Kelas : XI IPS 3
UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
SUKU MINAHASA
1. Bahasa
Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang
dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado.
Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang
dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya. Di
daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan
bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat di desa-
desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses
indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu ciri
identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah
sub etnik suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour),
Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga
yang terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar
lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa. Bahasa Tontemboan kini
mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi
ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa
dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah
berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi
menggunakannya. Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor
dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka umum.
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat suku Minahasa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
bagian, yakni:
a. Alam fauna; adanya kepercayaan terhadap tanda-tanda binatang seperti burung dan
ular. Ada dua macam burung yang menunjukkan berbagai tanda. Burung siang (waru
endo, kemekeke, totombara) dapat menunjukkan tanda adanya berita yang menyenangkan
(lowas, keeke rondor), tanda tidak mengganggu perasaan (keeke tenga wowos), tanda tidak
menyenangkan (mangalo/mangoro), dan tanda yang menakutkan atau beralamat tidak baik
(keke). Burung malam (wara wengi kembaluan) dapat bersuara merdu tanda
menyenangkan (manguni rendai), suara hampir merdu dan putus-putus tanda tidak
mengganggu perasaan (imbuang), suara parau tanda membimbangkan (paapian), dan
bunyi panjang serta keras (kiik) yang bertanda menakutkan jika terdengar dari arah depan
atau kanan pendengar. Di samping itu, ada juga tanda dari ular, misalnya ular yang
merayap dari barat ke timur dan ular yang mengangkat kepala. Tanda yang lainnya ialah
tanda dari empedu atau hati binatang yang disembelih (babi, ayam, sapi, dll) yang dapat
meramalkan masa depan.
b. Alam flora; pengetahuan tentang alam flora dapat terlihat dari bermacam-macam
bahan makanan masyarakat Minahasa yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Banyak
bahan-bahan obat pula yang diperoleh dari berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-
kulit kayu, buah-buahan, rerumputan dan umbi-umbian. Beberapa contoh di antaranya,
obat malaria dibuat dari sejenis akar yang disebut riis (tali pahit), goraka (jahe) sebagai
obat batuk, obat sakit perut dan penolak roh jahat, serta kucai (sejenis bumbu dapur)
sebagai obat demam bagi anak-anak.
c. Tubuh manusia; pengetahuan tentang tubuh manusia dibagi ke dalam dua bagian
yakni yang menyangkut perbuatan dan yang menyangkut hal-hal yang terjadi dalam tubuh.
Pengetahuan itu lebih bersifat larangan-larangan bagi setiap orang yang melakukannya
karena akan menimbulkan akibat tersendiri. Contohnya:
· jangan memotong kuku pada malam hari, nanti kematian ibu atau salah satu anggota
keluarga lekas terjadi; maksud sebenarnya ialah bila memotong kuku di waktu malam
gampang mendapat luka.
· Jangan suka tidur tiarap, nanti akan ditangkap hantu; maksudnya ialah agar peredaran
darah tidak terganggu.
· Bila ada kematian di desa, dilarang ke ladang/sawah, jika tidak diindahkan akan mati
lemas; sebenarnya adat yang berlaku di Minahasa bila ada peristiwa kematian, setiap
orang wajib memberikan bantuan, yang berarti tidak seorangpun yang boleh keluar dari
desa.
· Mata kiri bergerak, artinya akan mendapat surat atau akan segera bertemu dengan
saudara yang berada jauh. Sebaliknya, mata kanan bergerak berarti akan mendapat berita
buruk atau akan menangis nanti.
· Telapak tangan kiri gatal artinya akan mendapat untung atau uang. Jika telapak tangan
kanan yang gatal, tanda akan mengeluarkan uang.
d. Ada juga kepercayaan rakyat Minahasa tentang mimpi, antara lain: mimpi gigi copot,
alamat seorang dari keluarga dekat akan meninggal; mimpi mayat, artinya akan mendapat
rejeki; mimpi mendapat uang atau dipagut ular, artinya akan mendapat sakit.
e. Pengetahuan tentang alam, misalnya bila awan di langit kelihatan berpetak-petak,
tandanya banyak ikan atau juga terjadi gempa bumi; bila kelihatan atau kedengaran
segerombolan lebah yang terbang dari arah utara menuju selatan, alamatnya akan terjadi
kemarau yang panjang, dan bila anjing-anjing membuang kotoran di jalanan umum,
alamat musim kemarau panjang telah mulai.
f. Pengetahuan tentang waktu; masyarakat Minahasa tradisional mengetahui tentang
waktu dengan berpatokan pada matahari dan suara binatang. Misalnya, matahari mulai
timbul berarti jam 6 pagi; di atas kepala adalah pukul 12.00; matahari terbenam pukul 6
sore. Ayam berkokok tengah malam adalah pukul 00.00; berkokok selanjutnya merupakan
tanda sudah hampir siang. Para petani di sawah mendengar suatu binatang
bernama konkoriang sebagai pertanda mereka harus segera pulang sebab waktu telah
menunjukkan pukul 17.00. Ada juga semacam alat yang terbuat dari dua botol yang diikat
sedemikian rupa, di mana pasir dipindahkan dari satu botol ke botol lain. Waktu selama
pasir berpindah (lima jam) digunakan sebagai waktu bekerja (biasanya dalam mapalus).
3. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Kelompok kekerabatan di Minahasa dimulai dari bentuk yang terkecil yakni keluarga
batih, yang disebut sanggawu (sangga= satu; awu= dapur). Sanggawu dapat berupa
pasangan suami istri sendiri, atau beserta anak, baik anak kandung maupun anak angkat.
Terbentuknya sanggawu dimulai dari pernikahan antara seorang wanita dan pria yang
pada umumnya bukan hasil penjodohan yang tegas dari pihak orang tua. Setiap orang
bebas menentukan jodohnya, asalkan bukan pasangan yang masih memiliki hubungan
darah. Sesudah menikah pun mereka bebas menentukan tempat tinggal, biasanya secara
neolokal (tumampas) di mana mereka tinggal di suatu tempat yang baru, terpisah dari
kerabat istri maupun suami. Namun sebelum mempunyai rumah sendiri, adakalanya
mereka tinggal di sekitar kerabat suami atau istri. Dengan tinggal berdampingan dengan
keluarga batih dari kerabat atau orang tua, terbentuk suatu keluarga luas, yang biasanya
terdiri dari beberapa keluarga batih, baik dalam satu rumah maupun satu pekarangan.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan
oleh prinsip-prinsip keturunan melalui lelaki dan wanita yang disebut prinsip keturunan
bilateral. Dalam bahasa Minahasa prinsip keturunan seperti ini disebut taranak (famili),
yang dapat dimengerti sebagai sebuah klen kecil. Setiap taranak memiliki kepala yang
disebut tua unta ranak. Identitas satu taranak dilihat dari nama famili atau
disebut fam. Nama famili ini biasanya diambil dari nama famili suami tanpa perubahan
prinsip bilateral. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan
isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah. Hal yang
menonjol dalam hubungan taranak di Minahasa, ialah di bidang warisan, kematian,
perkawinan, dan pemilihan kepala desa. Dalam beberapa bidang ini sering timbul
persaingan antar taranak dan kerjasama dalam satu taranak. Beberapa istilah yang
digunakan untuk menyapa anggota famili dalam masyarakat Minahasa, yakni: Opu (kakek
dari ayah atau ibu), Omu (nenek dari ayah atau ibu), Opa/Tek (ayah dari
ibu/ayah), Oma/Nek (ibu dari
ayah/ibu), Papa/Papi/Pa’ (ayah), Mama/Mami/Ma’ (ibu), Om/Mom (paman), Tante (bibi/
tanta), dan Bu/Mbu (ipar/kakak lelaki).
Desa (Banua/Wanua) merupakan suatu kesatuan hidup setempat di Minahasa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa (hukumtua). Ia dibantu oleh sejumlah orang yang
semuanya disebut pamong desa. Untuk usaha-usaha gotong royong dan pembangunan
desa, terdapat juga orang-orang yang membantu hukumtua yang biasa disebut tua-tua
kampung. Mereka itu terdiri dari pemimpin-pemimpin agama setempat, guru-guru,
mantan hukumtua, pemimpin-pemimpin kecil/RT dalam desa (kepala
jaga), meweteng (pembantu kepala jaga), juru tulis, dan sejumlah pensiunan yang ada di
desa.
Dalam menghadapi hal-hal kemasyarakatan yang penting seperti kematian, perkawinan,
pengerjaan wilayah pertanian, kepentingan rumah tangga atau komunitas, masyarakat
Minahasa menampakkan suatu gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerjasama
yang didasarkan pada prinsip resiprositas. Kegiatan kerjasama dan gotong royong ini
disebut dengan mapalus. Bantuan yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk, baik tenaga
maupun barang-barang atau uang. Bantuan tersebut harus disadari oleh orang yang
menerimanya dan diberikan balasannya, jika tidak ia akan dianggap sebagai orang yang
tidak baik dan tidak akan menerima bantuan lagi dari siapapun.
Masyarakat Minahasa umumnya memiliki suatu kesadaran akan kesatuan tempat asal
seperti sekampung/sekecamatan/sedistrik dan juga berdasarkan kekerabatan/famili yang
terwujud dalam kelompok-kelompok sosial seperti perkumpulan-perkumpulan, persatuan-
persatuan, dan kerukunan yang terdapat di kota Manado maupun di daerah lain di luar
Minahasa. Kerukunan seperti ini biasa disebut pakasa’an, yang dahulu sebenarnya berarti
wilayah kesatuan adat yang sama. Tetapi kini perkumpulan-perkumpulan pakasa’an ini
tidak lagi mendasarkan kesatuan sosial mereka menurut wilayah-wilayah pakasa’an atau
distrik dahulu.
Perkawinan dalam masyarakat Minahasa bukan berdasarkan penjodohan oleh orang
tua, sehingga pergaulan muda-mudi umumnya bebas tetapi selalu dilihat secara diam-diam
oleh pihak orang tua. Para muda-mudi memiliki waktu tertentu sebagai kesempatan
pertemuan, yakni pada saat pesta-pesta kawin, malam hiburan, dan mapalus. Bila seorang
pemuda sudah menemukan jodohnya, ia berterus-terang kepada orang tuanya. Jika
disetujui, orang tua kemudian mengambil seorang perantara (rereoan/pabusean) untuk
menyampaikan hasrat pemuda tersebut dengan mengatasnamakan orang tua pemuda
kepada pihak orang tua perempuan. Bila disetujui, upacara berlanjut pada penentuan hari
pengantaran mas kawin yang dikenal dengan antar harta/mali pakeang/mehe
roko. Upacara itu termasuk juga dengan penentuan tempat dan tanggal pernikahan, jumlah
undangan, surat-surat yang diperlukan, saksi-saksi, dan sebagainya. Kemudian barulah
dilangsungkan upacara perkawinan yang biasanya diadakan di gereja dan melalui
pemerintah (catatan sipil). Di samping itu, masih ada juga kawin baku piara yang tidak
melalui catatan sipil atau agama. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh persetujuan orang tua
dan keterbatasan ekonomi.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
- Alat-alat produksi, termasuk produksi makanan
- Alat-alat transportasi
- Peralatan perang:
senjata: pedang yang melebar di bagian ujungnya dan disebut santi
baju perang dari kulit sapi atau anoa yang disebut wa’teng
topi dengan hiasan bulu dan paruh burung enggang
perisai kayu yang disebut kelung
wadah berupa peti kayu
alat-alat menyalakan api
- teknologi pembuatan pakaian berupa cidako dan beberapa bentuk motif hias kain tenun
yang dinamakan motif tolai (ekor ikan), yang melingkar seperti ujung tanaman merambat
atau taring babi rusa
- perumahan (rumah panjang yang disebut Wale Wangko)
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem Ekonomi
Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini,
yakni:
a. Berburu/meramu
Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian
pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak lama
masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi kehidupan
mereka. Dahulu di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu
babi hutan, babi rusa (langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk
peramu pada zaman dahulu ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu
hanya merupakan pekerjaan sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.
b. Pertanian
Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa dalam arti bahwa
pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi
masyarakat. Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan rakyat
dengan tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini
komoditi pertanian lain, yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan
secara intensif dengan metode dan teknologi modern. Tanah pertanian – sawah atau ladang
– di Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh
berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran) yang digarap
secara mapalus.
Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya bersifat menetap
dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan padi ladang, sayur-
sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan rempah-rempah.
c. Perikanan
Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam
masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang
mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa. Selain itu, juga
ada peralihan dari teknologi tradisional dalam bidang perikanan ke dalam teknologi
modern yang membuat usaha perikanan semakin produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’
perahu penangkap ikan. Sama seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang
bermukim di pesisir-pesisir pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan.
Usaha pemerintah dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah
Aertelaga, dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan
ikan cakalang. Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-
julung), sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-kura
(tuturuga). Hasil perikanan baik darat maupun laut ini kemudian dibawa ke pasar-pasar di
ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke daerah-
daerah lain di luar Minahasa.
d. Peternakan
Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi
masyarakat Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi,
babi, ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun
terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa daerah. Ternak biasanya berfungsi sebagai
pembantu tenaga kerja dalam bidang pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering
juga dipakai sebagai mas kawin.
e. Kerajinan
Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan
itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis daun tumbuh-
tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames), dan bambu kecil yang
disebut bulu tui. Terdapat juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa
tembikar, jambangan, pot-pot bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut
diperdagangkan penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.
Sistem Ekonomi
Minahasa terkenal akan hasil perkebunannya, terutama kelapa, cengkeh, kopi, pala,
coklat, panili, jahe putih, dan jambu mete. Enau merupakan sumber nira sebagai bahan
minuman terkenal di Minahasa, yaitu saguer, di samping bahan untuk gula merah.
Terdapat perikanan laut dan perikanan darat. Pengembangan perikanan laut berpusat di
Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang.
Binatang yang umum dimakan antara lain: babi hutan, tikus hutan (ekor putih) dan
kalong. Yang jarang dimakan karena sudah langka adalah: rusa, anoa, babirusa, monyet,
ular piton, biawak, ayam hutan, cuscus, telur burung laleo, dan berbagai jenis unggas
lainnya. Binatang yang tidak terdapat di daerah lain adalah: Tangkasii (Tarcius spectrum,
Kera Mini), Burung Maleo, Burung Taong, anoa, babi rusa, dan ikan purba Raja Laut
(Coelacant). Minahasa kaya akan bahan tambang, antara lain: tembaga, emas, perak, nikel,
titanium, mangan, pasir besi, dan kaolin.
Jenis kayu yang berharga, antara lain: eboni (kayu hitam), kayu besi, kayu linggua,
kayu cempaka, rotan dan dammar.
6. Sistem Religi
Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua, yakni kepercayaan asli
masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.
a. Kepercayaan asli masyarakat Minahasa
Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa
upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar
lingkaran hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun
dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup sehari-hari, yang
baik maupun yang jahat. Orang Minahasa menyebut dewa
dengan Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan
Allah). Ia dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah
dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan
salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-) yang dihubungkan
dengan makan sirih-pinang (lema)’.
Opo ada yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong
manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk yang
diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan yang
bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan sakti akibat
murka dari Opo-opo tersebut. Ada juga Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk
hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi. Opo masih dibagi lagi ke dalam
beberapa jenis, yakni: nenek moyang (dotu), Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk
penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan.
Selain itu, orang Minahasa juga percaya akan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh
leluhur, hantu-hantu, dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Bentuk makhluk halus itu
bermacam-macam, yakni: mukur (arwah dari orang yang telah meninggal tetapi masih
berada di sekitar keluarganya yang masih hidup), puntianak (arwah wanita yang mati
dalam keadaan hamil atau melahirkan dan suka mengganggu orang yang masih
hidup), setang mengiung-ngiung (sama dengan puntianak tetapi khusus bagi kaum pria
saja), pok-pok atau suanggi (sebangsa drakula yang suka menghisap darah manusia yang
masih hidup), panunggu (setan yang menempati tempat-tempat tertentu), jin (sama
dengan panunggu tetapi selalu berkeliaran), dan lalu/lulu (sebangsa setan yang menghuni
hutan).
Masyarakat suku Minahasa juga memiliki kepercayaan bahwa ada bagian-bagian tubuh,
benda-benda, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta ucapan manusia (sumpah dan kutuk)
yang memiliki kekuatan sakti. Konsep kejiwaan bagi orang Minahasa tidak dibedakan
dengan konsep roh. Unsur kejiwaan dalam hidup manusia ialah
ingatan/gegenang, perasaan/pemendam, dan kekuatan/keketer. Tokoh tradisional yang
melakukan dan memimpin upacara-upacara keagamaan pribumi
disebut walian atau tona’as. Mereka berfungsi sebagai media untuk mendapatkan
kekuatan sakti dari opo-opo dan juga mengobati orang sakit dengan cara tradisional.
Di bagian belakang terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai tempat menyimpan alat
dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Bagian atas rumah (loteng, soldor) untuk
menyimpan hasil panen. Bagian bawah rumah (kolong) digunakan untuk gudang tempat
menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak, hewan rumah seperti anjing.
Orang kaya membuat rumah dengan bahan yang mahal, misalnya seng untuk atap, kaca
untuk isi jendela, kayu yang dipakai adalah jenis kayu yang baik seperti cempaka, wasian,
bahkan lingua yang terkenal sebagai kayu terbaik.
b. Pakaian Adat
Pada jaman dahulu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya,
disebut wuyang (pakaian kulit kayu), memakai gaun yang disebut pasalongan rinegetan
yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Kaum pria memakai baju karai, baju tanpa
lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga
bentuk baju berlengan panjang, memakai kerah dan saku disebut baju baniang. Celana
yang dipakai masih sederhana berbentuk celana pendek atau panjang.
Selanjutnya busana Minahasa mendapat pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana
wanita yang mendapat pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan
panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya berwarna
putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria
pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah
menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu
berwarna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak tampak.
Busana Tona’as Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan
baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan bunga padi pada leher
baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif
berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi berwana merah dihiasi
dengan motif bunga padi warna kuning keemasan pula.
Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tona’as Wangko.
Warna putih dengan hiasan corak bunga padi, dilengkapi topi porong nimiles, terbuat dari
lilitan dua kain berwana merah hitam dan kuning emas, melambangkan penyatuan langit
dan bumi, alam dunia dan alam baka. Busana Walian Wangko wanita kebaya panjang
tanpa kerah dan kancing, berwarna putih dan ungu dengan hiasan bunga terompet, kain
sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci), selempang warna kuning dan merah,
selop, kalung leher dan sanggul.
c. Upacara Perkawinan
Bila hanya sebagai simbolisasi, caranya: Semua bahan ramuan dimasukkan ke dalam
sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat. Kantong tersebut
diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan ke rambut calon
pengantin.
Sekarang semua acara dipadatkan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin,
merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk
upacara ’maso minta’ (‘toki pintu’). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau
Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan nikah (di gereja bagi yang Kristen),
dilanjutkan dengan resepsi pada acara upacara perkawinan ada acara melempar bunga
tangan, dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti Tarian
Maengket, Katrili, Polineis, diiringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
d. Alat Musik
Kolintang, Instrumen ini semuanya terbuat dari kayu dan disebut mawenang.
Musik Bambu, Pemain sebanyak kurang lebih 40 orang. Jenisnya adalah:
Musik Bambu Melulu: seluruh instrumen terbuat dari bambu
Musik Bambu Klarinet: sebagian terbuat dari bambu, sebagian dari bia (kerang)
Musik Bambu Seng: beberapa instrumen terbuat dari bambu
Musik Bia: instrumen terbuat dari bia.
e. Tarian Adat
Tari Maengket;
Maengket dari kata dasar engket yang artinya mengangkat tumit turun naik Fungsinya
sebagai rangkaian upacara petik padi. Penarinya membentuk lingkaran dengan langkah-
langkah yang lambat, disebut Maengket Katuanan. Ada tiga macam Tari Maengket yaitu:
Tari Maowey Kamberu, bagaimana masyarakat berdoa atas hasil panen
Marambak adalah pengucapan syukur atas selesainya ramah baru
Lalayaan mengekspresikan kegembiraan masyarakat
Pemimpin tari adalah wanita sebagai ‘Walian in uma’, pemimpin upacara kesuburan
pertanian dan kesuburan keturunan, dibantu oleh ‘Walian im penguma’an’, lelaki dewasa.
Pemimpin golongan Walian atau golongan agama asli (agama suku) disebut ‘Walian
Mangorai’, seorang wanita tua yang hanya berfungsi sebagai pengawas dan penasehat
dalam pelaksanaan upacara-upacara kesuburan. Untuk memulai tarian maka si pemimpin
tarian Maengket menari melambai-lambaikan saputangan mengundang Dewi Bumi
(Lumimu’ut) dan setelah kesurupan Dewi Bumi, barulah tarian dimulai. Supaya para
penari tidak kesurupan (kemasukan) roh jahat (‘Tjasuruan Lewo’) ada pembantu Tona’as
Wangko menemani ‘Walian in uma’ yang disebut ‘Tona’as in uma’, pria dewasa yang
memegang tombak simbol Dewa Matahari To’ar (To’or = Tu’ur = tiang tegak = tombak).
Oleh karena itu di halaman batu ‘Tumotowak’ (Tontembuan), ditancapkan tiang-tiang
bambu berhias disebut ‘Tino’or’ (Totembuan) sewaktu diadakan tarian Maengket ‘Owey
Kamberu’.
Semua orang Minahasa mengakui bahwa Dewi Padi itu bernama Lingkanwene (liklik =
keliling; wene = padi), penguasa produksi padi. Suaminya adalah pemimpin semua dewi-
dewi, Mahadewa Untu-untu.
Ada tiga orang leluhur Minahasa yang bergelar Muntu-untu dan isterinya bernama
Lingkanwene. Yang pertama kemungkinan hidup pada abad ke-9, yang kedua abad ke-12,
yang ketiga abad ke-15-16.
Tari Tumentenden;
Dari Legenda Tumentenden yang menceritakan seorang pemuda yang menikahi seorang
dari sembilan bidadari yang turun untuk mandi pada suatu danau.
Pada jaman dahulu para penari Kabasaran hanya menjadi penari pada upacara-upacara
adat. Dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah petani. Bila Minahasa dalam keadaan
perang, maka penari Kabasaran menjadi Waranei (prajurit). Tiap penari Kabasaran
memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya, karena penari
Kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri atas tiga babak,
yaitu:
Cakalele: berasal dari kata saka (berlaga), dan lele (melompat- lompat)
Kumoyak: berasal dari kata koyak, mengayunkan pedang atau tombak turun naik
Lalaya’an: bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang. Busana yang
digunakan adalah kain tenun Minahasa asli, dan kain ’Patola’, yaitu kain tenun merah
dari Tombulu. Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an kain tenun asli ini
mula menghilang sehingga penari tarian Kabasaran akhirnya memakai kain tenun
Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna, dan motifnya mirip dengan kain
tenun Minahasa.
Tari Lens;
Menceritakan bagaimana seorang pemuda menggunakan gerakan yang manis untuk
menarik perhatian gadis.
Tari Katrili:
dibawa oleh Bangsa Sepanyol pada waktu mereka datang untuk membeli hasil bumi di
Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, meraka lalu menari-nari. Lama
kelamaan mereka mengundang rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka
untuk menari bersama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Tari Katrili termasuk
tarian modern.
f. Lagu daerah;
O ina Ni Keke,
Oh Minahasa
g. Wisata Kuliner
1) Makanan
Bubur Manado
Ayam Rica – Rica
Biakolobi
2) Minuman
Saguer; Saguer adalah nira, yaitu cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau.
Cap Tikus; Cap Tikus adalah jenis cairan beralkohol rata-rata 40 % yang dihasilkan
melalui penyulingan saguer.
Jika di masa lalu, khususnya di kalangan petani menjadi pendorong semangat kerja, kini
berubah menjadi tempat pelarian, menjadi tempat pelampiasan nafsu serta sarana mabuk-
mabukan.
h. Tenun Ikat;
Digunakan dalam upacara-upacara adat dan sebagai cinderamata.
i. Bordir;
berupa krawangan, pada kebaya, taplak meja, dan lain-lain.
j. Upacara Adat
Monondeaga;
Upacara datangnya haid pertama. Daun telinga dilubangi dan dipasangi anting, kemudian
gigi diratakan sebagai pelengkap kecantikan.
Mupuk Im Bete;
Upacara ucapan syukur dengan membawa hasil ladang untuk didoakan.
k. Pariwisata
Tempat-tempat pariwisata antara lain:
Makam Kyai Modjo
Makam Tuanku Imam Bonjol
Monumen Dr. Sam Ratulangi
Wisata laut di Bunaken