Anda di halaman 1dari 14

UTS TAKE HOME FARMAKOLOGI SISTEM ORGAN

MA’ARY TIARA DINANTI (1624808)

SOAL

1. A . Jelaskan mekanisme kerja dan penggolongan obat tukak lambung serta berikan
contohnya!
B. Jelaskan mekanisme kerja dan penggolongan obat laksansia serta berikan contohnya !
2. A. Jelaskan mekanisme kerja dan penggolongan obat hipnotif sedatif serta berikan
contohnya!
B. Jelaskan tujuan pemakaian obat hipnotif sedatif !
3. A. Jelaskan 3 stadium yang terjadi pada pemberian obat anastesi !
B. Jelaskan mekanisme kerja dan penggolongan obat anastetik lokal serta berikan
contohnya!
4. Jelaskan prinsip umum dan pemilihan obat dalam pengobatan epilepsi !
5. Jelaskan prinsip umum dan pemilihan obat dalam pengobatan psikotik !

JAWABAN
1. A. Golongan Obat Antasida
Zat pengikat asam atau antasida (anti = lawan, acidus = asam) adalah basa-basa
lemah yang digunakan untuk mengikat secara kimiawi dan menetralkan asam lambung.
Efeknya adalah peningkatan pH, yang mengakibatkan berkurangnya kerja proteolitis dari
pesin (optimal pada pH 2). Diatas pH 4, aktivitas pepsin menjadi minimal. Obat golongan
ini mampu mengurangi rasa nyeri dilambung dengan cepat (dalam beberapa menit).
Efeknya bertahan 20-60 menit bila diminum pada perut kosong dan sampai 3 jam bila
diminum 1 jam sesudah makan.
Peninggian pH. Garam-garam magnesium dan Na-bikarbonat menaikkan pH isi
la,bung sampai 6-8, CaCO3 sampai pH 5-6 dan garam-garam alumunium hidroksida
sampai maksimal pH 4-5. Contoh Obatnya :
B. Penghambat Sekresi Asam

Zat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok menurut mekanisme kerjanya, sebagai berikut:

1. H2 Blocker
Obat ini menempati reseptor histamine H2 secara efektif dipermukaan sel-sel parietal,
sehingga sekresi lambung dan pespsin dapat dikurangi

2. Penghambat Pompa Proton


Obat ini mengurangi sekresi asam (yang normal dan yang dibuat) dengan jalan menghambat
enzim H+ / K+ATPase secara efektif dalam sel-sel parietal, dan kerjanya panjang akibat
kumulasi disel-sel tersebut. Kadar penghambatan asam tergantung dari dosis dan pada
umumnya lebih kuat daripada perintangan oleh H2 Blocker

3. Antikolinergika
Untuk menghambat sekresi asam lambung dengan menghambat aktifitas nervus vagus, yang
mengakibatkan penurunan motilitas gastrointestinal(efek antispasmodik). Obat ini
menghambat kegiatan muskarin dari asetilkolin, yang dalam saluran cerna berefek menekan
sekresi getah lambung dan peristaltik. Namun obat golongan ini belum pernah dibuktikan
secara ilimiah mengenai efektivitasnya pada terapi tukak, maka dari itu obat ini jarang
digunakan lagi.
4. Analogon Prostaglandin E1
Obat golongan ini menghambat secara langsung sel-sel parietal. Berbagai analog
prostaglandin sintesis ternyata memiliki sifat protektif dan mengurangi sekresi asam lambung.
Lagipula melindungi mukosa dengan jalan stimulasi produksi mucus dan bikarbonat.

1. B. Laksansia
Penggolongan Obat Laksansia
a. Zat-zat perangsang dinding usus
 Merangsang dinding usus besar misalnya glikosida antrakonin
 Merangsang dinding usus kecil misalnya oleum ricini (sudah tidak dipakasi) dan
kalomel contohnya oleum ricini

b. Zat-zat yang dapat memperbesar isi usus


 Obat yang bekerja dengan jalan menahan cairan dalam usus secara osmosis
(pencahar osmosik)
 Obat yang dapat mengembang dalam usus contoh : Metilselulosa, psilium
c. Pencahar garam dan pencahar osmotic
Garam inggris, Laktulosa bersifat tidak diabsorbsi di usus halus, sehingga air ditarik
kedalam lumen usu (daya osmotic) dengan akibat tinja menjadi lembek. Gambar 3.2.3
memperlihatkan NaCL dan flukosa yang diabsorbsi dari usus sehingga tidak menambah
isi usus yang tidak diabsorbsi sehingga menarik air kedalam lumen usus sehingga volume
isi usus bertambah dan memudahkan defekasi.. Contoh obat Dulcolactol
d. Pencahar emolien : Memudahkan defekasi dengan jalan melunakkan tinja tanpa
merangsang peristalsis usus baik langsung maupun tidak langsung. Contohnya Paraffin
cair dan dioktil Na atau Ca-sulfosuksinat
2. A. Penggolongan dan mechanism kerja Hipnotif Sedatif

Secara klinis obat-obatan sedatif – hipnotik digunakan sebagai obat-obatan


yang berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik,
tindakan anesthesia, penatalaksanaan kejang serta insomnia.

Obat-obatan sedatiif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni:

1. Benzodiazepin

Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus,


yakni anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medulla spinalis, dan
amnesia retrograde. Benzodiazepin banyak digunakan dalam praktik klinik.
Keunggulan benzodiazepin dari barbiturat yaitu rendahnya tingkat toleransi obat,
potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya
toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Selain itu,
benzodiazepine memiliki antagonis khusus, yaitu flumazenil.
Mekanisme Kerja

Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric


acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka
dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik
membrane sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi,
amnesia retrograde, potensiasi alcohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal.

Efek sedative timbul dari aktivasi reseptor GABAA sub unit alpha-1 yang
merupakan 60% dari reseptor GABA di otak (korteks serebral, korteks sereblum,
thalamus). Sementara efek ansiolitik timbul dari aktifasi GABA sub unit alpha 2
(Hipokampus dan amigdala).

Perbadaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan


perbedaan potensi (afinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan
menembus sawar darah otak dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik
(penyerapan, distribusi, metabolism dan ekskresi). Hampir semua benzodiazepine
larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma. Sehingga keadaan
hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan meningkatkan efek
obat ini.

Benzodiazepine menurunkan degradasi adenosine dengan menghambat


transportasi nukleosida. Adenosine penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan
kebutuhan oksigen jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan
oksigenase melalui vasodilatasi arteri koroner) dan semua fungsi fisiologi proteksi
jantung
2. Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai


hipnotik dan sedative. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang
spesifik, barbiturate telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih
aman, pengecualian fenobarbital yang memiliki anti konvulsi yang masih sama
banyak digunakan. Secara kimia, barbiturate merupakan derivate asam
barbiturate. Asam barbiturate (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil
reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.

Efek utama barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat
dicapai, mulai dari sedasi, hypnosis, koma sampai dengan kematian. Efek
antisietas barbiturate berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek
hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis
hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang
mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan
beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya
diberikan oleh barbiturate yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya
fenobarbital.

Mekanisme Kerja

Barbiturat menyerang tempat ikatan tertentu pada reseptor GABA A sehingga


kanal ion klorida terbuka lebih lama yang membuat klorida lebih banyak masuk
dan menyebabkan hiperpolarisasi serta pengurangan sensitivitas sel-sel GABA.
Barbiturat merupakan agonis dari GABA yang bekerja mirip dengan GABA
sehingga ketika terjadi hiperpolirisasi maka tidak terjadi depolirisasi, dengann
begitu tidak terjadi potensial aksi dan terjadinya anastesi. Contoh obatnya
Phenobarbital
3. Golongan obat nonbarbiturat-nonbenzodiazepin
Propofol
Propofol adalah substitusi isopropylphenol yang digunakan secara intravena
sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak
kedele, 2,25% gliserol dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara
struktur kimia berbeda dari sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena
lainnya. Penggunaan propofol 1,5-2,5 mg/kg BB (atau setara dengan thiopental
4-5 mg/kg BB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (<15
detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih
cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anesthesia
lain yang disuntikkan secra cepat.

Mekanisme Kerja
Propol relative selektif dalam mengatur reseptor GABA dan tampaknya tidak
mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek
sedative hipnotik melalui interaksinya denghan reseptor GABA. GABA adalah
salah satu neurotransmitter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA
diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat dan menimbulkan
hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post
sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturate dan etomidate) dengan reseptor
komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotransmitter penghambat.
Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melalui
chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membrane sel.

Ketamin
Ketamin adalah derivate phencyclidine yang meyebabkan disosiative anesthesia
yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik.
Ketamin memiliki keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate,
ketamine larut dalam air dan dapat menyebabkan analgesic pada dosis
subanestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabkan delirium.

Mekanisme Kerja
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D
Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada reseptor lain termasuk
reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe
L dan natrium sensitive voltase. Tidak seperti propofol dan etomide, katamin
memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan local
melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan
mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai
mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi
sitokin inilah yang menimbulkan efek analgesia.

3. A. STADIUM ANESTESI Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4
stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu (Wirjoatmodjo, 2000) :
1. Tahap I (Stadium I, tahap analgesi)
 Mulai anestesi diberikan sampai hilangnya kesadaran.
 Pada tahap ini penderita masih sadar, karena itu tak ada pola tertentu dari pernafasan,
gerak bola mata maupun lebar pupil.
2. Tahap II (Stadium II, tahap eksitasi)
 Mulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan tahap bedah.
 Tahap I dan II bersama-sama disebut tahap induksi. Pada tahap ini penderita mulai tidak
sadar.
a) Nafas : tidak teratur baik iramanya maupun amplitudonya nafas kadang-kadang
cepat, pelan atau berhenti sebentar Amplitudo sesaat besar sesaat kecil. Perlu
dibedakan disini antara nafas yang berhenti sebentar karena tahap nafas (breath-
holding) pada tahap II dan arrest nafas (respiratory arrest) karena kelumpuhan
medulla pada tahap IV. Tahan nafas dapat diketahui karena adanya tanda-tanda yang
lain misalnya penderita bergerak-gerak disamping anestesi baru sebentar dimulai.
b) Bola mata : Masih bergerak
c) Pupil : Lebar
d) Reflex-reflex : Reflex – reflex jalan nafas meninggi
 Penderita dapat batuk-batuk atau mengalami kejang tenggorok (laryngospasmus). Terjadi
juga hipersalivasi. Muntah terjadi pada akhir tahap II pada waktu induksi juga pada waktu
akan siuman (menergence). Bahaya dari muntah adalah terjadinya aspirasi. Penderita
sering memberontak menunjukkan gerakan-gerakan berusaha lepas dari meja operasi.
Penderita sakit jantung dapat mengalami dekompensasi karena gerakan-gerakan yang
berlebihan ini. Karena gangguan yang sering timbul pada tahap II ini (hipersalivasi,
batuk, kejang tenggorok, muntah dan eksitasi yang berlebihan) teknik pemberian anestesi
ditujukan untuk melewati tahap ini secepat mungkin. Kalau perlu diberikan obat lain
untuk induksinya yang tidak menimbulkan eksitasi baru kemudian untuk maintenace
(lanjutan) digunakan eter.
3. Tahap III (Stadium III, tahap pembedahan)
 Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya napas spontan(arrest napas)
 Ciri umum dari tahap III ini adalah :
a) Nafas jadi teratur (ini dapat dinilai dari gerak dan suara nafas) seperti orang yang
tidur nyenyak.
b) Reflex bulu mata negatif
c) Otot-otot jadi lemas, sehingga misalnya kepala mudah digerakkan ke kiri dan ke
kanan.
 Tahap ini dibagi menjadi 4 bidang (plane), bidang 1 sampai 4.
1. Bidang 1 (plane 1)
 Nafas : o Teratur, dalam (amplitudo besar), gerak dada dan perut serentak (waktu
dada naik perut juga naik)
 Amplitudo gerak dada dan perut sama atau hampir sama. o Pernafasan dada
sangat nyata.
 Bola mata : Bergerak
 Pupil : Kecil
2. Bidang 2 (plane 2)
 Nafas :Sama seperti pada bidang 1 hanya besarnya (amplitudo)berkurang
 Bola mata : Tak bergerak (fixed)
 Pupil : Kecil
3. Bidang 3 (plane 3)
 Nafas : Nafas perut mulai lebih besar dari nafas dada.Gerak dada ketinggalan
(perut naik lebih dulu baru disusul dada).
 Bola mata : Tak bergerak
 Pupil : Mulai melebar (lebar sedang).Refleks cahaya positif.
4. Bidang 4 (plane 4)
 Nafas : Otot-otot interkostal telah lumpuh sama sekali. Nafas hanya nafas perut
semata-mata. Ciri lain :Inspirasi sangat cepat (jerky, gasping) seperti orang terisak
(tersedu) waktu menangis. Pause (waktu mengaso) setelah ekspirasi adalah lama
akhirnya nafas berhenti sama sekali waktu penderita masuk tahap IV.
 Bola mata :Tak bergerak
 Pupil : Melebar hampir maximum, refleks cahaya negatif
 Tanda peringatan sebelum penderita masuk tahap IV (preparalytic stage) ialah :
1. Nafas hanya semata-mata nafas perut (abdominal), dekat sebelum arrest nafas
biasanya penderita megap-megap (gasping)
2. Pupil melebar hampir maximum, refleks cahaya negatif.
3. Nadi kecil tensi rendah
4. Kulit pucat dingin dan basah dingin dan basah berkeringat
4. Tahap IV (stadium/ tahap kelumpuhan medulla)
 Mulai arrest nafas sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung). Pasien sebaiknya tidak
mencapai stadium ini karena berarti telah terjadi kedalaman anastesi yang berlebihan.
 Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat
midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
Sampai tahap 3 plane 2, efek depresi otot jantung tak nampak jelas karena eter
merangsang saraf simpatis serta sekresi adrenalin-nor adrenalin. Pada stadium dalam,
terjadi depresi nafas dan depresi otot jantung. Pada tahap 3 plane 3 ini telah terjadi depresi
nafas dan sirkulasi yang cukup berbahaya, sehingga plane 3 hanya boleh untuk waktu
singkat saja. Cara lain yang lebih aman adalah dengan menggunakan obat pelumpuh otot
disertai nafas buatan.
Pembedahan dilakukan pada tahap (stadium) 3:
 Plane 1, untuk pembedahan di tangan, kaki, dan permukaan tubuh.
 Plane 2, untuk pembedahan rongga perut bagian bawah, SC, hernia, usus buntu.
 Plane 3, untuk pembedahan rongga perut bagian atas dan lainnya yang memerlukan
relaksasi otot sebaik-baiknya, tetapi tahap ini sangat berbahaya karena pada tahap ini
sudah mulai terjasi depresi nafas dan sirkulasi. Bila diperlukan relaksasi untuk
pembedahan perut bagian atas maka ditambahkan obat pelumpuh otot curarine atau
derivatnya.
B. Penggolongan Obat Anastetik Lokal

Secara kimiawi obat anastesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase
diplasme sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis dihati. Perbedaan
ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinana terjadinya alergi, dimana golongan ester
turunan dari pamino benzoic-acid memilki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar. Untuk
kepentingan klinis, anastesi local dibedakan berdasarkan posisi dan lama kerjanya menjadi 3
group. Group I meliputi prokain dan kloroprokain yang memiliki potensi lemah dengam
lama kerja singkat. Group II meliputi lidokain, mepivikain dan dan prilokain yang memiliki
potensi dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivikain dan etidokain yang
memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang
Mekanisme Kerja

Obat anastesi local mencegah transmisi impuls syaraf dengan menghambat pengiriman
ion natrium selektif melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf. Gerbang
natrium sediri adalah reseptor spesifik molekul anastesi local. Penyumbatan gerbang ion yang
terbuka dengan molekul obat anastesi local berkontribusi sedikit samapai hampir keseluruhan
dalam inhibis permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk
meningkatkan perlambatan kecepatan depolirisasi seperti ambang batas potensial tidak
tercapai sehingga potensi aksi tidak disebarkan. Obat anastesi local tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas potensial.

Lokal anastesi juga memblok kanal kalsium dan potassium dan resptor Nmethyl- D-
Aspartat dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa golongan lain seperti antidepresan
trisiklik (amytriptiline), meperidinen, anestesi inhalasi, dan ketamine juga memiliki efek
memblok kanal sodium. Tidak semua serat syaraf dipengaruhi sama oleh obat anastesi local.
Sensitivitas terhadap blockade ditentukan dari dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan
berbagai factor anatomi dan fisiologi lain. Diamter yang kecil dan banyaknya myelin
meningkatkan sensitivitas terhadap anastesi local. Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis
terhadap anastesi local autonom > sensorik> motoric.

B. Tujuan Penggunaan Hipnotif sedatif

Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik diperuntukkan untuk
mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa kantuk, mempercepat
tidur dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah.
Secara ideal obat tidur memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya. Hipnotika adalah zat
yang umumnya diberikan pada malam hari dengan tujuan untuk mempertinggi keinginaan
faal dan normal untuk tidur, mempermudah atau menyebabkan tidur. Jika hipnotika diberikan
dalam dosis yang lebih rendah dari dosis terapinya, maka obat tersebut berfungsi sebagai
sedative. Sedativa adalah obat yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang diberikan pada
siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedativa termasuk ke dalam kelompok psikoleptika
yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat sistem saraf pusat. Sedativa
berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya
Sedativa adalah obat-obatan yang menciptakan ketenangan dan pengurangan rasa sakit dan
/atau kecemasan, digunakan bersama dengan anestesi lokal untuk prosedur minor, seperti
endoskopi atau perawatan gigi, atau sebelum anestesi umum.
4. Jelaskan prinsip umum dan pemilihan obat dalam pengobatan epilepsi !

Alogaritma Pengobatan Epilepsi

Diagnosa Epilepsi

Dimulai dengan satu jenis OAE. Pemilihan berdasarkan jenis kejang dan efek samping obat

Box 3 : Tidak Kejang


? TIDAK
YA

Tidak Tahan Efek Samping ? Tidak Tahan Efek Samping ?


TIDAK YA
TIDAK
YA
QOL Optimal ? Kurangi Dosis
OAE. Kembali ke Kurangi Dosis OAE. Kurangi Dosis OAE pertama.
Tidak Optimal Box 3 Kembali ke Box 3 Tambah OAE kedua
YA TIDAK

Teruskan Obat tersebut Teliti QOL: Rujuk jika perlu Box 4 : Tidak Kejang
kembali ke box 3 ?

Pertimbangan penghentian OAE Tidak Tahan Efek Samping ?


Tidak kejang >2
pertama.Kembali ke Box 3
tahun TIDAK
YA TIDAK YA

Pertimbangan Hentikan OAE yang kurang efektif. Naikkan dosis OAE kedua,
Kembali ke Box 3 Tambahkan OAE kedua dari jenis cek interaksi, cek
penghentian OAE
lain kepatuhan. Kembali ke Box
4

Box 4 : Tidak Kejang


?
YA TIDAK

Teruskan obat tersebut Konfirmasi ulang diagnosis,


pertimbangkan operasi/Pemberia
OAE
 Pengobatan tergantung pada macam epilepsi dan efek samping tertentu dari obat serta
kecenderungan pasien.
Klasifikasi Kejang epilepsi
1. Kejang Parsial (Awal serangan kejang terjadi secara local)
A. Sederhana (Tanpa gangguan kesadaran)
 Disertai gejala motor
 Disertai gejalan sensori khusus atau somatosensory
 Disertai gejala kejiwaan
B. Kompleks (Disertai gangguan kesadaran)
 Mula kejang parisal sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa
gerakan otomatis
 Gangguan kesadaran pada mula kejang dengan atau tanpa gerakan otomatis
C. Umum Sekunder (Mula kejang dengan atau tanpa tonik-klonik umum)
2. Kejang Umum (Simetris bilateral dan tanpa mula kejang local)
 Absen
 Myoklonik
 Klonik
 Tonik
 Tonik-Klonik
 Atonik
 Spasme infantile
3. Kejang yang tidak dapat diklasifikasi
4. Status spileptikus
 Dimulai dengan monoterapi, sekitar 50% sampai 70% pasien dapat diobati dengan satu macam
OAE
 Terapi Obat tidak diindikasikan bagi pasien yang hanya mengalami satu kali kejang atau yang
kejangnya memiliki pengaruh minimal dalam hidupnya. Pada pasien yang mengalami kejang dua
kaliatau lebih harus mulai doberikan OAE
Macam Kejang Obat Pilihan Utama Obat Alternatif
Kejang Parsial Karbamazepin Gabapentin
Fenitoin Topiramat
Lamotrigin Levetiasetan
Asam Valproat Zonisamid
Okskarbazepin Tiagabin
Pirimidon,fenobarbital,felbamat
Kejang Umum
Absence Asam Valproat, etosuksimid Lamotrigin, Levetrirasetam
Myoklonik Asam Valproat, Klonazepam Lamotrigin,Topiramat,
Felbamat,Zonisamid, Levetirasetam
Tonik-Klonik Fenitoin, Karbamazepin, Asam Lamotrigin,Topiramat, Fenobarbital,
Valproat Pirimidon,Okskarbazepin,Levetirasetam

5. Seperti diindikasikan di atas, berbagai obat berbeda pada efek utama dan efek sampingnya.
Pemilihan obat dipengaruhi oleh tingkat sedasi yang diinginkan, dan kerentanan pasien terhadap
efek samping ekstrapiramidal. Bagaimanapun, perbedaan antara obat antispikotik merupakan hal
yang tidak begitu penting dibanding variasi respon pasien terhadap obat; lebih lagi, toleransi
terhadap efek sekunder seperti sedasi biasa terjadi. Antipsikosis atipikal mungkin tepat jika efek
samping ekstrapiramidal menjadi pertimbangan utama yang diperhatikan (lihat pada Antipsikosis
di bawah). Klozapin digunakan pada skizofrenia jika antipiskosis lain tidak efektif atau tidak
dapat ditoleransi. Peresepan lebih dari satu antipsikosis pada waktu yang bersamaan tidak
direkomendasikan; karena dapat menimbulkan bahaya dan tidak ada bukti nyata yang menyatakan
efek samping dapat diminimalkan. Klorpromazin masih digunakan secara luas meskipun efek
samping yang luas terkait dengan penggunaan obat ini. Obat ini memiliki efek sedasi dan berguna
untuk mengendalikan pasien beringas (violent) tanpa menyebabkan pasien kehilangan kesadaran.
Keadaan agitasi pada lansia dapat dikendalikan tanpa menimbulkan kebingungan, satu dosis 10
hingga 25 mg sekali atau dua kali sehari biasanya sudah memadai.

Anda mungkin juga menyukai