Anda di halaman 1dari 3

POTRET SOSIOKULTURAL DALAM NOVEL

SUPERNOVA: KESATRIA, PUTRI, DAN BINTANG JATUH KARYA DEE LESTARI


Ratna Sulistyowati/16201241009
(ratnasulsi23@gmail.com)

Karya sastra merupakan suatu ciptaan yang disampaikan dengan komunikatif tentang
maksud penulis untuk tujuan estetika. Selain untuk tujuan estetika, karya sastra juga dapat
berfungsi sebagai penyampai pesan untuk masyarakat mengenai suatu permasalahan tertentu.
Karya sastra juga bisa menjadi hiburan bagi pembacanya. Salah satu jenis karya sastra adalah
novel. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), novel adalah karangan prosa yang
panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya
dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Salah satu karya novel yang fenomenal pada masanya adalah Supernova: Kesatria, Putri,
Dan Bintang Jatuh (yang selanjutnya disebut Supernova KPBJ). Novel karya Dewi “Dee”
Lestari yang terbit pada tahun 2001 tersebut menjadi fenomenal karena bergenre science fiction
atau fiksi sains, genre fiksi yang masih jarang diangkat oleh penulis Indonesia. Novel yang
dianugerahi Khatulistiwa Literary Award ini mengangkat isu yang cukup kompleks melalui
tokoh-tokoh unik berkarakteristik yang dibuat netral. Tidak ada tokoh yang benar-benar menjadi
hero dalam Supernova KPBJ ini.
Berkisah tentang Dimas dan Reuben yang merayakan anniversary ke 10 sebagai
pasangan homoseksual dengan berkolaborasi membuat sebuah karya paduan fiksi dengan sains.
Tanpa mereka ketahui, karya yang mereka buat ternyata sama dengan kisah Ferre, pria sukses
yang kehilangan tatanan hidupnya karena jatuh hati habis-habisan pada istri orang. Jaring-jaring
tak terlihat menghubungkan Dimas, Reuben, dan Ferre tepat saat Dimas dan Reuben siap
mengakhiri karya mereka dan Ferre berhasil merelakan perempuan yang dicintainya.
Secara sosiologis, Supernova KPBJ ini lahir dari latar sosiokultural Indonesia yang telah
merasakan kuatnya arus globalisasi kebudayaan, ekonomi, dan politik pascareformasi. Apalagi
saat novel ini terbit, dunia sedang memasuki era baru yaitu abad 21 atau biasa disebut abad
millenium. Pascareformasi yang kemudian ditandai dengan berbagai perubahan di abad 21
merupakan titik tolak bagi perubahan di masyarakat Indonesia. Secara tematik, novel ini
memiliki relevansi yang sangat kuat dengan isu yang berkembang dalam masyarakat modern di
Indonesia, di mana sebagian masyarakat Indonesia sedang mengalami “pertempuran” hebat
antara berkutat dengan budaya ketimurannya atau infiltrasi terhadap budaya asing.
Potret sosiokultural dalam novel ini diawali dengan pernyataan Dimas dan Reuben pada
saat mereka akan mulai membuat karya. Mereka membuat sebuah kisah fiksi dengan latar tempat
Jakarta, kota yang dianggap paling menunjukkan pergulatan antara budaya timur dan barat.
Masyarakat Jakarta dianggap mengacu budaya timur tetapi mulai menyerap budaya barat dalam
kehidupan sehari-harinya. Pernyataan Dimas dan Reuben ini relevan dengan kondsi tersebut, di
mana Jakarta yang notabene ibu kota Indonesia menjadi kota yang paling cepat mengalami
dampak dari globalisasi
Selain dari pernyataan Dimas dan Reuben, potret sosiokultural yang relevan dengan
kondisi masyarakat pada kala itu digambarkan melalui karakter tokoh-tokohnya. Dimas dan
Reuben sendiri dgambarkan sebagai pasangan homoseksual. Isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender (LGBT) santer dibicarakan semenjak globalisasi mulai merambah ke setiap lapisan
masyarakat. Hingga saat ini, LGBT menjadi bahasan yang cukup panas untuk didiskusikan.
Munculnya pasangan homoseksual sebagai tokoh utama seolah menjadi gambaran bahwa LGBT
akan menjadi suatu fenomena di abad 21.
Kemudian, muncul tokoh Ferre yang paralel dengan Kesatria dalam karya Dimas dan
reuben. Ferre merupakan sosok pria yang sukses di usia muda. Kisahnya menjadi representasi
masyarakat yang pada masa itu banyak tenggelam dalam pekerjaannya hingga lupa pada hal-hal
kecil termasuk bersosialisasi dengan orang sekitar. Ferre dalam Supernova KPBJ digambarkan
tidak mengenal tetangga depan rumahnya karena sibuk bekerja. Ferre digambarkan layaknya
robot yang terus-terusan bekerja, tipikal masyarakat Indonesia pada awal abad 21. Robot yang
stematis itu pun harus “rusak” sistemnya saat ia jatuh hati pada Rana, satu-satunya wartawan
yang diberinya kesempatan untuk mewawancarainya.
Di sisi lain, pertentangan budaya timur dan barat dgambarkan melalui tokoh Rana. Rana,
yang paralel dengan Puteri dalam kisah buatan Dimas dan Reuben, mengalami pergolakan batin
yang luar biasa. Pada satu sisi, Rana merasa menemukan hidup dan kebahagiaannya kembali
semenjak berhubungan dengan Ferre sekalipun ia telah bersuami, di sisi lain, ia tidak ingin
merusak pernikahannya dengan memilih Ferre, mengingat pernikahan tidak hanya melibatkan
dua insan, tetapi dua keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Konflik semacam ini telah
banyak terjadi dalam masyarakat Indonesia. Apalagi, belakangan ini, kisah kehadiran orang
ketiga dalam hubungan rumah tangga seolah menjadi makanan sehari-hari, entah berakhir
dengan tetap dipertahankannya pernikahan atau tidak. Pergulatan batin Rana menjadi potret
sosiokultural masyarakat Indonesia di abad 21.
Selanjutnya, tokoh Diva Anastasia turut mengambil porsi. Tokoh yang paralel dengan
Bintang Jatuh dalam kisah Dimas dan Reuben ini digambarkan sebagai seorang model kenamaan
dengan profesi sampingan sebagai pelacur kelas atas. Tarifnya bahkan dengan mata uang dolar,
pelanggannya pejabat tinggi yang berduit. Di balik pekerjaannya yang seringkali dianggap hina,
Diva memiliki pengetahuan yang luar biasa dengan sudut pandang berbeda. Diva berprinsip
bahwa lebih baik memperdagangkan tubuhnya daripada pengetahuan yang dimilikinya. Sebagian
kisah Diva menjadi representasi sosiokultural di Indonesia, dari awal abad 21 hingga saat ini.
Pelacur telah menjadi mata pencaharian dengan penghasilan besar. Mereka yang terjun dalam
dunia prostitusi, baik penyedia ataupun pengguna jasa, tidak sebatas orang biasa. Tidak sedikit
selebritas atau tokoh penting yang terlibat di dalamnya, seperti yang digambarkan melalui
kehidupan Diva.
Potret sosiokultural masyarakat Indonesia di ibu kota begitu jelas digambarkan dalam
Supernova KPBJ ini. Mulai dari alur, tokoh dan penokohan, hingga latar yang diambil sangat
representatif dengan kondisi masyarakat milenial, bahkan berlaku hingga saat ini. beberapa isu
yang diangkat pun pada kenyataannya berkembang dengan sangat kompleks, melebihi apa yang
dipaparkan dalam Supernova KPBJ. Teori-teori sains yang disertakan melalui dialog Dimas dan
Reuben semakin memperkuat bahwa novel ini ingin menggambarkan sosiokultural masyarakat,
dengan kritik yang disampaikan dengan tersirat. Secara keseluruhan, makna yang ada di dalam
Supernova KPBJ begitu representatif dengan kehidupan masyarakat di kehidupan yang
sesungguhnya.

Sumber:
Prihananto, Khusnaini. 2012. Analisis Strukturalisme Genetik Novel Supernova Episode Ksatria.
Puteri, dan Bintang Jatuh Dewi Lestari. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Bramantio.(tanpa tahun). Intertekstualitas Supernova: Ksatria. Puteri, dan Bintang Jatuh:
Sebuah Ruang untuk Science-yang Membumi dan Eksistensi Para Liyan. Artikel.

Anda mungkin juga menyukai