Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS UU No.

21 Tahun 2014

Permasalahan energi telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir. Dibalik kecemasan atas kelangkaan energi di Indonesia muncul angin segar dengan
diundangkannya UU No. 21 tahun 2014 yang merupakan revisi dari UU No. 27 tahun 2003
tentang Panas Bumi. Pada tanggal 17 September 2014, Pemerintah berhasil mengundangkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (selanjutnya disebut UU Panas
Bumi). UU Panas Bumi tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang
Panas Bumi (selanjutnya disebut UU Panas Bumi Lama) yang dianggap belum mengatur
pemanfaatan panas bumi secara komprehensif. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan
menimbang UU Panas Bumi.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi dan peraturan pelaksanaannya
belum dapat menjawab tantangan dalam pengembangan Panas Bumi secara optimal. Hal itu
antara lain terkait dengan istilah kegiatan penambangan/pertambangan yang membawa
konsekuensi bahwa kegiatan Panas Bumi yang dikategorikan sebagai kegiatan
penambangan/pertambangan tidak dapat diusahakan di Kawasan Hutan konservasi karena tidak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Selain itu, belum adanya pengaturan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung
yang komprehensif.perlu dibentuk suatu undang-undang baru sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-
langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan Panas Bumi. Undang-Undang ini diharapkan
dapat memberikan kepastian hukum kepada pelaku sektor Panas Bumi secara seimbang dan tidak
diskriminatif.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi (UU No. 21 Tahun
2014) yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas
Bumi (UU No. 27 Tahun 2003), merupakan salah satu langkah strategis dalam mengembangkan
Panas Bumi sebagai salah satu tumpuan energi nasional.Terdapat beberapa poin penting yang
menjadi fokus perubahan dari revisi tersebut, yakni :
1) Pengusahaan panas bumi tak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan, sehingga
pengusahaan panas bumi dapat dilakukan di atas lahan konservasi ;
2) Kewenangan pemberian izin Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat ;
3) Pengiriman, penyerahan, dan/atau pemindahtanganan data dan informasi kegiatan
penyelenggaraan Panas Bumi harus dilakukan dengan Izin Pemerintah ;
4) Diaturnya pengalihan kepemilikan saham pada pengusahaan panas bumi, dimana pada
UU No. 27 Tahun 2003 belum diatur mengenai hal ini, hingga
5) Kewajiban Pemegang Izin Panas Bumi untuk memberikan bonus produksi kepada
Pemerintah Daerah.
Bahwa dengan disahkannnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas
Bumi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
merupakan terobosan besar yang dilakukan Pemerintah bagi dunia usaha panas bumi.
“Undang-Undang ini disusun dalam rangka untuk lebih memberikan landasan hukum yang
kuat, lebih komprehensif, transparan dan tidak diskriminatif dalam pengusahaan panas bumi.
Latar belakang Undang-Undang ini. Berikut adalah penyusunan dan kronologis singkat
proses pembahasan hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan Undang-Undang ini sebagai
berikut:
1) Bahwa Indonesia mempunyai potensi panas bumi yang besar, yang lokasinya tersebar
sepanjang jalur gunung api aktif (ring of fire) mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku;
2) Panas bumi merupakan sumber energi terbarukan yang apabila dikembangkan sebagai
energi listrik, selain sebagai sumber energi yang ramah lingkungan, juga dimanfaatkan
secara berkelanjutan;
3) Masih belum optimalnya pengembangan panas bumi di Indonesia pasca lahirnya
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003; Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya
pengembang panas bumi/pemegang IUP pasca Undang-Undang ini yang telah
berproduksi;
4) Potensi panas bumi banyak ditemukan di wilayah hutan lindung dan hutan konservasi;
5) Dalam UU Nomor 27 Tahun 2003 disebutkan bahwa panas bumi merupakan kegiatan
penambangan/pertambangan sehingga potensi panas bumi di wilayah hutan konservasi
tidak dapat dimanfaatkan secara optimal; dan
6) Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan
di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung sehingga membatasi
pengembangan usaha panas bumi.
Sedangkan kronologis singkat pembahasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014, dimulai
dengan:
1) Penyampaian RUU tentang Panas Bumi oleh Presiden kepada Ketua DPR RI melalui
surat Presiden RI Nomor R-38/Pres/08/2013 tanggal 13 Agustus 2013;
2) Pembahasan RUU tentang Panas Bumi antara Panitia Kerja Pembahasan RUU tentang
Panas Bumi DPR RI dengan Pemerintah yang dilaksanakanmulai bulan Mei s.d. Juli
2014;
3) Pengesahan RUU tentang Panas Bumi menjadi Undang-Undang tentang Panas Bumi
pada tanggal 26 Agustus 2014 pada sidang Paripurna DPR RI; dan
4) Ditandatanganinya Undang-Undang tersebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 17 September 2014.
Lalu dilanjutkan dengan pemaparan substansi Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2014 yang disampaikan oleh pejabat eselon tiga dari lingkungan Ditjen EBTKE dengan
moderator Sanusi Satar dari Asosiasi Panas Bumi Indonesia API). Adapun beberapa konsep
dan pokok-pokok pengaturan yang terkandung dalam Undang-Undang ini, diantaranya
meliputi:
1. Bahwa pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan dalam pengertian kegiatan
pertambangan;
2. Landasan filosofis kegiatan usaha panas bumi sebagai bagian pemanfaatan dari sumber
daya alam bertumpu pada  Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Repubilk Indonesia Tahun 1945. Panas Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung
di dalam Wilayah hukum Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk kemakmuran Rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-
Undangan ini dinyatakan bahwa Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang
dikuasai Negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. 
3. Pengaturan mengenai kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi baik yang dilakukan
oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten Kota.
4. Kewenangan Pemerintah untuk melakukan Eksplorasi, Eksploitasi dan pemanfaatan yang
dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Layanan Umum.
5. Adanya pengaturan yang lebih rinci mengenai pengusahaan panas bumi untuk
pemanfaatan langsung maupun pemanfaatan tidak langsung;
6. Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi akibat dari
perubahan yang semula dilakukan oleh Pemerintah Daerah beralih menjadi kewenangan
Pemerintah;
7. Pengaturan bonus produksi pengusahaan panas bumi (production bonus) yang didasarkan
kepada persentase tertentu dari pendapatan kotor sejak unit pertama berproduksi;
8. Pengaturan ketentuan peralihan yang lebih jelas untuk pengelolaan wilayah kerja panas
bumi yang telah ada sebelum diterbitkannya Undang-Undang ini.

Sebagai tindak lanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 ini mengamanatkan


pembentukan beberapa Peraturan Pemerintah, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) Peraturan Pemerintah, yaitu:
-Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bonus Produksi Pengusahaan Panas Bumi;
-Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Tidak Langsung; dan
-Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Langsung.
Perbedaan utama aturan baru ini dengan Undang-Undang sebelumnya terletak pada
dikeluarkannya kegiatan Panas Bumi dari kegiatan pertambangan dan pemanfaatan panas bumi
tidak langsung di kawasan hutan konservasi, serta pembagian izin untuk pengusahaan panas
bumi. Penjelasan dan analisisnya sebagai berikut:

 Panas Bumi bukan kegiatan pertambangan

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU No. 21 tahun 2014 Panas Bumi adalah sumber
energi panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara
genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi. Dikeluarkannya Panas
Bumi dari kegiatan pertambangan tersebut maka memberikan ruang pada kegiatan
eksplorasi. Selama ini kegiatan eksplorasi terhambat karena dikategorikan sebagai
pertambangan, dimana potensi panas bumi sering kali terdapat di wilayah hutan lindung
dan hutan konservasi.

 Pengusahaan Panas Bumi pada Kawasan Hutan

Pasal 24 UU No. 21 tahun 2014 menyatakan bahwa dalam hal kegiatan


pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung berada di kawasan hutan,
pemegang panas bumi wajib mendapatkan:
i. izin pinjam pakai untuk menggunakan kawasan hutan produksi atau kawasan hutan
lindung; atau
ii. izin untuk memanfaatkan kawasan hutan konservasi. Izin pemanfaatan hutan
konservasi tersebut dilakukan melalui izin pemanfaatan lingkungan.

 Izin untuk pengusahaan panas bumi

UU No. 21 tahun 2014 membagi izin untuk pengusahaan panas bumi.


Pengusahaan Panas Bumi sendiri terbagi menjadi pengusahaan panas bumi untuk
pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung. Pemanfaatan langsung untuk
keperluan nonlistrik sedangkan pemanfaatan tidak langsung untuk keperluan kelistrikan.
Pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung menggunakan Izin
Pemanfaatan Langsung sedangkan untuk pemanfaatan tidak langsung menggunakan izin
Panas Bumi.
Izin Panas Bumi diberikan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan
pemanfaatan. Pemegang Izin Panas Bumi wajib melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan
pemanfaatan pada wilayah kerjanya.
Berdasarkan UU No. 21 tahun 2014 Menteri menetapkan Wilayah Kerja dimana
penetapan Wilayah Kerja oleh Menteri dilakukan berdasarkan hasil Survei Pendahuluan
atau Survei Pendahuluan dan eksplorasi. Selanjutnya setelah penetapan Wilayah Kerja
Menteri melakukan penawaran Wilayah Kerja secara lelang. Pemenang lelang akan
diberikan Izin Panas Bumi untuk melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan
Wilayah Kerjanya.
Berdasarkan Pasal 29 UU No. 21 tahun 2014 Izin Panas Bumi memiliki jangka
waktu paling lama 37 tahun dan Menteri dapat memberikan perpanjangan Izin Panas
Bumi untuk jangka waktu paling lama 20 tahun setiap kali perpanjangan.
Izin Pemanfaatan Langsung diberikan oleh Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota dan Izin Panas Bumi diberikan oleh Menteri yang ini berarti
kewenangan pemberian untuk Izin Panas Bumi diberikan kepada pemerintah pusat.
Hal tersebut tentu berbeda dengan UU 27 tahun 2003 dimana izin untuk
pemanfaatan panas bumi baik langsung maupun tidak langsung adalah Izin Usaha
Pertambangan Panas Bumi. Kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan Panas
Bumi ada ditangan Menteri, Gubernur, atau Walikota/Bupati sesuai dengan
kewenanganya.
Diberikannya kewenangan pemberian penetapan wilayah kerja, penawaran
wilayah kerja, pemberian Izin Panas Bumi dan pengawasan untuk pemanfaatan panas
bumi tidak langsung kepada Pemerintah Pusat diharapkan dapat meningkatkan
perkembangan kegiatan Panas Bumi yang selama ini seperti berjalan ditempat saat
kewenangan tersebut juga diberikan kepada pemerintah daerah, hal tersebut dikarenakan
tidak adanya sinergi antar sektoral, serta terbatasnya sumber daya dan anggaran yang
dimiliki pemerintah daerah.

 ANALISIS

Nampaknya banyak pakar sepakat bahwa (hukum) pidana kedudukannya sebagai


“hulprecht” atau “hukum pembantu” bagi hukum administrasi negara (HAN) yang dalam
hal ini UU Panas Bumi dapat dikategorikan aturan di bidang HAN. Konsekuensi
logisnya, maka ketika pembuat kebijakan sepakat untuk mengundang norma hukum
pidana untuk membantu menegakan norma hukum administrasi dalam UU Panas Bumi
maka sudah seyogyanya ketentuan pidananya mendapat perhatian. Ketentuan hukum
pidana merupakan wujud dari kebijakan hukum pidana, maka sudah sepatutnya
direnungkan bahwa ia merupakan bagian dari kebijakan kriminal criminal policy) yang
juga adalah bagian integral dari kebijakan sosial (social policy) dimana tujuan akhirnya
adalah “social welfare and social defence”. Menandakan bahwa kebijakan
penanggulangan kejahatan di bidang panas bumi patut mendapatkan ruang dan waktu
untuk dibahas.
Dalam pembuatan UU No. 21 Tahun 2016 mengenai panas Bumi harus
berdasarkan UUD 1945 yakni pasal (5), Pasal 20, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(5). Bahwa dalam pembuatan Undang-undang ini tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang yang diatasnya yakni UUD 1945. Dalam Undang-undang ini bahwa
penguasaan panas bumi oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan Asas Desentralisasi Asas
dimana urusan Pemerintahan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah,
sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan wewenang pemerintah daerah yang
bersangkutan, dan berdasarkan prinsip pemanfaatan bahwa penyelenggaraan kegiatan
Panas Bumi harus bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Dalam Undang-undang ini Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah hal ini
sejalan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dijelaskan pasa pasal 87 bahwa setelah UU No. 21 Tahun 2014 berlaku maka UU
No 27 Tahun 2013 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Pernyataan ini sesuai dengan
asas peraturan perundang-undangan yakni asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Undang-undang yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang baru
yang mengatur hal yang sama. Dan pada pasal 88 bahwa UU No. 21 tahun 2014 mulai
berlaku pada tanggal diundankan. .Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia. Dan setelah setelah diundangkan dalam lembaran negara maka
Setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut hal ini sesuai dengan
asas peraturan perundang-unndangan yakni asas Asas Fictie Hukum.
Adapun subyek Hukum pada UU No. 21 Tahun 2014 ini adalah Badan Usaha atau
setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum. Kemudian yang menjadi obyek hukum pada Undang-
undang ini adalah Panas Bumi. Adapun Setiap Orang maupun badan usaha pemegang
Izin Panas Bumi yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum atau yang tidak
memenuhi serta melanggar ketentuan yang telah di tentukan pada Undang-undang ini dan
yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi yang tidak sesuai dengan
Undang-undang maka akan terkena akibat hukum yakni dengan dikenai sanksi tindak
Pidana seperti di penjara maipun pembayaran ganti rugi atau denda, atau dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud seperti peringatan tertulis, penghentian sementara
seluruh kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi, atau pemanfaatan; dan/atau, pencabutan Izin
Panas Bumi.

Menimbang:
a. bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi belum mengatur
pemanfaatan Panas Bumi secara komprehensif sehingga perlu diganti;
Analisis : Pada huruf d diatas bahwasanya pembuatan UU No. 21 Tahun 2014 ini
merupakan perubahan dari UU No 27 Tahun 2003, dikarenakan pada UU No 27
Tahun 2003 belum mengatur mengenai pemanfaatan Panas Bumi secara
komprehensif sehingga Undang-undang ini perlu diganti.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Analisis:Menurut penjelasan diatas maka dalam pembuatan Undang-undang mengenai
panas Bumi harus berdasarkan UUD 1945 yakni pasal (5), Pasal 20, dan Pasal
33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5). Bahwa dalam pembuatan Undang-undang ini
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang diatasnya yakni UUD
1945.
Pasal 3
Penyelenggaraan kegiatan Panas Bumi bertujuan:
a. mengendalikan kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk menunjang ketahanan dan
kemandirian energi guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
Analisis :maksud huruf a adalah bahwa penyelenggaraan dari kegiatan panas bumi tidak
lain adalah bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan dengan asas HAN yakni
Principle of Carefness (asas bertindak cermat) Asas yang menghendaki agar
administrasi negara senantiasa bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan
kerugian bagi masyarakat.

(1) Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Analisis: Ayat 1 menjelaskan bahwasanya energi panas bumi merupakan kekayaan
yang dikuasai oleh negara Landasan filosofi kegiatan panas bumi sebagai
pemanfaatan sumber daya alam bertumpu pada pasal 33 ayat 2 dan ayat 3
UUD RI tahun 1945. Artinya, panas bumi sebagai sumber daya alam yang
terkandung di dalam wilayah hukum Indonesia merupakan kekayaan nasional
yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan prinsip pemanfaatan.
Analisis :Ayat 2 mempunyai keterkaitan dengan ayat 1, yang dimaksudkan penguasaan
panas bumi oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan (Asas
Desentralisasi Asas dimana urusan Pemerintahan yang telah diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan
wewenang pemerintah daerah yang bersangkutan), dan berdasarkan prinsip
pemanfaatan bahwa penyelenggaraan kegiatan Panas Bumi harus bermanfaat
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

BAB II
KEWENANGAN PENYELENGGARAAN PANAS BUMI
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) dilakukan terhadap:
Analisis: Ayat (1) mempunyai keterkaitan dengan pasal 4 ayat (2) yakni penyelenggara
panas bumi diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan
prinsip pemanfaatan..
a. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
1. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan
lindung;
Analisis: Ayat 1 lintas wilayah provinsi termasuk kawasan hutan produksi ( adalah
hutan berfungsi menghasilkan hasil hutan bagi kepentingan masyarakat ,
industry dan ekspor). Adapan kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu
untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya terutama menyangkut tata
air dan kesuburan tanah tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh
masyarakat di sekitarnya.
2. Kawasan Hutan konservasi;
Analisis:Yang dimaksud dengan "kawasan hutan konservasi" adalah kawasan
pelestarian alam dan kawasansuaka alam yang meliputi daratan dan perairan.
3. kawasan konservasi di perairan; dan
Analisis: Yang dimaksud dengan "kawasan konservasi di perairan" adalah kawasan
konservasi di wilayah pesisirdan pulau-pulau kecil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaanwilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.

Pasal 5 ayat (3) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4ayat (2) dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
Analisis: pada ayat (3) diatas Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah
kabupaten/kota hal ini sesuai dengan asas Hukum Tata Negara yakni asas Asas
Desentralisasi Asas dimana urusan Pemerintahan yang telah diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan
wewenang pemerintah daerah yang bersangkutan.

Pasal 6
(1) Kewenangan Pemerintah dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5ayat (1) meliputi:
a. pembuatan kebijakan nasional;
Analisis :Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa:
1. pembuatan dan penetapan standardisasi;
2. penetapan kebijakan pemanfaatan dan konservasi Panas Bumi;
3. penetapan kebijakan kerja sama dan kemitraan;
4. penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi; dan
5. perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi.
i. pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan dan kemampuan perekayasaan.
Analisis : Huruf i Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan nilai
tambah produksi kegiatanpenyelenggaraan panas bumi.
Pasal 7
Kewenangan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5ayat (2) meliputi:
Analisis: Pada pasal 7 dijelaskan bahwa pemerintah provinsi berwenang dalam
penyelenggaraan panas bumi hal ini berarti pemerintah provinsi diberikan hak
otonomi daerah untuk mengurusi penyelenggaraan panas bumi di daerah
kewenangannya.
Pasal 9
(1) Pengusahaan Panas Bumi terdiri atas:
a. pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; dan
 Huruf a Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi wisata, antara
lain berupa perhotelan, pemandian air panas, dan terapi kesehatan.
b. pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
 Huruf b Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi agrobisnis,
antara lain berupapengeringan teh, kopra, jagung, dan green house.
(2) Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a digunakan untuk:
a. wisata;
 Huruf a Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi wisata,
antara lain berupaperhotelan, pemandian air panas, dan terapi kesehatan.
b. agrobisnis;
 Huruf b Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi agrobisnis,
antara lain berupapengeringan teh, kopra, jagung, dan green house.
c. industri; dan
 Huruf cPengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung bagi industri,
antara lain berupapengolahan kayu, kulit, dan rotan.
b. kegiatan lain yang menggunakan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung.
 Huruf d Ketentuan mengenai kegiatan lainnya dimaksudkan untuk
mengakomodasi pemanfaatan PanasBumi seiring dengan perkembangan
teknologi.
Pasal 17 ayat (4) Dalam melakukan Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi
sebagaimana dimaksudpada ayat (2), Menteri dapat menugasi pihak lain.
 Ayat (4)Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah Badan Usaha, perguruan tinggi,
atau lembaga penelitian.
Pasal 19
(1) Luas Wilayah Kerja ditetapkan dengan memperhatikan sistem Panas Bumi.

 Ayat (1)Yang dimaksud dengan "sistem Panas Bumi" adalah sistem yang terdiri atas
sumber panas, reservoir, area penyerapan, batuan tudung (cap rock), dan aliran atas
(upflow) atau aliran luar (outflow), yang memenuhi kriteria geologi, hidrogeologi, dan
pemindahan panas (heat transfer) yang cukup, terutamaterkonsentrasi di reservoir
untuk membentuk sumber daya energi.
Pasal 20 (3) Kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung
sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan secara terpadu atau secara terpisah.
 Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pengusahaan Panas Bumi secara terpadu" adalah
kegiatan yang meliputi Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan yang dilakukan oleh
Badan Usaha.Yang dimaksud dengan "pengusahaan Panas Bumi secara terpisah" adalah
Eksplorasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Pasal 24 b. melaksanakan kegiatan pengusahaan Panas Bumi dengan memperhatikan
tujuan utamapengelolaan hutan lestari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
 Huruf b Pengelolaan hutan lestari dilakukan sesuai dengan fungsi hutan yang
meliputi:
a. hutan produksi untuk kelestarian hasil hutan;
b. hutan lindung untuk fungsi perlindungan tata air; dan
c. hutan konservasi untuk kelestarian keanekaragaman hayati.
(3) Izin memanfaatkan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 dilakukan
melalui izinpemanfaatan jasa lingkungan.
 Ayat (3) Yang dimaksud dengan "izin pemanfaatan jasa lingkungan" adalah izin
yang diperoleh dari pemanfaatan kondisi lingkungan dalam Kawasan Hutan
konservasi, antara lain dalam bentuk potensi ekosistem dariPanas Bumi.

Pasal 33
Izin Panas Bumi berakhir karena:
a. habis masa berlakunya;
 Huruf a Yang dimaksud dengan "masa berlakunya” adalah masa yang diberikan
untuk Izin Panas Bumi termasukperpanjangannya.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Panas Bumi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
 Dalam Peraturan Pemerintah diatur mengenai:
a. pengembalian Wilayah Kerja secara bertahap;
b. Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan yang dilakukan oleh Pemerintah;
c. Studi Kelayakan serta persetujuan Studi Kelayakan; dan
d. syarat dan tata cara permohonan dan penyerahan Izin Panas Bumi.

Pasal 49
(1) Pemegang Izin Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi kewajiban berupa:
a. iuran produksi;
 Huruf a Yang dimaksud dengan "iuran produksi" adalah iuran yang dibayarkan
kepada negara berupapenerimaan negara bukan pajak atas hasil yang diperoleh dari
usaha Panas Bumi untukPemanfaatan Langsung.
Pasal 52 h. menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan
kepada Menteriyang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran serta
menyampaikan besarnyacadangan;
 Huruf h Penyampaian rencana kegiatan jangka panjang bersifat memberikan
informasi dimaksudkan untuk menyelaraskannya dengan program pembangunan
jangka panjang Pemerintah dan PemerintahDaerah, termasuk jumlah investasi.
Pasal 53
(1) Pemegang Izin Panas Bumi wajib memberikan bonus produksi kepada Pemerintah
Daerah yang wilayahadministratifnya meliputi Wilayah Kerja yang bersangkutan
berdasarkan persentase tertentu daripendapatan kotor sejak unit pertama berproduksi
secara komersial.
 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Wilayah Kerja yang bersangkutan" adalah Wilayah
Kerja yang terdapat kegiatanpengusahaan Panas Bumi.
(2) Ketentuan mengenai besaran dan tata cara pemberian bonus produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Ayat (2) Dalam ketentuan lebih lanjut diatur mengenai penetapan besaran, tata cara
penyetoran dan bagi hasil, serta tata cara penghitungan bonus produksi.Besaran bonus
produksi ditetapkan antara lain dengan mempertimbangkan keekonomiannya.
Pasal 54 ayat (4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas:
a. iuran tetap;
 Huruf aYang dimaksud dengan "iuran tetap" adalah iuran yang dibayarkan kepada
negara sebagai imbalanatas kesempatan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu
Wilayah Kerja.
b. iuran produksi; dan
 Huruf b Yang dimaksud dengan "iuran produksi" adalah iuran yang dibayarkan
kepada negara atas hasilyang diperoleh dari pengusahaan Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Tidak Langsung.
c. pungutan negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Huruf c Pungutan negara lainnya, antara lain, berupa jasa pendidikan dan pelatihan
serta jasa penelitiandan pengembangan.
Pasal 55
Pemerintah dapat memberikan kemudahan fiskal dan nonfiskal kepada Badan Usaha untuk
mengembangkandan memanfaatkan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
 Kemudahan fiskal dapat berupa fasilitas pajak dan/atau bea masuk.Kemudahan nonfiskal
dapat berupa pemberian jaminan kelayakan usaha dari Pemerintah dan perlakuan
khususuntuk pengembangan Panas Bumi.
Pasal 58
Ketentuan mengenai penyerahan, pengelolaan, dan pemanfaatan data dan informasi diatur dalam
PeraturanPemerintah.

 Dalam ketentuan lebih lanjut diatur mengenai data dan informasi yang tidak boleh
dimiliki, disimpan, dan/ataudiserahkan serta dialihkan kepada pihak lain tanpa izin
Pemerintah.
Pasal 62
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) paling sedikit
meliputi:
a. keselamatan dan kesehatan kerja; dan
b. lindungan lingkungan.
 Huruf b Yang dimaksud dengan "lindungan lingkungan" adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
menanggulangi kerusakan di lingkungan kerja PanasBumi untuk Pemanfaatan
Langsung.

Pasal 63
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 paling sedikit meliputi:
a. Eksplorasi;
b. Studi Kelayakan;
c. Eksploitasi dan pemanfaatan;
d. keuangan;
e. pengolahan data Panas Bumi;
f. keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lindungan lingkungan dan reklamasi;
 Huruf g Yang dimaksud dengan "pengelolaan lindungan lingkungan" adalah
upaya sistematis dan terpadu untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
penanganan kerusakan di lingkungan kerja Panas Bumi yang disebabkan oleh
kegiatan usaha Panas Bumi, antara lain pembukaan lahan, pekerjaan
infrastruktur, pekerjaan konstruksi, dan kegiatan pengeboran.Yang dimaksud
dengan "reklamasi" adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaanlahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha Panas Bumi agar
dapat berfungsi dan berdaya gunasesuai dengan peruntukannya.
m. kegiatan lain di bidang pengusahaan Panas Bumi sepanjang menyangkut kepentingan
umum.
 Huruf m Kegiatan lain di bidang pengusahaan Panas Bumi antara lain berupa
pembuatan infrastruktur jalan, irigasi, dan pembibitan pohon untuk
penghijauan kembali, serta kegiatan yang terkait dengan tanggungjawab
sosial perusahaan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 86
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas
Bumi (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4327), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
 Maksud dari pasal 86 diatas adalah bahwasannya pada saat UU No. 21 Tahun 2014
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari UU No 27 Tahun 2003 tentang panas bumi dinyatakan masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU No. 21 Tahun
2014.
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang
Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4327), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 Maksud dari pasl 87 diatas adalah bahwa setelah UU No. 21 Tahun 2014 berlaku
maka UU No 27 Tahun 2013 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Pernyataan ini
sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yakni asas Lex Posteriori
Derogat Legi Priori Undang-undang yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila
ada undang-undang baru yang mengatur hal yang sama.
Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
 Maksud dari pasal 88 diatas adalah bahwa UU No. 21 tahun 2014 mulai berlaku
pada tanggal diundankan. . Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia. Dan setelah setelah diundangkan dalam lembaran
negara maka Setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut hal
ini sesuai dengan asas peraturan perundang-unndangan yakni asas Asas Fictie
Hukum

Anda mungkin juga menyukai