Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

KONJUNGTIVITS TRAKHOMA

Diajukan kepada :

dr. Wahid Heru Widodo, Sp.M.

Disusun oleh :
Pamela Sandhya De Jaka G1A015041
Nur Rohmi Septiana G1A015042
Dhuhita Ghassanizada G1A015045

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Referat
Konjungtivitis Trakhoma

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatann Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :
Pamela Sandhya De Jaka G1A015041
Nur Rohmi Septiana G1A015042
Dhuhita Ghassanizada G1A015045

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada ..............., ..... Desember 2018

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Wahid Heru Widodo, Sp. M


I. PENDAHULUAN

Trakhoma adalah keradangan konjungtiva yang akut, sub akut atau kronis

yang disebabkan oleh Chlamidia Trachomatis (Terry, 2004). Trakhoma

berkembang di berbagai negara Eropa, Amerika Utara dan Asia, terutama di

daerah-daerah kering (Bailey, et al., 2001). Trakhoma biasanya menginfeksi

kedua mata, pada semua usia terutama anak-anak, dengan masa inkubasi berkisar

antara 5-14 hari dengan rata-rata 7 hari. Pada bayi dan anak dapat sembuh sendiri

atau dengan penyulit yang minimal. Pada orang dewasa biasanya disertai penyulit.

Penyebaran trakhoma terjadi secara kontak langsung maupun tidak langsung dan

erat hubungannya dengan faktor lingkungan dan higiene sanitasi (Schachter,

2002).

Episode berulang dari reinfeksi dapat menyebabkan kronik folikular atau

infeksi konjungtiva berat (trakoma aktif) yang menyebabkan scarring konjungtiva

tarsal. Scarring pada konjungtiva tarsal atas pada sebagian individu akan berlanjut

menjadi entropion dan trikiasis (cicatrical trachoama). Hasil akirnya dapat

menimbulkan abses kornea, ulkus kornea dan opasifikasi hingga berakhir pada

kebutaan (Solomon dan Taylor, 2010).

Pencegahan trakoma berkaitan dengan kebutaan membutuhkan banyak

intervensi. WHO menerapkan strategi Surgery, Antibiotics, Facial cleanlines, dan

Environmental improvement (SAFE) untuk mengontrol trakhoma (Solomon dan

Taylor, 2010).
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan selaput membran tipis yang melapisi

mukosa palpebra bagian posterior dan permukaan anterior mata. Konjungtiva

dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu konjungtiva palpebralis/tarsalis,

konjungtiva bulbaris/okuli, dan konjungtiva forniks. Konjungtiva palpebralis

adalah lapisan pada mukosa kelopak mata bagian posterior yang

bersinggungan langsung dengan bola mata. Konjungtiva bulbar adalah lapisan

yang melapisi permukaan anterior bola mata dari limbus sampai sklera

anterior. Konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebralis bertemu pada

forniks superior dan inferior (Azari & Barney, 2013).

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva Normal (Azari & Barney, 2013)

Epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel. Epitel

konjungtiva palpebra adalah epitel berlapis kolumnar rendah dengan sedikit

sel goblet. Epitel berlapis gepeng pada kulit palpebra tipis berlanjut hingga ke

tepi palpebra dan kemudian menyatu menjadi epitel berlapis silindris

konjungtiva palpebral. Konjungtiva bulbar dimulai pada limbus, di mana titik


epitel kornea secara bertahap digantikan oleh epitel konjungtiva dan terus

melewati sklera hingga fornik superior dan inferior (Difiore, 2008).

Konjungtiva adalah bagian mata yang sangat mudah terpapar dengan benda

asing dan mikroorganisme. Konjungtiva memiliki mekanisme yang disebut

conjungtiva-associated-lymphoid-tissue (CALT) yang berfungsi sebagai

salah satu mekanisme pertahanan. Mekanisme tersebut diperankan oleh

limfosit intraepitel, folikel limfe, pembuluh limfe, dan pembuluh darah

(Handley, 2018).

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan

arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan

bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya

membentuk jaring-jaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan

profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk

pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan

(oftalmik) pertama nervus trigeminus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang

relatif sedikit (Vaughan, 2011).

Gambar 2.2

Vaskularisasi

Konjungtiva

(Vaughan,

2011).
Menurut Alena, et al (2014), suplai saraf untuk konjungtiva berasal

dari divisi pertama saraf trigeminus. Saraf ini terdiri atas cabang

infratrochloer yaitu saraf nasociliary, saraf lacrimal, supratrochlear, cabang

supraorbital saraf frontal, dan saraf infraorbital dari divisi maksilaris dari

saraf trigeminal. Pada daerah limbus dipersarafi oleh cabang saraf ciliary.

Mayoritas ujung saraf pada konjungtiva bebas, unmyelinated, membentuk 9

pleksus sub - epitel di bagian dangkal propria substantia . Banyak dari serat

ini berakhir pada pembuluh darah, dan lainnya membentuk pleksus

intraepithelial sekitar dasar sel epitel dan ujung saraf bebas di antara sel.

B. Definisi
Trakhoma adalah keratokonjungtivitis kronik yang disebabkan oleh

infeksi serovar okular (A-C) dari Chlamydia trachomatis. Infeksi tersebut

paling sering terjadi pada anak-anak dan menyebabkan peradangan folikular

dan berpapil. Proses infeksi, inflamasi, dan resolusi yang berulang akan

menyebabkan jaringan parut pada konjungtiva. Hal tersebut akan

mengakibatkan terjadinya entropion atau trikiasis. Entropion akan

mengakibatkan abrasi pada kornea sehingga menyebabkan opaksifikasi pada

kornea dan dapat menyebabkan kebutaan (Handley, 2018).

C. Etiologi

Penyebab dari Konjungtivitis Trakhoma adalah bakteri Chlamydia

trachomatis yang memiliki serovar berbeda dari serovar genitalia. Chlamydia

trachomatis adalah bakteri gram negatif obligat intraseluler yang memiliki

kromosom tunggal sekitar 1Mbp dan plasmid yang dapat menggandakan diri.

Hal tersebut merupakan faktor virulensi dari Chlamydia trachomatis.


Trakhoma endemik disebabkan oleh serovar A, B, Ba, dan C. Serovar genital

yaitu D dan K yang juga dapat menginfeksi mata sehingga menyebabkan

ophtalmia neonatorum pada bayi (Taylor et al., 2014).

D. Patomekanisme
Transmisi utama infeksi trakhoma berasal dari sekret mata penderita

dengan konjungtivitis trakhoma. Stadium aktif infektif trakhoma sering

ditemukan pada anak-anak. Rute transmisi dapat melalui penyebaran

langsung dari mata ke mata, usapan jari, batuk bersin, lalat, dan penyebaran

tidak langsung seperti penggunaan bersama handuk dan bantal. Trakhoma

sering terjadi pada lingkungan yang kering dengan faktor resiko lingkungan

yang padat penduduk dan sumber daya air bersih yang minimal serta

higinisitas yang buruk (CDC, 2008).

Infeksi dari trakhoma diawali dari bakteri yang menyebar melalui

beberapa rute transmisi salah satunya yaitu melalui penyebaran langsung dari

mata ke mata melalui sekret yang. Bakteri tersebut akan menempel pada sel

epitel dari mukosa konjungtiva. Bakteri yang sebelumnya tidak aktif akan

menjadi aktif di dalam vakuol sel dan bertransformasi menjadi bakteri yang

berukuran lebih besar. Pembelahan biner dilakukan bakteri ini untuk

memperbanyak diri. Respon imun yang terjadi pada host dimulai dari respon

pada sel epitel konjungtiva manusia yang pada akhirnya menghasilkan

kemokin dan sitokin. Sel yang berperan pada proses ini adalah aktivasi dari

sel Natural Killer dan netrofil. Resolusi yang dihasilkan dari bakteri ini

bergantung pada Interferron gamma yang dimediasi melalui nitrit oksida dan

triptofan serta besi intrasel. Anak yang aktif terinfeksi bakteri ini
menunjukkan peningkatan ekspresi dari gen IFN-gamma dan IL12p40 dengan

respon sel imun Th1 (Natividad et al., 2010).

Respon imun berulang oleh sel T yang berespon terhadap paparan

antigen Chlamydia trachomatis akan menghasilkan jaringan parut. Enzim

proteolitik matriks yaitu metalloproteinase yang dihasilkan oleh sel inflamasi,

fibroblas, dan epitel akan menyebabkan destruksi jaringan dan timbulnya

fibrosis. Opasitas kornea dan penurunan ketajaman penglihatan dapat terjadi

dalam setahun pada sepertiga penderita dengan trikiasis yang tidak teratasi

(Taylor et al., 2018).

Gambar 2.3 Patomekanisme Konjungtivitis Trakhoma (Lukitasari, 2011)

Klasifikasi Trakhoma dari World Health Organization (WHO) sebagai

berikut (Lukitasari, 2011):


1. Trachomatous inflamation follicular (TF) : tampak adanya lima atau lebih

folikel pada konjungtiva tarsal superior. Folikel-folikel menonjol bulat dan

tampak lebih pucat dari konjungtiva sekitarnya.

2. Trachomatous inflamation intense (TI) : terjadi penebalan konjungtiva

tarsal akibat proses keradangan. Konjungtiva tarsal tampak lebih merah,

kasar dan menebal serta banyak terdapat folikel.

3. Trachomatous scarring (TS) : tampak adanya jaringan parut (sikatrik pada

konjungtiva tarsal).

4. Trachomatous Trichiasis (TT) : minimal terdapat satu bulu mata yang

menggores bola mata.

5. Corneal opacitiy (CO) : kekeruhan kornea yang sangat jelas sampai

mencapai pupil.

TS
normal

TF TT

TI CO

Gambar 2.4 Klasifikasi Konjungtivitis Trakhoma menurut WHO (Lukitasari, 2011)


Selain itu terdapat klasifikasi lain oleh Mac Callan berdasarkan

gambaran klinisnya, menjadi 4 stadium yaitu (Lukitasari, 2011):

1. Stadium I.

Disebut sebagai stadium insipien atau stadium permulaaan. Pada

tarsus superior terlihat hipertrofi papil dan folikel folikel yang belum

masak.

2. Stadium II.

Stadium ini disebut stadium established atau stadium nyata.

Didapatkan folikel-folikel dan papil pada tarsus superior. Stadium ini

dibagi lagi menjadi dua yaitu IIA dan IIB.

3. Stadium IIA.

Pada tarsus superior terdapat hipertrofi papil dan folikel folikel

yang sudah matur.

4. Stadium IIB

Pada tarsus superior terlihat lebih banyak hipertrofi papil dan

menutupi folikel-folikel.

5. Stadium III

Disini mulai terbentuk jaringan parut atau sikatrik pada

konjungtiva tarsal superior yang berupa garis putih halus. Pada stadium

ini masih dijumpai adanya folikel pada konjungtiva tarsal superior dan

tampak pannus yang masih aktif.

6. Stadium IV

Disebut juga trakhoma sembuh. Pada stadium ini pada

konjungtiva tarsal superior tidak ditemukan lagi folikel, yang ada hanya
sikatrik dan pannus yang tidak aktif lagi. Pada stadium ini mungkin juga

ditemukan penyulit dari trakhoma.

E. Penegakan Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasar anamnesa, pemeriksaan klinik dan
laboratorium. Anamnesa adanya keluhan gatal, mata merah dan kecoklatan
(kotor). Pada pemeriksaan fisik, pada palpebrae didapatkan hipertrofi papils,
couble stone dan giant’s papillae. Pada konjungtiva bulbi terdapat warna
merah kecoklatan dan kotor, terutama di daerah fissure interpalpebralis. Pada
limbus dapat kita jumpai horner trantos dots. Pada pemeriksaan laboratorium
kerokan konjungtiva atau sekret mata didapatkan sel-sel eosinophil dan
eosinophil granul (Frick, 2006).
Trakhoma ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, yaitu apabila
ditemukan sedikitnya dua tanda dari empat tanda berikut (Lukitasari, 2011):
1. Adanya folikel pada konjungtiva tarsalis superior, limbal follikel atau
sikatriknya (Herbert’s pits)
2. Adanya keratitis yang sebagian besar terdapat pada sepertiga bagian atas
kornea
3. Pannus pada limbus superior
4. Sikatrik konjungtiva dengan bentuknya yang khas
Pemeriksaan khusus yang dapat digunakan untuk mendeteksi
Chlamydia trachomatis antara lain pembiakan bahan pemeriksaan sel
jaringan hidup atau dengan imunofluoresensi langsung. Hasil pemeriksaan
kultur jaringan baru diperoleh setelah 5 sampai 15 hari. Secara
histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtiva pasien akan terlihat
reaksi sel-sel polimorfonuklear, sel plasma, sel leber dan sel folikel
(limfoblas) dengan pewarnaan Giemsa. Sel leber menyokong suatu
diagnosis trakhoma tetapi adanya sel limfoblas adalah tanda diagnostik
yang penting bagi trakhoma. Cara imunofluoresensi memberikan hasil
dalam waktu 1 jam dengan sensitifitas dan spesifitas yang tinggi karena
menggunakan antibodi monoklonal (Ilyas dan Yulianti, 2015).
F. Diagnosis Banding

Tabel 2.1 Diagnosis Banding (Ilyas dan Yulianti, 2015).


Trakhoma Konjungtivitis Konjungtivitis
vernalis folikularis lainnya
Anamnesis Dapat unilateral, Bilateral, ada Dapat unilateral,
menyerang semua umur, riwayat alergi, menyerang semua
dipengaruhi higienitas dan sering menyerang umur
sanitasi yang buruk, pada anak-anak
biasanya pada daerah dan remaja
endemik (Semenanjung
Balkan)
Gambaran Kasus dini: papul kecil Nodul lebar datar Penonjolan merah-
lesi dan bercak merah susunan muda pucat
bertaburan dengan bintik cobblestone pada tersusun teratur
putih kuning (folikel konjungtiva tarsal seperti deretan
trakhoma) pada atas dan bawah, beads
konjungtiva tarsal. diselimuti lapisan
Kasus lanjut: granula dan susu.
jaringan parut terutama di
konjungtiva tarsal atas.
Ukuran & Penonjolan besar lesi di Penonjolan besar Penonjolan kecil
lokasi lesi konjungtiva tarsal dan tipe tarsus atau terurama
lipatan retrotarsal kornea- palpebrae konjungtiva tarsal
panus, bawah infiltrasi bawah & forniks
abu-abu dan pembuluh, bawah, tarsus tidak
tarsus terlibat terlibat
Tipe sekret Kotoran air berbusa atau Bergetah, bertali, Mukoid atau
frothy seperti susu purulen
Pulasan Kerokan epitel dari Eosinofil khas dan Kerokan tidak
konjungtiva dan kornea konstan pada khas
memperlihatkan sekresi
eksfoliasi, proliferasi,
inklusi selular
Penyulit atau Kornea: panus, kekruhan Pseudoptosis (tipe Blefaritis,
sekuele kornea, xerosis, kornea tarsal) ektropion
Konjungtiva: simblefaron
Palpebra: ektropion atau
entropion trikiasis

G. Tatalaksana dan Edukasi


Manajemen tatalaksana trakhoma yang direkomendasikan WHO dengan
menggunakan metode “SAFE” (Surgical care, Antibiotics, Facial cleanliness,
Environmental improvement).
1. Surgical Care
Surgical care meliputi pembedahan yang diindikasikan pada
trakhoma dengan trikiasis (TT) untuk mencegah terjadinya jaringan parut
pada konjungtiva, trikiasis, opasitas kornea dan kebutaan. Semua pasien
dengan trikiasis dirujuk ke spesialis mata untuk dibedah agar
menghentikan kondisi bulu mata yang mengiritasi kornea yang
menyebabkan opasitas pada kornea sampai dengan kebutaan. Pada stadium
trachomatous trichiasis dilakukan epilasi terhadap penyulit
trichiasis, dan bila terdapat entropion maka dilakukan tarsotomi
(Lukitasari, 2011).
Pembedahan yang sudah dilakukan tidak selalu mencegah
tumbuhnya trikiasis kembali karena jaringan parut yang tersisa dapat
berkontraksi dan memutar bulu mata lainnya ke dalam. Oleh karena itu,
pemeriksaan pasca bedah tahunan direkomendasikan untuk mendeteksi
lebih lanjut trikiasis. Sebagai program pemberantasan, orang dewasa
berusia 40-54 tahun yang tinggal di daerah endemik trakhoma dianjurkan
untuk melakukan skrining setiap 2 tahun sekali. (CDC, 2008).

2. Antibiotics
Tujuan terapi antibiotik adalah untuk mengurangi prevalensi dan
intensitas infeksi trakhoma aktif, mencegah perkembangan jaringan parut
dan kebutaan. Pilihan antibiotik yang direkomendasikan WHO adalah
salep mata tetrasiklin 1% 2x sehari selama 6 minggu, atau dengan
azitromisin dosis tunggal secara oral. Saat ini azitromisin lebih
direkomendasikan karena pemberiannya mudah dan dapat langsung
dipantau. Azitromisin juga memiliki efikasi yang tinggi dan kejadian efek
samping yang rendah.  Maka dari itu, azitromisin lebih baik dibandingkan
dengan tetrasiklin karena antibiotik ini juga bisa mengobati infeksi
digenital, sistem respirasi, dan kulit. Penggunaaan antibiotik ini yaitu 20
mg/kgBB per oral dengan dosis maksimal 1 gram per hari (CDC, 2008).
3. Facial cleanliness
Berbagai penelitian membuktikan bahwa anak-anak dengan wajah
yang kotor disertai discharge okuler, cairan hidung atau lalat di wajah,
cenderung memiliki trakhoma aktif. Oleh karena itu, kebersihan wajah
terus dipromosikan untuk mencegah penularan infeksi C. trachomatis,
yaitu dengan cara mencuci wajah dan juga menjaga kebersihan diri pribadi
(CDC, 2008).
4. Environmental improvement
Peningkatan kesehatan lingkungan dan kondisi sosial ekonomi diakui
sebagai faktor yang penting dalam mencegah trakhoma. Intervensi
kesehatan lingkungan yang direkomendasikan oleh WHO yaitu (CDC,
2008):
a. Memberantas lalat di masyarakat melalui peningkatan aktivitas
pengelolaan limbah di masyarakat.
b. Menggalakkan kegiatan pendidikan dan promosi kesehatan yang
sesuai, termasuk mencuci tangan dan wajah, kegiatan dan pelatihan
kebersihan terkait lainnya di lingkungan masyarakat yang sesuai
misalnya sekolah, pusat wanita, klinik, toko dan kantor dewan.
c. Mengurangi angka kepadatan penduduk
d. Mencari bantuan dari Dinas Kesehatan Lingkungan, dan bagian
pusat pengendalian penyakit untuk pendekatan manajemen trachoma
terkoordinasi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan adalah adanya jaringan parut di
konjungtiva. Jaringan parut tersebut dapat merusak duktuli lakrimal tambahan
dan menutupi muara kelenjar lakrimal. Hal ini menyebabkan berkurangnya
komponen air dalam film air mata pre-kornea, dan komponen mukus film
mungkin berkurang karena hilangnya sebagian sel goblet. Jaringan parut
tersebut juga dapat mengubah bentuk palpebra menjadi terlipat ke arah dalam
atau entropion, kemudian bulu mata terus menerus menggesek kornea sehingga
menyebabkan ulserasi pada kornea, infeksi kornea, dan terbentuknya sikatrik
pada kornea yang mengakibatkan berkurangnya penglihatan. Komplikasi
lainnya yaitu ptosis, obstruksi duktus nasolakrimalis, dan dakrisistitis (Erry,
2012).

I. Prognosis
Prognosis tergantung pada tingkat keparahan penyakit pada saat
perawatan, kelayakan perawatan, dan risiko infeksi ulang. Pasien yang penyakit
awalnya diobati dengan tepat memiliki prognosis yang sangat baik. Penyakit
berat dapat distabilkan, tetapi penglihatan pasien mungkin tidak membaik
setelah jaringan parut kornea berkembang. Reinfeksi dapat memperburuk
prognosis (Rostami, 2016).

BAB III. RINGKASAN

Trakhoma adalah keratokonjungtivitis kronik yang disebabkan oleh infeksi

serovar okular (A-C) dari Chlamydia trachomatis. Infeksi tersebut paling sering
terjadi pada anak-anak dan menyebabkan peradangan folikular dan berpapil.

Proses infeksi, inflamasi, dan resolusi yang berulang akan menyebabkan jaringan

parut pada konjungtiva.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan khusus untuk mengkonfirmasi adanya

infeksi C. trachomatis yaitu dengan pemeriksaan secara histopatologik dengan

kerokan konjungtiva, dan dengan imunofluorosensi. Ditemukannya sel leber dan

sel limfoblas pada kerokan konjungtiva pasien dapat menandakan adanya infeksi

dari C. Trachomatis.Penatalaksanaan untuk mencegah progresifitas penyakit dan

mencegah penularan penyakit dilakukan dengan strategi “SAFE” (Surgical care,

Antibiotics, Facial cleanliness, Environmental improvement) sesuai rekomendasi

dari WHO.

Komplikasi dari konjungtivitis trakhoma yaitu terbentuknya jaringan parut,

palpebra entropion, ulserasi kornea, kebutaan, ptosis, obstruksi duktus

nasolakrimalis, dan dakrisistitis.


DAFTAR PUSTAKA

Azari, A.A., Barney, N.P. 2013. Conjunctivitis. JAMA, 310 (16): 1721-1729.

Bailey, RL., Arrulendran, P., Whittle, HC., Mabey, DCW. 2001. Randomised
Control Azitromisin in Treatment of Trachoma. Lancet. Vol.353:1401
1403.

CDC. 2008. Guidelines for Management of Trachoma in The northern Territory

CDC. 2008. Guidelines for Management of Trachoma in The northern Territory

Erry. 2012. Distribusi dan Karakteristik Sikatrik Kornea di Indonesia. Media


Litbang Kesehatan. 11(1): 30-37

Frick KD, Hanson CL, Jacobson GA. 2006. Global Burden Of Trachoma and
Economic Of The Disease. Am J Trop Med Hyg. 69:1-10

Handley, B.L., Robert, C.H., Butcher, R. 2018. A systematic review of historical


and contemporary evidence of trachoma endemicity in the Pacific
Islands. PLOSone, 15.

Ilyas, Sidarta; Yulianti, Sri Rahayu. 2015. Ilmu Penyakit Mata edisi kelima.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI

Lukitasari, Arti. 2011. Trachoma. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 11(2): 89-95

Natividad A, Freeman TC, Jeff ries D, et al. 2010. Human conjunctival


transcriptome analysis reveals the prominence of innate defense in
Chlamydia trachomatis infection. Infect Immun; 78:4895–911.

Rostami, S. 2016. Trachoma Follow-up. eMedicine Medscape.

Salomon, A dan Taylor, HR. 2010. Trachoma : Treatment and Medicaton.


eMedicine Opthalmology. Vol. 214: 29: 38.

Schachter, J., West, SK., Mabey, DH., Dawson, CR., Bobo, L., Bailey. R. 2002.
Trachoma. Lancet. Vol. 354: 630-635

Taylor, et al. 2014. Trachoma. Lancet: 384: 2142–52

Terry JE. 2004. Ocular Disease Detection, Diagnosis and treatment. Butterworths,
Boston London. Hal : 411 – 413; 673 - 677.

Vaugahn, Daniel G, Asbury Taylor, Riordan Eva, Paul. 2011. Oftalmologi Umum.
Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai