File PDF
File PDF
PENDAHULUAN
1
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hal. 28.
2
Amin Syukur, M.A, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial abad 21, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999, hal. 7.
3
Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1976, hal. 24.
Universitas Indonesia
4
Noer Iskandar al-Barsany, Tasawuf, Tarikat, dan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001,
hal.1.
5
Mistisme atau mystism berasal dari kata Yunani “myen” yang artinya “menutup mata”, yang juga
menjadi asal kata mystery, kemudian terbentuklah kata mysticism. Tujuan akhir seorang mistis tidak
akan pernah dicapai melalui cara-cara akademis atau cara-cara biasa, karena dasar dari mysticism
adalah cinta pada Yang Maha Absolut, Kebenaran dan Realitas Tunggal atau Tuhan atau yang biasa
dikenal sebagai usaha untuk menyingkap “the mysteries of the Kingdom of Heaven (rahasia-rahasia
Kerajaan Langit). Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Abu Nasr Attusi al-Sarraj (w.
378 H/988 M), bahwa para Sufi adalah mereka yang mengutamakan Tuhan di atas segalanya,
sebagaimana Tuhan mengutamakan mereka. lihat Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis
Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 205.
6
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002, hal. 68.
7
Mansur Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 227.
8
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 271.
9
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistis dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hal. 123.
Universitas Indonesia
10
Hakekat Suluk adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan
dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji/mahmudah (dengan taat lahir
batin kepada adab-adab syariat yang berlaku). Ke arah menuju itu, kaum sufi menempuh bermacam-
macam tarikat atau cara yang membawa mereka yang akhirnya sampai kepada kehadirat Tuhan.
Lihat Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 25.
11
Schimmel, op. cit., hal. 123.
12
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarikat, Solo: Ramadani, 1995, hal. 67.
13
Zawiyah merupakan sebuah tempat atau padepokan yang digunakan untuk melakukan praktik zikir.
14
Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996, hal. 84.
Universitas Indonesia
∩⊆⊄∪ ¸ξ‹Ï¹r&uρ Zοt õ3ç/ çνθßsÎm7y™uρ ∩⊆⊇∪ #ZÏVx. #[ø.ÏŒ ©!$# (#ρâè0øŒ$# (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# κš‰r'¯≈tƒ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Berzikirlah dan ingatlah nama Allah dan
zikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.
QS 33 : 41-42
15
Schimmel, op. cit., hal 393.
16
Adab merupakan kata Arab untuk etiket. Dalam etiket ada ajaran tentang perilaku yang benar untuk
beragam keadaan: apa yang mesti dilakukan, bagaimana cara bertindak dan kapan tidak perlu
bertindak. Daftar adab, yang disampaikan secara lisan atau tertulis dirumuskan, diajarkan, dan
diawasi oleh para guru agar interaksi sosial—fondasi interaksi sosial ini adalah saling membantu—
di dalam kelompok terjaga, dan tujuannya untuk mengembangkan karakter tunduk. lihat Sviri, Cita
Rasa Mistis, hal. 208.
17
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006, hal. 259.
18
Tawajjud atau ekstase dalam tarikat adalah suatu keadaan di luar kesadaran diri (seperti halnya
keadaan seseorang yang sedang khusyuk bersemadi). Dalam hal ini, istilah ekstase memiliki
padanan kata dengan istilah wajd. Kata tawajud, yaitu bentuk keenam daripada kata kerja wajada
“menemukan”, berarti berusaha mencapai keadaan ekstase dengan sarana luar”. Dengan kata lain
adalah usaha untuk bebas dari diri sendiri itu dilakukan dengan cara menyanyi dan menari. Lihat
Schimmel, Dimensi Mistis dalam Islam, hal. 227.
Universitas Indonesia
pembebasan diri, dan sarana pembebasan itu adalah nyanyian dan tari-tarian. Tarikat-
tarikat, seperti Maulawiyah, Chistiyah, Alawiyah, Sanusiyah, dan lain-lain
menempatkan Sema sebagai sarana peningkatan rasa dan penghayatan keagamaan.19
Dengan demikian, Maulana Jalauddin Rumi mempunyai pengaruh besar
dalam bidang sastra sufi, hingga di bidang tasawuf seni. Dalam hal ini, dipercayai
bahwa penggunaan musik dalam tasawuf merupakan salah satu cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Berkaitan dengan hal di atas, aliran sufi di Timur
seperti Naqsyabandiyah, mengambil teknik-teknik hatha-yoga20 tertentu dan akhirnya
menjadi demikian berbeda dalam bentuk tarian mereka.21 Oleh sebab itulah, penulis
sangat tertarik untuk mengkaji tarian mistis Sema lebih dalam lagi.
19
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 161 et Seq.
20
Istilah “Hatha” terdiri dari dua kata, yaitu: ‘Ha’ yang artinya Matahari dan ‘Tha’ artinya Rembulan.
Dalam Yoga dikatakan bahwa bagian kanan tubuh bersifat positif, jantan, panas (Matahari).
Sedangkan bagian kiri tubuh merupakan sikap negatif, feminim, dingin (Rembulan). Perkataan Yoga
sendiri berarti: tafakur atau semadi; yakni penyatuan pikiran, mendekatkan kepada Dzat Yang Maha
Kuasa, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah Pancasila, dasar Negara kita. Hatha Yoga adalah
sebuah latihan untuk lebih mengenal diri kita sendiri seutuhnya, untuk mengharmonisasikan unsur
materi dengan unsur nonmateri dalam diri kita (manusia), yang merupakan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa. Lihat B. Sidartanto Buanadjaya, Pelajaran Praktis Hatha Yoga Kundalini Sakti:
Membina Badan dan Batin Sehat Kuat Sentosa, Solo: Aneka CV, 1993, hal. 9 & 12; lihat juga Shri
Yogendraji, Yoga for Students, India: K.V. Gopalakrishnan at Associated Advertisers & Printers,
1988.
21
Burckhardt, op. cit. hal. 143.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
22
Schimmel, op. cit., hal. 123.
23
Nata, op. cit., hal. 269.
Universitas Indonesia
24
Nasution, op. cit., hal. 88.
25
Aceh, op. cit., hal. 68 et Seq.
26
Takwil atau ta’wil adalah penafsiran. Ta’wil berarti “mengembalikan sesuatu ke tempat semula”,
menemukan, dan menjelaskan. Takwil bermanfaat jika tidak bertentangan dengan ajaran pokok
Islam atau tidak melemahkan iman orang-orang mukmin. Lihat Khazanah Istilah Sufi: Kunci
Memasuki Dunia Tasawuf, hal. 294.
Universitas Indonesia
hudhūr27 (kehadiran bersama Allah Swt.), dan kelima mengekang diri, jangan
sampai keluar melakukan hawa nafsu dan supaya diri itu terjaga dari
kesalahan.28
Mengenai hubungan antara syariat dan tarikat, Mustafa Zahri dalam
bukunya yang berjudul Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, berpendapat bahwa
dalam ilmu tasawuf menerangkan syariat itu hanyalah peraturan-peraturan
belaka. Adapun peraturan-peraturan yang dimaksud adalah seperti shalat,
zakat, puasa. Oleh karena itu, “tarikat-lah” yang merupakan perbuatan untuk
melaksanakan syariat tersebut. Apabila tarikat dan syariat itu sudah berhasil
dikuasai, maka lahirlah hakikat yang tidak lain adalah perbaikan dari keadaan.
Tujuan dari itu semua adalah marifat yaitu mengenal Tuhan, sehingga muncul
rasa cinta yang begitu dalam. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad Saw.
bersabda, “Syariat itu perkataanku, Tarikat adalah perbuatanku, dan Hakikat
merupakan kelakuanku”.29
Berdasarkan pengertian tarikat dari berbagai tokoh terkemuka di atas,
penulis mengambil kesimpulan bahwa tarikat ialah jalan spiritual yang
ditempuh manusia yang terikat di dalamnya, sebagai pentunjuk untuk
melakukan ibadah serta amalan-amalan lainnya sesuai dengan yang terdapat
dalam Quran dan Hadis. Hal tersebut dilakukan dengan bertujuan untuk
mencapai cinta ilahi. Dengan cara demikian, manusia yang bersangkutan di
samping untuk memperoleh kepuasan batiniah, juga memperoleh kepuasan
lahiriah. Tentunya hal tersebut tidak dilakukan sendiri, melainkan dengan
bimbingan dari seorang syekh yang fungsinya untuk mengarahkan amalan
tersebut agar tidak keluar dari syariat Islam.
27
Hudhūr adalah kehadiran hati bersama Allah ketika kosong dari segala sesuatu selain-Nya. Sang
hamba tidak pernah bisa hadir bersama Allah, kecuali dengan salah satu dari Nama-nama Indah (al-
asmā al-husnā)-Nya. Hudhūr wa ghaybah ialah kehadiran dan kegaiban. Ini adalah kehadiran
bersama Allah dan kegaiban dari diri sendiri. Jika Allah ada, engkau tiada. Jika engkau ada, Allah
tiada. Lihat Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hal. 100 et Seq.
28
Aceh, op. cit., hal. 70.
29
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, hal. 57.
Universitas Indonesia
1. Zikir, yaitu hanya mengingat Allah di dalam hati. Zikir ini berguna sebagai
alat pengontrol bagi hati, ucapan, dan perbuatan agar tidak menyimpang dari
garis yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt.
2. Ratib, yaitu mengucap lafal lā ilāha illa Allāh dengan gaya, gerak, dan irama
tertentu.
3. Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi
dengan irama dari bunyi-bunyian yang berasal dari alat musik seperti rebana.
4. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-
bacaan tertentu ketika sedang berzikir yang tujuannya untuk menciptakan
kekhidmatan.
5. Bernafas, yaitu dengan mengatur keluarnya udara dengan cara perlahan-lahan
pada waktu melakukan zikir tertentu.31
Dari uraian yang telah disebutkan di atas, sama seperti halnya yang
telah dipraktikkan dalam zikir khātam khawajagan yang dilaksanakan secara
30
Ibid, hal. 148.
31
Nata, op. cit , hal. 276.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
menyimpulkan bahwa posisi Sema pada tiga tahapan di atas, terdapat pada
tahapan kedua dan ketiga. Tahapan pertama merupakan syariah, jadi tidak
perlu diiringi dengan musik dan Sema. Mengenai musik dalam tasawuf ini,
Yusuf Qardhawi juga mengungkapkan bahwa para sufi menganggap dengan
mendengarkan nyanyian dan musik termasuk taqarrub dan ibadah kepada
Allah Swt., atau minimal sebagai alat bantu untuk taqarrub dan ibadah itu.34
1.6.3 Sema
34
Yusuf Qardhawi, Islam Bicara Seni, Solo: Era Intermedia, 2002, hal. 109.
35
Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, terj.
Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 2008, hal. 280.
Universitas Indonesia
36
Ibid, hal. 281.
Universitas Indonesia
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencari data melalui observasi lapangan
dengan cara mengunjungi dan beberapa kali ikut serta dalam praktik zikir yang
diselenggarakan di zawiyah Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani. Selain melalui studi
lapangan, penulis juga memperoleh data dari beberapa sumber, seperti karya ilmiah,
media elektronik, dan terutama dari buku-buku yang berhubungan dengan tarikat dan
buku-buku yang berhubungan dengan Jalaluddin Rumi beserta tari Sema. Langkah-
langkah yang ditempuh penulis dalam menunjang penulisan skripsi ini adalah dengan
melakukan tinjauan pustaka dan studi lapangan yang dilakukan penulis.
Literatur lain yang pembahasannya berhubungan dengan Rumi beberapa di
antaranya yaitu karya William C. Chittick dalam bukunya yang berjudul Jalan Cinta
Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, yang merupakan terjemahan dari
buku Rumi yang berjudul The Sufi Path of Rumi: The Spiritual Teaching of Rumi,
diterbitkan oleh Qalam, tahun 2000, memaparkan tentang ajaran-ajaran sufi Islam
mengenai Tuhan serta konsep cinta tasawuf yang diterapkan oleh Jalaluddin Rumi.
Dalam buku tersebut, Chittick membiarkan Rumi berbicara sendiri sesuai dengan apa
yang telah diungkapkan Rumi dalam puisinya. Hal ini dilakukan karena
dikhawatirkan ada kesalahfahaman, apabila Chittick mengungkapkannya dengan
kata-katanya sendiri.
Abul Hasan An-Nadwi dalam bukunya yang berjudul Jalaluddin Rumi Sufi
Penyair Besar, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, tahun 1993, memaparkan tentang
riwayat hidup Jalaluddin Rumi dan juga mencantumkan beberapa kumpulan sajak
buah karya Rumi. Selain buku-buku tersebut di atas, penulis juga menggunakan buku
rujukan lainnya yang berjudul Dimensi Mistik dalam Islam, karya Annemarie
Schimmel, yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, tahun 2000, menjelaskan tentang
Universitas Indonesia
konsep dasar ilmu tasawuf serta tarikat. Di samping itu, dipaparkan juga mengenai
jalan spiritual Jalaluddin Rumi serta tari Sema yang dipraktikkan oleh Rumi pada
masanya. Di samping itu, Schimmel juga menulis sebuah buku yang berjudul Akulah
Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, sebuah karya yang
diterbitkan oleh Mizan, tahun 2008, berisi tentang perjalanan spiritual Rumi beserta
karya-karyanya. Dalam buku ini, Schimmel memaparkan serta menceritakan kembali
mengenai kehidupan Rumi dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh
pembaca.
Referensi lain yang dipakai dalam penulisan ini juga diperoleh dari buku yang
berjudul Tasawuf di Mata Kaum Sufi, buah karya William Chittick, diterbitkan oleh
Mizan, tahun 2002, dalam buku tersebut juga menguraikan tentang watak spiritual
dan mistikal yang ada pada musik dan tarian sufi. Mulyadhi Kartanegara, dalam buku
yang berjudul Mengenal dan Memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di Indonesia,
yang disusun oleh Sri Mulyati, et al., sebuah buku terbitan Prenada Media, tahun
2005, memaparkan tentang sejarah konsep dasar amalan tiap tarikat tertera dalam
buku ini, termasuk memaparkan tentang sejarah tari Sema serta adab-adab Sema yang
terdapat di dalamnya.
Mengenai buku tentang Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani, penulis
memperolehnya dari Yayasan Haqqani Sufi Institute of Indonesia, yang diterbitkan
oleh Yayasan Haqqani Sufi Institute of Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan
tentang sejarah dan silsilah rantai emas Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani yang garis
keguruannya dimulai dari Nabi Muhammad Saw. sampai kepada Syekh Nazim Adil
al-Haqqani. Selain buku-buku yang telah disebutkan di atas, juga masih banyak lagi
sumber-sumber lainnya yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini.
Universitas Indonesia
Skripsi ini disusun dengan pembagian yang terdiri dari empat bab yaitu,
pendahuluan, isi, kesimpulan, dan penutup. Bab I yaitu bab pendahuluan, yang terdiri
dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup
penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan makalah
ini.
Bab II memaparkan mengenai sejarah berdirinya Tarikat Naqsyabandiyah
Haqqani, silsilah Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani, sejarah masuknya Tarikat
Naqsyabandiyah Haqqani ke Indonesia, pejalanan spiritual mursyid Tarikat
Naqsyabandiyah Haqqani, serta penjelasan singkat mengenai zikir Tarikat
Naqsyabandiyah. Dalam bab ini, penulis juga memaparkan tentang pengertian tarikat
dari pendapat beberapa tokoh.
Bab III memaparkan tentang latar belakang kehidupan Jalaluddin Rumi
serta sedikit menyinggung tentang karyanya. Inti dari bab ini, penulis menjelaskan
mengenai sejarah asal-usul lahirnya tari mistis Sema pada masa Jalauddin Rumi,
sejarah masuknya Sema ke Indonesia, praktik tari mistis Sema pada Tarikat
Naqsyabandiyah Haqqani, adab-adab yang terdapat dalam tari mistis Sema, serta
menjelaskan tentang zikir khātam khawajagan yang di dalamnya terdapat praktik tari
mistis Sema. Selain itu juga terdapat penjelasan mengenai adab-adab dalam
melakukan tari mistis Sema serta menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya.
Bab IV merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
.
Universitas Indonesia