Anda di halaman 1dari 27

Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di

berbagai belahan dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif Salmonella thypi. Di Indonesia, demam tifoid lebih dikenal
oleh masyarakat dengan istilah penyakit tifus.1
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah
kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini
mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai
600.000 jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar diberbagai benua,
mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagian
besar kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh,
Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam dan termasuk Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka
kejadian terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus).1
Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan
sekitar 0,6-5%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi
tertinggi adalah pada usia 5-14 tahun (1,9%) usia 1-4 tahun (1,6), usia 15-24 tahun
(1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).2
Tifoid dapat menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan angka
ketidakhadiran anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang
cukup lama, dan dari aspek ekonomi, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1
2 Demam Tifoid
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali di selaput
lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan di seluruh
tubuh.3

2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini juga bisa
disebabkan oleh Salmonella paratyphi, yang biasanya menyebabkan penyakit
yang tidak parah.4

2.3 Patofisiologi
Masuknya kuman ke dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel
M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propria kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi

2
darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.5

2.4 Gambaran Klinis


Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.3
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore

3
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental, berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.5

2.5 Pemeriksaan Penunjang


2.5.1 Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat tedadi aneosinofilia mupun limfopenia. Laju endap
darah pada demarn tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur
organisme. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam
penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan
serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara lain pemeriksaan serologi
IgM/IgG salmonella.

2.5.2 Uji Widal


Uji Widal dilakukan untak deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada
uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan
antibodi yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah
suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud

4
uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalain serum penderita
tersangka demain tifoid yaitu:
a). Aglutinin O (dari tubuh kuman),
b). Aglutinin H (flagela kuman), dan
c). Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan


untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai tedadi pada
akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada
fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H.
Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Penyebab tes widal negatif:


 Tidak ada infeksi S.typhi
 Karier
 Kurang adekuatnya antigen bakteri untuk menginduksi terbentuknya
antibodi
 Kesalahan saat pengerjaan
 Pemberian antibiotik sebelumnya
 Antigen komersil yang bervariasi
 Keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada
keadaan-keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit
agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll6

Penyebab tes widal positif:


 Pasien terinfeksi S.typhi
 Sebelumnya telah terpapar antigen S.typhi
 Reaksi silang dengan Salmonella non tiphosa

5
 Antigen komersil yang bervariasi
 Reaksi silang dengan malaria atau infeksi enterobacteriaceae yang lain
 Penyakit lain seperti demam dengue.6

Kekurangan tes Widal ini dapat juga dilihat pada Kepmenkes 364 tahun
2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid, yang pada salah satu poinnya
menjelaskan interpretasi tes Widal, yaitu:
 Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masing-
masing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing dan
tergantung hasil penelitiannya.
 Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian pada satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut.
Kebanyakan pendapat bahwa titer 0 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid.
 Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid
 Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan
kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari.

Pemeriksaan tes Widal dua kali dengan rentang waktu satu minggu seperti
pada pedoman di atas seringkali tidak dikerjakan dan biasanya pasien langsung
diobati secara empiris sesuai klinis. Untuk itu sekarang penggunaan tes Widal
sudah mulai digantikan oleh pemeriksaan IgM Salmonella yang sudah bisa
dideteksi 3-4 hari setelah terjadinya demam.6
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1). Pengobatan
dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau. non-
endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anainnestik, yaitu Peningkatan titer
aglutinin pada infeksi bukan demam tifold akibat infeksi demani tifoid masa lalu
atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya

6
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat.5

2.5.3 Uji Typhidot


Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan
2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM
dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip
nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uJi ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
efisiensi uJi sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan olch Gopalakhrisnan dkk
(2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesfisitas uji ini hampir
sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.5
Pada kasus reinfeksi, respons imun kkunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer.
Untuk mengatasi masalah tersebut, up ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama
uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang
ada pada. serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada
tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih
sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila
dibandingkan dengan kultur.5

2.5.4 Uji IgM Dipstick


Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
S. typhi  pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan
lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan

7
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan
selama 2 tahun pada suhu 4-25′ C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari.
Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi
dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan
air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian
terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.Garis
kontrol harus terwarna dengan baik.5
IgM disebut sebagai antibodi fase akut karena muncul pada saat infeksi
baru terjadi atau sedang terjadi. IgM anti-Salmonella bisa dideteksi pada hari ke-5
untuk infeksi primer dan hari ke-2 untuk infeksi sekunder. Untuk daerah endemis
seperti di negara kita ini, kecepatan deteksi ini sangat penting mengingat
kebanyakan kasus adalah infeksi sekunder, dimana tes Widal kurang dapat
membedakan mana kasus yang benar-benar tifoid atau bukan. Tes Widal
membutuhkan dua kali pemeriksaan dalam rentang waktu satu minggu yang dapat
memperlambat penanganan, sedangkan hasil IgM anti-Salmonella sudah bisa
positif dalam waktu 2 hari infeksi saja.

Di antara keuntungan dari pemeriksaan IgM anti-Salmonella ini adalah:


 memiliki sensitivitas dan spesifitas yang relatif tinggi
 prosedur pemeriksaan yang sangat mudah sehingga dapat dilakukan oleh
teknisi tanpa pelatihan khusus
 dapat dilakukan dimana saja, tidak harus didalam laboratorium
 dapat menguji banyak tes sekaligus sehingga dapat digunakan pada
skrining orang banyak
 hasil dapat diperoleh secara cepat kurang lebih 10 menit
 sampel darah yang dibutuhkan hanya sedikit, non invasif

Salah satu merk IgM anti-Salmonella, yaitu Tubex TF, tidak hanya
mengeluarkan hasil positif dan negatif saja tetapi berupa skor (semikuantitatif)
sesuai dengan warna reaksi yang dihasilkan. Skornya sebagai berikut:
 ≤ 2 : negatif (tidak ada infeksi S.typhi yang sedang terjadi)

8
 3 : borderline (perlu pengulangan pemeriksaan, pada hari selanjutnya)
 4 : positif lemah (menunjukkan infeksi awal atau sedang terjadi)
 6-10 : positif (indikasi kuat adanya infeksi S.typhi)7

House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai


penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia
dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95100%.
Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam I hari) dilakukan tanpa peralatan khusus
apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan I minggu
setelah timbulnya gejala.5

2.5.5 Kultur Darah


Hasil biakan darah yang positif memastikan dernam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena. mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut : 1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien
sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2). Volume darah yang
kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit
hasil biakan bisa negatif Darah yang diambil sebaiknya secara bedside laingsung
dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3).
Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif, 4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.5
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid/ Paratifoid.
Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/
Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak
segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit
sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih

9
dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera
diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara
2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan
bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk
stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.8

2.6 Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah:
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan
Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman3
Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenubnya di
tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan
membantu. dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga kdbersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cema atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat

10
bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
pemberian makan padat dini yaltu nasi dengan lank pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman
pada pasien demam tifoid,
Pemberian antimikroba. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk
mengobati demarn tifoid adalah sebagai berikut:
- Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500
mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan, dan tempat suntikan terasa
nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam
rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan dernam dapat terjadi
rata-rata, setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002
hingga 2008 oleh Moehario LH dkk didVatim 90% kuman masih memiliki
kWekaan terh “da antibiotik ini.
- Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada dernam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematoiogi seperti
kemungkinan tedadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demarn rata-rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
- Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (I tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu.
- Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan
berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi


ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang

11
dianjurkan adalah antara 34 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama V2
jam perinftis sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
- Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya
- Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 bari
- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- PefloksasT dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dQsis 400 mg/hari selama 7 hari
- Azitromisin. Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada
tahun 2008 terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan
azitromisin (dosis 2x5OO mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan
mengurangi kdgagalan klinis dan durasi rawat inap, terutamajika penelitian
mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance) maupun
NARST (Nalidixic Acid Resistant S.typhi). Jika dibandingkan dengan
ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps.
Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi
walaupun konsentrasi dolarn darah cenderung rendah. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika 1ni menjadi ideal untuk
digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang worupAan kuman
intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan
oral maupun suntikan intravena.5

Kombinasi Obat Antimikroba


Kombinasi 2 antibiotik atau, lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara, lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi ‘ sefta syok septik, yang pernah
terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella. Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan
pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3
x 5 mg.5

12
Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena
dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey
syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester
pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada
manusia belurn dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat
digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrirtioksazol
tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.5

2.7 Tata laksana Komplikasi


Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
 Komplikasi intestinal : Perdarahan usus, ileus paralitik, pankreatitis
 Komplikasi ekstra-intestinal
- Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis
- Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID,
trombosis
- Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
- Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis
- Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis
- Komplikasi neuropsikiatrik / tifoid toksik5

KOMPLIKASI INTESTINAL
a. Perdarahan Intestinal

13
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka
terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka
perforasi dapat terjadi.Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi
karenagangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar
25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapata perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor
hemostasis dalam batas normal.5

b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejalaumum
demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perfotasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah pada pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di dalam abnomen. Tanda-tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan oergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.5
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara
pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai
yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya
berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit,
dan mobilitas penderita.5
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.
Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik
pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi

14
kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan
gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta
penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat
diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.5

KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
Komplikasi hematologi
Komplkasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia,
peningkatan protrombin time, peningkatan partial thromboplastin time,
peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskuler
diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya
produksi trombosit di sumsusm tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang
peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid berjumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID
kompensata maupun dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat dibeikan transfusi darah, substitusi
trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula
yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.5

Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan
demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. Typhi daripada S. Paratyphi.
Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria,amuba
maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu
histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan

15
dengan kanaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh
karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan
sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati
dapat terjadi.5

Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis
sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing,
maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta
ultrasonografi / CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.5

Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis
biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis jarang
terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai
prognosis yang buruk.Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai
pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.5

Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoidtoksik
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism,
sindroma otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis.
Gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor
atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti ini

16
oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoidtoksik, sedangkan penulis lainnya
menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau
demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk,
tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal
tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam
tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg
ditambah ampisilin 4x1gram dan deksametason3x5mg.5

2.8 Pencegahan Demam Tifoid


Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena
alcan berdampak cukup, besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat
demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara,
mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisatawan mancanegara, karena
telah hilangnya predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka tidak
takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.5
Preventif dan Kontrol Penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar
biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi
kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta
faktor lingkungan.
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus dernam tifoid
maupun kasus karler tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien
terinfeksi S. typhi akut maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang berisiko
terinfeksi.5

Identifikasi dan eradikasi S. Typhi pada pasift tifoid asimtomatik, karier,


dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini
cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun

17
skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran
maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola
sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai
pabrik beserta distributomya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan
pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan,
pengelola sarana umum lainya.5

Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. Typhi akut


maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah
dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.5

Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana


proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis
atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu
golongan imunokompromais maupun golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
a. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak  atau epidemi
b. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
c. Penyaringan pengelota pembuatan/distributor/penjualan makanan-minuman
d. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
e. Bila ada kejadian epidemi tifoid
f. Pencarian dan eliminasi sumber penularan
g. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
h. Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
i. Daerah endemik
j. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar.prosedur kesehatan (perebusan > 57oC, iodisasi, dan klorinisasi)
k. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makaftan segar (sayur/buah)

18
l. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung5

BAB III

STATUS ORANG SAKIT

ANAMNESA PRIBADI
Nama : Tn. A
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Kawin : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat :-
Suku : Melayu

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Demam
Telaah : Hal ini dialami os sejak ± 2 minggu yang lalu sebelum
masuk ke RS. Demam terutama pada sore hari, bersifat hilang timbul. Demam
tidak disertai mengigil. Demam disertai nyeri kepala (+), lemas (+), mual (+),
muntah (-). Riwayat mimisan (-), gusi berdarah (-).Os sebelumnya sudah
mengkonsumsi obat penurun panas, tapi demam turun sementara. BAK (+)
normal, BAB (+) normal.

RPT : -
RPO : Paracetamol

19
VITAL SIGN (STATUS PRESENS)
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 86x/i
Pernapasan : 22x/i
Suhu : 38oC
Ikterus : (-/-)
Anemis : (-/-)
Sianosis : (-/-)
Dyspnoe : (-/-)
Oedema : (-/-)
BB : 52 kg
TB : 160 cm
Kesan : Normoweight

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
- Mata : Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RC
(+/+), isokor
- T/H/M : dalam batas normal/dalam batas normal/ coated tongue (+)
- Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R-2 cmH2O

Thoraks Depan
o Inspeksi : Normochest, pergerakan dada simetris
o Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
o Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
o Auskultasi : SP: vesikuler

20
ST: -

- Batas Paru Hati


o Batas paru hepar relative : ICR V
o Batas paru hepar absolute : ICR IV

- Batas Jantung
o Batas jantung atas : ICR III Sinistra
o Batas jantung kanan : linea parasternalis dextra
o Batas jantung kiri : ICR V, 1 cm medial LMCS
- Jantung :
o HR: 88 x/i, regular, gallop (-), murmur (-)

Thoraks Belakang
- Inspeksi : Simetris fusiformis
- Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : SP: vesikuler
ST:-

Abdomen
- Inspeksi : Simetris
- Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Pinggang : Tapping pain (-/-)
Inguinal : Pembesaran KGB (-)
Genitalia : Laki-laki, dalam batas normal
Ekstremitas Superior : Oedema (-)

21
Ekstremitas Inferior : Oedema (-)

22
RESUME
Keluhan Utama : Demam
Telaah : Hal ini dialami ± 2 minggu yang lalu. Demam terutama sore
hari, bersifat hilang timbul. Demam disertai nyeri kepala (+), lemas (+). Os juga
mengeluhkan batuk sejak 5 hari yang lalu. BAK (+) N, BAB (+) N.

DIAGNOSIS BANDING
Observasi febris ec. DD/
1. Demam tifoid
2. Demam malaria
3. Demam dengue

DIAGNOSIS SEMENTARA
- Demam tifoid

TERAPI:
- Bed rest
- Diet MII
- IVFD. RL 20 gtt/i
- Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
- Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Ondansentron/8 jam/IV
- Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
- Tab. B Comp 3x1

RENCANA
Cek DR, widal test, malaria test

23
FOLLOW-UP PASIEN DI RUANGAN

O
Hari/Tanggal S A P
Pemeriksaan Penunjang
Jum’at/28-2-2018 Demam (+) Vital sign - Observasi febris - Bed rest
Sens: CM ec. DD/ - Diet MII
TD: 100/70 mmHg 1.Demam tifoid - IVFD. RL 20 gtt/i
HR: 86x/i 2. Demam malaria - Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
RR: 22x/i 3. Demam dengue - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
T: 38OC - Inj. Ondansentron/8 jam/IV
- Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
Mulut: coated tongue (+) - Tab. B Comp 3x1

R/ Cek DR, widal test, malaria test


Sabtu/1-3-2018 Demam (+), Vital sign DR Demam tifoid - Bed rest
lemas (+) Sens: CM WBC: 6.810 - Diet MII
TD: 100/60 mmHg HGB: 13,9 - IVFD. RL 20 gtt/i
HR: 80x/i RBC: 5.16 - Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
RR: 22x/i HCT: 40,19 - Inj. Kloramphenicol 500 mg/6 jam/IV
T: 37,7OC MCV: 78 - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
MCH: 26,9 - Inj. Ondansentron/8 jam/IV
Mulut: coated tongue (+) MCHC: 34,6 - Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
PLT: 110.000 - Tab. B Comp 3x1

Malaria test : (-)

Widal test:
O: 1/160
AO: 1/160
BO: 1/80
CO: 1/80

24
H: 1/320
AH: 1/80
BH: 1/320
CH: 1/80
Minggu/2-3-2018 Demam (-), Vital sign - Demam tifoid - Bed rest
lemas (+) Sens: CM - Diet MII
TD: 120/80 mmHg - IVFD. RL 20 gtt/i
HR: 80x/i - Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
RR: 22x/i - Inj. Kloramphenicol 500 mg/6 jam/IV
T: 36,5OC - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Ondansentron/8 jam/IV
Mulut: coated tongue (+) - Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
- Tab. B Comp 3x1
Senin/3-3-2018 Lemas (+) Vital sign - Demam tifoid - Bed rest
Sens: CM - Diet MII
TD: 120/70 mmHg - IVFD. RL 20 gtt/i
HR: 82x/i - Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
RR: 20x/i - Inj. Kloramphenicol 500 mg/6 jam/IV
T: 36,8OC - Inj Ranitidin 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Ondansentron/8 jam/IV
Mulut: coated tongue (-) - Inj. Novalgin 1 amp/8 jam/IV
- Tab. B Comp 3x1
Selasa/4-3-2018 Lemas (-) Vital sign - Demam tifoid PBJ
Sens: CM Th/
TD: 120/70 mmHg - Tab. Ciprofloxacin 500 mg, 2x1
HR: 82x/i - Cap. Tiamfenicol 500 mg,3x1
RR: 22x/i - Tab. Paracetamol 500 mg, 3x1
T: 36,6OC

25
BAB IV

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali di selaput
lendir usus dan jika tidak diobati, secara progresif menyerbu jaringan di seluruh
tubuh. Minggu pertama gejala klinis penyakit ini yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis. Sifat demam adalah meningkat perlahan-
lahan terutama pada sore hingga malam hari. Minggu kedua gejala-gejala menjadi
lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput,
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental, berupa somnolen,
sopor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain, pemeriksaan
rutin, uji widal, uji thypidot, uji IgM dipstick, kultur darah. Penatalaksaan demam
tifoid berupa istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, pemberian
antimikroba.
Sesuai dengan teori demam tifoid, berdasarakan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan penunjang, penyakit pasien pada kasus ini adalah demam tifoid.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarta, DS. Demam Tifoid. Available at http://fk.uii.ac.id/demam-tifoid/.


Accesed on 3/2/2018
2. Purba, IE, Wandra T, Nugrahini N, et. al. Program Pengendalian Demam
Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Available at
https://media.neliti.com/media/publications/179277-ID-program-
pengendalian-demam-tifoid-di-ind.pdf. Accesed on 3/2/2018
3. Tambayong, J. Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2000: 143
4. Ferdinand, MC. Typhoid Fever. Available at https://www.webmd.com/a-to-z-
guides/typhoid-fever#. Accesed on 3/10/2018
5. Widodo, D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. 2 Edisi VI. Jakarta: EGC, 2014:
549-57.
6. Hanggara, DS. Penggunaan Tes Widal pada Diagnosis Demam Tifoid.
Available at http://patologiklinik.com/2017/11/28/penggunaan-tes-widal-
pada-diagnosis-demam-tifoid/. Accesed on 3/24/2018
7. Hanggara, DS. IgM Anti-Salmonella dalam Diagnosis Demam Tifoid.
Available at http://patologiklinik.com/2017/12/01/igm-anti-salmonella-dalam-
diagnosis-demam-tifoid/. Accesed on 4/1/2018
8. Liana, L. Diagnosis Laboratorium Demam Tifoid. Available at
http://www.abclab.co.id/?p=345. Accesed on 4/3/2018

27

Anda mungkin juga menyukai