Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana di dalamnya terjadi interaksi antara
satu individu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi
layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok staf dengan staf, staf
dengan pasien, staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan dokter, maupun dengan
lainnya yang mana situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan. Bahkan sepanjang
kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik. Demikian halnya
dengan kehidupan organisasi. Anggota organisasi senantiasa dihadapkan pada konflik.
Perubahan atau inovasi baru sangat rentan menimbulkan konflik (destruktif), apalagi jika
tidak disertai pemahaman yang memadai terhadap ide-ide yang berkembang.
Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan,
disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban
kerja. Hal ini berhubungan dengan kurangnya harga diri dan tidak di anggap berharga.
Perasaan-perasaan individu menimbulkan suatu titik kemarahan. Sehingga menimbulkan
perpecahan antar kelompok. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu
timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam
melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja
organisasi secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja
maupun tidak disengaja. Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat
disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru,
persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam kepribadian
individu.
Pada kondisi dimana membutuhkan adanya hubungan satu individu yang lainnya pasti
ada komunikasi dan interaksi, maka dengan adanya hal tersebut tidak menutup akan adanya
konflik antar individu atau kelompok. Serta akan timbul perbedaan-perbedaan pendapat
antara mereka. Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka approach yang baik
untuk diterapkan adalah pendekatan mencoba memanfaatkan konflik demikian rupa, hingga
konfli tetap serta efektif untuk sasaran-sasaran yang diinginkan. Pendekatan konflik sebagai
bagian normal dari perilaku dapat di manfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan
mencapai perubahan-perubahan yang dikehendaki.
Melihat fenomena di atas maka penting menurut kami untuk menyusun makalah yang
berisi tentang konflik serta manajemen konflik. Manajemen konflik yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan individu atau kelompok yang sedang berkonflik.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Apakah definisi konflik
2. Apakah penyebab terjadinya konflik
3. Bagaimana tingkatan konflik
4. Bagaimana konflik sebagai suatu proses
5. Bagaimana efek konflik organisasi
6. Apakah definisi manajemen konflik
7. Bagaimana strategi manajemen konflik
8. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen konflik
9. Bagaimana langkah-langkah penyelesaian konflik
10. Apa metode untuk mengelola konflik agar manajemen organisasi berlangsung
dinamis
11. Bagaimana mengelola konflik di keperawatan
C. Tujuan
1. Mengetahui apakah definisi konflik
2. Mengetahui apakah penyebab terjadinya konflik
3. Mengetahui bagaimana tingkatan konflik
4. Mengetahui bagaimana konflik sebagai suatu proses
5. Mengetahui bagaimana efek konflik organisasi
6. Mengetahui apakah definisi manajemen konflik
7. Mengetahui bagaimana strategi manajemen konflik
8. Mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen konflik
9. Mengetahui bagaimana langkah-langkah penyelesaian konflik
10. Mengetahui apa metode untuk mengelola konflik agar manajemen organisasi
berlangsung dinamis
11. Mengetahui bagaimana mengelola konflik di keperawatan
D. Manfaat
Dapat digunakan sebagai pedoman dan panduan mahasiswa dalam memahami arti
penting dari Manajemen konflik.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Konflik
Menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1995) konflik adalah situasi dimana tindakan
salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain.
Menurut Vasta (dalam Indati, 1996) konflik akan terjadi bila seseorang melakukan sesuatu
tetapi orang lain menolak, menyangkal, merasa keberatan atau tidak setuju dengan apa yang
dilakukan seseorang. Secara umum pengertian konflik yaitu suatu kondisi terjadinya
ketidaksesuaian antara nilai - nilai atau tujuan yang diinginkan dicapai baik di dalam diri
sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain.
Subtantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok,
pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi, distribusi kebijaksanaan dan prosedur,
dan pembagian jabatan pekerjaan. Konflik ini biasa terjadi dalam sebuah organisasi.
Sedangkan Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak
simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antar pribadi (personality clashes).
Konflik inilah yang sering terjadi pada remaja dengan teman sebaya.
Konflik adalah perselisihan internal atau eksternal akibat dari adanya perbedaan
gagasan, nilai atau perasaan antara dua orang atau lebih. Menurut littlefield 1995 dalam
nursalam bahwa konflik dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian atau proses. Sebagai
suatu kejadian, konflik terjadi akibat ketidaksetujuan antara dua orang atau organisasi yang
merasa kepentingannya terancam. Sebagai manajer keperawatan, konflik sering terjadi pada
setiap tatanan asuhan keperawatan. Oleh karena itu, manajer harus mempunyai dua asumsi
dasar tentang konflik, asumsi pertama konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari
dalam suatu organisasi, asumsi yang kedua jika konflik dapat dikelola dengan baik maka
dapat menghasilkan suatu penyelesaian yang kreatif dan berkualitas, sehingga berdampak
pada peningkatan produksi.
Jika dilihat dari berfungsi atau tidaknya konflik, maka konflik itu dapat dibagi menjadi
2 yaitu:
1. Konflik Fungsional, yaitu konflik yang memang bertujuan dan mempunyai dampak
atau kegunaan yang positif bagi pengembangan dan kewajaran organisasi. Persoalan
yang menyebutkan terjadinya konflik hanya semata - mata pada persoalan bagaimana
organisasi dapat mencapai suatu taraf kemajuan tertentu yang diinginkan bersama
oleh seluruh para anggota organisasi, bukanlah segolongan atau kelompok tertentu.
Jadi hanya berhubungan dengan prospek kemajuan organisasi secara keseluruhan di
masa datang.
2. Konflik non fungsional, yaitu konflik yang sama sekali tidak berkaitan dengan
prospek kemajuan organisasi. Konflik yang terjadi hanya benar - benar berkaitan
dengan misalnya "human interest", sentimen pribadi para anggota organisai.
Demikian pula atas intrik – intrik pribadi, golongan yang human interestnya sama,
Permasalahan kurang adanya relevansi dengan prospek organisasi.
F. Manajemen Konflik
Pendapat Deutch yang dikutip oleh Pernt dan Ladd (dalam Indati, 1996) menyatakan
bahwa proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik disebut
dengan pengelolaan konflik atau bisa disebut dengan manajemen konflik.
Pendapat Deutch yang dikutip oleh Bernt dan Ladd (dalam Indati, 1996) dan Gottman
dan Korkoff (dalam Mardianto, 2000) menyatakan beberapa pengelolaan konflik atau bisa
disebut manajemen konflik, yaitu :
1. Destruktif
Adalah bentuk penanganan konflik dengan menggunakan acaman, paksaan,
atau kekerasan. Adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau bisa
dikatakan individu cenderung menyalahkan. Manajemen konflik destruktif yang
meliputi conflict engagement (menyerang dan lepas control), withdrawal (menarik
diri) dari situasi tertentu yang kadang-kadang sangat menakutkan hingga menjauhkan
diri ketika menghadapi konflik dengan cara menggunakan mekanisme pertahan diri,
dan compliance (menyerah dan tidak membela diri).
2. Konstruktif
Manajemen konflik disebut konstruktif bila dalam upaya menyelesaikan
konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik masih
terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis. Manajemen konflik konstruktif yaitu
positive problem solving yang terdiri dari kompromi dan negosiasi. Kompromi
adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat mengurangi
tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap
dasar untuk melaksanakan kompromi adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk
merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan sebaliknya sedangkan
negosiasi yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan
diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana tindakan yang akan
dilakukan di masa mendatang. Menurut Prijaksono dan Sembel (2000), negosiasi
memiliki sejumlah karakteristik utama, yaitu :
a. Senantiasa melibatkan orang, baik sebagai individual, perwakilan organisasi atau
perusahaan, sendiri atau dalam kelompok.
b. Memiliki ancaman di dalamnya mengandung konflik yang terjadi mulai dari awal
sampai terjadi kesepakatan dalam akhir negosiasi.
c. Menggunakan cara-cara pertukaran sesuatu, baik berupa tawar menawar (bargain)
maupun tukar menukar (barter).
d. Hampir selalu berbentuk tatap-muka yang menggunakan bahasa lisan, gerak tubuh
maupun ekspresi wajah.
e. Negosiasi biasanya menyangkut hal-hal di masa depan atau sesuatu yang belum
terjadi dan kita inginkan terjadi.
f. Ujung dari negosiasi adalah adanya kesepakatan yang diambil oleh kedua belah
pihak, meskipun kesepakatan itu misalnya kedua belah pihak sepakat untuk tidak
sepakat.
Walaupun konflik adalah kekuatan yang dapat meluas dalam organisasi, pelayanan
kesehatan, hanya sedikit presentasi waktu yang dihabiskan dalam melakukan kolaborasi
yang sebenarnya.
Lain halnya dengan Rubin (dalam Farida, 1996) yang menyatakan bahwa manajemen
konflik yang biasa digunakan seseorang adalah domination (dominasi), capitulation
(menyerah), inaction (tidak bertindak), withdrawl (menarik diri), negotiation (negosiasi),
dan third party intervention (intervensi pihak ketiga). Ketika individu yang terlibat konflik
berusaha memaksa secara fisik pihak lain untuk menerima kemauannya disebut cara
dominasi. Capitulation terjadi bila salah satu pihak menyerahkan kemenangan pada pihak
lain yang terlibat konflik, sedangkan bila salah satu pihak yang berkonflik tidak melakukan
usaha untuk menyelesaikan konflik tersebut inaction. Withdrawl adalah cara yang digunakan
individu dengan menghindar agar tidak terlibat dalam konflik yang terjadi. Negotiation
ditandai dengan adanya pertukaran pendapat antara kedua belah pihak untuk mencapai
tindakan yang disetujui bersama dan intervensi pihak ketiga terjadi bila individu atau
kelompok di luar pihak yang bertikai berupaya menggerakkan pihak-pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan konflik. Pada saat ini pihak ketiga hanya berperan sebagai moderator.
Prijosaksono dan Sembel (2003) mengemukakan berbagai alternatif penyelesaian
konflik dipandang dari sudut menang-kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran
manajemen konflik yaitu :
1. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi)
Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau
bekerja sama. Tujuan adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian
melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang
bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat
mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim
satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak
untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang
kokoh. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak
memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha
dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.
2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)
Kuadran kedua ini memastikan bahwa ada pihak yang memenangkan konflik
dan pihak lain kalah. Biasanya menggunakan kekuasaan atau pengaruh untuk
mencapai kemenangan. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri
dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau
kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak
mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah,
sehingga hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian
yang cepat dan tegas.
3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)
Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kalah-menang ini
berarti ada pihak berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan
pihak lain. Gaya digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih
besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat
dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah
dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk
memungkinkan penyelesaian terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak.
4. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik)
Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari
konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Bisa berarti bahwa kedua belah pihak
tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk
mengatasi konflik tersebut. Cara ini sebenarnya hanya bisa dilakukan untuk potensi
konflik yang ringan dan tidak terlalu penting.
2) Identifikasi
Mengelola perasaan dengan cara menghindari respon emosional yang meliputi :
marah, sebab setiap orang mempunyai respon yang berbeda terhadap kata-kata,
ekspresi dan tindakan.
3) Intervensi
a) Masuk pada konflik yang diyakini dapat diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya identifikasi hasil yang posiitif yang akan terjadi.
b) Menyeleksi metode dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik
memerlukan strategi yang berbeda-beda. Seleksi metode yang paling sesuai
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
BAB III
STUDY KASUS
A. Contoh Kasus
Perawat R (Wanita) 28 tahun (S2 Keperawatam, pengalaman bekerja 18 tahun
adalah manajer keperawatan di unit perawatan Neuroscience di sebuah rumah sakit
di Chicago. Beliau memiliki keinginan untuk melakukan renobasi pada unit
perawatan yang dipimpinnya dan perawat R pun menemui direktur keperawatan di
RS tersebut. Ketika bertemu dan menyampaikan keinginannya, ternyata menurut
direktur keperawatan, RS hanya memiliki biaya untuk merenovasi 1 unit saja untuk
tahun ini, dan direktur mengatakan sudah ada perawat J (laki-laki) 56 tahun (S1
keperawatan pengalaman kerja 30 tahun) yang merupakan menejer untuk renovasi.
Direktur menyarankan mereka untuk bertemu satu sama lain untuk membahas
masalah yang terjadi agar mendapatkan keputusan yang tepat. Perawat R dan
Perawat J sebelumnya juga pernah berkonflik tentang penyusunan standar tindakan
keperawatan sehingga mereka jarang menjalin kominukasi secara langsung. Perawat
R pun merasa terpaksa harus menemui perawat J, dan dalam pertemuan tersebut
terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, dimana kedua belah pihak bertanggapan
bahwa renovasi di unit keperawatan mereka lebih penting dari renovasi di unit
perawatan lainnya. Perawat J juga menganggap perawat R tidak berkewenangan
untuk melakukan negosiasi dengannya, yang memiliki kewenangan tersebut adalah
direktur keperawatan. Konflik ini berdampak pula pada kinerja star perawat yang
bekerja di unit masing-masing terutama dalam hal kolaborasi. Direktur keperawatan
merasa bertanggung jawab terhadap kondisi ini dan juga ingin segera
menyelesaikannya.
B. Analisa Kasus
1. Analisa Gaya Kepemimpinan
Konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua orang atau lebih dalam
suatu organisasi dimana seseorang tersebut merasa ada yang akan mengancam
kepentingannya. Sumber-sumber konflik di organisasi dapat ditemukan pada
kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan organisasi, ketersediaan sarana,
perilaku kompetisi dan personaliti serta peran yang membingungkan.
Seorang pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain sebagai modal utama
pemimpin dalam menyelesaikan konflik, untuk memperoleh kesan, rasa hormat,
kepatuhan, loyalitas, dan kerjasama serta menimbulkan harapan. Dengan
kemampuan ini pula seorang pemimpin dapat mengubah kepercayaan, nilai-nilai,
pendapat, sikap, dan prilaku orang lain. Tanpa kemampuan ini seorang pemimpin
tidak dapat menyelesaikan konflik dengan efektif (Harsono, 2010). Pemimpin juga
harus mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam
memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat. Hal ini sesuai dengan model
“CAPI” (Coaleshing Authority, Power, and Influence) yang dicetuskan oleh
Shetach (2012).
Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah direktur
keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami sumber- sumber
konflik dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa dijadikan sebagai ekplorasi
ide-ide yang kreatif, sehingga bisa meningkatkan kualitas dalam pemberian asuhan
keperawatan kepada klien.
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah participative
theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa yang orang lain
miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini memberikan
kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama menyelesaikan konflik.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai dipakai oleh direktur keperawatan
untuk menyelesaikan kasus di atas adalah democratic style dimana pemimpin
mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses pengambilan
keputusan. Direktur keperawatan tetap membuat keputusan akhir tetapi kedua
manajer keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Direktur keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin
dalam menyelesaikan konflik pada kasus di atas, yaitu:
a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur
keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,
dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai manajer
keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai manajer ruangan
orthopedic untuk duduk bersama dalam menyelesaikan konflik. Selain itu
direktur keperawatan harus menjadi fasilitator antara kedua manager
keperawatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
b. Peran pembuat keputusan
Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat
keputusan, dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan mana yang
akan di renovasi terlebih dahulu agar tidak salah dalam mendistribusikan
sumber dana yang ada. Direktur keperawatan harus mampu melakukan
negosiasi kepada perawat R dan perawat J selaku manager keperawatan
terkait sumber dana yang ada, sehingga dihasilkan keputusan yang win-win
solution antara kedua belah pihak.
b. Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus di atas
adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu melibatkan pihak
ketiga yang dalam hal ini adalah direktur keperawatan. Fasilitasi dilakukan
dengan cara mempertemukan kedua pihak yang berkonflik untuk
membangun komunikasi dua arah, misalnya dalam suatu rapat. Mediasi
dimana pihak ketiga membantu menjalin hubungan yang baik antara kedua
belah pihak yang berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya
dari mediasi, dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut
pandang kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan yang
adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi yang baik
sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih. Dalam hal ini
kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan menggunakan prinsip
kompromi adalah :
- Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya
operasional dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience, kemudian
50% untuk unit bedah ortopedi, kemudian di tahun selanjutnya
renovasi dilanjutkan kembali.
- Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan
biaya 75%, sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan
sekunder untuk unitnya dengan biaya 25%, di tahun berikutnya
dilakukan barter, unit neuroscience mendapatkan 75% untuk
renovasi fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25% untuk
melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin
melakukan evaluasi:
1) Evaluasi Proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri
dari:
- Bagaimana proses berjalan?
2) Evaluasi Hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang telah
direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah
hasil manajemen konflik mengarah pada proses yang konstruktif atau
destruktif. Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari
adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan
secara bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah
yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi
yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005).
Sedangkan konflik bersifat destruktif bila berfokus hanya pada satu
individu saja, menggunakan emosi yang bersifat negatif, dan
menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi (Runde and Flanagan,
2007).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai ini manajer perawat harus menguasai bagaimana mengelola konflik.
Konnflik dapat dicegah atau diatasi dengan disiplin, mempertimbangkan tahap
kehidupan, komunikasi termasuk mendengarkan secara aktif, penggunaan lingkaran
kualitas, dan ketetapan tentang latihan asertif bagi manajer perawat. Manajemen konflik
mempunyai tujuan meningkatkan alternatif pemecahan, dan mencapai kesepakatan
dalam keputusan yang dapat dilaksanakan serta keikhlasan terhadap keputusan yang
dibuat. Strategi khusus termasuk menghindar, akomodasi, kompetisi, kompromi, dan
kerja sama. Selain itu manajer perawat dapat mempelajari dan menggunakan
keterampilan khusus untuk mencegah dan mengelola konflik. Menjaga manajeman
konflik maka dapat di gunakan untuk menjaga dari meluasnya konflik dan membuat
membuat kerja lebih produktif, dan dapat membuat konflik sebagai suatu kekuatan yang
positif dan membangun.
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai- nilai,
keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang pemimpin memiliki peran
yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif dalam pengembangan,
peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya kepemimpinan seseorang sangat
mempengaruhi pemilihan strategi penanganan konflik (integrating, obliging,
dominating, avoiding, dan compromising). Salah satu model penyelesaian konflik yang
digunakan adalah Model Rahim (2002), yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi,
dan evaluasi. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi,
antara lain identifikasi batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia,
dan identifikasi strategi yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah intervensi.
Terdapat bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan gaya
kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin dan mampu
memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan proses belajar dan
pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang
akan datang. intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti
dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan
lain sebagainya. Proses terakhir adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan balik
terhadap proses diagnosis dan intervensi yang telah dilakukan.
B. Saran
Setiap orang atau amanjer keperawatan harus menggunakan manajeman konflik
untuk menyelesaikan konflik permasalahannya agar semakin meluas. Perlu adanya
kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjut bagi profesi keperawatan,
khususnya sebagai perawat pengelila (manajer) untuk dapat menerapkan gaya
kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi penyelesaian konflik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Thontowi, Ahmad. Manajemen Konflik [internet], [cited 2014 Sept 24]. Available
from http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/manajemenkonflik.pdf.
2. Sujito. Manajemen Konflik dalam organisasi [internet]. 2012. [cited 2014 Sept 24].
Available from http://journal.usm.ac.id/elibs/USM_838c2jito%20mnj%20konflik.pdf
3. Dalimunthe, F Ritha. Peranan Manajemen Konflik pada Suatu Organisasi.USU
Digital Library [internet]. 2003. [ 2014 Sept 24]. Available from
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jkh/article/view/177/131
4. Basri, Seta. Manajemen Konflik dalam Organisasi [internet]. 2011. [cited 2014 Sept
24]. Available from http://setabasri01.blogspot.com/2011/01/konflik-dalam-
organisasi.html
5. Marquis & Hutson, Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, (Jakarta, EGC),
2010, Hlm 455
6. Nursalam, Manajemen Keperawatan, (Jakarta, Salemba Medika), 2011, Hlm 117
7. Ann Marriner –Tomey ( 1996 ) . Guide To Nursing Management and Leadership.
Mosby – Year Book, Inc St Louis USA.
8. Swansburg, R.C. ( 1996 ) Management and Leadership for Nurse Managers ( 2 th
ed ) Jones and Bartlett Publishers Inc, London England.
9. Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual
model of leader intervention in conflict events in culturally heterogenous
workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal, 13(4), 345-
360.
10. Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to
conflict in culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An
International Journal, 14 (2), 105-124.
11. Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and
conflict management styles. The International Journal of Conflict Management.
13(1), 78-94.
12. Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility “implications for
today’s perspectives on transformational and authentic leadership”. Management Decision
Journal, 43(10), 1396.
13. CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved
from: http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
14. Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara,
Sosial Humaniora. 14(1), 56-64.
15. Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship between
organizational communication climate and interpersonal conflict management style.
Pakistan Journal of Physicology, 42(2), 23-41.
16. Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of strategy in
conflict management among Israeli nurse managers in general hospitals. Journal of
Nursing Management, 13, 137-146.
17. Hoffmann, M.H.G. (2005). Logical argument mapping: a method for overcoming
cognitive problems of conflict management. The International Journal of Conflict
Management, 16(4), 304-334.
18. Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4. Maryland
Heights: Saunders/Elsevier.