Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah CARA atau Chronic Aspecific Respiratory Affections mencangkup
semua penyakit saluran napas yang bercirikan penyumbatan (obstruksi) bronchi
disertai pengembangan mukosa dan sekreesi dahak berlebihan. Penyakit-
penyakit tersebut meliputi berbagai bentuk penyakit beserta peralihannya,
yakni asma,bronchitis kronis dan enfisema paru atau PPOK.
PPOK menempati urutan ketiga dari kematian penduduk di negri Belanda
(setelah Penyakit Jantung dan Pembuluh (PJP) dan kanker). Juga secara global
mortalitas akibat gangguan ini meningkat, sedangkan kematian karena penyakit
kardiovaskuler menurun. Menurunkan angka kematian dari COPD/PPOK
merupakan salah satu tujuan dari “Global initiative for chronic obstructive lung
disease (GOLD) “ suau organisasi dari WHO dan US National heart, Lung and
Blood Institute.
Berkaitan dengan farmakoterapi bagi cara pemilihan terapi yang baik salah
satunya adalah tatalaksana terapi sesuai alogaritma terapi dengan
meminimalkan efek samping. Sehingga untuk mengetahui pemilihan
tatalaksana terapi yang sesuai diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai
penyakit PPOK ini baik itu meliputi etiologi, patofisiologi, klasifikasi, gejala
dan tanda serta alogaritma terapinya.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu
1. Apa yang dimaksud dengan PPOK, etiologi dan patofisiologinya?
2. Bagaimana pengklasifikasian PPOK, gejala dan tanda PPOK?
3. Bagaimana tatalaksana terapi dan KIE PPOK?
4. Bagaimana pengkajian salah satu kasus pasien PPOK?
C. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dalam pembuatan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan PPOK, etiologi dan
patofisiologidari PPOK
2. Untuk mengetahui pengklasifikasian PPOK, gejala dan tanda PPOK
3. Untuk mengetahui tatalaksana terapi dan KIE PPOK
4. Untuk mengetahui pengkajian salah satu kasus pasien PPOK
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Defenisi
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update tahun 2005,
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakteristir oleh adanya
obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya. Sumbatan
aliran udara ini umunya bersifat progresif dan berkaitan dengan
responinflamasi abnormal paruparu terhadap partikel atau gas yang berbahaya.
Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah PPOM
(Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK terdiri dari Bronchitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronchitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mucus berlebihan
kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk
yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun
untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paruparu
yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai keujung
bronkiole yang abnormal dan permanent, disertai dengan kerusakan dinding
alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua gangguan ini, dengan salah
satunya dominan.

B. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang
dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30
kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan
merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20%
perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan
banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok
yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua
penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak
merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok
tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar
daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar
rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi
dari dalam rumah misalnya asap dapur.
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan
rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian
inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan
frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini
meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :
1. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar
dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin.
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah
wanita yang merokok.
2. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK,misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin)
atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis.
Orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat
badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
3. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema yang disebabkan
oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif
karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor
protektif

C. Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan danya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar salurannafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai berat sakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan
antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan
keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat
menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan
sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar,
aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik
neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4,tumuor necrosis factor
(TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 dan reactive oxygen
species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan
protease yang akanmerusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul
kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan
menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti
proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapatkeseimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil
akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen
peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima
elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero denganhalida akan diubah
menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh radikal bebas yang berasal dari
polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus
lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah
perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol
yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan
oleh leukosit, polusi dan asap rokok.

D. Gejala Dan Tanda


Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai
berikut :
1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat
terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam
hari.
2. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika
bangun tidur.
3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak
ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan
ukuran sesak napas sesuai skala sesak .
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1
tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa
menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Tabel skala sesak

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan
kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai
terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk
anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Inspeksi, yaitu :
a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b. Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantunafas
2. Palpasi , yaitu sel iga melebar
3. Perkusi , yaitu hipersonor
4. Auskultasi , yaitu :
a. Fremitus melemah
b. Suara nafas vesikuler melemah atau normal
c. Ekspirasi memanjang
d. Bunyi jantung menjauh
e. Terdapat mengi waktu bernapas biasa /ekspirasi paksa
E. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala Menurut GOLD
2010, yaitu :
Tingka Nila FEV1 dan Gejala
t
FEV1/FVC < 70% FEV1 ≥ 80% dan umumnya, tapi tidak
I selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada
Ringan tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa
bahwa paru-parunya bermasalah.
FEV1/FVC < 70%; 50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya
II sedang mulai progresif/memburuk, dengan nafas pendek-
pendek. FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi
eksaserbasi berulang yang mulai mempengaruhi kualitas
hidup pasien. Pada tahap ini pasien mulai mencari. Berat
pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan
penyakit.

III FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus sangat
kegagalan respirasi kronis.
IV FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan
atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Pada tahap
ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin
mengancam jiwa

Keterangan :
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV dan FVC,FEV1 (Forced
Expiratory Volume in 1 s) adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan
secara paksa dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV 1 pada
pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC (Forced
Vital Capacity).adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat
hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
F. Tatalaksana Terapi
1. Tujuan penatalaksanaan :
a. Mengurangi gejala
b. Mencegah eksaserbasi berulang
c. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
d. Meningkatkan kualiti hidup penderita
2. Terapi Farmakologi
a. Terapi Menggunakan Obat-Obatan
1) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
2) Macam - macam bronkodilator :
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali
perhari ).
b) Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.

d) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
3) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pasca bronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.
4) Antibiotika
Antibiotik hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang dapat
digunakan :
a) Lini I : amoksisilin, makrolid
b) Lini II: amoksisilin dan asamklavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru
Untuk Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih :
a) Amoksilin dan klavulanat
b) Sefalosporin generasi II & III injeksi
c) Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
d) Aminoglikose per injeksi
e) Kuinolon per injeksi
f) Sefalosporin generasi IV per injeksi
5) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang
rutin.
6) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin
7) Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
Tabel pemilihan terapi PPOK disertai gejala
Gejala Golongan Obat dan Kemasan Dosis
Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Inhalasi kerja bila perlu Agonis β2
(pada waktu aktiviti) cepat
Antikolinergik Ipratropium 2 – 4
semprot bromida 20 μgr 3 – 4 x/hari
Gejala terus menerus Inhalasi Fenoterol 2 – 4 semprot
Agonis β2 kerja 100 μgr/semprot 3 – 4
x/hari cepat. Salbutamol 2 – 4 semprot
100 μgr/semprot 3 – 4 x/hari.

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.
a. Manfaat oksigen yaitu :
1) Mengurangi sesak dan vasokonstriksi
2) Mengurangi hipertensi pulmonal
3) Mengurangi hematocrit
4) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
5) Meningkatkan kualiti hidup
b. Macam terapi oksigen :
1) Pemberian oksigen jangka panjang
2) Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
3) Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4) Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
c. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
1) Memperbaiki fungsi paru
2) Memperbaiki mekanik paru
3) Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
4) Memperbaiki kualiti hidup
d. Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
1) Bulektomi
2) Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey
(LVRS)
3) Transplantasi paru
e. Terapi Non Farmakologi
1) Menghentikan kebiasaan merokok
2) Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik
dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
a) Ventilasi mekanik dengan intubasi, Ventilasi mekanik dengan
intubasi Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan
ventilasi mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai
berikut : gagal napas yang pertama kali, Perburukan yang belum
lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
Frekuensi napas > 35 permenit,- Hipoksemia yang mengancam jiwa
(Pao2 < 40 mmHg), asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2
< 60 mmHg), Henti napas,komplikasi kardiovaskuler dan
komplikasi lain serta telah gagal dalam penggunaan NIPPV.
b) Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada PPOK dengan
gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
1) Perbaikan nutrisi
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis
tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada
PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat
metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori
yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi
dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan
pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa
tinggi lemak rendah karbohidrat, protein, dan elektrolit.
2) Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang
telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai simptom
pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan
kualiti hidup yang menurun. Program rehabilitiasi terdiri dari 3
komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan.
f. Algoritme penanganan PPOK
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,
sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas: penatalaksanaan pada
keadaan stabil dan penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1) Algoritme penatalaksanaan pada keadaan stabil
Kriteria PPOK stabil adalah aktivitas terbatas tidak
disertai sesak
2) Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal
napas kronik
3) Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu
hasil analisa gasdarah menunjukkan PCO2 < 45
mmHg dan PO2 > 60 mmHg
4) Dahak jernih tidak berwarna dan tidak ada
penggunaan bronkodilator tambahan
5) Algoritme penatalaksanaan pada eksaserbasi akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat
disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan
atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
a) Sesak bertambah
b) Produksi sputum meningkat
c) Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a) Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b) Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c) Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab
lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan
frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline.

G. KIE (Konseling,Informasi dan Edukasi)


Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit
gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan
di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang
khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat
mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun
dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara
pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut:
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat – obatan
a.Macam obat dan jenisnya
b. Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
c.Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waku tertentu atau
kalau perlu saja)
d.Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
a.Kapan oksigen harus digunakan
b.Berapa dosisnya
c.Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya tanda eksaserbasi :
a.Batuk atau sesak bertambah
b.Sputum bertambah
c.Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan
penyakit kronik progresif yang ireversibel.
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
1. Ringan
a.Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
b.Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antaralain berhenti merokok
c.Segera berobat bila timbul gejala
2. Sedang
a.Menggunakan obat dengan tepat
b.Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
c.Program latihan fisik dan pernapasan
3. Berat
a.Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
b.Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
c.Penggunaan oksigen di rumah
8. KIE
a.Hindari penyebab seperti berhenti merokok
b.Gunakan masker untuk menghindari polusi udara saat berada di luar rumah
c.Kurangi mengonsumsi natrium
d.Hindari aktivitas berat
e.Istrahat yang teratur
f.Memakai pakaian yang longgar
g.Memberikan informasi mengenai gejala ekserbansi
h.Memberikan informasi efek samping dan cara penggunaan obat
9. Monitoring
a.Perlu dilakukan tes fungsi paru secara periodic untuk mengetahui pengaruh
terapi.
b.Hentikan terapi oksigen jika kadar paO2 kembali normal
c.Pantau efek samping dari salbutamol : takikardia, tremor, nervous
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
yaitu :
1. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. Etiologi PPOK meliputi faktor paparan lingkungan (merokok,
pekerjaan dan polusi udara) dan faktor resiko dari host (usia, jenis kelamin,
gangguan fungsi paru dan prediposisi genetik). Patofisiologi PPOK yaitu
inhalasi bahan berbahaya sehingga timbul inflamasi sehingga terjadi
kerusakan jaringan paru sebabkan penyempitan saluran napas dan fibrosis,
destruksi parenkim dan hipersekresi mukus.
2. Gejala PPOK meliputi batu kronik, berdahak kronik dan sesak napas.
Sedangkan tanda fisiknya ditemukan hal-hal seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Klasifikasi PPOK berdasarkan nilai FEV 1 dan gejala
yang ditimbulkan meliputi tingkat 1 ringan, tingkat2 sedang, tingkat 3 berat
dan tingkat 4 sangat berat.
3. Tatalaksana terapi PPOK meliputi terapi farmakologi yaitu menggunakan
obat-obatan (bronkodilator,antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, mukolitik
dan antitusif), terapi oksigen dan terapi pembedahan. Dan terapi non
farmakologi meliputi hentikan kebiasaan merokok, ventilasi mekanik,
perbaikan nutrisi dan rehabilitasi PPOK. Sedangkan KIE PPOK meliputi
hal-hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK yang
diberikan sejak diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan yang diberikan di poliklinik, ruang rawat dan di rumah. KIE
yang dimaksud berdasarkan skala priority yaitu, penggunaan obat-obatan,
penggunaan oksigen dan lain-lain.
4. Kasus pasien PPOK dalam makalah ini sudah mendapatkan obat yang sesuai
indikasi dengan penambahan terapi nonfarmakologi dan KIE serta
monitoring selama terapi kepada pasien tersebut.
B. Saran
Saran kami sebaiknya dalam melakukan terapi farmakologi bagi pasien
PPOK perlu diperhatikan algoritma terapinya dan kondisi fisiologi pasien agar
diperoleh efek yang terapi yang tepat, selain itu interaksi mungkin terjadi perlu
juga diketahui pada golongan obat-obatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ikawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik


( PPOK ) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.

Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008, ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan,
Jakarta.

Tjay, T.H dan Kirana, R., 2007, Obat-Obat Penting edisi Keenam, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
MAKALAH ILMU PENYAKIT
TENTANG
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

DISUSUN OLEH :
HENI WARDANA

XI KEPERAWATAN

SMK KESEHATAN JAMI'ATUL MUTTAQIN


SAMARINDA
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah
Tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronis” dengan sebaik-baiknya. Adapun
maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas.
Dalam penyusunan makalah ini,penulis telah mengalami berbagai hal baik
suka maupun duka. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan
selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta
bimbingan dari berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas terselesainya makalah
ini, maka dengan tulus penulis sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
berhubungan dengan judul makalah ini.

Samarinda, 20 Januari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….….... i
KATA PENGANTAR………………………………………………….………..ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….…
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………...1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………….2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Definisi.................................................................................................. 3
B. Etiologi.................................................................................................. 3
C. Patofisiologi.......................................................................................... 5
D. Gejala dan Tanda…………………………………………………….. 6
E. Klasifikasi……………………………………………………………. 8
F. Tatalaksana Terapi…………………………………………………… 9
G. KIE………………………………………………………………….. 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................18
B. Saran…………………………………………………………………. 19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
20

Anda mungkin juga menyukai