disusun oleh
Kelompok 12
JAKARTA
2020
Bab 1
Pendahuluan
⦁ Latar belakang
Agama islam yang bawa oleh nabi merupakan Agama yang menyempurnkan agama sebelumya
sehingga islam dijadikan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. ajaran islam dibagi menjadi tiga
aspek. pertama akidah yakni ajaran tentang keyakinan kita kepada sang pencipta alam. kedua : ibadah
kepada Allah yang telah menciptkan kita. karena sejatinya manusia diciptakan tidak lain hanya untuk
beribadah. ketiga. muamalah yaitu hubungan transaksi mahluk hidup dengan mahluk lainya karena
kita adalah mahluk sosial sehingga butuh pedoman.
Puasa merupakan kewajiban yang dilakukan seluruh umat muslim ketika bulan Ramadhan.
Puasa/shiyam menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah, puasa
adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual suami istri dan segala yang membatalkan
sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena Allah SWT.
Pelaksanaan puasa Ramadhan dimulai pada tanggal 1 bulan Ramadhan dan diakhiri pada tanggal
terakhir bulan Ramadhan saat 29 hari atau 30 hari, tergantung pada kondisi bulan tersebut. Dasar
keharusan niat berpuasa karena Allah, seperti dalam firman Allah SWT yang artinya: “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
Selain itu, ada pula hadis dari Nabi Muhammad SAW tentang anjuran membaca niat sebelum
beribadah: “Dari Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya semua
perbuatan ibadah harus dengan niat, dan setiap orang tergantung kepada niatnya …” [Ditakhrijkan
oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman]. Maka berangkat dari latar tersebutlah pamakalah mencoba untuk
menjelas yang nantinya menjadi amal sholeh buat kita. Aaminn
B. Rumusan Masalah
4. bagaimana pendapat ulama tentang hukum puasa bagi yang sedang hamil dan menyusui ?
C. Tujuan
4.untuk mengetahui pendapat ulama tentang hukum puasa bagi yang sedang hamil dan menyusui
Bab 2
Pembahasan
A .pengertian puasa
Secara bahasa, puasa atau shaum dalam bahasa Arabnya berarti menahan diri dari segala sesuatu. Jadi,
puasa itu ialah menahan diri dari segala perkara seperti makanan, minuman, berbicara, menahan nafsu
dan syahwat.
Sedangkan secara istilah, puasa yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa
yang dimulai sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Dalam Al-qur’an surat Al-Baqoroh ayat 187
menerangkan tentang kewajiban berpuasa.
Ibadah puasa merupakan sesuatu yang diwajibkan bagi orang beriman, tidak lain untuk membuat
takwa pada diri mereka ( orang-orang yang beriman ) selalu meningkat. Sebagai mana firman Allah
SWT .dalam surah Al-baqarah ayat 187 yang berbunyi
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kewajiban berpuasa dalam kandungan ayat ini tanpa menyebut
siapa yang mewajibkannya. Oleh karenanya, seandainya bukan Allah SWT yang mewajibkan untuk
berpuasa, maka manusia sendiri akan melaksanakannya setelah mengetahui besarnya manfaat dari
puasa.
Bahkan, puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadan disebutkan mampu memberikan kesucian
jiwa, keikhlasan, ketulusan, hingga berfungsi sebagai pengawasan diri dan media meningkatkan
ketakwaan kepada Allah SWT.
Selain surat al-Baqarah ayat 183, pada ayat-ayat selanjutnya yakni ayat 184, 185 dan 187 juga
ditemukan tentang penjelasan mengenai ketentuan ibadah puasa pada bulan ramadan. Sebagaimana
dalam surat al-Baqarah ayat 185 menyatakan "barang siapa di antara kamu mengetahui (masuknya)
bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya, dan barang siapa sakit atau sedang dalam perjalanan
(sehingga tak berpuasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak berpuasa untuk diganti)."
Yang dimaksud dengan "hari-hari yang lain" itu merupakan penegasan terhadap hari-hari di mana
puasa diwajibkan, yakni pada bulan Ramadhan.
Oleh sebab itu, muslim yang meninggalkan puasa Ramadan wajib menggantinya di bulan yang lain
atau membayar fidyah kepada orang miskin. Sedangkan pada ayat 187, meskipun ada larangan untuk
melakukan hubungan suami istri di saat berpuasa pada bulan Ramadan, Allah SWT memberi
kelonggaran dengan berfirman: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa, bercampur
dengan isteri-isteri kamu." Selain itu, pada surat al-Baqarah ayat 187 disebutkan pula mengenai waktu
pelaksanaan puasa, yakni dimulai dari terbitnya fajar hingga datangnya waktu malam atau
terbenamnya matahari.
B. Rukun Puasa
1 .Niat Puasa
Niat dilakukan untuk membedakan amalan yang dilakukan. Sebelum berpuasa, baik sunah atau wajib,
kamu perlu mengucapkan niat berpuasa.
Berdasarkan hadis dari Haffashah–Ummul Mukminin, niat puasa wajib yang disebutkan sebelum
dimulainya fajar subuh dapat menyebabkan puasa tidak sah. Namun, untuk puasa sunah, kamu boleh
mengucapkan niat di pagi hari. Dengan catatan dilakukan sebelum waktu zawal atau tergelincirnya
matahari ke barat.
Menurut Khifayah Al-Akhyar, jika niat puasa sunah diucapkan pada malam hari atau sebelum subuh,
maka kamu masih diperbolehkan untuk makan, tidur, atau melakukan hubungan suami istri. Namun,
jika niat puasa wajib dilakukan setelah terbit fajar subuh, maka puasa tersebut dianggap tidak sah.
Niat puasa harus ditegaskan, apakah untuk puasa wajib atau puasa sunah. Jika niat untuk puasa
Ramadhan, maka tidak hanya cukup dengan niatan puasa mutlak.
Niat puasa wajib harus diulang setiap malam sebelum memasuki subuh. Niat tersebut adalah niat
untuk puasa di hari berikutnya. Sebagai contoh, niat puasa wajib yang diucapkan pada Senin malam
merupakan niat untuk berpuasa di hari Selasa.
Beberapa hal yang menyebabkan puasa batal, antara lain muntah disengaja, berhubungan seksual,
datang bulan, nifas, murtad, gila, dan memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh.
Adapun perintah untuk menahan diri jima (berhubungan badan) tercantum pada surah Al Baqarah
ayat 187, yakni: “Dihalalkan untuk kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istrimu.
Istrimu adalah pakaian untukmu dan kamu adalah pakaian untuk istrimu. Allah Swt mengetahui
bahwas kamu tidak bisa menahan nafsu. Karena itu, Allah Swt mengampuni dan memberi maaf
kepadamu. Maka campurilah istrimu dan ikuti apa yang ditetapkan oleh Allah Swt untukmu, dan
makan minumlah hingga terang untukmu benang putih dari benang hitam, yakni fajar. Sempurnakan
puasa hingga malam, janganlah kamu mencampuri istrimu, sedang kamu beritikaf di dalam massjid.
Itulah larangan Allah Swt, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah Awt
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Muntah yang disengaja dapat menyebabkan batalnya puasa. Namun, muntah yang tidak disengaja
karena sakit, tidak membuat puasa batal. Dengan catatan, muntah tidak ditelan kembali.
C. syarat puasa
Islam
Syarat sah puasa yang pertama dan harus diketahui yaitu orang yang beragama Islam.
Pada saat melakukan puasa, syarat sah selanjutnya yaitu berakal sehat. Tentu saja tidak akan sah
puasanya jika dilakukan oleh orang yang kehilangan akalnya yang disebabkan karena gila, ayan, atau
mabuk.
Seseorang yang dianggap sah puasanya apabila orang tersebut telah putus dari darah haid, nifas dan
wiladah atau mandi setelah melahirkan. Sekalipun belum mandi wajib untuk mensucikan diri dari
haid dan nifas, maka puasanya dianggap tidak sah. Tetapi wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan,
akan tetapi tidak wajib mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan.
Melakukan ibadah puasa akan mendapatkan pahala yang berlimpah, namun ada beberapa waktu yang
tidak diterima apabila mengerjakan puasa. waktu tersebut ketika berpuasa pada hari raya idul fitri, dan
hari raya Idul Adha.
- Melihat Hilal
Syarat sah puasa selanjutnya yakni mengetahui awal bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal
secara langsung, atau bisa melalui rukyat (melihat bulan sabit) atau perhitungan. Biasanya, ada suatu
lembaga yang terpercaya dengan alat-alat yang lengkap, sehingga seluruh umat Islam
mengandalkannya.
A. Menurut Mazhab Hanafi, bahwa ibu hamil dan menyusui itu seperti orang yang sakit. Apabila
mereka tidak berpuasa Ramadhan, maka wajib mengqadha puasanya saja dan tidak perlu membayar
fidyah. Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini. Pendapat
tersebut berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 184) .
Menurut Imam As-Sarkhasi (w 483 H) seorang ulama yang bermazhab Hanafi menyebutkan, ketika
wanita hamil atau menyusui itu meninggalkan puasa karena dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau
anaknya, maka boleh tidak berpuasa.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW sesungguhnya Allah SWT memberikan keringanan bagi
orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. Karena kesulitan
yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti
halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa harus
membayar fidyah.
B. Mazhab Maliki membedakan hukum puasa bagi ibu menyusui dan wanita hamil. Bagi ibu hamil
yang tidak berpuasa maka kewajibannya hanya qadha, sedangkan bagi ibu menyusui yang tidak puasa
maka kewajibannya qadha dan membayar fidyah.
Imam Malik (w 179 H) yang merupakan pendiri Mazhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya
Al-Mudawwanah sebagai berikut:
Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan
ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewa ibu susuan bagi bayinya.
Tapi jika sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka,
di mana dia harus mengqadha dan membayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu
satu mud untuk setiap orang miskin.
Kemudian Imam Malik menyebutkan, bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia
telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan. Dalam kitab Al
Mudawanah ini juga dijelaskan mengapa antara wanita hamil dan menyusui dibedakan dalam hal
membayar fidyah. Hal tersebut karena wanita yang hamil dianggap sebagai wanita yang sakit,
sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah atau tidak sakit seperti wanita hamil.
Lalu kemudian kenapa fidyah diwajibkan atas ibu menyusui, karena alasan meninggalkan puasa
adalah karena kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, bukan karena fisik ibu yang tidak
kuat berpuasa. Padahal fisik ibu yang menyusui masih kuat.
C. Mazhab Syafiii
Madzhab Syafii justru membedakan hukumnya tergantung dari sisi mengapa ibu menyusui dan wanita
hamil itu tidak berpuasa. Apakah sebab khawatir terhadap dirinya saja atau khawatir terhadap
bayinya.
Dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w 593 H) disebutkan bahwa yang termasuk orang yang
boleh tidak puasa adalah wanita hamil dan ibu menyusui.
Wanita hamil dan ibu menyusui jika khawatir terhadap dirinya maka wajib qadha puasa tanpa
membayar fidyah. Namun jika khawatir terhadap bayinya saja maka wajib qadha dan wajib fidyah.
Yaitu 1 mud setiap harinya. Jika wanita hamil dan ibu menyusui tidak puasanya karena sebab
khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya hanya qadha puasa.
Namun jika bumil dan busu dia kuat untuk puasa mamun sengaja tidak puasa karena sebab khawatir
terhadap bayinya maka kewajibannya adalah qadha puasa dan bayar fidyah.
Imam An Nawawi (w 676 H) seorang ulama besar dalam Mazhab Syafii juga mengatakan hal yang
sama. “Telah kami sebutkan bahwa wanita hamil dan ibu menyusui jika khawatir terhadap dirinya
saja atau khawatir terhadap dirinya dan bayinya maka wajib qadha puasa saja tanpa fidyah. Namun
jika khawatir terhadap bayinya saja maka wajib qadha dan wajib fidyah menurut pendapat yang
shahih.”
D. Mazhab Hanbali
Pendapat Mazhab Hanbali sebetulnya sama persis seperti pendapat Mazhab Syafii.
Imam Ibnu Qudamah (w 620 H) dalam kitabnya Al Mughni menyebutkan bagi wanita hamil ketika
mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi
bayinya, jika tidak berpuasa, wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap
hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan
kondisi
diri mereka, maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadhanya saja.
Hal ini tidak ada perbedaan di antara para ulama sebab mereka dianggap seperti orang sakit. Namun
jika khawatir terhadap anaknya saja maka bagi mereka wajib qadha dan membayar fidyah 1 mud
setiap harinya kepada orang miskin.
Intinya Mazhab Hanbali mengatakan jika wanita hamil dan menyusui tidak puasanya karena sebab
khawatir kepada dirinya saja maka kewajibannya hanya qadha puasa saja. Jika wanita hamil dan ibu
menyusui tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka
kewajibannya hanya qadha puasa saja.
Namun jika ibu hamil dan ibu menyusui tidak puasanya karena sebab khawatir bayinya saja maka
kewajibannya qadha puasa dan bayar fidyah.
Penutup
Kesimpulan
”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)
Bagian dari prinsip ini, para hamba diminta untuk memenuhi perintah syariat, sesuai kemampuannya.
Tak terkecuali masalah puasa. Allah memberikan keringanan bagi orang yang lemah, yang tidak
sanggup melaksanakannya, untuk tidak berpuasa. Diantaranya, wanita hamil dan menyusui. Para
ulama menegaskan, mereka boleh tidak puasa karena khawatir dengan kesehatan dirinya atau
anaknya. (al-Muhadzab dlm al-Majmu’, 6/267; al-Mughni, 3/149).
Ulama sepakat bahwa musafir yang meninggalkan puasa ramadhan ketika safar, wajib mengqadha di
hari yang lain.
Sementara wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa, ada dua pendapat yang memberikan
kesimpulan yang berbeda, Kesimpulan pertama, mereka tidak wajib qadha. Dengan alasan,
Allah telah menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan menyusui. Kata ’menggugurkan’
menunjukkan bahwa puasa tidak wajib baginya. Sehingga ketika mereka meninggalkan puasa, mereka
tidak diwajibkan untuk qadha.
Lalu mengapa musafir wajib qadha? Padahal Allah juga menggugurkan kewajiban puasa baginya?
Jawabannya: karena ada dalil khusus bahwa musafir wajib qadha di hari yang lain, yaitu firman Allah,
سفَر فَ ِعدَّة م ِْن أَيَّام أُخ ََر َ فَ َم ْن كَانَ ِمنْكُ ْم َم ِريضًا أَ ْو
َ علَى
”Barangsiapa diantara kalian yang sakit atau melakukan safar maka dia mengqadha sejumlah puasa
yang ditinggalkan di hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184).
Sementara dalil khusus yang mewajibkan wanita hamil dan menyusui untuk mengqadha, tidak ada.
Hukum gugurnya puasa yang berlaku bagi wanita hamil dan menyusui statusnya sama dengan hukum
gugurnya puasa yang berlaku bagi musafir. Tidak ada bedanya. Sehingga aturan yang berlaku untuk
musafir dalam kasus ini, juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui.
Kita sepakat bahwa musafir yang meninggalkan puasa karena safarnya, mereka wajib qadha tanpa
fidyah, sehingga aturan inipun berlaku untuk wanita hamil dan menyusui.
Wanita hamil dan menyusui dibolehkan untuk meninggalkan puasa, karena madzannah masyaqqah,
dengan adanya kekhawatiran terhadap keselamatan diri atau janinnya. Sehingga kondisi mereka tidak
berbeda dengan orang sakit, yang tidak puasa kerena madzannah masyaqqah, yaitu khawatir terhadap
keselamatan dirinya. Sehingga dalil firman Allah, di surat Al-Baqarah ayat 184, juga berlaku untuk
mereka. Posisi mereka tidak berbeda dengan orang sakit.
Terlalu jauh jika kita berpikiran, seharusnya di ayat itu disebutkan wanita hamil, dan menyusui.
Karena di ayat ini juga tidak disebutkan pekerja keras, orang yang hendak menyelamatkan orang lain
yang tenggelam, atau kondisi lainnya yang menyebabkan orang keberatan untuk puasa. Jika mereka
semua disebutkan, tentu akan menyebabkan tathwil terhadap ayat, yang itu bukan sifat al-Quran, yang
ringkas, namun padat maknanya.
Dengan menimbang keterangan di atas, maka kesimpulan yang tepat untuk hadis Anas bin Malik al-
Ka’bi atas, Wanita hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa Hadis di atas BUKAN dalil
gugurnya kewajiban qadha bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa.
Daftar pustaka
https://muslimah.or.id/5979-qadha-fidyah-bagi-wanita-hamil-dan-menyusui-1.html
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Puasa Ramadhan bagi umat Islam hukumnya adalah wajib,
kecuali bagi mereka yang tidak mampu.
https://plus.kapanlagi.com/pengertian-syarat-sah-dan-syarat-wajib-puasa-ramadhan-yang-harus-
diketahui-855b10.html.
https://republika.co.id/berita/q9hyjl320/hukum-puasa-ramadhan-ibu-hamil-dan-menyusui-menurut-4-
mazhab.