Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup telah menjadi isu utama hampir di seluruh negara di

dunia. Perubahan iklim beserta dampak yang ditimbulkannya bagi kesehatan dan

keselamatan setiap penghuni Bumi tanpa terkecuali membuat semua pihak

semakin sadar betapa terancamnya lingkungan hidup secara global dan betapa

terlambatnya kita bergerak untuk mengatasinya. Masalah lingkungan hidup tidak

dapat berdiri sendiri, melainkan selalu dikaitkan dengan aspek-aspek lain seperti

politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, teknologi, energi maupun masalah

lainnya.

Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang memiliki

permasalahan lingkungan yang kompleks, mulai dari banjir, longsor, penumpukan

sampah, pencemaran sungai dan udara, eksploitasi sumber daya migas, serta

kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap. Semua Permasalahan- permasalahan
diatas dapat dipastikan selalu terjadi setiap tahun. Di antara semua

permasalahan lingkungan yang terjadi di tahun 2015 kemarin, kabut asap

merupakan permasalahan yang paling mencuri perhatian masyarakat Indonesia

bahkan dunia karena peristiwa ini menyebar hingga ke negara lain seperti

Malaysia dan Singapura.

Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap ternyata telah

terjadi sejak tahun 1967. Setiap tahun permasalahan ini terus berulang bahkan

semakin parah. Rekapitulasi luas kebakaran hutan per provinsi di Indonesia tahun
2010-2015 dalam situs Kementerian Lingkungan Hidup juga menunjukkan hal itu.

Dibandingkan tahun 2010, luas lahan terbakar meningkat puluhan kali lipat. Di

Jambi, contohnya, di tahun 2010, lahan terbakar hanya 2,5 ha. Tahun 2014

meningkat menjadi 3.470 ha. Sementara tahun 2015 ini, kebakaran di Jambi

dalam satu bulan terakhir telah menyebar ke areal seluas 40.000 ha. Sebanyak

33.000 ha di antaranya merupakan kebakaran gambut yang masih terus meluas.

Kerugian yang ditimbulkan dari bencana ini sangat besar. Kerugian yang terjadi

Universitas Sumatera Utara.akibat bencana asap itu tidak hanya materi yang tak terhitung nilainya,
tetapi juga

kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Bencana

asap itu bahkan telah merenggut seorang anak kecil akibat terpapar asap pekat

yang terjadi di Pekanbaru, Kamis pekan lalu. Belum lagi puluhan ribu orang di

wilayah Sumatera dan Kalimantan yang menderita infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) karena terpapar asap

(http://sains.kompas.com/read/2015/09/14/16272971/Kabut.Asap.Kebakaran.Huta

n.Setengah.Abad.Kita.Abai). Sumber lain menyatakan kebakaran hutan yang

terjadi tahun ini menyebabkan lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan

lahan lainnya terbakar, jumlah ini setara dengan 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali.

Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non- kayu, serta
sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisa secara penuh, kerugian

lingkungan terkait keanekaragaman hayati diperkirakan bernilai sekitar $295 juta

pada tahun 2015 dan untuk total kerugian yang disebabkan oleh permasalahan

kabut asap adalah $15.72 milyar atau setara dengan dua kali biaya yang
dibutuhkan untuk merekonstruksi kerusakan akibat tsunami Aceh 2004. (www.worldbank.org).

Fenomena kabut asap sebagai imbas dari terbakarnya hutan dan lahan di

wilayah Sumatera dan Kalimantan dapat mengancam keberlangsungan kehidupan

satwa dan tumbuhan, manusia yang merupakan bagian dari alam juga terancam

karena kerusakan alam ini. Pada kutipan berita di Harian Waspada edisi 12

September 2015 yang berjudul “Bernafas Dalam Kabut” menyebutkan bahwa

kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap tebal sangat

mengganggu aktivitas warga. Di dalam teks berita ini juga disampaikan bahwa

kabut asap telah sampai ke Malaysia. Seorang narasumber yang merupakan warga

negara Indonesia yang menetap di Malaysia menyayangkan lambatnya pemerintah

Indonesia dalam menangani permasalahan ini.

Pemberitaan terkait kabut asap yang melanda wilayah Sumatera dan

Kalimantan ini telah menyita perhatian media lokal, nasional maupun

internasional. Pada Harian Republika edisi 08 Oktober 2015 kabut asap

diberitakan secara eksklusif dengan posisi penempatan berita yang strategis yaitudengan
penempatan satu halaman penuh di headline, Harian Republika membuat

halaman headline seakan-akan berkabut hingga nyaris tidak bisa dibaca. Media

massa internasional juga memberikan perhatian khusus akan permasalahan kabut

asap ini, seperti BBC UK, Huffington Post, CNN, Reuters dan media massa

internasional lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya Indonesia saja

yang dirugikan akibat permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang

menyebabkan kabut asap ini, mengingat Indonesia mempunyai hutan hujan


terbesar kedua setelah Amazon yang menyimpan persediaan oksigen untuk

seluruh penduduk Bumi.

Peran media massa melalui jurnalisme lingkungan, yang dalam hal ini

sebagai bagian dari Civil Society tentunya sangat penting dalam kerangka

pengelolaan lingkungan. Substansi dari hal ini telah sangat jelas diatur di dalam

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers maupun Undang-undang

Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Kurniawan,

2006:4). Pers atau Media Massa turut memberikan ruang bagi isu lingkungan

hidup melalui berita jurnalisme lingkungan. Pers pada dasarnya adalah agen

masyarakat untuk mengontrol kekuasaan dan memperjuangkan kepentingan- kepentingan publik.


Penyelamatan lingkungan hidup adalah bagian dari

kepentingan publik itu, maka dari itu Jurnalisme lingkungan adalah bagian dari

bentuk tanggung jawab pers untuk memperjuangkan kepentingan publik. Isu

kerusakan lingkungan hidup, pemanasan global, perubahan iklim merupakan

beberapa isu yang diangkat oleh media masa menjadi produk berita. Berita

jurnalisme lingkungan yang dimuat oleh media massa akan lebih berarti jika

memperkenalkan jurnalisme lingkungan hidup yang berpihak kepada

kesinambungan lingkungan hidup (Abrar, 1993:9).

Peliputan terhadap objek berita dalam jurnalisme lingkungan dilakukan

secara terus menerus, dengan begitu bisa memberikan pemahaman secara utuh

objek berita yang sedang diliput serta lebih bagus lagi dengan memuat berita

secara komperhensif, dengan kajian multidisipliner. Liputan jenis itu,

membutuhkan kerja keras, riset yang ketat, dukungan basis data yang kuat, dan
kutipan-kutipan yang cerdas, dengan begitu jurnalisme lingkungan hidup dapat membawa peran
penting pers sebagai kontrol sosial sekaligus pendidikan sosial.

Jurnalisme lingkungan hidup haruslah dapat berpihak kepada kesinambungan

lingkungan hidup. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari

yang dapat dipercaya, lengkap, cerdas, dan akurat; mereka tidak berbohong, herus

memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara yang

memberikan arti secara internasional, dan harus lebih sekadar menyajikan fakta-

fakta dan harus melaporkan kebenaran (Hikmat, Purnama : 2005:21). Dalam

konteks pengelolaan lingkungan tentunya mengembangkan dan memanfaatkan

komunikasi dan informasi tidak hanya dipahami sebagai upaya penyediaan

informasi dan upaya memberikan informasi lingkungan secara linier satu arah,

dari atas ke bawah (top down) atau sebaliknya (bottom up), tapi bagaimana

pertukaran arus informasi terjadi secara interaktif (dialogis).

Joseph L. Blast (2000) dalam artikel 'Environmental Journalism: A Little

Knowledge is Dangerous' mengatakan bahwa pengetahuan tentang lingkungan

serba sedikit yang dimiliki jurnalis justru membahayakan. Hal ini muncul karena

hanya sedikit wartawan yang memiliki latar belakang pengetahuan ilmiah

sehingga mereka rentan terhadap manipulasi para aktifis lingkungan karena di

satu sisi mengabaikan pendapat ilmiah para pakar. Ketidaksiapan sumber daya

manusia dalam sebuah institusi media kemudian menjadi salah satu kendala

terwujudnya jurnalisme lingkungan yang baik. Untuk itu, Para akademisi dan

praktisi media yang tergabung dalam Center of Journalism, memiliki kesadaran


akan perlunya sebuah standar etik khusus bagi jurnalisme lingkungan. Pada tahun

1998, dilakukan ratifikasi code of ethics dalam event 6th World Congress of

Environmental Journalism yang diselenggarakan di Colombo, Sri Lanka. Di

dalam kode etik tersebut terdapat ketentuan-ketentuan pemberitaan lingkungan

hidup yang berpihak pada pembangunan berkelanjutan namun tetap berlandaskan

pada metode jurnalisme baku. Kode etik jurnalisme lingkungan inilah yang

kemudian dijadikan acuan bagi peneliti untuk meneliti analisis isi penerapan

jurnalisme lingkungan dalam pemberitaan kabut asap di Harian Waspada.Surat kabar layaknya
media massa lainnya, memiliki fungsi informasi,

edukasi, hiburan, dan persuasif namun yang paling menonjol dari keempat fungsi

tersebut adalah fungsi informasi. Khalayak pembaca berlangganan atau membeli

surat kabar karena pada umumnya mereka memerlukan informasi mengenai

berbagai hal dan peristiwa yang terjadi, bagaimana gagasan atau pikiran orang

lain, apa yang dilakukan orang lain, apa yang dikatakan orang lain dan lain

sebagainya. Selain itu, rubrik surat kabar yang dikenal beragam membuat surat

kabar dianggap sebagai media yang lengkap untuk menyebarkan isu-isu sosial,

politik, budaya, termasuk isu-isu tentang lingkungan hidup. Media massa

khususnya surat kabar memiliki peran yang cukup signifikan dalam menyebarkan

pentingnya isu-isu lingkungan ke tengah-tengah masyarakat.

Sebagai surat kabar yang telah lama berdiri di Kota Medan yaitu semenjak

tahun 1947 Harian Waspada dianggap tepat untuk dijadikan objek penelitian, hal

ini sebagai asumsi bahwa Harian Waspada telah memberikan kepercayaan atau

kredibilitas yang baik di tengah masyarakat. Harian Waspada merupakan salah


satu surat kabar tertua di Kota Medan. Selama lebih dari 60 tahun berdiri, Harian

Waspada juga merupakan salah satu surat kabar lokal yang konsisten dalam

melakukan pemberitaan mengenai lingkungan hidup. Sepanjang tahun 2015, titik

api mulai ditemukan di Sumatera Selatan dan Riau pada bulan September.

Sementara itu pada bulan November, titik api mulai berkurang seiring dengan

masuknya musim penghujan. Terdapat 161 teks berita tentang kabut asap yang

melanda Pulau Sumatera dan Kalimantan yang dimuat Harian Waspada

(terhitung dari 01 september – 13 November 2015). Pemberitaan tersebut terdiri

dari rubrik Sumatera Utara, rubrik Nanggroe Aceh Darusalam, Opini, Tajuk

Rencana, dan rubrik lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode

analisis isi kuantitatif yang berusaha untuk mengukur aspek-aspek tertentu dari isi

yang dilakukan secara kuantitatif.

Beberapa penelitian pernah dilakukan berkenaan dengan pemanfaatan

media massa, khususnya surat kabar dalam menginformasikan isu lingkungan.

Salah satunya apa yang dilakukan oleh Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan

Indonesia (SKEPHI) dalam studi analisis isinya pada tahun 1995. Hasil studitersebut menjelaskan
bahwa hampir semua surat kabar besar lokal dan nasional

menyediakan ruang untuk berbagai pemberitaan lingkungan. Dua surat kabar yang

menjadi media penyebar utama isu-isu lingkungan adalah Kompas dan Media

Indonesia. Beberapa penelitian mengenai kajian terhadap berita lingkungan dalam

media menemukan bahwa media massa seringkali tak berpihak pada lingkungan

hidup itu sendiri. Media massa memandang persoalan lingkungan hidup masih
terpisah dengan isu lain seperti sosial, ekonomi, politik. Artikel berita yang

disajikan secara teknis harus cermat, bertanggung jawab, objektif dan berimbang.

Penelitian lainnya adalah studi analisis yang dilakukan oleh Eko

Kurniawan (2006). Dalam studinya tersebut, Eko melakukan studi analisis isi

mengenai pemberitaan lingkungan yang dilakukan surat kabar lokal di Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung kemudian implikasinya terhadap kebijakan

pengelolaan lingkungan khususnya di Kabupaten Bangka. Sampai saat ini belum

ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana penerapan jurnalisme

ligkungan hidup pada surat kabar lokal di Kota Medan.

Uraian-uraian di atas menarik minat dan menjadi motivasi tersendiri bagi

peneliti untuk mengkaji bagaimana Harian Waspada menerapkan ketentuan- ketentuan jurnalisme
lingkungan dalam pemberitaan kabut asap 2015.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah penerapan jurnalisme lingkungan di Harian Waspada

dalam pemberitaan kabut asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan?

2. Bagaimanakah posisi penempatan pemberitaan kabut asap pada Harian

Waspada serta jenis-jenis berita yang paling banyak muncul ?

3. Bagaimanakah frekuensi penggunaan narasumber dalam pemberitaan

kabut asap pada Harian Waspada ?1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui penerapan jurnalisme lingkungan di Harian Waspada dalam


pemberitaan kabut asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan

2. Mengetahui posisi penempatan pemberitaan kabut asap pada Harian

Waspada serta jenis-jenis berita yang paling banyak muncul.

3. Mengetahui frekuensi penggunaan narasumber dalam pemberitaan kabut

asap pada Harian Waspada

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi besar dalam

menambah ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai

jurnalisme lingkungan.

2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

ilmu pengetahuan dalam dunia komunikasi khususnya, serta memberi

manfaat dan menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya di

departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bersama khususnya bagi peneliti untuk dapat memahami lebih jauh

tentang peran media massa dalam pemberitaan jurnalisme lingkungan

khususnya pada isu kabut asap sekaligus memberikan kontribusi positif

bagi para praktisi media massa.

Anda mungkin juga menyukai