KONJUNGTIVITS TRAKHOMA
Diajukan kepada :
Disusun oleh :
Pamela Sandhya De Jaka G1A015041
Nur Rohmi Septiana G1A015042
Dhuhita Ghassanizada G1A015045
Referat
Konjungtivitis Trakhoma
Disusun oleh :
Pamela Sandhya De Jaka G1A015041
Nur Rohmi Septiana G1A015042
Dhuhita Ghassanizada G1A015045
Mengetahui,
Pembimbing
Trakhoma adalah keradangan konjungtiva yang akut, sub akut atau kronis
kedua mata, pada semua usia terutama anak-anak, dengan masa inkubasi berkisar
antara 5-14 hari dengan rata-rata 7 hari. Pada bayi dan anak dapat sembuh sendiri
atau dengan penyulit yang minimal. Pada orang dewasa biasanya disertai penyulit.
Penyebaran trakhoma terjadi secara kontak langsung maupun tidak langsung dan
2002).
tarsal. Scarring pada konjungtiva tarsal atas pada sebagian individu akan berlanjut
menimbulkan abses kornea, ulkus kornea dan opasifikasi hingga berakhir pada
Taylor, 2010).
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan selaput membran tipis yang melapisi
yang melapisi permukaan anterior bola mata dari limbus sampai sklera
Epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel. Epitel
sel goblet. Epitel berlapis gepeng pada kulit palpebra tipis berlanjut hingga ke
Konjungtiva adalah bagian mata yang sangat mudah terpapar dengan benda
(Handley, 2018).
(oftalmik) pertama nervus trigeminus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang
Gambar 2.2
Vaskularisasi
Konjungtiva
(Vaughan,
2011).
Menurut Alena, et al (2014), suplai saraf untuk konjungtiva berasal
dari divisi pertama saraf trigeminus. Saraf ini terdiri atas cabang
supraorbital saraf frontal, dan saraf infraorbital dari divisi maksilaris dari
saraf trigeminal. Pada daerah limbus dipersarafi oleh cabang saraf ciliary.
pleksus sub - epitel di bagian dangkal propria substantia . Banyak dari serat
intraepithelial sekitar dasar sel epitel dan ujung saraf bebas di antara sel.
B. Definisi
Trakhoma adalah keratokonjungtivitis kronik yang disebabkan oleh
dan berpapil. Proses infeksi, inflamasi, dan resolusi yang berulang akan
C. Etiologi
kromosom tunggal sekitar 1Mbp dan plasmid yang dapat menggandakan diri.
D. Patomekanisme
Transmisi utama infeksi trakhoma berasal dari sekret mata penderita
langsung dari mata ke mata, usapan jari, batuk bersin, lalat, dan penyebaran
sering terjadi pada lingkungan yang kering dengan faktor resiko lingkungan
yang padat penduduk dan sumber daya air bersih yang minimal serta
beberapa rute transmisi salah satunya yaitu melalui penyebaran langsung dari
mata ke mata melalui sekret yang. Bakteri tersebut akan menempel pada sel
epitel dari mukosa konjungtiva. Bakteri yang sebelumnya tidak aktif akan
menjadi aktif di dalam vakuol sel dan bertransformasi menjadi bakteri yang
memperbanyak diri. Respon imun yang terjadi pada host dimulai dari respon
kemokin dan sitokin. Sel yang berperan pada proses ini adalah aktivasi dari
sel Natural Killer dan netrofil. Resolusi yang dihasilkan dari bakteri ini
bergantung pada Interferron gamma yang dimediasi melalui nitrit oksida dan
triptofan serta besi intrasel. Anak yang aktif terinfeksi bakteri ini
menunjukkan peningkatan ekspresi dari gen IFN-gamma dan IL12p40 dengan
dalam setahun pada sepertiga penderita dengan trikiasis yang tidak teratasi
konjungtiva tarsal).
mencapai pupil.
TS
normal
TF TT
TI CO
1. Stadium I.
tarsus superior terlihat hipertrofi papil dan folikel folikel yang belum
masak.
2. Stadium II.
3. Stadium IIA.
4. Stadium IIB
menutupi folikel-folikel.
5. Stadium III
konjungtiva tarsal superior yang berupa garis putih halus. Pada stadium
ini masih dijumpai adanya folikel pada konjungtiva tarsal superior dan
6. Stadium IV
konjungtiva tarsal superior tidak ditemukan lagi folikel, yang ada hanya
sikatrik dan pannus yang tidak aktif lagi. Pada stadium ini mungkin juga
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasar anamnesa, pemeriksaan klinik dan
laboratorium. Anamnesa adanya keluhan gatal, mata merah dan kecoklatan
(kotor). Pada pemeriksaan fisik, pada palpebrae didapatkan hipertrofi papils,
couble stone dan giant’s papillae. Pada konjungtiva bulbi terdapat warna
merah kecoklatan dan kotor, terutama di daerah fissure interpalpebralis. Pada
limbus dapat kita jumpai horner trantos dots. Pada pemeriksaan laboratorium
kerokan konjungtiva atau sekret mata didapatkan sel-sel eosinophil dan
eosinophil granul (Frick, 2006).
Trakhoma ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, yaitu apabila
ditemukan sedikitnya dua tanda dari empat tanda berikut (Lukitasari, 2011):
1. Adanya folikel pada konjungtiva tarsalis superior, limbal follikel atau
sikatriknya (Herbert’s pits)
2. Adanya keratitis yang sebagian besar terdapat pada sepertiga bagian atas
kornea
3. Pannus pada limbus superior
4. Sikatrik konjungtiva dengan bentuknya yang khas
Pemeriksaan khusus yang dapat digunakan untuk mendeteksi
Chlamydia trachomatis antara lain pembiakan bahan pemeriksaan sel
jaringan hidup atau dengan imunofluoresensi langsung. Hasil pemeriksaan
kultur jaringan baru diperoleh setelah 5 sampai 15 hari. Secara
histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtiva pasien akan terlihat
reaksi sel-sel polimorfonuklear, sel plasma, sel leber dan sel folikel
(limfoblas) dengan pewarnaan Giemsa. Sel leber menyokong suatu
diagnosis trakhoma tetapi adanya sel limfoblas adalah tanda diagnostik
yang penting bagi trakhoma. Cara imunofluoresensi memberikan hasil
dalam waktu 1 jam dengan sensitifitas dan spesifitas yang tinggi karena
menggunakan antibodi monoklonal (Ilyas dan Yulianti, 2015).
F. Diagnosis Banding
2. Antibiotics
Tujuan terapi antibiotik adalah untuk mengurangi prevalensi dan
intensitas infeksi trakhoma aktif, mencegah perkembangan jaringan parut
dan kebutaan. Pilihan antibiotik yang direkomendasikan WHO adalah
salep mata tetrasiklin 1% 2x sehari selama 6 minggu, atau dengan
azitromisin dosis tunggal secara oral. Saat ini azitromisin lebih
direkomendasikan karena pemberiannya mudah dan dapat langsung
dipantau. Azitromisin juga memiliki efikasi yang tinggi dan kejadian efek
samping yang rendah. Maka dari itu, azitromisin lebih baik dibandingkan
dengan tetrasiklin karena antibiotik ini juga bisa mengobati infeksi
digenital, sistem respirasi, dan kulit. Penggunaaan antibiotik ini yaitu 20
mg/kgBB per oral dengan dosis maksimal 1 gram per hari (CDC, 2008).
3. Facial cleanliness
Berbagai penelitian membuktikan bahwa anak-anak dengan wajah
yang kotor disertai discharge okuler, cairan hidung atau lalat di wajah,
cenderung memiliki trakhoma aktif. Oleh karena itu, kebersihan wajah
terus dipromosikan untuk mencegah penularan infeksi C. trachomatis,
yaitu dengan cara mencuci wajah dan juga menjaga kebersihan diri pribadi
(CDC, 2008).
4. Environmental improvement
Peningkatan kesehatan lingkungan dan kondisi sosial ekonomi diakui
sebagai faktor yang penting dalam mencegah trakhoma. Intervensi
kesehatan lingkungan yang direkomendasikan oleh WHO yaitu (CDC,
2008):
a. Memberantas lalat di masyarakat melalui peningkatan aktivitas
pengelolaan limbah di masyarakat.
b. Menggalakkan kegiatan pendidikan dan promosi kesehatan yang
sesuai, termasuk mencuci tangan dan wajah, kegiatan dan pelatihan
kebersihan terkait lainnya di lingkungan masyarakat yang sesuai
misalnya sekolah, pusat wanita, klinik, toko dan kantor dewan.
c. Mengurangi angka kepadatan penduduk
d. Mencari bantuan dari Dinas Kesehatan Lingkungan, dan bagian
pusat pengendalian penyakit untuk pendekatan manajemen trachoma
terkoordinasi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan adalah adanya jaringan parut di
konjungtiva. Jaringan parut tersebut dapat merusak duktuli lakrimal tambahan
dan menutupi muara kelenjar lakrimal. Hal ini menyebabkan berkurangnya
komponen air dalam film air mata pre-kornea, dan komponen mukus film
mungkin berkurang karena hilangnya sebagian sel goblet. Jaringan parut
tersebut juga dapat mengubah bentuk palpebra menjadi terlipat ke arah dalam
atau entropion, kemudian bulu mata terus menerus menggesek kornea sehingga
menyebabkan ulserasi pada kornea, infeksi kornea, dan terbentuknya sikatrik
pada kornea yang mengakibatkan berkurangnya penglihatan. Komplikasi
lainnya yaitu ptosis, obstruksi duktus nasolakrimalis, dan dakrisistitis (Erry,
2012).
I. Prognosis
Prognosis tergantung pada tingkat keparahan penyakit pada saat
perawatan, kelayakan perawatan, dan risiko infeksi ulang. Pasien yang penyakit
awalnya diobati dengan tepat memiliki prognosis yang sangat baik. Penyakit
berat dapat distabilkan, tetapi penglihatan pasien mungkin tidak membaik
setelah jaringan parut kornea berkembang. Reinfeksi dapat memperburuk
prognosis (Rostami, 2016).
serovar okular (A-C) dari Chlamydia trachomatis. Infeksi tersebut paling sering
terjadi pada anak-anak dan menyebabkan peradangan folikular dan berpapil.
Proses infeksi, inflamasi, dan resolusi yang berulang akan menyebabkan jaringan
sel limfoblas pada kerokan konjungtiva pasien dapat menandakan adanya infeksi
dari WHO.
Azari, A.A., Barney, N.P. 2013. Conjunctivitis. JAMA, 310 (16): 1721-1729.
Bailey, RL., Arrulendran, P., Whittle, HC., Mabey, DCW. 2001. Randomised
Control Azitromisin in Treatment of Trachoma. Lancet. Vol.353:1401
1403.
Frick KD, Hanson CL, Jacobson GA. 2006. Global Burden Of Trachoma and
Economic Of The Disease. Am J Trop Med Hyg. 69:1-10
Ilyas, Sidarta; Yulianti, Sri Rahayu. 2015. Ilmu Penyakit Mata edisi kelima.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI
Lukitasari, Arti. 2011. Trachoma. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 11(2): 89-95
Schachter, J., West, SK., Mabey, DH., Dawson, CR., Bobo, L., Bailey. R. 2002.
Trachoma. Lancet. Vol. 354: 630-635
Terry JE. 2004. Ocular Disease Detection, Diagnosis and treatment. Butterworths,
Boston London. Hal : 411 – 413; 673 - 677.
Vaugahn, Daniel G, Asbury Taylor, Riordan Eva, Paul. 2011. Oftalmologi Umum.
Edisi 17. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.