Anda di halaman 1dari 2

Berbuat Baik Dianggap Kekalahan yang Merugikan

Zulfikri Anas

“Rugi dooong, masa kita kita aja yang rajin, sementara yang lain ber leha-leha, datang hanya pada saat
mengajar terus pergi entah ke mana, sementara kita sudah ada di gerbang sekolah sebelum murid datang, dan
pulang setelah semua murid pulang, terus di samping itu tidak jarang pulang pulang telat karena menangani
anak yang bermasalah. Honor, gaji dan tunjangan yang diterima sama. Ini sungguh tidak adil namanya”.

Lanjut, karena merasa diperlakukan tidak adil, dan merasa dirugikan, guru yang bersangkutan mulai ikut-ikutan
untuk bermalas-ria. Sejak protesnya kepada kepala sekolah tidak digubris, sang guru mulai mengurangi
“kerajinannya”. Datang mulai terlambat, pekerjaan yang biasanya dikerjakan pada saat tidak ada jam mengajar
pelan-pelan mulai ditinggalkan.

Sang guru ini merasa rugi besar jika harus tetap rajin sementara yang lain asyik menikmati “kemalasanya”.

Rupanya “malas” ini penyakit menular. Andaikan “rajin” juga seperti itu, betapa indahnya ya. “Penyakit rajin”
menular ke orang yang “malas”, eh........ternyata yang terjadi sebaliknya, penyakit “malas” begitu mudah dan
cepat menulari yang lain.

Ternyata penyakit seperti ini tidak hanya terjadi di sekolah, di kantor, di toko, dan di mana saja bisa terjadi.
Ungkapan yang sama sering kita dengar, “percuma juga saya rajin, toh yang malas juga tidak di apa-apain”,
ungkap beberapa oran karyawan sambil menggerutu. “Besok-besok ngga mau ah, ngapain cape-cape, rugi
doong!.

Hampir setiap saat dan di setiap situasi kita menemui masalah ini. Termasuk di grup kerja bakti di lingkungan,
giliran jaga ronda di malam hari, dan hampir di semua perkumpulan. Penyakit “malas” begitu mudah menular.

Sebuah group kerja sosial akhirnya bubar gara-gara penyakit yang satu ini.
Rajin, disiplin, tanggung jawab, dan bekerja sesuai dengan aturan atau kesepakatan yang berlaku dianggap
merugikan!. Aneh...ya mengapa ketika kita tetap bekerja dengan penuh tanggung jawab di tengah-tengah orang
lain yang tidak konsisten dengan tanggung jawabnya malah dianggap merugikan diri sendiri.

Aneh.....ada yang aneh ya ...tapi nyata.


Berbuat baik koq dianggap merugikan!

“Bu, mengapa ibu mengatakan bahwa “rajin” itu merugikan?”, tanya seorang teman pada seorang Ibu yang
sedang mengeluhkan perilaku teman sekerjanya.
“ya ...iya lah”, masa kita aja yang cape, toh gajinya juga sama”, jawab Si Ibu...
“Oke Bu, saya mau tanya lagi, ibu sakarang PNS?”,
“ya”,
“Apakah pada saat dilantik dulu Ibu mengucapkan sumpah?
“ya”,
“Dan apakah sebelum melamar pekerjaan ini Ibu tahu aturan mengenai gaji, honor, dan tunjangan pegawai dan
ibu sepakat dengan itu?”
“ya”......
“Oke, pernah ngga terpikir oleh ibu bahwa Ibu telah mentaati sumpah atau janji Ibu dengan baik?
“ya, saya sadar bahwa saya tidak melanggar sumpah”
“Menurut Ibu, tindakan melanggar sumpah itu dosa?
“ya”
“Kalau begitu teman Ibu yang bekerja bermalas-malasan itu dosa dong karena ia telah melanggar sumpah yang
ia ucapkan sendiri?.
“ya”
“Sementara Ibu ngga berdosa khan? Karena Ibu ngga melanggar sumpah?
“ya”.
“Kalau ibu sudah tahu dari awal tentang aturan penggajian, honor dan tunjangan, dan ibu sudah sepakat dengan
itu. Artinya, apa yang ibu terima dalam bentuk gaji, tunjangan, dan honor itu sudah sesuai dengan aturan dan
Ibu setuju dengan itu?”
“ya”
“Berarti Ibu yakin bahwa semua yang Ibu terima itu berkah?”
“ya....saya yakin karena yang saya terima seimbang dengan apa yang saya kerjakan”
“berarti juga, apa yang diterima oleh teman Ibu yang malas itu tidak berkah dooong?”.
“ya”........
“Lalu di mana kerugian ibu?, bukankah setidakya Ibu memperoleh dua keuntungan besar, pertama tidak berdosa
karena Ibu konsisten dengan sumpah, kedua, Ibu dapat berkah karena apa yang Ibu terima seimbang dengan
apa yang Ibu kerjakan?
“Iya...ya.....tidak ada”..
“Menurut ibu siapa yang sebetulnya yang merugi?, Ibu yang menjalankan tugas sesuai aturan atau teman yang
bermalas-malasan?”“Dan seandainya Ibu tetap komit dan konsisten dengan itu, lama-kelamaan teman-teman
Ibu itu merasa malu, lalu meniru apa yang Ibu lakukan, apakah Ibu akan mendapatkan keuntungan?

Si Ibu terdiam, sambil berfikir...”iya ...ya...siapakah sebetulnya yang rugi?”.

Banyak di antara kita merasa “rugi” berbuat baik pada saat banyak teman yang berbuat sebaliknya. Oleh karena
merasa “rugi”, dan agar merasa “impas” atau “untung” lalu dia mengurangi kadar “kerajinanya”, tindakan itu
menyebar, akhirnya institusi itu hancur berantakan. Anehnya, yang bersangkutan merasa sukses dan merasa
menang!.

“Rasain pimpinan, memangnya si A saja yang bisa malas-malas, saya juga bisa dong”, gumamnya karena
merasa “menang”.

Kita merasa kalah ketika kita rajin di tengah-tengah teman sekerja yang malas, dan fatalnya, supaya kita merasa
“menang” kita ikutan bermalas-malas!. Pola pikir semacam inilah yang berkontribusi paling besar
menghancurkan peradaban mulia yang selama ini diagungkan di negeri ini.

Malah ada yang lebih ekstrim, orang yang rajin dan penuh tanggung jawab dianggap “bodoh”.
“Masa kamu sendiri yang jungkir balik, kamu sendiri yang bekerja dengan rajin, sementara yang lain main-main.
“Bodoh kamu, besok ngga usah rajin-rajin, toh upah yang kamu terima sama dengan yang malas!”, ejek seorang
teman kepada sahabatnya yang terkenal rajin dan komit dengan pekerjaanya.

Barangkali --jika memang tidak sanggup menahan godaan untuk ikut bermalas-ria-- jauh lebih baik mundur lalu
cari suasana lain. Ini jika terpaksa. Solusi terbaik adalah tetap komit dan konsisten untuk berbuat baik, di
manapun berada

Berbuat baik merasa “rugi” dan merasa “kalah”, sebaliknya, berbuat tidak baik merasa “untung” dan merasa
“menang”.

Ada apa?!

Semoga bermanfaat!.
Salam sukses (ZA)

Anda mungkin juga menyukai