DAFTAR ISI
BAB I ..................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN............................................................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................. 10
D. Metode Penelitian........................................................................................................... 11
BAB II .................................................................................................................................................13
BAB IV ................................................................................................................................................99
A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 99
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada bulan Desember 2013 lalu, Indonesia telah menjadi tuan rumah
pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) IX
yang diselenggarakan di Bali. Pada pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri
WTO 2013 ini, disepakati ‘Bali Package’ (Paket Bali). Bali Package merupakan
kelanjutan negosiasi Putaran Doha 1 yang lebih luas. 2
Bali Package terdiri dari sejumlah kesepakatan yang diharapkan dapat menjadi
pendorong kemajuan semua negara anggota, khususnya negara berkembang dan
negara miskin. Sebagai perjanjian besar pertama di antara anggota WTO, 3 Bali
Package bertujuan untuk merampingkan perdagangan, memungkinkan negara-
negara berkembang lebih banyak pilihan untuk menyediakan ketahanan pangan
dan meningkatkan perdagangan negara-negara terbelakang. 4 Hasil kesepakatan
tersebut dituangkan menjadi tiga paket. Ketiga paket tersebut adalah perjanjian
untuk argokultural atau paket pertanian (agreement on agriculture), paket untuk
1 Tujuan awal Putaran Doha atau yang disebut agenda pembangunan Doha adalah untuk
terciptanya aturan perdagangan internasional bagi negara-negara anggota WTO dalam rangka
meminimalisir hambatan-hambatan yang mendistorsi perdagangan, misalnya aturan penurunan
pajak impor, aturan pengurangan subsidi pertanian, serta aturan prosedur kepabeanan. Lihat
Harianto, Paket Bali WTO dan Relevansinya bagi Pertanian Indonesia, http://www.setkab.go.id/
artikel-11423-paket-bali-wto-dan-relevansinya-bagi-pertanian-indonesia.html, diakses pada
tanggal 18 Agustus 2014.
2WTO, Annual Report 2014, hal.24. Perjanjian-perjanjian lama dinilai perlu disempurnakan dan
perjanjian baru perlu dirundingkan agar sejalan dengan kemajuan teknologi, aspirasi negara
berkembang untuk menaiki matarantai nilai perdagangan dunia, tekanan jumlah penduduk yang
meningkat dan perkembangan lainnya yang tidak diantisipasi sebelumnya. Lihat
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/ situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=
1386&detail=true, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.
5Teks Agreement on Trade Facilitation yang diadopsi di Bali terus disempurnakan guna
memastikan bahasa yang dipergunakan tepat secara hukum.
6 Ibid. Agreement on Trade Facilitation dinilai sebagai reformasi terbesar sebab Perjanjian ini
merupakan penjanjian multilateral pertama dihasilkan WTO. Lihat
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=13
86&detail=true, diakses pada tanggal 25 Juli 2014.
7 Kerangka dasar tersebut sebagai berikut: Pertama, negara-negara anggota WTO menilai
pentingnya dibuat aturan khusus tentang fasilitasi perdagangan. Kedua, negara-negara anggota
WTO mulai mempertimbangkan hal hal apa saja yang perlu diatur dalam perjanjian fasilitasi
perdagangan. Trade Facilitation and Implementation Guide, Hisoty of the Negotiation,
http://tfig.unece.org/contents/Scope-of-TF-at-WTO.html, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.
8J. Michael Finger dan John S. Wilson, “Implementing A WTO Agreement on Trade Facilitation:
What Makes Sense?” (World Bank Policy Research Working Paper 3971, Agustus 2006), hal.7-8.
Pada Doha Round tahun 2001, disepakati 37 hal untuk negara-nagara berkembang dalam rangka
mengimplementasikan Perjanjian GATT 1994.
9 Doha Development Agenda atau DDA adalah salah satu objek fundamental dalam Doha Round
dengan tujuan untuk meningkatkan prospek perdagangan negara negara berkembang. Program
kerja yang dihasilkan dalam Doha Round mencakup sekitar 20 bidang perdagangan. WTO, The
Doha Round, http://www.wto.org/english/tratop_e/dda_e/dda_e.htm, diakses pada tanggal 12
Agustus 2014.
6
Lalu, perkembangan besar terjadi pada saat Hong Kong Ministerial Declaration
Desember 2005. Pada Pasal 33 Hong Kong Ministerial Declaration ditegaskan
untuk merancang perjanjian fasilitasi perdagangan. 11 Selanjutnya, dalam July
Package 2004, negara-negara anggota WTO kembali menegaskan pentingnya
memperjelas Pasal V, VIII dan X the General Agreement on Tariffs and Trade
1994. Negosiasi ini menegaskan perlakuan khusus dan berbeda untuk negara-
negara berkembang dan kurang berkembang, yaitu dalam bentuk pemberian
bantuan teknis dan dukungan untuk peningkatan kapasitas negara-negara
berkembang serta peningkatan kerjasama yang efektif antarnegara anggota. 12
14 Carolin Eva Bolhofer, “Trade Facilitation-WTO Law and Its Revision to Facilitate Global Trade in
Bagian Kedua berisi ketentuan tentang perlakuan khusus dan berbeda bagi
negara-negara berkembang dan terbelakang. Bagian Kedua ini ditujukan untuk
membantu negara-negara berkembang dan terbelakang melaksanakan Bagian
Pertama Agreement on Trade Facilitation. 16 Bagian Kedua Agreement on Trade
Facilitation mencakup bantuan bagi negara-negara berkembang dan terbelakang
untuk memperbarui infrastruktur, melatih petugas bea dan cukai, atau hal lain
terkait dengan pelaksanaan Perjanjian. 17
19Berdasarkan teks Agreement on Trade Facilitation yang disepakati di Bali, perlakuan khusus
dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang hanya diberikan untuk “Pasal 1-12
Bagian Pertama”. Mayoritas anggota baru menyadari bahwa Teks Agreement on Trade
Facilitation yang disepakati di Bali berbeda dengan yang disepakati di Jenewa bahwa perlakuan
khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang berlaku untuk seluruh
Bagian Pertama (Pasal 1-13).
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
21Direktorat Kerja Sama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional,
“Perkembangan Terakhir Persiapan Implementasi Agreement on Trade Facilitation di WTO”.
Fasilitasi perdagangan merupakan salah satu pilar strategi pembangunan Indonesia, yang
terefleksikan dari komitmen-komitmen Indonesia terkait fasilitasi perdagangan baik secara
nasional, bilateral, regional, dan internasional. Salah satu dari komitmen-komitmen tersebut
adalah UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang kemudian mengalami perubahan
menjadi UU No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang mana secara eksplisit mencantumkan
rujukan mengenai aspek fasilitasi perdagangan internasional, (lihat
http://kemlu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=1351&l=id, diakses pada tanggal 25 Juli 2014)
tetap harus disadari bahwa Indonesia merupakan tujuan para eksportir sebagai akibat besarnya
pasang pasar.
11
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode
penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode yuridis normatif
disebut juga metode doktrinal. 22 Penelitian hukum doktrinal bertujuan untuk
”systematise, rectify and clarify the law on any particular topic by a distinctive
mode of analysis to authoritative texts that consist of primary and secondary
sources.” 23
Dalam penelitian ini, data utama yang dikaji adalah berbagai peraturan terkait
perdagangan yang telah ada (existing regulations). Data sekunder berupa bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder ini didapatkan melalui library
research atau studi kepustakaan. Data sekunder dikumpulkan baik melalui
penelusuran internet maupun mendapatkan secara langsung di beberapa
22 Bernard Arief Sidharta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan
Dogmatikal dalam Sulistyowati dan Sidharta (eds), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal.143.
23E.L. Rubin, “Law and the Methodology of Law” (1997) Winconsin Law Review, hal.525 dikutip
dari Mike McConville dan Wing Hong Chui (eds), Research Methods for Law, (Edinburgh:
Edinburgh University Press Ltd, 1988), hal.3-4.
12
E. Sistematika Penulisan
Kajian ini terdiri atas beberapa bagian. Bagian Pertama, sebagai pendahuluan,
menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika penulisan. Bagian
Kedua, membahas tentang definisi mengenai fasilitasi perdagangan, gambaran
umum, dan peran fasilitasi perdagangan dalam meningkatkan arus barang
(ekspor dan impor). Bagian ketiga akan berisi tentang hasil analisis dan bagian
terakhir merupakan simpulan dan rekomendasi.
13
BAB II
24 Andrew Grainger, “Customs and Trade Facilitation: From Concepts to Implementations”, World
2001.
United Nations Centre for Trade Facilitation and Electronic Business pun
menegaskan fasilitasi perdagangan sebagai “the simplification, standardization
and harmonization of procedures and associated information flows required to
move goods from seller to buyer and to make payment”. 27 Efesiensi proses atau
prosedur pada pengertian fasilitasi perdagangan juga ditekankan oleh
International Chamber of Commerce (ICC). Menurut ICC, pengertian fasilitasi
perdagangan berfokus pada peningkatan efisiensi proses yang terkait dengan
pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi untuk menyederhanakan dan
mengurangi biaya transaksi perdagangan internasional, dan memastikan bahwa
semua kegiatan yang relevan dilakukan dalam suatu secara efisien, transparan,
dan dapat diprediksi, berdasarkan norma-norma yang diterima secara
internasional, standar dan praktik terbaik. 28
Selanjutnya, pada G20 Trade Ministers Meeting, di Puerto Vallarta, Mexico, April
2012, fasilitasi perdagangan ditempatkan sebagai permasalahan penting melalui
peningkatan aspirasi dalam mata rantai perdagangan; 31 negara tidak hanya
sekedar menjadi penyedia bahan baku, tetapi juga menjadi pengolah bahan
antara dan produk akhir. Akibatnya, nilai tambah dalam mata rantai
perdagangan dapat turut dinikmati oleh negara berkembang seperti Indonesia. 32
29 John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, Assessing the Potential Benefit of
Trade Facilitation: A Global Perspective, World Bank Policy Research Working Paper No.3224,
hal.3.
31Konsep global value chains ditekankan oleh para Menteri Perdagangan G20. Peran setiap
negara meliputi penyedia bahan baku, produk antara, dan produk akhir.
2014
33John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, “Trade Facilitation and Economic
Development: A New Approach to Quantifying the Impact”, (The World Bank Economic Review,
Vol.17 No.3, 2003), hal.368.
34 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for
Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-
trade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
16
Hal-hal yang terkait dengan fasilitasi perdagangan yang diatur dalam Agreement
on Trade Facilitation adalah: Consultations, Detention, General Disciplines on Fees
and Charges Imposed on or in Connection with Importation and Exportation,
Specific Disciplines on Fees and Charges Imposed on or in Connection with
Importation and Exportation, Penalty Disciplines, Separation of Release from Final
Determination of Customs Duties, Taxes, Fees and Charges, Risk Management, Post-
Clearance Audit, Expedited Shipments, Movement of Goods under Customs Control
intended for Import, Formalities and Documentation Requirements, Use of
International Standards, Single Window, Use of Customs Brokers, Common Border
Procedures and Uniform Documentation Requirements, Rejected Goods, Temporary
Admission of Goods/Inward and Outward Processing,Pre-shipment Inspection,
Customs cooperation, dan National Committee on Trade Facilitation.
35 Tidak dijelaskan definisi capacity building dalam Agreement on Trade Facilitation. Capacity
building dapat didefinisikan sebagai proses peningkatan kemampuan menjalankan fungsi utama
dalam menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan secara berkelanjutan. Lihat Publication of
International Institute for Educational Planning, 2006, http://www.iiep.unesco.org/fileadmin/
user_upload/Research_Highlights_Emergencies/chapter3.pdf, hal 1, diakses pada tanggal 27
Agustus 2014. Capacity Building dalam arti luas mencakup beberapa hal, antara lain:
a) Human Resource Developtment: proses peningkatan kemampuan manusia untuk dapat
melakukan pekerjaan sesuai dengan standar
b) Organizational Developtment: proses peningkatan struktur manajemen dan prosedur baik
dalam organisasi maupun hubungan dengan organisasi lain (publik dan privat)
c) Institutional and Legal Framework Development: perubahan peraturan dalam rangka
peningkatan kapasitas perusahaan dan institusi.
Lihat Anneli Milèn Advisor Department of Health Service Provision, “What do we know about
capacity building? An overview of existing knowledge and good practice”, World Health
Organization, World Health Report 2001.
18
Agustus 2014.
berupa bantuan teknis dan capacity building bagi negara berkembang dan
negara terbelakang atas komitmen-komitmen yang termasuk dalam kategori C.
Bantuan ini dimaksudkan untuk pencapaian kemampuan terbaik dalam
pelaksanaan Agreement on Trade Facilitation. Persyaratan yang harus dipenuhi
oleh negara berkembang dan negara terbelakang ialah notifikasi terperinci atas
ketiga pengkategorian komitmen dan bantuan yang dibutuhkan, baik dalam
bentuk bantuan teknis maupun dukungan capacity building. .Persyaratan lain
ialah informasi terperinci bagi negara-negara donor tentang bantuan teknis dan
dukungan capacity building yang telah diberikan selama satu tahun sebelumnya.
Jika diperlukan, notifikasi kepada negara-negara donor termasuk tentang
kebutuhan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk satu tahun
berikutnya. 38.
a. Kategori A
Kategori ini diperuntukkan untuk ketentuan yang telah siap dilaksanakan
dan/atau telah dilaksanakan oleh suatu negara pada saat ini, serta tidak
membutuhkan tambahan waktu atau bantuan dari negara/donor. 40
42Paragraph 3 Bali Ministerial Decision: “The General Council shall meet no later than 31 July 2014
to annex to the Agreement notifications of Category A commitments, to adopt the Protocol drawn
up by the Preparatory Committee, and to open the Protocol for acceptance until 31 July 2015. The
Protocol shall enter into force in accordance with Article X:3 of the WTO Agreement.”
Agustus 2014
b. Kategori B
Kategori ini diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih
membutuhkan waktu untuk menerapkannya. 46
45Paragraph2 Bali Ministerial Decision: “…In particular, the Preparatory Committee shall conduct
the legal review of the Agreement referred to in paragraph 1 above, receive notifications of
Category A commitments, and draw up a Protocol of Amendment (the "Protocol") to insert the
Agreement into Annex 1A of the WTO Agreement.”
c. Kategori C
Kategori ini diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih
membutuhkan waktu dan membutuhkan bantuan dari negara/donor untuk
menerapkannya. Bantuan dapat berbentuk technical assisstance, capacity
building, dan financial assisstance. 49
Aliran bebas barang (free flow of goods) merupakan salah satu pilar utama
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Cetak biru aliran bebas barang Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015 54 ini dikenal sebagai ASEAN Trade Facilitation. Kebijakan
52 ASEAN Economic Community merupakan realisasi dari integrasi ekonomi yang termuat dalam
53 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008,
Jakarta), hal.71.
54Cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mencakup kerangka aliran bebas barang yang
meliputi: penghapusan hambatan tariff, penghapusan hambatan non-tarif, dan fasilitas
perdagangan lainnya.
24
Selain itu, sejak tahun 1988, Indonesia secara implisit telah mengakui
pentingnya fasilitasi perdagangan. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
1988, 56 Indonesia menetapkan kebijakan pembangunan perdagangan luar negeri
Indonesia harus diarahkan untuk peningkatan efisiensi perdagangan dalam dan
luar negeri. Hal ini berarti, pada hakekatnya, isu fasilitasi perdagangan telah
diatur secara tertulis dalam hukum nasional Indonesia sejak tahun 1988.
55 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008,
Jakarta), hal.71-72.
56TAP MPR RI No. II/MPR/1988 Tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR RI No.
I/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara,
http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/88TAPMPR-II.pdf, diakses pada tanggal 10 Juli 2014.
57 Yose Rizal Damuri, “An Evaluation of the Need for Selected Trade Facilitation Measures in
Indonesia: Implications for the WTO Negotiations on Trade Facilitation”, Asia-Pacific Research and
Training Network on Trade Working Paper Series No.10 (April 2006), hal.7.
Biaya
Jumlah
Waktu Ekspor Jumlah Waktu Biaya
Negara/ Rangki Dokum
Untuk (US$ Dokumen Untuk Impor (US$
Grup ng en
Ekspor per Untuk Impor per
Negara 2013 Untuk
(hari) Kontain Impor (hari) Kontainer)
Ekspor
er)
Singapore 1 3 6 460 3 4 440
Malaysia 5 4 11 450 4 8 485
Thailand 24 5 14 595 5 13 760
Brunei
Darus- 39 5 19 705 5 15 770
59
http://www.doingbusiness.org/rankings, diakses pada tanggal 5 Juli 2014.
26
Salam
Philippines 42 6 15 585 7 14 660
Indonesia 54 4 17 615 8 23 660
Vietnam 65 5 21 610 8 21 600
Lao PDR 161 10 23 1.950 10 26 1.910
East Asia &
Pacific .. 6 21 856 7 22 884
OECD high
income .. 4 11 1.070 4 10 1.090
Dari tabel diatas, Indonesia berada dalam rangking 54 dari 184 negara yang
disurvei. Apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia relatif
tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Thailand; sedangkan, bersama Brunei,
Filipina dan Vietnam relatif berada dalam level yang kurang lebih sama.
60
http://www.doingbusiness.org/~/media/giawb/doing%20business/documents/profiles
/country/idn.pdf, diakses pada tanggal 20 Juli 2014.
Tidak hanya itu, kinerja pelabuhan Jakarta dan pelabuhan Surabaya menjadi
yang terburuk. Padahal, pelabuhan-pelabuhan tersebut merupakan pelabuhan-
pelabuhan utama Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan keterpurukan
kinerja kedua pelabuhan utama tersebut yaitu: biaya logistik inter pulau yang
tinggi, kemacetan parah di pulau Jawa, dan kualitas buruk jalan di luar pulau
Jawa. 64 Selain kinerja yang terburuk, faktor lain yang perlu diperhatikan
sehubungan pelabuhan Jakarta ialah pelabuhan Jakarta belum berstatus sebagai
pelabuhan internasional. 65 Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat
pelabuhan Jakarta atau pelabuhan Tanjung Priuk merupakan pelabuhan utama
dan tersibuk Indonesia. 66
65http://dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-belum-memiliki-pelabuhan
kontainer ialah lima hari. Jangka waktu ini lebih lama dibandingkan sebagian
besar waktu tunggu yang dibutuhkan pelabuhan-pelabuhan di wilayah tersebut,
yaitu sekitar kurang dari tiga hari. Waktu yang dibutuhkan bagi penyelesaian
impor kontainer kosong ialah setengah dari waktu yang dibutuhkan kontainer
penuh. Hal ini mengindikasikan bahwa bukan karena prasarana yang tidak
memadai yang menyebabkan sebagian besar penundaan tetapi pengawas
perbatasan dan prosedur pemeriksaanlah yang menyebabkan sebagian besar
penundaan. Meskipun ekonomi Indonesia sangat terbuka dalam hal tarif, namun
hambatan non-tarif semakin mengalami peningkatan yang mencemaskan. 67
Rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai juga yang menjadi penyebab
rendahnya peringkat logistik Indonesia di dunia. 68
68 Tahun 2012, nilai pelayanan bea dan cukai Indonesia mendapat nilai 2,53 (skala 0-5).
Meskipun nilai ini meningkat dari nilai pelayanan tahun 2010 yang hanya mendapat nilai 2,43,
tetapi masih lebih rendah dibandingkan nilai pelayanan tahun 2007 yang mendapat nilai 2,73.
Lihat http://www.sindoweekly-magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjen-
bea-cukai, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014.
Pada tahun 2013, the Organisation for Economic Co-Operation and Development
(OECD) telah melakukan penelitian terhadap gambaran fasilitasi perdagangan
Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membantu Pemerintah
mengetahui kondisi kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan perjanjian fasilitasi
perdagangan. The Organisation for Economic Co-Operation and Development
menganalisis sektor-sektor mana yang berpotensi dan sektor-sektor mana yang
perlu perbaikan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan seperangkat
indikator yang dibentuk. Dengan memperoleh gambaran fasilitasi perdagangan
yang ada, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat menentukan prioritas
tindakan untuk meningkatkan sistem dalam fasilitasi perdagangan tersebut. 72
72OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for
73 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for
Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-
trade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
31
74 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008,
Jakarta), hal.71-72.
75 Chris Milner, Oliver Morrissey and Evious Zgovu, Trade Facilitation in Developing Countries,
76John S. Wilson, Catherine L. Mann and Tsunehiro Otsuki, Trade Facilitation and Economic
Development: Measuring the Impact, World Bank Policy Research Working Paper 2988, March
2003,
32
Studi dengan metode grativitasi yang dilakukan APEC menunjukkan bahwa baik
negara ekspor dan negara impor sama-sama akan mendapatkan efisiensi
keuntungan. Sebagai contoh, dalam perdagangan Chili dan New Zealand, kedua
Negara mendapatkan keuntungan. Chili meningkatkan kemajuan pelabuhan;
sedangkan, New Zealand memiliki kemampuan teknologi informasi yang tinggi.
New Zealand akan menerima manfaat kemajuan pelabuhannya Chili; sementara
itu, Chili akan menikmati kemajuan teknologi informasinya New Zealand.
Efisiensi yang tercipta dengan mengurangi hambatan dapat menumbuhkan
transaksi ekonomi suatu Negara. 77
77 John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, op. cit., hal.382-383.
78 Jayanata Roy dan Shweta Bagai, Key Issue in Trade Facilitation: Summary of World Bank/EU
Workshop in Dhaka and Shanghai in 2004, World Bank Policy Research Working Paper No.3703,
hal.18.
79 Andrew Grainger, Trade Facilitation: A Conceptual Review, Journal of World Trade, 45:1, hal.40.
33
80Brent Layton, “Trade Facilitation: A Studi in the Context of the ASEAN Economic Community
Blueprint”, ERIA Research Project Report, (Januari 2007), hal.87.
81 Tingkat risiko negara dijadikan sebagai tempat penjualan barang tidak sehat atau barang
terlarang semakin dapat dihilangkan.
34
83 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for
84Unites Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 1.
35
85 United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
86 United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
87United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 6.
36
88T.M. Joseph, New Governance Paradigm: Issues in Development, (Delhi: Kalpaz Production,
2008), hal.59.
89OECD, Trade Facilitation Agreement would add billions to global economy says OECD, tanggal 03
Mei 2013, http://www.oecd.org/trade-trade-facilitation-agreement-would-add-billions-to-
global-economy-says-oecd.htm, diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
37
90 Ekspor dari negara berkembang ke negara maju semakin sulit dilaksanakan tidak didasarkan
pada system kepabeanan. Namun, kesulitan ekspor tersebut didasarkan pada alas an kesehatan,
lingkungan hidup, hak asasi manusia, maupun kualitas standar barang yang tidak dapat dipenuhi
karena keterbatasan kapasitas teknologi.
91B Hoekman dan B Shepperd, Who Profits from Trade Facilitation Initiatives? EUI Working Paper
RSCAS 2013/49, San Domenico di Fiesole, 2013.
38
BAB III
92Definisi informasi publik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang
keterbukaan informasi publik adalah “Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan,
disimpan, dikelola, dikirim , dan/ atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan
Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan
dengan kepentingan publik”
Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik
dijelaskan mengenai informasi publik yang wajib disediakan yakni
a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
39
93DefinisiINSW Menrurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2012 tentang
Perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam
Kerangka Indonesia National Single Window adalah “Sistem nasional Indonesia yang
memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single
submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron
(single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara
tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for
customs clearance and release of cargoes)”.
94http://tekno.kompas.com/read/2013/14/10095691/Mengapa.Situs.Pemerintah.RI.Kerap.Dire
Lebih lanjut, belum ada tim yang dibentuk Pemerintah untuk memperbaharui
informasi yang ada pada situs tersebut, sehingga, pencapaian publikasi
sebagaimana ketentuan Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation masih
membutuhkan waktu. Seharusnya dibentuk sebuah tim yang terdiri dari
beberapa instansi terkait yang dikoordinir salah satu instansi agar publikasi
lebih terintegrasi dan lebih cepat diperbaharui. Selain itu, sampai dengan saat
ini, belum ada tim khusus Pemerintah yang bertugas menerjemahkan peraturan
perundang-undangan serta informasi lainnya ke dalam Bahasa Inggris. Jumlah
terjemahan Bahasa Inggris dari peraturan yang dipublikasikan melalui situs
resmi Pemerintah saat ini masih belum memadai dan jarang yang berbentuk
terjemahan Bahasa Inggris resmi.
Terkait dengan Pusat Informasi, sampai dengan saat ini Indonesia belum
memiliki pusat informasi yang terintegrasi mengenai ekspor, impor, transit, bea
dan juga pajak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Agreement on
Trade Facilitation. Indonesia National Single Window hanya memberikan
informasi mengenai perizinan dan pengguna juga tidak dapat mengajukan
pertanyaan pada situs ini. Oleh karena itu, pendirian Pusat Informasi termasuk
dalam hal dimana Indonesia membutuhkan technical assistance dalam
peningkatan kapasitas.
95Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa
“Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi
Perdagangan yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian
atau lembaga Pemerintah nonkementerian. Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014
41
Berdasarkan penjelasan di atas, Indonesia belum siap dalam hal publikasi dan
ketersediaan informasi dan dapat digolongkan dalam kategori C. Dibutuhkan
96Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa
data dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat data
dan/atau informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri.
97 Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa
“Menteri dalam menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan dapat meminta data dan
informasi di bidang Perdagangan kepadakementerian, lembaga Pemerintah nonkementerian, dan
Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggara urusan pemerintahan di bidang bea dan cukai,
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan badan/lembaga lainnya”.
99 Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan berbunyi “Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi,
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat”.
100 Pasal 96 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan berbunyi
“(1) Masyarakat berhak memberikan masukkan secara lisan dan/atau tertulis dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
(2) Masukkan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
43
memberikan komentar atau masukkan. Hal ini berarti terhadap rancangan atau
amandemen ketentuan fasilitasi perdagangan, produsen dan pedagang berhak
memberikan komentar. Komentar atau masukkan yang diberikan dapat secara
lisan maupun tertulis. 101 Cara penyampaian komentar pun dapat melalui
berbagai macam kesempatan. 102
101Ditegaskan dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
102Berdasarkan Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, komentar tersebut dapat dilakukan melalui: rapat dengar
pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya maupun diskusi.
44
103 dalam sistem perpajakan modern. advance ruling berperan penting dalam negara dengan self
assessment system. Self assessment system ialah sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan
penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
kewajiban pajaknya.
45
oleh wajib pajak tersebut. 104 Advance ruling diberikan sebelum wajib pajak
melakukan suatu transaksi atau sebelum melaporkan Surat Pemberitahuan
(SPT). Dengan adanya advance ruling akan mempermudah wajib pajak dalam
memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. 105
104 Darussalam dan Danny Septriadi, dalam tulisannya di majalah Inside Tax, Desember 2007.
105Thuronyi, Victor, Tax Law Design and Drafting , (New York:International Monetary Fund,
1996), hal 61.
46
mengatur bahwa pihak-pihak yang keberatan dengan penetapan pejabat bea dan
cukai dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pengajuan ini diatur dalam Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, 106 Pasal 93A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 107 dan
Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 108 Ketentuan lainnya
terdapat pada Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Jika dilihat dari ketentuan pada Pasal 4 ayat (1) huruf a Agreement on Trade
Facilitation, maka ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia telah
memenuhi Pasal tersebut. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pejabat Direktorat Bea dan Cukai
yang mengeluarkan penetapan yang dimintai keberatan tersebut. Jadi ketentuan
perundang-undangan di Indonesia telah memenuhi Pasal ini 4 ayat (1) huruf a
Agreement on Trade Facilitation.
Dalam hal ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Agreement on Trade Facilitation,
Indonesia juga telah memenuhi ketentuan ini. Setelah upaya keberatan telah
106Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan
pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60
(enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang
harus dibayar”.
107 Pasal 93A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap
penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu
60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan”.
108 Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang dikenai sanksi administrasi
berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal
dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan
jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan”.
47
dilakukan dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai telah mengeluarkan penetapan
ataupun keputusan terkait keberatan yang diajukan padanya, maka orang yang
berkeberatan dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak
atas. Hal ini disebutkan dalam Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan 109 serta Pasal 31 ayat (1) 110 jo Pasal 1 angka 5 111 jo Pasal 1 angka
2 112 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Upaya
banding tersebut merupakan proses litigasi yang berarti sesuai dengan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Agreement on Trade Facilitation.
Apabila dilihat dari Pasal 4 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia
juga mengatur hal ini meskipun hal ini bukan suatu kewajiban. Untuk melakukan
upaya banding ke Pengadilan Pajak, maka yang harus dilakukan ialah melalui
upaya keberatan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Setelah adanya Penetapan atau Keputusan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai,
maka pihak yang merasa keberatan dengan Penetapan atau Keputusan dari
Direktur Jenderal Bea dan Cukai tersebut dapat mengajukan banding ke
109 Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan
Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4),
atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah
pungutan yang terutang dilunasi”.
110Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak”.
111Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau
penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undangundang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”.
112 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Pajak
adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai,
dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
48
113Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan
Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4),
atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah
pungutan yang terutang dilunasi”.
114 Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak
diterimanya pengajuan keberatan”.
115 Pasal 93A ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak
diterimanya pengajuan keberatan”.
49
Pasal 4 ayat (5) dan (6) Agreement on Trade Facilitation lebih menekankan
mengenai transparansi atas putusan yang dibuat. Berdasarkan Pasal 3 Undang-
Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, 119 pemberian alasan wajib dilakukan
sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Kewajiban memberikan
pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan juga merupakan kewajiban
menurut Pasal 68A ayat (1) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan
116 Pasal 94 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak
diterimanya pengajuan keberatan.
117Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak Surat Banding diterima”.
118Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi
“Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperpanjang paling
lama 3(tiga) bulan”.
119Pasal 3 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berbunyi “Asas-asas umum penyelenggaraan negara
meliputi:
a) Asas Kepastian Hukum;
b) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
c) Asas Kepentingan Umum;
d) Asas Keterbukaan;
e) Asas Proporsionalitas;
f) Asas Profesionalitas; dan
g) Asas Akuntabilitas”.
50
Umum 120 dan Pasal 68A ayat (2) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum. 121
Yang penting untuk dikaji mendalam adalah praktek yang terjadi di lapangan.
Hal ini dengan pertimbangan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan
cukai. 122 Selain itu, praktek mafia peradilan masih kerap kali diduga terjadi
dalam berbagai kasus yang melibatkan tidak hanya pegawai pengadilan tetapi
120Pasal 68A ayat (1) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum berbunyi “Dalam memeriksa dan memutus
perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya”.
121 Pasal 68A ayat (2) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum berbunyi “Penetapan dan putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.
122 Tahun 2012, nilai pelayanan bea dan cukai Indonesia mendapat nilai 2,53 (skala 0-5).
Meskipun nilai ini meningkat dari nilai pelayanan tahun 2010 yang hanya mendapat nilai 2,43,
tetapi masih lebih rendah dibandingkan nilai pelayanan tahun 2007 yang mendapat nilai 2,73.
Lihat http://www.sindoweekly-magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjen-
bea-cukai, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014.
51
juga aparat penegak hukum. 123 Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk
pelaksanaan Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke
dalam kategori C dengan jangka waktu yang dibutuhkan setidaknya 15 (lima
belas) tahun. Indonesia membutuhkan dukungan capacity building, dalam
bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia baik sumber daya manusia di
lingkungan bea dan cukai maupun sumber daya manusia di lingkungan
pengadilan pajak. Selain itu, Indonesia juga harus meningkatkan kesejahteraan
para pegawai terkait serta memperkuat mekanisme pengawasan terhadap para
pegawai tersebut dalam pelaksanaan tugas mereka.
123
http://www.ibanet.org/Article/Detail.aspx?ArticleUid=744f59c1-b745-49a3-830c-47e5ca7e5756,
diakses pada tanggal 2 September 2014.
124 Pasal 35 ayat (1) huruf d Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi
“Pemerintah menetapkan larangan atau pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa untuk
kepentingan nasional dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan,
ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup”.
125Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi
“Pemerintah melarang Impor atau Ekspor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan
untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan ingkungan
hidup”.
52
126Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Semua barang yang dilarang atau dibatasi
yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan
pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir dapat dibatalkan ekspornya,
diekspor kembali, atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai. Kecuali
terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
127 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Terhadap barang impor dilakukan
pemeriksaan pabean.
128Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pemeriksaan pabean sebagaimana meliputi
enelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang”.
129 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang
Pemeriksaan Fisik Barang Impor berbunyi “Pemeriksaan fisik sebagai kegiatan yang dilakukan
oleh Pejabat Pemeriksa Barang untuk mengetahui jumlah dan jenis barang impor yang diperiksa
guna keperluan pengklasifikasian dan penetapan nilai pabean”.
130 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif
yang besarnya berbeda terhadap:
a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
internasional; atau
b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang
kiriman melalui pos atau jasa titipan”.
53
Pasal 5 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation sangat terkait dengan Badan
Pengawas Obat dan Makanan karena Badan Pengawas Obat dan Makanan
merupakan lembaga yang mengawasi peredaran obat dan makanan menurut
Pasal 73 Keputusan Presiden No.166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen. 131 Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan masih
memerlukan capacity building sehubungan dengan teknis pelaksanaan dan
manajemen rapid alert. Capacity building tersebut dilakukan dengan
meningkatkan sumber daya manusia dan peningkatan fasilitas. Selain terkait
dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Pasal ini erat kaitannya dengan
kepabeanan karena pemeriksaan dilakukan oleh kepabeanan. Jadi, diperlukan
integrasi antara Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.
131Pasal 73 Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata KerjaLembaga Pemerintah Non Departemen
berbunyi Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat danmakanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
132 Pasal 5A Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tentang prosedur tes kedua yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) Agreement on
Trade Facilitation belum diatur di Indonesia. Perlu adanya regulasi dan
pembangunan sarana dan teknologi yang berkaitan dengan prosedur tes kedua
seperti membentuk sistem informasi terkait laboratorium serta pengawasan
laboratorium tersebut secara berkala.
134“Gambaran Umum Kepabeanan Dan Cukai, Hubungan Pajak Bea Masuk/Bea Keluar Dan
Cukai,” http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKK6004/document/Gambaran_umum_
kepabeanan_dan_cukai.pdf?cidReq=HKK6004 diakses pada tanggal 21 Agustus 2014.
55
Biaya dan tarif yang dimaksud dalam Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation
sama dengan bea masuk 135 dan bea keluar 136 yang diatur dalam pada Undang-
Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Tujuan pengenaan bea keluar dijelaskan pada
penjelasan Pasal 2A ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 137 Tata
cara penghitungan bea masuk dijelaskan dalam Pasal 15 Undang-Undang No.17
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, yakni:
(1) Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari
barang yang bersangkutan.
135 Definisi bea masuk menurut Pasal angka 15 Undang-undang Kepabeanan adalah pungutan
negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor
136Definisi bea keluar menurut Pasal angka 15 Undang-undang Kepabeanan adalah pungutan
negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor
137 Pasal 2 A ayat (2) menyatakan bahwa tujuan bea keluar adalah:menjamin terpenuhinya
kebutuhan dalam negeri; melindungi kelestarian sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan
harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau menjaga
stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.
56
(2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan
nilai transaksi barang dari barang identik.
(3) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan
berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa.
(3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
itentukan berdasarkan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara
berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4).
(4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
ditentukan berdasarkan metode deduksi.
(5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan
metode komputasi.
(6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi aebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean
untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara
yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) berdasarkan data
yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasan tertentu.
57
(7) Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.
Adapun publikasi mengenai tarif yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) dalam
Agreement on Trade facilitation dapat diakses melalui situs bea dan cukai, yaitu
http://www.beacukai.go.id/. Dalam situs tersebut, dicantumkan ketentuan
mengenai tarif meskipun terdapat beberapa kekurangan. Mengenai jangka
waktu yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) dalam Agreement on Trade
Facilitation diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, 138 Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 139
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 140 Pasal 16 ayat (5)
Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 141 dan Pasal 16 ayat (6) Undang-
Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 142 Mengenai peninjauan tarif secara berkala
138 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif
terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean”.
139Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai
pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan
pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean”.
140 Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam hal penetapan tarif mengakibatkan
kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan , importir wajib
melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan penetapan”.
141 Pasal 16 ayat (5) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pembayaran bea masuk, pengembalian bea
masuk dibayar sebesar kelebihannya”.
142Pasal 16 ayat (6) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Ketentuan mengenai penetapan diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri”.
58
Di Indonesia, Ketentuan sanksi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Agreement
on Trade Facilitation dapat dijumpai dalam Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang
No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan 143 mengenai sanksi bagi importir serta pada Pasal 26 ayat
(4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 144 Pengaturan mengenai sanksi juga
143 Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Importir yang salah memberitahukan nilai
pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea
masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea
masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang
kurang dibayar”.
59
Berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Agreement on Trade
Facilitation, Indonesia belum siap karena belum ada pengaturan tentang
peninjauan secara berkala dan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai.
Dengan demikian, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C. Untuk
membuat aturan, sosialisasi dan implementasi yang baik, Indonesia
membutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun, dan biaya besar. Selain
itu, Indonesia membutuhkan bantuan teknis berupa pembelajaran pembentukan
mekanisme pelayanan bea dan cukai yang efisien dan dukungan capacity
building dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia para pegawai
bea dan cukai. Sementara itu, dalam hal sanksi, Indonesia telah memenuhi
ketentuan Pasal 6 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, sehingga, kesiapan
Indonesia bisa dikategorikan dalam Kategori A.
144 Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang tidak memenuhi ketentuan
pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib
membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak
500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar”.
60
Izin importasi sendiri diberikan bagi importir yang telah memiliki nomor
identitas yang disebutkan dalam Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan. 148 Nomor identitas tersebut dinamakan Nomor Identitas
145 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009
tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi ”API sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:
a. API Umum (API-U); dan
b. API Produsen (API-P).
147 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009
tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi “API-P sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk
dipergunakan sendiri dan/atau untuk mendukung proses produksi dan tidak diperbolehkan
untuk memperdagangkan atau memindahtangankan kepada pihak lain”.
148Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang akan melakukan pemenuhan
61
Prosedur pemberian izin kepabeanan serta pelepasan barang saat ini dilakukan
dengan sistem Indonesia National Single Window. Indonesia National Single
Window diatur dalam Peraturan presiden No.35 Tahun 2012 tentang Perubahan
Peraturan Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik
dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Dengan adanya Indonesia
National Single Window, maka proses pelepasan barang dapat dilakukan dengan
lebih efisien dan hemat biaya.
kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk
mendapat No. identitas dalam rangka akses kepabeanan”.
149Titik Farida, Prosedur dan Dokumen Impor, (Jakarta: Balai Besar Pendidikan Pelatihan Ekspor
Indonesia (BBPPEI), 2013), diakses melalui http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/
accepted_rsses/view/50f4f70d-633c-4b88-a2e2-01510a1e1e48 pada tanggal 21 Agustus 2014.
62
Pembayaran secara online yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Agreement on
Trade Facilitation sudah diatur di Indonesia meskipun belum sempurna.
Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006
tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003
tentang Tata Laksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam
Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Buatan dalam
Negeri. 150 Pembayaran secara online saat ini telah dapat dilakukan dengan e-
banking. Pada lampiran peraturan menteri tersebut sudah terdapat mengenai
teknis pembayaran serta format isian. 151 Jadi pembayaran secara online sudah
150 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas
Dalam Pasal 7 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation diatur mengenai jaminan
impor. Di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang
No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan. 152 Sementara itu, bentuk jaminan impor diatur dalam Pasal
42 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 153 Aturan mengenai jaminan
tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.259/PMK.04/2010
tentang Jaminan dalam Rangka Kepabeanan
151 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Pembayaran dan
Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena
Cukai Buatan dalam Negeri berbunyi “Tatalaksana pembayaran dan penyetoran dalam Lampiran
I Peraturan Menteri Keuangan ini”.
152 Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Jaminan yang disyaratkan dapat dipergunakan
sekali atau terus-menerus”.
153Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Jaminan dapat berbentuk uang tunai, jaminan
bank, jaminan dari perusahaan asuransi, atau jaminan lainnya”.
65
154 Pasal 798 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata
156Ali Purwanto dalam Makalah yang berjudul Sistem Pemeriksaan Dalam Rangka Pengujian
Kepatuhan Melalui Penetapan Kembali dan Audit Kepabeanan, hal.42-43
66
Menurut Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai
No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai,
terhadap Hasil Audit Kepabeanan dapat dilakukan audit khusus jika terdapat
keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai. 158 Hal tersebut merupakan
157 Pasal 1 angka 4 Peraturan Direktur Jendal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang
Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai berbunyi “Kegiatan pemeriksaan laporan
keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang
berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan
kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan
perundangundangan di bidang kepabeanan”.
158 Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-9/BC/2012
tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai berbunyi “Audit Khusus dilakukan
secara sewaktu-waktu dan dapat berupa Audit khusus dalam rangka keberatan atas penetapan
Pejabat Bea dan Cukai”.
68
salah satu hal yang guna meningkatkan transparansi yang dibahas dalam Pasal 7
ayat (5) Agreement on Trade Facilitation.
Kesiapan Indonesia untuk implementasi Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) Agreement
on Trade Facilitation tergolong dalam kategori B karena telah ada regulasi,
namun, regulasi yang ada masih belum memadai dan membutuhkan perbaikan
baik dalam hal substabsi maupun pelaksanaan. Untuk Indonesia National Single
Window, perbaikan yang dibutuhkan telah dipaparkan pada Bab II di atas.
Setidaknya, Indonesia membutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk
penyempurnaan regulasi dan perbaikan pelaksanaan regulasi.
Peraturan yang terkait dengan Pasal 7 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation
adalah Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan
Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator. Definisi dari Authorized
69
Yang perlu diperhatikan dalam ketentuan ini ialah tidak semua operator
ekonomi dapat menjadi Authorized Economic Operator. Hanya operator ekonomi
yang memenuhi standar Framework of Standards to Secure and Facilitate Global
Trade (SAFE FoS) saja yang dapat menjadi Authorized Economic Operator.
Framework of Standards to Secure and Facilitate Global Trade adalah standar
World Customs Organization yang terkait dengan prinsip keamanan dan fasilitas
pada rantai pasokan global. Untuk mendapatkan pengakuan sebagai Authorized
Economic Operator, menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan
No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized
Economic Operator, permohonan diajukan kepada Direktur Jenderal. 160 Tata cara
untuk menjadi Authorized Economic Operator diatur secara rinci dalam
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.PER-32/BC/2013 tentang Tata
Cara Validasi terhadap Perusahaan Piloting dalam Rangka Pengakuan Eksportir.
160Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa Untuk mendapatkan pengakuan sebagai Authorized
Economic Operator, Operator Ekonomi harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal.
70
Dalam hal pemeriksaan barang juga perlu dibangun infrastruktur lebih modern
agar pemeriksaan barang dapat lebih cepat sehingga pelepasan barang juga
dapat dipercepat. Selain itu, dalam penyediaan informasi Indonesia juga masih
terbilang kurang karena seringkali situs lembaga pemerintahan tidak dapat
diakses atau terkadang jarang diperbaharui informasi dalam situs tersebut. Jadi
dalam hal ini Indonesia sudah memiliki modal dalam menjalankan ketentuan
Pasal 7 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation, namun masih perlu perbaikan
terutama di bidang admnistrasi dan pelabuhan.
161http://dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-belum-memiliki-
Barang yang tidak tahan lama banyak yang merupakan makanan, hal ini tentu
membutuhkan perizinan juga dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, dalam
hal ini terdapat peraturan mengenai perizinan impor obat dan makanan yang
terintegrasi dengan Indonesia National Single Window, yakni Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.00.05.23.4416
Tahun 2008 tentang Penetapan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) Di
Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam Kerangka Indonesia
National Single Window. Pada lampiran keputusan tersebut terdapat teknis
mengenai proses perizinan. Akan tetapi, dalam aturan tersebut masih diperlukan
sistem manual jadi aturan ini masih memiliki kekurangan.
Meskipun sudah ada beberapa regulasi terkait hal barang tidak tahan lama,
namun masalah kepastian waktu masih belum diatur secara jelas. Mengenai
penyimpaan juga belum diatur secara jelas. Dalam hal ini Indonesia masih
terkendala pada masalah fasilitas dan infrastruktur. Aturan lain yang terkait
dengan barang yang tidak tahan lama antara lain Pasal 60 Undang-Undang No.17
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, 162 Pasal 66 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 163 dan Pasal 69
162Pasal 60 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau
pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai agar
mengakhiri penangguhan dengan menyerahkan jaminan yang sama. Keadaan tertentu menurut
penjelasan Pasal 60 misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak”.
163 Pasal 66 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam hal barang yang dinyatakan tidak dikuasai
merupakan barang cepat rusak, maka dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara
tertulis kepada pemiliknya”.
73
164 Pasal 69 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Barang yang dikuasai negara maka dapat segera
dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya”.
74
165Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara berbunyi
“Badan Pengelola bertugas:
a) Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan;
b) Menetapkan rencana kebutuhan anggaran;
c) Mengoordinasikan pelaksanaan; dan
d) Melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara
dan Kawasan Perbatasan.
166Pasal 3 Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan
berbunyi “Badan Nasional Pengelola Perbatasan mempunyai tugas menetapkan kebijakan
program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran,
mengoordinasikan pelaksanaan, dan pelaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap
pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan”.
75
Di Indonesia, telah ada aturan tentang prosedur pelepasan barang impor dari
wilayah kepabeanan. Untuk mekanisme impor barang dari kantor kepabeanan
dan, kemudian, dilanjutkan dengan pemeriksaan administratif dan fisik barang
76
serta proses pelepasan barang impor diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
No.453/KMK.04/2002 yang diubah terakhir dengan Keputusan Menteri
Keuangan No.112/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Kepabeanan diBidang
Impor dan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.KEP-07/BC/2003
yang telah diubah dengan dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai
No.P-06/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di
Bidang Impor.
Apabila dilihat dari peraturan Indonesia, dapat dilihat bahwa ketentuan dan
peraturan yang mengatur tata cara impor tersebut masih dapat dibilang
berlarut-larut karena ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya
barang impor tersebut dilepaskan. Dengan adanya Peraturan presiden No.10
tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia
National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan presiden
No.35 tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No.10 tahun 2008
tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single
Window, sebenarnya Indonesia telah membuat suatu sistem yang mudah untuk
melalui proses perizinan. Akan tetapi, dalam hal ini mengenai proses impor juga
terkait dengan lembaga lain seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta
Badan Standardisasi Nasional. Jadi meskipun telah memenuhi proses impor
barang di bea dan cukai, pengusaha juga memerlukan izin lain dari lembaga yang
berhubungan dengan barang yang diimpornya.
Integrasi antara perizinan Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Indonesia
National Single Window, dalam hal ini terdapat peraturan mengenai perizinan
impor obat dan makanan yang terintegrasi dengan Indonesia National Single
Window, yakni Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia No.HK.00.05.23.4416 Tahun 2008 Tentang Penetapan Tingkat
Layanan (Service Level Arrangement) Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Pada lampiran
78
168 Definisi National Single Window menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan presiden No. 35 tahun
2012 tentang perubahan Peraturan presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem
Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window adalah “Sistem nasional Indonesia
yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single
submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron
(single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara
tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for
customs clearance and release of cargoes)”
80
Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya calo yang menerima pengurusan
mengenai legalisir impor.
169Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan, “Standar
Nasional Indonesia adalah Standar yang ditetapkan oleh lembaga yangmenyelenggarakan
pengembangan dan pembinaan di bidang Standardisasi”.
170Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional
berbunyi “Badan Standardisasi Nasional Penyelenggaraan pengembangan dan pembinaan di
bidang standaridasi dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional”.
171Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 berbunyi “Dalam hal standar
Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan
masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan sekonomis, instansi
teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau
parameter dalam Standar nasional Indonesia”.
172Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 berbunyi “Standardisasi Nasional
Indonesia yang diberlakukan secara wajib dikenakansama, baik terhadap barang dan atau jasa
produksi dalam negeri maupunterhadap barang dan atau jasa impor”.
81
Di Indonesia sendiri, sistem single window yang disebut Indonesia National Single
Window. 173 INSW ini telah ada dan diatur dalam Peraturan Presiden No.10
Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia
National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
No.35 Tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008
tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single
Window. Indonesia National Single Window dilatarbelakangi oleh adanya
kepentingan nasional untuk meningkatkan kelancaran arus barang dan kinerja
pelayanan ekspor-impor serta sebagai wujud nyata komitmen Indonesia untuk
menjalankan kesepakatan di tingkat Regional Association of Southeast Asian
Nations. 174 Indonesia National Single Window tersebut diintegrasikan dalam
ASEAN Single Window. Akan tetapi, meskipun telah memiliki Indonesia National
Single Window, Indonesia National Single Window di Indonesia masih perlu
perbaikan dan seringkali tidak sesuai dengan ASEAN Single Window. Indonesia
National Single Window juga belum terintegrasi sepenuhnya dalam hal perizinan
dengan lembaga lain seperti dengan Badan Standardisasi Nasional dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Jadi dalam hal single window Indonesia masih
perlu perbaikan dalam rangka pemenuhan Pasal 10 ayat (4) Agreement on Trade
Facilitation.
173Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan presiden No. 35 tahun 2012 tentang perubahan Peraturan
presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia
National Single Window, INSW adalah “Sistem nasional Indonesia yang memungkinkan
dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data
and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and
synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk
pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for customs
clearance and release of cargoes)”
176 Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang
Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi
“Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) hanya dapat diimpor untuk keperluanfumigasi
dalam rangka perlakuan karantina dan pra pengapalan”.
177 Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang
Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi
“Setiap pelaksanaan impor metil bromida wajib disertai label tambahan yang bertuliskan "Hanya
untuk karantina dan Pra Pengapalan" atau "For Quarantine and Pre-Ship-ment Only" dari negara
produsen”.
83
178Definisi Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri
Keuangan No.: 65/PMK.04/2007 Tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan adalah
“Badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan
atas kuasa importir atau eksportir.
179 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan berbunyi “Untuk dapat melakukan pengurusan jasa kepabeanan,
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan wajib memiliki No. identitas berupa No. Pokok
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan dalam rangka akses kepabeanan”.
dengan Dirjen Bea dan Cukai saja, namun terkait dengan lembaga lain yang
mengeluarkan perizinan.
Di Indonesia, dalam hal barang yang di-reject adalah produk pertanian atau
hewan, maka dilakukan Karantina. 181 Hal ini diatur dalam Undang Undang No.16
Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Menurut Pasal 10
Undang Undang No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan, tindakan karantina tersebut dapat berupa pemeriksaan,
pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan
pembebasan. Prosedur Karantina ini dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian
(BARANTAN). Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, barang reject karena tidak sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia wajib ditarik dari peredaran. 182
181Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan
Dan Tumbuhan, Definisi karantina adalah “Tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari
luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah
negara Republik Indonesia”.
182Pasal 54 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian berbunyi “Setiap barang
dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri wajib
menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri”.
85
183Definisi Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Direktur
Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-5/Bc/2011 tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes
Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut dalam Rangka
Pengangkutan Barang Impor dan Barang Ekspor Ke dan Dari Kawasan Pabean di Kawasan
Pelayanan Pabean Terpadu, adalah “Kawasan tempat pemusatan kegiatan pelayanan kepabeanan
dan cukai yang berupa Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat dan
Tempat Konsolidasi Barang Ekspor, dan dapat dilengkapi dengan tempat usaha lainnya dalam
rangka mendukung kelancaran lalu lintas barang impor dan ekspor”.
184Definisi Kawasan Berikat Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No.147/Pmk.04/2011 tentang Kawasan Berikat ialah “Tempat Penimbunan Berikat
untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah
pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor”.
86
Dalam hal barang reject yang diatur dalam Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade
Facilitation, kesiapan Indonesia termasuk dalam kategori C karena belum ada
ketentuan mengenai re-ekspor. Indonesia membutukan bantuan teknis untuk
pembuatan aturan tentang re-ekspor. Indonesia membutuhkan paling tidak 15
(lima belas) tahun untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (8)
Agreement on Trade Facilitation.
Bebas Transit merupakan prinsip bagi sebuah negara yang tertutup oleh daratan
untuk mengintegrasikan negara tersebut terhadap ekonomi internasional dan
pembangunan ekonomi. Sulitnya akses ke perairan membuat biaya untuk
melakukan aktivitas perdagangan menjadi tinggi. Kemampuan dalam
menerapkan prinsip kebebasan dalam melakukan transit sering disebut sebagai
“land-linked”. 185 Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penerapan
freedom of transit adalah Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut). Dalam konvensi ini, freedom
of transit diatur dalam Bab X mengenai hak negara tak berpantai untuk akses ke
dan dari laut serta kebebasan bertransit. Dalam bab ini diatur mengenai bentuk-
bentuk penerapan dari prinsip freedom of transit yang diantaranya adalah:
185Landlocked Developing Countries Series, No. 1, “Transit Transport Issues in Landlocked and
Transit Developing Countries” http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/
Resources/WBI-Training/UN-Landlocked.pdf, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.
88
a. Pasal 128 mengatur tentang zona bebas dan kemudahan bea dan cukai
lainnya
b. Pasal 129 mengatur tentang kerjasama dalam pembangunan dan perbaikan
alat pengangkutan
c. Pasal 130 mengatur tentang tindakan untuk mencegah atau meniadakan
kelambatan atau kesulitan lain yang bersifat teknis dalam lalu lintas transit
d. Pasal 131 mengatur tentang perlakuan sama di pelabuhan-belabuhan
e. Pasal 132 mengatur tentang pemberian kemudahan transit yang lebih besar
Tampak bahwa Pasal 128-132 United Nations Convention on the Law of the Sea
merupakan implementasi dari prinsip freedom of transit, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebelum adanya Agreement on Trade Facilitation, Indonesia
telah menerapkan prinsip freedom of transit. Selain United Nations Convention on
the Law of the Sea, konvensi lain yang berkaitan dengan transit adalah Protocol 1
Designation of Transit Transport Routes and Facilities (Protokol 1 Penetapan
Rute-Rute Dan Fasilitas Angkutan Transit) yang disahkan dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia No.70 Tahun 2011. Protokol tersebut berisi
ketentuan transit di Penetapan Rute-Rute dan Fasilitas Angkutan Transit
Association of Southeast Asian Nations.
Menilik ketentuan yang ada, Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas
mengenai transit dan freedom of transit. Selain itu infrastruktur di Indonesia
belum memadai dan harus diperbaiki agar proses transit dapat berjalan dengan
baik. Dalam hal ini, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena
infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih kurang. Dibutuhkan waktu paling
tidak 15 (lima belas) tahun agar pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia dapat
memenuhi standar infrastruktur pelabuhan internasional. Perbaikan
infrastruktur tersebut memerlukan bantuan dana dari pihak lain agar dapat
terlaksana.
186 Wulandari Retno, Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-
konvensi bidang maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut,2009), hal.31.
188Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Kerja
sama Perdagangan dapat dilakukan melalui perjanjian Perdagangan internasional”.
Pasal 83 Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Pemerintah dalam
189
Mengenai pertukaran informasi, sampai dengan saat ini, belum diatur secara
rinci, walaupun demikian Pasal 88 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan mengatur mengenai sistem informasi perdagangan untuk
kebijakan dan pengendalian perdagangan. 191 Menurut Pasal 89 ayat (2) Undang-
Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, 192 sistem informasi
perdagangan tersebut mencakup perdagangan nasional maupun internasional.
Sistem Informasi Perdagangan tersebut sebaiknya dikembangkan lebih lanjut
agar pertukaran informasi dapat dilakukan.
191 Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan
yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga
Pemerintah nonkementerian”.
Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Sistem
informasi perdagangan digunakan untuk kebijakan dan pengendalian Perdagangan.
192 Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Data
dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat data dan/atau
informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri”.
91
193Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang,
kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan
saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar
daripada membukanya atau sebaliknya”.
194 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik:
a. menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi;
b. dan membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat,
mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik yang
berlaku secara nasional”.
93
Implementasi ketentuan Pasal 12 ayat (1) sampai dengan Pasal 12 ayat (6)
Agreement on Trade Facilitation menghadapi permasalahan yang sama, yakni
belum adanya regulasi yang mengatur mengenai hal ini secara terperinci.
Regulasi tersebut sangatlah penting mengingat pertukaran informasi tersebut
dilkukan dalam lintas negara jadi perlu diperhatikan pula mengenai mekanisme,
kerahasiaan dan keamanannya. Selain itu, infrastruktur berupa sistem online
yang memadai juga belum dimiliki Indonesia, padahal pelaksanaan ketentuan-
ketentuan tersebut rata-rata dilaksanakan dengan sistem online.
195Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan peraturanperundang-undangan”.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai
dengan ketentuanperaturan perundang-undangan”.
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)adalah:
a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentinganperlindungan usaha dari persaingan usaha
tidaksehat;
c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan;dan/atau
e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai ataudidokumentasikan”.
94
Hal yang perlu dipikirkan ialah jika informasi yang diberikan kepada pemohon
merupakan informasi yang tidak boleh disebarluaskan, perlu adanya ketentuan
yang jelas mengenai siapa yang wajib menjaga informasi yang telah diberikan
tersebut. Dari segi infrastruktur, Indonesia masih perlu perbaikan dalam
masalah sistem online terutama keamanannya karena Indonesia seringkali
diretas. Jangan sampai saat Indonesia mendapatkan informasi yang tidak boleh
disebarluaskan, namun informasi tersebut justru beredar karena sistem online
Indonesia diretas.
Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 196 Dalam
Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik dijelaskan bahwa untuk mendapatkan informasi harus dilakukan dengan
biaya yang murah. 197 Menurut Pasal 22 ayat (7) huruf g Undang-Undang No.14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 198 Besaran biaya yang
diperlukan dalam penyediaan informasi diputuskan oleh badan publik yang
mengeluarkan informasi tersebut. Menurut Pasal 35 ayat (1) huruf f Undang-
Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, 199 pemohon
informasi dapat mengajukan keberatan kepada Komisi Informasi dalam hal
pengenaan biaya pengadaan informasi yang tidak wajar
Negara yang dimintai informasi tidak perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengubah format pemberitahuan ekspor atau impor serta prosedurnya
2. Meminta persyaratan dokumen dalam pemberitahuan ekspor atau impor
selain yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
3. Berinisiatif secara sendiri untuk mendapatkan informasi
4. Mengubah jangka waktu penangguhan informasi
5. Memberikan dokumentasi tertulis di kertas ketika sistem online saat ini mulai
dikenal
6. Menerjemahkan informasi
7. Memverifikasi keabsahan informasi tersebut
196Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik
dengan cepat dan tepatwaktu, biaya ringan, dan cara sederhana”.
197Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi
“Mekanisme untuk memperoleh Informasi Publikdidasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan
biaya ringan”.
198Pasal 22 ayat (7) huruf Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik berbunyi “Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejakditerimanya permintaan, Badan
Publik yangbersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan biaya
serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta”.
199Pasal35 ayat (1) huruf f Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik berbunyi “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukankeberatan secara tertulis
kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi mengenai pengenaan biaya yang
tidak wajar”.
96
Dalam hal terdapat penggunaan tidak sah atau pengungkapan informasi belum
terdapat regulasi khusus mengenai penggunaan informasi yang tidak sah atau
pengungkapan informasi. Di Indonesia, penggunaan informasi yang tidak sah
atau pengungkapan informasi dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur
dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi pihak yang
menggunakan informasi secara melawan hukum, dikenakan sanksi Pasal 51
Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 200
Sementara itu, jika ada pihak yang dengan tanpa hak mengakses dan/atau
memperoleh dan/ataumemberikan informasi yang dikecualikan dikenakan Pasal
54 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik 201 atau Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. 202 Bagi pihak-pihak yang menyebarkan informasi
200Pasal 51 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi
“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakanInformasi Publik secara melawan dihukum
dipidana denganpidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ataupidana denda paling banyak
Rp 5.000.000,00 (lima jutarupiah)”.
201Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmengakses dan/atau memperoleh
dan/ataumemberikan informasi yang dikecualikansebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a,
huruf b,huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua)tahun dan pidana denda paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah)”.
202 Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmengakses dan/atau memperoleh
dan/atau memberikan informasi yang dikecualikansebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c
dan hurufe, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)tahun dan pidana denda paling
banyakRp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)”.
97
Permasalahan utama ketentuan Pasal 12 ayat (7) sampai dengan Pasal 12 ayat
(11) Agreement on Trade Facilitation ialah masalah infrastruktur. Dalam hal ini
Indonesia belum memiliki infrastruktur yang memadai dalam sistem online.
Sebagaimana telah dijelaskan, keamanan situs milik Pemerintah masih sangat
rawan dan rentan untuk diretas. Penyediaan sistem online juga belum
sepenuhnya dapat dilakukan karena terdapat beberapa hal yang masih
menggunakan sistem manual yakni daerah yang terpencil.
203Pasal 55 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi
“Setiap Orang yang dengan sengaja membuat InformasiPublik yang tidak benar atau
menyesatkan danmengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana denganpidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau dendapaling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.
98
BAB IV
A. KESIMPULAN
Beberapa hal atau sektor tersebut antara lain: biaya dan ongkos,
harmonisasi dan simplifikasi dokumen, automation and internal border
agency co-operation (kerjasama petugas perbatasan dalam negeri dan
terotomatisasi). Namun, pada sektor ketersediaan informasi dan
streamlining procedures (penyederhanaan birokrasi), Indonesia masih
berada di bawah rata-rata negara di Asia dan negara-negara berpenghasilan
menengah ke bawah.
Kesiapan Indonesia untuk implementasi Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6)
Agreement on Trade Facilitation tergolong dalam kategori B karena telah
ada regulasi, namun, regulasi yang ada masih belum memadai dan
membutuhkan perbaikan baik dalam hal substabsi maupun pelaksanaan.
Untuk Indonesia National Single Window, perbaikan yang dibutuhkan
telah dipaparkan pada Bab II di atas. Setidaknya, Indonesia membutuhkan
waktu 15 (lima belas) tahun untuk penyempurnaan regulasi dan
perbaikan pelaksanaan regulasi.
tidak hanya terkait dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saja, namun
terkait dengan lembaga lain yang mengeluarkan perizinan. Indonesia
dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade
Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun.
Dalam hal barang reject yang diatur dalam Pasal 10 ayat (8) Agreement on
Trade Facilitation, kesiapan Indonesia termasuk dalam kategori C karena
belum ada ketentuan mengenai re-ekspor. Indonesia membutukan
bantuan teknis untuk pembuatan aturan tentang re-ekspor. Indonesia
membutuhkan paling tidak 15 (lima belas) tahun untuk dapat memenuhi
ketentuan Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation.
B. Rekomendasi
lain ke Dispute Settlement Body WTO dan dikenakan sanksi. Jelas, hal
ini akan sangat merugikan keuangan negara.
d. Dalam hal membuat proposal permohonan bantuan technical
assistance maupun dukungan capacity building, Pemerintah Indonesia
harus mempertimbangkan dengan seksama kedaulatan negara terkait
pelaksanaan perdagangan internasional.
110
DAFTAR PUSTAKA
Bolhofer, C.E. (2008). Trade Facilitation-WTO Law and Its Revision to Facilitate Global Trade in
Goods, World Costum Journal, Vol.2, No.1, hal.35-37.
Darussalam dan Septriadi, D. (2007). Majalah Inside Tax, Edisi 02, hal.19.
Dewan Perwakilan Rakyat. (2014). Indonesia Belum Memiliki Pelabuhan Internasional. Diakses
22 Agustus 2014 dari http://www. dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-
belum-memiliki-pelabuhan -internasional
E.L. Rubin. (1997). Law and the Methodology of Law, Winconsin Law Review, hal.525
Finger, J.M dan Wilson, S. (2006). Implementing A WTO Agreement on Trade Facilitation: What
Makes Sense? World Bank Policy Research Working Paper 3971, hal. 7-8.
Grainger, A. Customs and Trade Facilitation: From Concepts to Implementations, World Customs
Journal, Vol. 2, No.1, hal.17.
Grainger, A.. Trade Facilitation: A Conceptual Review, Journal of World Trade, 45:1, hal.40.
Hoekman, B dan Shepperd, B. (2013). Who Profits from Trade Facilitation Initiatives? EUI
Working Paper RSCAS 2013/49.
ICC Policy Statement. (2014). ICC Recommendations For Trade Facilitation through Effective
Customs Duty Relief Programmes. Diakses 2 September 2014 dari
http://www.iccindiaonline.org/policy_state/duty.pdf.
Indoesia Port. (2014). Pelabuhan Tanjung Priok. Diakses 20 Juli 2014 dari
http://www.indonesiaport.co.id/read/tanjung-priok.html,.
Indonesia National Single Window. (2014). Indonesia National Single Window. Diakses 11
Agustus 2014 dari http://www.insw.go.id/home?page=1/about/about.html.
Jolevski, Z. (2014). Trade Facilitation in the WTO Context. Diakses 25 Juli 2014 dari
http://www.unece.org/trade/ctied9/policy_segment/partI_zoran_jolevski.ppt.
Kedutaan Besar LBBP/Watapri. (2014). Laporan UNCTAD’s Multi-Year Expert Meeting (MYEM) on
Transport, Trade Logistics and Trade Facilitation: Jenewa, hal.3.
111
Kompas. (2014). Mengapa Situs Pemerintah RI Kerap Diretas. Diakses 22 Agustus 2014 dari
http://tekno.kompas.com/read/2013/14/10095691/Mengapa.Situs.Pemerintah.RI.Kerap.Direta
s.
Landlocked Developing Countries Series, No. 1. (2014). “Transit Transport Issues in Landlocked
and Transit Developing Countries”. Diakses 22 Agustus 2014 dari
http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/ Resources/WBI-Training/UN-
Landlocked.pdf.
Layton, Brent. (2007). Trade Facilitation: A Studi in the Context of the ASEAN Economic
Community Blueprint”, ERIA Research Project Report, hal.87.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (1988). TAP MPR RI No. II/MPR/1988
Tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR RI No. I/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara, http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/88TAPMPR-II.pdf, diakses pada tanggal 10
Juli 2014.
Milner, C., Morrissey, C dan Zgovu,E. (2007). Trade Facilitation in Developing Countries.
Organisation Economic Co-Operation and Development. (2013). Trade Facilitation Agreement
would add billions to global economy. Diakses 27 Juli 2014 dari http://www.oecd.org/trade-
trade-facilitation-agreement-would-add-billions-to-global-economy-says-oecd.htm.
Purwanto, Ali. Sistem Pemeriksaan Dalam Rangka Pengujian Kepatuhan Melalui Penetapan
Kembali dan Audit Kepabeanan, hal.42-43.
Repbulik Indonesia. (2003). Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep-07/BC/2003
tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor. Berita Negara Republik
Indonesia tahun 2003. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai RI. Jakarta.
Republik Indonesia. (1992). Undang - Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 1992 Tentang
Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No.
56. Sekretariat Negara RI. Jakarta
Republik Indonesia. (2002). Undang - Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.27. Sekretariat Negara
RI. Jakarta
Republik Indonesia. (2006). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
Republik Indonesia. (2007). Peraturan Menteri Keuangan No.: 65/Pmk.04/2007 tahun 2007
Tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. Berita Negara Republik Indonesia. Sekretariat
Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta.
Republik Indonesia. (2008). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008
Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 61. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
112
Republik Indonesia. (2012). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 35 Tahun 2012 Tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Sistem
Elektronik dalam Kerangka Indonesia Single Window. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 84. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
Republik Indonesia. (2014). Undang - Undang Republik Indonesia No.7 tahun 2014 tentang
Perdagangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 45. Sekretariat Negara RI.
Jakarta.
Republik Indonesia.(2010). Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010. Sekretariat Negara RI.
Jakarta.
Republik Indonesia.(2011). Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Per-5/BC/2011
tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut Dan Manifes
Keberangkatan Sarana Pengangkut Dalam Rangka Pengangkutan Barang Impor Dan Barang
Ekspor Ke Dan Dari Kawasan Pabean Di Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu. Tahun 2011,
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Jakarta.
Roy, Jayanata dan Bagai, S. (2004). Key Issue in Trade Facilitation: Summary of World Bank/EU
Workshop in Dhaka and Shanghai in 2004, World Bank Policy Research Working Paper No.3703,
hal.18.
Sindo. (2013). Aib Ditjen Bea Cukai. Diakses 20 Agustus 2014 dari http://www.sindoweekly-
magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjen-bea-cukai
Sulistyowati dan Sidharta. (2009). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, hal.143.
SWEPRO. (2014). General Aspects of Trade Facilitation. Diakses 25 Juli 2014 dari
http://www.kommers.se/SWEPRO/In-English/What-is-trade-facilitation/.
Third World Network. (2014). Work Plan Presented at Trade Facilitation Committee. Diakses 26
Agustus 2014 dari http://www.twnside.org.sg/title2/wto.info/2014/ti140301.htm
114
Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting , (New York:International Monetary Fund,
1996), hal 61.
UNECE. (2014). Trade Facilitation and Implementation Guide, Hisoty of the Negotiation.
http://tfig.unece.org/contents/Scope-of-TF-at-WTO.html, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014.
United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements,
No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 1,2,6
Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Assessing the Potential Benefit of Trade.
Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Trade Facilitation and Economic Development:
Measuring the Impact, World Bank Policy Research Working Paper 2988.
Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Trade Facilitation and Economic Development:
Measuring the Impact: A New Approach to Quantifying the Impact”, (The World Bank Economic
Review, Vol.17 No.3, 2003), hal.368.
World Bank Policy Research. Trade Facilitation: A Global Perspective, No.3224, hal.3.
World Trade Organization. (2013). Agreement on Trade Facilitation. Diakses 26 Agustus 2014
dari http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/mc9_e/desci36_e.htm.
World Trade Organization. (2013). Bali Ministerial Declaration and Decisions. Agreement on
Trade Facilitation.
Wulandari Retno.(2009). Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-
konvensi bidang maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut,2009), hal.31.
Yose Rizal Damuri, “An Evaluation of the Need for Selected Trade Facilitation Measures in
Indonesia: Implications for the WTO Negotiations on Trade Facilitation”, Asia-Pacific Research and
Training Network on Trade Working Paper Series No.10 (April 2006), hal.7.