speare, kata Johnson, menjadi salah.
"Bahwa ia tampaknya menulis tanpa tujuan moral apa pun ... Dia tidak hanya membagikan kebaikan atau
kejahatan, juga tidak selalu berhati-hati untuk menunjukkan ketidakbenaran dalam kebajikan. orang fasik ...
Selalu menjadi tugas penulis untuk membuat dunia lebih baik, dan keadilan adalah kebajikan yang tidak
tergantung pada waktu atau tempat. " Orientasi pragmatis, yang mengatur tujuan seniman dan karakter karya
sesuai dengan alam, kebutuhan, dan sumber kesenangan dalam audiensi, yang sejauh ini merupakan bagian
terbesar kritik dari Horace hingga kedelapan belas. abad. Diukur baik oleh durasi atau jumlah pengikutnya,
oleh karena itu, pandangan pragmatis, yang secara luas dipahami, telah menjadi sikap estetika utama dunia
Barat. Yang melekat dalam sistem ini adalah unsur-unsur pembubarannya. Retorika kuno telah mewariskan
kritik tidak hanya pada penekanannya pada pemirsa, tetapi juga (karena perhatian utamanya adalah mendidik
orator) perhatiannya yang terperinci pada kekuatan dan kegiatan pembicara sendiri - 'sifatnya', atau kekuatan
bawaan dan kejeniusannya. , sebagaimana dibedakan dari budaya dan seni, dan juga proses penemuan,
disposisi, dan ekspresi terlibat dalam pengabdiannya. "Dalam perjalanan waktu, dan terutama setelah kontribusi
psikologis Hobbes dan Locke pada abad ketujuh belas. , perhatian yang meningkat diberikan pada konstitusi
mental penyair, kualitas dan tingkat 'kejeniusannya', dan permainan fakultas-fakultasnya dalam tindakan
komposisi. Melalui sebagian besar abad ke-18, penemuan dan peniruan penyair bangsa dibuat sepenuhnya
tergantung pada bahan-bahan mereka ide-ide mereka dan 'gambar-pada alam semesta eksternal dan model sastra
yang harus ditiru penyair, sementara tekanan terus-menerus meletakkan pada kebutuhannya untuk penilaian dan
seni - pengganti mental, pada dasarnya, dari persyaratan audiensi yang dipupuk - memegang penyair yang
benar-benar bertanggung jawab kepada audiens untuk kesenangan yang ia berikan kemampuan kreatifnya.
Namun, secara bertahap, tekanan semakin bergeser ke kejeniusan penyair alami, imajinasi kreatif, dan
spontanitas emosional, dengan mengorbankan atribut penilaian yang berlawanan, yaitu belajar. dan
pengekangan berseni. Akibatnya, penonton perlahan-lahan mundur ke latar belakang, memberi tempat bagi
penyair itu sendiri, dan kekuatan mental dan perasaan emosionalnya sendiri, sebagai penyebab utama dan
bahkan akhir serta ujian seni. Pada saat ini perkembangan lain, yang akan kita bicarakan nanti, juga membantu
mengalihkan fokus minat kritis dari audiensi ke seniman dan dengan demikian untuk memperkenalkan orientasi
baru ke dalam teori seni.

Dalam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp (l971), Abrams mengetengahkan teori Universe-nya.
Melalui teori Universe itu, kita mengetahui bahwa : pertama, ada suatu karya sastra (karya seni); kedua, ada
pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan
keempat, ada penikmat karya sastra (pembaca). Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan
moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya sebagai bahan perenungan.
Kalau sastra (seni), misalnya novel, dianggap sebagai “model” kehidupan manusia, betatapun khayalnya, kita
bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral,
menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak,
hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadap guru atau sebaliknya, dan
sebagainya).

“Model-model” kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan.
Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan model kehidupan yang baik dikonfrontasikan
dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah,
dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya ‘yang baik’ menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan
‘yang jahat’ kalah, tersingkir dan lalu menderita.

Aspek pragmatis (kebermanfaatan) yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara lain : (a) perbuatan
yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-
wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya
memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah
ketidakbaikan, ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan hal-hal yang tidak nyaman
lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat.

Anda mungkin juga menyukai