Anda di halaman 1dari 114

Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan


Perdagangan
2014

Analisis Kategorisasi Trade Facillitation


Indonesia
2

DAFTAR ISI

BAB I ..................................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN............................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................................... 4

B. Perumusan Masalah ........................................................................................................ 10

C. Tujuan Penelitian............................................................................................................. 10

D. Metode Penelitian........................................................................................................... 11

E. Sistematika Penulisan ...................................................................................................... 12

BAB II .................................................................................................................................................13

KESEPAKATAN FASILITASI PERDAGANGAN .................................................................13

A. Konsep Dasar Fasilitasi Perdagangan .............................................................................. 13

B. Gambaran Fasilitasi Perdagangan Indonesia .................................................................. 23

C. Penerapan Fasilitasi Perdagangan bagi Kelancaran Arus Barang.................................... 31

BAB III ...............................................................................................................................................38

KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN AGREEMENT ON TRADE


FACILITATION ................................................................................................................................38

Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 38

Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 42

Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 44

Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 45

Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 51

Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 54

Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 59

Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 73

Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 75

Pasal 10 Agreement on Trade Facilitation........................................................................... 78


3

Pasal 11 Agreement on Trade Facilitation........................................................................... 87

Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation........................................................................... 89

Pasal 12.7-12.12 Agreement on Trade Facilitation ............................................................. 93

BAB IV ................................................................................................................................................99

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .....................................................................................99

A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 99

B. Rekomendasi ................................................................................................................. 108

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 110


4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada bulan Desember 2013 lalu, Indonesia telah menjadi tuan rumah
pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) IX
yang diselenggarakan di Bali. Pada pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri
WTO 2013 ini, disepakati ‘Bali Package’ (Paket Bali). Bali Package merupakan
kelanjutan negosiasi Putaran Doha 1 yang lebih luas. 2

Bali Package terdiri dari sejumlah kesepakatan yang diharapkan dapat menjadi
pendorong kemajuan semua negara anggota, khususnya negara berkembang dan
negara miskin. Sebagai perjanjian besar pertama di antara anggota WTO, 3 Bali
Package bertujuan untuk merampingkan perdagangan, memungkinkan negara-
negara berkembang lebih banyak pilihan untuk menyediakan ketahanan pangan
dan meningkatkan perdagangan negara-negara terbelakang. 4 Hasil kesepakatan
tersebut dituangkan menjadi tiga paket. Ketiga paket tersebut adalah perjanjian
untuk argokultural atau paket pertanian (agreement on agriculture), paket untuk

1 Tujuan awal Putaran Doha atau yang disebut agenda pembangunan Doha adalah untuk

terciptanya aturan perdagangan internasional bagi negara-negara anggota WTO dalam rangka
meminimalisir hambatan-hambatan yang mendistorsi perdagangan, misalnya aturan penurunan
pajak impor, aturan pengurangan subsidi pertanian, serta aturan prosedur kepabeanan. Lihat
Harianto, Paket Bali WTO dan Relevansinya bagi Pertanian Indonesia, http://www.setkab.go.id/
artikel-11423-paket-bali-wto-dan-relevansinya-bagi-pertanian-indonesia.html, diakses pada
tanggal 18 Agustus 2014.

2WTO, Annual Report 2014, hal.24. Perjanjian-perjanjian lama dinilai perlu disempurnakan dan
perjanjian baru perlu dirundingkan agar sejalan dengan kemajuan teknologi, aspirasi negara
berkembang untuk menaiki matarantai nilai perdagangan dunia, tekanan jumlah penduduk yang
meningkat dan perkembangan lainnya yang tidak diantisipasi sebelumnya. Lihat
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/ situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=
1386&detail=true, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.

3 WTO, Annual Report 2014, hal.26.

4 WTO, Annual Report 2014, hal.24.


5

negara terbelakang atau Least Development Countries (LDCs), dan perjanjian


fasilitasi perdagangan (trade facilitation agreement).

Sebagai suatu reformasi terbesar WTO sejak pendiriannya, akhirnya Agreement


on Trade Facilitation 5 (Perjanjian Fasilitasi Perdagangan) disepakati setelah
negosiasi bertahun-tahun. 6 Permasalahan tentang fasilitasi perdagangan, pada
hakekatnya, sudah mulai dibahas sejak tahun 1996. Pembahasan ini dilakukan
dalam Deklarasi Para Menteri 1996 di Singapura. Hasil Deklarasi ini meletakkan
kerangka dasar lahirnya Agreement on Trade Facilitation. 7 Selain itu, WTO
Council on Trade in Goods menilai bahwa penting untuk mengklarifikasi Pasal V,
VIII, X the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.

Kemudian, pembahasan fasilitasi perdagangan baru kembali ditindaklanjuti pada


Doha Round yang diselenggarakan pada tahun 2001. 8 Paragraf 27 Doha
Ministerial Declaration menegaskan pentingnya pembahasan fasilitasi
perdagangan lebih lanjut. Selain itu, Doha Development Agenda 9 Juli 2004,
berdasarkan Annex D, menegaskan implementasi fasilitasi perdagangan oleh

5Teks Agreement on Trade Facilitation yang diadopsi di Bali terus disempurnakan guna
memastikan bahasa yang dipergunakan tepat secara hukum.

6 Ibid. Agreement on Trade Facilitation dinilai sebagai reformasi terbesar sebab Perjanjian ini
merupakan penjanjian multilateral pertama dihasilkan WTO. Lihat
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=13
86&detail=true, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.

7 Kerangka dasar tersebut sebagai berikut: Pertama, negara-negara anggota WTO menilai
pentingnya dibuat aturan khusus tentang fasilitasi perdagangan. Kedua, negara-negara anggota
WTO mulai mempertimbangkan hal hal apa saja yang perlu diatur dalam perjanjian fasilitasi
perdagangan. Trade Facilitation and Implementation Guide, Hisoty of the Negotiation,
http://tfig.unece.org/contents/Scope-of-TF-at-WTO.html, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.

8J. Michael Finger dan John S. Wilson, “Implementing A WTO Agreement on Trade Facilitation:
What Makes Sense?” (World Bank Policy Research Working Paper 3971, Agustus 2006), hal.7-8.
Pada Doha Round tahun 2001, disepakati 37 hal untuk negara-nagara berkembang dalam rangka
mengimplementasikan Perjanjian GATT 1994.

9 Doha Development Agenda atau DDA adalah salah satu objek fundamental dalam Doha Round

dengan tujuan untuk meningkatkan prospek perdagangan negara negara berkembang. Program
kerja yang dihasilkan dalam Doha Round mencakup sekitar 20 bidang perdagangan. WTO, The
Doha Round, http://www.wto.org/english/tratop_e/dda_e/dda_e.htm, diakses pada tanggal 12
Agustus 2014.
6

negara-negara berkembang disesuaikan dengan kapasitas Negara yang


bersangkutan dan mendapatkan pendampingan dalam proses implementasi
fasilitasi perdagangan. 10

Lalu, perkembangan besar terjadi pada saat Hong Kong Ministerial Declaration
Desember 2005. Pada Pasal 33 Hong Kong Ministerial Declaration ditegaskan
untuk merancang perjanjian fasilitasi perdagangan. 11 Selanjutnya, dalam July
Package 2004, negara-negara anggota WTO kembali menegaskan pentingnya
memperjelas Pasal V, VIII dan X the General Agreement on Tariffs and Trade
1994. Negosiasi ini menegaskan perlakuan khusus dan berbeda untuk negara-
negara berkembang dan kurang berkembang, yaitu dalam bentuk pemberian
bantuan teknis dan dukungan untuk peningkatan kapasitas negara-negara
berkembang serta peningkatan kerjasama yang efektif antarnegara anggota. 12

Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa fasilitasi perdagangan, adalah hasil


kegiatan negosiasi perdagangan internasional yang bermanfaat untuk
mengurangi hambatan tarif dan non tarif. Selain itu, hasil negosiasi perdagangan
internasional juga dinilai mampu meminimalisir terjadinya konflik dalam
perdagangan internasional. 13

Inisiatif fasilitasi perdagangan berasal dari negara-negara maju. Fasilitasi


perdagangan ditujukan untuk menciptakan suatu sistem yang kondusif terkait
pengeluaran produk-produk dari daerah kepabeanan. Pasal V, VIII dan X the
General Agreement on Tariffs and Trade 1994 dinilai tidak memadai dalam

10 WTO, Doha Work Program No.WT/L/579, Paragraf 1g.

11 WTO, Hong Kong Ministerial Declaration, http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/

min05_e/final_text_e.htm#tradfa, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014.

12 WTO, Negotiating an Agreement on Trade Facilitation,


http://www.wto.org/english/tratop_e/tradfa_e/tradfa_negoti_e.htm, diakses pada tanggal 12
Agustus 2014.

Ade Maman Suherman, Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga Penyelesaian Sengketa


13

WTO dan Negara Berkembang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal.17.


7

menjawab berbagai persoalan kegiatan perdagangan internasional. Pasal V the


General Agreement on Tariffs and Trade 1994, tentang Kebebasan Transit, kurang
mampu memberi jawaban terhadap permasalahan terkait transit barang, seperti
misalnya: proses transit barang yang terlalu panjang, biaya administrasi yang
tinggi, proses perpindahan barang yang lambat. Pasal VIII the General Agreement
on Tariffs and Trade 1994, tentang Biaya dan Formalitas Impor Ekspor, juga
kurang memadai menjawab permasalahan berkenaan dengan tarif dan
kewajiban biaya dalam proses kepabeanan. Terakhir, sehubungan dengan Pasal
X the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, Publikasi dan Administrasi
Peraturan Perdagangan, yang dinilai perlu diatur lebih lanjut adalah mengenai
keterbukaan informasi. Tidak jelas jenis informasi yang dapat diberitahukan dan
jenis informasi yang tidak dapat diberitahukan. Selain itu, kurangnya informasi
tentang perubahan peraturan perundang-undangan. 14

Agreement on Trade Facilitation bertujuan untuk menyederhanakan prosedur


kepabeanan dan dapat memberikan manfaat yang signifikan untuk ekonomi
global-dengan perkiraan keuntungan dikalkulasikan berkisar hingga US$1 triliun
per tahun, 15 akibat peningkatan arus perdagangan. Selain itu, Agreement on
Trade Facilitation juga diperkirakan dapat mengurangi biaya perdagangan
sebesar 10-15 persen.

Agreement on Trade Facilitation terdiri atas dua bagian. Bagian Pertama


berisikan ketentuan tentang percepatan pergerakan, pelepasan dan perizinan
barang-barang. Ketentuan ini menyempurnakan Pasal V, VIII dan X the General
Agreement on Tariffs and Trade 1994. Secara khusus, bagian Pertama Agreement
on Trade Facilitation ditujukan untuk mempercepat prosedur kepabeanan;
membuat perdagangan lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah; memberikan

14 Carolin Eva Bolhofer, “Trade Facilitation-WTO Law and Its Revision to Facilitate Global Trade in

Goods”, (World Costum Journal, Vol.2, No.1, 2008), hal.35-37.

15 WTO Annual Report 2014, hal.36.


8

kejelasan, efisiensi dan transparansi; mengurangi birokrasi dan korupsi; dan


menggunakan kemajuan teknologi. Bagian Pertama ini juga mengatur tentang
barang transit, suatu masalah utama yang menarik bagi negara-negara yang
terkurung daratan yang ingin berdagang melalui pelabuhan negara-negara
tetangga.

Bagian Kedua berisi ketentuan tentang perlakuan khusus dan berbeda bagi
negara-negara berkembang dan terbelakang. Bagian Kedua ini ditujukan untuk
membantu negara-negara berkembang dan terbelakang melaksanakan Bagian
Pertama Agreement on Trade Facilitation. 16 Bagian Kedua Agreement on Trade
Facilitation mencakup bantuan bagi negara-negara berkembang dan terbelakang
untuk memperbarui infrastruktur, melatih petugas bea dan cukai, atau hal lain
terkait dengan pelaksanaan Perjanjian. 17

Hal yang penting untuk diperhatikan ialah bahwa pertemuan Preparatory


Committee on Trade Facility (PrepCom) pada tanggal 28 April-02 Mei 2014
melakukan legal-review atas Agreement on Trade Facilitation. Hasilnya,
penambahan Bagian Ketiga yang merupakan penggabungan Pasal 13 18 Bagian

16 Pembukaan Agreement on Trade Facilitation.

17 WTO Annual Report 2014, hal.37.

18 Pasal 13 Agreement on Trade Facilitation berbunyi:


1. The provisions contained in Articles 1 to 12 of this Agreement shall be implemented by
developing and least-developed country Members in accordance with this Section, which is
based on the modalities agreed in Annex D of the July 2004 Framework Agreement and in
paragraph 33 of and Annex E to the Hong Kong Ministerial Declaration.
2. Assistance and support for capacity building16 should be provided to help developing and
least-developed country Members implement the provisions of this Agreement, in accordance
with their nature and scope. The extent and the timing of implementation of the provisions of
this Agreement shall be related to the implementation capacities of developing and least-
developed country Members. Where a developing or least-developed country Member
continues to lack the necessary capacity, implementation of the provision(s) concerned will
not be required until implementation capacity has been acquired.
3. Least-developed country Members will only be required to undertake commitments to the
extent consistent with their individual development, financial and trade needs or their
administrative and institutional capabilities.
4. These principles shall be applied through the provisions set out in Section II.
9

Pertama dan Ketentuan Penutup Bagian Kedua. 19 Pasal 13 disepakati untuk


tercakup dalam Bagian Ketiga.

Hal ini mengakibatkan beberapa konsekwensi hukum. Pertama, Pasal 13 tidak


perlu dinotifikasikan. Kedua, bantuan bagi negara-negara berkembang dan
terbelakang sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua tidak dapat dimintakan
untuk implementasi Pasal 13.2. Ketiga, pembentukan National Committee pada
Bagian Pertama tidak memiliki batasan jangka waktu.

Dalam rangka menindaklanjuti Bagian Kedua Agreement on Trade Facilitation,


Indonesia sebagai negara berkembang diminta komitmennya untuk melakukan
notifikasi atas kesiapan penerapan Agreement on Trade Facilitation. Notifikasi
Kategorisasi A disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Juli 2014. Sementara
itu, notifikasi kategorisasi B dan C disampaikan pada saat berlakunya Agreement
on Trade Facilitation. 20

Penetapan kategorisasi implementasi aturan Agreement on Trade Facilitation


perlu pertimbangan matang mengingat hal tersebut berdampak pada fasilitasi
impor. Pangsa pasar Indonesia sangat besar. Akibatnya, Indonesia merupakan
sasaran eksportir. Bagi para negara eksportir anggota WTO, komitmen Indonesia
atas implementasi Agreement on Trade Facilitation sangat penting. Besar

19Berdasarkan teks Agreement on Trade Facilitation yang disepakati di Bali, perlakuan khusus
dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang hanya diberikan untuk “Pasal 1-12
Bagian Pertama”. Mayoritas anggota baru menyadari bahwa Teks Agreement on Trade
Facilitation yang disepakati di Bali berbeda dengan yang disepakati di Jenewa bahwa perlakuan
khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang berlaku untuk seluruh
Bagian Pertama (Pasal 1-13).

20KeberlakuanAgreement on Trade Facilitation direncanakan pada tanggal 31 Juli 2015 apabila


2/3 anggota WTO meratifikasi perjanjian dimaksud (Berdasarkan Pasal X.3 WTO Agreement).
10

kemungkinan, tekanan kuat akan dihadapi Indonesia untuk mengategorikan


sebagian besar ketentuan Agreement on Trade Facilitation dalam Kategori A. 21

Melalui koordinasi dengan berbagai pihak terkait, Indonesia telah melakukan


kategorisasi pasal-pasal dalam Agreement on Trade Facilitation ke dalam
kategori A, B, dan C. Guna mendukung keputusan Indonesia dalam menetapkan
posisi tersebut, maka diperlukan suatu analisis atas keputusan penetapan posisi
tersebut. Untuk itu, dilakukan kajian Analisis Kesiapan Indonesia dalam
Menerapkan Ketentuan Agreement on Trade Facilitation.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, kajian ini disusun


untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kebijakan terkait trade facilitation yang ada di Indonesia?
2. Bagaimanakah kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan dalam
Agreement on Trade Facilitation?
3. Apakah usulan rekomendasi kebijakan pemerintah terkait dengan
Agreement on Trade Facilitation?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari Kajian ini terdiri atas:


1. Mengidentifikasi kebijakan terkait trade facilitation yang ada di Indonesia.

21Direktorat Kerja Sama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional,
“Perkembangan Terakhir Persiapan Implementasi Agreement on Trade Facilitation di WTO”.
Fasilitasi perdagangan merupakan salah satu pilar strategi pembangunan Indonesia, yang
terefleksikan dari komitmen-komitmen Indonesia terkait fasilitasi perdagangan baik secara
nasional, bilateral, regional, dan internasional. Salah satu dari komitmen-komitmen tersebut
adalah UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang kemudian mengalami perubahan
menjadi UU No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang mana secara eksplisit mencantumkan
rujukan mengenai aspek fasilitasi perdagangan internasional, (lihat
http://kemlu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=1351&l=id, diakses pada tanggal 25 Juli 2014)
tetap harus disadari bahwa Indonesia merupakan tujuan para eksportir sebagai akibat besarnya
pasang pasar.
11

2. Menganalisis kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan dalam


Agreement on Trade Facilitation.
3. Merumuskan usulan rekomendasi kebijakan pemerintah terkait dengan
Agreement on Trade Facilitation.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode
penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode yuridis normatif
disebut juga metode doktrinal. 22 Penelitian hukum doktrinal bertujuan untuk
”systematise, rectify and clarify the law on any particular topic by a distinctive
mode of analysis to authoritative texts that consist of primary and secondary
sources.” 23

Dengan pertimbangan bahwa penelitian ini merupakan penelitian yuridis


normatif, penelitian ini menjadikan norma-norma hukum sebagai bahan utama.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan pendekatan konseptual dan
sistematis untuk membedah ketentuan-ketentuan dalam Agreement on Trade
Facilitation. Adapun sifat penelitiannya adalah diagnostik atau evaluatif yaitu
untuk mengetahui kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan-ketentuan
dalam Agreement on Trade Facilitation.

Dalam penelitian ini, data utama yang dikaji adalah berbagai peraturan terkait
perdagangan yang telah ada (existing regulations). Data sekunder berupa bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder ini didapatkan melalui library
research atau studi kepustakaan. Data sekunder dikumpulkan baik melalui
penelusuran internet maupun mendapatkan secara langsung di beberapa

22 Bernard Arief Sidharta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan

Dogmatikal dalam Sulistyowati dan Sidharta (eds), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal.143.

23E.L. Rubin, “Law and the Methodology of Law” (1997) Winconsin Law Review, hal.525 dikutip
dari Mike McConville dan Wing Hong Chui (eds), Research Methods for Law, (Edinburgh:
Edinburgh University Press Ltd, 1988), hal.3-4.
12

kementerian/lembaga terkait khususnya Kementerian Perdagangan, dan untuk


melengkapinya dilakukan pula wawancara melalui media telekomunikasi dan
surat elektronik. Setelah semua data sekunder terkumpul, data tersebut
dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan pemahaman kesiapan Indonesia
dalam menerapkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Agreement on Trade
Facilitation.

E. Sistematika Penulisan

Kajian ini terdiri atas beberapa bagian. Bagian Pertama, sebagai pendahuluan,
menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika penulisan. Bagian
Kedua, membahas tentang definisi mengenai fasilitasi perdagangan, gambaran
umum, dan peran fasilitasi perdagangan dalam meningkatkan arus barang
(ekspor dan impor). Bagian ketiga akan berisi tentang hasil analisis dan bagian
terakhir merupakan simpulan dan rekomendasi.
13

BAB II

KESEPAKATAN FASILITASI PERDAGANGAN

A. Konsep Dasar Fasilitasi Perdagangan

Konsep sederhana tentang fasilitasi perdagangan, pada hakekatnya, telah dikenal


dan dilaksanakan sejak abad pertengahan. Pada abad pertengahan, banyak kota-
kota pasar Eropa menginformasikan bagi publik unit dan ukuran yang digunakan
dalam penjualan barang. Tradisi ini masih dilanjutkan di beberapa kota di Eropa.
Salah satu kota yang masih melakukan tradisi ini ialah kota Bern di Swiss. Di
kota Bern, informasi tersebut masih diumumkan pada layar. Konsep fasilitasi
perdagangan semakin dipertegas pada rezim perdagangan internasional. 24
Meskipun demikian, tidak ada definisi tunggal mengenai fasilitasi perdagangan.

Agreement on Trade Facilitation tidak mengatur pengertian fasilitasi


perdagangan, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Hakekatnya, fasilitasi
perdagangan merupakan upaya memfasilitasi prosedur kepabeanan, yaitu
perpindahan, pelepasan dan perizinan barang-barang. WTO hanya menjelaskan
bahwa fasilitasi perdagangan sebagai simplifikasi dan harmonisasi dari prosedur
perdagangan internasional, 25 yang meliputi “the activities, practices and
formalities involved in collecting, presenting, communications and processing data
required for the movements of goods in international trade”. 26

24 Andrew Grainger, “Customs and Trade Facilitation: From Concepts to Implementations”, World

Customs Journal Volume 2 No.1, hal.17.

25 WTO, “Ministerial Declaration, No.WT/MIN(01)/DEC/1”, Diadopsi sejak tanggal 14 Nopember

2001.

26 http://www.unece.org/trade/ctied9/policy_segment/partI_zoran_jolevski.ppt., diakses pada


tanggal 25 Juli 2014.
14

United Nations Centre for Trade Facilitation and Electronic Business pun
menegaskan fasilitasi perdagangan sebagai “the simplification, standardization
and harmonization of procedures and associated information flows required to
move goods from seller to buyer and to make payment”. 27 Efesiensi proses atau
prosedur pada pengertian fasilitasi perdagangan juga ditekankan oleh
International Chamber of Commerce (ICC). Menurut ICC, pengertian fasilitasi
perdagangan berfokus pada peningkatan efisiensi proses yang terkait dengan
pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi untuk menyederhanakan dan
mengurangi biaya transaksi perdagangan internasional, dan memastikan bahwa
semua kegiatan yang relevan dilakukan dalam suatu secara efisien, transparan,
dan dapat diprediksi, berdasarkan norma-norma yang diterima secara
internasional, standar dan praktik terbaik. 28

Dalam perkembangannya, pengertian fasilitasi perdagangan telah mengalami


perluasan. Fasilitasi perdagangan diartikan sebagai penurunan atau
pengurangan hambatan non tarif. Pengertian fasilitasi perdagangan mencakup
transaksi perdagangan, transparansi dan profesionalisme bea dan cukai, dan
lingkungan pengaturan sebagaimana harmonisasi dari standarisasi dan
dikonversikan terhadap ketentuan internasional atau ketentuan regional. Fokus
perluasan pengertian ini adalah pada kebijakan domestik dan struktur
institusional dimana peranan penting juga berada pada capacity building
(pembangunan kemampuan). Pemahaman luas atas fasilitasi perdagangan
semakin jelas dengan mencakupkan secara relatif elemen “batas” yang konkret
seperti efisiensi pelabuhan dan administrasi bea dan cukai dan elemen “di dalam
batas” seperti lingkup keberpihakan domestik dan infrastruktur yang
memungkinkan penggunaan teknologi informasi yang baik. 29 Dengan perkataan

27 http://www.kommers.se/SWEPRO/In-English/What-is-trade-facilitation/, diakses pada


tanggal 25 Juli 2014.

28 http://www.iccindiaonline.org/policy_state/duty.pdf, diakses pada tanggal 2 September 2014.


15

lain, fasilitasi perdagangan merupakan “segala macam tindakan dan kebijakan


yang ditujukan untuk mengurangi biaya transaksi yang mempengaruhi arus
barang, jasa, dan investasi, termasuk segala bentuk kebijakan non-tarif, regulasi-
regulasi domestik, serta segala isu infrastruktur, konektivitas, dan logistik". 30

Selanjutnya, pada G20 Trade Ministers Meeting, di Puerto Vallarta, Mexico, April
2012, fasilitasi perdagangan ditempatkan sebagai permasalahan penting melalui
peningkatan aspirasi dalam mata rantai perdagangan; 31 negara tidak hanya
sekedar menjadi penyedia bahan baku, tetapi juga menjadi pengolah bahan
antara dan produk akhir. Akibatnya, nilai tambah dalam mata rantai
perdagangan dapat turut dinikmati oleh negara berkembang seperti Indonesia. 32

Terkait dengan fasilitasi perdagangan, ada 4 (empat) hal yang dijadikan


indikator. Keempat indikator tersebut antara lain: efisiensi pelabuhan;
lingkungan kepabeanan; lingkungan kebijakan; dan penggunaan perangkat
transaksi elektronik. 33 Menurut the Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD), fasilitasi perdagangan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: 34

29 John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, Assessing the Potential Benefit of

Trade Facilitation: A Global Perspective, World Bank Policy Research Working Paper No.3224,
hal.3.

30http://kemlu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=1351&l=id, diakses pada tanggal 25 Juli


2014.

31Konsep global value chains ditekankan oleh para Menteri Perdagangan G20. Peran setiap
negara meliputi penyedia bahan baku, produk antara, dan produk akhir.

32 http://kemlu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=1351&l=id, diakses pada tanggal 25 Juli

2014

33John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, “Trade Facilitation and Economic
Development: A New Approach to Quantifying the Impact”, (The World Bank Economic Review,
Vol.17 No.3, 2003), hal.368.

34 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for
Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-
trade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
16

a. ketersediaan informasi, baik berupa publikasi data melalui internet atau


melalui media lainnya;
b. partisipasi dalam komunitas perdagangan;
c. advance rulings, yakni ketentuan untuk menentukan persyaratan terhadap
para pedagang, baik mengenai klasifikasi maupun orisinalitas produk;
d. appeal procedures, yakni proses yang dapat ditempuh untuk mengajukan
keberatan terhadap kebijakan administratif petugas perbatasan;
e. fees and charges (biaya dan ongkos) yang diberlakukan terhadap kegiatan
ekspor impor;
f. dokumen-dokumen formalitas, sebagai bentuk dari harmonisasi terhadap
kelengkapan administratif sesuai standar internasional;
g. formalities-automation (formalitas-terotomatisasi): pertukaran data secara
elektronik; automated border procedures (prosedur perbatasan
terotomatisasi); dan penggunaan manajemen risiko;
h. formalities-procedures (formalitas-prosedur): streamlining of border controls
(penyederhaan pengawasan perbatasan); pelayanan terpadu satu pintu
untuk penyerahan seluruh dokumen persyaratan; pemeriksaan post-
clearance; dan operator ekonomi yang terotorisasi;
i. kerjasama internal, yakni kerjasama antara pihak berwenang yang satu
dengan pihak berwenang yang lain dalam rangka pengawasan sistem
perpajakan;
j. kerjasama eksternal, yaitu kerjasama kepabeanaan negara dengan negara-
negara tetangga dan negara ketiga;
k. governance dan impartiality (pemerintahan dan imparsialitas), terkait
struktur dan fungsi kepabeanan.

Dalam Bali Ministerial Declaration & WTO Agreement on Trade Facilitation,


tujuan dari fasilitasi perdagangan adalah:
1. Menciptakan kerjasama yang efektif dan harmonis antarnegara anggota
WTO dibidang fasilitasi perdagangan;
17

2. Mengurangi hambatan disektor arus lalu lintas ekspor impor, sehingga


memperlancar arus barang, mempercepat release and clearance barang, dan
mengurangi biaya perdagangan;
3. Meningkatkan dukungan bantuan teknis dan capacity building 35, termasuk
keuangan, bagi negara berkembang dan LDC’s melalui Special and
Differential Treatment (S&DT).

Hal-hal yang terkait dengan fasilitasi perdagangan yang diatur dalam Agreement
on Trade Facilitation adalah: Consultations, Detention, General Disciplines on Fees
and Charges Imposed on or in Connection with Importation and Exportation,
Specific Disciplines on Fees and Charges Imposed on or in Connection with
Importation and Exportation, Penalty Disciplines, Separation of Release from Final
Determination of Customs Duties, Taxes, Fees and Charges, Risk Management, Post-
Clearance Audit, Expedited Shipments, Movement of Goods under Customs Control
intended for Import, Formalities and Documentation Requirements, Use of
International Standards, Single Window, Use of Customs Brokers, Common Border
Procedures and Uniform Documentation Requirements, Rejected Goods, Temporary
Admission of Goods/Inward and Outward Processing,Pre-shipment Inspection,
Customs cooperation, dan National Committee on Trade Facilitation.

Berdasarkan Section II pada Agreement on Trade Facilitation, tingkat kesiapan


suatu negara dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Kategori A, Kategori B, dan

35 Tidak dijelaskan definisi capacity building dalam Agreement on Trade Facilitation. Capacity
building dapat didefinisikan sebagai proses peningkatan kemampuan menjalankan fungsi utama
dalam menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan secara berkelanjutan. Lihat Publication of
International Institute for Educational Planning, 2006, http://www.iiep.unesco.org/fileadmin/
user_upload/Research_Highlights_Emergencies/chapter3.pdf, hal 1, diakses pada tanggal 27
Agustus 2014. Capacity Building dalam arti luas mencakup beberapa hal, antara lain:
a) Human Resource Developtment: proses peningkatan kemampuan manusia untuk dapat
melakukan pekerjaan sesuai dengan standar
b) Organizational Developtment: proses peningkatan struktur manajemen dan prosedur baik
dalam organisasi maupun hubungan dengan organisasi lain (publik dan privat)
c) Institutional and Legal Framework Development: perubahan peraturan dalam rangka
peningkatan kapasitas perusahaan dan institusi.
Lihat Anneli Milèn Advisor Department of Health Service Provision, “What do we know about
capacity building? An overview of existing knowledge and good practice”, World Health
Organization, World Health Report 2001.
18

Kategori C. Agreement on Trade Facilitation memberikan kesempatan kepada


seluruh negara anggota WTO untuk melakukan self-assessment dalam penerapan
Agreement on Trade Facilitation. Penilaian terhadap diri sendiri ini
dilatarbelakangi kemampuan berbeda dari tiap negara anggota WTO. Self-
assessment penting bagi negara berkembang dan negara terbelakang sebab
pelaksanaan Agreement on Trade Facilitation sesuai dengan kemampuan masing-
masing negara anggota WTO berdasarkan kategorisasi A, B, dan C. Setiap negara
anggota WTO dapat memutuskan kapan dapat melaksanakan setiap komitmen
dalam Agreement on Trade Facilitation. Lebih lanjut, negara anggota diberi
kesempatan untuk menentukan bentuk bantuan teknis dan capacity building
yang dibutuhkan. Hasil dari penggolongan komitmen dan penentuan bantuan
yang dibutuhkan diharuskan untuk dinotifikasi. Selain itu, hasil ini menentukan
pelaksanaan kewajiban. 36

Penentuan batas waktu pelaksanaan komitmen sangat penting untuk


diperhatikan. Batas waktu pelaksanaan merupakan titik penentu suatu negara
anggota WTO dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pemenuhan suatu
komitmen/kewajiban ke Dispute Settlement Body WTO. Oleh karena itu, ada
beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam penentuan kategorisasi.
Beberapa faktor penting tersebut antara lain: keterlibatan seluruh pemangku
kepentingan; konsekuensi hukum baik pada tataran nasional, regional dan
multilateral; kemampuan pendanaan; dan integrasi Agreement on Trade
Facilitation dalam program pembangunan nasional. 37

Agreement on Trade Facilitation memberikan perlakuan khusus dan berbeda


bagi negara-negara anggota WTO yang tergolong dalam negara berkembang dan
terbelakang. Perlakuan khusus dan berbeda diikuti dengan adanya jaminan

36 http://www.wto.org/english/tratop_e/tradfa_e/intro_tf_negos_e.pdf, diakses pada tanggal 26

Agustus 2014.

37Kedutaan Besar LBBP/Watapri, Laporan UNCTAD’s Multi-Year Expert Meeting (MYEM) on


Transport, Trade Logistics and Trade Facilitation: Jenewa, 1-3 Juli 2014, hal.3.
19

berupa bantuan teknis dan capacity building bagi negara berkembang dan
negara terbelakang atas komitmen-komitmen yang termasuk dalam kategori C.
Bantuan ini dimaksudkan untuk pencapaian kemampuan terbaik dalam
pelaksanaan Agreement on Trade Facilitation. Persyaratan yang harus dipenuhi
oleh negara berkembang dan negara terbelakang ialah notifikasi terperinci atas
ketiga pengkategorian komitmen dan bantuan yang dibutuhkan, baik dalam
bentuk bantuan teknis maupun dukungan capacity building. .Persyaratan lain
ialah informasi terperinci bagi negara-negara donor tentang bantuan teknis dan
dukungan capacity building yang telah diberikan selama satu tahun sebelumnya.
Jika diperlukan, notifikasi kepada negara-negara donor termasuk tentang
kebutuhan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk satu tahun
berikutnya. 38.

Jaminan diberikan bantuan teknis dan dukungan capacity building sangat


menentukan keputusan negara berkembang dan negara terbelakang melakukan
notifikasi dan ratifikasi terhadap Agreement on Trade Facilitation. Berdasarkan
kajian UNCTAD 2012-2013, implementasi satu aturan dalam perjanjian fasilitasi
perdagangan membutuhkan waktu 3-10 tahun dengan biaya sebesar US$300
ribu sampai dengan US$3 juta. Pelaksanaan perjanjian fasilitasi perdagangan
membutuhkan pembiayan yang terdiri atas: initial investment cost, maintenance
cost, dan structural adjustment cost. Reformasi fasilitasi perdagangan
membutuhkan biaya terbesar untuk pengembangan sumber daya manusia,
pembangunan infrastruktur, dan pengadaan peralatan. 39

Ketiga kategori berdasarkan Section II Agreement on Trade Facilitation antara


lain:

38 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation.

39Kedutaan Besar LBBP/Watapri, Laporan UNCTAD’s Multi-Year Expert Meeting (MYEM) on


Transport, Trade Logistics and Trade Facilitation: Jenewa, 1-3 Juli 2014, hal.3.
20

a. Kategori A
Kategori ini diperuntukkan untuk ketentuan yang telah siap dilaksanakan
dan/atau telah dilaksanakan oleh suatu negara pada saat ini, serta tidak
membutuhkan tambahan waktu atau bantuan dari negara/donor. 40

Bagi negara berkembang, penerapan komitmen yang termasuk dalam kategori A


harus segera dilaksanakan setelah keberlakuan Agreement on Trade Facilitation.
Negara berkembang tidak perlu menotifikasi Komite tentang komitmen kategori
A. Sementara itu, bagi negara terbelakang, penggolongan komitmen kategori A
harus dinotifikasi kepada Komite. Selain itu, komitmen kategori A harus
dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah keberlakuan
Agreement on Trade Facilitation 41. Notifikasi komitmen kategori A kepada
Komite harus dilaksanakan paling lama pada tanggal 31 Juli 2014. Notifikasi
tersebut dilampirkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari Agreement on Trade
Facilitation oleh General Council. 42.

Preparatory Committee ialah Komite yang dimaksud dalam penerapan kategori


A. 43 Preparatory Committee memiliki fungsi umum dan fungsi khusus.
1. Fungsi umum dari Preparatory Committee antara lain: 44
a. memastikan keberlakuan Agreement on Trade Facilitation dalam waktu
sesegera mungkin; dan

40 Pasal 14 Agreement on Trade Facilitation.

41http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/mc9_e/desci36_e.htm, diakses pada tanggal


26 Agustus 2014.

42Paragraph 3 Bali Ministerial Decision: “The General Council shall meet no later than 31 July 2014
to annex to the Agreement notifications of Category A commitments, to adopt the Protocol drawn
up by the Preparatory Committee, and to open the Protocol for acceptance until 31 July 2015. The
Protocol shall enter into force in accordance with Article X:3 of the WTO Agreement.”

43http://www.twnside.org.sg/title2/wto.info/2014/ti140301.htm, diakses pada tanggal 26

Agustus 2014

44Paragraph2 Bali Ministerial Decision: “ We hereby establish a Preparatory Committee on


Trade Facilitation (the "Preparatory Committee") under the General Council, open to all Members,
to perform such functions as may be necessary to ensure the expeditious entry into force of the
Agreement and to prepare for the efficient operation of the Agreement upon its entry into force…”
21

b. mempersiapkan pelaksanaan Agreement on Trade Facilitation yang


efisien.
2. Fungsi khusus dari Preparatory Committee sebagai berikut: 45
a. Melakukan legal review terhadap Agreement on Trade Facilitation
(perbaikan tata bahasa secara hukum tanpa mengubah substansi
hukum);
b. Menerima notifikasi komitmen Kategori A dari negara
c. Menyusun Protocol of Amandment) yang akan menjadi instrumen hukum
ratifikasi Agreement on Trade Facilitation, yaitu memasukkan Agreement
on Trade Facilitation sebagai Lampiran 1A Perjanjian WTO.

b. Kategori B
Kategori ini diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih
membutuhkan waktu untuk menerapkannya. 46

Bagi negara berkembang, komitmen Kategori B dan tanggal corresponding


indicative (indikatif korespondensi) komitmen tersebut harus dinotifikasi
kepada Komite pada saat keberlakuan Agreement on Trade Facilitation. Dalam
jangka waktu paling lama satu tahun sejak keberlakuan Agreement on Trade
Facilitation, negara berkembang harus menotifikasi corresponding indicative
dates (tanggal indikatif korespondensi) implementasi komitmen Kategori B
kepada Komite. Jika negara berkembang membutuhkan waktu tambahan untuk
melakukan notifikasi ini, negara berkembang tersebut dapat memohon Komite
untuk memperpanjang jangka waktu notifikasi. 47

45Paragraph2 Bali Ministerial Decision: “…In particular, the Preparatory Committee shall conduct

the legal review of the Agreement referred to in paragraph 1 above, receive notifications of
Category A commitments, and draw up a Protocol of Amendment (the "Protocol") to insert the
Agreement into Annex 1A of the WTO Agreement.”

46 Pasal 14 Agreement on Trade Facilitation.

47 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation.


22

Bagi negara terbelakang, komitmen Kategori B dan tanggal corresponding


indicative komitmen tersebut harus dinotifikasi kepada Komite dalam jangka
waktu paling lama satu tahun sejak keberlakuan Agreement on Trade Facilitation.
Dalam jangka waktu dua tahun sejak tanggal notifikasi, negara terbelakang harus
menotifikasi tanggal implementasi. Jika negara terbelakang membutuhkan
waktu tambahan untuk melakukan notifikasi tanggal definitif ini, negara tersebut
dapat memohon Komite untuk memperpanjang jangka waktu notifikasi. 48

c. Kategori C
Kategori ini diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih
membutuhkan waktu dan membutuhkan bantuan dari negara/donor untuk
menerapkannya. Bantuan dapat berbentuk technical assisstance, capacity
building, dan financial assisstance. 49

Pada saat keberlakuan Agreement on Trade Facilitation, negara berkembang


berkewajiban untuk melakukan notifikasi komitmen Kategori C dan tanggal
corresponding indicative kepada Komite. Untuk tujuan tranparansi, notifikasi
dimaksud haruslah mencakup informasi mengenai bantuan teknis dan dukungan
capacity building yang dibutuhkan. Dalam jangka waktu satu tahun sejak
keberlakuan Agreement on Trade Facilitation, negara berkembang dan negara
donor menginformasikan Komite tentang kesepakatan pemberian bantuan
teknis atau dukungan capacity building. Negara non anggota WTO dimungkinkan
untuk menjadi negara donor. Selanjutnya, negara berkembang harus melakukan
notifikasi definitive dates (tanggal definitif) implementasi kategori C dalam
jangka waktu 18 bulan sejak tanggal penginformasian kesepakatan. Notifikasi ini
juga mencakup informasi perkembangan pemberian bantuan dan dukungan. 50

48 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation.

49 Pasal 14 Agreement on Trade Facilitation.

50 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation.


23

Dalam jangka waktu satu tahun sejak keberlakuan Agreement on Trade


Facilitation, negara terbelakang harus menotifikasi komitmen Kategori C dan
tanggal corresponding indicative kepada Komite. Selanjutnya, notifikasi informasi
bantuan dan dukungan capacity building yang dibutuhkan harus diserahkan
dalam jangka waktu paling satu tahun sejak notifikasi komitmen Kategori C.
Dalam jangka waktu dua tahun sejak notifikasi informasi, negara terbelakang
harus menotifikasi indicative dates komitmen Kategori C. Notifikasi ini mencakup
informasi tentang kesepakatan bantuan teknis dan dukungan capacity building.
Dalam kurun waktu 18 bulan sejak notifikasi indicative dates komitmen Kategori
C, negara terbelakang harus menotifikasi definitive dates implementasi kepada
Komite. Notifikasi ini mencakup perkembangan pemberian bantuan teknis dan
dukungan capacity building. 51

B. Gambaran Fasilitasi Perdagangan Indonesia

Berkenaan dengan fasilitasi perdagangan, Indonesia sebenarnya telah memulai


proses ini sejak tahun 1977. Pada tahun 1977, Indonesia sebagai salah satu
negara anggota ASEAN bersepakat tentang Preferential Trading Agreement.
Kemudian, pada tahun 1992, ASEAN Free Trade Area disepakati. ASEAN Free
Trade Area akan berakhir pada tahun 2015 dengan terbentuknya ASEAN
Economic Community 52 atau Masyarakat Ekonomi ASEAN. 53

Aliran bebas barang (free flow of goods) merupakan salah satu pilar utama
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Cetak biru aliran bebas barang Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015 54 ini dikenal sebagai ASEAN Trade Facilitation. Kebijakan

51 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation.

52 ASEAN Economic Community merupakan realisasi dari integrasi ekonomi yang termuat dalam

visi ASEAN 2020.

53 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008,

Jakarta), hal.71.

54Cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mencakup kerangka aliran bebas barang yang
meliputi: penghapusan hambatan tariff, penghapusan hambatan non-tarif, dan fasilitas
perdagangan lainnya.
24

tentang ASEAN Trade Facilitation dimaksudkan untuk memacu perekonomian di


kawasan Asia Tenggara, khususnya anggota-anggota ASEAN, dengan cara
memberikan berbagai kemudahan perdagangan di kawasan ASEAN. Diharapkan,
pada tahun 2015, perdagangan barang di kawasan ASEAN akan bebas
hambatan. 55

Selain itu, sejak tahun 1988, Indonesia secara implisit telah mengakui
pentingnya fasilitasi perdagangan. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
1988, 56 Indonesia menetapkan kebijakan pembangunan perdagangan luar negeri
Indonesia harus diarahkan untuk peningkatan efisiensi perdagangan dalam dan
luar negeri. Hal ini berarti, pada hakekatnya, isu fasilitasi perdagangan telah
diatur secara tertulis dalam hukum nasional Indonesia sejak tahun 1988.

Sebagaimana telah dijelaskan, Indonesia telah memulai proses fasilitasi


perdagangan sejak tahun 1977 dan memuat pengaturan fasilitasi perdagangan
dalam ketentuan nasional sejak tahun 1988. Bahkan, komitmen Indonesia
sebagai salah satu pendiri Negara APEC ditunjukkan. Indonesia telah
melaksanakan 30 komitmen dari 39 komitmen terkait prosedur perdagangan. 57

Selain itu, berdasarkan penilaian Bank Dunia, Indonesia telah mengalami


kemajuan yang mantap dalam penerapan reformasi perdagangan pada beberapa
tahun terakhir. 58 Namun, Bank Dunia dalam survei Doing Business 2013

55 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008,
Jakarta), hal.71-72.

56TAP MPR RI No. II/MPR/1988 Tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR RI No.
I/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara,
http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/88TAPMPR-II.pdf, diakses pada tanggal 10 Juli 2014.

57 Yose Rizal Damuri, “An Evaluation of the Need for Selected Trade Facilitation Measures in

Indonesia: Implications for the WTO Negotiations on Trade Facilitation”, Asia-Pacific Research and
Training Network on Trade Working Paper Series No.10 (April 2006), hal.7.

58 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.


25

menempatkan Indonesia dalam rangking 54 dari 184 negara. 59 Untuk


dokumentasi ekspor/impor, indikator yang digunakan adalah jumlah dokumen
untuk ekspor/impor yaitu banyaknya dokumen yang diperlukan per pengiriman
untuk ekspor/impor barang dokumen yang diperlukan untuk clearance oleh
kementerian terkait, otoritas bea dan cukai, otoritas pelabuhan dan terminal,
kesehatan, lembaga teknis dan perbankan.

Waktu ekspor/impor adalah waktu yang diperlukan dalam memenuhi semua


prosedur yang diperlukan untuk mengekspor barang-barang. Apabila prosedur
dapat dipercepat dengan biaya tambahan, prosedur hukum legal tercepat yang
dipilih. Adapun biaya ekspor/impor adalah biaya dalam mengurus semua
prosedur yang diperlukan untuk mengekspor barang-barang. Termasuk biaya
untuk dokumen, biaya administrasi untuk bea dan cukai dan pengawasan teknis,
biaya broker bea dan cukai, biaya penanganan terminal dan transportasi darat.

Perbandingan Dokumen, Waktu dan Biaya Perdagangan Antar Negara

Biaya
Jumlah
Waktu Ekspor Jumlah Waktu Biaya
Negara/ Rangki Dokum
Untuk (US$ Dokumen Untuk Impor (US$
Grup ng en
Ekspor per Untuk Impor per
Negara 2013 Untuk
(hari) Kontain Impor (hari) Kontainer)
Ekspor
er)
Singapore 1 3 6 460 3 4 440
Malaysia 5 4 11 450 4 8 485
Thailand 24 5 14 595 5 13 760
Brunei
Darus- 39 5 19 705 5 15 770

59
http://www.doingbusiness.org/rankings, diakses pada tanggal 5 Juli 2014.
26

Salam
Philippines 42 6 15 585 7 14 660
Indonesia 54 4 17 615 8 23 660
Vietnam 65 5 21 610 8 21 600
Lao PDR 161 10 23 1.950 10 26 1.910
East Asia &
Pacific .. 6 21 856 7 22 884
OECD high
income .. 4 11 1.070 4 10 1.090

Sumber: Doing Business 2013. 60

Dari tabel diatas, Indonesia berada dalam rangking 54 dari 184 negara yang
disurvei. Apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia relatif
tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Thailand; sedangkan, bersama Brunei,
Filipina dan Vietnam relatif berada dalam level yang kurang lebih sama.

Peningkatan ekspor produk-produk manufaktur dan terproses Indonesia


mengalami kemajuan terbatas di tengah pertumbuhan ekspor komoditas
berbasis sumber daya meningkat tajam. Daya saing produsen-produsen
Indonesia sungguh memprihatinkan dibandingkan produsen berbiaya rendah,
baik di dalam negeri maupun di pasar asing. Timbullah pertanyaan berkenaan
dengan daya saing sektor manufaktur Indonesia mengingat menurunnya
pertumbuhan bidang manufaktur dan menyurutnya pangsa ekspor sektor
manufaktur. 61

60
http://www.doingbusiness.org/~/media/giawb/doing%20business/documents/profiles
/country/idn.pdf, diakses pada tanggal 20 Juli 2014.

61 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.


27

Sistem logistik yang buruk mengakibatkan tingkat hubungan perdagangan


Indonesia 62 rendah. Hal ini berdampak pada daya saing produk-produk
Indonesia yang turun dan beratnya perdagangan. Selain itu, biaya transportasi
produk tinggi, baik biaya transportasi antarpulau dari Indonesia bagian timur ke
pulau Jawa, maupun biaya transportasi darat. Akibatnya, harga produk yang
hendak dijual melambung tinggi. Lebih murah mengimpor jeruk dari Cina
daripada mengirim buah jeruk dari Sulawesi Utara ke pulau Jawa. 63

Tidak hanya itu, kinerja pelabuhan Jakarta dan pelabuhan Surabaya menjadi
yang terburuk. Padahal, pelabuhan-pelabuhan tersebut merupakan pelabuhan-
pelabuhan utama Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan keterpurukan
kinerja kedua pelabuhan utama tersebut yaitu: biaya logistik inter pulau yang
tinggi, kemacetan parah di pulau Jawa, dan kualitas buruk jalan di luar pulau
Jawa. 64 Selain kinerja yang terburuk, faktor lain yang perlu diperhatikan
sehubungan pelabuhan Jakarta ialah pelabuhan Jakarta belum berstatus sebagai
pelabuhan internasional. 65 Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat
pelabuhan Jakarta atau pelabuhan Tanjung Priuk merupakan pelabuhan utama
dan tersibuk Indonesia. 66

Meskipun kemajuan telah dicapai Indonesia dalam meningkatkan tingkat


efisiensi pelabuhan dan bea dan cukai, akan tetapi Indonesia masih
membutuhkan peningkatan lebih lanjut. Sebagai contoh, rata-rata jangka waktu
yang diperlukan untuk waktu tunggu kontainer impor di terminal utama

62 Hubungan perdagangan adalah masalah yang memberikan tantangan yang berbeda


bergantung pada apakah hambatannya mempengaruhi hubungan perdagangan internasional,
antar pulau atau dalam pulau.

63 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.

64 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.

65http://dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-belum-memiliki-pelabuhan

-internasional, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.

66 http://www.indonesiaport.co.id/read/tanjung-priok.html, diakses pada tanggal 20 Juli 2014.


28

kontainer ialah lima hari. Jangka waktu ini lebih lama dibandingkan sebagian
besar waktu tunggu yang dibutuhkan pelabuhan-pelabuhan di wilayah tersebut,
yaitu sekitar kurang dari tiga hari. Waktu yang dibutuhkan bagi penyelesaian
impor kontainer kosong ialah setengah dari waktu yang dibutuhkan kontainer
penuh. Hal ini mengindikasikan bahwa bukan karena prasarana yang tidak
memadai yang menyebabkan sebagian besar penundaan tetapi pengawas
perbatasan dan prosedur pemeriksaanlah yang menyebabkan sebagian besar
penundaan. Meskipun ekonomi Indonesia sangat terbuka dalam hal tarif, namun
hambatan non-tarif semakin mengalami peningkatan yang mencemaskan. 67
Rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai juga yang menjadi penyebab
rendahnya peringkat logistik Indonesia di dunia. 68

Pada hakekatnya, Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan


penyederhanaan prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perdagangan.
Namun, pengeluaran sejumlah kebijakan tersebut tidak cukup memadai sebab
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut belum mencapai hasil yang
diharapkan. Upaya yang lebih besar dibutuhkan Indonesia untuk berhasil.
Sebagai contoh, Indonesia menciptakan single window bagi perdagangan (NSW)
untuk menggantikan sistem manual dengan sistem online. Meskipun demikian,
para pelaku perdagangan masih harus mengunjungi setiap lembaga satu-per-
satu. Bahkan, sistem elektronis bukannya menghilangkan sistem manual, sistem
elektronis justru tampaknya dilakukan bersamaan dengan sistem manual,
sehingga berakibat pada dua kali penyerahan dan dua kali pemeriksaan. 69

67 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.

68 Tahun 2012, nilai pelayanan bea dan cukai Indonesia mendapat nilai 2,53 (skala 0-5).

Meskipun nilai ini meningkat dari nilai pelayanan tahun 2010 yang hanya mendapat nilai 2,43,
tetapi masih lebih rendah dibandingkan nilai pelayanan tahun 2007 yang mendapat nilai 2,73.
Lihat http://www.sindoweekly-magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjen-
bea-cukai, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014.

69 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.


29

Penguatan institusi perdagangan dan investasi utama Indonesia juga telah


diupayakan Bank Dunia melalui pendanaan dari Fasilitas Multi Donor untuk
Perdagangan dan Iklim Investasi (Multi-Donor Facility for Trade and Investment
Climate - MDFTIC), agar sektor perdagangan Indonesia lebih kompetitif serta
memperbaiki iklim investasi. Multi-Donor Facility for Trade and Investment
Climate ini didirikan pada bulan Nopember 2008 atas permintaan Kementrian
Perdagangan dan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Multi-Donor
Facility for Trade and Investment Climate berlangsung sampai dengan tahun
2013. 70

Kerjasama antara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian


Perdagangan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan Bank Dunia dijalin
dalam rangka mendukung perdagangan masuk, keluar dan di dalam Indonesia.
Upaya Pemerintah untuk mendorong upaya fasilitasi perdagangan, seperti
National Single Window Indonesia dan pengembangan Cetak Biru Logistik
Nasional, mendapat dukungan Bank Dunia. Dukungan Bank Dunia tersebut
mencakup hal-hal sebagai berikut: 71
a. Memberi rekomendasi praktik terbaik dalam mengatur kelembagaan dan
pemrosesan reformasi kebijakan pendukung perdagangan.
b. Pelatihan pengelolaan risiko bagi lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat
di dalam NSW.
c. Memperkuat kapasitas kelembagaan Kementerian Perdagangan agar dapat
mengambil keputusan kebijakan dengan dasar informasi yang mencukupi.
d. Mendukung pembangunan kapasitas Kementerian Perdagangan untuk lebih
memahami sifat dan dampak dari hambatan non-tarif.
e. Memperkuat kapasitas lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi sektor
swasta untuk melakukan dialog tentang layanan dan hubungan perdagangan.

70 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.

71 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.


30

Pada tahun 2013, the Organisation for Economic Co-Operation and Development
(OECD) telah melakukan penelitian terhadap gambaran fasilitasi perdagangan
Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membantu Pemerintah
mengetahui kondisi kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan perjanjian fasilitasi
perdagangan. The Organisation for Economic Co-Operation and Development
menganalisis sektor-sektor mana yang berpotensi dan sektor-sektor mana yang
perlu perbaikan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan seperangkat
indikator yang dibentuk. Dengan memperoleh gambaran fasilitasi perdagangan
yang ada, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat menentukan prioritas
tindakan untuk meningkatkan sistem dalam fasilitasi perdagangan tersebut. 72

Dalam laporan dengan judul OECD Trade Facilitation-Indonesia, The


Organisation for Economic Co-Operation and Development memaparkan tentang
peninjauan performa Indonesia dalam fasilitasi perdagangan. Indonesia dinilai
cukup baik dalam melaksanakan fasilitasi perdagangan, yakni berada di atas
rata-rata negara-negara ASEAN dan negara-negara berpenghasilan menengah ke
bawah, pada beberapa hal atau sektor. Beberapa hal atau sektor tersebut antara
lain: biaya dan ongkos, harmonisasi dan simplifikasi dokumen, automation and
internal border agency co-operation (kerjasama petugas perbatasan dalam negeri
dan terotomatisasi). Namun, pada sektor ketersediaan informasi dan
streamlining procedures (penyederhanaan birokrasi), Indonesia masih berada di
bawah rata-rata negara di Asia dan negara-negara berpenghasilan menengah ke
bawah. 73

72OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for

Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-


trade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014.

73 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for
Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-
trade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
31

C. Penerapan Fasilitasi Perdagangan bagi Kelancaran Arus Barang

Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa Fasilitasi Perdagangan,


sebagai salah satu variabel pembentuk arus perdagangan memberikan
kontribusi dalam peningkatan nilai arus perdagangan internasional. 74 Penerapan
fasilitasi perdagangan secara efisien akan meningkatkan arus barang baik ekspor
maupun impor. Bahkan, Indonesia telah menegaskan beberapa manfaat fasilitasi
perdagangan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1988. Beberapa manfaat
tersebut antara lain: memperlancar arus barang dan jasa; mendorong
pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat; menunjang
efisiensi produksi; meningkatkan ekspor; memperluas lapangan kerja dan
kesempatan berusaha; meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat
serta memantapkan stabilitas ekonomi.

Beberapa studi yang bertujuan untuk melihat peran fasilitasi perdagangan


terhadap kelancaran arus barang telah banyak dilakukan. Studi yang dilakukan
oleh Milner C, Morrissey O dan Zgovu E, pada tahun 2005 memaparkan dampak
penerapan fasilitasi perdagangan terhadap perdagangan. Selain itu, studi yang
telah dilakukan oleh APEC pada tahun 2004 menunjukkan bahwa dengan
menggunakan model gravitasi, peningkatan prosedur bea dan cukai sebesar 10%
akan mendorong impor intra-APEC sebesar 0,5%. 75 Sementara studi yang
dilakukan oleh Wilson et al pada tahun 2003, dengan menggunakan model
gravitasi menunjukkan hasil bahwa peningkatan efisiensi kepelabuhan memiliki
efek positif yang lebih besar terhadap perdagangan dibandingkan kemajuan di
bea dan cukai. 76

74 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008,

Jakarta), hal.71-72.
75 Chris Milner, Oliver Morrissey and Evious Zgovu, Trade Facilitation in Developing Countries,

http://www.nottingham.ac.uk/credit/documents/papers/08-05.pdf, diakses pada tanggal 20 Juli


2014.

76John S. Wilson, Catherine L. Mann and Tsunehiro Otsuki, Trade Facilitation and Economic
Development: Measuring the Impact, World Bank Policy Research Working Paper 2988, March
2003,
32

Studi dengan metode grativitasi yang dilakukan APEC menunjukkan bahwa baik
negara ekspor dan negara impor sama-sama akan mendapatkan efisiensi
keuntungan. Sebagai contoh, dalam perdagangan Chili dan New Zealand, kedua
Negara mendapatkan keuntungan. Chili meningkatkan kemajuan pelabuhan;
sedangkan, New Zealand memiliki kemampuan teknologi informasi yang tinggi.
New Zealand akan menerima manfaat kemajuan pelabuhannya Chili; sementara
itu, Chili akan menikmati kemajuan teknologi informasinya New Zealand.
Efisiensi yang tercipta dengan mengurangi hambatan dapat menumbuhkan
transaksi ekonomi suatu Negara. 77

Faktor kunci integrasi ekonomi dunia ialah negara-negara mampu mengirimkan


barang dan jasa tepat waktu dengan biaya terendah. Volume perdagangan yang
mengalami ekspansi mengakibatkan pembentukan kebijakan yang
meminimalisir hambatan non-tarif dan percepatan pergerakan barang dan jasa
melewati batas Negara, yakni fasilitasi perdagangan. Tujuan dari fasilitasi
perdagangan ialah efisiensi prosedur perdagangan melalui simplifikasi dan
harmonisasi dokumentasi, prosedur dan aliran informasi. 78

Peran fasilitasi perdagangan dalam perdagangan internasional sangatlah


penting. Bahkan, fasilitasi perdagangan dinilai sebagai ‘plumbing of international
trade’ (pipa saluran bagi perdagangan internasional). 79 Hal ini mengindikasikan
pentingnya peranan fasilitasi perdagangan dalam memastikan kelancaran arus
barang.

http://elibrary.worldbank.org/doi/pdf/10.1596/1813-9450-2988, diakses pada tanggal 20 Juli


2014.

77 John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, op. cit., hal.382-383.

78 Jayanata Roy dan Shweta Bagai, Key Issue in Trade Facilitation: Summary of World Bank/EU

Workshop in Dhaka and Shanghai in 2004, World Bank Policy Research Working Paper No.3703,
hal.18.

79 Andrew Grainger, Trade Facilitation: A Conceptual Review, Journal of World Trade, 45:1, hal.40.
33

Pelaksanaan fasilitasi perdagangan memberikan beberapa manfaat, antara


lain: 80
(1) Manfaat dari segi alur perdagangan
Salah satu manfaat yang akan diperoleh negara berkembang dengan
keberlakuan fasilitasi perdagangan adalah keuntungan dari alur
perdagangan. Hal ini disebabkan, dengan fasilitasi perdagangan, transit
barang di negara berkembang tersebut menjadi lebih mudah. Akibatnya, alur
perdagangan di negara yang bersangkutan akan meningkat dan menarik
minat para eksportir importer.
(2) Manfaat dari segi pendapatan negara
Perbaikan infrastruktur bea dan cukai merupakan salah satu syarat penting
dalam pelaksanaan fasilitasi perdagangan. Perbaikan ini membutuhkan dana
besar. Akan tetapi, dengan perbaikan infrastruktur ini, negara tersebut akan
mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar, antara lain: meningkatkan
efektivitas petugas bea dan cukai dalam menarik bea masuk dan
meminimalisir terjadinya penyelundupan barang 81. Akibatnya, pendapatan
negara jauh lebih besar sebab bea dan cukai yang diterima negara akan jauh
lebih banyak dan penerimaan pajak dari penjualan barang-barang pun juga
meningkat.
(3) Manfaat dari segi terjadinya penanaman modal asing
Salah satu alasan investor asing bersedia menanamkan modalnya di suatu
negara adalah upah tenaga kerja yang murah. Negara berkembang dapat
memenuhi kriteria ini. Minat para investor asing untuk menanamkan modal
di Indonesia akan semakin besar jika fasilitasi perdagangan dilaksanakan. Hal
ini disebabkan fasilitasi perdagangan mempermudah para investor asing

80Brent Layton, “Trade Facilitation: A Studi in the Context of the ASEAN Economic Community
Blueprint”, ERIA Research Project Report, (Januari 2007), hal.87.

81 Tingkat risiko negara dijadikan sebagai tempat penjualan barang tidak sehat atau barang
terlarang semakin dapat dihilangkan.
34

dalam melakukan investasi, misalnya dalam mengimpor barang dari luar


negeri dan mengekspor hasil produk mereka ke luar negeri.

Prosedur administrasi dalam perdagangan internasional yang tidak jelas dapat


mengakibatkan terpuruknya nilai impor dan memperbesar terjadinya korupsi.
Akibatnya, daya saing industri-industri yang menggunakan komponen impor
menurun. Reformasi fasilitasi perdagangan tidak hanya akan membantu
meningkatkan kesempatan kerja pada industri-industri yang bernilai tinggi, akan
tetapi juga meningkatkan perdagangan domestik dan internasional. 82

Berdasarkan analisis the Organisation for Economic Co-operation and


Development terhadap negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah,
faktor-faktor penting yang mempengaruhi peningkatan arus perdagangan
bilateral dan penurunan biaya perdagangan adalah dokumen formalitas,
prosedur terotomatisasi, pemerintahan, serta ketersediaan informasi. 83
Pelaksanaan fasilitasi perdagangan sangat berpengaruh terhadap peningkatan
daya saing perdagangan negara-negara berkembang. Akses ke jaringan logistik
regional maupun internasional yang cepat dan handal sangat dibutuhkan dalam
perdagangan internasional. Akibatnya, pelaksanaan ekspor, impor dan prosedur
bea masuk akan lebih efisien. 84

Dalam perkembangan dewasa ini, banyak Regional Trade Agreement mencakup


banyak aspek fasilitasi perdagangan. Hal ini mengakibatkan harmonisasi
prosedur fasilitasi perdagangan menghadapi tantangan yang tak terduga.
Walaupun demikian, pelaksanaan fasilitasi perdagangan dalam ketentuan
Regional Trade Agreement memberikan dampak sangat positif. Salah satunya

82 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.

83 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for

Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-


trade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014.

84Unites Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 1.
35

ialah perubahan positif birokrasi dan perbaikan standar atas fasilitasi


perdagangan di level internasional. Selain itu, fasilitasi perdagangan menaikkan
minat penanaman modal di tingkat nasional, regional dan multilateral. 85

Fasilitasi perdagangan juga sangat memberikan pengaruh positif terhadap


produksi barang dalam hal kecepatan dan kualitas barang. Hal ini dimungkinkan
sebab dengan pelaksanaan fasilitasi perdagangan, para produsen atau pedagang
dapat melakukan proses jual beli dengan mekanisme yang lebih mudah.
Mekanisme yang demikian membuat bea masuk yang semakin rendah. Kondisi
ini jelas menyebabkan kecepatan dan kualitas barang yang diproduksi dapat
semakin diperhatikan oleh industri manufaktur. 86

Beberapa pertimbangan pelaksanaan fasilitasi perdagangan yaitu, antara lain: 87


a. Pemenuhan permohonan produsen terkait syarat-syarat formalitas
perdagangan yang dinilai tidak mendukung proses perdagangan
internasional. Syarat-syarat formalitas yang transparan dan efesien
mempermudah prediksi produsen dalam menjalankan jual beli lintas batas
negara;
b. Pentingnya peningkatan efisiensi dan efektivitas administrasi untuk
meningkatkan pengawasan penuh pihak yang berwenang atas perdagangan
internasional. Ketika pengawasan penuh dimiliki pihak berwenang, maka lalu
lintas perdagangan illegal akan semakin terlacak, sehingga keselamatan dan
keamanan publik akan semakin terjaga. Selain itu, pendapatan negara juga
dapat semakin meningkat sebab pengawasan penuh pihak berwenang
meminimalisir pemberian keterangan palsu dalam laporan impor barang.

85 United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,

No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 2.

86 United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,

No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 6.

87United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 6.
36

c. Pelaksanaan fasilitasi perdagangan berarti mereformasi pembangunan.


Untuk dapat menerapkan fasilitasi perdagangan dengan baik, dibutuhkan
investasi pada sumber daya manusia dan kerjasama kelembagaan sebagai
sarana meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik. Akibatnya,
kontribusi secara langsung dapat diberikan untuk pembangunan jangka
panjang suatu negara.

Biaya perdagangan terkait erat dengan penerapan fasilitasi perdagangan.


Pelaksanaan fasilitasi perdagangan dapat meningkatkan Export Gross Domestic
Product dan Import Gross Domestic Product yang menekankan pada rasio
globalisasi ekspor dan impor suatu negara berdasarkan kemampuan ekonomi
atau output dari ekonomi negara dimaksud dalam arus dan produksi barang. 88
The Organisation for Economic Cooperation and Development menganalisis
perkiraan penurunan biaya perdagangan akibat penerapan fasilitasi
perdagangan.

Berdasarkan hasil analisis The Organisation for Economic Cooperation and


Development, fasilitasi perdagangan akan mengurangi biaya perdagangan
sebesar: 14,1 persen di negara-negara berpenghasilan rendah; 15,1 persen di
negara-negara berpenghasilan rendah-menengah; dan 12,9 persen di negara-
negara berpenghasilan menengah-atas. Pada tingkatan dunia, pengurangan biaya
perdagangan global sebesar satu persen berarti peningkatan pendapatan dunia
sebesar US$40 miliar (empat puluh milyar US Dollar). Negara berkembang dan
negara kurang berkembanglah yang akan menikmati manfaat sebagian besar
peningkatan pendapatan ini. 89

88T.M. Joseph, New Governance Paradigm: Issues in Development, (Delhi: Kalpaz Production,
2008), hal.59.

89OECD, Trade Facilitation Agreement would add billions to global economy says OECD, tanggal 03
Mei 2013, http://www.oecd.org/trade-trade-facilitation-agreement-would-add-billions-to-
global-economy-says-oecd.htm, diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
37

Potensi peningkatan pendapatan negara berkembang sebagai akibat reformasi


fasilitasi perdagangan juga dikemukakan oleh studi ekonometrik dengan
menggunakan bukti empiris. Bahkan, tidak hanya keuntungan ekonomi dalam
bentuk peningkatan pendapatan riil yang akan diperoleh negara berkembang,
tetapi juga keuntungan ekonomi dalam bentuk peningkatan perdagangan.
Ekspor negara berkembang diperkirakan akan mengalami peningkatan. Studi
ekonometrik itu menegaskan potensi keuntungan reformasi fasilitasi
perdagangan sebagaimana dipaparkan di atas juga akan dinikmati negara maju.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa fasilitasi perdagangan dapat membawa
dampak negatif bagi negara berkembang. Dampak negatif tersebut ialah
terjadinya ketidakseimbangan neraca pembayaran sebagai akibat peningkatan
impor yang lebih cepat daripada peningkatan ekspor. 90 Kebenaran pendapat ini
masih harus diperdebatkan. Kekuatan ekonomi makrolah yang menentukan
keseimbangan necara pembayaran suatu negara. Indikator mendasar kekuatan
ekonomi makro yaitu rasio tabungan untuk investasi. Dalam penentuan neraca
pembayaran, fasilitasi perdagangan hampir tidak berperan, kecuali dalam jangka
sangat pendek. Sebagai contoh, variabel ekonomi makro seperti nilai tukar
sedang mengalami penyesuaian. 91

90 Ekspor dari negara berkembang ke negara maju semakin sulit dilaksanakan tidak didasarkan

pada system kepabeanan. Namun, kesulitan ekspor tersebut didasarkan pada alas an kesehatan,
lingkungan hidup, hak asasi manusia, maupun kualitas standar barang yang tidak dapat dipenuhi
karena keterbatasan kapasitas teknologi.

91B Hoekman dan B Shepperd, Who Profits from Trade Facilitation Initiatives? EUI Working Paper
RSCAS 2013/49, San Domenico di Fiesole, 2013.
38

BAB III

KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN AGREEMENT ON TRADE


FACILITATION

Sebagaimana dipaparkan di atas, Agreement on Trade Facilitation terdiri atas tiga


bagian. Section I berisikan pasal-pasal yang memuat kewajiban yang harus
dipenuhi oleh negara-negara WTO, termasuk Indonesia jika Indonesia
meratifikasi Agreement on Trade Facilitation.

Berikut ialah kesiapan Indonesia terhadap setiap ketentuan Agreement on Trade


Facilitation:
Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation

Ketentuan Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation mengenai publikasi


merupakan tindak lanjut Pasal X GATT mengenai Publication dan Administration
of Trade Regulations. Di Indonesia, informasi yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) Agreement on Trade Facilitation yakni informasi tentang ekspor, impor,
transit, prosedur, tarif, pajak, permohonan, peraturan perundang-undangan,
prosedur administrasi dan lainnya termasuk dalam kategori informasi publik
menurut Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik. 92

92Definisi informasi publik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang
keterbukaan informasi publik adalah “Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan,
disimpan, dikelola, dikirim , dan/ atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan
Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan
dengan kepentingan publik”

Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik
dijelaskan mengenai informasi publik yang wajib disediakan yakni
a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
39

Pelaksanaan Pasal 1 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation dengan demikian


sudah dilakukan oleh Indonesia. Berbagai badan publik dan lembaga Pemerintah
juga telah memiliki situs yang menyediakan informasi terkait, contohnya situs
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kementrian Perdagangan. Indonesia juga
telah memiliki Indonesia National Single Window (INSW) 93 untuk mengurus
masalah perizinan. Indonesia National Single Window tersebut terintegrasi
dengan ASEAN Single Window. Indonesia National Single Window diatur dalam
Peraturan Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik
dalam Kerangka Indonesia National Single Window sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden No.35 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan
Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam
Kerangka Indonesia National Single Window.

Indonesia sudah memiliki beberapa situs terkait perlaksanaan perdagangan


internasional. Meskipun demikian, kemampuan untuk menjaga keamanan situs
masih belum memadai. Beberapa situs resmi kementerian rentan untuk
diretas. 94 Hal ini tentu berbahaya dalam pelaksanaan fasilitasi perdagangan.
Misalnya, apabila pelaku transaksi perdagangan internasional melakukan
tindakan hukum dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana
diinformasikan pada situs resmi Pemerintahan, namun yang bersangkutan
mengalami kerugian disebabkan informasi ketentuan yang diperoleh melalui

c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau


d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

93DefinisiINSW Menrurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2012 tentang
Perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam
Kerangka Indonesia National Single Window adalah “Sistem nasional Indonesia yang
memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single
submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron
(single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara
tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for
customs clearance and release of cargoes)”.

94http://tekno.kompas.com/read/2013/14/10095691/Mengapa.Situs.Pemerintah.RI.Kerap.Dire

tas, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.


40

situs resmi tidak akurat. Akibatnya, pelaku bisnis transaksi perdagangan


tersebut bisa mengajukan gugatan terhadap Pemerintah.

Lebih lanjut, belum ada tim yang dibentuk Pemerintah untuk memperbaharui
informasi yang ada pada situs tersebut, sehingga, pencapaian publikasi
sebagaimana ketentuan Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation masih
membutuhkan waktu. Seharusnya dibentuk sebuah tim yang terdiri dari
beberapa instansi terkait yang dikoordinir salah satu instansi agar publikasi
lebih terintegrasi dan lebih cepat diperbaharui. Selain itu, sampai dengan saat
ini, belum ada tim khusus Pemerintah yang bertugas menerjemahkan peraturan
perundang-undangan serta informasi lainnya ke dalam Bahasa Inggris. Jumlah
terjemahan Bahasa Inggris dari peraturan yang dipublikasikan melalui situs
resmi Pemerintah saat ini masih belum memadai dan jarang yang berbentuk
terjemahan Bahasa Inggris resmi.

Terkait dengan Pusat Informasi, sampai dengan saat ini Indonesia belum
memiliki pusat informasi yang terintegrasi mengenai ekspor, impor, transit, bea
dan juga pajak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Agreement on
Trade Facilitation. Indonesia National Single Window hanya memberikan
informasi mengenai perizinan dan pengguna juga tidak dapat mengajukan
pertanyaan pada situs ini. Oleh karena itu, pendirian Pusat Informasi termasuk
dalam hal dimana Indonesia membutuhkan technical assistance dalam
peningkatan kapasitas.

Pasal 88 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur


mengenai sistem informasi perdagangan untuk kebijakan dan pengendalian
perdagangan. 95 Menurut Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014

95Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa
“Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi
Perdagangan yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian
atau lembaga Pemerintah nonkementerian. Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014
41

tentang Perdagangan, sistem informasi perdagangan tersebut mencakup


perdagangan nasional maupun internasional. 96 Dalam sistem informasi
perdagangan, Menteri Perdagangan dapat meminta data dan informasi dibidang
Perdagangan kepada instansi lainnya. Hal ini diatur dalam Pasal 90 ayat (1)
Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 97 Meskipun telah diatur
mengenai sistem informasi perdagangan, namun belum diatur mengenai pusat
informasi yang dapat menjawab pertanyaan perdagangan secara komprehensif
dalam waktu cepat. Sistem informasi yang diatur dalam Pasal 89 ayat (1)
Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan baru bersifat satu arah
saja. 98

Untuk membentuk sebuah pusat informasi yang dapat menjawab pertanyaan


pengguna dibutuhkan banyak tenaga kerja yang handal yang mengerti tentang
teknologi informasi serta perdagangan baik nasional maupun internasional agar
dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Indonesia masih memiliki kendala
yang besar dalam penyediaan informasi dalam Bahasa Inggris serta dalam hal
mengurus situs-situs instansi terkait. Situs yang ada belum dapat
memperbaharui informasinya secara cepat dan belum ada layanan untuk
menjawab pertanyaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, Indonesia belum siap dalam hal publikasi dan
ketersediaan informasi dan dapat digolongkan dalam kategori C. Dibutuhkan

tentang Perdagangan menyebutkan bahwa Sistem informasi perdagangan digunakan untuk


kebijakan dan pengendalian Perdagangan”.

96Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa
data dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat data
dan/atau informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri.

97 Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa

“Menteri dalam menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan dapat meminta data dan
informasi di bidang Perdagangan kepadakementerian, lembaga Pemerintah nonkementerian, dan
Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggara urusan pemerintahan di bidang bea dan cukai,
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan badan/lembaga lainnya”.

98 Pasal 89 ayat (1) menyebutkan bahwa “Sistem Informasi Perdagangan mencakup


pengumpulan, pengolahan, penyampaian, pengelolaan, dan penyebarluasan data dan/atau
informasi Perdagangan”.
42

waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun untuk meningkatkan kualitas sumber


daya manusia dan kerjasama yang baik antara beberapa instansi/kementerian
terkait serta untuk memperbaiki teknologi informasi. Terlebih lagi, dibutuhkan
dana yang besar untuk perbaikan teknologi informasi. Selain itu, untuk pendirian
Pusat Informasi yang memadai juga dibutuhkan pendirian infrastruktur kantor
dan mendesain sistem manajemen yang efektif dan efisien.

Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation

Pada hakekatnya, Indonesia telah memiliki aturan mengenai kesempatan kepada


masyarakat untuk memberikan komentar terhadap rancangan peraturan.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 96 ayat (1), (2), dan
(3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Bahkan, Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjamin
kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses rancangan peraturan.

Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan 99 mengatur bahwa pemberian komentar
dimungkinkan sejak rancangan peraturan masih dalam pembahasan Program
Legislasi Nasional di lingkungan DPR. Lebih lanjut, Pasal 96 ayat (3) Undang-
Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan 100 menegaskan bahwa pihak yang berkepentingan berhak

99 Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan berbunyi “Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi,
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat”.

100 Pasal 96 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan berbunyi
“(1) Masyarakat berhak memberikan masukkan secara lisan dan/atau tertulis dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
(2) Masukkan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
43

memberikan komentar atau masukkan. Hal ini berarti terhadap rancangan atau
amandemen ketentuan fasilitasi perdagangan, produsen dan pedagang berhak
memberikan komentar. Komentar atau masukkan yang diberikan dapat secara
lisan maupun tertulis. 101 Cara penyampaian komentar pun dapat melalui
berbagai macam kesempatan. 102

Yang menjadi perdebatan ialah efektivitas pemberian komentar pihak terkait


terhadap rancangan peraturan. Hal ini disebabkan publikasi rancangan
peraturan belum dapat dinilai memadai. Meskipun sosialisasi rancangan
peraturan dilaksanakan, namun sosialisasi belum tersistematis dengan baik
untuk menjangkau mayoritas pihak terkait. Transaksi perdagangan internasional
merupakan transaksi yang berisiko besar sebab mempertautkan sistem hukum
dua negara. Perubahan aturan tanpa pemberitahuan dalam jangka waktu yang
memadai dapat menimbulkan konflik dalam pelaksanaan transaksi dimaksud.

Ketentuan Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation menegaskan bahwa publikasi


secara aktif haruslah dilakukan Pemerintah sesegera mungkin. Jika dikaitkan
dengan Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation, salah satu cara publikasi
informasi ialah publikasi melalui internet atau secara elektronik. Meskipun
Indonesia telah mempublikasikan peraturan melalui internet, namun belum
pernah publikasi rancangan peraturan dilakukan secara elektronik, terlebih
melalui situs resmi kementerian atau badan/lembaga pemerintahan.

d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi


(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan”.

101Ditegaskan dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

102Berdasarkan Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, komentar tersebut dapat dilakukan melalui: rapat dengar
pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya maupun diskusi.
44

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation,


Indonesia diwajibkan untuk menyelenggarakan konsultasi berkala antara
otoritas kepabeanan dengan pedagang atau pihak terkait. Sayangnya, konsultasi
berkala dimaksud belum pernah dilaksanakan Indonesia. Terlebih lagi, belum
ada pengaturan berkenaan dengan konsultasi berkala tersebut.

Dengan demikan, instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 2 Agreement on


Trade Facilitation dan faktor penunjang pelaksanaan pasal ini belum memadai.
Pelaksanaan pasal ini membutuhkan sumber daya manusia kompeten dan
teknologi informasi yang memadai. Hal ini disebabkan publikasi rancangan
peraturan fasilitasi perdagangan perlu dilakukan melalui internet baik dalam
bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, kesiapan
Indonesia untuk pelaksanaan pasal ini dapat digolongkan ke dalam kategori C
sebab Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan untuk capacity
building. Dibutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kerjasama yang baik antara
beberapa instansi/kementerian terkait serta untuk memperbaiki teknologi
informasi. Terlebih lagi, dibutuhkan dana yang besar untuk perbaikan teknologi
informasi.

Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation

Di Indonesia, advance ruling merupakan suatu surat penegasan (ruling) atas


suatu transaksi (umum atau spesifik) yang dikelarkan Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) kepada wajib pajak. Sebagai salah satu instrumen penting, 103 advance
ruling berperan untuk membantu wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban
pajak dengan benar. Advance ruling ialah suatu surat tentang perlakuan
perpajakan atas suatu transaksi yang spesifik yang akan dilakukan atau dihadapi

103 dalam sistem perpajakan modern. advance ruling berperan penting dalam negara dengan self

assessment system. Self assessment system ialah sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan
penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
kewajiban pajaknya.
45

oleh wajib pajak tersebut. 104 Advance ruling diberikan sebelum wajib pajak
melakukan suatu transaksi atau sebelum melaporkan Surat Pemberitahuan
(SPT). Dengan adanya advance ruling akan mempermudah wajib pajak dalam
memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. 105

Advance ruling di Indonesia baru mengatur mengenai rules of origin. Mengenai


rules of origin antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia No.17/M-Dag/Per/9/2005 tentang Penerbitan Surat Keterangan Asal
(Certificate of Origin) untuk Barang Ekspor Indonesia serta Peraturan Direktur
Jenderal Bea dan Cukai No.Per-55/Bc/2011.

Instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation


belum memadai. Pelaksanaan pasal ini juga membutuhkan sumber daya manusia
kompeten. Selain itu, diperlukan kajian mendalam tentang advance rulings
berkenaan dengan perdagangan internasional itu sendiri dan pelaksanaannya di
beberapa negara lain. Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan
Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke dalam kategori C.
Setidaknya Indonesia membutuhkan waktu 15 tahun untuk mempersiapkan diri
melaksanakan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation.

Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation

Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a Agreement in Trade Facilitation diakomodir


dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yakni pada BAB XIII mengenai
keberatan atau banding. Pada BAB XIII Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

104 Darussalam dan Danny Septriadi, dalam tulisannya di majalah Inside Tax, Desember 2007.

Edisi 02. Jakarta, hal.19.

105Thuronyi, Victor, Tax Law Design and Drafting , (New York:International Monetary Fund,
1996), hal 61.
46

mengatur bahwa pihak-pihak yang keberatan dengan penetapan pejabat bea dan
cukai dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pengajuan ini diatur dalam Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, 106 Pasal 93A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 107 dan
Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 108 Ketentuan lainnya
terdapat pada Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Jika dilihat dari ketentuan pada Pasal 4 ayat (1) huruf a Agreement on Trade
Facilitation, maka ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia telah
memenuhi Pasal tersebut. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pejabat Direktorat Bea dan Cukai
yang mengeluarkan penetapan yang dimintai keberatan tersebut. Jadi ketentuan
perundang-undangan di Indonesia telah memenuhi Pasal ini 4 ayat (1) huruf a
Agreement on Trade Facilitation.

Dalam hal ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Agreement on Trade Facilitation,
Indonesia juga telah memenuhi ketentuan ini. Setelah upaya keberatan telah

106Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan
pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60
(enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang
harus dibayar”.

107 Pasal 93A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap
penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu
60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan”.

108 Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang dikenai sanksi administrasi
berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal
dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan
jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan”.
47

dilakukan dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai telah mengeluarkan penetapan
ataupun keputusan terkait keberatan yang diajukan padanya, maka orang yang
berkeberatan dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak
atas. Hal ini disebutkan dalam Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan 109 serta Pasal 31 ayat (1) 110 jo Pasal 1 angka 5 111 jo Pasal 1 angka
2 112 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Upaya
banding tersebut merupakan proses litigasi yang berarti sesuai dengan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Agreement on Trade Facilitation.

Apabila dilihat dari Pasal 4 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia
juga mengatur hal ini meskipun hal ini bukan suatu kewajiban. Untuk melakukan
upaya banding ke Pengadilan Pajak, maka yang harus dilakukan ialah melalui
upaya keberatan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Setelah adanya Penetapan atau Keputusan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai,
maka pihak yang merasa keberatan dengan Penetapan atau Keputusan dari
Direktur Jenderal Bea dan Cukai tersebut dapat mengajukan banding ke

109 Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan
Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4),
atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah
pungutan yang terutang dilunasi”.

110Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak”.

111Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau
penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undangundang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”.

112 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Pajak

adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai,
dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
48

pengadilan pajak menurut Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang


Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 113
Ketentuan Pasal 4 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, mengatur bahwa
setiap anggota WTO diharuskan untuk bisa memastikan bahwa prosedur ini
dijalankan dengan perlakuan non diskriminasi. Maksud penggunaan kata non-
discriminatory manner ini adalah karena para anggota WTO ini bermaksud
menggabungkan dua prinsip WTO yaitu Most Favoured Nation dan National
Treatment. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, tidak
diberikan perlakuan yang berbeda antara pihak asing yang satu dengan pihak
asing yang lain, maupun antara pihak asing dan pihak lokal. Setiap pihak
memiliki hak sama untuk mengajukan keberatan atau banding mengenai
sengketa dalam kepabeanan. Dengan demikian, Indonesia telah memenuhi
ketentuan dari Pasal 4 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation.

Ketentuan Pasal 4 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation mengatur tentang


masalah jangka waktu penyelesaian sengketa di bidang kepabeanan. Di
Indonesia, mengenai jangka waktu diputusnya suatu keberatan diatur dalam
Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 114 93A ayat (2)
Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 115 dan Pasal 94 ayat (2) Undang-

113Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan
Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4),
atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah
pungutan yang terutang dilunasi”.

114 Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak
diterimanya pengajuan keberatan”.

115 Pasal 93A ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak
diterimanya pengajuan keberatan”.
49

Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10


Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 116 Jangka waktu diputusnya banding atas
keberatan keputusan atau penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai diatur
dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak 117 dan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak. 118 Dengan demikian, Indonesia telah mengatur secara jelas
mengenai waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa dalam masalah
kepabeanan.

Pasal 4 ayat (5) dan (6) Agreement on Trade Facilitation lebih menekankan
mengenai transparansi atas putusan yang dibuat. Berdasarkan Pasal 3 Undang-
Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, 119 pemberian alasan wajib dilakukan
sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Kewajiban memberikan
pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan juga merupakan kewajiban
menurut Pasal 68A ayat (1) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan

116 Pasal 94 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak
diterimanya pengajuan keberatan.

117Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak Surat Banding diterima”.

118Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperpanjang paling
lama 3(tiga) bulan”.

119Pasal 3 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berbunyi “Asas-asas umum penyelenggaraan negara
meliputi:
a) Asas Kepastian Hukum;
b) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
c) Asas Kepentingan Umum;
d) Asas Keterbukaan;
e) Asas Proporsionalitas;
f) Asas Profesionalitas; dan
g) Asas Akuntabilitas”.
50

Umum 120 dan Pasal 68A ayat (2) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum. 121

Indonesia telah mengakomodir Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation dengan


dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
serta Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak telah
mengatur hal tersebut secara rinci serta telah menentukan jangka waktu agar
upaya keberatan dan banding dapat berjalan tidak berlarut-larut dan ada
kepastian kapan suatu kasus tersebut selesai. Dari segi transparansi, Indonesia
juga telah memiliki Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme untuk
menjamin penyelenggaraan negara tetap transparan dan Undang-Undang No.49
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum untuk menjamin penegakan hukum.

Yang penting untuk dikaji mendalam adalah praktek yang terjadi di lapangan.
Hal ini dengan pertimbangan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan
cukai. 122 Selain itu, praktek mafia peradilan masih kerap kali diduga terjadi
dalam berbagai kasus yang melibatkan tidak hanya pegawai pengadilan tetapi

120Pasal 68A ayat (1) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum berbunyi “Dalam memeriksa dan memutus
perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya”.

121 Pasal 68A ayat (2) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum berbunyi “Penetapan dan putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.

122 Tahun 2012, nilai pelayanan bea dan cukai Indonesia mendapat nilai 2,53 (skala 0-5).
Meskipun nilai ini meningkat dari nilai pelayanan tahun 2010 yang hanya mendapat nilai 2,43,
tetapi masih lebih rendah dibandingkan nilai pelayanan tahun 2007 yang mendapat nilai 2,73.
Lihat http://www.sindoweekly-magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjen-
bea-cukai, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014.
51

juga aparat penegak hukum. 123 Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk
pelaksanaan Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke
dalam kategori C dengan jangka waktu yang dibutuhkan setidaknya 15 (lima
belas) tahun. Indonesia membutuhkan dukungan capacity building, dalam
bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia baik sumber daya manusia di
lingkungan bea dan cukai maupun sumber daya manusia di lingkungan
pengadilan pajak. Selain itu, Indonesia juga harus meningkatkan kesejahteraan
para pegawai terkait serta memperkuat mekanisme pengawasan terhadap para
pegawai tersebut dalam pelaksanaan tugas mereka.

Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation

Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation mengatur mengenai sanitary dan


phytosanitary sebagaimana diatur dalam Sanitary and Phytosanitary Agreement.
Sanitary and Phytosanitary Agreement tersebut melaksanakan ketentuan Pasal
20 huruf b General Agreement on Tariffs and Trade. Larangan atau pembatasan
Perdagangan Barang dan/atau Jasa yang berbahaya yang berkaitan dengan
lingkungan hidup diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf d Undang-Undang No.7
Tahun 2014 tentang Perdagangan. 124 Dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-
undang Perdagangan, 125 Pemerintah juga memberikan pembatasan berkaitan
dengan lingkungan hidup. Mengenai perlakuan terhadap barang yang dilarang
atau dibatasi, diatur dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006

123
http://www.ibanet.org/Article/Detail.aspx?ArticleUid=744f59c1-b745-49a3-830c-47e5ca7e5756,
diakses pada tanggal 2 September 2014.

124 Pasal 35 ayat (1) huruf d Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi

“Pemerintah menetapkan larangan atau pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa untuk
kepentingan nasional dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan,
ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup”.

125Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi

“Pemerintah melarang Impor atau Ekspor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan
untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan ingkungan
hidup”.
52

tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang


Kepabeanan. 126

Di Indonesia, aturan mengenai pemeriksaan barang terdapat pada Pasal 3 ayat


(1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 127 dan pada Pasal 3 ayat (2) Undang-
Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 128 Peraturan teknis mengenai pemeriksaan
fisik tersebut diatur lebih spesifik dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan
Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang Pemeriksaan Fisik Barang Impor. Definisi dari
pemeriksaan fisik sendiri dijelaskan pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur
Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang Pemeriksaan Fisik Barang
Impor. 129 Dalam hal aturan mengenai pembedaan besaran bea masuk diatur
dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 130

126Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Semua barang yang dilarang atau dibatasi
yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan
pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir dapat dibatalkan ekspornya,
diekspor kembali, atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai. Kecuali
terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.

127 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Terhadap barang impor dilakukan
pemeriksaan pabean.

128Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pemeriksaan pabean sebagaimana meliputi
enelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang”.

129 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang
Pemeriksaan Fisik Barang Impor berbunyi “Pemeriksaan fisik sebagai kegiatan yang dilakukan
oleh Pejabat Pemeriksa Barang untuk mengetahui jumlah dan jenis barang impor yang diperiksa
guna keperluan pengklasifikasian dan penetapan nilai pabean”.

130 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif
yang besarnya berbeda terhadap:
a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
internasional; atau
b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang
kiriman melalui pos atau jasa titipan”.
53

Pasal 5 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation sangat terkait dengan Badan
Pengawas Obat dan Makanan karena Badan Pengawas Obat dan Makanan
merupakan lembaga yang mengawasi peredaran obat dan makanan menurut
Pasal 73 Keputusan Presiden No.166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen. 131 Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan masih
memerlukan capacity building sehubungan dengan teknis pelaksanaan dan
manajemen rapid alert. Capacity building tersebut dilakukan dengan
meningkatkan sumber daya manusia dan peningkatan fasilitas. Selain terkait
dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Pasal ini erat kaitannya dengan
kepabeanan karena pemeriksaan dilakukan oleh kepabeanan. Jadi, diperlukan
integrasi antara Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.

Pasal 5 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation mengenai pemberitahuan telah


diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan tersebut
terdapat pada Pasal 5A Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 132 Aturan
mengenai hal ini juga terdapat dalam Pasal 1 angka 24 Keputusan Direktur
Jenderal Bea dan Cukai No. Kep- 07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor. 133

131Pasal 73 Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata KerjaLembaga Pemerintah Non Departemen
berbunyi Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat danmakanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.

132 Pasal 5A Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pemberitahuan pabean sebagaimana dapat


disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik”.
133 Pasal 1 angka 24 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep- 07/Bc/2003 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor berbunyi “Nota Pemberitahuan


adalah nota yang dibuat oleh Pejabat tentang adanya pelanggaran ketentuan
larangan/pembatasan impor”.
54

Pada prakteknya di Indonesia, prosedur penahanan sudah dilaksanakan namun


permasalahannya sering kali penahanan dilakukan secara berbelit-belit atau
kurang transparan. Selain itu, importir meminta kepada pihak ketiga untuk
mengurus masalah importasi. Hal tersebut tentu merugikan importir karena
mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak perlu. Perlu adanya sosialisasi
pada importir mengenai pengurusan importasi. Dengan demikian, perlu
dilakukan kajian mendalam berkenaan dengan pelaksanaannya di lapangan

Tentang prosedur tes kedua yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) Agreement on
Trade Facilitation belum diatur di Indonesia. Perlu adanya regulasi dan
pembangunan sarana dan teknologi yang berkaitan dengan prosedur tes kedua
seperti membentuk sistem informasi terkait laboratorium serta pengawasan
laboratorium tersebut secara berkala.

Oleh karena itu, untuk implementasi Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation,


Indonesia tergolong Kategori C. Hal ini dikarenakan masih banyak kekurangan
dalam bidang infrastruktur dan regulasi. Badan Pengawas Obat dan Makanan
dan pabean masih perlu bantuan teknis dalam bidang infrastruktur, sumber daya
manusia serta regulasi. Regulasi yang ada juga belum mengatur mengenai
prosedur tes kedua. Importasi di Indonesia juga sering dilakukan oleh pihak
ketiga, padahal salah satu hal utama dalam pemenuhan fasilitas perdagangan
ialah penyederhanaan proses administrasi agar dapat mengurangi biaya yang
dikeluarkan oleh pengusaha. Indonesia setidaknya membutuhkan waktu 15
(lima belas) tahun untuk implementasi Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation.

Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation

Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki fungsi implementasi


yaitu: 134

134“Gambaran Umum Kepabeanan Dan Cukai, Hubungan Pajak Bea Masuk/Bea Keluar Dan
Cukai,” http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKK6004/document/Gambaran_umum_
kepabeanan_dan_cukai.pdf?cidReq=HKK6004 diakses pada tanggal 21 Agustus 2014.
55

a. Trade Facilitator adalah memberi fasilitas perdagangan (antara lain


peningkatan kelancaran arus barang dan perdagangan) sehingga dapat
menekan ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya akan menciptakan iklim
perdagangan yang kondusif.
b. Industrial Assintance adalah memberi dukungan kepada industri dalam
negeri sehingga memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar internasional.
c. Revenue Collector adalah mengoptimalkan penerimaan negara melalui
penerimaan bea masuk dan cukai.
d. Community Protector adalah melindungi masyarakat dari masuknya barang-
barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menggangu kesehatan dan
keamanan serta moralitas

Biaya dan tarif yang dimaksud dalam Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation
sama dengan bea masuk 135 dan bea keluar 136 yang diatur dalam pada Undang-
Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Tujuan pengenaan bea keluar dijelaskan pada
penjelasan Pasal 2A ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 137 Tata
cara penghitungan bea masuk dijelaskan dalam Pasal 15 Undang-Undang No.17
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, yakni:
(1) Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari
barang yang bersangkutan.

135 Definisi bea masuk menurut Pasal angka 15 Undang-undang Kepabeanan adalah pungutan

negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor

136Definisi bea keluar menurut Pasal angka 15 Undang-undang Kepabeanan adalah pungutan
negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor

137 Pasal 2 A ayat (2) menyatakan bahwa tujuan bea keluar adalah:menjamin terpenuhinya
kebutuhan dalam negeri; melindungi kelestarian sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan
harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau menjaga
stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.
56

(2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan
nilai transaksi barang dari barang identik.
(3) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan
berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa.
(3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
itentukan berdasarkan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara
berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4).
(4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
ditentukan berdasarkan metode deduksi.
(5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan
metode komputasi.
(6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi aebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean
untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara
yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) berdasarkan data
yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasan tertentu.
57

(7) Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Adapun publikasi mengenai tarif yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) dalam
Agreement on Trade facilitation dapat diakses melalui situs bea dan cukai, yaitu
http://www.beacukai.go.id/. Dalam situs tersebut, dicantumkan ketentuan
mengenai tarif meskipun terdapat beberapa kekurangan. Mengenai jangka
waktu yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) dalam Agreement on Trade
Facilitation diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, 138 Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 139
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 140 Pasal 16 ayat (5)
Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 141 dan Pasal 16 ayat (6) Undang-
Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 142 Mengenai peninjauan tarif secara berkala

138 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif
terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean”.

139Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai
pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan
pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean”.

140 Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam hal penetapan tarif mengakibatkan
kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan , importir wajib
melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan penetapan”.
141 Pasal 16 ayat (5) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pembayaran bea masuk, pengembalian bea
masuk dibayar sebesar kelebihannya”.

142Pasal 16 ayat (6) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Ketentuan mengenai penetapan diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri”.
58

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation


belum dilaksanakan di Indonesia.

Selain Undang-undang Kepabeanan, juga terdapat Peraturan Pemerintah No.34


Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Peraturan
Menteri Keuangan No.6/PMK.011/2014 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang
Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, serta Peraturan
Menteri Keuangan No.PMK-137.1/PMK.011/2014 tentang Pengenaan Bea Masuk
Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Canai Lantaian dari Besi atau
Baja Bukan Paduan.

Mengenai implementasi Pasal 6 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, perlu


dikaji dalam pelaksanaan di lapangan. Apakah biaya yang dibebankan kepada
para pelaku usaha sebatas biaya yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan atau para pelaku usaha turut dibebankan biaya-biaya
‘tambahan’. Jika dikaitkan dengan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan
cukai sebagaimana dipaparkan di atas, ada dugaan kuat bahwa pelaku usaha
dibebankan biaya-biaya ‘tambahan’.

Di Indonesia, Ketentuan sanksi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Agreement
on Trade Facilitation dapat dijumpai dalam Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang
No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan 143 mengenai sanksi bagi importir serta pada Pasal 26 ayat
(4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 144 Pengaturan mengenai sanksi juga

143 Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Importir yang salah memberitahukan nilai
pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea
masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea
masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang
kurang dibayar”.
59

terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2008 tentang Pengenaan


Sanksi Administrasi berupa Denda di Bidang Kepabeanan, Peraturan Pemerintah
No.22 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Kepabeanan serta
dalam Peraturan Menteri Keuangan No.147/PMK.04/2009 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan No.51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara
Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi.

Berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Agreement on Trade
Facilitation, Indonesia belum siap karena belum ada pengaturan tentang
peninjauan secara berkala dan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai.
Dengan demikian, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C. Untuk
membuat aturan, sosialisasi dan implementasi yang baik, Indonesia
membutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun, dan biaya besar. Selain
itu, Indonesia membutuhkan bantuan teknis berupa pembelajaran pembentukan
mekanisme pelayanan bea dan cukai yang efisien dan dukungan capacity
building dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia para pegawai
bea dan cukai. Sementara itu, dalam hal sanksi, Indonesia telah memenuhi
ketentuan Pasal 6 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, sehingga, kesiapan
Indonesia bisa dikategorikan dalam Kategori A.

Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation

Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation merupakan salah satu bentuk penerapan


dari World Customs Organization, terutama dalam Revisi Konvensi Kyoto. Proses
pra-kedatangan diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dalam
melakukan impor, suatu Perusahaan harus memiliki Angka Pengenal Importir
(API) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.59/M-

144 Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang tidak memenuhi ketentuan
pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib
membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak
500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar”.
60

DAG/PER/9/2012 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan


No.27/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Impor (API).
Apabila perusahaan belum mempunyai Angka Pengenal Importir dan berniat
melakukan importasi harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan impor
tanpa Angka Pengenal Importir. Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri
Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal
Importir, Angka Pengenal Importir terbagi dua, yaitu Angka Pengenal Importir
Umum dan Angka Pengenal Importir Produsen. 145 Definisi dari Angka Pengenal
Importir Umum dan Angka Pengenal Importir Produsen diatur dalam Pasal 3
ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun
2009 tentang Angka Pengenal Importir 146 dan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri
Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal
Importir. 147

Izin importasi sendiri diberikan bagi importir yang telah memiliki nomor
identitas yang disebutkan dalam Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan. 148 Nomor identitas tersebut dinamakan Nomor Identitas

145 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009
tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi ”API sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:
a. API Umum (API-U); dan
b. API Produsen (API-P).

146Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009


tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi “API-U sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk
keperluan kegiatan usaha dengan memperdagangkan atau memindahtangankan barang kepada
pihak lain”.

147 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009

tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi “API-P sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk
dipergunakan sendiri dan/atau untuk mendukung proses produksi dan tidak diperbolehkan
untuk memperdagangkan atau memindahtangankan kepada pihak lain”.

148Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang akan melakukan pemenuhan
61

Kepabeanan (NIK) yang disampaikan melalui Surat Pemberitahuan Registrasi


(SPR). Untuk mendapatkan Nomor Identitas Kepabeanan atau Surat
Pemberitahuan Registrasi, perusahaan terlebih dahulu harus mengajukan
permohonan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Mengenai proses impor
diatur juga dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 453/KMK.04/2002 tentang
Tata Laksana Kepabeanan Di Bidang Impor sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 548/KMK.04/2002.

Prosedur pemberian izin kepabeanan serta pelepasan barang saat ini dilakukan
dengan sistem Indonesia National Single Window. Indonesia National Single
Window diatur dalam Peraturan presiden No.35 Tahun 2012 tentang Perubahan
Peraturan Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik
dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Dengan adanya Indonesia
National Single Window, maka proses pelepasan barang dapat dilakukan dengan
lebih efisien dan hemat biaya.

Adapun penjelasan prosedur umum proses impor di Indonesia melalui portal


Indonesia National Single Window adalah sebagai berikut: 149
1. Importir mencari supplier barang sesuai dengan yang akan diimpor.
2. Setelah terjadi kesepakatan harga, importir membuka Letter of Credit di
bank devisa dengan melampirkan PO mengenai barang-barang yang mau
diimpor; kemudian antar bank ke bank luar negeri untuk menghubungi
Supplier dan terjadi perjanjian sesuai dengan perjanjian Letter of Credit yang
disepakati kedua belah pihak.
3. Barang–barang dari supplier siap untuk dikirim ke pelabuhan pemuatan
untuk diajukan.

kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk
mendapat No. identitas dalam rangka akses kepabeanan”.

149Titik Farida, Prosedur dan Dokumen Impor, (Jakarta: Balai Besar Pendidikan Pelatihan Ekspor
Indonesia (BBPPEI), 2013), diakses melalui http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/
accepted_rsses/view/50f4f70d-633c-4b88-a2e2-01510a1e1e48 pada tanggal 21 Agustus 2014.
62

4. Supplier mengirim faks ke Importer document yakni Bill of Lading, Invoice,


Packing List dan beberapa dokumen lain jika disyaratkan (Serifikat
karantina, Form E, Form D, dsb)
5. Dokumen asli dikirim via Bank/original kedua ke importir
6. Pembuatan/pengisian dokumen Pengajuan Impor Barang. Jika importir
mempunyai Modul Pengajuan Impor Barang dan EDI System sendiri maka
importir bisa melakukan penginputan dan pengiriman Pengajuan Impor
Barang sendiri. Akan tetapi jika tidak mempunyai, importir bisa
menghubungi pihak Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan untuk proses
input dan pengiriman Pengajuan Impor Barang nya.
7. Dari Pengajuan Impor Barang yang telah dibuat, akan diketahui berapa Bea
masuk, pajak penghasilan dan pajak yang lain yang akan dibayar. Selain itu
Importir juga harus mencantumkan dokumen kelengkapan yang diperlukan
di dalam Pengajuan Impor Barang.
8. Importir membayar ke bank devisa sebesar pajak yang akan dibayar
ditambah biaya PNBP
9. Bank melakukan pengiriman data ke Sistem Komputer Pelayanan Bea dan
Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik.
10. Importir mengirimkan data Pemberitahuan Impor Barang. ke Sistem
Komputer Pelayanan Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran
Data Elektronik.
11. Data Pengajuan Impor Barang terlebih dahulu akan diproses di Portal
Indonesia National Single Window untuk proses validasi kebenaran pengisian
dokumen Pengajuan Impor Barang dan proses verifikasi perijinan (Analizing
Point) terkait Lartas.
12. Jika ada kesalahan maka Pengajuan Impor Barang akan direject dan importir
harus melakukan pembetulan Pengajuan Impor Barang dan mengirimkan
ulang kembali data Pengajuan Impor Barang.
13. Setelah proses di portal Indonesia National Single Window selesai maka data
Pengajuan Impor Barang secara otomatis akan dikirim ke Sistem Komputer
Pelayanan Bea dan Cukai.
63

14. Kembali dokumen Pengajuan Impor Barang akan dilakukan validasi


kebenaran pengisian dokumen Pengajuan Impor Barang dan Analizing Point
di Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai.
15. Jika data benar akan dibuat penjaluran:
a. Jika Pengajuan Impor Barang terkena jalur hijau maka akan langsung
keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang
b. Jika Pengajuan Impor Barang terkena jalur merah maka akan dilakukan
proses cek fisik terhadap barang impor oleh petugas Bea dan Cukai. Jika
hasilnya benar maka akan keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang
dan jika tidak benar maka akan dikenakan sanksi sesuai undang-undang
yang berlaku.
16. Setelah Surat Persetujuan Pengeluaran Barang keluar, importir akan
mendapatkan respon dan melakukan pencetakan Surat Persetujuan
Pengeluaran Barang melalui modul Pengajuan Impor Barang
17. Barang bisa dikeluarkan dari pelabuhan dengan mencantumkan dokumen
asli dan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang

Pembayaran secara online yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Agreement on
Trade Facilitation sudah diatur di Indonesia meskipun belum sempurna.
Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006
tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003
tentang Tata Laksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam
Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Buatan dalam
Negeri. 150 Pembayaran secara online saat ini telah dapat dilakukan dengan e-
banking. Pada lampiran peraturan menteri tersebut sudah terdapat mengenai
teknis pembayaran serta format isian. 151 Jadi pembayaran secara online sudah

150 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas

Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Pembayaran dan


Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena
Cukai Buatan dalam Negeri berbunyi “Penyetoran Penerimaan Negara dilakukan melalui loket
atau e-banking”.
64

memiliki regulasi meskipun teknisnya masih belum sepenuhnya lengkap yakni


mengenai daerah-daerah yang ada pedalaman atau jauh dari kota besar serta
teknis yang lebih detail. Saat ini, pembayaran secara online belum dapat di
lakukan di daerah pedalaman Indonesia karena akses online masih sulit. Jadi
untuk daerah pedalaman masih digunakan sistem manual.

Dalam Pasal 7 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation diatur mengenai jaminan
impor. Di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang
No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan. 152 Sementara itu, bentuk jaminan impor diatur dalam Pasal
42 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 153 Aturan mengenai jaminan
tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.259/PMK.04/2010
tentang Jaminan dalam Rangka Kepabeanan

Untuk implementasi Pasal 7 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia


dapat dikategorikan dalam kategori A karena Indonesia telah memiliki regulasi
dan sarana yang memadai. Namun, terkait Pasal 7 ayat (2) dan (3) Agreement on
Trade Facilitation, kesiapan Indonesia digolongkan dalam Kategori C karena
Indonesia tidak siap dan butuh waktu, setidaknya 15 (lima belas) tahun, untuk
membuat regulasi lebih khusus tentang jaminan impor dan pembayaran online.
Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk
pembangunan teknologi informasi dan peningkatan sumber daya manusia,

151 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Pembayaran dan
Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena
Cukai Buatan dalam Negeri berbunyi “Tatalaksana pembayaran dan penyetoran dalam Lampiran
I Peraturan Menteri Keuangan ini”.

152 Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Jaminan yang disyaratkan dapat dipergunakan
sekali atau terus-menerus”.

153Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Jaminan dapat berbentuk uang tunai, jaminan
bank, jaminan dari perusahaan asuransi, atau jaminan lainnya”.
65

termasuk koordinasi antarinstansi Pemerintah. Selain itu, Indonesia


membutuhkan bantuan teknis dalam hal perancangan peraturan terkait.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation


mengenai manajemen risiko, Indonesia telah membuat aturan mengenai
manajemen risiko. Pihak yang bertanggung jawab atas Manajemen Risiko adalah
Subdirektorat Manajemen Risiko menurut Pasal 798 Peraturan Menteri
Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan. 154 Menurut Pasal 799 Peraturan Menteri Keuangan tersebut,
Subdirektorat Manajemen Risiko menyelenggarakan fungsi terkait manajemen
risiko. 155

Penetapan tingkat risiko dibagi menjadi tiga, yaitu 156:


1. Hi Risk, atau importasi yang dilakukan oleh importir umum dan importir lain
yang mempunyai tingkat risiko tinggi (High-Risk Importir).
2. Medium Risk, barang-barang yang diimpor masih mempunyai potensi risiko
yang memungkinkan dapat merugikan negara
3. Low Risk, didasarkan pada jenis barang yang diimpor, adanya pelanggaran
dan pertimbangan lain berdasarkan profil importir

154 Pasal 798 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kementerian Keuangan berbunyi “Subdirektorat Manajemen Risiko menyelenggarakan


fungsi terkait manajemen risiko Subdirektorat Manajemen Risiko mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis,
evaluasi dan pelaksanaan di bidang manajemen risiko kepabeanan dan cukai”.
155 Pasal 799 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kementerian Keuangan berbunyi “Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat


Manajemen Risiko menyelenggarakan fungsi :
a. penyiapan bahan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan
evaluasi pelaksanaan penerapan manajemen risiko di bidang kepabeanan dan cukai;
b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi, dan
pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka penentuan konteks dan
identifikasi risiko di bidang kepabeanan dan cukai; dan
c. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi, dan
pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka pengendalian risiko di
bidang kepabeanan dan cukai”.

156Ali Purwanto dalam Makalah yang berjudul Sistem Pemeriksaan Dalam Rangka Pengujian
Kepatuhan Melalui Penetapan Kembali dan Audit Kepabeanan, hal.42-43
66

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation


mengenai percepatan pelepasan barang berisiko rendah, Indonesia sendiri telah
memiliki ketentuan mengenai hal tersebut dengan melakukan penetapan jalur.
Menurut Pasal 17 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Kep-
07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang
Impor, berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh Dirjen Bea dan Cukai,
ditetapkanlah jalur pengeluaran barang impor yang terdiri atas:
1. Jalur Merah adalah mekanisme pelayanan kepabeanan di bidang impor
terhadap suatu importasi yang dilakukan melalui penelitian dokumen dan
pemeriksaan fisik barang. Kriteria penetapan jalur merah adalah:
a. Importir baru;
b. Importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi;
c. Barang impor sementara;
d. Barang Operasional Perminyakan (BOP) golongan II;
e. Barang re-impor;
f. Terkena pemeriksaan acak;
g. Barang impor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah;
h. Barang impor yang termasuk dalam komoditi berisiko tinggi
dan/atau berasal dari negara yang berisiko tinggi.
2. Jalur Hijau adalah mekanisme pelayanan kepabeanan di bidang impor yang
diberikan kepada Importir yang mempunyai reputasi baik dan memenuhi
persyaratan/kriteria yang ditentukan, sehingga terhadap importasinya
hanya dilakukan penelitian dokumen. Kriteria penetapan jalur hijau adalah
Importir dan importasi yang tidak termasuk dalam kriteria jalur merah
3. Jalur Prioritas adalah fasilitas dalam mekanisme pelayanan kepabeanan di
bidang impor yang diberikan kepada importir yang mempunyai reputasi
sangat baik dan memenuhi persyaratan/kriteria yang ditentukan untuk
mendapatkan pelayanan khusus, sehingga penyelesaian importasinya dapat
dilakukan dengan lebih sederhana dan cepat. Kriteria penetapan Importir
adalah yang ditetapkan sebagai Importir Jalur Prioritas.
67

Meskipun telah diatur bahwa manajemen risiko di Indonesia dilakukan


berdasarkan profil importir, namun Badan Karantina Pertanian (BARANTAN)
melakukan manajemen risiko berdasarkan risiko penyakit komoditi. Ironisnya,
tidak ada mekanisme yang mengakomodir perbedaan pola manajemen berbasis
risiko.

Peraturan perundang-undangan yang terkait Pasal 7 ayat (5) Agreement on


Trade Facilitation tentang audit kepabeanan ialah Peraturan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan
Audit Cukai. Jika menilik definisi Audit Kepabeanan pada Pasal 1 angka 4
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang
Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai 157 tersebut, maka audit
kepabeanan yang diselenggarakan di Indonesia telah sesuai dengan maksud dari
audit kepabeanan yang ada dalam Pasal 7 ayat (5) Agreement on Trade
Facilitation. Di Indonesia, program audit tersebut harus berdasarkan standar
yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-
7/BC/2012 tentang Standar Audit Kepabeanan dan Audit Cukai dan
pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per-
9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai.

Menurut Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai
No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai,
terhadap Hasil Audit Kepabeanan dapat dilakukan audit khusus jika terdapat
keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai. 158 Hal tersebut merupakan

157 Pasal 1 angka 4 Peraturan Direktur Jendal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang
Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai berbunyi “Kegiatan pemeriksaan laporan
keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang
berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan
kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan
perundangundangan di bidang kepabeanan”.

158 Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-9/BC/2012
tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai berbunyi “Audit Khusus dilakukan
secara sewaktu-waktu dan dapat berupa Audit khusus dalam rangka keberatan atas penetapan
Pejabat Bea dan Cukai”.
68

salah satu hal yang guna meningkatkan transparansi yang dibahas dalam Pasal 7
ayat (5) Agreement on Trade Facilitation.

Mengenai pelepasan barang diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2006


tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Kep-07/Bc/2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan diBidang Impor serta
perubahan-perubahannya dan Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai
No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai.
Mengenai waktu pelepasan barang di Indonesia dengan adanya Indonesia
National Single Window menjadi lebih cepat karena proses perizinan juga lebih
cepat meskipun belum terintegrasi sepenuhnya. Mengenai aturan mengenai
rata-rata waktu pelepasan barang belum diatur secara jelas di Indonesia

Untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation,


kesiapan Indonesia digolongkan dalam Kategori C karena belum ada
penyeragaman manajemen risiko. Indonesia membutuhkan bantuan teknis
dalam hal penciptaan mekanisme yang dapat mengakomodir perbedaan pola
manajemen risiko. Waktu yang dibutuhkan Indonesia setidaknya 10 tahun.

Kesiapan Indonesia untuk implementasi Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) Agreement
on Trade Facilitation tergolong dalam kategori B karena telah ada regulasi,
namun, regulasi yang ada masih belum memadai dan membutuhkan perbaikan
baik dalam hal substabsi maupun pelaksanaan. Untuk Indonesia National Single
Window, perbaikan yang dibutuhkan telah dipaparkan pada Bab II di atas.
Setidaknya, Indonesia membutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk
penyempurnaan regulasi dan perbaikan pelaksanaan regulasi.

Peraturan yang terkait dengan Pasal 7 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation
adalah Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan
Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator. Definisi dari Authorized
69

Economic Operator diatur dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan


No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized
Economic Operator. 159 Pihak-pihak yang dapat menjadi Operator Ekonomi ialah
pihak-pihak yang mendapat pengakuan sebagai Authorized Economic Operator
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan
No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized
Economic Operator dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai No.PER-32/BC/2013 tentang Tata Cara Validasi terhadap Perusahaan
Piloting dalam Rangka Pengakuan Eksportir. Pihak-pihak yang dapat diangkat
sebagai Authorized Economic Operator adalah importir, eksportir, pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan; atau pengusaha Tempat Penimbunan Berikat.

Yang perlu diperhatikan dalam ketentuan ini ialah tidak semua operator
ekonomi dapat menjadi Authorized Economic Operator. Hanya operator ekonomi
yang memenuhi standar Framework of Standards to Secure and Facilitate Global
Trade (SAFE FoS) saja yang dapat menjadi Authorized Economic Operator.
Framework of Standards to Secure and Facilitate Global Trade adalah standar
World Customs Organization yang terkait dengan prinsip keamanan dan fasilitas
pada rantai pasokan global. Untuk mendapatkan pengakuan sebagai Authorized
Economic Operator, menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan
No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized
Economic Operator, permohonan diajukan kepada Direktur Jenderal. 160 Tata cara
untuk menjadi Authorized Economic Operator diatur secara rinci dalam
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.PER-32/BC/2013 tentang Tata
Cara Validasi terhadap Perusahaan Piloting dalam Rangka Pengakuan Eksportir.

159 Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan

Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator berbunyi adalah Authorized Economic


Operator adalah “Operator Ekonomi yang mendapat pengakuan oleh danatas nama administrasi
kepabeanan nasional bahwa yang bersangkutan telah memenuhi standar Framework of
Standards to Secure and Facilitate Global Trade”.

160Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa Untuk mendapatkan pengakuan sebagai Authorized
Economic Operator, Operator Ekonomi harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal.
70

Di Indonesia, Authorized Economic Operator merupakan suatu hal yang baru,


belum banyak kajian yang membahas mengenai hal ini sehingga perlu kajian
mendalam mengenai hal ini. Dalam regulasi Authorized Economic Operator di
Indonesia juga belum diatur mengenai pertukaran informasi antar Authorized
Economic Operator di berbagai negara. Saat ini baru terdapat beberapa
Authorized Economic Operator di Indonesia karena untuk menjadi Authorized
Economic Operator Perusahaan tersebut harus taat pajak dan memiliki risk
management yang rendah. Beberapa perusahan tersebut antara lain PT
Asahimas Chemical, PT Unilever Indonesia, PT Phillips Indonesia, PT Smart Tbk,
PT LG Electronic Indonesia, PT Nestle Indonesia, PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk,
PT Aspex Kumbong, serta PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia.

Percepatan pengiriman yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8) Agreement on


Trade Facilitation mencakup percepatan proses pengurusan perizinan. Dalam hal
masalah perizinan Indonesia telah menerapkan perizinan cepat dengan adanya
Indonesia National Single Window yang diatur dalam Peraturan Presiden No.35
Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang
Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single
Window. Indonesia sudah mulai mengintegrasikan perizinan melalui Indonesia
National Single Window meskipun belum sepenuhnya perizinan di Indonesia
dapat diurus melalui Indonesia National Single Window.

Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation juga


menjelaskan bahwa negara dapat melakukan pembatasan dalam percepatan
perizinan namun perlu adanya infrastruktur yang memadai. Peningkatan
fasilitas, sarana, dan prasarana perdagangan sendiri merupakan salah satu
tujuan pengaturan perdagangan menurut Pasal 3 huruf e Undang-Undang No.7
Tahun 2014 tentang Perdagangan. Jika mencermati persyaratan tersebut,
Indonesia masih harus meningkatkan fasilitas pelabuhan dan fasilitas
pembayaran secara online. Aturan mengenai pelabuhan sendiri telah diatur
dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta Peraturan
71

Pemerintah No.61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan. Peningkatan


infrastruktur pelabuhan perlu ditingkatkan, hal ini terbukti dengan fakta bahwa
pelabuhan Jakarta belum berstatus sebagai pelabuhan internasional. 161

Dalam hal pemeriksaan barang juga perlu dibangun infrastruktur lebih modern
agar pemeriksaan barang dapat lebih cepat sehingga pelepasan barang juga
dapat dipercepat. Selain itu, dalam penyediaan informasi Indonesia juga masih
terbilang kurang karena seringkali situs lembaga pemerintahan tidak dapat
diakses atau terkadang jarang diperbaharui informasi dalam situs tersebut. Jadi
dalam hal ini Indonesia sudah memiliki modal dalam menjalankan ketentuan
Pasal 7 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation, namun masih perlu perbaikan
terutama di bidang admnistrasi dan pelabuhan.

Di Indonesia, pengaturan mengenai Pasal 7 ayat (9) Agreement on Trade


Facilitation mengenai impor barang yang tidak tahan lama atau cepat rusak,
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.148/PMK.04/2007 tentang
Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai dengan Pelayanan Segera (Rush
Handling). Yang termasuk dalam cakupan pelayanan segera diatur dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan No. 148/PMK.04/2007 tentang Pengeluaran
Barang Impor untuk Dipakai dengan Pelayanan Segera (Rush Handling), yakni:
a. Organ tubuh manusia antara lain ginjal, kornea mata, atau darah
b. Jenazah dan abu jenazah
c. Barang yang dapat merusak lingkungan antara lain bahan yang mengandung
radiasi
d. Binatang hidup
e. Tumbuhan hidup
f. Surat kabar dan majalah yang peka waktu
g. Dokumen (surat); dan/atau

161http://dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-belum-memiliki-

pelabuhan-internasional, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.


72

h. Barang lain yang karena karakteristiknya perlu mendapat pelayanan segera


(rush handling) setelah mendapat izin kepala kantor pabean.

Barang yang tidak tahan lama banyak yang merupakan makanan, hal ini tentu
membutuhkan perizinan juga dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, dalam
hal ini terdapat peraturan mengenai perizinan impor obat dan makanan yang
terintegrasi dengan Indonesia National Single Window, yakni Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.00.05.23.4416
Tahun 2008 tentang Penetapan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) Di
Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam Kerangka Indonesia
National Single Window. Pada lampiran keputusan tersebut terdapat teknis
mengenai proses perizinan. Akan tetapi, dalam aturan tersebut masih diperlukan
sistem manual jadi aturan ini masih memiliki kekurangan.

Meskipun sudah ada beberapa regulasi terkait hal barang tidak tahan lama,
namun masalah kepastian waktu masih belum diatur secara jelas. Mengenai
penyimpaan juga belum diatur secara jelas. Dalam hal ini Indonesia masih
terkendala pada masalah fasilitas dan infrastruktur. Aturan lain yang terkait
dengan barang yang tidak tahan lama antara lain Pasal 60 Undang-Undang No.17
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, 162 Pasal 66 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 163 dan Pasal 69

162Pasal 60 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau
pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai agar
mengakhiri penangguhan dengan menyerahkan jaminan yang sama. Keadaan tertentu menurut
penjelasan Pasal 60 misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak”.

163 Pasal 66 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam hal barang yang dinyatakan tidak dikuasai
merupakan barang cepat rusak, maka dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara
tertulis kepada pemiliknya”.
73

Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang


No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 164

Untuk implementasi Pasal 7 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan


Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena Authorized Economic Operator
merupakan suatu yang baru dan belum ada kajian mendalam Indonesia
setidaknya membutuhkan 15 (lima belas) tahun untuk persiapan yang matang.
Untuk pelaksanaan Pasal 7 ayat (8) dan (9) Agreement on Trade Facilitation,
kesiapan Indonesia tergolong dalam kategori C. Hal ini disebabkan, walaupun
Indonesia telah memiliki aturan untuk menjalankan hal ini, namun Indonesia
masih butuh waktu dan masih membutuhkan bantuan teknis dan dukungan
building capacity untuk memperbaiki infrastuktur dan mempercepat masalah
administrasi.

Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation

Pasal 8 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation belum sepenuhnya dijalankan


oleh Indonesia. Koordinasi antarlembaga yang berkaitan dengan perbatasan
memerlukan koordinasi antarlembaga. Masalah perbatasan juga terkait dengan
pembangunan daerah perbatasan dalam rangka meningkatkan fasilitas
perdagangan. Dalam konteks perdagangan, maka lembaga atau pihak terkait
adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada dibawah Kementerian
Keuangan, selain itu juga Kementerian Perdagangan Indonesia secara khususnya
bagian Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri atau Direktorat Jenderal
Kerjasama Perdagangan Internasional dan bisa juga Badan Pengkajian &
Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Dikarenakan berkaitan dengan
hubungan antar negara, koordinasi tersebut juga harus berkoordinasi dengan
Kementerian Luar Negeri. Selain itu, koordinasi tersebut juga dapat melibatkan
Kementerian Perhubungan sebab fasilitas untuk menjalankan kerja sama

164 Pasal 69 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Barang yang dikuasai negara maka dapat segera
dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya”.
74

tersebut tentu akan berkaitan erat dengan masalah perhubungan seperti


pelabuhan atau bandara.

Selain kementerian-kementerian tersebut, Direktorat Bea dan Cukai juga harus


berkoordinasi dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Melalui Undang-
Undang No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dimandatkan untuk
membentuk Badan Pengelola Perbatasan di tingkat pusat dan daerah dalam
rangka mengelola kawasan perbatasan. Berdasarkan amanat Undang-Undnag
tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010
membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Ruang lingkup tugas utama
Badan Nasional Pengelola Perbatasan adalah mengelola Batas Wilayah Negara
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan yang
merupakan kristalisasi dari amanat Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang Wilayah Negara 165 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 166 Jadi, diperlukan
koordinasi dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan karena Badan Nasional
Pengelola Perbatasan merupakan lembaga yang mengawasi wilayah. Selain
koordinasi antar kementrian dan lembaga dalam negeri, Indonesia juga perlu
koordinasi dengan negara lain yang berbatasan dengan Indonesia.

Dalam Pasal 8 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation dijelaskan mengenai


kerjasama antar negara. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang No.24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni pada Bab II Undang-Undang

165Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara berbunyi
“Badan Pengelola bertugas:
a) Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan;
b) Menetapkan rencana kebutuhan anggaran;
c) Mengoordinasikan pelaksanaan; dan
d) Melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara
dan Kawasan Perbatasan.

166Pasal 3 Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan
berbunyi “Badan Nasional Pengelola Perbatasan mempunyai tugas menetapkan kebijakan
program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran,
mengoordinasikan pelaksanaan, dan pelaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap
pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan”.
75

No.24 Tahun 2000 tentang Pembuatan Perjanjian Internasional. Cara-cara yang


diatur adalah:
1. Lembaga Negara atau Kementrian yang memiliki rencana untuk membuat
perjanjian internasional menjadi pemrakarsa.
2. Lembaga Pemrakarsa ini diharuskan untuk melakukan konsultasi dan
koordinasi dengan Menteri Luar Negeri yang dalam hal ini diwakili oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dan/atau unit
regional atau multilateral di Kementrian Luar Negeri
3. Hasil konsultasi ini kemudian akan menghasilkan draft suatu perjanjian
internasional yang kemudian akan menjadi pedoman delegasi Indonesia
untuk melakukan tahap selanjutnya dari perjanjian internasional
4. Tahap selanjutnya dari perjanjian internasional tersebut mencakup: tahap
penjajakan, tahap perundingan, tahap perumusan naskah, tahap penerimaan
dan tahap penandatanganan.

Indonesia masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi Pasal 8 Agreement on


Trade Facilitation karena terkendala masalah koordinasi antarlembaga.
Berkenaan dengan perbatasan, ada beberapa instansi bertugas. Masalah
pembangunan fasilitas dibidang perbatasan juga masih perlu dipertanyakan.
Masalah kepabeanan memang merupakan urusan Direktorat Bea dan Cukai,
namun, ada beberapa instansi/lembaga yang bertugas terkait dengan wilayah
perbatasan, kawasan pelabuhan, dan keamanan nasional. Dengan demikian,
kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan Pasal 8 Agreement on Trade
Facilitation termasuk dalam Kategori C sebab Indonesia masih sangat perlu
untuk melakukan perbaikan koordinasi antarlembaga/instansi agar proses
penyederhanaan administrasi dapat dilakukan.

Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation

Di Indonesia, telah ada aturan tentang prosedur pelepasan barang impor dari
wilayah kepabeanan. Untuk mekanisme impor barang dari kantor kepabeanan
dan, kemudian, dilanjutkan dengan pemeriksaan administratif dan fisik barang
76

serta proses pelepasan barang impor diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
No.453/KMK.04/2002 yang diubah terakhir dengan Keputusan Menteri
Keuangan No.112/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Kepabeanan diBidang
Impor dan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.KEP-07/BC/2003
yang telah diubah dengan dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai
No.P-06/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di
Bidang Impor.

Terdapat mekanisme berjenjang pada sistem impor di Indonesia, yang apabila


dijabarkan secara singkat adalah sebagai berikut: 167
1. Pembuatan dokumen Pengajuan Impor Barang.
2. Dari Pengajuan Impor Barang yang telah dibuat tersebut, akan
dikalkulasikan berapa tarif bea masuk dan pajak lain yang akan dibayar.
Selain itu Importir juga harus mencantumkan dokumen kelengkapan yang
diperlukan di dalam PIB.
3. Importir membayar pajak di bank devisa.
4. Bank melakukan pengiriman data ke Sistem Komputer Pelayanan Bea dan
Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik
5. Importir mengirimkan data Pemberitahuan Impor Barang ke Sistem
Komputer Pelayanan Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran
Data Elektronik, kemudian data PIB terlebih dahulu akan diproses di Portal
Indonesia National Single Window untuk proses validasi kebenaran pengisian
dokumen Pengajuan Impor Barang dan proses verifikasi perijinan (Analizing
Point) terkait Impor tersebut. Jika ada kesalahan, importir harus melakukan
pembetulan Pengajuan Impor Barang dan mengirimkan ulang kembali data
Pengajuan Impor Barang dan dilakukan validasi.
6. Setelah rangkaian administratif selesai, akan dibuat penjaluran. Jika
Pengajuan Impor Barang terkena jalur hijau maka akan langsung keluar

167 Direktorat Bea dan cukai, Prosedur Umum Importasi,


http://bctjmas.beacukai.go.id/index.php/ media-center/artikel-terkait/54-prosedur-umum-
importasi, diakses pada 18 Agustus 2014
77

Surat Persetujuan Pengeluaran Barang, sehingga barang tersebut dapat


dikeluarkan dari kantor kepabeanan untuk kemudian diproses pelepasannya
di kantor kepabeanan dimana dilepaskan/dikeluarkannya barang tersebut
7. Jika Pengajuan Impor Barang terkena jalur merah maka akan dilakukan
proses cek fisik terhadap barang impor oleh petugas Bea dan Cukai. Jika
hasilnya benar maka akan keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang dan
jika tidak benar maka akan dikenakan sanksi sesuai undang-undang yang
berlaku.

Apabila dilihat dari peraturan Indonesia, dapat dilihat bahwa ketentuan dan
peraturan yang mengatur tata cara impor tersebut masih dapat dibilang
berlarut-larut karena ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya
barang impor tersebut dilepaskan. Dengan adanya Peraturan presiden No.10
tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia
National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan presiden
No.35 tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No.10 tahun 2008
tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single
Window, sebenarnya Indonesia telah membuat suatu sistem yang mudah untuk
melalui proses perizinan. Akan tetapi, dalam hal ini mengenai proses impor juga
terkait dengan lembaga lain seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta
Badan Standardisasi Nasional. Jadi meskipun telah memenuhi proses impor
barang di bea dan cukai, pengusaha juga memerlukan izin lain dari lembaga yang
berhubungan dengan barang yang diimpornya.

Integrasi antara perizinan Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Indonesia
National Single Window, dalam hal ini terdapat peraturan mengenai perizinan
impor obat dan makanan yang terintegrasi dengan Indonesia National Single
Window, yakni Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia No.HK.00.05.23.4416 Tahun 2008 Tentang Penetapan Tingkat
Layanan (Service Level Arrangement) Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Pada lampiran
78

keputusan tersebut terdapat teknis mengenai proses perizinan, namun dalam


aturan tersebut masih diperlukan sistem manual jadi aturan ini masih memiliki
kekurangan.

Kerjasama antara Indonesia National Single Window dengan Badan standardisasi


Nasional juga belum sepenuhnya berjalan, belum ada tata cara yang baku
mengenai proses perizinan Standar Nasional Indonesia di Indonesia National
Single Window. Jika dilihat secara keseluruhan, Indonesia masih memiliki
kekurangan dalam hal integrasi perizinan dalam Indonesia National Single
Window dengan lembaga lainnya yang terkait

Indonesia masih memiliki kekurangn di bidang integrasi antarlembaga dalam hal


perizinan. Dengan adanya Indonesia National Single Window seharusnya
dibarengi dengan penyederhanaan proses perizinan lainnya yang terkait.
Mengintegrasikan peraturan perdagangan nasional agar tercipta kesederhanaan
dalam proses administrasi merupakan cara untuk memenuhi Pasal ini. Jadi
Indonesia dalam hal ini masih belum dapat memenuhi Pasal 9 Agreement on
Trade Facilitation ini karena belum ada aturan yang mengatur secara
keseluruhan mengenai proses perpindahan barang secara sederhana dan cepat.
Dengan demikian, kesiapan Indonesia mengimplementasikan Pasal 9 Agreement
on Trade Facilitation tergolong Kategori C dengan waktu yang dibutuhkan
setidaknya 15 (lima belas) tahun.

Pasal 10 Agreement on Trade Facilitation

Secara umum, ketentuan ketentuan mengenai formalitas dan persyaratan


dokumen diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Selain itu,
ketentuan tentang formalitas dan persyaratan dokumen juga diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan No.453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana
Kepabeanan diBidang Impor serta Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai
79

No.Kep-07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan


diBidang Impor serta perubahannya.

Mengenai usaha pernyederhanaan formalitas dan persyaratan dokumen telah


dilakukan Indonesia dengan Indonesia National Single Window 168 yang diatur
Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik
dalam Kerangka Indonesia National Single Window sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden No.35 Tahun 2012 tentang perubahan Peraturan
presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam
Kerangka Indonesia National Single Window. Indonesia telah melakukan
penyederhanaan dalam formalitas dan persyaratan dokumen. Meskipun
demikian, Indonesia National Single Window tersebut masih memiliki
kekurangan, antara lain dalam pelaksanaannya, Indonesia masih memerlukan
perbaikan infrastruktur, dan dalam hal regulasi, Indonesia masih belum
mengatur secara lengkap mengenai barang mudah rusak dan aturan mengenai
kepastian jangka waktu perizinan.

Ketentuan mengenai penerimaan salinan sebagaimana diatur dalam Pasal 10


ayat (1) Agreement on Trade Facilitation belum diatur secara jelas. Dalam
praktek di Indonesia, penerimaan salinan yang dilegalisir sudah dapat dilakukan
dengan men-scan salinan yang telah dilegalisir tersebut. Akan tetapi, tidak semua
daerah dapat melakukan hal ini karena belum tersedia fasilitas yang memadai
terutama bagi daerah terpencil. Legalisir salinan juga seharusnya dilakukan oleh
pihak pertama yang mengeluarkan dokumen tersebut sehingga proses legalisir
hanya perlu dilakukan satu kali. Proses legalisir menjadi suatu hal yang rumit di

168 Definisi National Single Window menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan presiden No. 35 tahun

2012 tentang perubahan Peraturan presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem
Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window adalah “Sistem nasional Indonesia
yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single
submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron
(single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara
tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for
customs clearance and release of cargoes)”
80

Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya calo yang menerima pengurusan
mengenai legalisir impor.

Mengenai standar internasional, terdapat beberapa standar internasional yang


digunakan, antara lain CODEX dalam hal keamanan makanan, OIE dalam hal
kesehatan hewan, dan IPPC dalam hal perlindungan tanaman. Mengenai hal ini.
Selain penggunaan standar internasional, di Indonesia juga terdapat Standar
Nasional Indonesia (SNI). 169 Pengaturan mengenai SNI diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Ruang lingkup
Ruang lingkup standardisasi nasional mencakup semua kegiatan yang berkaitan
dengan metrologi teknis, standar, pengujian dan mutu. Lembaga yang melakukan
standardisasi menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun
2000 tentang Standardisasi Nasional adalah Badan Standardisasi Nasional. 170

Standar Nasional Indonesia bukanlah suatu kewajiban, namun menjadi suatu


yang wajib pada hal-hal tertentu yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Peraturan
Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. 171 Standar
Nasional Indonesia wajib tersebut diberlakukan bagi barang impor menurut
Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang
Standardisasi Nasional. 172 Berdasarkan ketentuan Standar Nasional Indonesia
tersebut, yang perlu diperhatikan ialah jangan sampai Standar Nasional

169Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan, “Standar
Nasional Indonesia adalah Standar yang ditetapkan oleh lembaga yangmenyelenggarakan
pengembangan dan pembinaan di bidang Standardisasi”.

170Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional
berbunyi “Badan Standardisasi Nasional Penyelenggaraan pengembangan dan pembinaan di
bidang standaridasi dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional”.

171Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 berbunyi “Dalam hal standar
Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan
masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan sekonomis, instansi
teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau
parameter dalam Standar nasional Indonesia”.

172Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 berbunyi “Standardisasi Nasional
Indonesia yang diberlakukan secara wajib dikenakansama, baik terhadap barang dan atau jasa
produksi dalam negeri maupunterhadap barang dan atau jasa impor”.
81

Indonesia bertentangan dengan standar internasional. Dalam hal ini diperlukan


perbaikan bidang infrastruktur di Indonesia agar sesuai dengna standar
internasional.

Di Indonesia sendiri, sistem single window yang disebut Indonesia National Single
Window. 173 INSW ini telah ada dan diatur dalam Peraturan Presiden No.10
Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia
National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
No.35 Tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008
tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single
Window. Indonesia National Single Window dilatarbelakangi oleh adanya
kepentingan nasional untuk meningkatkan kelancaran arus barang dan kinerja
pelayanan ekspor-impor serta sebagai wujud nyata komitmen Indonesia untuk
menjalankan kesepakatan di tingkat Regional Association of Southeast Asian
Nations. 174 Indonesia National Single Window tersebut diintegrasikan dalam
ASEAN Single Window. Akan tetapi, meskipun telah memiliki Indonesia National
Single Window, Indonesia National Single Window di Indonesia masih perlu
perbaikan dan seringkali tidak sesuai dengan ASEAN Single Window. Indonesia
National Single Window juga belum terintegrasi sepenuhnya dalam hal perizinan
dengan lembaga lain seperti dengan Badan Standardisasi Nasional dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Jadi dalam hal single window Indonesia masih
perlu perbaikan dalam rangka pemenuhan Pasal 10 ayat (4) Agreement on Trade
Facilitation.

173Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan presiden No. 35 tahun 2012 tentang perubahan Peraturan
presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia
National Single Window, INSW adalah “Sistem nasional Indonesia yang memungkinkan
dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data
and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and
synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk
pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for customs
clearance and release of cargoes)”

174http://www.insw.go.id/home?page=1/about/about.html diakses pada tanggal 11 Agustus


2014.
82

Aturan mengenai pra-pengapalan diatur dalam Agreement on Preshipment


Inspection WTO. Di Indonesia terdapat dalam beberapa peraturan, mengenai
pra-pengapalan. Salah satunya ialah Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-
DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan
Karantina dan Pra-Pengapalan. Ketentuan pra-pengapalan diatur dalam Pasal 1
angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang
Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-
Pengapalan. 175 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-
DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan
Karantina dan Pra-Pengapalan, 176 dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri
Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil
Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan. 177

Ketentuan mengenai pra-pengapalan juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah


No.45 Tahun 1991 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk
Pendirian Perseroan Terbatas dalam Bidang Jasa Pemeriksaan Pra-Pengapalan
Barang-Barang Impor Indonesia di Luar Negeri. Pasal 1 Peraturan Pemerintah
No.45 Tahun 1991 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk
Pendirian Perseroan Terbatas dalam Bidang Jasa Pemeriksaan Pra-Pengapalan
Barang-Barang Impor Indonesia di Luar Negeri mengatur bahwa Pemerintah
melakukan penyertaan modal dalam pendirian Perseroan Terbatas dalam bidang

175Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang


Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi
“Perlakuan pra pengapalan dengan metil bromida adalah tindakan fumigasi untuk produk yang
diekspor yang dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum diekspor untuk
memenuhi ketentuan dan atau permintaan resmi dari negara pengimpor”.

176 Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang

Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi
“Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) hanya dapat diimpor untuk keperluanfumigasi
dalam rangka perlakuan karantina dan pra pengapalan”.

177 Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang

Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi
“Setiap pelaksanaan impor metil bromida wajib disertai label tambahan yang bertuliskan "Hanya
untuk karantina dan Pra Pengapalan" atau "For Quarantine and Pre-Ship-ment Only" dari negara
produsen”.
83

jasa pemeriksaan pra-pengapalan barang-barang impor Indonesia di luar negeri.


Dalam prakteknya di Indonesia dalam hal pra-pengapalan, jika tidak ada
permasalahan terkait klasifikasi dan tarif, maka hal ini masih bisa ditolerir

Di Indonesia, pengurus jasa kepabenan dikenal sebagai Pengusaha Pengurusan


Jasa Kepabeanan. 178 Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan. Untuk menjadi Pengurusan Jasa Kepabeanan
diperlukan perizinan khusus yakni memiliki nomor identitas berupa Nomor
Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan dalam rangka akses kepabeanan
sebagimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan
No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan 179 dan
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. 180 Dalam hal pengurusan jasa
kepabeanan, Indonesia tidak memiliki masalah, sehingga, telah siap
mengimplementasikan ketentuan Pasal 10 ayat (6) Agreement on Trade
Facilitation tersebut.

Penyeragaman persyaratan dokumentasi diatur dalam Peraturan Direktur


Jenderal Bea dan Cukai No.P-21/BC/2008 tentang Pedoman Penyusunan,
Penetapan, dan Pelaksanaan, serta Monitor dan Evaluasi Standard Prosedur
Operasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai. Dalam hal ini perlu
pengkajian lebih dalam karena dalam hal penyeragaman tidak hanya terkait

178Definisi Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri
Keuangan No.: 65/PMK.04/2007 Tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan adalah
“Badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan
atas kuasa importir atau eksportir.

179 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha

Pengurusan Jasa Kepabeanan berbunyi “Untuk dapat melakukan pengurusan jasa kepabeanan,
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan wajib memiliki No. identitas berupa No. Pokok
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan dalam rangka akses kepabeanan”.

180Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha


Pengurusan Jasa Kepabeanan berbunyi “Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuknya”.
84

dengan Dirjen Bea dan Cukai saja, namun terkait dengan lembaga lain yang
mengeluarkan perizinan.

Mengenai barang reject diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan


No.176/Pmk.04/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
No.254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan
Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan
untuk Diekspor. Dalam ketentuan tersebut, terdapat ketentuan mengenai re-
impor barang reject. Perijinan re-impor dapat dilakukan di kantor pelayanan
utama bea dan cukai Tanjung Priok. Namun mengenai prosedur re-ekspor belum
diatur di Indonesia.

Di Indonesia, dalam hal barang yang di-reject adalah produk pertanian atau
hewan, maka dilakukan Karantina. 181 Hal ini diatur dalam Undang Undang No.16
Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Menurut Pasal 10
Undang Undang No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan, tindakan karantina tersebut dapat berupa pemeriksaan,
pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan
pembebasan. Prosedur Karantina ini dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian
(BARANTAN). Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, barang reject karena tidak sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia wajib ditarik dari peredaran. 182

181Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan
Dan Tumbuhan, Definisi karantina adalah “Tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari
luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah
negara Republik Indonesia”.

182Pasal 54 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian berbunyi “Setiap barang
dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri wajib
menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri”.
85

Mengenai Temporary Admission of Goods and Inward and Outward Processing


diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-5/Bc/2011
tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut
dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut dalam Rangka Pengangkutan
Barang Impor dan Barang Ekspor Ke dan Dari Kawasan Pabean di Kawasan
Pelayanan Pabean Terpadu. Peraturan tersebut mengatur mengenai Kawasan
Pelayanan Pabean Terpadu 183 dan Kawasan berikat. Kawasan berikat diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.147/Pmk.04/2011
tentang Kawasan Berikat. 184

Berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) Agreement on Trade


Facilitation tentang Formalitas dan Persyaratan Dokumen, kesiapan Indonesia
termasuk dalam Kategori C dengan jangka waktu 15 (lima belas) tahun. Hal ini
disebabkan Indonesia belum memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan
integrasi dalam proses perizinan, dalam hal regulasi Indonesia juga masih butuh
perbaikan. Dalam hal Penerimaan Salinan dalam Pasal 10 ayat (2) Agreement on
Trade Facilitation, Indonesia digolongkan dalam Kategori C dengan jangka waktu
yang dibutuhkan selama 15 (lima belas) tahun karena belum memadai regulasi
mengenai penerimaan Salinan secara online dan perlu dilakukan perbaikan
infrastruktur agar penerimaan Salinan dapat dilakukan secara online di seluruh
wilayah Indonesia. Dalam hal standardisasi nasional yang ada pada Pasal 10 ayat
(3) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia digolongkan dalam Kategori C
dengan waktu yang dibutuhkan ialah selama 15 (lima belas) tahun. Hal ini

183Definisi Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Direktur
Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-5/Bc/2011 tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes
Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut dalam Rangka
Pengangkutan Barang Impor dan Barang Ekspor Ke dan Dari Kawasan Pabean di Kawasan
Pelayanan Pabean Terpadu, adalah “Kawasan tempat pemusatan kegiatan pelayanan kepabeanan
dan cukai yang berupa Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat dan
Tempat Konsolidasi Barang Ekspor, dan dapat dilengkapi dengan tempat usaha lainnya dalam
rangka mendukung kelancaran lalu lintas barang impor dan ekspor”.

184Definisi Kawasan Berikat Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No.147/Pmk.04/2011 tentang Kawasan Berikat ialah “Tempat Penimbunan Berikat
untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah
pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor”.
86

disebabkan untuk implementasi Pasal 10 ayat (3) Agreement on Trade


Facilitation memerlukan perbaikan di bidang regulasi dan serta bantuan
infrastruktur agar sesuai dengan standar internasional.

Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation mengenai


single window, Indonesia dikategorikan dalam kategori C karena masih
memerlukan waktu untuk memperbaiki sistem Indonesia National Single
Window dan integrasi antarlembaga/instansi. Setidaknya, waktu 15 (lima belas)
tahun dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki sistem Indonesia National
Single Window dan integrasi antarlembaga/instansi. Dalam upaya memperbaiki
kerjasama antarinstansi/lembaga, Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan
dukungan capacity building. Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (5) Agreement on
Trade Facilitation mengenai pra-pengapalan, kesiapan Indonesia dapat
dikategorikan dalam Kategori A karena telah memiliki kesiapan dalam pra-
pengapalan yani dengan tidak adanya masalah yang berarti dalam pra-
pengapalan serta regulasi yang ada sudah cukup memenuhi kebutuhan dalam
bidang pra-pengapalan. Demikian pula halnya dnegan Pasal 10 ayat (6)
Agreement on Trade Facilitation mengenai Pengusaha Pengurusan Jasa
Kepabeanan, Indonesia telah dapat dikategorikan dalam kategori A karena telah
memadai dari segi regulasi maupun infrastruktur yang ada. PPJK yang ada sudah
mencukupi dan dapat memenuhi pelayanan dalam bidang kepabean.

Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation mengenai


Prosedur Perbatasan umum dan Penyeragaman Persyaratan Dokumentasi,
kesiapan Indonesia dikategorikan dalam kategori C. Hal ini dikarenakan perlu
kajian mendalam berkenaan dengan penyeragaman tidak hanya terkait dengan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saja, namun terkait dengan lembaga lain yang
mengeluarkan perizinan. Indonesia dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (7)
Agreement on Trade Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun.
87

Dalam hal barang reject yang diatur dalam Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade
Facilitation, kesiapan Indonesia termasuk dalam kategori C karena belum ada
ketentuan mengenai re-ekspor. Indonesia membutukan bantuan teknis untuk
pembuatan aturan tentang re-ekspor. Indonesia membutuhkan paling tidak 15
(lima belas) tahun untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (8)
Agreement on Trade Facilitation.

Dengan demikian, untuk ketentuan Temporary Admission of Goods and Inward


and Outward Processing yang diatur dalam Pasal 10 ayat (9) Agreement on Trade
Facilitation, Indonesia dikategorikan dalam Kategori C. Hal ini karena terdapat
beberapa peraturan yang perlu diubah dan perlu dilakukan perbaikan
infrastruktur. Indonesia dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (9) Agreement
on Trade Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun.

Pasal 11 Agreement on Trade Facilitation

Bebas Transit merupakan prinsip bagi sebuah negara yang tertutup oleh daratan
untuk mengintegrasikan negara tersebut terhadap ekonomi internasional dan
pembangunan ekonomi. Sulitnya akses ke perairan membuat biaya untuk
melakukan aktivitas perdagangan menjadi tinggi. Kemampuan dalam
menerapkan prinsip kebebasan dalam melakukan transit sering disebut sebagai
“land-linked”. 185 Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penerapan
freedom of transit adalah Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut). Dalam konvensi ini, freedom
of transit diatur dalam Bab X mengenai hak negara tak berpantai untuk akses ke
dan dari laut serta kebebasan bertransit. Dalam bab ini diatur mengenai bentuk-
bentuk penerapan dari prinsip freedom of transit yang diantaranya adalah:

185Landlocked Developing Countries Series, No. 1, “Transit Transport Issues in Landlocked and
Transit Developing Countries” http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/
Resources/WBI-Training/UN-Landlocked.pdf, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.
88

a. Pasal 128 mengatur tentang zona bebas dan kemudahan bea dan cukai
lainnya
b. Pasal 129 mengatur tentang kerjasama dalam pembangunan dan perbaikan
alat pengangkutan
c. Pasal 130 mengatur tentang tindakan untuk mencegah atau meniadakan
kelambatan atau kesulitan lain yang bersifat teknis dalam lalu lintas transit
d. Pasal 131 mengatur tentang perlakuan sama di pelabuhan-belabuhan
e. Pasal 132 mengatur tentang pemberian kemudahan transit yang lebih besar

Tampak bahwa Pasal 128-132 United Nations Convention on the Law of the Sea
merupakan implementasi dari prinsip freedom of transit, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebelum adanya Agreement on Trade Facilitation, Indonesia
telah menerapkan prinsip freedom of transit. Selain United Nations Convention on
the Law of the Sea, konvensi lain yang berkaitan dengan transit adalah Protocol 1
Designation of Transit Transport Routes and Facilities (Protokol 1 Penetapan
Rute-Rute Dan Fasilitas Angkutan Transit) yang disahkan dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia No.70 Tahun 2011. Protokol tersebut berisi
ketentuan transit di Penetapan Rute-Rute dan Fasilitas Angkutan Transit
Association of Southeast Asian Nations.

Pada hakekatnya, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang


bertentangan dengan freedom of transit. Akan tetapi ada beberapa perbedaan
pengaturan mengenai ketentuan terhadap suatu negara kepulauan. Perbedaan
ini terletak pada pokok utama pengaturan tentang hak lintas alur laut kepulauan
yang menyatakan bahwa lintasan yang dimaksud adalah lintasan dalam bentuk
lintas pelayaran atau penerbangan yang berlangsung secara terus menerus,
langsung, dan secepat mungkin. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pengertian
yang diberikan oleh United Nations Convention on the Law of the Sea terhadap hal
transit, terdapat perbedaan pembebanan syarat-syarat bagi pelaksanaan kedua
macam lintasan bagi kapal asing tersebut. 186
89

Menilik ketentuan yang ada, Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas
mengenai transit dan freedom of transit. Selain itu infrastruktur di Indonesia
belum memadai dan harus diperbaiki agar proses transit dapat berjalan dengan
baik. Dalam hal ini, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena
infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih kurang. Dibutuhkan waktu paling
tidak 15 (lima belas) tahun agar pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia dapat
memenuhi standar infrastruktur pelabuhan internasional. Perbaikan
infrastruktur tersebut memerlukan bantuan dana dari pihak lain agar dapat
terlaksana.

Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation

Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation, cara untuk


mendorong kepatuhan adalah dengan cara menciptakan iklim ekonomi yang
kondusif. Dalam hal kerjasama perdagangan internasional 187 antar negara diatur
dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan pada Bab XIII
tentang kerjasama perdagangan Internasional. Kerja sama Perdagangan
internasional tersebut dapat dilakukan melalui perjanjian Perdagangan
internasional. 188 Tata cara mengenai kerjasama perdagangan internasional
tersebut diuraikan dalam Pasal 83 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan 189 dan Pasal 84 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan. 190

186 Wulandari Retno, Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-
konvensi bidang maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut,2009), hal.31.

187Definisi Kerja Sama Perdagangan Internasional menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang


No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan adalah “kegiatan Pemerintah untuk memperjuangkan dan
mengamankan kepentingan nasional melalui hubungan Perdagangan dengan negara lain
dan/atau lembaga/organisasi internasional”.

188Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Kerja
sama Perdagangan dapat dilakukan melalui perjanjian Perdagangan internasional”.

Pasal 83 Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Pemerintah dalam
189

melakukan perundingan perjanjian Perdagangan internasional dapat berkonsultasi dengan


Dewan Perwakilan Rakyat”.
90

Mengenai pertukaran informasi, sampai dengan saat ini, belum diatur secara
rinci, walaupun demikian Pasal 88 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan mengatur mengenai sistem informasi perdagangan untuk
kebijakan dan pengendalian perdagangan. 191 Menurut Pasal 89 ayat (2) Undang-
Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, 192 sistem informasi
perdagangan tersebut mencakup perdagangan nasional maupun internasional.
Sistem Informasi Perdagangan tersebut sebaiknya dikembangkan lebih lanjut
agar pertukaran informasi dapat dilakukan.

190 Pasal 84 Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi:

(1) “Setiap perjanjian Perdagangan internasional disampaikan kepada Dewan Perwakilan


Rakyat paling lama 90 hari kerja setelah penandatanganan perjanjian.
(2) Perjanjian Perdagangan internasional yang disampaikan Pemerintah dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat untuk memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(3) Keputusan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian
Perdagangan internasional yang disampaikan oleh Pemerintah dilakukan paling lama 60
hari kerja pada masa sidang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi ikehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, pengesahannya dilakukan
dengan undang-undang.
b. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional tidak menimbulkan dampak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengesahannya dilakukan dengan Peraturan
Presiden.
(4) Apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa
sidang, Pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.”
(5) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perjanjian
Perdagangan paling lama 1 kali masa sidang berikutnya.
(6) Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional dapat membahayakan kepentingan
nasional, Dewan Perwakilan Rakyat menolak persetujuan perjanjian Perdagangan
internasional.
(7) Peraturan Presiden mengenai pengesahan perjanjian Perdagangan internasional
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

191 Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan
yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga
Pemerintah nonkementerian”.
Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Sistem
informasi perdagangan digunakan untuk kebijakan dan pengendalian Perdagangan.
192 Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Data

dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat data dan/atau
informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri”.
91

Mengenai mekanisme perolehan informasi di Indonesia diatur dalam Pasal 22


Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik,
yakni:
1. Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk
memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis
atau tidak tertulis.
2. Badan Publik wajib mencatat nama dan alamat Pemohon Informasi Publik,
subjek dan format informasi serta cara penyampaian informasi yang diminta
oleh Pemohon Informasi Publik.
3. Badan Publik yang bersangkutan wajib mencatat permintaan Informasi
Publik yang diajukan secara tidak tertulis.
4. Badan Publik terkait wajib memberikan tanda bukti penerimaan permintaan
Informasi Publik berupa nomor pendaftaran pada saat permintaan diterima.
5. Dalam hal permintaan disampaikan secara langsung atau melalui surat
elektronik, nomor pendaftaran diberikan saat penerimaan permintaan.
6. Dalam hal permintaan disampaikan melalui surat pengiriman, nomor
pendaftaran dapat diberikan bersam aan dengan pengiriman informasi.
7. Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan
Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis
yang berisikan :
a. informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak;
b. Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai
informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di
bawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan
mengetahui keberadaan informasi yang diminta;
c. penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan dalam hal perm
intaan diterim a seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi
informasi yang akan diberikan;
d. dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan maka
informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai
alasan dan materinya;
92

e. alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan;dan/ atau


f. biaya serta cara pem bayaran untuk memperoleh informasi yang diminta

Menurut Pasal 21 Undang-Undang Keterbukaan Informasi publik, mekanisme


untuk memperoleh Informasi Publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu,
dan biaya ringan.

Dalam hal perlindungan dan kerahasiaan, informasi yang dikecualikan tersebut


diatur dalam Pasal 17-Pasal 20 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi. Menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No.14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi, Informasi Publik yang dikecualikan
merupakan informasi yang bersifat rahasia. 193 Akan tetapi, dalam hal
perlindungan, belum ada regulasi jelas.

Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang


Keterbukaan Informasi Publik, dalam hal penyediaan informasi, maka tiap badan
publik menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi. Jadi penyediaan
informasi tersebut dilakukan masing-masing oleh badan publik tersebut. 194
Meskipun demikian, dengan adanya sistem informasi perdagangan, penyediaan
informasi perdagangan dilakukan secara terintegrasi dalam suatu sistem
informasi. Dalam hal ini, belum terdapat regulasi mengenai bagaimana
mekanisme sistem informasi perdagangan dan sejauh mana informasi yang

193Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang,
kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan
saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar
daripada membukanya atau sebaliknya”.

194 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

berbunyi “Untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik:
a. menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi;
b. dan membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat,
mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik yang
berlaku secara nasional”.
93

seharusnya tersedia dalam sistem informasi perdagangan tersebut. Infrastruktur


dalam hal sistem informasi perdagangan juga belum ada hingga saat ini

Implementasi ketentuan Pasal 12 ayat (1) sampai dengan Pasal 12 ayat (6)
Agreement on Trade Facilitation menghadapi permasalahan yang sama, yakni
belum adanya regulasi yang mengatur mengenai hal ini secara terperinci.
Regulasi tersebut sangatlah penting mengingat pertukaran informasi tersebut
dilkukan dalam lintas negara jadi perlu diperhatikan pula mengenai mekanisme,
kerahasiaan dan keamanannya. Selain itu, infrastruktur berupa sistem online
yang memadai juga belum dimiliki Indonesia, padahal pelaksanaan ketentuan-
ketentuan tersebut rata-rata dilaksanakan dengan sistem online.

Pasal 12.7-12.12 Agreement on Trade Facilitation

Di Indonesia, ketentuan Pasal 12 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation


tentang penolakan pemberian informasi kepada negara anggota WTO lainnya
diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Penolakan tersebut merupakan hak badan publik menurut Pasal 6
Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 195
Mengenai prosedur penundaan belum diatur secara jelas mekanisme dan
tenggang waktunya. Dalam hal penolakan, juga belum diatur bagaimana

195Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan peraturanperundang-undangan”.

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai
dengan ketentuanperaturan perundang-undangan”.

Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)adalah:
a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentinganperlindungan usaha dari persaingan usaha
tidaksehat;
c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan;dan/atau
e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai ataudidokumentasikan”.
94

mekanisme dan tenggang waktunya. Permasalahan mengenai waktu menjadi hal


yang penting untuk menjamin agar pemberian informasi tersebut dapat
dilakukan secara cepat dan efisien.

Hal yang perlu dipikirkan ialah jika informasi yang diberikan kepada pemohon
merupakan informasi yang tidak boleh disebarluaskan, perlu adanya ketentuan
yang jelas mengenai siapa yang wajib menjaga informasi yang telah diberikan
tersebut. Dari segi infrastruktur, Indonesia masih perlu perbaikan dalam
masalah sistem online terutama keamanannya karena Indonesia seringkali
diretas. Jangan sampai saat Indonesia mendapatkan informasi yang tidak boleh
disebarluaskan, namun informasi tersebut justru beredar karena sistem online
Indonesia diretas.

Pasal 12 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation mengatur mengenai timbal


balik. Jika suatu negara meminta informasi kepada suatu negara, maka negara
yang meminta tersebut harus menyanggupi jika negara yang diminta tersebut
meminta informasi yang serupa. Dalam Pasal 12 ayat (9) Agreement on Trade
Facilitation dijelaskan bahwa dalam permasalahan kepabenanan, negara-negara
anggota WTO dapat saling meminta informasi mengenai isu-isu terkait dengan
jumlah barang-barang produk yang dapat diimpor dan diekspor dalam suatu
negara anggota WTO, pihak-pihak yang terkait dengan dokumen dan informasi
berkaitan dengan ekspor dan impor suatu barang, dan juga referensi mengenai
peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh pemerintah terkait dengan
kebijakan ekspor dan impor suatu barang. Adapun pihak yang memohon hal
informasi tersebut harus juga memikirkan tentang biaya yang perlu dikeluarkan
guna penyediaan informasi.

Ketentuan mengenai biaya dalam rangka penyediaan informasi haruslah


dilakukan dengan biaya ringan dan hal ini menjadi asas dalam penyelenggaraan
keterbukaan informasi publik. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-
95

Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 196 Dalam
Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik dijelaskan bahwa untuk mendapatkan informasi harus dilakukan dengan
biaya yang murah. 197 Menurut Pasal 22 ayat (7) huruf g Undang-Undang No.14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 198 Besaran biaya yang
diperlukan dalam penyediaan informasi diputuskan oleh badan publik yang
mengeluarkan informasi tersebut. Menurut Pasal 35 ayat (1) huruf f Undang-
Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, 199 pemohon
informasi dapat mengajukan keberatan kepada Komisi Informasi dalam hal
pengenaan biaya pengadaan informasi yang tidak wajar

Negara yang dimintai informasi tidak perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengubah format pemberitahuan ekspor atau impor serta prosedurnya
2. Meminta persyaratan dokumen dalam pemberitahuan ekspor atau impor
selain yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
3. Berinisiatif secara sendiri untuk mendapatkan informasi
4. Mengubah jangka waktu penangguhan informasi
5. Memberikan dokumentasi tertulis di kertas ketika sistem online saat ini mulai
dikenal
6. Menerjemahkan informasi
7. Memverifikasi keabsahan informasi tersebut

196Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik
dengan cepat dan tepatwaktu, biaya ringan, dan cara sederhana”.

197Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi
“Mekanisme untuk memperoleh Informasi Publikdidasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan
biaya ringan”.

198Pasal 22 ayat (7) huruf Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik berbunyi “Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejakditerimanya permintaan, Badan
Publik yangbersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan biaya
serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta”.

199Pasal35 ayat (1) huruf f Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik berbunyi “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukankeberatan secara tertulis
kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi mengenai pengenaan biaya yang
tidak wajar”.
96

8. Memberikan informasi yang memberikan prasangka tertentu terhadap


kepentingan bisnis tertentu dari suatu badan usaha secara public maupun
privat.

Dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur mengenai pembatasan


diatas dan secara umum, kebijakan dalam penyediaan informasi diatur dalam
Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Dalam hal terdapat penggunaan tidak sah atau pengungkapan informasi belum
terdapat regulasi khusus mengenai penggunaan informasi yang tidak sah atau
pengungkapan informasi. Di Indonesia, penggunaan informasi yang tidak sah
atau pengungkapan informasi dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur
dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi pihak yang
menggunakan informasi secara melawan hukum, dikenakan sanksi Pasal 51
Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 200
Sementara itu, jika ada pihak yang dengan tanpa hak mengakses dan/atau
memperoleh dan/ataumemberikan informasi yang dikecualikan dikenakan Pasal
54 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik 201 atau Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. 202 Bagi pihak-pihak yang menyebarkan informasi

200Pasal 51 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi
“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakanInformasi Publik secara melawan dihukum
dipidana denganpidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ataupidana denda paling banyak
Rp 5.000.000,00 (lima jutarupiah)”.

201Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmengakses dan/atau memperoleh
dan/ataumemberikan informasi yang dikecualikansebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a,
huruf b,huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua)tahun dan pidana denda paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah)”.

202 Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmengakses dan/atau memperoleh
dan/atau memberikan informasi yang dikecualikansebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c
dan hurufe, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)tahun dan pidana denda paling
banyakRp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)”.
97

publik yang menyesatkan dikenakan Pasal 55 Undang-Undang No.14 Tahun


2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 203

Sebelum adanya Agreement on Trade Facilitation terdapat perjanjian sejenis,


yakni ASEAN Trade Facilitation. Secara umum ASEANTrade Facilitation sejenis
dengan Agreement on Trade Facilitation WTO, perbedaan spesifiknya dilihat dari
wilayah berlaku, serta mengenai perlakuan khusus bagi negara berkembang dan
negara terbelakang. Selain ASEAN Trade Facilitation juga terdapat The Asia-
Pacific Economic Cooperation Trade Facilitation Action Plan. Fasilitasi
perdagangan tersebut merupakan salah satu dari tiga pilar utama Asia-Pacific
Economic Cooperation untuk mencapai tujuan Bogor goals of free and open trade
and investment. Asia-Pacific Economic Cooperation dalam fasilitasi perdagangan
akan membantu meningkatkan ekonomi, terutama negara berkembang, yang
juga menguntungkan para pengusaha.

Berdasarkan Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation, maka ASEAN Trade


Facilitation serta The Asia-Pacific Economic Cooperation Trade Facilitation Action
Plan tetap diperbolehkan. Agreement on Trade Facilitation tidak menghalangi
negara anggota untuk melakukan perjanjian serta terikat dengan perjanjian lain.

Permasalahan utama ketentuan Pasal 12 ayat (7) sampai dengan Pasal 12 ayat
(11) Agreement on Trade Facilitation ialah masalah infrastruktur. Dalam hal ini
Indonesia belum memiliki infrastruktur yang memadai dalam sistem online.
Sebagaimana telah dijelaskan, keamanan situs milik Pemerintah masih sangat
rawan dan rentan untuk diretas. Penyediaan sistem online juga belum
sepenuhnya dapat dilakukan karena terdapat beberapa hal yang masih
menggunakan sistem manual yakni daerah yang terpencil.

203Pasal 55 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi
“Setiap Orang yang dengan sengaja membuat InformasiPublik yang tidak benar atau
menyesatkan danmengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana denganpidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau dendapaling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.
98

Oleh karena itu, kesiapan Indonesia melaksanakan ketentuan Pasal 12


Agreement on Trade Facilitation dapat digolong dalam Kategori C. Hal ini
disebabkan Indonesia perlu memperjelas regulasi yang ada dan melakukan
perbaikan teknologi informasi serta pengembangan sumber daya manusia.
Setidaknya dibutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk melakukan semua
perbaikan tersebut.
99

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, simpulan yang bisa diambil antara lain:


1. Pada hakekatnya, fasilitasi perdagangan telah dikenal sejak abad
pertengahan. Tidak ada definisi tunggal atas terminologi fasilitasi
perdagangan. Bahkan, Agreement on Trade Facilitation tidak memberikan
definisi fasilitasi perdagangan. Dalam perkembangannya, pengertian
fasilitasi perdagangan telah mengalami perluasan. Fasilitasi perdagangan
diartikan sebagai penurunan atau pengurangan hambatan non tarif. Terkait
dengan fasilitasi perdagangan, ada 4 (empat) hal yang dijadikan indikator,
antara lain: efisiensi pelabuhan; lingkungan kepabeanan; lingkungan
kebijakan; dan penggunaan perangkat transaksi elektronik. Menurut the
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), fasilitasi
perdagangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: ketersediaan
informasi; partisipasi dalam komunitas perdagangan; advance rulings;
appeal procedures; fees and charges (biaya dan ongkos); dokumen-dokumen
formalitas; formalities-automation (formalitas-terotomatisasi); streamlining
of border controls (penyederhaan pengawasan perbatasan); pelayanan
terpadu satu pintu untuk penyerahan seluruh dokumen persyaratan;
pemeriksaan post-clearance; dan operator ekonomi yang terotorisasi;
kerjasama internal; kerjasama eksternal; governance dan impartiality
(pemerintahan dan kenetralan). Agreement on Trade Facilitation
memberikan kesempatan kepada seluruh negara anggota WTO untuk
melakukan self-assessment dalam penerapan Agreement on Trade
Facilitation. Tingkat kesiapan suatu negara dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
Kategori A, Kategori B, dan Kategori C. Kategori A berarti ketentuan telah
siap dilaksanakan dan/atau telah dilaksanakan suatu negara pada saat ini,
serta tidak membutuhkan tambahan waktu atau bantuan dari negara/donor.
100

Kategori B diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih


membutuhkan waktu untuk menerapkannya. Kategori C diperuntukkan bagi
ketentuan dimana suatu negara masih membutuhkan waktu dan
membutuhkan bantuan dari negara/donor untuk menerapkannya. Bantuan
dapat berbentuk technical assisstance, capacity building, dan financial
assisstance.

2. Indonesia telah memulai proses fasilitasi perdagangan sejak tahun 1977,


yakni sebagai salah satu negara anggota ASEAN bersepakat tentang
Preferential Trading Agreement. Indonesia, dinilai Bank Dunia, telah
mengalami kemajuan dalam penerapan reformasi perdagangan beberapa
tahun terakhir. Namun, Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam rangking
54 dari 184 negara. Sistem logistik yang buruk mengakibatkan tingkat
hubungan perdagangan Indonesia rendah. Hal ini berdampak pada daya
saing produk-produk Indonesia. Kemajuan telah dicapai Indonesia dalam
meningkatkan tingkat efisiensi pelabuhan dan bea dan cukai, akan tetapi
Indonesia masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut. Meskipun ekonomi
Indonesia sangat terbuka dalam hal tarif, namun hambatan non-tarif
semakin mengalami peningkatan yang mencemaskan. Rendahnya nilai
efisiensi pelayanan bea dan cukai juga yang menjadi penyebab rendahnya
peringkat logistik Indonesia di dunia. Pada hakekatnya, Indonesia telah
mengeluarkan sejumlah kebijakan penyederhanaan prosedur-prosedur yang
berhubungan dengan perdagangan. Namun, pengeluaran sejumlah kebijakan
tersebut tidak cukup memadai sebab pelaksanaan kebijakan-kebijakan
tersebut belum mencapai hasil yang diharapkan. Upaya yang lebih besar
dibutuhkan Indonesia untuk berhasil. Sebagai contoh, pelaksanaan National
Single Window justru mengakibatkan dua kali penyerahan dan dua kali
pemeriksaan. Berdasarkan laporan OECD Trade Facilitation-Indonesia, The
Indonesia dinilai cukup baik dalam melaksanakan fasilitasi perdagangan,
yakni berada di atas rata-rata negara-negara ASEAN dan negara-negara
berpenghasilan menengah ke bawah, pada beberapa hal atau sektor.
101

Beberapa hal atau sektor tersebut antara lain: biaya dan ongkos,
harmonisasi dan simplifikasi dokumen, automation and internal border
agency co-operation (kerjasama petugas perbatasan dalam negeri dan
terotomatisasi). Namun, pada sektor ketersediaan informasi dan
streamlining procedures (penyederhanaan birokrasi), Indonesia masih
berada di bawah rata-rata negara di Asia dan negara-negara berpenghasilan
menengah ke bawah.

3. Kesiapan Indonesia terhadap tiap pasal Agreement on Trade Facilitation


a. Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation
Indonesia belum siap dalam hal publikasi dan ketersediaan informasi dan
dapat digolongkan dalam kategori C. Dibutuhkan waktu setidaknya 15
(lima belas) tahun untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
dan kerjasama yang baik antara beberapa instansi/kementerian terkait
serta untuk memperbaiki teknologi informasiSelain itu, untuk pendirian
Pusat Informasi yang memadai juga dibutuhkan pendirian infrastruktur
kantor dan mendesain sistem manajemen yang efektif dan efisien.

b. Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation


Dengan demikan, instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 2
Agreement on Trade Facilitation dan faktor penunjang pelaksanaan pasal
ini belum memadai. Pelaksanaan pasal ini membutuhkan sumber daya
manusia kompeten dan teknologi informasi yang memadai. Oleh karena
itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan pasal ini dapat digolongkan ke
dalam kategori C sebab Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan
dukungan untuk capacity building. Dibutuhkan waktu setidaknya 15 (lima
belas) tahun untuk mempersiapkan Indonesia melaksanakan Pasal 2
Agreement on Trade Facilitation.

c. Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation


Instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 3 Agreement on Trade
Facilitation belum memadai. Pelaksanaan pasal ini juga membutuhkan
102

sumber daya manusia kompeten. Selain itu, diperlukan kajian mendalam


tentang advance rulings berkenaan dengan perdagangan internasional itu
sendiri. Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan Pasal 3
Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke dalam kategori C.
Setidaknya Indonesia membutuhkan waktu 15 tahun untuk
mempersiapkan diri melaksanakan Pasal 3 Agreement on Trade
Facilitation.

d. Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation


Rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai dan dugaan terjadinya
praktek mafia peradilan mengakibatkan kesiapan Indonesia untuk
pelaksanaan Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan
ke dalam kategori C dengan jangka waktu yang dibutuhkan setidaknya 15
(lima belas) tahun. Indonesia membutuhkan dukungan capacity building,
dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di lingkungan
bea dan cukai maupun di lingkungan pengadilan pajak.

e. Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation


Untuk implementasi Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation, Indonesia
tergolong Kategori C. Hal ini dikarenakan masih banyak kekurangan
dalam bidang infrastruktur dan regulasi. Badan Pengawas Obat dan
Makanan dan pabean masih perlu bantuan teknis dalam bidang
infrastruktur, sumber daya manusia serta regulasi. Regulasi yang ada juga
belum mengatur mengenai prosedur tes kedua. Importasi di Indonesia
juga sering dilakukan oleh pihak ketiga. Indonesia setidaknya
membutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk implementasi Pasal 5
Agreement on Trade Facilitation.

f. Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation


Berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Agreement on
Trade Facilitation, Indonesia belum siap. Kesiapan Indonesia
103

dikategorikan dalam Kategori C. Untuk membuat aturan, sosialisasi dan


implementasi yang baik, Indonesia membutuhkan waktu setidaknya 15
(lima belas) tahun, dan biaya besar. Selain itu, Indonesia membutuhkan
bantuan teknis berupa pembelajaran pembentukan mekanisme
pelayanan bea dan cukai yang efisien dan dukungan capacity building
dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia para pegawai
bea dan cukai. Sementara itu, dalam hal sanksi, Indonesia telah memenuhi
ketentuan Pasal 6 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, sehingga,
kesiapan Indonesia bisa dikategorikan dalam Kategori A.

g. Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation


Untuk implementasi Pasal 7 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation,
Indonesia dapat dikategorikan dalam kategori A karena Indonesia telah
memiliki regulasi dan sarana yang memadai. Namun, terkait Pasal 7 ayat
(2) dan (3) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia
digolongkan dalam Kategori C karena Indonesia tidak siap dan butuh
waktu, setidaknya 15 (lima belas) tahun, untuk membuat regulasi lebih
khusus tentang jaminan impor dan pembayaran online. Indonesia
membutuhkan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk
pembangunan teknologi informasi dan peningkatan sumber daya
manusia, termasuk koordinasi antarinstansi Pemerintah. Selain itu,
Indonesia membutuhkan bantuan teknis dalam hal perancangan
peraturan terkait.

Untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade


Facilitation, kesiapan Indonesia digolongkan dalam Kategori C karena
belum ada penyeragaman manajemen risiko. Indonesia membutuhkan
bantuan teknis dalam hal penciptaan mekanisme yang dapat
mengakomodir perbedaan pola manajemen risiko. Waktu yang
dibutuhkan Indonesia setidaknya 10 tahun.
104

Kesiapan Indonesia untuk implementasi Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6)
Agreement on Trade Facilitation tergolong dalam kategori B karena telah
ada regulasi, namun, regulasi yang ada masih belum memadai dan
membutuhkan perbaikan baik dalam hal substabsi maupun pelaksanaan.
Untuk Indonesia National Single Window, perbaikan yang dibutuhkan
telah dipaparkan pada Bab II di atas. Setidaknya, Indonesia membutuhkan
waktu 15 (lima belas) tahun untuk penyempurnaan regulasi dan
perbaikan pelaksanaan regulasi.

Untuk implementasi Pasal 7 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation,


kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena Authorized
Economic Operator merupakan suatu yang baru dan belum ada kajian
mendalam Indonesia setidaknya membutuhkan 15 (lima belas) tahun
untuk persiapan yang matang. Untuk pelaksanaan Pasal 7 ayat (8) dan (9)
Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia tergolong dalam
kategori C. Hal ini disebabkan, walaupun Indonesia telah memiliki aturan
untuk menjalankan hal ini, namun Indonesia masih butuh waktu dan
masih membutuhkan bantuan teknis dan dukungan building capacity
untuk memperbaiki infrastuktur dan mempercepat masalah administrasi.

h. Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation


Indonesia masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi Pasal 8
Agreement on Trade Facilitation karena terkendala masalah koordinasi
antarlembaga. Berkenaan dengan perbatasan, ada beberapa instansi
bertugas. Masalah pembangunan fasilitas dibidang perbatasan juga masih
perlu dipertanyakan. Masalah kepabeanan memang merupakan urusan
Direktorat Bea dan Cukai, namun, ada beberapa instansi/lembaga yang
bertugas terkait dengan wilayah perbatasan, kawasan pelabuhan, dan
keamanan nasional. Dengan demikian, kesiapan Indonesia dalam
mengimplementasikan Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation termasuk
dalam Kategori C sebab Indonesia masih sangat perlu untuk melakukan
105

perbaikan koordinasi antarlembaga/instansi agar proses


penyederhanaan administrasi dapat dilakukan dengan waktu yang
dibutuhkan ialah 15 (lima belas) tahun.

i. Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation


Indonesia masih memiliki kekurangn di bidang integrasi antarlembaga
dalam hal perizinan. Dengan adanya Indonesia National Single Window
seharusnya diikuti dengan penyederhanaan proses perizinan lainnya
yang terkait. Mengintegrasikan peraturan perdagangan nasional agar
tercipta kesederhanaan dalam proses administrasi merupakan cara untuk
memenuhi Pasal ini. Jadi Indonesia dalam hal ini masih belum dapat
memenuhi Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation ini karena belum ada
aturan yang mengatur secara keseluruhan mengenai proses perpindahan
barang secara sederhana dan cepat. Dengan demikian, kesiapan Indonesia
mengimplementasikan Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation tergolong
Kategori C dengan waktu yang dibutuhkan setidaknya 15 (lima belas)
tahun.

j. Pasal 10 Agreement on Trade Facilitation


Berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) Agreement on Trade
Facilitation tentang Formalitas dan Persyaratan Dokumen, kesiapan
Indonesia termasuk dalam Kategori C dengan jangka waktu 15 (lima
belas) tahun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki fasilitas yang
memadai untuk melakukan integrasi dalam proses perizinan, dalam hal
regulasi Indonesia juga masih butuh perbaikan. Dalam hal Penerimaan
Salinan dalam Pasal 10 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation,
Indonesia digolongkan dalam Kategori C dengan jangka waktu yang
dibutuhkan selama 15 (lima belas) tahun karena belum memadai regulasi
mengenai penerimaan Salinan secara online dan perlu dilakukan
perbaikan infrastruktur agar penerimaan Salinan dapat dilakukan secara
online di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal standardisasi nasional
106

yang ada pada Pasal 10 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation,


Indonesia digolongkan dalam Kategori C dengan waktu yang dibutuhkan
ialah selama 15 (lima belas) tahun. Hal ini disebabkan untuk
implementasi Pasal 10 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation
memerlukan perbaikan di bidang regulasi dan serta bantuan
infrastruktur agar sesuai dengan standar internasional.

Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation


mengenai single window, Indonesia dikategorikan dalam kategori C
karena masih memerlukan waktu untuk memperbaiki sistem Indonesia
National Single Window dan integrasi antarlembaga/instansi. Setidaknya,
waktu 15 (lima belas) tahun dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki
sistem Indonesia National Single Window dan integrasi
antarlembaga/instansi. Dalam upaya memperbaiki kerjasama
antarinstansi/lembaga, Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan
dukungan capacity building. Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (5) Agreement
on Trade Facilitation mengenai pra-pengapalan, kesiapan Indonesia dapat
dikategorikan dalam Kategori A karena telah memiliki kesiapan dalam
pra-pengapalan yani dengan tidak adanya masalah yang berarti dalam
pra-pengapalan serta regulasi yang ada sudah cukup memenuhi
kebutuhan dalam bidang pra-pengapalan. Demikian pula halnya dnegan
Pasal 10 ayat (6) Agreement on Trade Facilitation mengenai Pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan, Indonesia telah dapat dikategorikan dalam
kategori A karena telah memadai dari segi regulasi maupun infrastruktur
yang ada. PPJK yang ada sudah mencukupi dan dapat memenuhi
pelayanan dalam bidang kepabean.

Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation


mengenai Prosedur Perbatasan umum dan Penyeragaman Persyaratan
Dokumentasi, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam kategori C. Hal ini
dikarenakan perlu kajian mendalam berkenaan dengan penyeragaman
107

tidak hanya terkait dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saja, namun
terkait dengan lembaga lain yang mengeluarkan perizinan. Indonesia
dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade
Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun.

Dalam hal barang reject yang diatur dalam Pasal 10 ayat (8) Agreement on
Trade Facilitation, kesiapan Indonesia termasuk dalam kategori C karena
belum ada ketentuan mengenai re-ekspor. Indonesia membutukan
bantuan teknis untuk pembuatan aturan tentang re-ekspor. Indonesia
membutuhkan paling tidak 15 (lima belas) tahun untuk dapat memenuhi
ketentuan Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation.

Dengan demikian, untuk ketentuan Temporary Admission of Goods and


Inward and Outward Processing yang diatur dalam Pasal 10 ayat (9)
Agreement on Trade Facilitation, Indonesia dikategorikan dalam Kategori
C. Hal ini karena terdapat beberapa peraturan yang perlu diubah dan
perlu dilakukan perbaikan infrastruktur. Indonesia dapat memenuhi
ketentuan Pasal 10 ayat (9) Agreement on Trade Facilitation dalam jangka
waktu 15 (lima belas) tahun.

k. Pasal 11 Agreement on Trade Facilitation


Pada hakekatnya, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang bertentangan dengan freedom of transit. Menilik ketentuan yang ada,
Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas mengenai transit dan
freedom of transit. Selain itu infrastruktur di Indonesia belum memadai
dan harus diperbaiki agar proses transit dapat berjalan dengan baik.
Dalam hal ini, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena
infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih kurang. Dibutuhkan waktu
paling tidak 15 (lima belas) tahun agar pelabuhan-pelabuhan utama di
Indonesia dapat memenuhi standar infrastruktur pelabuhan
108

internasional. Perbaikan infrastruktur tersebut memerlukan bantuan


dana dari pihak lain agar dapat terlaksana.

l. Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation


Kesiapan Indonesia melaksanakan ketentuan Pasal 12 Agreement on
Trade Facilitation dapat digolong dalam Kategori C. Hal ini disebabkan
Indonesia perlu memperjelas regulasi yang ada dan melakukan perbaikan
teknologi informasi serta pengembangan sumber daya manusia.
Setidaknya dibutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk melakukan
semua perbaikan tersebut.

B. Rekomendasi

Sehubungan dengan simpulan di atas, tindakan yang sebaiknya dilakukan


Pemerintah Indonesia ialah:
1. Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak meratifikasi Agreement on Trade
Facilitation sebab kesiapan Indonesia terhadap hampir seluruh ketentuan
dalam Agreement on Trade Facilitation digolongkan dalam kategori C.
2. Apabila Indonesia hendak meratifikasi Agreement on Trade Facilitation,
sebaiknya:
a. Pemerintah Indonesia segera membentuk komite persiapan Agreement
on Trade Facilitation yang mencakup perwakilan dari seluruh
kementerian maupun instansi Pemerintah terkait, akademisi, dan para
praktisi.
b. Indonesia harus menotifikasi kesiapan Indonesia dalam kategori yang
sesungguhnya mencerminkan kesiapan Indonesia;
c. Untuk ketepatan jangka waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kesiapan Indonesia, Pemerintah harus melakukan kajian lapangan
yang mendalam dan perhitungan dana yang tepat dan matang. Akan
lebih baik apabila ternyata persiapan Indonesia lebih cepat dari jangka
waktu yang dinotifikasi daripada sebaliknya. Jika Indonesia tidak siap
dalam jangka waktu yang dinotifikasi, Indonesia dapat digugat negara
109

lain ke Dispute Settlement Body WTO dan dikenakan sanksi. Jelas, hal
ini akan sangat merugikan keuangan negara.
d. Dalam hal membuat proposal permohonan bantuan technical
assistance maupun dukungan capacity building, Pemerintah Indonesia
harus mempertimbangkan dengan seksama kedaulatan negara terkait
pelaksanaan perdagangan internasional.
110

DAFTAR PUSTAKA

Bolhofer, C.E. (2008). Trade Facilitation-WTO Law and Its Revision to Facilitate Global Trade in
Goods, World Costum Journal, Vol.2, No.1, hal.35-37.

Darussalam dan Septriadi, D. (2007). Majalah Inside Tax, Edisi 02, hal.19.

Dewan Perwakilan Rakyat. (2014). Indonesia Belum Memiliki Pelabuhan Internasional. Diakses
22 Agustus 2014 dari http://www. dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-
belum-memiliki-pelabuhan -internasional

Direktorat Bea dan cukai. Prosedur Umum Importasi. http://bctjmas.beacukai.go.id/index.php/


media-center/artikel-terkait/54-prosedur-umum-importasi, diakses pada 18 Agustus 2014

Doing Business. (2014). Country Profiles. Diakses 20 Juli 2014 dari


http://www.doingbusiness.org/~/media/giawb/doing%20business/documents/profiles
/country/idn.pdf,

Doing Business. (2014). Rangking of Economies. Diakses 5 Juli 2014 dari


http://www.doingbusiness.org/rankings,.

E.L. Rubin. (1997). Law and the Methodology of Law, Winconsin Law Review, hal.525

Finger, J.M dan Wilson, S. (2006). Implementing A WTO Agreement on Trade Facilitation: What
Makes Sense? World Bank Policy Research Working Paper 3971, hal. 7-8.

Grainger, A. Customs and Trade Facilitation: From Concepts to Implementations, World Customs
Journal, Vol. 2, No.1, hal.17.

Grainger, A.. Trade Facilitation: A Conceptual Review, Journal of World Trade, 45:1, hal.40.
Hoekman, B dan Shepperd, B. (2013). Who Profits from Trade Facilitation Initiatives? EUI
Working Paper RSCAS 2013/49.

Ibid. (2014). Agreement on Trade Facilitation. Diakses Agustus 2014 dari


http://ditjenkpi.kemendag.go.id/situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=13
86&detail=true.

ICC Policy Statement. (2014). ICC Recommendations For Trade Facilitation through Effective
Customs Duty Relief Programmes. Diakses 2 September 2014 dari
http://www.iccindiaonline.org/policy_state/duty.pdf.

Indoesia Port. (2014). Pelabuhan Tanjung Priok. Diakses 20 Juli 2014 dari
http://www.indonesiaport.co.id/read/tanjung-priok.html,.

Indonesia National Single Window. (2014). Indonesia National Single Window. Diakses 11
Agustus 2014 dari http://www.insw.go.id/home?page=1/about/about.html.

Jolevski, Z. (2014). Trade Facilitation in the WTO Context. Diakses 25 Juli 2014 dari
http://www.unece.org/trade/ctied9/policy_segment/partI_zoran_jolevski.ppt.

Kedutaan Besar LBBP/Watapri. (2014). Laporan UNCTAD’s Multi-Year Expert Meeting (MYEM) on
Transport, Trade Logistics and Trade Facilitation: Jenewa, hal.3.
111

Kompas. (2014). Mengapa Situs Pemerintah RI Kerap Diretas. Diakses 22 Agustus 2014 dari
http://tekno.kompas.com/read/2013/14/10095691/Mengapa.Situs.Pemerintah.RI.Kerap.Direta
s.

Landlocked Developing Countries Series, No. 1. (2014). “Transit Transport Issues in Landlocked
and Transit Developing Countries”. Diakses 22 Agustus 2014 dari
http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/ Resources/WBI-Training/UN-
Landlocked.pdf.

Layton, Brent. (2007). Trade Facilitation: A Studi in the Context of the ASEAN Economic
Community Blueprint”, ERIA Research Project Report, hal.87.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (1988). TAP MPR RI No. II/MPR/1988
Tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR RI No. I/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara, http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/88TAPMPR-II.pdf, diakses pada tanggal 10
Juli 2014.

Milner, C., Morrissey, C dan Zgovu,E. (2007). Trade Facilitation in Developing Countries.
Organisation Economic Co-Operation and Development. (2013). Trade Facilitation Agreement
would add billions to global economy. Diakses 27 Juli 2014 dari http://www.oecd.org/trade-
trade-facilitation-agreement-would-add-billions-to-global-economy-says-oecd.htm.

Organisation Economic Co-Operation and Development. (2014). OECD Trade Facilitation


Indicators-Indonesia. Diakses pada 27 Juli 2014 dari
http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-trade-facilitation-indicators-april-
2014.pdf

Purwanto, Ali. Sistem Pemeriksaan Dalam Rangka Pengujian Kepatuhan Melalui Penetapan
Kembali dan Audit Kepabeanan, hal.42-43.

Repbulik Indonesia. (2003). Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep-07/BC/2003
tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor. Berita Negara Republik
Indonesia tahun 2003. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai RI. Jakarta.

Republik Indonesia. (1992). Undang - Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 1992 Tentang
Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No.
56. Sekretariat Negara RI. Jakarta

Republik Indonesia. (2002). Undang - Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.27. Sekretariat Negara
RI. Jakarta

Republik Indonesia. (2006). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93. Sekretariat Negara RI. Jakarta.

Republik Indonesia. (2007). Peraturan Menteri Keuangan No.: 65/Pmk.04/2007 tahun 2007
Tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. Berita Negara Republik Indonesia. Sekretariat
Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta.

Republik Indonesia. (2008). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008
Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 61. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
112

Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang


Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator. Berita Negara Republik
Indonesia tahun 2010. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta.

Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia


No.147/Pmk.04/2011 tentang Kawasan Berikat. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011
No. 558. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta.

Republik Indonesia. (2012). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 35 Tahun 2012 Tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Sistem
Elektronik dalam Kerangka Indonesia Single Window. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 84. Sekretariat Negara RI. Jakarta.

Republik Indonesia. (2014). Undang - Undang Republik Indonesia No.7 tahun 2014 tentang
Perdagangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 45. Sekretariat Negara RI.
Jakarta.

Republik Indonesia.(1999). Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme . Sekretariat
Negara RI. Jakarta

Republik Indonesia.(2000). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.102 Tahun 2000


tentang Standardisasi Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No.1999.
Sekretariat Negara RI. Jakarta.

Republik Indonesia.(2006). Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006 tentang


Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana
Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara
atas Barang Kena Cukai Buatan dalam Negeri. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2006.
Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta.

Republik Indonesia.(2006). Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2006 tentang


Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 No.93. Sekretariat Negara RI. Jakarta

Republik Indonesia.(2007). Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007


tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan. Berita
Negara Republik Indonesia tahun 2007. Sekretariat Jenderal Departemen Perdagangan RI.
Jakarta

Republik Indonesia.(2007).Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang


Pemeriksaan Fisik Barang Impor. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2007. Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai RI. Jakarta.

Republik Indonesia.(2008). Undang-Undang Republik Indonesia No.43 Tahun 2008 tentang


Wilayah Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No.177. Sekretariat Negara
RI. Jakarta.

Republik Indonesia.(2009). Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun


2009 tentang Angka Pengenal Importir (API). Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009.
Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan. Jakarta.

Republik Indonesia.(2009).Undang-Undang Republik Indonesia No.49 Tahun 2009 tentang


Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 158. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
113

Republik Indonesia.(2010). Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2010
No.498. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta.

Republik Indonesia.(2010). Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010. Sekretariat Negara RI.
Jakarta.

Republik Indonesia.(2011). Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Per-5/BC/2011
tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut Dan Manifes
Keberangkatan Sarana Pengangkut Dalam Rangka Pengangkutan Barang Impor Dan Barang
Ekspor Ke Dan Dari Kawasan Pabean Di Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu. Tahun 2011,
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Jakarta.

Republik Indonesia.(2011). Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 No.82. Sekretariat Negara RI. Jakarta.

Republik Indonesia.(2012). Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012


tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai. Berita Negara Republik Indonesia tahun
2012. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai RI. Jakarta

Republik Indonesia.(2014).Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2014 tentang


Perindustrian. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 4. Sekretariat Negara RI.
Jakarta.

Richardson, F. (2014). The e-Justice Revolution. Diakses 2 September 2014 dari


http://www.ibanet.org/Article/Detail.aspx?ArticleUid=744f59c1-b745-49a3-830c-
47e5ca7e5756

Roy, Jayanata dan Bagai, S. (2004). Key Issue in Trade Facilitation: Summary of World Bank/EU
Workshop in Dhaka and Shanghai in 2004, World Bank Policy Research Working Paper No.3703,
hal.18.

Sindo. (2013). Aib Ditjen Bea Cukai. Diakses 20 Agustus 2014 dari http://www.sindoweekly-
magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjen-bea-cukai

Sjamsul Arifin, dkk. (2008). Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, hal.71.

Suherman, Ade Maman. (2014). Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga Penyelesaian


Sengketa WTO dan Negara Berkembang, hal.17.

Sulistyowati dan Sidharta. (2009). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, hal.143.

SWEPRO. (2014). General Aspects of Trade Facilitation. Diakses 25 Juli 2014 dari
http://www.kommers.se/SWEPRO/In-English/What-is-trade-facilitation/.

T.M. Joseph. (2008). New Governance Paradigm: Issues in Development, hal.59.

Third World Network. (2014). Work Plan Presented at Trade Facilitation Committee. Diakses 26
Agustus 2014 dari http://www.twnside.org.sg/title2/wto.info/2014/ti140301.htm
114

Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting , (New York:International Monetary Fund,
1996), hal 61.

UNECE. (2014). Trade Facilitation and Implementation Guide, Hisoty of the Negotiation.
http://tfig.unece.org/contents/Scope-of-TF-at-WTO.html, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.

United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 1,2,6

Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Assessing the Potential Benefit of Trade.

Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Trade Facilitation and Economic Development:
Measuring the Impact, World Bank Policy Research Working Paper 2988.

Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Trade Facilitation and Economic Development:
Measuring the Impact: A New Approach to Quantifying the Impact”, (The World Bank Economic
Review, Vol.17 No.3, 2003), hal.368.

World Bank Policy Research. Trade Facilitation: A Global Perspective, No.3224, hal.3.

World Trade Organization. (2013). Agreement on Trade Facilitation. Diakses 26 Agustus 2014
dari http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/mc9_e/desci36_e.htm.

World Trade Organization. (2013). Bali Ministerial Declaration and Decisions. Agreement on
Trade Facilitation.

World Trade Organization. (2014).WTO Annual Report 2014, hal.24,26,36.

Wulandari Retno.(2009). Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-
konvensi bidang maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut,2009), hal.31.

Yose Rizal Damuri, “An Evaluation of the Need for Selected Trade Facilitation Measures in
Indonesia: Implications for the WTO Negotiations on Trade Facilitation”, Asia-Pacific Research and
Training Network on Trade Working Paper Series No.10 (April 2006), hal.7.

Anda mungkin juga menyukai