Oleh:
Roli Pebrianto, S.H
I. PENGANTAR
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang
mendeka (independent and impartial), sebagaimana Mahkamah Agung dan pengadilan yang
berada di bawahnya, yang tugas pokoknya menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Salah satu kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan
terkahir yang putusannya bersifat final terhadap pengujian konstitusionalitas undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disingkat UUD NRI Tahun 1945). Selah satu perkara pengujian konstitusionalitas undang-
undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 ialah sebagaimana dalam Putusan nomor: 46/PUU-
XIV/2016, tanggal 14 Desember 2017.
Putusan MK tersebut mengundang berbagai reaksi, terutama dikalangan para ahli hukum
sebagaimana terlihat dalam keterangan ahlinya yang didengar dalam perkara tersebut. Hal ini
disebabkan oleh sifat dari setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat
seluruh penyelenggara negara dan masyarakat. Dikatakan final karena tidak
ada upaya hukum yang tersedia atas putusan tersebut.
Dengan demikian, setelah putusan ini diucapkan, langsung berkekuatan hukum tetap dan
dapat dikatakan telah menjadi yurisprudensi. Selain itu, menurut Ahmad Falil Sumadi,
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian konstitusionalitas undnag-undang berlaku
mengikat secara hukum (erga omnes) sebagaimana Undang-Undang, sehingga dalam
perspektif ini fungsi Mahkamah Konstitusi disebut legislator yang bersifat negatif (negative
legislator).1
1
Ahmad Fadlil Sumadi, Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstirusi, (Malang: Setara Press,
2013), hlm. 132.
Putusan Mahkamah Konstitusi juga sarat dengan sengketa akademik keilmuan. Setiap
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review), tidak cukup
apabila hanya dipandang dari kacamata Hukum Tata Negara atau Ilmu Perundang-undangan,
tetapi sangat tergantung pula dari substansi undang-undang yang sedang diujimaterilkan.
Apabila uji materil menyangkut undang-undang pidana, maka pertimbangan hukum juga
harus mengacu pada teori dan doktrin yang berkembang dalam hukum pidana. Selain itu,
seperti pada umumnya suatu putusan pengadilan, putusan Mahkamah Konstitusi juga harus
diputuskan melalui suatu proses dan prosedur acara yang layak (due process), karena dari
sinilah dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.
Selanjutnya, dalam putusan a quo, pada amar putusannya menyatakan bahwa menolak
permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Hal ini mengundang berbagai opini dalam
masyarakat bahwa Putusan MK a quo melegalkan perbuatan Zina dan LGBT, padahal tidak
sepenuhnya benar opini tersebut. Untuk itu, Anator akan menguraikannya dalam bentuk legal
annotatation sebagai berikut.
Para Pemohon mengajukan uji materil atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
terhadap UUD NRI Tahun 1945. Dalam permohonannya, didalilkan oleh Para Pemohon
bahwa Pasal 284 yang mengatur tentang perzinaan, dihendaki agar pasal tersebut mencakup
1
seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam
suatu ikatan perkawinan yang sah (yang sebelumnya hanya sebatas perkawinan yang sah).
Kemudian, Pasal 285 yang mengatur tentang pemerkosaan, dihendaki oleh para pemohon
agar mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh yang tidak hanya
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan tetapi juga dilakukan oleh perempuan terhadap
laki-laki.
Sedangkan untuk perbuatan cabul sebagaimana diatur dalam Pasal 292, akan menjadi
mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang
sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur (sebelumnya hanya terbatas pada anak di
bawah umur. Dengan adanya permohonan ini, mereka meminta menghapus batasan usia).
Kemudian dalam amar putusannya, Mahkamah menolak seluruh permohonan para pemohon,
dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Yang dimaksud dengan “hak konstitusional”
adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.” Dengan
demikian, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara Pengujian Undang-
Undang, yaitu (i) terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon, dan (ii)
adanya hak dan/atau Hak Konstitusional dari para Pemohon yang dirugikan dengan
berlakunya suatu Undang-Undang.
Kemudian, Para Pemohon dalam permohonan ini berkualifikasi sebagai perorangan
Warga Negara Indonesia (WNI). Kedua, Kerugian Konstitusional Para Pemohon. Mengenai
parameter kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang
2
kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus
memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor
011/PUU-V/2007, yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon tersebut dianggap
oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3
Selanjutnya, para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia (WNI) merasa
dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan
sebagai pribadi, keluarga dan masyarakat atas berlakunya Pasal 284 ayat (1) ayat (2) ayat (3)
ayat (4) dan ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. Hal ini dikarenakan pasal pasal
tersebut isinya tidak lagi dapat menjangkau kejahatan yang terjadi sekarang ini. Sehingga
menimbulkan kerugian nyata bagi para Pemohon yaitu tidak adanya rasa aman dari kejahatan
kejahatan tersebut, terbukti dari tidak dapatnya ditindak oleh aparat hukum kejahatan
kejahatan yang berkembang sekarang ini sebagai akibat tidak terjangkau oleh ketiga pasal
tersebut;
Para Pemohon merasakan adanya keresahan masyarakat atas maraknya perilaku seks
bebas di luar nikah, kumpul kebo, prostitusi, perkosaan dan cabul sesama jenis yang
semakin marak terjadi di Indonesia. Perilaku amoral demikian dewasa ini makin marak
terjadi Indonesia namun tidak dapat ditindak secara hukum dikarenakan pasal-pasal a quo
pada khususnya dan Pasal-pasal dalam KUHP pada umumnya tidak dapat menjangkau
penindakan kasus-kasus seperti zina di luar pernikahan, perkosaan kepada laki- laki, maupun
cabul sesama jenis bagi pelaku yang sama-sama dewasa maupun dilakukan oleh anak-anak
kepada anak-anak;
4
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan
ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan
selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum
putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
b. Pasal 285
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman ekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
c. Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
5
c. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.”
d. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
(1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu ...”
(2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia…..”
e. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
f. Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945:
(1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
(2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
g. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”
Berdasarkan putusan a quo, terdapat dua alasan utama para pemohon
mengajukan judicial review ke MK, yaitu.
1. Alasan ketahanan keluarga; dan
2. Perlindungan terhadap nilai-nilai agama di Indonesia.
6
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009),
Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan
untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660 Tahun 1958, selanjutnya
disebut KUHP) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a quo.”
Dengan demikian, maka menurut Anator, berdasarkan ketentuan yang telah diuraikan
dalam pertimbangan Mahkamah diatas, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan para pemohon a quo.
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Yang dimaksud dengan “hak konstitusional”
adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.” Dengan
demikian, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Para
7
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara Pengujian Undang-
Undang, yaitu (i) terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon, dan (ii)
adanya hak dan/atau Hak Konstitusional dari para Pemohon yang dirugikan dengan
berlakunya suatu Undang-Undang.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Mahkamah dalam pertimbangannya pada
halaman 426-427 menyatakan bahwa:
“...Mahkamah berpendapat bahwa terlepas dari persoalan terbukti tidaknya dalil para
Pemohon perihal inkonstitusionalnya pasal-pasal KUHP yang dimohonkan pengujian,
dalam kedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan sepanjang
berkenaan dengan hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, sebagaimana
diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, serta hak untuk memajukan diri dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya, para Pemohon telah secara spesifik dan jelas menerangkan anggapannya
tentang kerugian hak-hak konstitusionalnya dimaksud dan hubungan kausalnya
dengan berlakunya pasal-pasal KUHP yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu,
para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
Permohonan a quo.”
Dengan demikian, maka para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk melakukan pengujian Pasal-Pasal a quo.
Menurut Anator, pendapat para hakim yang dissenting ada benarnya, namun jika
dikembalikan kepada dasar filosofis pembentukan MK, maka MK hanya bersifat sebagai
negatif legislator. MK tidak membuat ketentuan baru, karena hal ini adalah domein
pembentuk UU. MK hanya dapat memberi makna dari ketentuan undang-undang yang
dijuimaterilkan.
Dengan kata lain, menciptakan atau membuat norma baru adalah kewenangan DPR dan
pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MK adalah menguji
jika undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD. Jadi, MK sama sekali bukan
membolehkan LGBT dan kumpul kebo. MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas
KUHP. Karena hal demikian akan menciptakan norma baru dan ini bukan kewenangan MK.
Upaya hukum yang dapat dilakukan jika ingin melarang keberadaan LBGT dan kumpul kebo
adalah melalui legislasi DPR dan Pemerintah.
9
Filsafat utilitarian menekankan bahwa elemen dasar penetapan pidana dalam filsafat ini
adalah bertujuan untuk mencegah (prevention).2 Dengan demikian, adanya pergerseran
filosofis pemidanaan dari filsafat retributivisme menjadi filsafat utilitarian, maka secara
otomatis teori pemidanaan yang digunakan akan bergeser dari teori pemidanaan absolut yang
menjadi turunan dari filsafat retributivisme menjadi pemidanaan relatif yang menjadi turunan
dari filsafat utilitarian.
Tindak pidana perkosaan didalam KUHP termasuk ke dalam kejahatan kesusilaan
yang diatur dalam Buku II KUHP. Menurut KUHP, kejahatan ini hanya bisa dilakukan oleh
laki-laki sehingga sangat terbatas. Aturan ini bersifat diskriminasi positif terhadap
perempuan. Artinya aturan ini dibentuk bertujuan untuk melindungi perempuan. Namun,
pada zaman ini kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja.
Frasa ”perempuan yang bukan isterinya‟ dalam permohonan uji materiil dianggap
bertentangan dengan UUD karena membatasi perkosaan hanya bisa terjadi terhadap seorang
wanita saja. Jika frasa tersebut dihilangkan tentu pelakunya ataupun korbannya lebih umum.
Limitasi dari pasal ini yaitu pelaku hanya dari laki- laki dan korbannya seorang perempuan.
Pemohon mengharapkan pasal ini juga berlaku untuk perempuan memperkosa laki- laki
ataupun pemerkosaan sesama jenis serta pemerkosaan dalam ikatan perkawinan.
Perkembangan zaman ini, bukan tidak mungkin kejadian tersebut terjadi. Dengan
menghilangkan frasa tersebut, pelaku dan korban tidak lagi dibatasi oleh jenis kelamin dan
ikatan perkawinan.
Dalam permohonan para pemohon, mengajukan hilangnya batas umur dalam pasal
292 KUHP. Ada frasa “dewasa” dan “belum dewasa”yang menggambarkan dengan jelas
terhadap limitasi umur sehingga Pemohon mengharapkan baik korban ataupun pelaku tidak
memandang umur dapat dijerat dengan pasal tersebut. Penafsiran cabul yang berbeda juga
mempengaruhi adanya perbedaan tafsir.
KUHP memberikan tafsir cabul adalah seperti apa yang ditafsirkan oleh Amerika
yaitu kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut digunakan
sebagai stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang dalam posisi memiliki kekuatan
atau kendali terhadap korban. Dari pengertian tersebut tentu saja limitasi yang diberikan oleh
KUHP benar, namun tidak demikian jika arti kata cabul ditafsirkan lain oleh masyarakat di
Indonesia. Yaitu sebagai perbuatan tidak senonoh yang melanggar kesusilaan.
2
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. (Bandung :Alumni, 2010), hlm. 83.
10
IX. KESIMPULAN
Isu yang berkembang, Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 ini dimaknai sebagai
putusan yang membolehkan bahkan mengesahkan praktik LGBT dan kumpul kebo, di
Indonesia. Banyak kalangan beranggapan MK telah melanggar nilai-nilai agama, yang secara
tidak langsung merupakan ajakan agar bersama-sama menyalahkan atau bahkan memusuhi
MK. Ada yang tidak begitu saja menerima informasi ini sebagai suatu kebenaran, tetapi tidak
sedikit pula yang ‘ikut-ikutan’ menyalahkan MK. Harus dipahami bersama bahwa sebagai
negara hukum, semua lembaga negara di Indonesia (kecuali dalam keadaan darurat) harus
tunduk dan patuh kepada ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, baik UUD
maupun UU. Terutama dalam hal kewenangan, semua lembaga negara dibatasi
kewenangannya oleh UUD dan UU. Artinya tidak boleh bertindak di luar batas
kewenangannya. Begitu kira-kira prinsip negara hukum itu dijalankan.
Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menurut UUD 1945 dan UU
(setidaknya UU No 23 Tahun 2004 tentang MK) memiliki kewenangan menguji undang-
undang terhadap UUD 1945. Artinya, MK berwenang memutus apakah suatu undang-undang
(yang dibuat DPR dan pemerintah) bertentangan dengan UUD 1945 ataukah tidak.
Implikasinya, UU yang dianggap bertentangan dengan UUD akan dibatalkan. Sedang yang
tidak bertentangan akan tetap berlaku. Inilah landasan kewenangan MK dalam menguji
undang-undang terhadap UUD.
Jika dilihat lebih jauh dalam permohonan Nomor 46/PUU-XIV/2016, para pemohon
meminta agar MK mengkriminalisasi (menyatakan sebagai perbuatan pidana) LGBT dan
kumpul kebo. Bahkan, para pemohon tidak lagi sekadar meminta agar MK memperluas ruang
lingkup perbuatan pidana atau tindakan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan
pidana/tindak pidana. Pemohon juga meminta MK mengubah sejumlah hal pokok atau
prinsip dalam hukum pidana, bahkan merumuskan tindak pidana baru.
Dengan permohonan demikian secara implisit pemohon memohon agar MK mengubah
rumusan delik yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP yang dimohonkan pengujian. Sehingga
dengan sendirinya bukan hanya akan mengubah kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana
tetapi juga kualifikasi subjek atau orang yang dapat diancam pidana karena melakukan
perbuatan tersebut. Pada intinya, para pemohon meminta agar MK menyatakan LGBT dan
kumpul kebo adalah perbuatan pidana karena dalam KUHPhal demikian tidak diatur. MK
menolak permohonan pemohon karena hal tersebut bukan kewenangan MK.
Menciptakan atau membuat norma baru adalah kewenangan DPR dan pemerintah
sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MK adalah menguji jika
11
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD. Jadi, MK sama sekali bukan
membolehkan LGBT dan kumpul kebo. MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas
KUHP. Karena hal demikian akan menciptakan norma baru dan ini bukan kewenangan MK.
Upaya hukum yang dapat dilakukan jika ingin melarang keberadaan LBGT dan kumpul kebo
adalah melalui legislasi DPR dan Pemerintah.
Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Fauzan Azim dengan mengutip pendapat
Hans Kelsen yang menyatakan bahwa fungsi peradilan konstitusi (MK) sering dipandang
sebagai negatif legislator (negative legislature) yang kerjanya adalah membatalkan undang-
undang. Fungsi tersebut berbeda dengan keberadaan DPR sebagai positif legislor (positive
legislature) yang kerjanya membuat dan menetapkan undang-undang.3 Oleh karena itu MK
mengembalikan kewenangan pembentukan UU kepada pembentuk UU yakni Presiden
bersama dengan DPR.
Kemudian, KUHP Indonesia yang merupakan warisan kolonial sehingga tidak sesuai
dengan iklim masyarakat di Indonesia sehingga harus segera diperbarui. Upaya pembaruan
KUHP secara universal telah dilaksanakan namun sampai saat ini belum mencapai hasil.
Permohonan uji materiil Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285
dan Pasal 292 KUHP merupakan usaha pembaruan secara parsial dan sebagai bentuk bahwa
KUHP sudah tidak bisa lagi menjawab permasalahan yang ada. Pasal- pasal tersebut
merupakan tuntutan atas kekosongan hukum yang ada di Indonesia. Namun, permasalahan
yang jadi latar belakang diujinya pasal-pasal tersebut tidak bisa terselesaikan dengan cara
yudicial review.
3
Muhammad Fauzan Azim dalam Dri Utari Chistina R dan Ismail Hasani, Masa Depan Mahkamah
Konstitusi; Nasakah Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak konstitusional Warga, (Jakarta:
Pustaka Masyarakat Setara, 2013), hlm. 309.
12