Anda di halaman 1dari 56

Laboratorium/SMF Ilmu Penyakit Dalam

Program Studi Pendidikan Profesi Dokter


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

TUTORIAL KLINIK 1

Disusun oleh :
Kelompok 72
Mildawati 1910017064
Reghina 1910017055
Nursaci Mardania 1910017069
Bilqis F 1910017067
Jessica Manaek 1910017061
Isabel Laudensye 1910017059
Miftahul Jannah 1910017066

Pembimbing
dr. Yuliana Rahmah R., M.Kes, Sp.PD

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial Klinik 1. Tutorial ini disusun
dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Yuliana Rahmah R., M.Kes, Sp.PD, selaku Kepala Laboratorium Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman dan selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran selama
penulis menjalani co-assistance di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam.
4. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Juli 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB 1 DISKUSI TUTORIAL 1.............................................................................1
1.1. Skenario.....................................................................................................1
1.1.1. Identitas Pasien..................................................................................1
1.1.2. Keluhan Utama..................................................................................1
1.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang...............................................................1
1.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu...................................................................2
1.1.5. Riwayat Penyakit Keluarga................................................................2
1.1.6. Riwayat Pribadi..................................................................................2
1.1.7. Anamesis Sistem................................................................................2
1.1.8. Pemeriksaan Fisik..............................................................................4
1.1.9. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................5
1.2. Step 1. Identifikasi Istilah..........................................................................6
1.3. Step 2. Identifikasi Masalah......................................................................6
1.4. Step 3. Analisa Masalah............................................................................7
1.5. Step 4. Learning Objective......................................................................13
1.6. Step 5. Belajar Mandiri...........................................................................13
BAB II DISKUSI TUTORIAL 2...........................................................................14
2.1. Learning Objective Osteoarthritis, Rheumatoid Arthitis dan Gout
Arthritis..............................................................................................................14
2.1.1. Osteoarthritis....................................................................................14
2.1.2. Rheumatoid Arthritis........................................................................21
2.1.3. Gout Arthritis...................................................................................34
2.2. Learning Objective Anemia pada Pasien................................................50
2.3. Learning Objective Diabetes Melitus......................................................51
2.4. Learning Objective Overweight dan Profil Lipid....................................63
2.5. Learning Objective Edema Unilateral.....................................................64
2.6. Learning Objective Tatalaksana Pasien Sesuai dengan Skenario...........68
2.7. Learning Objective Kapan Sebagai Dokter Umum Harus Merujuk dan
Merujuk kepada Bagian Apa Saja......................................................................73
BAB III PENUTUP...............................................................................................74

iii
3.1. Kesimpulan..............................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................75

iv
BAB 1
DISKUSI TUTORIAL 1

1.1. Skenario
1.1.1. Identitas Pasien
Nama/Usia : Ny. K/73 tahun
No CM : 01.73.80.79
Alamat : Loa Janan
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Dirawat di : Aster
Dokter Jaga : dr. A
Dokter bangsal : dr. S
Indikasi rawat inap : Diagnosis dan Terapi

1.1.2. Keluhan Utama


Kaki kiri bengkak rujukan Rumah Sakit Parikesit

1.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang


± 1 tahun sebelum masuk rumah sakit OS terjatuh dikatakan ada retak tulang
lutut kiri saat itu keluhannya nyeri hilang timbul (+), bengkak (+) , sulit untuk
bergerak, sejak saat itu pasien berkurang aktivitasnya, OS sering mengkonsumsi obat
penghilang nyeri di warung. Saat jatuh tersebut OS dibawa ke puskesmas dan di
rontgen dikatakan retak tulang.
± 1 Bulan sebelum masuk rumah sakit bengkak di kaki kiri menetap (+),
bertambah nyeri dengan aktivitas (+), jika disentuh nyeri (+), tidak dengan obat/
minyak oles ? OS semakin sulit beraktivitas dan lebih banyak diam.
± 9 hari sebelum masuk rumah sakit, OS mual muntah (+), setiap makan muntah,
tubuh semakin lemas, keluhan kaki kiri bengkak dan nyeri bertambah berat. OS

1
dibawa ke Rumah Sakit Parikesit selama perawatan dilakukan suntikan di sendi lutut
untuk mengeluarkan cairan, warna seperti minyak, selama dirawat di tsb OS
dikatakan sakit gula, penyumbatan dan penyempitan tulang karena keluhan
memberat OS dirujuk ke RSUD AWS.
Hari masuk rumah sakit kaki kiri bengkak (+), nyeri (+), mual (+), muntah
(+), tidak mau makan
± 1 tahun yang lalu OS berobat ke RS SMC dikatakan sakit gula dan
mendapatkan obat gula warna putih bulat kecil, rata-rata gula tertinggi 182

1.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat alergi (-)
• Riwayat hipertensi (-)
• Riwayat diabetes mellitus (+)

1.1.5. Riwayat Penyakit Keluarga


• Herediter (-)
• Familial (-)
• Infeksi (-)

1.1.6. Riwayat Pribadi


• OS adalah seorang istri memiliki suami dengan 2 orang anak, kesulitan
ekonomi (+), biaya ditanggung JKN Non PBI

1.1.7. Anamesis Sistem


 Keadaan umum
Kelemahan umum (+)
 Kulit
Tidak ada perubahan warna kulit, gatal (-), ruam (-), kelainan kuku (-),
infeksi kulit (-)
 Kepala
Sefalgia (-), vertigo (-), nyeri (-), sinus (-), trauma kapitis (-)
 Mata
Tidak ada riwayat mata berwarna kuning
2
 Telinga
Tidak ada keluhan pendengaran, tinnitus (-), secret tidak ada kelainan,
nyeri (-)
 Hidung
Pilek (-), obstruksi (-), epistaksis (-), bersin (-)
 Mulut dan tenggorokan
tidak ada keluhan sukar atau nyeri menelan atau mengunyah, tonsilitis
(-), stomatitis (-), saliva tidak ada kelainan, suara serak (-)
 Leher
pembesaran gondok (-), pembengkakan kelenjar getah bening (-)
 Dada
Tidak pernah mengalami gejala asma, Batuk (-),dahak (-),sesak nafas (-),
hemoptisis (-)
 Jantung
Tidak ada keluhan sesak, berdebar-debar, ataupun nyeri dada kiri,
ortopnu (-), hipertensi (-)
 Vaskuler
Tidak ada keluhan ataupun riwayat penyakit vaskuler
 Gastrointestinal
mual (+), muntah (+)
 Genitourinaria
benjolan (-), nokturia (-), disuria (-), polakisuria (-), poliuria (-), retensi
urin (-), anuria (-), hematuria (-)
 Muskuloskeletal
nyeri lutu kiri (+)
 Payudara
perdarahan (-), discharge (-), benjolan (-)

 Neurologik
Tidak ada penurunan kesadaran & kejang, gangguan saraf otak (-),
paralysis (-), anastesi (-), parestesi (-), ataksia (-), gangguan fungsi
luhur(-)
 Endokrin

3
penderita Diabetes mellitus (+)
 Psikiatrik
Tidak ada gangguan perangai, orientasi, anxietas, depresi dan psikosis

1.1.8. Pemeriksaan Fisik


KU : sedang, CM, gizi
TB 155 cm, BB 65 kg, IMT 27,1 kg/m²
VS : TD : 100/80 mmHg, tidur, manset di lengan kanan, large adult cuff
N : 94x/menit, irama teratur, isi dan tekanan cukup
R : 20 x/menit, irama teratur, tipe pernapasan thorakoabdominal
T° : 36,5 °C, suhu aksila
Kepala : Insp. : konj. pucat (+/+), sklera ikterik (-)
Palp. : tidak ada nyeri tekan, tak teraba massa
Leher : Insp. : JVP tak meningkat
Palp. : lnn ttb
Thorax :
Pulmo : Insp. : simetris, KG (-), retraksi (-)
Palp. : stem fremitus kanan = kiri
Perk. : sonor (+)
Ausk. : vesikuler (+) RBK (-) RBB (-) Wheezing (-)
Cor : Insp. : IC tak tampak
Palp. : IC teraba di SIC V LMCS
Perk. : kardiomegali (-), kesan konfigurasi dbn
Ausk. : S1-2 murni reguler, bising (-)
Abdomen : Insp. : datar
Ausk. : peristaltik (+) N
Perk. : timpani di seluruh regio
Palp. : NT (-), H/L ttb
Extremitas : Insp. : edema − −
− −
Palp. : akral hangat, tidak ada nyeri tekan
Lingkar paha kanan : 28,5 cm
Lingkar paha kiri : 33 cm

4
1.1.9. Pemeriksaan Penunjang

1.2. Step 1. Identifikasi Istilah


Tidak Ada

1.3. Step 2. Identifikasi Masalah


1. Apakah Diabetes Melitus dapat memperparah fraktur tertutup? Bagaimana
jika DM terkontrol?
2. Mual dan muntah, Bagaimana mekanisme muncul hal tersebut ?Apakah ada
hubungannya dengan patah tulangnya dan diagnosis sakit gula?
3. Apakah umur pasien mempengaruhi keluhan sekarang?
4. Pemeriksaan fisik , konjungtiva pucat apakah berhubungan dengan keluhan
pasien?
5. Bagaimana tatalaksana awal pada pasien?
5
6. Interpretasi dari pemeriksaan penunjang

1.4. Step 3. Analisa Masalah


1. Penurunan metabolisme dapat memperparah kadaan pasien sekarang,
Imunosupressif, Terdapat hubungan antara trauma yang pasien alami 1 tahun
yang lalu dengan keluhan nyeri lutut yang dialami saat ini. Seseorang dengan
riwayat trauma lutut memiliki risiko 5-6 kali lipat lebih tinggi untuk
menderita OA lutut, hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang
lebih muda serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama. Pada kasus pasien
OS tidak bias dikatakan DM terkontrol. Dari IMT , didapatkan pasien
obesitas.
2. Bisa merupakan efek samping dari NSAID yang dikonsumsi tanpa resep
dokter yang menimbulkan tukak lambung, dapat pula disebabkan oleh efek
samping obat DM , dan dapat pula Neuropati diabetik pada nervus vagus
(gastoparesis diabetikum).
3. Dapat berhubungan karena terjadi penurunan fungsi dari sistem (fungsi
organ), pemulihan membutuhkan waktu yang cukup. Proses penuaan akan
menyebabkan kelemahan pada sendi.
4. Dapat disebabkan kurang intake dari keluah mual muntah yang dialami OS.
Anemia disebabkan oleh efek samping dari obat yang dikonsumsi pasien.
Dapat pula disebabkan oleh efek samping gastrointestinal sering didapatkan
pada pemakaian metformin, metformin memberikan efek samping mual dan
muntah pada pasien ini sehingga menyebabkan pasien menjadi hipokalemi
5. Perbaiki keadaan umum dengan pertimbangan penyakit penyerta laiinya,
seperti memberikan analgesik, anti emetik, obat OA dan obat obat DM,
namun juga sambal dilakukan pemeriksaan lainya yang masih kurang dari
scenario
6. Interpretasi Hasil Laboratorium
Darah Rutin Hasil Grafik Nilai Rujukan
Leukosit 11.68 x 103/μL / /* 4.80-10.80 x 103/μL
Eritrosit 3.67 x 106/μL */ / 4.20-5.40 x 106/μL
Hemoglobin 10,2 g/dL */ / 12.0-16.0 g/dL
Hematokrit 30,6% */ / 37.0-54.0%
PLT 283 x 103/μL /*/ 150-450 x 103/μL
MCV 83,4 fL /*/ 81.0-99.0 fL
MCH 27,8 pg /*/ 27.0-31.0 pg
6
Neutrofil% 81,9% / /* 40-74%
Limfosit% 11,0% */ / 19-48%
Monosit% 6,9% /*/ 3-9%
Eosinofil% 0,0% /*/ 0-7%
Basofil% 0,2% /*/ 0-1%
Ginjal
BUN 26,20 mg.dL / /* 6-20 mg/dL
Creatinin 0,77 mg/dL /*/ 0.5-1.1 mg/dL
Urat 6,30 mg/dL /*/ 5.7-6.7 mg/dL
Elektrolit
Natrium 140 mmol/L /*/ 135-155 mmol/L
Kalium 2.04 mmol/L */ / 3.6-5.5 mmol/L
Chloride 105 mmol/L /*/ 98-108 mmol/L
Perdarahan
PPT 16,7 detik /*/ 13-15 detik
K 15
APTT 32,0 detik /*/ 35-43 detik
K 32,0
INR 1,26
Urinalisa
pH 6.0 /*/ 4.5-8.0
Berat Jenis <1.005 /*/ 1.003-1.030
Protein - /*/ -
Glukosa - /*/ -
Bilirubin - /*/ -
Urobilinogen - /*/ -
Keton - /*/ -
Nitrit - /*/ -
Eritrosit 382/lpb / /* 0-1/lpb
Leukosit 66,5/lpb / /* 0-3/lpb
Bakteri 87,7 / /* -
Kristal 256,9 / /* -
Leukosit Esterase 75 / /* -
Catatan : PPT memanjang atau memendek jika berbeda >2 detik dari nilai
normal. APTT memanjang atau memendek jika berbeda >7 detik dari nilai
normal.

Dari hasil laboratorium pasien di atas, kondisi yang mengalami kelainan adalah
a. Kadar leukosit yang meningkat (leukositosis) menandakan suatu infeksi
bakteri;
b. Kadar eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit yang menurun menandakan
suatu keadaan anemia;
c. Nilai neutrofil% yang meningkat (neutrofilia) menandakan suatu keadaan
infeksi;
d. Nilai limfosit% yang menurun (limfositopenia) menandakan sistem imun
menurun yang dapat disebabkan oleh penyakit autoimun, kanker dan

7
pengobatannya, anemia aplastik, infeksi, penyakit bawaan, malnutrisi,
masalah pencernaan, penyakit ginjal, operasi, dan trauma.
e. Kadar kalium yang menurun <2.5 mmol/L (hipokalemia berat) yang dapat
disebabkan oleh muntah berlebih, diare berlebih, penyakit ginjal atau
gangguan pada kelenjar adrenal, dan konsumsi obat diuretik.
f. Pada pemeriksaan urinalisa :
 Jumlah eritrosit yang tinggi dalam urin menandakan hematuria;
 Jumlah leukosit yang tinggi dalam urin (leukosituria atau piuria)
menandakan adanya infeksi saluran kemih baik bagian atas maupun
bawah, sistitis, pielonefritis, atau glomerulonefritis akut;
 Jumlah bakteri yang meningkat pada urin menandakan kemungkinan
adanya infeksi saluran kemih;
 Jumlah kristal yang berlebih pada urin menandakan kemungkinan
adanya batu saluran kemih;
 Jumlah leukosit esterase yang meningkat pada urin menandakan enzim
esterase yang dihasilkan oleh leukosit dalam urin meningkat yang
mengarah pada penyakit infeksi saluran kemih.

8
1.5. Step 4 . Strukturisasi konsep

Riwayat fraktur Osteoartri IMT: 27


tertutup tis

Keluhan pasien kaki bengkak Riwayat diabetes Usia: 73


dan nyeri melitus tahun

Konsumsi obat anti Konsumsi obat diabetes Pemeriksaan fisik:


nyeri melitus Konjungtiva pucat
anemia
Mual dan muntah IMT overweight
LPKI > LPKA
Pemeriksaan penunjang:
Darah:
Urin:
Hb
Bakteri (+)
Hematokrit
EKG:
Leukositosis Irama sinus: LAD
Elektrolit: Foto polos:
Hipokalemia Kalsifikasi + erosi pada
Ginjal: femur sinistea
Urea Penyempitan joint space

Diagnosis
banding

Komplikasi Tatalaksana

Prognosis

1.6. Step 4. Learning Objective


1. Menjelaskan mengenai Diabetes Melitus
2. Menjelaskan mengenai pengendalian DM
3. Menjelaskan mengenai Osteoarthiritis
4. Menjelaskan mengenai penatalaksanaan , pemeriksaan penunjang pada kasus
sesuai dengan scenario
5. Menjelaskan mengenai Diagnosa Banding dari kasus skenario

9
1.7. Step 5. Belajar Mandiri
Seluruh anggota tutorial klinik melakukan pembelajaran mandiri melalui
berbagai sumber ilmiah sesuai dengan learning objective yang telah di tentukan

10
BAB II
DISKUSI TUTORIAL 2

2.1. Learning Objective


a. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2015).
2. Patofisiologi DM Tipe2
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2.
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya
ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan
konsep tentang (Ralph, 2009) :
a. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
b. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat
pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
c. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,
liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis

11
penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya
sebagai the ominous octet (Ralph, 2009).

Gambar 2.1. The Ominous Octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph, 2009)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut (Ralph, 2009) :
1) Kegagalan Sel Beta Pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2) Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP = hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur
ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
3) Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan

12
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan
tiazolidindion.

4) Sel Lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA = Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis,
dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. Free Fatty Acid juga akan
mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5) Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6) Sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amylin.
7) Ginjal

13
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% dari glukosa terfiltrasi
ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini
akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8) Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obesitas
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin

14
3. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologis DM (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015)

4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti
(International Diabetes Federation, 2013) :
a. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain (non klasik) : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

15
Pada anamnesis juga dapat ditanyakan mengenai pemeriksaan laboratorium
terdahulu, status gizi, pola diet, riwayat perubahan berat badan, tumbuh
kembang, infeksi sebelumnya terutama infeksi pada kulit, gigi, saluran kemih
dan kelamin, infeksi pada kaki, gejala komplikasi pada ginjal, mata, saluran
pencernaan, dam riwayat pengobatan, adanya pengobatan lain yang dapat
berpengaruh terhadap kadar glukosa darah, maupun adanya faktor risiko DM
(merokok, hipertensi, riwayar penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat
penyakit keluarga), pola hidup, psikososial, budaya, status ekonomi, dan
pendidikan. Pada pemeriksaan fisik dicari tanda penyakit peneyerta/komplikasi
diantaranya hipertensi, kardiomegali, infeksi paru, udem, kulit kering, dan
gangguan pulsasi PD (American Diabetes Association, 2015).

Gambar 2.2. Algoritma Diagnosis DM (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015)

16
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015)

Catatan : Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi
darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan
gangguan fungsi ginjal, maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi : toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (American Diabetes
Association, 2015).
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl;
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl;
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT;
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.3. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Dibetes dan Prediabetes
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015)

17
Tabel 2.4 Cara Pelaksanaan TTGO (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015)

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM, yaitu (American Diabetes Association, 2015) :
1) Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang;
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga);
c. Kelompok ras/etnis tertentu (african american, latino, native american,
asian american, pasific islander);
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG);
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi);
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL;
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium;
h. Riwayat prediabetes;
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans;
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2) Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan :
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.

18
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa
darah plasma vena dan glukosa darah kapiler, seperti pada tabel-6 di bawah ini.

Tabel 2.5 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dL) (International Diabetes Federation, 2013)

5. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan diabetes mellitus secara umum ada lima sesuai
dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Tujuan penatalaksanaan DM adalah:
a) Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dn tercapainya target pengendalian glukosa darah.
b) Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
19
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat 10-15%, lemak 20-25%, dan protein 10-15%. Untuk menentukan
status gizi, dihitung dengan Body Mass Index (BMI). Indeks massa tubuh
(IMT) atau BMI merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung
dengan rumus berikut:

Berat badan (Kg)


IMT= -------------------------------------------------
Tinggi badan (m) X tinggi badan (m)

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)


Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval,
Progressive, Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan
pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit. Hindarkn kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
3. Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat
risiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok
pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier
diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun
4. Obat
Jika pasien telah melakukan pengaturam makan dan latihan fisik tetapi tidak
berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik.
Obat-obatan Diabetes Mellitus
a. Antidiabetik oral
Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula
darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan
gejala, optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi

20
pasie DM tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik
oral terutama ditujukkan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai
sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan
karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8
minggu upaya diet dan olahraga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200
mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet,
melainkan membantunya. Pemilihan obat antidiabetik oral dapat dilakukan
dengan satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen
antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan
penyakit DM serta kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-
penyakit lain dan komplikasi yang ada. Dalam hal ini obat hipoglikemik oral
adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa glukosidase,
dan insulin sensitizing.
b. Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia.
Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang
dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino
kedua rantai tersebut. Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau
pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obatan lain bisa
sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya pada
kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian
insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan
lemak. Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam
sel-sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara
oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta
mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan
lemak dari glukosa.

6. Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan
kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Komplikasi akut

21
- Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai
normal (<50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM
tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu. Kadar gula darah yang
terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi
sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan
- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat
secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, koma Hiperosmoler Non
Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi kronis
- Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetstif dan stroke.
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti
nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputansi

b. Osteoarthritis
1. Definisi
Osteoartritis adalah suatu kelainan sendi kronis dimana terjadi proses
pelemahan dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan
pertumbuhan tulang dan tulang rawan baru pada sendi. Kelainan ini merupakan
suatu proses degeneratif pada sendi yang dapat mengenai satu atau lebih sendi.
Di Indonesia, prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia 61 tahun. Untuk
osteoartritis lutut prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7%
pada wanita.
2. Epidemiologi dan Faktor Resiko
Osteoartritis merupakan penyakit tersering yang menyebabkan timbulnya
nyeri dan disabilitas gerakan pada populasi usia lanjut. Osteoartritis merupakan
kelainan yang mengenai berbagai ras dan kedua jenis kelamin. Osteoartritis lebih
banyak ditemukan pada perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki yaitu
68,67%. Secara statistik perempuan memiliki body mass index (BMI) diatas
rata-rata dimana kategori BMI pada perempuan Asia menurut jurnal American
Clinical Nutrition adalah antara 24 sampai dengan 26,9kg/m 2 dan mempunyai

22
nilai lebih kecil jika dibandingkan dengan perempuan Amerika dan tingkat
obesitas pada wanita di Amerika adalah empat persen dan pada lakilaki hanya
dua persen. Pada perempuan menopause, akan terjadi penumpukan lemak
terutama pada sendi bagian bawah dan menyebabkan peningkatan beban pada
sendi.
Di dalam penelitian Dr. O’Connor (2007), jenis kelamin perempuan
merupakan factor resiko terjadinya osteoartritis. Pada studi tersebut prevalensi
dan insidensi osteoarthritis meningkat sebanyak tiga kali lipat pada perempuan
jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal yang sama juga ditemukan dalam
penelitian Zhang Fu-qianget al., pada tahun 2009 di Fuzhou yang menunjukkan
peningkatan prevalensi lebih tinggi pada perempuan jika dibandingkan dengan
laki-laki yaitu sebesar 35,87%.
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA
sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik adalah OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidakada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya
kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan dan imobilisasi yang
lama. OA primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder. Penyakit ini
bersifat progresif lambat, umumnya terjadi pada usia lanjut, walaupun usia
bukan satu-satunya faktor risiko. Di beberapa referensi menyatakan bahwa
angka insiden terjadinya OA meningkat seiring bertambahnya usia terutama
pada usia > 50 tahun, ini berkaitan dengan adanya degenerasi tulang rawan.
Faktor lain yang diduga menjadi pemicu osteoartritis adalah faktor jenis
kelamin, kegemukan, dan overuse.
3. Patogenesis
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada didalam tubuh
manusia. Sebanyak tulang yang memungkinkan terjadinya gesekan. Untuk
melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun
karena berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan
berkurangnya cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam
getar antar tulang. Tulang rawan yang normal bersifat avaskuler, alimfatik, dan
aneural. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang berfungsi untuk

23
menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan tersebut elastis dan air
(70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi.
Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan
kolagen pada rawan sendi) gagal dalam memelihara keseimbangan antara
degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter
dan orientasi serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, yang
menjadikan tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.
Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama setelah
terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit
yang mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases
(MMPs) dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan
merusak matriksrawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang
subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan
menghasilkan enzim proteolitik.
Faktor-faktor yang telah diteliti sebagai faktor risiko OA lutut antara lain
usia lebih dari 50 tahun, jenis kelamin perempuan,ras / etnis, genetik, kebiasaan
merokok, konsumsi vitamin D, obesitas, osteoporosis, diabetes- mellitus,
hipertensi, hiperurisemi, histerektomi, menisektomi, riwayat trauma lutut,
kelainan anatomis, kebiasaan bekerja dengan beban berat, aktivitas fisik berat
dan kebiasaan olah raga. Peran dari hormon seks pada perkembangan
osteoartritis telah diperkirakan berdasarkan peningkatan angka osteoartritis
selama atau segera setelah menopause.

4. Diagnosis
Diagnosis osteoartritis biasanya didasarkan pada anamnesis yaitu riwayat
penyakit, gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan
radiologis. Anamnesis terhadap pasien osteoartritis lutut umumnya mengungkapkan
keluhan-keluhan yang sudah lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Nyeri
sendi merupakan keluhan utama yang dirasakan setelah aktivitas dan menghilang
setelah istirahat. Bila progresifitas OA terus berlangsung terutama setelah terjadi
reaksi radang (sinoritis) nyeri akan terasa saat istirahat. Sedangkan istirahat ataupun
immobilisasi yang lama dapat menimbulkan efek-efek pada jaringan ikat dan
kekuatan penunjang sendi. Bila akut dapat ditemukan tanda-tanda radang: rubor

24
(merah), tumor (membengkak), calor (terasa panas), dolor (terasa nyeri), dan fuctio
laesa (gangguan fungsi) yang jelas.
Kriteria diagnosis dari OA lutut berdasarkan American College of
Rheumatology yaitu adanya nyeri pada lutut dan pada foto rontgen ditemukan
adanya gambaran osteofitserta sekurang kurangnya satu dari usia > 50 tahun, kaku
sendi pada pagi hari < 30 menit dan adanya krepitasi. Nyeri pada sendi tersebut
biasanya merupakan keluhan utama yang membuat pasien datang ke dokter. Nyeri
biasanya bertambah berat dengan gerakan dan berkurang dengan istirahat. Pada
umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama tetapi
berkembang secara perlahan. Daerah predileksi OA biasanya mengenai sendi–sendi
penyangga tubuh seperti di pada lutut. Pada pemeriksaan fisik, pada pasien OA
ditemukan adanya gerak sendi baik secaraaktif maupun pasif. Selain itu biasanya
terdengar adanya krepitasi yang semakin jelas dengan bertambah beratnya penyakit.
Gejala ini disebabkan karena adanya pergesekan kedua permukaan tulang sendi pada
saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi. Hambatan gerak yang
seringkali sudah ada meskipun secara radiologis masih berada pada derajat awal
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik. Selainitu dapat ditemukan adanya krepitasi,
pembengkakan sendi yang sering kali asimetris, nyeri tekan tulang, dan tak teraba
hangat pada kulit.
Beberapa penderita mengeluh nyeri dan kaku pada udara dingin dan atau
pada waktu hujan. Hal ini mungkin berhubungan dengan perubahan tekanan intra
artikular sesuai dengan perubahan tekanan atmosfir. Beberapa gejala spesifik yang
dapat timbul antaralain adalah keluhan instabilitas pada penderita OA lutut pada
waktunaik turun tangga, nyeri pada daerah lipat paha yang menjalar kepaha depan
pada penderita OA koksa atau gangguan menggunakan tangan pada penderita OA
tangan.
Sedangkan gambaran berupa penyempitan celah sendi yang sering kali
asimetris, peningkatan densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir
sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi dapat ditemukan pada pemeriksaan
radiologis yang menggunakan pemeriksaan foto polos.
Diagnosis OA selain berdasarkan gejala klinis juga didasarkan pada hasil
radiologi. Namun pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal.
Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:

25
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban)
2. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
3. Kista tulang
4. Osteofit pada pinggir sendi
5. Perubahan struktur anatomi sendi.
Pada hasil radiografi pasien ditemukan adanya osteofit pada emminentia
intercondilaris medialis os tibia kiri. Periksaan penunjang laboratorium OA biasanya
tidak banyak berguna. Darah tepi (Hb, leukosit, laju endap darah) dalam batas –
batas normal kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis
peradangan. Pemeriksaan cairan sendi pasien negatif tidak ditemukan adanya bakteri.
Evaluasi progresivitas penyakit atau hasil pengobatan OA sampai sekarang
didasarkan pada pengamatan klinik dan radiografik sendi yang terkena. Disadari
kedua parameter tersebut tak dapat memberikan penilaian yang sensitif untuk
perkembangan kerusakan rawan sendi OA. Parameter laboratorik yang banyak
dipergunakan adalah pengukuran kadar C-reactiveprotein (CRP) dan laju endapdarah
(LED) yang hasilnya normal atau sedikit meningkatdan rheuma factor (RF) negatif.
Pertanda tersebut juga tidak dapat mencerminkan dengan akurat beratnya
kerusakan sendi dan korelasinya buruk dengan kerusakan rawan sendi. Beberapa
pertanda biokimia yang dipandang dapat dipergunakan untuk menilai kerusakan
rawan sendi antara lain Fragmen C terminal dari kolagen tipe II C2C dan C1,2C.
Kadar kedua fragmen tersebut dapat dideteksi di cairan sendi dan serum. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar C2C dan C1,2C dalam serum
mengindikasikan adanya peningkatan degradasi rawan sendi. Selain itu dilaporkan
pula bahwa kadar C2C juga dapat memprediksi peningkatan risiko progresifisitas
kerusakan sendi secara radiografis 4 tahun ke depan pada pasien OA dini. Kadar
C2C juga dapat digunakan untuk monitoring efek terapi, dimana keberhasilan terapi
akan menurunkan kadarnya.
Bila dicurigai terdapat robekan meniskus atau ligamen, dapat dilakukan
pemeriksaan MRI yang akan menunjukkan gambaran tersebut lebih jelas. Walaupun
demikian, MRI bukan alat diagnostik yang rutin, karena mahal dan seringkali tidak
merubah rancangan terapi. Gambaran laboratorium umumnya normal. Bila dilakukan
analisis cairan sendi juga didapatkan gambaran cairan sendi yang normal. Bila

26
didapatkan peninggian jumlah leukosit, perlu dipikirkan kemungkinan artropati
kristal atau artritis inflamasi atauartritis septik.

5. Tatalaksana
Tujuan pengobatan pada pasien OA adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi otot. Terapi OA pada umumnya
simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor resiko, latihan intervensi
fisioterapi dan terapi farmakologis. Pada fase lanjut sering diperlukan pembedahan.
Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan,terapi fisik dan terapi
kerja. Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien untuk dapat mandiri,
tidak selalu tergantung pada orang lain. Walaupun OA tidak dapat disembuhkan,
tetapi kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan. Penurunan berat badan merupakan
tindakan yang penting, terutama pada pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi
beban pada sendi yang terserang OA dan meningkatkan kelincahan pasien waktu
bergerak. Suatu studi mengikuti 21 penderita OA yang mengalami obesitas,
kemudian mereka melakukan penurunan berat badan dengan cara diet dan olah raga.
Setelah diikuti selama 6 bulan, dilaporkan bahwa pasien-pasien tersebut mengalami
perbaikan fungsisendi serta pengurangan derajat dan frekuensi rasa sakit. Terapi fisik
dan terapi kerja bertujuan agar penderita dapat melakukan aktivitas optimal dan tidak
tergantung pada orang lain. Terapi ini terdiri dari pendinginan, pemanasan dan
latihan penggunaan alat bantu. Dalam terapi fisik dan terapi kerja dianjurkan latihan
yang bersifat penguatan otot, memperluas lingkup gerak sendidan latihan aerobik.
Latihan tidak hanya dilakukan pada pasien yangtidak menjalani tindakan bedah,
tetapi juga dilakukan pada pasien yang akan dan sudah menjalani tindakan bedah,
sehingga pasien dapat segera mandiri setelah pembedahan dan mengurangi
komplikasi akibat pembedahan.
Penghilang rasa sakit bisa membantu. Kebanyakan dokter merekomendasikan
acetaminophen (Tylenol), karena memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan obat lain. Jika rasa sakit berlanjut, dokter mungkin merekomendasikan
obat antiinflammatory (OAINS). Obat ini membantu meredakannyeri dan bengkak.
Jenis OAINS termasuka spirin, ibuprofen dan naproxen. Namun, penggunaan jangka

27
panjang OAINS dapat menyebabkan masalah lambung seperti ulkus dan pendarahan.
Obat ini juga dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
OAINS bekerja dengan cara menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada
kaskade inflamasi. Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik,
terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) danCOX-2 (berperan pada proses
inflamasi). OAINS tradisional bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2,
sehingga dapat mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi
cairan dan hiperkalemia. OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektifakan
memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS
yang tradisional.
Bagi penderita dengan OA yang sudah parah, maka operasi merupakan
tindakan yang efektif. Operasi yang dapat dilakukan antara lain arthroscopic
debridement, joint debridement, dekompresi tulang, osteotomi dan artroplasti.
Walaupun tindakan operatif dapat menghilangkan nyeri pada sendi OA, tetapi
kadang-kadang fungsi sendi tersebut tidak dapat diperbaiki secara adekuat, sehingga
terapifisik pre dan pasca operatif harus dipersiapkan dengan baik.

Gambar 2.3 Perbedaan OA, RA, dan Gout Arthritis

6. Diagnosa Banding
a) Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada

28
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan, dan
banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak
sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapi kendala
karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang
baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat
untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana, 2015).
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan
tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar
sendi (Putra, Suega, Artana, 2013).
I. Keluhan Umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat
badan.
II. Kelainan Sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat
terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul,
pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher.
Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan
nyeri sendi.
III. Kelainan diluar sendi
o Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid).
o Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard.
o Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif
dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura).

29
o Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang
sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop.
o Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika)
berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan
skleromalase perforans.
o Kelenjar limfe : sindrom Felty adalah RA dengan
splenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan
neutropeni.
Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid Arthritis
o Laboratorium
 Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-
Reactive Protein (CRP) meningkat.
 Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF
positif namun RF negatif tidak menyingkirkan
diagnosis.
 Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya
digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA
dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70%
namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten (Sumariyono, 2010).
o Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak,
penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”,
osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi (Pradana,
2012).

Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit
RA. Hal ini disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara
pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung
pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American

30
Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki
sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan dalam
mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai
contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54% (Bresnihan, 2002).
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism
Association) yang direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan
dalam mendiagnosis RA (Suarjana, 2009) :
a. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya
selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3
daerah sendi atau lebih secara bersamaan.
c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan, yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan
tangan.
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang
atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
f. Rheumatoid Factor serum positif
g. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi
tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang
pada sendi yang terlibat.
Diagnosis RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7
kriteria di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6
minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis
RA berdasarkan skor dari American College of Rheumatology
(ACR/EULAR) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA.
Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara
prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat
domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra, Suega, Artana, 2013).
31
Tabel 2.6 Kriteria RA menurut ACR/EULAR 2016
Distribusi Sendi (0-5) Skor
1 sendi besar
2-10 sendi besar 0
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak 1
diperhitungkan) 2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak 3
diperhitungkan) 5
>10 sendi kecil
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif
0
Positif rendah RF ATAU positif rendah
2
ACPA
3
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan
fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta, 2014).
a. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID
yang dapat diberikan antara lain : aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang
rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
b. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD, yaitu : hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra et al., 2013).
c. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5 mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.

32
d. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya
dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat,
pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai
dilakukan fisioterapi.
e. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka
dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya (Kapita Selekta,
2014).

33
b) Gout Arthritis
Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit dan
potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama.
Gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri inflamasi satu sendi. Gout
adalah bentuk inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di
sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga
mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan,
pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya
hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah
dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa sendi. Gout merupakan
istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh
meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Penyakit asam urat atau gout
merupakan penyakit akibat penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh
sehingga menyebabkan nyeri sendi disebut gout arthritis
Asam urat merupakan senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses
katabolisme purin baik dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam
deoksiribonukleat). Gout dapat bersifat primer, sekunder, maupun idiopatik. Gout
primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan
atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena
pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang
akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu sedangkan gout
idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik,
tidak ada kelainan fisiologis atau anatomi yang jelas.

Berdasarkan penyebabnya, penyakit asam urat digolongkan menjadi 2, yaitu :


1) Gout Primer
Penyebab kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini
diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan faktor
hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat
mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat. Hiperurisemia atau

34
berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh dikatakan dapat
menyebabkan terjadinya gout primer.
2) Gout Sekunder
Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu
kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo,
kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau
pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan sekresi
menurun. Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de
novo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim
HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim glukosa-6
phosphate pada glycogen storage disease dan kelainan karena
kekurangan enzim fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis
anaerob. Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat
disebabkan karena keadaan yang menyebabkan peningkatan
pemecahan ATP atau pemecahan asam nukleat dari dari intisel.
Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan berlanjut
membentuk IMP atau purine nucleotide dalam metabolisme purin,
sedangkan hiperurisemia akibat penurunan ekskresi dikelompokkan
dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal,
penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid
clearence dan pemakaian obat- obatan.
Diagnosis
Diagnosis asam urat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan cairan
sendi
Pemeriksaan Laboratorium
Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila pemeriksaan
laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam darah di atas 7 mg/dL untuk
pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk wanita. Bukti adanya kristal urat dari cairan
sinovial atau dari topus melalui mikroskop polarisasi sudah membuktikan,
bagaimanapun juga pembentukan topus hanya setengah dari semua pasien
dengan gout.

35
Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk mendeteksi ada dan tidaknya
penyakit diabetes melitus. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk mengetahui
normal dan tidaknya fungsi ginjal. Sementara itu pemeriksaan profil lemak darah
dijadikan penanda ada dan tidaknya gejala aterosklerosis.
Pemeriksaan Cairan Sendi
Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop. Tujuannya
ialah untuk melihat kristal urat atau monosodium urat (kristal MSU) dalam
cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis artritis yang terjadi perlu dilakukan
kultur cairan sendi.
Dengan mengeluarkan cairan sendi yang meradang maka pasien akan
merasakan nyeri sendi yang berkurang. Dengan memasukkan obat ke dalam
sendi, selain menyedot cairan sendi tentunya, maka pasien akan lebih cepat
sembuh. Mengenai metode penyedotan cairan sendi ini, titik dimana jarum akan
ditusukkan harus dipastikan terlebih dahulu oleh seorang dokter. Tempat
penyedotan harus disterilkan terlebih dahulu, lalu jarum tersebut disuntikkan dan
cairan disedot dengan spuit.
Pada umumnya, sehabis penyedotan dilakukan, dimasukkan obat anti
radang ke dalam sendi. Jika penyedotan ini dilakukan dengan cara yang tepat
maka pasien tidak akan merasa sakit. Jarum yang dipilih juga harus sesuai
kebutuhan injeksi saat itu dan lebih baik dilakukan pembiusan pada pasien
terlebih dahulu. Jika lokasi penyuntikan tidak steril maka akan mengakibatkan
infeksi sendi.
Perdarahan bisa juga terjadi jika tempat suntikan tidak tepat dan nyeri
hebat pun bisa terjadi jika teknik penyuntikan tidak tepat. Selain memeriksa
keadaan sendi yang mengalami peradangan, dokter biasanya akan memeriksa
kadar asam urat dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi adalah sangat sugestif
untuk diagnosis gout arthritis. Namun, tidak jarang kadar asam urat ditemukan
dalam kondisi normal. Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan
pengobatan asam urat tinggi sebelumnya. Karena, kadar asam urat sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh pengobatan maka kadar standar atau kadar
normal di dalam darah adalah berkisar dari 3,5-7 mg/dL.
Pemeriksaan cairan sendi ini merupakan pemeriksaan yang terbaik.
Cairan hasil aspirasi jarum yang dilakukan pada sendi yang mengalami

36
peradangan akan tampak keruh karena mengandung kristal dan sel-sel radang.
Seringkali cairan memiliki konsistensi seperti pasta dan berkapur. Agar
mendapatkan gambaran yang jelas jenis kristal yang terkandung maka harus
diperiksa di bawah mikroskop khusus yang berpolarisasi. Kristal-kristal asam
urat berbentuk jarum atau batangan ini bisa ditemukan di dalam atau di luar sel.
Kadang bisa juga ditemukan bakteri bila terjadi septic arthritis.

Pemeriksaan dengan Rontgen


Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali pemeriksaan
sendi. Dan jauh lebih efektif jika pemeriksaan rontgen ini dilakukan pada
penyakit sendi yang sudah berlangsung kronis. Pemeriksaan rontgen perlu
dilakukan untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang dan
jaringan di sekitar sendi.
Seberapa sering penderita asam urat untuk melakukan pemeriksaan
rontgen tergantung perkembangan penyakitnya. Jika sering kumat, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan rontgen ulang. Bahkan kalau memang tidak kunjung
membaik, kita pun dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan magnetic
resonance imaging (MRI).
Tetapi demikian, dalam melakukan pemeriksaan rontgen, kita jangan
terlalu sering. Sebab, pemeriksaan rontgen yang terlalu sering mempunyai risiko
terkena radiasi semakin meningkat. Pengaruh radiasi yang berlebihan bisa
mengakibatkan kanker, kemandulan, atau kelainan janin dalam kandungan pada
perempuan. Oleh karena itu, kita harus ekstra hati-hati dan harus bisa
meminimalisasi dalam melakukan pemeriksaan rontgen ini untuk menghindari
kemungkinan terjadinya berbagai risiko tersebut.
Gold standard dalam menegakkan gout arthritis adalah menggunakan
mikroskop terpolarisasi, yaitu dengan ditemukannya kristal urat MSU
(Monosodium Urat) di cairan sendi atau tofus. Untuk memudahkan diagnosis
gout arthritis akut, dapat digunakan kriteria dari ARA (American Rheumatism
Association) tahun 1997 sebagai berikut8,9 :
a. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau
b. Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau

37
c. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis sebagai
berikut :
1) Terdapat lebih dari satu kali serangan artritis akut
2) Inflamasi maksimal terjadi pada hari pertama gejala atau serangan
datang
3) Artritis monoartikuler (hanya terjadi di satu sisi persendian)
4) Kemerahan pada sendi yang terserang
5) Bengkak dan nyeri pada sendi MTP-1 (ibu jari kaki)
6) Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1 (di salah satu sisi)
7) Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8) Adanya tofus di kartilago articular dan kapsula sendi
9) Terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah ( > 7.5 mg/dL)
10) Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
11) Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
12) Kultur mikroorganisme cairan sendi menunjukkan hasil negatif
Yang harus dicatat adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun
kadar asam urat normal.

38
7. Penatalaksanaan pada kasus
a) Anemia

Gambar 2.4 Algoritma Diagnosis Anemia

Pada pasien ini masuk ke dalam jenis anemia normositik normokrom


dikarenakan MCV dan MCH dalam batas normal. Pada pasien ini dapat termasuk
ke dalam anemia penyakit kronik di karenakan umumnya anemia penyakit kronik
disebabkan oleh infeksi, inflamasi, penyakit autoimun dan keganasan. Namun
sangat perlu di lakukan pemeriksaan retikulosit dan benzidine test pada pasien ini
sehingga dapat diklasifikasikan secara pasti penyakitnya. Umumnya pada anemia
sangat penting memberikan terapi sesuai penyakit yang mendasarinya.

39
b) Edema Unilatera

Gambar 2.5 Algoritma Diagnosis Edema Unilateral

40
Gambar 2.6 Skor Well’s

Periksalah kedua tungkai bawah untuk mencari bukti adanya pembengkakan


dan pitting. Bila terdapat pembengkakan tungkai bawah bilateral, bahkan bila
pembengkakan tersebut tidak simetris, lanjutkan ke langkah 7
A. Skor Wells > 1 atau hasil D-Dimer positif?
Pertimbangkan DVT pada setiap pasien dengan pembengkakan tungkai
bawah unilateral, bahkan meskipun tanpa faktor risiko yang nyata atau tanda dan
gejala lainnya. Alat prediksi klinis pra uji (pre-test clinical prediction tools)
misalnya skor Wells. Evaluasi kemungkinan DVT bilateral pada setiap pasien
dengan faktor resiko dan pembengkakan tungkai bawah bilateral.
- bila skor wells > 2. DVT cendeerunf terjadi, rencanakan pemeriksaan USG
Doppler untuk memastikan/ menyangkal diagnosis.

41
- Bila skor wells < 2, lakukan pemeriksaan D-dimer. Bila negatif, diagnosis
DVT disingkirkan, bila positif, rencanakan pemeriksaan USG Doppler
- Rencanakan pemeriksaan USG Doppler pada semua pasien hamil dengan
kecurigaan DVT, karena penyingkiran D-dimer tidak berlaku untuk
kelompok ini.
B. Awitan akut + nyeri/inflamasi?
Pertimbangkan selulitis bila pembengkakan disertai oleh daerah berbatas
tegas dengan eritema, terasa panas, bengkak dan nyeri + demam untuk
peningkatan leukosit/CRP; kultur darah negatif/apusan kulit (skin swabs) tidak
dapat menyingkirkan diagnosis tersebut. Pada tromboflebitis superfisialis, tampak
tanda-tanda lokal dengan kemerahan dan nyeri di sepanjang alur vena, yang dapat
teraba keras.
C. Baru saja terjadi, pembengkakan progresif atau kecurigaan klinis akan adanya
keganasan?
Massa di panggul atau abdomen bagian bawah dapat menyebabkan
pembengkakan tungkai melalui mekanisme penekanan vena-vena atau pembuluh
limfe panggul. Singkirkan keganasan yang ,endasar bila mendasari bila terdapat
salah satu dari hal berikut ini :
- penurunan berat badan
- Riwayat kanker panggul sebelumnya
- perdarahan per vaginam pasca menopause atau di antara waktu menstruasi
- massa yang teraba atau limfadenopati lokal
- setiap pembengkakan unilateral dengan awitan baru yang bersifat progresif
tanpa penyebab jelas lainnya.
D. Edema non pitting atau riwayat diseksi kelenjar getah bening lokal/ radioterapi
sebelumnya
Pertimbangkan diagnosis ini bila terdapat salah satu dari hal berikut ini:
- riwayat keganasan panggul sebelumnya, radiopati lokal atau diseksi kelenjar
getah bening
- riwayat kelainan limfe kongenital dalam keluarga
- edema yang teraba keras dan bersifat non-pitting
- bagian dorsal kulit di dasar jari kedua tidak dapat dicubit (tanda stemmer)

42
- penebalan dasar kulit dengan penonjolan menyerupai kutil atau berbatu-
batu/cobblestone
appearance.
E. Tanda-tanda adanya insufisiensi vena?
- perubahan kulit yang khas
- varises yang nyata pada tungkai yang terkena
- riwayat DVT atau tandur vena (vein stripping/harvesting) pada tungkai yang
terkena
- pitting edema yang bertahan lama dengan variasi diurnal pasien berusia > 50
tahun.
F. Tekanan vena jugularis (jugular venous pressureI) meningkat, kongesti pulmonal
atau gejala gagal jantung
JVP meningkat menunjukkan tekanan vena sentral tinggi disebabkan
beban volume yang berlebihan dan/atau tekanan pengisian jantung meningkat dan
oleh sebab itu menunjukkan penyebab kardiogenik/ renal untuk pitting edema
bilateral dan bukan obstruksi vena lokal atau tekanan onkotik rendah
G. Kadar albumin dalam serum < 30 mmol/L?
Hipoalbuminemia dapat menyebabkan atau turut berperan pada
terjadinya edema, terutama ketika kadar albumin < 25g/L. lakukan pemeriksaan
skrining untuk sindrom nefrotik dengan pemeriksaan urinalisis, carilah
kemungkinan terjadinya proteinuria. Bila hasil pemeriksaan positif kumpulkan
sampel urine 24 jam; kadar protein > 3g/24 jam menegakkan diagnosis.
H. Kemungkinan disebabkan oleh obat
I. Bukti adanya penyakit jantung struktural?
Pertimbangkan ekokardiografi jika terdapat tanda yang mengarah pada
penyakit jantung struktural yang mendasari berupa:
- riwayat infark miokard, pembedahan jantung, penyakit katup, emboli paru atau
penyakit jantung kronis (misalnya PPOK, obstructive sleep apnoeaI)
- murmur jantung, S3, denyut apeks yang bergeser atau ictus cordis teraba di
parasternal
- kardiomegali pada rontgen toraks
- kelainan EKG yang signifikan, misalnya gelombang Q, blok cabang berkas
kiri atau kanan.

43
J. Nilailah sebagai pembengkakan unilateral. Kemungkinan insufisiensi vena atau
edema idiopatik.
Insufisiensi vena merupakan penyebab yang paling mungkin pada pasien-
pasien berusia > 50 tahun atau pasien dengan perubahan pada kulit. Edema siklik
idiopatik merupakan penyebab yang umum pada wanita diusia reproduksi.

c) Kondisi Diabetes Melitus


Perlu dilakukan 4 pilar penalataksanaan DM pada pasien yaitu edukasi,
terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

Gambar 2.7 Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2

44
d) Kondisi Osteoatrthritis

Gambar 2.8 Algoritme Pengelolaan Osteoarthritis

45
e) Kondisi Overweight
Dilakukan terapi perubahan pola makan, peningkatan aktivitas fisik dan
terapi perilaku.

Gambar 2.9 Algoritme Tatalaksana Overweight

f) Kondisi Hipokalemi
Untuk memperkirakan jumlah kalium pengganti, perlu disingkirkan faktor-
faktor penyebab, contohnya insulin dan obat obatan. Setelah itu, perlu
diperhatikan hal berikut:
1. Cara Pemberian kalium :
Oral. Penggantian kalium secara oral paling aman tetapi kurang
ditoleransi karena iritasi lambung. Pada hipokalemia ringan (kalium 3—
3,5 mEq/L) dapat diberikan KCl oral 20 mEq 3 – 4 kali sehari dan edukasi
diet kaya kalium. Makanan mengandung cukup kalium dan menyediakan
60 mmol kalium. Kalium fosfat dapat diberikan pada pasien hipokalemia
gabungan dan hipofosfatemia. Kalium bikarbonat atau kalium sitrat harus
dipertimbangkan pada pasien dengan penyulit asidosis.metabolik. Pada
hipokalemia dengan hipomagnesemia, koreksi defisiensi Mg2+ perlu
dilakukan bersamaan. Mengingat distribusi kalium ke dalam kompartemen
intraseluler tidak langsung, defisit harus dikoreksi bertahap selama 24-48

46
jam dengan pemantauan konsentrasi plasma K+ rutin untuk menghindari
overrepletion sementara dan hiperkalemia transien.
Jalur intravena. Harus dibatasi hanya pada pasien yang tidak dapat
menggunakan jalur enteral atau dalam komplikasi berat (contohnya
paralisis dan aritmia). KCl harus selalu diberikan dalam larutan garam,
bukan dekstrosa, karena peningkatan insulin yang diinduksi dekstrosa
dapat memperburuk hipokalemia.Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan
penurunan sementara K serum sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi
pelepasan insulin oleh glukosa. Dosis intravena perifer biasanya 20-40
mmol KCl- per liter. Konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan nyeri
lokal flebitis kimia, iritasi, dan sklerosis.Pada kondisi hipokalemia berat
(<2,5 mmol/L) dan/atau memiliki tanda gejala kritis, K+-Cl intravena
dapat diberikan melalui vena sentral dengan laju 10-20 mmol/jam. Volume
besar normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada
aritmia jantung, larutan K lebih pekat diberikan melalui vena sentral dan
pemantauan EKG.
2. Kecepatan Pemberian Kalium Intravena
Jika kadar serum > 2 mEq/L, kecepatan lazim adalah 10 mEq/jam,
maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah hiperkalemia. Pada anak, 0,5—1
mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum
dewasa. Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan 40 mEq/jam melalui vena
sentral dan pemantauan ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl tidak
boleh dilarutkan dalam larutan dekstrosa karena justru mencetuskan
hipokalemia lebih berat.

47
Gambar 2.10 Algoritme Pemberian Kalium

g) Kondisi Edema Ekstremitas Inferior Unilateral


Penyebab :
- Obstruksi limfatik
- Obstruksi vena
- Selulitis
- Ruptur kista baker
- Imobiltas lokal seperti hemiparesis
Pada pasien ini mendapatkan skor Wells yaitu 4, sehingga penatalaksanaan
berupa antikoagulan, trombolitik, bahkan terapi operatif sesuai indikasi.

48
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Tutorial telah dilakukan sebanyak dua kali , membahas berbagai learning
objective yang menjadi sasaran pembelajaran.
3. Diabetes Mellitus
4. Osteoartritis
5. Edema Unilateral
6. Anemia
7. Diagnosa Banding , serta keluhan lainnya.

49
DAFTAR PUSTAKA

Albar, Zuljasri. 2010. Gout: Diagnosis and Management. Rheumatology division,


Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al.
(2010). Rheumatoid Arthritis Classification Criteria An American College
of Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81.
American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-2015.
Diabetes Care. 2015; 38 (Suppl 1), S1-S87
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The
Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12.
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu.
Choy, E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The
Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf
of the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11.
Choi, HK. 2008. Gout: Epidemology, pathology and pathogenesis. New York:
Springer
DB Kenneth. 2005. Harrison Principle of Internal Medicine 16th edition. Chapter
312: Osteoarthritis. Mc Graw Hills. 2036-2045
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis
Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S,Sergen JS. 2009. (eds) Kelley’s
Textbook of Rheumatology, 8th ed. W.B Saunders, Philadelphia.
Gibson T. 2004. Clinical features of gout. Rheumatology. 3rd ed. Edinburg:
Elsevier. p.1919-28.
International Diabetes Federation (IDF). 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.
International Diabetes Federation (IDF).

50
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4. (2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839.
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N
Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19.
Nainggolan, Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di
Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594.
Noor, R. 2015. Diabetes Mellitus Tipe 2.J Majority Vol. 4 No. 2
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta
Pradana, S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan
ACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Pratiwi, A. I. (2014). Diagnosis and Treatment Osteoarthritis. J Majority , 4 (4),
10-17.

Putra, T.R., Suega, K., Artana, I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Poor G, Mituszova M. History. 2003. Classification and epidemiology of crystal-
related artropathies. Rheumatology. 2rd ed. Edinburg: Elsevier. p.1893-
1901.
Ralph A. DeFronzo. 2009.From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New
Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes; 58:
773-795.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan
Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And
Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of
Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10.
Simbar, M., Pandelaki, K. 2015. Hubungan Lingkar Pinggang dengan Profil
Lipid Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2.Jurnal E-Clinic

51
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2014. (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, Jakarta.
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20.
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-
Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu
Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48.
Tehupeiroy ES. Artrtritis pirai (arthritis gout). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI;hal.1218-20
Terkeltaub. 2005. RA, Gout: treatment. New York: Springer. p.258-262.
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-
Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019.
Wang J.G., Staessen J.A., Fagard RH et al. 2001. Prognostic Significance of
Serum Creatinin and Uric Acid in Older Chinese Patients with Isolated
Hypertension. Hypertension
Widi, Rahmaning Rofi et al. 2011. Hubungan Dukungan Sosial Terhadap Derajat
Nyeri pada Penderita Artritis Gout fase Akut. Berita Kedokteran
Masyarakat
Wortmann RL. 2001. Gout and hyperuricemia. Kelley`s Textbook of
Rheumatlogy. 8th ed. Philadeplhia: Saunders.
Wortmann RL. 2005. Gout and Other Disorders of Purine Metabolism. New
York. pp. 2079-2088.24.

52

Anda mungkin juga menyukai