Bab I-Ii
Bab I-Ii
berbagai belahan dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif Salmonella thypi. Di Indonesia, demam tifoid lebih dikenal
oleh masyarakat dengan istilah penyakit tifus.1
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah
kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini
mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai
600.000 jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar diberbagai benua,
mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagian
besar kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh,
Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam dan termasuk Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka
kejadian terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus).1
Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan
sekitar 0,6-5%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi
tertinggi adalah pada usia 5-14 tahun (1,9%) usia 1-4 tahun (1,6), usia 15-24 tahun
(1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).2
Tifoid dapat menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan angka
ketidakhadiran anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang
cukup lama, dan dari aspek ekonomi, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2 Demam Tifoid
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali di selaput
lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan di seluruh
tubuh.3
2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini juga bisa
disebabkan oleh Salmonella paratyphi, yang biasanya menyebabkan penyakit
yang tidak parah.4
2.3 Patofisiologi
Masuknya kuman ke dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel
M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propria kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
2
darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.5
3
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental, berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.5
4
uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalain serum penderita
tersangka demain tifoid yaitu:
a). Aglutinin O (dari tubuh kuman),
b). Aglutinin H (flagela kuman), dan
c). Aglutinin Vi (simpai kuman).
5
Antigen komersil yang bervariasi
Reaksi silang dengan malaria atau infeksi enterobacteriaceae yang lain
Penyakit lain seperti demam dengue.6
Kekurangan tes Widal ini dapat juga dilihat pada Kepmenkes 364 tahun
2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid, yang pada salah satu poinnya
menjelaskan interpretasi tes Widal, yaitu:
Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masing-
masing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing dan
tergantung hasil penelitiannya.
Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian pada satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut.
Kebanyakan pendapat bahwa titer 0 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid.
Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid
Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan
kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari.
Pemeriksaan tes Widal dua kali dengan rentang waktu satu minggu seperti
pada pedoman di atas seringkali tidak dikerjakan dan biasanya pasien langsung
diobati secara empiris sesuai klinis. Untuk itu sekarang penggunaan tes Widal
sudah mulai digantikan oleh pemeriksaan IgM Salmonella yang sudah bisa
dideteksi 3-4 hari setelah terjadinya demam.6
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1). Pengobatan
dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau. non-
endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anainnestik, yaitu Peningkatan titer
aglutinin pada infeksi bukan demam tifold akibat infeksi demani tifoid masa lalu
atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
6
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat.5
7
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan
selama 2 tahun pada suhu 4-25′ C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari.
Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi
dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan
air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian
terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.Garis
kontrol harus terwarna dengan baik.5
IgM disebut sebagai antibodi fase akut karena muncul pada saat infeksi
baru terjadi atau sedang terjadi. IgM anti-Salmonella bisa dideteksi pada hari ke-5
untuk infeksi primer dan hari ke-2 untuk infeksi sekunder. Untuk daerah endemis
seperti di negara kita ini, kecepatan deteksi ini sangat penting mengingat
kebanyakan kasus adalah infeksi sekunder, dimana tes Widal kurang dapat
membedakan mana kasus yang benar-benar tifoid atau bukan. Tes Widal
membutuhkan dua kali pemeriksaan dalam rentang waktu satu minggu yang dapat
memperlambat penanganan, sedangkan hasil IgM anti-Salmonella sudah bisa
positif dalam waktu 2 hari infeksi saja.
Salah satu merk IgM anti-Salmonella, yaitu Tubex TF, tidak hanya
mengeluarkan hasil positif dan negatif saja tetapi berupa skor (semikuantitatif)
sesuai dengan warna reaksi yang dihasilkan. Skornya sebagai berikut:
≤ 2 : negatif (tidak ada infeksi S.typhi yang sedang terjadi)
8
3 : borderline (perlu pengulangan pemeriksaan, pada hari selanjutnya)
4 : positif lemah (menunjukkan infeksi awal atau sedang terjadi)
6-10 : positif (indikasi kuat adanya infeksi S.typhi)7
9
dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera
diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara
2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan
bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk
stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.8
2.6 Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah:
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan
Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman3
Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenubnya di
tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan
membantu. dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga kdbersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cema atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat
10
bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
pemberian makan padat dini yaltu nasi dengan lank pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman
pada pasien demam tifoid,
Pemberian antimikroba. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk
mengobati demarn tifoid adalah sebagai berikut:
- Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500
mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan, dan tempat suntikan terasa
nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam
rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan dernam dapat terjadi
rata-rata, setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002
hingga 2008 oleh Moehario LH dkk didVatim 90% kuman masih memiliki
kWekaan terh “da antibiotik ini.
- Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada dernam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematoiogi seperti
kemungkinan tedadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demarn rata-rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
- Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (I tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu.
- Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan
berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
11
dianjurkan adalah antara 34 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama V2
jam perinftis sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
- Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya
- Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 bari
- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- PefloksasT dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dQsis 400 mg/hari selama 7 hari
- Azitromisin. Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada
tahun 2008 terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan
azitromisin (dosis 2x5OO mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan
mengurangi kdgagalan klinis dan durasi rawat inap, terutamajika penelitian
mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance) maupun
NARST (Nalidixic Acid Resistant S.typhi). Jika dibandingkan dengan
ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps.
Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi
walaupun konsentrasi dolarn darah cenderung rendah. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika 1ni menjadi ideal untuk
digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang worupAan kuman
intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan
oral maupun suntikan intravena.5
12
Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena
dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey
syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester
pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada
manusia belurn dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat
digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrirtioksazol
tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.5
KOMPLIKASI INTESTINAL
a. Perdarahan Intestinal
13
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka
terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka
perforasi dapat terjadi.Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi
karenagangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar
25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapata perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor
hemostasis dalam batas normal.5
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejalaumum
demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perfotasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah pada pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di dalam abnomen. Tanda-tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan oergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.5
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara
pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai
yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya
berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit,
dan mobilitas penderita.5
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.
Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik
pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi
14
kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan
gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta
penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat
diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.5
KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
Komplikasi hematologi
Komplkasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia,
peningkatan protrombin time, peningkatan partial thromboplastin time,
peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskuler
diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya
produksi trombosit di sumsusm tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang
peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid berjumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID
kompensata maupun dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat dibeikan transfusi darah, substitusi
trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula
yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.5
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan
demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. Typhi daripada S. Paratyphi.
Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria,amuba
maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu
histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan
15
dengan kanaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh
karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan
sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati
dapat terjadi.5
Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis
sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing,
maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta
ultrasonografi / CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.5
Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis
biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis jarang
terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai
prognosis yang buruk.Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai
pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.5
Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoidtoksik
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism,
sindroma otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis.
Gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor
atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti ini
16
oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoidtoksik, sedangkan penulis lainnya
menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau
demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk,
tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal
tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam
tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg
ditambah ampisilin 4x1gram dan deksametason3x5mg.5
17
skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran
maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola
sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai
pabrik beserta distributomya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan
pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan,
pengelola sarana umum lainya.5
18
l. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung5
BAB III
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Tn. A
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Kawin : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat :-
Suku : Melayu
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Demam
Telaah : Hal ini dialami os sejak ± 2 minggu yang lalu sebelum
masuk ke RS. Demam terutama pada sore hari, bersifat hilang timbul. Demam
tidak disertai mengigil. Demam disertai nyeri kepala (+), lemas (+), mual (+),
muntah (-). Riwayat mimisan (-), gusi berdarah (-).Os sebelumnya sudah
mengkonsumsi obat penurun panas, tapi demam turun sementara. BAK (+)
normal, BAB (+) normal.
RPT : -
RPO : Paracetamol
19
VITAL SIGN (STATUS PRESENS)
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 86x/i
Pernapasan : 22x/i
Suhu : 38oC
Ikterus : (-/-)
Anemis : (-/-)
Sianosis : (-/-)
Dyspnoe : (-/-)
Oedema : (-/-)
BB : 52 kg
TB : 160 cm
Kesan : Normoweight
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
- Mata : Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RC
(+/+), isokor
- T/H/M : dalam batas normal/dalam batas normal/ coated tongue (+)
- Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R-2 cmH2O
Thoraks Depan
o Inspeksi : Normochest, pergerakan dada simetris
o Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
o Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
o Auskultasi : SP: vesikuler
20
ST: -
- Batas Jantung
o Batas jantung atas : ICR III Sinistra
o Batas jantung kanan : linea parasternalis dextra
o Batas jantung kiri : ICR V, 1 cm medial LMCS
- Jantung :
o HR: 88 x/i, regular, gallop (-), murmur (-)
Thoraks Belakang
- Inspeksi : Simetris fusiformis
- Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : SP: vesikuler
ST:-
Abdomen
- Inspeksi : Simetris
- Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Pinggang : Tapping pain (-/-)
Inguinal : Pembesaran KGB (-)
Genitalia : Laki-laki, dalam batas normal
Ekstremitas Superior : Oedema (-)
21
Ekstremitas Inferior : Oedema (-)
22
RESUME
Keluhan Utama : Demam
Telaah : Hal ini dialami ± 2 minggu yang lalu. Demam terutama sore
hari, bersifat hilang timbul. Demam disertai nyeri kepala (+), lemas (+). Os juga
mengeluhkan batuk sejak 5 hari yang lalu. BAK (+) N, BAB (+) N.
DIAGNOSIS BANDING
Observasi febris ec. DD/
1. Demam tifoid
2. Demam malaria
3. Demam dengue
DIAGNOSIS SEMENTARA
- Demam tifoid
TERAPI:
- Bed rest
- Diet MII
- IVFD. RL 20 gtt/i
- Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
- Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Ondansentron/8 jam/IV
- Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
- Tab. B Comp 3x1
RENCANA
Cek DR, widal test, malaria test
23
FOLLOW-UP PASIEN DI RUANGAN
O
Hari/Tanggal S A P
Pemeriksaan Penunjang
Jum’at/28-2-2018 Demam (+) Vital sign - Observasi febris - Bed rest
Sens: CM ec. DD/ - Diet MII
TD: 100/70 mmHg 1.Demam tifoid - IVFD. RL 20 gtt/i
HR: 86x/i 2. Demam malaria - Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
RR: 22x/i 3. Demam dengue - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
T: 38OC - Inj. Ondansentron/8 jam/IV
- Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
Mulut: coated tongue (+) - Tab. B Comp 3x1
Widal test:
O: 1/160
AO: 1/160
BO: 1/80
CO: 1/80
24
H: 1/320
AH: 1/80
BH: 1/320
CH: 1/80
Minggu/2-3-2018 Demam (-), Vital sign - Demam tifoid - Bed rest
lemas (+) Sens: CM - Diet MII
TD: 120/80 mmHg - IVFD. RL 20 gtt/i
HR: 80x/i - Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
RR: 22x/i - Inj. Kloramphenicol 500 mg/6 jam/IV
T: 36,5OC - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Ondansentron/8 jam/IV
Mulut: coated tongue (+) - Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
- Tab. B Comp 3x1
Senin/3-3-2018 Lemas (+) Vital sign - Demam tifoid - Bed rest
Sens: CM - Diet MII
TD: 120/70 mmHg - IVFD. RL 20 gtt/i
HR: 82x/i - Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
RR: 20x/i - Inj. Kloramphenicol 500 mg/6 jam/IV
T: 36,8OC - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Ondansentron/8 jam/IV
Mulut: coated tongue (-) - Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
- Tab. B Comp 3x1
Selasa/4-3-2018 Lemas (-) Vital sign - Demam tifoid PBJ
Sens: CM Th/
TD: 120/70 mmHg - Tab. Ciprofloxacin 500 mg, 2x1
HR: 82x/i - Cap. Tiamfenicol 500 mg,3x1
RR: 22x/i - Tab. Paracetamol 500 mg, 3x1
T: 36,6OC
25
BAB IV
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali di selaput
lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan di seluruh
tubuh. Minggu pertama gejala klinis penyakit ini yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis. Sifat demam adalah meningkat perlahan-
lahan terutama pada sore hingga malam hari. Minggu kedua gejala-gejala menjadi
lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput,
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental, berupa somnolen,
sopor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain, pemeriksaan
rutin, uji widal, uji thypidot, uji IgM dipstick, kultur darah. Penatalaksaan demam
tifoid berupa istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, pemberian
antimikroba.
Sesuai dengan teori demam tifoid, berdasarakan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan penunjang, penyakit pasien pada kasus ini adalah demam tifoid.
26
DAFTAR PUSTAKA
27