Anda di halaman 1dari 20

GERAKAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA DARI

AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI ERA REFORMASI


(SUATU KAJIAN HISTORIS)
Oleh : Cholil 1

Abstraks
Maraknya gerakan penerapan syariat Islam di Indonesia akhir-akhir
ini, menimbulkan sikap pro dan kontra baik di masyarakat maupun di
kalangan legislatif. Adanya kekhawatiran akan akibat dari penerapan syariat
Islam yang bisa menimbulkan disintregasi bangsa adalah salah satu alasan
yang kontra, tapi bagi yang pro syariat Islam, beralasan bahwa suatu
kewajaran jika Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam untuk
melaksanakan dan menerapkan syariat Islam.
Dinamika yang berkembang dalam upaya penerapan syariat Islam
pada masa awal kemerdekaan adalah dengan mendirikan partai Islam,
mempertahankan keberadaan Piagam Jakarta, dan mengusahakan Islam
sebagai asas negara. Pada Orde Lama dinamika yang berkembang adalah
dalam upaya penerapan syariat Islam dengan cara oposisi (termasuk
pemberontakan) dan akomodatif (masuk dalam pemerintahan), dan juga
melalui jalur pencerahan keilmuan. Dalam era Orde Baru dinamika yang
berkembang adalah lewat peningkatan pemahaman umat atas Islam (kultural)
dan lewat aturan formal (birokrasi) yang ditetapkan pemerintah. Era
Reformasi dinamika yang berkembang sebagai upaya penerapan syariat Islam
adalah mengangkat kembali isu Piagam Jakarta munculnya berbagai Perda
syariat di berbagai daerah di Indonesia.
Corak penerapan syariat Islam di awal kemerdekaan lebih bercorak
politis, pada Orde Lama corak akomodatif lebih menonjol, pada era Orde
Baru lebih mengarah lewat legitimasi pemerintah (lewat beberapa aturan yang
ditetapkan pemerintah), dan pada era reformasi lebih menonjol dari bawah,
yaitu lewat perda syariat.

Kata Kunci : Kajian historis, syariat Islam.

Pendahuluan

Polemik tentang penerapan syariat Islam di Indonesia, akhir-akhir


ini kembali menghangat, hal itu dipicu dengan munculnya Peraturan Daerah
(PERDA) syariat Islam di berbagai Kabupaten di Indonesia. Kemudian

1
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

1
polemik itu berkembang di gedung DPR RI, diawali dengan memorandum
56 anggota DPR agar PERDA yang bernuansa syariat Islam dibatalkan,
kemudian disambut dengan permintaan 134 anggota DPR dari delapan
fraksi yang mendesak pimpinan DPR mencabut memorandum ke 56
anggota DPR itu. Alasan kelompok yang menolak PERDA syariat karena
bertentangan dengan UU 10/2004. Tapi bagi kelompok yang setuju akan
adanya PERDA syariat, karena ternyata PERDA syariat mampu
menanggulangi penyakit masyarakat yang sejauh ini masih merajalela,
seperti, judi, minuman keras, dan pelacuran. 2 Menurut catatan Nusron
Anggota DPR dari Partai Golkar, ada sekitar 22 Kota, Kabupaten di
Indonesia yang telah memberlakukan PERDA yang bernuansa syariat Islam,
antara lain; Aceh, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Pamekasan, Kepulauan
Riau, Indramayu, Tasikmalaya, Sumatera Selatan, Cianjur, Maros, Binjai,
Bulukamba, Pangkep dan Enkerang. 3
Di kalangan umat Islam sendiri, yang diungkapkan para tokohnya,
terjadi perbedaan dalam menyikapi PERDA syariat ini. Tifatul Sembiring
(Presiden PKS) dan Muhammad Ismail Yusanto (Jubir HTI), mendukung
adanya PERDA syariat, tapi KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU),
tidak mau terjebak perlu tidaknya PERDA syariat, menurutnya yang
terpenting adalah Islam dijalankan agar melahirkan persaudaraan, keadilan,
dan kemakmuran, bukan aspek simboliknya. 4 Menurut KH Ma’ruf Amin
(Ketua MUI Pusat), munculnya wacana PERDA syariat Islam hanya sebuah
upaya provokatif saja, menurutnya, PERDA syariat tidak ada, yang ada
hanya PERDA yang nuansanya sesuai dengan syariat Islam. 5 Zuly Qodir
melihat sampai sekarang belum ada kata sepakat tentang syariat Islam

2
“Minta Perda Syariat Tak Dibatalkan”, Surya, 28- Juni-2006,2. Baca juga, “ Perda SI Antara
Ada dan Tiada”, Surya, 16-Agustus, 2006,31.
3
Surya, 16-Agustus-2006,31.
4
”Gelora Syariah mengepung Kota”, Gatra, 6-Mei-2006, 21-28.
5
Surya, 16-Agustus-2006, 31.

2
seperti apa yang akan dijadikan sebagai dasar negara di Indonesia, apakah
interpretasi dari kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, atau lainnya seperti
KISDI, HTI, dan Majelis Mujahidin. Dari sini sudah menunjukkan
permasalahan yang mendasar. 6
Jika dirunut ke belakang, perdebatan tentang syariat Islam mulai
nampak ketika pemerintah penjajah Jepang membentuk BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 24 April
1945, sebagai perwujudan janji pemerintah Jepang atas kemerdekaaan
Indonesia. Perdebatan berporos pada dua kubu; nasionalis muslim dan
nasionalis sekuler. Ketika kelompok nasionalis sekuler mengusulkan
Pancasila sebagai dasar negara, ditentang oleh kelompok nasionalis muslim,
dengan alasan bahwa Pancasila hanya sekedar hasil pemikiran filosofis
manusia. Golongan nasionalis muslim menginginkan Islam dijadikan
sebagai dasar dan falsafah negara, tapi keinginan ini ditentang oleh
kelompok nasionalis sekuler. Perdebatan yang alot ini kemudian berhasil
mencapai titik temu dan kompromi, yaitu dengan adanya tambahan pada
sila pertama Pancasila, dengan tambahan kata; dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi, sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, kelompok Kristen menemui Muhammad Hatta,
dan menyatakan keberatan atas bunyi sila pertama dalam piagam Jakarta.
Setelah Bung Hatta menemui kelompok nasionalis Muslim, kemudian
dicapai kesepakatan, sehingga bunyi sila pertama Pancasila menjadi;
Ketuhanan Yang Maha Esa. Golongan nasionalis muslim menerima formula
baru itu karena kata; Yang Maha Esa yang dicantumkan setelah kata
Ketuhanan, mencerminkan doktrin kepercayaan tauhid yang berarti sesuai
dengan akidah Islam. 7

6
Zuly Qodir. 2004. Syariah Demokratik.. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.294
7
Faisal Ismail. 2002. Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. 35-41

3
Perdebatan antara kelompok nasionalis muslim dan nasionalis
sekuler, kembali mencuat di era kepemimpinan Presiden Soekarno (Orde
Lama). Pada tahun 1955 perdebatan tentang tentang dasar negara kembali
menjadi polemik di Konstituante, partai-partai Islam mengusulkan Islam
sebagai dasar negara (yang merupakan prasyarat pemberlakuan syariat
Islam), tapi partai-partai nasionalis mempertahankan Pancasila. Polemik itu
diakhiri dengan keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 6 Juli 1959, untuk
kembali ke Pancasila dan UUD 1945. 8 Selain di Konstituante, keinginan
sebagian umat Islam atas Islam sebagai dasar negara, 9 diwujudkan dalam
bentuk pemberontakan-pemberontakan, seperti munculnya DI/TII di Jawa
Barat, yang dipimpin Karto Suwiryo, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh,
dan di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar.
Setelah Bung Karno diberhentikan oleh MPRS, masuklah era Orde
Baru. Di bawah pimpinan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan asas negara, hubungan Islam dan negara, dan juga
hubungan partai-partai politik dengan negara. Ketiga politik Orde Baru itu
dikenal dengan politik; non-sektarian, massa mengambang, dan
keseragaman ‘ideologi’ Pancasila. Menurut Taufiq Nugroho, kebijakan
Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam, dapat dibagi pada dua fase,
Pertama, antara tahun 1966-1985, pada masa ini Orde Baru dalam
hubungannya dengan Islam dipenuhi dengan suasana kecemasan sekaligus
harapan, dan mendukung Islam jalur kultur dan memotong jalur struktur.
Pada periode ini, ada gerakan Islam yang dipelopori oleh Imron, yang
dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok yang menggelorakan jihad, dan
gerakan Warman di Lampung yang menggelorakan gerakan anti komunisme
Kedua, antara tahun 1985-1997, pada periode ini kebijakan Orde Baru lebih

8
Gatra, 6 Mei 2006, 23.
9
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam….,48-49.

4
melunak terhadap Islam dan cenderung mengorganisir dan mengakomodasi
kepentingan Islam. 10 Seperti restu Presiden Soeharto atas berdirinya ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Di era Orde Baru, isu tentang
syariat Islam merupakan sesautu yang tabu, dan kelihatan melemah.
Era Orde Baru berakhir tahun 1998, kemudian masuk pada era
reformasi, berpengaruh juga pada kehidupan keagamaan masyarakat Islam.
Setidaknya ada dua fenomena yang cukup menarik. Pertama, semakin
menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan di luar mainstream
kelompok keagamaan dalam masyarakat Islam Indonesia, NU dan
Muhammadiyah, Kelompok di luar dua organisasi itu kemudian
bermunculan, seperti FPI, Forum Komunikasi Aswaja, Majelis Mujahidin
Indonesia, HTI, dan HAMMAS. Kedua, Selain itu juga bermunculan parpol
keagamaan. Pada masa Orde Baru parpol keagamaan hanya satu yaitu PPP,
tapi di era reformasi ini bermunculan parpol berbasis keagamaan, seperti
PBB, PKB, PAN, dan PKS. Pada tahun 2000, upaya membuat payung
syariat lewat konstitusi mengemuka lagi dalam sidang amandemen UUD
1945, yaitu Fraksi Partai Bulan Bintang dan Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan. Usulan dua fraksi itu terfokus pada amandemen pasal 29
UUD 1945 ayat (1), yang intinya kedua fraksi itu menginginkan ada
tambahan kata, sehingga menjadi,”Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Usulan amandemen itu kemudian gagal, tapi
gerakan syariat Islam lewat perda-perda menguat di daerah-daerah.11
Dengan memahami kronologis historis dinamika dan corak
penerapan syariat Islam di Indonesia, menurut penulis akan membantu
mengurangi kontraversi dan ketakutan yang berlebihan tentang ungkapan

10
Taufiq Nugroho. 2003. Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara
Pancasila.Yogyakarta:Padma.89-97.
11
Gatra, 6 Mei 2006, 23.

5
yang berbunyi “syariat Islam” yang bisa menimbulkan “keresahan sosial”,
dan dalam jangka panjang bisa menimbulkan disharmoni antar umat Islam,
maupun umat Islam dengan umat lain yang ada di Indonesia. Dengan kajian
historis dalam tulisan ini, penulis mencoba menampilkan fakta-fakta historis
tentang gerakan penerapan syariat Islam di Indonesia dengan tujuan
membantu menambah khazanah pengetahuan tentang gerakan penerapan
syariat Islam di Indonesia. Dengan harapan ke depan, adanya titik temu
antara yang setuju penerapan syariat Islam di Indonesia dan yang tidak
setuju.
DINAMIKA DAN CORAK PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI
INDONESIA

A. PARTAI ISLAM, PIAGAM JAKARTA DAN NEGARA ISLAM


CORAK LANGKAH GERAKAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM
DI AWAL KEMERDEKAAN MELALUI POLITIK DAN
KEKUASAAN

Dengan berdirinya Masyumi (majelis Syura Muslimin Indonesia)


pada konggres umat Islam pada tanggal 7-8 nopember 1945, sebagai
wadah satu-satunya umat Islam dalam berpolitik dalam beberapa hal
memberikan harapan atas kepentingan umat Islam, terutama dengan
gagasan mendirikan negara Islam dan penerapan syariat Islam. Tapi dalam
perkembangannya Masyumi mengalami perpecahan, unsur PSSI
meninggalkan Masyumi, kemudian diikuti oleh NU (Nahdlatul Ulama).
Pada era awal kemerdekaan ini corak yang menonjol sebagai upaya
penerapan syariat Islam di Indonesia adalah Jalur Politik dan kekuasaan,
upaya ini dipelopori oleh partai Masyumi sehingga bisa menempatkan
perwakilannya dalam pemerintahan dan parlemen.Terbentuknya

6
Departemen Agama pada Tahun 1946, sebagai ekpresi dukungan unsur
pemerintahan waktu itu atas pentingnya syariat Islam.Perjuangan yang
sangat strategis sebagai upaya penerapan syariat Islam adalah ketika terjadi
perdebatan tentang dasar negara, kelompok Islam menginginkan Islam
sebagai dasar negara, kelompok nasionalis menginginkan Pancasila sebagai
dasar negara. Setelah dilakukan voting kelompok Islam kalah, sehingga
Pancasila tetap menjadi dasar negara.
Jika dirunut ke belakang, yaitu menjelang Indonesia merdeka,
tepatnya ketika dibentuk BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 9 April 1945 perdebatan tentang
dasar negara mulai muncul. Dari kelompok Islam menginginkan Islam
sebagai dasar negara, tapi kelompok nasionalis menolak Islam sebagai dasar
negara. Dilihat dari komposisi anggota BPUPKI, anggota yang mewakili
umat Islam dengan dengan kelompok nasionalis memang tidak imbang.
Dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 saja yang mewakili umat Islam
selebihnya adalah wakil kelompok nasionalis. Perdebatan itu bermuara pada
dua pandangan; pertama, kelompok pendukung dasar Islam ingin
melaksanakan seluruh isi syariat Islam yang ada pada Al-Qur’an, kedua
kelompok nasionalis sekuler nampaknya hanyalah ingin mengurung Islam
dalam sebuah sangkar ”urusan pribadi” seorang muslim. 12
Isu tentang dasar negara ini telah memaksa para pendiri republik
menghadapi masalah pelik, Tetapi akhirnya sebuah kompromi politik dalam
bentuk Piagam Jakarta dapat dicapai. Piagam Jakarta sebenarnya adalah
sebuah preambule bagi konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI, di
dalamnya Pancasila sebagai dasar negara telah disepakati, tapi sila pertama,
yaitu Ketuhanan diikuti oleh klausul... dengan kewajiban menjalankan

12
Ahmad Syafi’i Ma’arif. 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara Study tentang
Perdebatan DalamKonstituante .Jakarta:Pustaka LP3ES Jakarta.108

7
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat yang juga bernilai
strategis ini juga terdapat pada pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Klausul itu sangat penting karena tugas pelaksanaan syariat Islam terbuka
secara konstutusional pada waktu mendatang. Tapi setelah melewati saat-
saat yang sangat kritis, antara lain ancaman disintregasi, pada tanggal 18
Agustus 1945, wakil-wakil umat Islam akhirnya menyetujui penghapusan
anak kalimat itu di dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebagian pihak ini
dianggap sebagai kekalahan politik bagi umat Islam. 13
Kegagalan umat Islam untuk mempertahankan Piagam Jakarta,
ternyata tidak menyurutkan semangat untuk memperjuangkan negara Islam
dengan dasar syariat Islam lewat jalur Konstituante. Kemudian, terjadi
kembali perdebatan di Konstituante tentang dasar negara, kelompok Islam
tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara, dan kelompok nasionalis
tetap bertahan pada pendiriannya, Pancasila sebagai dasar negara.
Perdebatan itu kemudian diakhiri dengan voting, dengan kemenangan
kelompok nasionalis.
Mengenai mengapa Indonesia harus berdasar negara Islam, menurut
Natsir, Islam sebagai anutan mayoritas rakyat Indonesiacukup punya akar
dalam masyarakat selain itu ajaran Islam punya sifat-sifat yang sempurna
bagi kehidupan masyarakat dan negara dan dapat menjaga keragaman hidup
antara berbagai golongan dalam suatu negara dengan penuh toleransi.
Negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah
demi keselamatan dan kesentosaan umat. Tapi yang dimaksudkan hukum
Allah dari ungkapan Natsir itu masih belum jelas, apakah hukum-hukum
syariah yang terdapat dalam yurisprudensi Islam, atau hanyalah perintah-
perintah moral yang sifatnya masih umum dalam Al-Qur’an dan Sunnah

13
Muhammad Yamin.tt.Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.Jakarta;
Prapanca.146

8
mengenai tingkah laku manusia sebagai individu atau sebagai anggota
masyarakat. Natsir nampaknya cenderung pada pengertian yang
kedua,sebab dia jarang berbicara tentang syariah sebagaimana umum
dipahami oleh umat Islam. 14
Pada masa awal kemerdekaan ini tercatat beberapa pemberontakan
yang mengatasnamakan Islam, di Jawa Barat, Sulawesi selatan, dan
Kalimantaan Selatan. Hal yang melatar belaknagi KartoSuwiryo (Jawa
Barat) memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 agustus 1949
karena para pemimpin Republik telah tertangkap oleh agresi militer Belanda
II, dan Kartosuwiryo meyakini bahwa RI telah hapus. Di Sulawesi Selatan
gerakan Darul Islam yang dipimpin Abdul Kahar Muzakkar berawal dari
kekecewaan yang mendalam dari para bekas gerilyawan Kebaktian Rakyat
Indonesia Sulawesi (KRIS) yang tergusur akibat demobilisasi sedudah
tahun 1950. Gerakan Darul Islam di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh
Ibnu hajar dengan alasan yang hampir sama dengan yang ada di Kalimantan
Selatan.Pemberontakan Daud Breeueh di Aceh. Tapi keempat
pemberontakan itu akhirnya bisa diatasi, baik lewat perundingan maupun
lewat kekerasan. Motivasi keempat pemberontakan itu, lebih cenderung
kepada motivasi pribadi atau kelompok dalam rangka untuk
mempertahankan dirinya dengan menggunakan simbol Islam, sehingga
pemberontakan itu kurang mendapat simpati dari umat Islam Indonesia.
Tapi hal itu bisa dicatat sebagai dinamika yang berkembang pada masa itu
dalam upaya menegakkan syariat Islam di Indonesia. 15
Dinamika yang menarik pada masa awal kemerdekaan ini adalah
pandangan cendekiawan muslim tentang substansi syariat Islam itu sendiri,
Hazairin dan Hasbi Ash Shiddiqie. Dalam hal fiqih kedua cendekiawan itu

14
Baca Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Pancasila, ....., 130-131.
15
Baca, Taufik Abdullah. 2003. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta. Intermasa.268-269

9
berpendapat bahwa selain berpusat pada empat mazhab dalam fiqih, perlu
adanya fiqih mazhab Indonesia. Pemikiran ini pada perkembangan
selanjutnya terakomodasi pada pemikiran Munawir Syadzali, Nurcholis
Majid, KH Abdurrahman Wahid, dan para cendekiawan muslim yang lain
berpikiran pluralis dan multikulturalis.
B. OPOSISI DAN AKOMODATIF, SERTA PENCERAHAN ILMIAH
SEBAGAI CORAK UPAYA PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI
ERA ORDE LAMA.

Setelah kabinet sering jatuh bangun di awal pemerintahan, sehingga


kegiatan untuk memakmurkan rakyat menjadi terbengkalai, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959, pokok dari Dekrit
Presiden ialah; pembubaran Konstituante, kembali ke UUD 1945, dan
pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Pada era Orde
Lama ini upaya penerapan syariat Islam lebih mengarah pada corak oposisi,
akomodatif dan pencerahan keilmuan.
Setelah perjuangan umat Islam gagal untuk mewujudkan dasar
negara lewat lewat voting di konstituante, dan kemudian konsitituante
dibubarkan. Umat Islam pada masa ini mendapat pukulan telak yang kedua
dengan opisinya Masyumi yang kemudian Masyumi diperintahkan oleh
Presiden Suekarno untuk membubarkan diri. Dan kemudian sebagian umat
Islam yang lain melakukan politik akomodatif, mengikuti gaya Soekarno,
seperti NU, PSII dan Perti.
Sikap oposisi Masyumi ini diawali dengan perbedaan persepsi atas
konsideran terakhir dari Dekrit Presiden yang menyatakan,” bahwa kami
berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut”. Pencantuman Piagam Jakarta itu menunjukkaan kompromi antara

10
golongan nasionalis dan Islam, tetapi yang jadi masalah berikutnya terjadi
perbedaan penafsiran antara dua kelompok itu. Golongan nsionalis
mengartikan bahwa Piagam Jakarta tidak lebih dari dokumen historis yang
mempunyai pengaruh pada UUD 1945, dan ia tidak mempunyai kekuatan
hukum atas dekrit itu sendiri. Sedangkan golongan Islam mempunyai
keyakinan Piagam Jakarta mempunyai kekuatan hukum pada waktu
sekarang, dengan demikian konstitusi Indonesia mengharuskan kewajiban
umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam. Karena Dekrit juga
mencantumkan Piagam Jakarta, maka berarti perlu adanya undang-undang
khusus Islam untuk masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Sikap oposisi Masyumi ini diperkuat dengan membentuk ”Liga
Demokrasi”, tapi kemudian pemerintah membubarkannya. Kedudukan
Masyumi kemudian menjadi semakin sulit, karena beberapa pimpinannya
terlibat pemberontakan PRRI, yaitu Natsir, Burhanudin, dan Syafrudin.
Klimaknya keluarlah Perpres No. 200 tahun 1960 yang isinya mendesak
pimpinan Masyumi dalam waktu 30 hari untuk membubarkan diri.
Kemudian pada tanggal 13 September 1960, pimpinan Pusat Masyumi
menyatakan pembubaran dirinya.
Untuk menjaga agar kepentingan umat Islam tidak semakin
terabaikan, sebagian kelompok Islam memilih politik akomodatif, itu
dilakukan oleh NU,PSII, dan Perti. Salah satu kepentingan Islam yang
berhasil diperjuangan lewat MPRS adalah adanya Keputusan MPRS di
tahun 1960, yang memberlakukan pengajaran agama wajib diajarkan di
perguruan tinggi dan universitas. Selain itu setidaknya para wakil umat
Islam yang duduk di pemerintahan bisa mengurangi pengaruh PKI yang
secara jelas dan nyata akan melenyapkan syariat Islam di Indonesia, diganti
dengan komunis.Pada masa demokrasi terpimpin inilah NU, sebagai
perwakilan umat Islam terbesar, setelah Masyumi dbekukan yang

11
membentengi umat Islam dari pengaruh dan manuver komunis, lewat
partainya, PKI.
Walaupun penerapan syariat Islam mengalami masa suram di era
orde lama, tapi tidak untuk Aceh, karena pada tanggal 7 April 1962,
Panglima Daerah Militer Aceh menyetujui hasrat para pemimpin umat
Islam Aceh untuk dipatuhinya beberapa unsur hukum Islam di Aceh,
demikian juga pada era ini, muncul semangat menulis dari para ulama
(ilmuwan) Islam sehingga mampu meningkatkan gairah keilmuan di
kalangan umat Islam.
C. DICURIGAI DAN DIAKOMODIR SEBAGAI CORAK GERAKAN
PENERAPAN SYARIAT ISLAM ERA ORDE BARU

Kebijakan Orde Baru dalam memegang kekuasaan berpegang pada


prinsip non-sektarian, politik masa mengambang, dan penyeragaman
ideologi Pancasila bagi semua organisasi sosial politik dan sosial
kemasyarakatan. Seluruh kebijakan Orde Baru ditujukan untuk semuanya,
berarti tidak memihak pada salah satu golongan.Pengertian golongan disini
bukan hanya agama, tapi juga etnis dan kelompok profesional serta lapisan-
lapisan sosial tertentu. Gerakan penerapan syariat pada masa Orde Baru
lebih banyak pada corak struktural, dan juga dipengaruhi oleh politik Orde
Baru pada Islam. Politik Orde Baru pada Islam bisa kita bagi menjadi dua
fase; fase kecurigaan ( 1966-1985), dan fase mengakomodir kepentingan
Islam (1985-1987).
Dalam fase kecurigaan, pada masa ini kebijakan Orde baru pada
Islam adalah kombinasi antara harapan dan kecemasan. Harapannya adalah
Islam akan menjadi pendukung yang kokoh terhadap negara Indonesia.
Selain itu juga diliputi oleh kecemasan, kecemasan tersebut dilandasi oleh
kekhawatiran akan lahirnya radikalisme Islam. Untuk itu, Orde Baru pada

12
masa ini memberi kesempatan bergerak pada Islam jalur kultural secara
luas. Islam kultural adalah pergerakan Islam melalui wilayah budaya, tidak
melalui jalur politik praktis. Pada masa ini didirikan Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila (YABMP) yang konsentrasi kegiatannya pada
pembangunan masjid-masjid. Namun di sisi lain jalur struktural, dengan
melalui jalur politik praktis akan dipotong atau dibuat menjadi tidak
berdaya, misalnya keinginan Masyumi untuk dihidupkan kembali ditolak
oleh Orde Baru.
Dalam fase mengakomodir kepentingan Islam, bisa kita lihat
diantara selain Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tetap dijalankan dan
telah membangun ratusan masjid, adalah UU Pendidikan Nsional tahun
1989 yang juga berpihak pada Islam. Selain itu yang berkaitan dengan
syariat Islam adalah disyahkannya Undang-Undang Peradilan Agama
(UUPA) tahun 1989, dan juga tumbuhnya bank muamalat Indonesia yang
berdasarkan syariat Islam. Dan kemudian diwadahinya para cendekiawan
muslim dalam ICMI ( Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
D. PERDA SYARIAT DENGAN JALUR STRUKTURAL CORAK
PENERAPAN SYARIAT ISLAM ERA REFORMASI

Dalam era reformasi ada dua langkah yang ditempuh dalam rangka
penerapan syariat Islam; pertama, lewat parlemen dengan adanya desakan
beberapa partai Islam untuk mengamademen UUD 1945 dengan
mencamtumkan kembali kata-kata dalam Piagam jakarta sebagai pijakan
konstitusional. Kedua, maraknya berbagai perda syariat Islam di berbagai
Kabupaten dan Kotamadya di Indonesia.
Penegakan syariat Islam lewat parlemen dipelopori oleh tiga partai;
PPP, PBB, dan PK yang mengusulkan pencantuman kembali Piagam
Jakarta pada amandemen UUD 1945. Dalam sidang tahunan MPR tahun

13
2000, 2001, dan 2002 usulan itu disampaikan, tapi kandas karena partai-
partai yang lain, terutama partai besar dan berhaluan nasionalis tidak
mendukungnya. Demikian juga dua ormas Islam terbesar, NU dan
Muhammadiyah tidak mendukungnya. 16
Beberapa daerah yang telah memberlakukan perda syariat Islam; di
Kabupaten Bukamba, Sulawesi selatan, telah mengundangkan empat
peraturan daerah bernuansa syariat Islam, yaitu peraturan daerah Busana
Muslim, Baca Al-Qur’an, Bebas Miras, dan Zakat. Gejolak perda syariat
juga melanda daerah lain; seperti Propinsi Riau, Propinsi Banten,
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Pamekasan. Di daerah-daerah itu
gejolak syariat Islam, ada sebagian yang masih wacana dari beberapa ormas
Islam di daerah itu, juga sudah dilaksanakan pada kalangan terbatas,
misalnya diawajibkan untuk memakai busana muslimah pada pegawai
pemda, dan diwajibkan untuk menghentikan semua aktifitas pekerjaannya
ketika adzan dhuhur dan adzan ashar berkumandang. 17
Penutup
Dari tulisan di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Dinamika yang berkembang dalam upaya penerapan syariat Islam pada
masa awal kemerdekaan adalah dengan mendirikan partai Islam,
mempertahankan keberadaan Piagam Jakarta, dan mengusahakan Islam
sebagai asas negara. Pada Orde Lama dinamika yang berkembang adalah
dalam upaya penerapan syariat Islam dengan cara oposisi (termasuk
pemberontakan) dan akomodatif (masuk dalam pemerintahan), dan juga
melalui jalur pencerahan keilmuan. Dalam era Orde Baru dinamika yang
berkembang adalah lewat peningkatan pemahaman umat atas Islam

16
Taufik Adnan Amal, Dkk. 2004,.Politik Syariat Islam di Indonesia hingga Nigeria..
Jakarta. Pustaka Alvabet. 62.
17
Baca, Taufik Adnan Amal.Politik Syariat,.....87-97.

14
(kultural) dan lewat aturan formal (birokrasi) yang ditetapkan pemerintah.
Era Reformasi dinamika yang berkembang sebagai upaya penerapan
syariat Islam adalah mengangkat kembali isu Piagam Jakarta munculnya
berbagai Perda syariat di berbagai daerah di Indonesia.
2. Corak penerapan syariat Islam di awal kemerdekaan lebih bercorak politis,
pada Orde Lama corak akomodatif lebih menonjol, pada era Orde Baru
lebih mengarah lewat legitimasi pemerintah (lewat beberapa aturan yang
ditetapkan pemerintah),dan pada era reformasi lebih menonjol dari dari
bawah, yaitu lewat perda syariat

15
Daftar Pustaka

“ Hukum Syariah dalam Masyarakat yang Bineka”, Kompas, 16- Agustus-


2006.
“ Perda SI Antara Ada dan Tiada”, Surya, 16-Agustus, 2006.
“Minta Perda Syariat Tak Dibatalkan”, Surya, 28- Juni-2006.
”Gelora Syariah mengepung Kota”, Gatra, 6-Mei-2006.
Abdullah, Taufik. 2003. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta. Intermasa.
Adnan Amal, Taufik. Dkk. 2004. Politik Syariat Islam di Indonesia hingga
Nigeria.. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Al-Asymawi, Muhammad Said. 2004. Nalar Kritis Syari’ah. Lutfi Thomafi
(terj.). Yogyakarta: LKiS.
Alfian.1980. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia..Jakarta:Gramedia.
Ali, Mukti. 1991 Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam.Bandung : Mizan.
Al-Qardawi, Yusuf. 1997 Membumikan Syariat Islam. Surabaya: Dunia Ilmu.
Amir, Zainal Abidin. 2003. Peta Politik Islam Pasca-Seoharto. Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Arifin, Bustanul 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah
Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press.
Assiddiqie, Jimly. Majalah Pesantren, No2/Vol.VII/1990.
Azra, Azyumardi. Dkk. 2003. Negara dan Syariat Dalam Perspektif Hukum
di Indonesia,dalam Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal.
Burhanudin (ed,) Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan Asia Foundition.
B.J. Bolland. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia,.Jakarta: Graffiti Press.

16
Cahyono, Heru. 1992 . Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980 dari Pemilu
sampai Malar. Jakarta: Sinar Harapan.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Departemen Agama.1991\1992. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia,.Jakarta:Dirjen Binbaga.
Djaelani, Abdul Kadir 1994. Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan
politik Islam d Indonesia Surabaya: Bina Ilmu.
Fanani, Ahmad. 2006. “Akar Dan Pemikiran Gerakan Revivalis Islam
Indonesia: Study Atas Partai Keadilan Sejahtera”, dalam Quo Vadis
Islamic Studies in Indonesia? (Current Trends and Future
Challangers), Amiruddin Amin, (ed.) Dkk. Jakarta: Direktur Dikti
Islam dan UIN Makassar.
Haidar, Ali 1998. Reformasi Prematur.Jakarta: Darul Falah.
Hakim, M. Lukman. Dkk. 2004.Syariah Sosial Menuju Revolusi
Kultural.Malang: UMM Press.
Halim, Abdul. 2005. Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press
Harsono, Buedi 1983. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Ismail, Faisal, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002.
Jamhari, Dkk. 2004.Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Jatmika, Rachmat. tt. Wakaf Tanah. Surabaya: Al-Ikhlas.
Ka’bah, Rifyal. 2004. Penegakan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta:
Khoirul Bayan.
Madjid, Nurcholis. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.Jakarta:
Mizan.

17
Mardjono, Hartono. 1997. Mengakkan Syariat islam Dalam Konteks
Keindonesiaan Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Aspek
Hukum, Politik, dan Lembaga negara, Bandung: Mizan.
Moleong. Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Teologi Kiri Landasan Membela Kaum
Mustadh’afin.Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Nasution, Harun, 2000.Islam Rasionalis Gagasan dan Pemikiran Prof. DR.
Harun Nasution, Bandung: Mizan.
Noer, Deliar 1983. Administrasi Islam di Indonesia,.Jakarta:CV. Rajawali.
Notosusanto.1963.Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama
diIndonesia, .Yogyakarta:tp.
Nugroho,Taufiq. 2003. Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila
Yogyakarta:Padma.
Permono, Sjechul Hadi. 2004.Islam Dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan,
Surabaya: Aulia.
Prisma. tt. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES.
Qodir, Zuly. 2004. Syariah Demokratik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Said al-Asmawi, Muhammad. 2005 Problematika dan Penerapan Syariat
Islam dalam Undang-Undang. Saiful Ibad (Terj.). Jakarta:Gaung
Persada Press.
Santoso, Topo. 2003. .Membumikan Hukum Pidana Islam penegakan Syariat
Dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press.
Sumitro, Warkum 2005. Perkembangan HUkum Islam di Tengah Kehidupan
Sosial Politik di Indonesiai.Malang: Bayu Media Publishing.
Sumitro, Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan
Sosial Politik di Indonesia Malang : Bayu Media Publishing.

18
Suseno, Frans Magnis. 1989. Seputar Rencana Undang-Undang Peradilan
Agama. Kompas. 16 Januari.
Syafi’i Ma’arif, Ahmad. 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara
Study tentang Perdebatan DalamKonstituante . Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Syaifuddin Anshari, Endang. 1981.Piagam Jakarta .Bandung: Pustaka Salina.
Syaifudin Anshari, Endang 1973. KritikAtas paham
Pembaharu..Bandung:Bulan Sabit.
Syamsuddin, M. Din. 2001.Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu.
Tebba, Sudirman. 2001.Islam Pasca Orde Baru.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Thaba. Abdul Aziz. 1996.Islam dan Negara dalam Politik Orde
Baru.Jakarta:Gema Insani Press.. Muhammad. Hatta. 1966.
Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara.
Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam.Jakarta: Gaya Media Pratama.
Wahidin, Syamsul. Dkk. 1984. Perkembangan Ringkas Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Akademika Presindo.
Muhammad, Yamin. tt. Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia. Jakarta: Prapanca.
Zuhaily, Wahbah. 1991. al-Tafsie al-Munir fi al-Akidah wa al-Syariah wa al-
Manhaj. Beirut:Dar l-Fikr.

19
20

Anda mungkin juga menyukai