Anda di halaman 1dari 19

DETERMINAN SOSIAL TERHADAP HIV/AIDS

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas


dalam Mata Kuliah Indikator dan pengukuran promosi kesehatan/ social
determinan health

Disusun Oleh :

Marlita NIM 2017.D.01.014

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Ini Yang Berjudul

i
Determinan sosial terhadap HIV/ AIDS pada waktunya tanpa hambatan yang
berarti.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat, akhir kata penulis ucapkan
terima kasih.

Palangka raya, April 2020

Penulis

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................3
BAB II. TINJAUN PUSTAKA
2.1 Determinan Kesehatan Menurut Para Ahli..........................................................4
2.2 Determinan Sosial dari HIV-AIDS......................................................................8
2.3 Peranan Pemerintah dalam Mengatasi Penyakit HIV-AIDS...............................13
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang
menyerang/menginfenksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV,AIDS merupakan satu satunya jenis
penyakit yang paling menakutkan hingga saat ini. Penyakit ini bukanlah terdiri
dari penyakit jenis tertentu, melainkan merupakan penyakit yang menyerang
zat kekebalan tubuh (antibody) manusia sehingga berbagai macam bakteri dan
virus penyakit bisa dengan mudahnya masuk kedalam tubuh manusia karena
hilangnya zat antibody tadi.
Pengidap HIV memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral (ARV).Obat
ARV mampu menekan jumlah virus HIV di dalam darah sehingga kekebalan
tubuhnya (CD4) tetap terjaga. Sama seperti penyakit kronis lainnya seperti
hipertensi, kolesterol, atau DM, obat ARV harus diminum secara teratur, tepat
waktu dan seumur hidup, untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA serta
dapat mencegah penularan. (InfoDATIN AIDS)
Di indonesia, HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada
tahun 1987. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan juni
2018, HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 460 (89,5%) dari 514 kabupaten/kota
diseluruh provinsi di indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang
dilaporkan sampai dengan Desember 2018 sebanyak 327.282 jiwa dengan
114.065 kasus AIDSdan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49
tahun dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi
adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat
(31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757). (KemenkesRI 2018)

1
Jumlah Infeksi HIV yang dilaporkan menurut tahun 1987 - 2018

*Laporan Melalui SIHA per Januari 2019

Jumlah AIDS yang dilaporkan menurut tahun, 1987-2018

*Laporan Melalui SIHA per Januari 2019

2
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus meningkat setiap tahun, sementara
jumlah AIDS relatif stabil. Hal ini menunjukkan keberhasilan bahwa semakin
banyak orang dengan HIV /AIDS (ODHA) yang diketahui statusnya saat
masih dalam fase terinfeksi (HIV positif) dan belum masuk dalam stadium
AIDS.
HIV/AIDS menyebabkan berbagai klinis secara bersamaan, menyebabkan
krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan
juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis
multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari
masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk
individu yang terinveksi HIV.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan pengertian determinan kesehatan menurut para ahli ?
2. Jelaskan determinan sosial dari HIV-AIDS?
3. Apa saja yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani kasus HIV-
AIDS di negara indonesia ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari determinan kesehatan
2. Mahasiswa dapat mengetahui determinan sosial dari penyakit HIV-AIDS
3. Mahasiswa dapat mengetahui peranan pemerintah dalam mengatasi
penyakit HIV-AIDS

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Determinan Kesehatan


Konsep hidup sehat dari teori H.L. Blum untuk menciptakan kondisi sehat
seperti yang diinginkan dalam teorinya, diperlukan suatu keharmonisan dalam
menjaga kesehatan tubuh, sampai saat ini masih sangatlah relevan untuk
diterapkan. Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik
melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat dan H.L Blum
menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor determinan timbulnya
masalah kesehatan.
Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku/gaya hidup (life style),
faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan
kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan),
dimana keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi
kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Diantara faktor
tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling
besar dan paling sukar ditanggulangi, disusul dengan faktor lingkungan. Hal
ini disebabkan karena faktor perilaku yang lebih dominan dibandingkan
dengan faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat
dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.
Di zaman yang semakin maju seperti sekarang ini maka cara pandang kita
terhadap kesehatan juga mengalami perubahan. Apabila dahulu kita
mempergunakan paradigma sakit yakni kesehatan hanya dipandang sebagai
upaya menyembuhkan orang yang sakit dimana terjalin hubungan dokter
dengan pasien (dokter dan pasien). Namun sekarang konsep yang dipakai
adalah paradigma sehat, dimana upaya kesehatan dipandang sebagai suatu
tindakan untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan individu
ataupun masyarakat.
Dengan demikian konsep paradigma sehat H.L. Blum memandang pola
hidup sehat seseorang secara holistik dan komprehensif. Masyarakat yang
sehat tidak dilihat dari sudut pandang tindakan penyembuhan penyakit

4
melainkan upaya yang berkesinambungan dalam menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.
Dalam konsep Blum ada 4 faktor determinan yang dikaji dimana masing-
masing faktor saling keterkaitan, yaitu :

Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan
penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat. Hal ini dikarenakan budaya
hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri masyarakat
untuk menjaga kesehatannya. Diperlukan suatu program untuk menggerakan
masyarakat menuju satu misi Indonesia Sehat. Sebagai tenaga motorik
tersebut adalah orang yang memiliki kompetensi dalam menggerakan
masyarakat dan paham akan nilai kesehatan masyarakat. Masyarakat yang
berperilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan budaya menjaga
lingkungan yang bersih dan sehat.
Pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga harus dibarengi
dengan pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat. Sebab,
apabila upaya dengan menjatuhkan sanksi hanya bersifat jangka pendek.
Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model harus diajak turut serta dalam
menyukseskan program-program kesehatan.

5
Lingkungan
Berbicara mengenai lingkungan sering kali kita meninjau dari kondisi fisik.
Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber
berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat
kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik,
polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Upaya menjaga
lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk itulah perlu
kesadaran semua pihak.
Puskesmas sendiri memiliki program kesehatan lingkungan dimana
berperan besar dalam mengukur, mengawasi, dan menjaga kesehatan
lingkungan masyarakat. namun dilematisnya di puskesmas jumlah tenaga
kesehatan lingkungan sangat terbatas padahal banyak penyakit yang berasal
dari lingkungan kita seperti diare, demam berdarah, malaria, TBC, cacar dan
sebagainya.

Disamping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan.


Sebagai mahluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga
interaksi individu satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik.
Kondisi lingkungan sosial yang buruk dapat menimbulkan masalah kejiwaan.

Pelayanan Kesehatan
Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat
membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan
lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan
kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak
dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di
bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.
Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat
sangat besar perananya. sebab di puskesmaslah akan ditangani masyarakat
yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Peranan Sarjana
Kesehatan Masyarakat sebagai manager yang memiliki kompetensi di bidang
manajemen kesehatan dibutuhkan dalam menyusun program-program

6
kesehatan. Utamanya program-program pencegahan penyakit yang bersifat
preventif sehingga masyarakat tidaka banyak yang jatuh sakit.

Banyak kejadian kematian yang seharusnya dapat dicegah seperti diare,


demam berdarah, malaria, dan penyakit degeneratif yang berkembang saat ini
seperti jantung karoner, stroke, diabetes militus dan lainnya. penyakit itu
dapat dengan mudah dicegah asalkan masyarakat paham dan melakukan
nasehat dalam menjaga kondisi lingkungan dan kesehatannya.

Genetik
Seperti apa keturunan generasi muda yang diinginkan? Pertanyaan itu
menjadi kunci dalam mengetahui harapan yang akan datang. Nasib suatu
bangsa ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Oleh sebab itu kita harus
terus meningkatkan kualitas generasi muda kita agar mereka mampu
berkompetisi dan memiliki kreatifitas tinggi dalam membangun bangsanya.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan status gizi balita sebab pada masa
inilah perkembangan otak anak yang menjadi asset kita dimasa mendatang.
Namun masih banyak saja anakIndonesiayang status gizinya kurang bahkan
buruk. Padahal potensi alamIndonesiacukup mendukung. oleh sebab itulah
program penanggulangan kekurangan gizi dan peningkatan status gizi
masyarakat masih tetap diperlukan. Utamanya program Posyandu yang
biasanya dilaksanakan di tingkat RT/RW. Dengan berjalannya program ini
maka akan terdeteksi secara dini status gizi masyarakat dan cepat dapat
tertangani.
Program pemberian makanan tambahan di posyandu masih perlu terus
dijalankan, terutamanya daeraha yang miskin dan tingkat pendidikan
masyarakatnya rendah. Pengukuran berat badan balita sesuai dengan KMS
(Kartu Menuju Sehat) harus rutin dilakukan. Hal ini untuk mendeteksi secara
dini status gizi balita. Bukan saja pada gizi kurang kondisi obesitas juga perlu
dihindari. Bagaimana kualitas generasi mendatang sangat menentukan
kualitas bangas Indonesia mendatang.

7
2.2 Determinan Sosial HIV-AIDS

2.2.1 Pengertian Determinan Sosial

"Kesehatan yang buruk dari orang miskin, gradien sosial dalam kesehatan di
dalam negara, dan ketidaksetaraan kesehatan yang mencolok antar negara
disebabkan oleh distribusi kekuatan, pendapatan, barang, dan layanan, secara
global dan nasional, konsekuensi ketidakadilan dalam keadaan langsung dan
nyata dari kehidupan masyarakat - akses mereka ke perawatan kesehatan,
sekolah, dan pendidikan, kondisi kerja mereka dan waktu luang, rumah
mereka, komunitas, kota, atau kota - dan mereka peluang untuk menjalani
kehidupan yang berkembang. Distribusi yang tidak merata ini pengalaman
yang merusak kesehatan sama sekali bukan 'alami' Fenomena .... Bersama-
sama, penentu struktural dan kondisi kehidupan sehari-hari merupakan
penentu sosial kesehatan." (WHO 2008).

Orang miskin hidup lebih pendek dan lebih sering sakit daripada orang
kaya. Perbedaan ini telah menarik perhatian pada sensitivitas kesehatan yang
luar biasa terhadap lingkungan sosial (WHO, SDoH)

Menurut teori dari Dahlgren and Whitehead (1991) determinan sosial


kesehatan terletak di berbagai level dalam model eko-sosial kesehatan .
Bahwa pelayanan kesehatan bukan satu-satunya determinan kesehatan,
melainkan hanya salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan
individu dan populasi.

8
Dalam teori eko-sosial kesehatan, Dahlgren dan Whitehead (1991)
menjelaskan bahwa kesehatan/ penyakit yang dialami individu dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang terletak di berbagai lapisan lingkungan, sebagian
besar determinan kesehatan tersebut sesungguhnya dapat diubah (modifiable
factors). Gambar di atas memeragakan, individu yang kesehatannya ingin
ditingkatkan terletak di pusat, dengan faktor konstitusional (gen), dan sistem
lingkungan mikro pada level sel/ molekul. Lapisan pertama (level mikro,
hilir/ downstream) determinan kesehatan meliputi perilaku dan gaya hidup
individu, yang meningkatkan ataupun merugikan kesehatan, misalnya pilihan
untuk merokok atau tidak merokok.

Lapisan kedua (level meso) adalah pengaruh sosial dan komunitas, yang
meliputi norma komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas, modal
sosial, jejaring sosial, dan sebagainya. Faktor sosial pada level komunitas
dapat memberikan dukungan bagi anggota-anggota komunitas pada keadaan
yang menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang ada pada level
komunitas dapat juga memberikan efek negatif bagi individu dan tidak
memberikan dukungan sosial yang diperlukan bagi kesehatan anggota
komunitas.

Lapisan ketiga (level ekso) meliputi faktor-faktor struktural: lingkungan


pemukiman/ perumahan/ papan yang baik, ketersediaan pangan, ketersediaan
energi, kondisi di tempat bekerja, kondisi sekolah, penyediaan air bersih dan

9
sanitasi lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, akses
terhadap pendidikan yang berkualitas, lapangan kerja yang layak.

Lapisan terluar (level makro, hulu/ upstream) meliputi kondisi-kondisi dan


kebijakan makro sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya, serta
lingkungan fisik. Termasuk faktor-faktor makro yang terletak di lapisan luar
adalah kebijakan publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, hubungan
internasional/ kemitraan global, investasi pembangunan ekonomi,
peperangan/ perdamaian, perubahan iklim dan cuaca, eko-sistem, bencana
alam (maupun bencana buatan manusia/ man-made disaster seperti kebakaran
hutan).

Berdasarkan model determinan eko-sosial kesehatan Dahlgren dan


Whitehead (1991) dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu, kelompok,
dan komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi penuh dari
individu, baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi. (ICPH)

2.2.2 Determinan Sosial terhadap HIV-AIDS


Sosial Determinan Kesehatan terhadap HIV-AIDS itu sendiri adalah
bagaimana sebuah lingkungan sosial mempengaruhi sesorang untuk
melakkukan sesuatu yang menyebabkan dirinya terkena/terjangkit virus HIV
baik itu perilaku dari sih individu, komunitas/lingkungannya, pendidikannya,
ekonomi dll. (Djoerban, 1999) jurnalis dari media baik media cetak maupun
elektronik dalam peliputan mengenai ODHA dan hal-hal yang terkaitan
dengan HIV / AIDS adakalanya tidak empati dan jauh dari nilai-nilai
humanismeantara lain:
1. Diskriminasi, memperlakukan orang secara berbeda-beda dan tanpa alasan
yang tidak relevan, misalnya diskriminasiterhadap ras, gender, agama dan
politik. Dalam kasus pemberitaan HIV / AIDS, media sering melakukan
pembedaan atas seseorang menurut kehendaknya sendiri. Misalnya orang
jahat (ODHA) versus orang baik-baik. Orang bermoral versus orang tidak
bermoral, perempuan pekerja seks versus orang baik.
2. Kekerasan Pada kasus pemberitaan terhadap seorang pekerja seks misalnya,
media melakukan kekerasan karena telah mengekspose seorang pekerja

10
seks tanpa meminta ijin. Akibatnya ia dikucilkan hidupnya setelah
pemberitaan tersebut.
3. Stigmatisasi Proses pelabelan (stereotip) yang dilakukan pada orang lain ini
sering dilakukan oleh media ketika memberitakan tentang pekerja seks
dan HIV / AIDS. Misalnya pekerja seks adalah orang tidak baik sebagai
penyebar HIV/AIDS, untuk itu mereka harus dijauhi.
4. Sensasional Dalam pemberitaan HIV / AIDS, seringkali judul berita
menampilkan sesuatu yang sangat bombastis, tidak sesuai dengan realitas
sebenarnya. Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan
sosial masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang
dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan
sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial.
Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah
anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah
tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stigma dan
diskriminasi sangat perlu mendapat perhatian dimasa mendatang.
Fenomena orang-orang dengan HIV positif masih dianggap sebagai sesuatu
yang asing tapi menarik bagi kebanyakan masyarakat.
Kita sering dengar bahwa orang dengan HIV/AIDS menghadapi banyak
masalah sosial. Di perlakukan berbeda oleh orang lain. dalam pergaulan
dikucilkan oleh temantemannya, bahkan oleh keluarga sendiri. Ketakutan
akan perlakuan yang dibedakan ini pun membuat orang HIV+ susah
menjembatani diri dengan orang lain. Takut untuk membagi pengalamannya,
bahkan untuk menyatakan bahwa dirinya sakit dan perlu pertolongan kepada
orang lain. Ia senantiasa khawatir akan reaksi dan penerimaan orang lain atas
dirinya. Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak. Lebih dari itu, mereka
membuat pagar. Orang HIV+ menyebabkan keresahan. Baik dalam kelompok
kecil, maupun dalam skala yang amat besar.
Hidup dengan HIV/AIDS memang pada kenyataannya sulit dan
menyedihkan. Menerima kenyataan bahwa kita mengidap suatu virus yang
tak bisa disembuhkan bukan hal bisa dianggap biasa-biasa saja, terutama
secara psikologis. Selain itu, ODHA seringkali harus menutup-nutupi status

11
HIV jika mau aman. Ada resiko diskriminasi di lingkungan di tempat kerja,
dalam mendapatkan pelayanan, bahkan di rumah dan di tempat perawatan
kesehatan. Belum lagi pandangan masyarakat yang merendahkan dan penuh
ketakutan yang masih kuat di sekeliling ODHA. Selain itu, ingin menjaga
kesehatan fisikpun sulit. Obat-obatan tidak tersedia ataupun tidak terjangkau
harganya, fasilitas tes kesehatan dan perawatan minim dan terbatas, kesediaan
dan kemampuan para tenaga kesehatan dan perawatan juga minim dan
terbatas, dan jaminan kerahasiaan yang meragukan adalah beberapa
contohnya. Beberapa dampak sosial dari epidemi HIV/AIDS antara lain
adalah: • Menurunnya produktivitas masyarakat Salah satu masalah sosial
yang dihadapi ODHA adalah menurunnya produktivitas mereka. Daya tahan
tubuh yang melemah, dan angka harapan hidup yang menurun, membuat daya
produktivitas ODHA tidak lagi sama seperti orang pada umumnya. Hal ini
menyebabkan kebanyakan dari mereka kehilangan kesempatan kerja ataupun
pekerjaan tetapnya semula. Hal ini juga berpengaruh terhadap permasalahan
dalam aspek ekonomi yang mereka dihadapi.
• Mengganggu terhadap program pengentasan kemiskinan Berkaitan
dengan point yang pertama, ketika ODHA mengalami penurunan
produktivitas, mereka akan kehilangan pekerjaan mereka dan mulai
menggantungkan hidupnya kepada keluarganya ataupun orang lain. Tanpa
disadari hal ini akan menganggu terhadap program pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan.
• Meningkatnya angka pengangguran
Meningkatnya angka pengangguran ini juga merupakan salah satu dampak
sosial yang ditimbulkan HIV/AIDS. Daya tahan tubuh yang melemah,
antibody yang rentan dan ketergantungan kepada obat membuat ODHA
merasa di diskriminasi dalam hal pekerjaan, sehingga mereka susah untuk
mencari pekerjaan yang sesuai.
• Mempengaruhi pola hubungan sosial di masyarakat Pola hubungan
sosial di masyarakat akan berubah ketika masyarakat memberikan stigma
negatif kepada ODHA dan mulai mengucilkan ODHA. Hal ini bukan saja

12
terjadi pada diri ODHA namun berdampak juga pada keluarga ODHA yang
terkadang ikut dikucilkan oleh masyarakat sekitar.
• Meningkatkan kesenjangan pendapatan/kesenjangan sosial Kesenjangan
sosial dapat terjadi ketika masyarakat di sekitar tempat ODHA tinggal mulai
memperlakukan beda atau mendiskriminasi, memberi stigma negatif dan
mengkucilkan ODHA.
• Munculnya reaksi negatif dalam bentuk; deportasi, stigmatisasi,
diskriminasi dan Isolasi, tindakan kekerasan terhadap para pengidap HIV dan
penderita AIDS.
2.3 Peranan Pemerintah dalam Mengatasi HIV-AIDS di Indonesia
1. Secara Nasional
Secara nasional, Indonesia telah mengantisipasi epidemi HIV/AIDS,
tetapi jumlah kasus HIV/AIDS di Provinsi Bali dari tahun ke tahun
memperlihatkan peningkatan yang semakin mengkhawatirkan. ini
bertujuan untuk mengetahui perkembangan jumlah kasus dan kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS di Denpasar. Ini menggunakan metode
kualitatif yang dilakukan di Denpasar pada tanggal 11-17 September 2011.
Sampel penelitian ini menggunakan informan terpilih yaitu kepala
bappeda, pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Denpasar, direktur rumah
sakit, puskesmas, ketua komisi penanggulangan AIDS di kabupaten/kota
dan pemerhati HIV/AIDS termasuk ODHA. Penelitian menemukan jumlah
kasus HIV/AIDS di Kota Denpasar yang tertinggi dan penularan
terbesarnya melalui hubungan seks. Namun, dukungan pemerintah daerah
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS terlihat belum
maksimal. Padahal kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sangat
ditentukan oleh cara pandang pemerintah terhadap penyakit HIV/AIDS.
Untuk itu, perlu peningkatan pemahaman tentang HIV/AIDS serta
pencegahan dan penanganan semua pihak terkait sehingga
penanggulangan HIV/AIDS dapat lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran.
2. Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Program SCORE Dalam
Mencegah Penyebaran HIV/AIDS

13
SCORE adalah singkatan dari Soccer for Children On the Road to
Empowerment yaitu salah satu program pemberdayaan anak jalanan dalam
mencegah penularan HIV/AIDS yang dilakukan oleh Yayasan Rumah Kita
(eRKa) dengan konsep sepak bola. Melalui permainan bola, anak-anak
jalanan mulai dikenalkan dengan kespro (kesehatan dan reproduksi), IMS
(infeksi menular seksual) dan HIV/AIDS. Program untuk anak-anak
jalanan dalam rangka mencegah penularan HIV/AIDS diantara anak anak
jalanan. Program ini mengacu pada komitmen pemerintah Indonesia yang
telah menandatangani komitmen global. Sistem penanganan HIV/AIDS
pada anak jalanan melaui program SCORE adalah tindakan pencegahan
sejak dini dalam menyelamatkan generasi penerus bangsa ini.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
HIV adalah singkatan dari Human Immunedeficiency Virus yang secara
definisial diartikan sebagai virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia sehingga sebagai akibat serangan virus ini menyebabkan
melemahnya sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit. Penularan
HIV/AIDS tidak hanya terbatas pada orang-orang mampu/kaya saja, tetapi
juga pada masyarakat miskin, bahkan kita semua mempunyai resiko untuk
tertular. Penularan bukan hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-
anak, bahkan pada bayi baru lahir pun mempunyai resiko penularan. Pada
dasarnya HIV/AIDS akan menular melalui 3 cairan tubuh manusia yaitu
darah, sperma dan cairan vagina. Sedangkan AIDS sebagai singkatan dari
Acquired Immunne Deficiency Syndrome merupakan kumpulan dari berbagai
gejala penyakit sebagai akibat terserang HIV. HIV diperkirakan sudah
menyebar sejak tahun tujuh puluhan.(Modul pelatihan AIDS bagi perawat,
Dep.Kesehatan RI, Jakarta 1993 ). Jadi HIV AIDS adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
infeksi HIV tersebut. AIDS dewasa ini sudah merupakan penyakit pendemi
yang melanda hampir seluruh dunia, baik negara maju maupun negara
berkembang termasuk Indonesia .
Lingkungan sosial sangat berperan penting dengan penyebaran dari virus
HIV AIDS dan bahkan kematian para ODHA. Tingkat pedidikan yang kurang
dikarenakan faktor ekonomi membuat beberapa masyarakat tidak mengetahui
informasi mengenai HIV-AIDS dan cara mencegahnya. Bahkan dengan
pengetahuan yang kurang membuat masyarkat yang bukan ODHA menjauhi
ODHA sehingga membuat ODHA merasa tertekan dan dapat membuat
mereka berhenti pengobatan.
Penggidap HIV-AIDS (ODHA) tidak memandang kalangan/latar belakang
pengidapnya. Ada yang dengan pendidikan yang tinggi, kemampuan ekonomi
yang cukup tidak menjamin mereka bebas dari HIV-AIDS.

15
DAFTAR PUSTAKA
ICPH: Determinan Kesehatan; International Conference on Public Health.
http://theicph.com/id_ID/id_ID/icph/health-determinants/; Diakses pada
tanggal 12 april 2020
Kemenkes RI (2019): Laporan Perkembangan HIV-AIDS & Infeksi Menular
Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2018; Jakarta Selatan.
KemenkesRI (2018): Hari AIDS Sedunia, Momen STOP Penularan HIV :Saya
Berani, Saya Sehat;Diakses pada taggal 12 april 2020.
Pardita Yudi Putu Dewa, (2014). Jurnal Buletin Studi Ekonomi, vol. 19, No. 2,
Analisis Dampak Sosial, Ekonomi, dan Psikologis Penderita HIV AIDS Di
Kota Denpasar.
Rahayu E. P. (2018): Sosial Determinan Kesehatan Kasus HIV/AIDS pada
Pegawai Negeri Sipil di Kab. Nunukan; Universitas Gadjah Mada; Health
& Policy Management. Diakses pada tanggal 12 april 2020.
Setiawan H. Harjanto. 2007. Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Program
Score Dalam Mencegah Penyebaran HIV/AIDS; Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial vol 12, No. 03.
WHO (2008): Closing the gap in a generation : Health equity through action on
the social determinants of helath; WHO Commission on Social
Determinants of Health.
WHO : Social Determinants of Health: the solid facts. 2nd edition. Edites by
Richard Wilkinson and Michael Marmot. Regional Office for Europe.
Denmark.

16

Anda mungkin juga menyukai