Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Derajat kesehatan merupakan salah satu indikator kemajuan suatu
masyarakat. Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya
tingkat ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan sosial budaya
(Depkes RI, 2011).

Tuberkulosis paru juga merupakan suatu penyakit infeksi global yang banyak
menimbulkan kematian di dunia. Laporan World Health Organization (WHO) tahun
2010 menyatakan bahwa terdapat 2 milyar lebih penduduk dunia yang terinfeksi
mycobacterium tuberkulosis (yang nilainya setara dengan sepertiga penduduk dunia ).
Situasi ini semakin memburuk dengan akibatnya meningkatnya jumlah kasus tb paru
dan keberhasilan pengobatan yang rendah. Kondisi ini banyak ditemukan terutama
pada negara yang termasuk dalam 22 negara dengan masalah tuberkulosis paru besar.
Tuberkulosis paru merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia.
Pada tahun 2014, tuberkulosis paru membunuh 1,5 juta orang diseluruh dunia terdiri
dari 1,1. Kematian tersebut didominasi dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 890.000
dibandingkan perempuan yaitu 480.000 orang dan 140.000 orang anak-anak. Angka
kesakitan akibat tuberkulosis paru di dunia pada tahun 2014 mencapai 9,6 juta orang
diantaranya 5,4 juta orang laki-laki dan 3,2 juta orang perempuan serta 1 juta orang
anak-anak. Kasus baru pada tahun 2014 mencapai 6 juta orang. (WHO, 2015).
Prevalensi tuberkulosis di Kalimantan Barat berdasarkan diagnosis dan gejala
TB paru (0,2%) dari seluruh kejadian tuberkulosis paru di Indonesia dan menempati
urutan ke 18 dari 33 provinsi di seluruh Indonesia (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2016,
kasus Tuberkulosis paru yang terjadi di Kalimantan Barat tidak hanya disumbang oleh
pasien baru sebanyak 4860 kasus tetapi juga pasien relaps atau pengobatan ulang 124
kasus, dengan demikian penyakit Tuberkulosis paru menempati peringkat 6 dari 10
penyakit yang sering diderita atau terjadi di Kalimantan Barat.
Kasus Tuberkulosis paru yang terjadi di Indonesia khususnya di Kalimantan
Barat tidak hanya disumbang oleh pasien baru (97,5%) tetapi juga pasien 3
relaps/pengobatan ulang (2,5%) ditahun 2015. Pada tahun 2013 jumlah dengan BTA
positif terbanyak pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu 20,54% dari 973 penderita.
Pada tahun 2014, jumlah BTA positif terbanyak pada kelompok umur 45-54 tahun
yaitu 20,29% dari 833 penderita dan di tahun 2015, pasien baru dan ulangan menurut
umur di Provinsi Kalimantan Barat 2015 mangalami pergeseran penderita BTA positif
terbanyak pada remaja dengan kelompok umur 25-34 tahun yaitu 20,53% dari 638.
Tingginya insidens dan prevalens Tuberkulosis paru terutama kasus Tuberkulosis
paru BTA positif merupakan ancaman penularan TB yang serius di masyarakat,
karena sumber penularan Tuberkulosis paru adalah penderita Tuberkulosis paru BTA
positif. (Dinkes Kalbar, 2015)
Kejadian Tuberkulosis paru berdasarkan data dinas kesehatan provinsi hanya
15% di tahun 2012 yang melakukan pengobatan secara lengkap dan ditahun 2015 dari
seluruh penderita Tuberkulosis paru yang melakukan pengobatan secara lengkap
hanya 2%. Rendahnya pengobatan Tuberkulosis paru yang lengkap akan semakin
berbahaya karena penyakit Tuberkulosis paru jika pengobatan penyakit Tuberkulosis
paru tidak lengkap penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya dan
kuman tuberkulosis menjadi resisten yang biasa disebut MDR-Tuberkulosis paru.
Kejadian Tuberkulosis paru MDR di Kalimantan Barat berjumlah 49 kasus yang
tersebar di 14 provinsi, Pontianak merupakan Kasus MDR-Tuberkulosis paru
terbanyak sebesar 53% dan terendah di Kota Singkawang sebesar 2%. (Data Dinkes
Kalbar, 2015)
Pengendalian Tuberkulosis paru dengan strategi DOTS yang dilaksananakn
sejak tahun 2006 dipandang berhasil, tetapi laju prevalensi dan mortalitas
Tuberkulosis paru tetap meningkat.Belum optimalnya penanganan Tuberkulosis paru
paru diperkirakan terkait dengan bebrapa faktor diantaranya adalah rendahnya
dukungan anggota keluarga untuk berperan aktif menjadi PMO (pengawas minum
obat).
Pengawas minum obat (PMO) adalah seseorang yang diperlukan untuk
menjamin keteraturan pengobatan pasien tuberkulosis paru. PMO adalah petugas
kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat dan sanitarian. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang menjadi PMO, maka PMO boleh berasal dari kader kesehatan, guru,
tokoh masyarakat dan anggota keluarga (Kemenkes, 2011).
Masalah pengetahuan yang berhubungan erat dengan pendidikan pasien yang
berakibat rendahnya motivasi pasien untuk lebih disiplin dalam minum obat.
Sehingga berdampak pasien Tuberkulosis paru yang merasa sudah membaik
terkadang tidak mau lagi melanjutkan minum obat Tuberkulosis paru padahal obat
Tuberkolosis paru yang diminum itu harus diminum dalam bebarapa bulan. Untuk
pasien Tuberkulosis paru kategori 1 harus menghabiskan obat paru yang diminum
selama 6 bulan sedangkan pasien yang Tuberkulosis paru dengan kategori 2 harus
minum obat paru selama kurang lebih 8 bulan dan disertai dengan penambahan injeksi
streptomycin.
Ketidakpatuhan pasien Tuberkulosis paru untuk menjalani pengobatan pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) secara teratur tetap menjadi hambatan dalam
mencapai angka kesembuhan yang tinggi (Kemenkes Reprublik Indonesia, 2013).
Ketidakteraturan pengobatan pada fase intensif terjadi karena tidak adekuatnya
motivasi terhadap kepatuhan berobat dan penderita tuberkulosis merasa enak pada
akhir fase intensif sehingga tidak perlu kembali untuk pengobatan (Dermawanti.
2014).
Tingginya angka putus obat Anti tuberkulosis mengakibatkan tingginya kasus
resistensi kuman terhadap OAT yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan
bertambah lamanya pengobatan (Kemenkes Republik Indonesia, 2013). Untuk
mencapai keberhasilan pengobatan, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab
penderita, namun harus dilihat bagaimana faktor-faktor lain yang mempengaruhi
prilaku penderita dalam melengkapi dan mematuhi pengobatannya (Hayati,A, 2011).
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan yaitu
faktor penderita individu, dukungan sosial, dukungan petugas kesehatan, dan
dukungan keluarga (Niven, 2008). Keberhasilan pengobatan TB paru ditentukan oleh
kepatuhan pasien TB dalam minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Kemenkes
Republik Indonesia, 2013). Kepatuhan menyangkut aspek jumlah dan jenis OAT yang
diminum, serta keteraturan waktu minum obat (Nainggolan, 2013).
Menurut penelitian Rochani (2008) menyatakan bahwa peran PMO oleh
keluarga dengan perilaku pencegahan klien Tuberkulosis paru menunjukkan
hubungan yang kuat dan berpola positif, dukungan positif dari keluarga
mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat pada pasien dengan Tuberkulosis.
Semakin tinggi peran PMO keluarga, semakin tinggi perilaku pencegahan klien
tuberkolosis paru. Bila yang diambil keluarga sebaiknya harus dilatih terlebih dahulu
secara intensif tentang peran PMO dan dibekali dengan buku modul tentang PMO.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Jose (2015) menyatakan bahwa
pengetahuan dan tingkat pendidikan seorang PMO berpengaruh terhadap kepatuhan
pasien tuberkulosis paru untuk melakukan pengobatan. Kegagalan pengobatan dan
kurang kedisiplinan bagi penderita tuberkulosis paru sangat dipengaruhi oleh peran
PMO. PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil
pengobatan yang optimal.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter spesialist paru di RSUD Sultan
Syarif Mohammad Alkadrie, informasi yang didapat bahwa terdapat hubungan
pengetahuan PMO terhadap kepatuhan minum obat dimana peran PMO sangat
penting dalam proses pengobatan tuberkulosis paru. PMO dapat membawa pasien
Tuberkulosis paru ke tenaga kesehatan, mengingatkan pasien dalam meminum obat,
dan memotivasi pasien. Dokter spesialist paru mengatakan bahwa pengetahuan yang
baik mengenai Tuberkulosis paru dan tingkat pendidikan seseorang PMO dapat
mempengaruhi penderita Tuberkulosis paru agar patuh minum obat anti Tuberkulosis
sehingga tercapai keberhasilan pengobatan.
Berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui secara
spesifik tentang apakah ada hubungan pengetahuan Pengawas Minum Obat (PMO)
terhadap kepatuhan minum obat pada penderita Tuberkulosis paru di RSUD Sultan
Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak.

B. Rumusan Masalah
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tuberculosis atau kuman Tuberkulosis. Sebagian bakteri
ini menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Pengawas
Minum Obat (PMO) seseorang yang diperlukan untuk menjamin keteraturan
pengobatan pasien tuberkulosis paru, peran PMO dapat membawa pasien
Tuberkulosis paru ke tenaga kesehatan, mengingatkan pasien dalam meminum obat,
dan memotivasi pasien. Pengetahuan yang baik mengenai Tuberkulosis paru dan
tingkat pendidikan seseorang PMO dapat mempengaruhi penderita Tuberkulosis paru
agar patuh minum obat anti Tuberkulosis sehingga tercapai keberhasilan pengobatan.
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa tingginya angka penularan Tuberkulosis paru karena tidak patuhnya penderita
Tuberkulosis dalam minum obat selain itu faktor lainnya dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya faktor pengetahuan terutama pendidikan keluarganya khususnya
PMO sehingga dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada Hubungan
antara pengetahuan PMO dengan kepatuhan minum obat pasien TB di RSUD Sultan
Syarief Mohammad Alkadrie?”.

C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Pengawas Minum Obat dengan dengan
kepatuhan minum obat pasien.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui persentasi tingkat pengetahuan Pengawas Minum Obat
tentang Tuberkulosis paru.
2. Untuk mengetahui persentasi tingkat kepatuhan minum obat pasien
Tuberkulosis paru

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Secara Akademik penelitian ini untuk menambah pengetahuan mahasiswa
keperawatan mengenai hubungan antara pengetahuan Pengawas Minum Obat
dengan kepatuhan minum obat pasien Tuberkulosis paru.
2. Bagi Rumah Sakit Sultan Syarief Mohammad Alkadrie
Untuk memberikan informasi kepada pihak Rumah Sakit khususnye TIM
Tuberkulosis paru Dots RS mengenai pengetahuan Pengawas Minum Obat yang
berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada pasien Tuberkulosis paru,
sehingga dengan didapatkan data ini pihak RS dapat mencari solusi apabila ada
pasien Tuberkulosis paru yang tidak patuh minum obat karena kurangnya
pengetahuan Pengawas Minum Obat.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan
pengalaman bagi peneliti dalam menyusun skripsi.Hasil dari penelitian ini dapat
bermanfaat sebagai bahan masukan atau sumber data untuk penelitian sejenis
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai