2019
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/16903
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN PANJANG AKSIAL, KETEBALAN KORNEA
SENTRAL DAN KEDALAMAN BILIK MATA DEPAN
DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA ETNIS
MELAYU, INDIA, DAN CHINA
MAHASISWA FK USU
TESIS
Oleh :
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Mata
(Sp.M) dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh :
Menyetujui
Pembimbing I
Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked(Oph),Sp.M (K) dr. Aryani Atiyatul Amra, M.Ked (Oph), SpM (K)
NIP. 19761024 200501 2 001 NIP. 19640502 199203 2 003
Penguji I Penguji II
Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked (Oph), Sp.M (K) Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes
NIP. 19761024 200501 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua baik yang kutipan maupun
dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Dwi Maysaroh Arsa
NIM : 117110004
Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif (Non Exclusive Free
Right) atas tesis saya yang berjudul :
“HUBUNGAN PANJANG AKSIAL, KETEBALAN KORNEA SENTRAL DAN
KEDALAMAN BILIK MATA DEPAN DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA
ETNIS MELAYU, INDIA, DAN CHINA MAHASISWA FK USU”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-
Ekslusif ini. Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan
mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : Juni 2019
Yang Menyatakan
Kata Kunci: Panjang aksial, ketebalan kornea sentral, kedalaman bilik mata
depan, etnis.
i
Universitas Sumatera Utara
The Correlation Amongs Axial Length, Central Corneal Thickness and
Anterior Chamber Depth in Malay, Indian and Chinese Ethnicities with
Myopia in Medical Students University of Sumatera Utara
ii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya serta telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi sebagian
dari persyaratan dalam meyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis
Departemen Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / RSUP H. Adam Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak
di masa yang akan datang. Untuk itu perkenankanlah saya menyampaikan
ungkapan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya kepada :
1. dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku Ketua
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / RSUP H. Adam Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara,
sekaligus Dosen Pembimbing saya yang telah banyak memberikan bimbingan,
bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian
dan penyelesaian tesis ini.
2. Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku Ketua Program
Studi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam
Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing
saya yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran
yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
3. dr. Fithria Aldy, M.Ked (Oph), Sp.M selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.
Adam Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara yang telah banyak
memberikan masukan dan dorongan dalam membantu saya meyelesaikan tesis
ini.
4. dr. Delfi, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku Sekretaris Program Studi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan /
iii
Universitas Sumatera Utara
RS Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan masukan dan
dorongan dalam membantu saya meyelesaikan tesis ini.
5. Prof. dr. Aslim D Sihotang, Sp.M (KVR) sebagai guru yang telah banyak
membimbing dan memberikan masukan yang tak ternilai harganya.
6. Drs. Abdul Jalil Amri Arma. M.Kes selaku dosen pembimbing dalam bidang
statistik pada penelitian ini.
7. (Alm) dr. Suratmin, Sp.M (K), (Almh) dr. Nurchaliza H Siregar, M.Ked
(Oph), Sp.M, (Alm) Dr. H. Syaiful Bahri, Sp.M sebagai guru yang telah
banyak memberikan bimbingan dan masukan yang tak ternilai harganya.
Moga kiranya Allah SWT meletakkan Almarhum dan Almarhumah disisi
orang yang beriman disisiNya.
8. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan / RS Universitas
Sumatera Utara atas bimbingan dan arahannya yang sangat bermanfaat dalam
penelitian dan penulisan tesis ini.
9. Abang, kakak dan teman-teman sejawat Ilmu Kesehatan Mata dr. Vera
Avliwani, dr. Ayrika Yuliani, dr. Muhammad Faisal, dr. Sri Ulina Ginting, dr.
Julham Alandy, dr. Zulfahri Lubis, dr. Hendra Gunawan, dr. Elyani Rahman,
dr. Ratu Windi Meidiana, dr. Franky Frans Sihombing, dr. Tari Adrian, dr.
Dedi Saputra, dr. Cut Apriliza Novita, dr. Faiza Sofia Sari, dr. Erick Yudistira,
dr. Barii Hafidh Pramono, dr. Farid Alfarisy, dr. Rafika Rahman, dr. Lidiawati
Manik dan dr. Fadhilah Nisa Tanjung, dr. Sri Rejeki Sinaga, dr. Dwi Atikah
Sari, dr. Ade Marlina, dr. Monika Ayuningrum, dr. Annisa Putri Siregar, dr.
Dixie Tri Susanti, dr. M. Dede Gunawan dan semua yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu.
10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam terlaksananya peneltian serta penulisan tesis ini.
iv
Universitas Sumatera Utara
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orang tua saya H. Hasrul
Hasan Zakaria dan Almh. Irrosa, serta mertua saya H. dr. Surya Muchtar, Sp.PD
dan Hj. dr. Pinto Yusneni Pulungan, Sp.M yang tidak pernah putus asa dan tidak
pernah lelah memberikan doa, perhatian, semangat, dukungan materi dan tenaga,
serta kasih sayang dan kepercayaan sehingga akhirnya tesis ini dapat saya
kerjakan dan saya selesaikan dengan baik.
Kepada Abi dari Anakku, dr. Muhammad Arafat Muchtar terimakasih
selalu memberikan doa, bantuan, dorongan dan semangat sehingga akhirnya tesis
ini dapat saya kerjakan dan saya selesaikan dengan baik. Kurawat kepompong
hingga menjadi Kupu-kupu, meski tahu bahwa yang semua yang bersayap akan
selalu terbang.
Kepada Anakku tercinta, Muhammad Nabigha Ali Mucthar, tesis ini mami
tujukan untuk anak mami tersayang. Maafkan begitu banyak mami meninggalkan
kamu selama mami dalam masa pendidikan, Insya Allah kedepannya hidup kamu
akan lebih berwarna dan bahagia bersama mami.
Kepada Abang Kandung saya Aditya Pradana Arsa, ST dan Kakak Ipar
saya Rosa Obstetrika, terimakasih atas segala doa, bantuan, dorongan, dan
semangat yang telah diberikan selama ini.
Seluruh keluarga dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak memberikan
bantuan serta doa selama ini, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR TABEL........................................................................................... ix
vi
Universitas Sumatera Utara
2.12. Teknik Pemeriksaan Biometri ............................................. 31
2.13. Kerangka Teori .................................................................... 33
2.14 Kerangka Konsep ................................................................. 33
2.15 Defenisi Operasional............................................................ 34
LAMPIRAN
vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.6. Skema Dimensi Okular yang Diperoleh dari MRI ................. 27
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
ix
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1
Universitas Sumatera Utara
2
orang Eropa dan Amerika (30%-40%), sedangkan yang paling jarang mengalami
miopia adalah orang Afrika (10%- 20%).2,5
Panjang aksial mata ketika lahir yakni 17 mm. Panjang aksial akan
bertambah menjadi 20 mm hingga 12 bulan kehidupan berlanjut dengan pesat
hingga usia 2 tahun. Kemudian perubahan panjang aksial dibagi menjadi dua fase,
yaitu infantile phase dan juvenile phase. Pada infantile phase (umur 2- 5 tahun)
pertumbuhan sumbu bola mata sekitar 1,1 mm dan juvenile phase (umur 5-13
tahun) pertumbuhannya mencapai 1,3 mm. Mencapai dewasa panjang aksial
menurun menjadi 24 mm. Saat dewasa, laki-laki memiliki sumbu mata yang
sedikit lebih panjang dari perempuan, sekitar 0,3-0,4 mm.6,7
Kornea berperan sebagai gerbang utama dalam penglihatan.Kornea dan
sklera keduanya membentuk dinding luar dari bola mata.Kornea berperan seperti
jendela transparan yang meneruskan cahaya masuk ke dalam bola mata, sementara
sklera berperan seperti kotak hitam yang memungkinkan pembentukan bayangan
pada retina.Kornea tidak hanya berperan sebagai komponen utama refraksi tetapi
juga berperan dalam sistem pertahanan biologis mata melalui peranan sel
epitel.Fungsi optik dari kornea sangat ditentukan oleh transparansi, kontur,
permukaan kornea yang licin, dan indeks refraksinya.Susunan yang teratur dari
kolagen stroma dan ketiadaan vaskularisasi pada kornea juga turut berperan
penting dalam menjaga transparansi kornea.
Ketebalan kornea berkisar antara 540-700μm dan tersusun atas lima
lapisan yaitu epitel, membran Bowman, Stroma, membran Descemet’s, dan
endotel, dimana masing-masing memiliki struktur dan peran yang berbeda.
Menurut Kleinstein RN, Sinnot LT, Jones Jordan LA (2007) dalam
penelitiannya menemukan pada kelompok etnis di negara Asia terjadi kasus
miopia baru sebesar 27,3%.8
Menurut Tan (2004), Hasim (2008) menyatakan kelompok etnis China,
Melayu dan India di Singapura mengalami miopia lebih banyak dibandingkan
dengan etnis China, Melayu dan India di Malaysia.2,4
Di Korea, menurut datapenelitian Sivian dkk tahun 2009, panjang sumbu
bola mata pada miopia adalah ±23,22 mm dan besar kurvatura kornea rata-rata
pada miopia adalah ±41,98 dioptri.9
2.1 Miopia
Miopia merupakan bentuk paling sering dari kesalahan refraksi okular
(ametropia), dimana perubahan dalam kelengkungan dan ketebalan kornea dan
lensa, kedalaman bilik anterior dan panjang sumbu bola mata menyebabkan
konvergensi sinar yang sejajar terhadap bidang retina dan dengan demikian
menyebabkan konvergensi penglihatan “dekat”. Kondisi ini mempengaruhi sekitar
1,6 milyar orang di seluruh dunia (sekitar 22% dari populasi) dan diantisipasi
mengalami peningkatan prevalensi menjadi 2,5 milyar pada tahun 2020. Miopia
biasanya mengalami percepatan selama tahun-tahun masa remaja. Prevalensinya
jauh lebih tinggi pada anak-anak dari etnis Asia Timur dan Asia Tenggara (42,7%
dan 59,1% pada anak-anak usia 12 dan 17 tahun) dibandingkan dengan anak-anak
dari etnis Kaukasia Eropa (8,3% dan 17,7%). Aktivitas kerja dekat seperti
membaca, menulis, menggunakan komputer dan bermain video game dianggap
berkontribusi kepada perkembangan miopia dengan menyebabkan kontraksi otot
siliar terus menerus dan rintangan akomodasi yang tepat, pada mana mata
bereaksi dengan pemanjangan dengan laju yang lebih tinggi. Baru-baru ini, lebih
sedikit waktu dihabiskan di ruangan terbuka (outdoor) juga berpengaruh (“teori
dopamin-sinar”) karena peningkatan intensitas sinar menstimulasi pelepasan
dopamin, yang pada gilirannya mengurangi pemanjangan sumbu mata.
Myopia remaja dan yang baru beranjak dewasa biasanya dicirikan oleh
panjang aksial < 26 mm dan kesalahan refraksi yang lebih ringan hingga -5 dioptri
(D). Bentuk ini dibedakan dari kondisi miopia tinggi (atau patologik) yang lebih
berat, yang menyebabkan 27-33% dari semua pasien miopia, dimana kesalahan
refraksi yang ekstrim ≥ -6,00 D dan panjang aksial > 26 mm terkait dengan
perubahan degeneratif progresif fundus, diskus optikus, penipisan retina dan atrofi
koroid. Manifestasi klinik ini memicu resiko yang lebih besar pada orang yang
sedang mengembangkan morbiditas okular, terutama degenerasi makula, ablasio
retina, katarak dan glaukoma. Mengkhawatirkan memang bahwa prevalensi
miopia ≥ -8,00 D meningkat delapan kali lipat lebih dalam 30 tahun terakhir.
5
Universitas Sumatera Utara
6
Gambar 2.1.Refraksi pada Miopia. a. Berkas cahaya paralel dari objek yang jauh
masuk kemata dan titik fokus jatuh pada anterior retina. b.Hanya objek dekat yang
berkas cahayanya berjalan secara divergen sampai memasuki mata dan di
fokuskan di retina yang dapat dilihat dengan jelas. c. Miopia Aksial: kekuatan
refraksi normal namun aksial bola mata terlalu panjang sehinga cahaya jatuh di
depan retina. d. Miopia refraktif: panjang aksial bola mata normal namun
kekuatan refraksi terlalu kuat sehingga bayangan juga jatuh di depan retina. e.
Katarak nuklear dimana terjadinya fokus sekunder.2
2.1.1 Epidemiologi
Miopia adalah penyebab paling umum terjadinya gangguan penglihatan
yang dapat dikoreksi pada orang dewasa maupun anak-anak di negara maju dan
penyebab utama gangguan penglihatan di negara berkembang. Miopia tinggi
mempengaruhi hingga 20% dari anak-anak sekolah menengah di Asia Timur.
Prevalensi miopia relatif rendah pada populasi Eropa, mempengaruhi sekitar 3-5%
dari anak-anak berumur 10 tahun dan sampai 20% pada usia 12-13 tahun.
Prevalensi miopia antara anak-anak usia sekolah di India selatan adalah 8,6%.13
kecil untuk terkena kelainan refraksi. Peluang kelainan refraksi turun 2% untuk
tiap tambahan jam yang dihabiskan di luar ruangan per minggu.
Pada penelitian Jones tentang riwayat miopia orang tua, efek olahragadan
aktivitasdi luar rumah terhadap kejadian miopia, didapatkan hasilbahwa jumlah
olahraga dan aktivitas di luar rumah yang rendahmeningkatkan kejadian miopia
pada anak yang mempunyai kedua orangtua miopia daripada anak yang hanya
mempunyai salah satu atau tidaksatupun orangtua dengan riwayat miopia.
Mekanisme di mana aktivitas luar ruangan dapat membantu mencegah
onset miopia masih belum jelas. Sinar yang lebih terang mungkin menjadi
mekanisme untuk memproteksi terhadap miopia. Teori “light-dopamine” diterima
sebagai mekanisme yang memungkinkan. Peningkatan intensitas selama waktu
dihabiskan di luar ruangan dapat menstimulasi retina untuk melepaskan dopamin,
yang dapat menghambat elongasi aksial dari bola mata. Proteksi miopia
tampaknya terutama berasal dari cahaya tampak, bukan sinar UV. Oleh karena itu,
pencegahan miopia dari waktu yang dihabiskan di luar ruangan seharusnya
kompatibel dengan penghindaran paparan UV.
Aktivitas luar ruangan, durasi efektif, frekuensi, dan intensitas cahaya
masih dalam investigasi lebih lanjut. Terdapat kemungkinan adanya ambang batas
dari 10 hingga 14 jam dihabiskan di luar ruangan per minggu untuk mencegah
onset kelainan refraksi. Sebuah randomized trial pada anak-anak sekolah di Cina
menunjukkan bahwa 40 menit per hari aktivitas luar ruangan menurunkan onset
miopia 9% setelah 3 tahun. Di Taiwan, sebuah studi intervensional menunjukkan
bahwa 80 menit per hari aktivitas luar ruangan intermiten menurunkan onset
miopia 9% setelah 1 tahun.
2.1.3 Klasifikasi1,6,17
Klasifikasi miopia menurut American optometric Association adalah :
a. Miopia simpleks
Miopia yang disebabkan oleh indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang
terlalu tinggi atau karena panjang aksial yang memanjang.
b. Miopia nokturnal
Miopia yang terjadi akibat akomodasi yang berlebihan disaat kurangnya
pencahayaan terutama di malam hari.
c. Pseudomyopia
Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan daya bias mata karena stimulasi
yang berlebihan dari mekanisme akomodasi mata atau kekejangan dari siliaris.
d. Miopia degeneratif
Miopia derajat tinggi yang berhubungan denganterjadinya perubahan
degeneratif di segmen posterior mata.
e. Miopia induksi
Miopia yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan, naik turunnya kadar
gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa. Miopia jenis ini sering
bersifat sementara atau reversible.
Pengelompokkan miopia berdasarkan penyebabnya:
a. Miopia aksial
Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan panjang antero-posterior bola
mata meskipun kurvatura kornea dan lensa normal. Merupakan bentuk miopia
yang paling sering dijumpai.
b. Miopia refraktif
Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan kekuatan refraksi mata. Miopia ini
dibedakan atas :
- Curvatural myopia, miopia yang disebabkan oleh peningkatan
kelengkungan kornea, lensa, atau keduanya.
- Index myopia, disebabkan peningkatan indeks refraksi lensa mata.
- Positional myopia, miopia yang disebabkan pergerakan lensa mata ke
anterior.
Berdasarkan waktu terjadinya, miopia dibedakan atas:
a. Congenital myopia
Miopia yang timbul sejak lahir. Miopia ini biasanya berhubungan dengan
kelainan kongenital seperti katarak, aniridia atau megalocornea.
2.1.4 Etiologi
Pada dasarnya miopia dapat terjadi oleh karena pertambahan panjang aksis
bola mata tanpa diikuti oleh perubahan pada komponen refraksi yang lain. Begitu
juga perubahan kekuatan refraksi kornea, lensa dan akuos humor akan
menimbulkan miopia bila tidak dikompensasi oleh perubahan panjang aksis bola
mata. Beberapa hal yang dikaitkan atau diperkirakan sebagai etiologi miopia
adalah:
1. Herediter
2. Penyakit sistemik
3. Kelainan endokrin
4. Malnutrisi, defisiensi vitamin dan mineral tertentu
5. Penyakit mata
6. Gangguan pertumbuhan
7. Lingkungan
8. Kerja dekat yang berlebihan
9. Pemakaian kacamata yang tidak sesuai.
2.1.5 Patofisiologi1,6,17
Faktor yang penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan
lensa. Permukaan kornea yang melengkung adalah struktur pertama yang dilewati
oleh sinar sewaktu sinar tersebut memasuki mata. Pada miopia, karena bola mata
terlalu panjang atau lensa terlalu kuat, maka sumber cahaya dekat dibawa ke fokus
di retina tanpa akomodasi (meskipun akomodasi dalam keadaan normal digunakan
untuk melihat benda dekat), sementara sumber cahaya jauh terfokus di depan
retina dan tampak kabur. Hal ini mempengaruhi pemanjangan sumbu bola mata.
Penelitian yang dilakukan di Inggris oleh Sorbsy dkk tahun 2009, menemukan
bahwa selama masa kanak-kanak terjadi peningkatan panjang bola mata dan
penurunan kekuatan indeks bias mata. Miopia dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa spheris negatif atau lensa cekung sehingga cahaya yang
datang akan jatuh tepat di retina.
2.1.7 Penatalaksanaan1,6,17,18
Terapi yang dapat diberikan pada penderita miopia adalah koreksi
kacamata dengan menggunakan lensa konkaf (negatif) terkecil yang memberikan
ketajaman penglihatan maksimal. Lensa negatif ini memindahkan bayangan
dengan memundurkan bayangan tepat di retina sehingga penderita miopia dapat
melihat dengan baik tanpa akomodasi. Selain dikoreksi dengan kacamata, koreksi
miopia dapat menggunakan lensa kontak atau bedah keratorefraktif.
normal. Fakta empiris menunjukkan bahwa mata kita bisa melihat sesuatu pada
jarak tertentu, jari bisa dilihat jelas hingga jarak 60 m, lambaian tangan hingga
300 m, cahaya jauh tak terhingga. Jika pasien hanya bisa melihat huruf yang
paling atas, visusnya dikatakan 6/60. Untuk keperluan pengukuran visus yang
besarnya 6/60 sampai 6/6, maka dibuatlah urutan huruf Snellen. Jika huruf paling
atas tidak dapat dibaca, maka pasien diminta untuk menghitung jari pada jarak
5m, 4m, 3m, 2m, 1m, dan visusnya msing-masing dikatakan 5/60, 4/60, 3/60,
2/60, dan 1/60. Apabila pasien tidak dpaar melihat jari pada jarak 1m, maka
digunakan lambaian tangan pada jarak 1m. Apabila pasien bisa melihat arah gerak
tangan dikatakan visusnya 1/300.Kalau masih tidak bisa juga, digunakan ransang
cahaya senter pada jarak 1m. Kalau bisa melihat dikatakan visusnya 1/8, tapi
kalau tidak bisa melihat apa-apa, maka visusnya nol atau buta. Untuk pasien yang
tidak bisa membaca, digunakan optotip Snellen bertuliskan huruf E (E-chart)
dengan berbagai posisi arah kaki huruf E (atas, bawah, kanan, dan kiri).
mencapai terus berkembang sampai usia 12 tahun. Pada miopia panjang sumbu
bola mata > 23 mm.
Teknik yang digunakan dalam biometri ada 2 jenis yaitu: (1) aplanasi
kontak dan (2) imersi. Probe transmitter pada teknik imersi tidak langsung
menyentuh kornea sehingga dapat menghindari penekanan (identasi) yang dapat
mempengaruhi pengukuran.Teknik ini kurang praktis dibandingkan teknik
aplanasi (kontak) karena membutuhkan waktu yang lama dalam pemeriksaan
pasien.
Teknik aplanasi mempunyai akurasi yang cukup baik. Ketepatan
pengukuran akan lebih baik jika dilakukan dengan cara posisi duduk atau tegak
dan panjang sumbu bola mata diukur dari anterior kornea sampai ke retina.
2.4 Kornea
Kornea berperan sebagai gerbang utama dalam penglihatan.Kornea dan
sklera keduanya membentuk dinding luar dari bola mata.Kornea berperan seperti
jendela transparan yang meneruskan cahaya masuk ke dalam bola mata, sementara
sklera berperan seperti kotak hitam yang memungkinkan pembentukan bayangan
pada retina.Kornea tidak hanya berperan sebagai komponen utama refraksi tetapi
juga berperan dalam sistem pertahanan biologis mata melalui peranan sel epitel.
Fungsi optik dari kornea sangat ditentukan oleh transparansi, kontur, permukaan
kornea yang licin, dan indeks refraksinya. Susunan yang teratur dari kolagen
stroma dan ketiadaan vaskularisasi pada kornea juga turut berperan penting dalam
menjaga transparansi kornea.22
Ketebalan kornea berkisar antara 540-700μm dan tersusun atas lima lapisan
yaitu epitel, membran Bowman, Stroma, membran Descemet’s, dan endotel,
dimana masing-masing memiliki struktur dan peran yang berbeda. Kornea
tersusun atas tiga macam sel penyusun utama, yaitu sel epitel, sel keratosit stroma,
dan sel endotel.Sel epitel dan endotel masing masing berperan sebagai barier bagi
lapisan stroma, dimana terdapat tahanan difusi terhadap cairan dan larutan untuk
mempertahankan kejernihan kornea.Tahanan difusi epitel jauh lebih besar
dibanding endotel.Ketiga macam sel-sel utama tersebut dapat bereplikasi melalui
proses mitosis namun dengan kecepatan yang berbeda-beda, dimana epitel
posterior rata-rata 6,5 mm. Kornea menjadi lebih datar pada bagian perifer, namun
pendataran tersebut tidak simetris. Bagian nasal dan superior lebih datar dibanding
bagian temporal dan inferior.25
Selain dari penilaian di atas, untuk mengetahui topografi kornea dapat pula
dilihat dengan menggunakan Computerized Corneal Topografi (CCT). Pemetaan
kornea melalui alat ini meliputi seluruh permukaan kornea yang ditunjukkan
melalui pemetaan warna. Warna-warna tersebut sangat penting interpretasinya.
Pada kornea normal warna biru dan hijau menunjukkan karakteristik dari zona
pasien glaukoma dan glukoma suspek. Penggunaannya pun menjadi semakin luas
tidak hanya dalam bedah refraksi dan kornea namun juga dalam pemeriksaan rutin
mata.27
Ketebalan kornea bervariasi dari sentral hingga ke limbus, zona yang
paling tipis berada sekitar 1.5mm temporal dari sentral, dan menjadi lebih tebal di
daerah parasentral dan perifer. Ketebalan kornea berkisar antara 700-900μm di
limbus dan sekitar 490-560μm di sentral. Ketebalan kornea sentral 700μm atau
lebih mengindikasikan adanya dekompensasi endotel. Rata-rata ketebalan kornea
sentral sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai studi adalah sekitar 510-
520μm (standar deviasi 0,02-0,04) atau sekitar 540 μm. Ditemukan pula bahwa
kornea lebih tebal secara signifikan pada kelompok usia 40-80 tahun dibanding
pada kelompok usia di bawah 40 tahun sebagai akibat perubahan anatomis terkait
usia. Ketebalan kornea di perifer tidak simetris, dimana kornea di temporal paling
tipis kemudian di bagian inferior. Lebih lanjut Mohan dkk menyatakan bahwa
ketebalan kornea sentral (CCT) lebih tinggi pada usia muda, jenis kelamin laki-
laki, dan pada penderita diabetes melitus, dan tidak berhubungan dengan status
refraksi dan hipertensi sistemik.27
2.7 Etnis30-34
Etnisitas adalah milik kelompok sosial yang memiliki tradisi nasional atau
budaya yang sama.Etnis memiliki konsep kultural yang mengacu pada kesamaan
norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Terbentuknya suku bangsa
bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah
berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu yang mendorong
rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan ada nenek moyang mitologis
yang sama. Etnis terbentuk melalui relasi kekuasaan antar berbagai kelompok.
Kelompok etnis lebih cenderung kepada kepercayaan, nilai dan norma,
kebiasaan serta kebudayaan dengan anggota lainnya karena persamaan latar
belakang. Etnis merupakan pertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial
atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan,
adat, agama atau bahasa. Sebuah kelompok etnis, tidak seperti kelompok rasial,
dibedakan dari orang lainatas dasar asal negara atau pola budaya yang khas.
Perbedaan antara kelompok rasial dengan etnis minoritas tidak selalu tampak
jelas. Beberapa anggota kelompok rasial minoritas, mungkin memiliki perbedaan
budaya yang signifikan dari kelompok rasial lainnya. Etnis lebih berkaitan
dengan:
1. Budaya dan Bahasa
2. Suku
3. Keturunan
4. Agama
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa makna kelompok etnis
mengandung dua hal utama yakni pengertian luas dan pengertian sempit. Pertama,
pengertian luas berkaitan dengan kehadiran suatu kelompok tertentu yang terikat
dengan karakteristik tertentu, dari fisik, sosial budaya, sampai ideologi. Kedua,
dalam arti sempit merujuk etnis pada kelompok suku bangsa karena alasan
memiliki kebudayaan yang sama. Pengertian sempit etnis dikaitkan dengan suku
bangsa. Istilah kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan suatu
kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang sosial
dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Sementara itu, ras
mengacu pada karakteristik fisik seseorang, seperti struktur tulang dan kulit,
rambut, atau warna mata.
Contoh ras adalah kulit coklat, putih, atau hitam (semua dari berbagai
belahan dunia), sementara contoh etnis adalah keturunan Jerman atau Spanyol
(tanpa memandang ras) atau orang China Han. Ras ditentukan oleh penampilan
kontribusi dari panjang aksial, kekuatan lensa dan kekuatan kornea secara
bersama-sama, dengan menggunakan analisa regresi linier ganda, dapat
menjelaskan hingga 96% variasi refraksi pada populasi. 36 Perbedaan panjang
aksial terkait usia ditemukan dalam beberapa penelitian. Orang yang lebih tua
berkemungkinan mempunyai panjang aksial yang lebih pendek daripada
partisipan yang lebih muda.37Warrier et al. mengajukan bahwa perbedaan ini
terkait dengan efek kohort. Sebagai contoh misalnya, pekerjaan dekat lebih
intensif pada kelompok umur yang lebih muda, yang merupakan faktor yang
meningkatkan panjang aksial, yang mungkin disebabkan gangguan emmetropisasi
dipicu defokus. Akan tetapi, Studi Mata Latino Los Angeles tidak menunjukkan
adanya perbedaan panjang aksial terkait usia yang didasarkan pada populasi 5.588
partisipan selama periode waktu 40 tahun. Dalam pada itu, sudah disepakati
dengan jelas bahwa wanita cenderung mempunyai panjang aksial yang lebih
pendek.36 Panjang aksial memiliki prediksi nilai untuk serangan awal miopia
tetapi hanya dalam 2-4 tahun sebelum serangan awal.38 Laju perubahan tercepat
dicapai selama tahun sebelum serangan awal miopia dan kemudian pemanjangan
aksial menyusul dengan relatif lambat, dengan laju perubahan yang lebih stabil
setelah serangan awal.38
Panjang aksial anak baru lahir adalah 15-17 mm. Pada fase pertama yaitu
enam bulan pertama kehidupan, panjang aksial bertambah 4 mm. Fase kedua
(umur 2-5 tahun) dan fase ketiga (umur 5-13 tahun) pertambahan panjang aksial
melambat yaitu 1 mm di setiap fasenya. Orang dewasa normal memiliki rata-rata
panjang aksial 23 mm. Penelitian Tane dan Kohno menyebutkan pertumbuhaan
panjang aksial berhenti pada anak perempuan saat berumur 10 tahun dan pada
laki-laki saat berumur 12 tahun.6,20
Penelitian Scott T. Fontana dan Richard F. Brubaker pada 152 pasien
miopia dengan umur 16-50 tahun. Penelitian ini menunjukkan panjang aksial
penderita miopia lebih panjang dibandingkan dengan orang normal (emetropia).
Kedalaman bilik mata depan lebih dalam pada miopia dibandingkan pada orang
normal (emetropia).
Gambar 2.6. Skema Dimensi Okular yang Diperoleh dari MRI. d: axial
length; c: anterior segment length; h: posterior segment length; e: equatorial
diameter at the plane of the ora serrata (dashed line); LT: lens axial thickness;
LE: lens equatorial diameter.35
yang mengindikasikan bahwa panjang aksial dan miopia mungkin berbagi gen
yang sama.35 Panjang aksial mencerminkan jumlah dari ketebalan lensa,
kedalaman bilik mata depan dan panjang bilik vitreous (gambar 2.7).35Penelitian
menunjukkan bahwa sebagian penurunan panjang aksial dimediasi oleh
kedalaman bilik mata depan.44 Pada tahun 2004, Biino et al. melakukan analisa
hubungan atas keturunan-keturunan yang luas dan menemukan locus pada 2p24
yang mungkin mengandung gen untuk panjang aksial. Setelah itu, dengan
menggunakan sampel kembar, Zhu et al. melaporkan bukti atas hubungan panjang
aksial dengan bagian panjang dari kromosom 5.Sepanjang pengetahuan kami,
hanya ke 2 daerah ini yang dilaporkan sampai sejauh ini untuk panjang aksial dan
belum dipetakan dengan jelas.
Probe ultrasound pertama kali digunakan pada jam 6 dari limbus melalui
bagian tengah bola mata bertujuan untuk memeriksa lapisan chorioretinalberlawanan
pada meridian jam 12. Pasien di instruksikan untuk melihat jauh dari probe terhadap
meridian yang diperiksa untuk menghindari scan melalui lensa. Probe digeser dari
limbus ke forniks selalu mengarah ke tengah bolamata, juga screnning meridian
utama dari kutub posterior ke ora serata.Sorotan ultrasound selalu di jaga
perpendicular ke retina yang berlawanan. Prosedur yang sama diulangi di
meridian jam 8, menggeser probe secara sementara disekitar bolamata.46
Layar
Printer
Probe
Etnis
(Melayu, India, China)
Genetik dan
lingkungan
Miopia
n1 n2
Z (1 / 2 ) 2 P (1 P ) Z (1 ) P1 (1 P1 ) P2 (1 P2 ) 2
P1 P2 2
Dimana :
Z (1 / 2) = deviat baku alpha. utk = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96
Z (1 ) = deviat baku alpha. utk = 0,10 maka nilai baku normalnya1,282
36
Universitas Sumatera Utara
37
Miopia
Miopia
Ringan
Sedang
Berat
Pencatatan Hasil
TOTAL Rp 5.394.500
Karakteristik n %
JenisKelamin
- Pria 38 45,2
- Wanita 46 54,8
Umur
- 23 tahun 54 64,3
- 24 tahun 17 20,2
- 25 tahun 13 15,5
Etnis
- Melayu 32 38,1
- India 25 29,8
- China 27 32,1
Jumlah 84 100,0
41
Universitas Sumatera Utara
42
Karakteristik n %
Miopia
- Ringan (-0,25 s/d -3,00 D) 120 71,4
- Sedang (-3,25 s/d – 6,00 D) 42 25,0
- Berat (> -6,00 D) 6 3,6
AL
- Pendek (<22 mm) 24 14,3
- Normal (22-24 mm) 133 79,2
- Panjang (>24 mm) 11 6,5
ACD
- Dangkal (<3 mm) 69 41,1
- Normal (3-4 mm) 97 57,7
- Dalam (> 4 mm) 2 1,2
CCT
- Tipis (< 527 μm) 16 9,5
- Normal (527 – 554 μm) 149 88,7
- Tebal (> 554 μm) 3 1,8
Jumlah 168 100,0
Tabel 4.3. Hubungan Antara Derajat Miopia terhadap Etnis Melayu, India
dan China pada Mahasiswa FK USU
Etnis
Variabel Melayu India China Total p.
n % n % n % n %
Miopia
- Ringan 49 40,8 31 25,8 40 33,3 120 100,0
- Sedang 13 31,0 15 35,7 14 33,3 42 100,0 0,152
- Berat 2 33,3 4 66,7 0 0 6 100,0
* Miopia Ringan (-0,25 s/d -3,00 D)
Miopia Sedang (-3,25 s/d – 6,00 D)
Miopia Berat (> -6,00 D)
Pada tabel 4.3. tentang hubungan antara etnis terhadap derajat miopia.
Pada etnis Melayu jumlah miopia ringan merupakan yang terbanyak dengan 49
mata (40,8%), sedangkan jumlah miopia sedang dan berat terbanyak ditemui pada
etnis India dengan jumlah 15 mata (35,7%) pada miopia sedang, dan jumlah
miopia berat sebanyak 4 mata (66,7%) dan ditemui miopia ringan lebih sedikit
pada etnis India dengan jumlah 31 mata (25,8%), miopia sedang lebih sedikit pada
etnis Melayu dengan jumlah 13 mata (31,0%). Pada penelitian ini tidak di jumpai
miopia berat pada etnis China (0%). Dengan menggunakan uji Chi Square
didapatkan p =0,152. Dimana nilai p < 0.05. Hal ini menunjukkan tidak terdapat
hubungan antara etnis dengan derajat miopia secara statistik.
Tabel 4.4. Hubungan Antara Panjang Aksial (AL) terhadap Etnis Melayu,
India dan China pada Mahasiswa FK USU
Etnis
Variabel Melayu India China Total p.
n % n % n % n %
AL
- Pendek 5 20,8 13 54,2 6 25,0 24 100,0
- Normal 54 40,6 33 24,8 46 34,6 133 100,0 0,048*
- Panjang 5 45,5 4 36,4 2 18,2 11 100,0
* AL Pendek (<22 mm)
AL Normal (22-24 mm)
AL Panjang (>24 mm)
Pada tabel 4.4. Hubungan antara etnis dengan panjang aksial (AL),
dijumpai AL pendek paling banyak di dapati pada etnis India, sebanyak 13 mata
(54,2%), AL normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 54 mata
(40,6%), dan AL panjang terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 5
mata (45,5%), dan ditemui AL pendek dan AL panjang paling sedikit dijumpai
pada etnis China, dimana AL pendek sebanyak 6 mata (25,0%) dan AL panjang
sebanyak 2 mata (18,2%). Dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan p =
0,048 dimana nilai P <0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara etnis
dengan panjang aksial (AL). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan panjang
aksial (AL) antar etnis (Melayu, India dan China). Oleh karena AL yang panjang
mengindikasi suatu miopia, dan dari distribusi didapati AL panjang pada etnis
Melayu 5 orang (45,5%), etnis India 4 orang (36,4%) dan etnis China 2 orang
(18,2%), hal ini menjelaskan pada etnis Melayu lebih banyak AL yang panjang,
artinya pada etnis Melayu berpotensi ada hubungan antara panjang aksial dengan
miopia.
Tabel 4.5. Hubungan Antara Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) terhadap
Etnis Melayu, India dan China pada Mahasiswa FK USU
Etnis
Total p.
Variabel Melayu India China
n % n % n % n %
ACD
- Dangkal 21 30,4 28 40,6 20 29,0 69 100,0
- Normal 43 44,3 22 22,7 32 33,0 97 100,0 0,028*
- Dalam 0 0 0 0 2 100,0 2 100,0
* ACD Dangkal (<3 mm)
ACD Normal (3-4 mm)
ACD Dalam (> 4 mm)
Pada tabel 4.5. Hubungan antara etnis dengan kedalaman bilik mata depan
(ACD), dijumpai ACD dangkal paling banyak di dapati pada etnis India, 28 mata
(40,6%), ACD normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 43 mata
(44,3%), dan ACD dalam hanya di temukan pada etnis China, sebanyak 2 mata
dalam penelitian ini (100%), dan ditemui ACD dangkal paling sedikit di jumpai
pada etnis China, sebanyak 20 mata (29,0%). ACD normal paling sedikit dijumpai
pada etnis India, sebanyak 22 mata (22,7%). Dengan menggunakan uji Chi Square
didapatkan p = 0,028 dimana nilai p <0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
antara etnis dengan kedalaman bilik mata depan (ACD). Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan kedalaman bilik mata depan (ACD) antar etnis (Melayu, India
dan China). Oleh karena ACD yang dalam mengindikasi miopia, dan dari
distribusi ACD dalam terdapat pada etnis China 2 orang (100,0%), sedangkan
pada Melayu dan India tidak ditemukan, hal ini menjelaskan bahwa ACD dalam
hanya dijumpai pada etnis China pada penelitian ini, artinya pada etnis China
berpotensi ada hubungan antara ACD dengan miopia.
Etnis
Variabel Melayu India China Total p.
n % n % n % n %
CCT
- Tipis 6 37,5 4 25,0 6 37,5 16 100,0
- Normal 58 38,9 44 29,5 47 31,5 149 100,0 0,587
- Tebal 0 0 2 66,7 1 33,3 3 100,0
* CCT Tipis (< 527 μm)
CCT Normal (527 – 554 μm)
CCT Tebal (> 554 μm)
Pada tabel 4.6. hubungan antara etnis dengan ketebalan kornea sentral
(CCT), dijumpai CCT tipis paling banyak di dapati pada etnis Melayu dan China,
sebanyak 6 mata (37,5%), CCT normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu,
sebanyak 58 mata (38,9%), dan CCT tebal terbanyak di jumpai pada etnis India,
sebanyak 2 mata (66,7%), dan ditemui CCT tipis dan CCT normal paling sedikit
dijumpai pada etnis India, di mana CCT tipis sebanyak 4 mata (25,0%) dan CCT
normal sebanyak 44 mata (29,5%), CCT tebal paling sedikit dijumpai pada etnis
China, sebanyak 1 mata (33,3%). Dengan menggunakan uji Chi Square
didapatkan nilai p = 0,587, dimana nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan tidak ada
hubungan antara etnis dengan ketebalan kornea sentral (CCT). Hal ini
menunjukkan tidak ada perbedaan antara ketebalan kornea sentral (CCT) antar
etnis (Melayu, India dan China). Oleh karena CCT tipis mengindikasi miopia, dan
dari ditribusi CCT tipis terdapat pada etnis Melayu 6 orang (37,5%), etnis India 4
orang (25,0%) dan etnis China 6 orang (37,5%), hal ini menjelaskan bahwa tidak
ada hubungan etnis dengan CCT untuk miopia.
n x SD Minimum Maksimum p.
AL
- Melayu 64 23,422 1,104 21,23 25,85
- India 50 22,942 1,265 20,71 25,46 0,056
- China 54 23,376 1,017 21,15 25,34
ACD
- Melayu 64 3,125 0,337 2,48 3,90
- India 50 3,036 0,330 2,54 3,81 0,125
- China 54 3,168 0,332 2,59 4,05
CCT
- Melayu 64 526,109 25,270 486,00 585,00
- India 50 537,860 30,929 470,00 602,00 0,296
- China 54 529,351 58,649 293,00 633,00
Pada tabel 4.7. didapatkan nilai rerata AL etnis Melayu (n=64) adalah
23,422 1,104 dengan nilai minimum 21,23 dan nilai maksimum 25,85. Pada
etnis India (n=50) memiliki nilai rerata AL 22,942 1,265 dan nilai minimum
20,71 dan nilai maksimum 25,46. Pada etnis China (n=54) didapat rerata AL
adalah 23,376 1,017 dengan nilai minimum 21,15 dan nilai maksimum 25,34.
Pada ACD nilai rerata etnis Melayu (n=64) adalah 3,125 0,337 dengan
nilai minimum 2,48 dan nilai maksimum 3,90. Pada etnis India (n=50) memiliki
nilai rerata ACD 3,036 0,330 dan nilai minimum 2,54 dan nilai maksimum
3,81. Pada etnis China (n=54) didapat rerata ACD adalah 3,168 0,332 dengan
nilai minimum 2,59 dan nilai maksimum 4,05.
Pada CCT nilai rerata etnis Melayu (n=64) adalah 526,109 25,270
dengan nilai minimum 486,00 dan nilai maksimum 585,00. Pada etnis India
(n=50) memiliki nilai rerata CCT 537,860 30,929 dan nilai minimum 470,00
dan nilai maksimum 602,00. Pada etnis China (n=54) didapat rerata CCT adalah
529,351 58,649 dengan nilai minimum 293,00 dan nilai maksimum 633,00.
Tabel 4.8. Hubungan Antara Derajat Miopia dengan Panjang Aksial (AL),
Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) dan Ketebalan Kornea Sentral (CCT)
pada Mahasiswa FK USU
Miopia
Variabel Ringan Sedang Berat Total p.
n % n % n % n %
AL
- Pendek 17 70,8 6 25,0 1 4,2 24 100,0
- Normal 99 74,4 31 23,3 3 2,3 133 100,0 0,023*
- Panjang 4 36,4 5 45,5 2 18,2 11 100,0
ACD
- Dangkal 46 66,7 19 27,5 4 5,8 69 100,0
- Normal 74 77,1 20 20,8 2 2,1 96 100,0 0,017*
- Dalam 0 0 3 100,0 0 0 3 100,0
CCT
- Tipis 14 87,5 1 6,3 1 6,3 16 100,0
- Normal 105 70,5 39 26,2 5 3,4 149 100,0 0,194
- Tebal 1 33,3 2 66,7 0 0 3 100,0
Pada tabel 4.8. hubungan antara derajat miopia dengan panjang aksial
(AL), dijumpai AL pendek paling banyak pada miopia ringan, sebanyak 17 mata
(70,8%), AL normal terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 99
mata (74,4%), dan AL panjang terbanyak di jumpai pada miopia sedang, sebanyak
5 mata (45,5%), lalu dijumpai AL pendek, normal dan panjang paling sedikit pada
miopia berat, di mana AL pendek sebanyak 1 mata (4,2%) dan AL normal
sebanyak 3 mata (2,3%), dan AL panjang sebanyak 2 mata (18,2%). Dengan
menggunakan uji Chi Square didapatkan nilai p = 0,023 dimana nilai p <0,05. Hal
ini menunjukkan ada hubungan antara derajat miopia dengan panjang aksial (AL).
Pada tabel 4.8. hubungan antara derajat miopia dengan kedalaman bilik
mata depan (ACD), dijumpai ACD dangkal paling banyak pada miopia ringan,
sebanyak 46 mata (66,7%), ACD normal terbanyak juga di jumpai pada miopia
ringan, 74 mata (77,1%), dan ACD dalam di jumpai pada miopia sedang,
sebanyak 3 mata (100%), serta dijumpai ACD dangkal, normal dan dalam paling
sedikit pada miopia berat, yaitu ACD dangkal 4 mata (5,8%) dan ACD normal 2
mata (2,1%). Dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan nilai p = 0,017
dimana nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara derajat miopia
dengan kedalaman bilik mata depan (ACD).
Pada tabel 4.8. hubungan antara derajat miopia dengan ketebalan kornea
sentral (CCT), dijumpai CCT tipis paling banyak pada miopia ringan, 14 mata
(87,5%), CCT normal terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 105
mata (70,5%), dan CCT tebal terbanyak di jumpai pada miopia sedang, sebanyak
2 mata (66,7%), serta di jumpai CCT tipis, normal dan tebal paling sedikit pada
miopia berat, CCT tipis sebanyak 1 mata (6,3%) dan CCT normal sebanyak 5
mata (3,4%), dan tidak di jumpai CCT tebal. Dengan menggunakan uji Chi
Square didapatkan nilai p = 0,194 dimana nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan
tidak ada hubungan antara derajat miopia dengan ketebalan kornea sentral (CCT).
4.2 Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Pada tabel 4.1. menunjukkan frekuensi subyek terbanyak adalah yang
jenis kelamin wanita, yaitu 46 orang dan yang berjenis kelamin pria sebanyak 38
orang. Pada tabel usia yang terbanyak adalah umur 23 tahun sebanyak 54 orang,
sedangkan yang paling sedikit berumur 25 tahun sebanyak 13 orang. Pada tabel
etnis di dapati total sampel sebanyak 84 orang, terbagi atas etnis Melayu 32 orang,
India 25 orang dan China sebanyak 27 orang.
Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan
Rosman M. (2009) dan Fachrian (2009). Menurut penelitian Rosman M (2009),
kelainan refraksi lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
(61,1% berbanding 49,3%). Sedangkan hasil penelitian Fachrian (2009)
menunjukkan bahwa jumlah responden perempuan (53,2%) lebih banyak dari
laki-laki (46,8%).47,48
Perempuan memiliki panjang aksial bola mata yang lebih panjang, dan
memiliki bilik vitreus yang lebih dalam dari pada laki-laki. Hal ini memungkinkan
pada perempuan memiliki kelainan refraksi lebih tinggi dari pria.
Pada tabel 4.2. menunjukkan bahwa dari total jumlah sampel pada
penelitian ini yang mengalami miopia ringan adalah yang terbanyak yaitu 120
mata (71,4%). Pada tabel ini menunjukkan sampel dengan panjang aksial normal
adalah yang terbanyak yaitu 133 mata (79,2%) dan pada kedalaman bilik mata
depan menunjukkan sampel dengan kedalaman yang normal adalah yang
terbanyak yaitu 97 mata (57,7%). Pada ketebalan kornea sentral juga ditemukan
sampel dengan ketebalan yang normal yang terbanyak yaitu 149 mata (88,7%).
Pada tabel 4.3. menunjukkan riwayat miopia terbanyak dialami oleh etnis
Melayu sebanyak 64 mata (38,1%) dari seluruh subyek penelitian, dimana
dijumpai miopia ringan sebanyak 49 mata, miopia sedang sebanyak 13 mata, dan
berat sebanyak 2 mata. Pada tabel ini tampak adanya perbedaan derajat miopia
pada tiap etnis, dimana pada etnis Melayu jumlah miopia ringan merupakan yang
terbanyak dengan 49 mata (40,8%), sedangkan jumlah miopia sedang dan berat
terbanyak di jumpai pada etnis India dengan jumlah 15 mata (35,7%) pada miopia
sedang, dan jumlah miopia berat sebanyak 4 mata (66,7%). Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya (Goh pp, 2005), dimana di nyatakan
bahwa jumlah miopia terbanyak adalah etnis India, kemudian Melayu. Sedangkan
pada penelitian (Saw et al, 2008) menyatakan bahwa etnis China lebih banyak
menderita miopia di bandingkan dengan etnis India ataupun Melayu. 49,50
Perbedaan miopia pada berbagai etnis memang telah banyak di teliti dan
menjadi topik diskusi dalam beberapa literatur, di mana di dalam beberapa
penelitian mengatakan jumlah anak-anak dengan miopia jauh lebih tinggi pada
kelompok Asia timur. Meskipun pada kelompok ini lebih tinggi, tetapi harus di
pertimbangkan juga miopia terjadi akibat faktor lain, seperti genetika ataupun
faktor lingkungan, seperti kinerja sekolah yang lebih tinggi di mana kegiatan
membaca ataupun menggunakan penglihatan dekat lebih banyak dan perbedaan
jumlah waktu yang di habiskan untuk melakukan kegiatan di luar ruangan.51,52
Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil
adanya hubungan antara etnis dengan panjang aksial. Terlihat bahwa panjang
aksial normal banyak terdapat pada etnis Melayu, sebanyak 54 mata (40,6%),
panjang aksial yang lebih panjang juga terdapat pada etnis Melayu, sebanyak 5
mata (45,5%), sedangkan panjang aksial pendek terdapat pada etnis India,
sebanyak 13 mata (54,2%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Garner
et al, 1990) yang menyatakan etnis Melayu memiliki panjang aksial yang lebih
panjang dari etnis Melanesia. Tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
(Zhang MZ et al, 2000) yang menyatakan bahwa anak-anak dengan etnis China
memiliki panjang aksial yang lebih panjang.53,54
Pada tabel 4.5. menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil
adanya hubungan antara etnis dengan kedalaman bilik mata depan (ACD). dimana
dijumpai ACD dangkal paling banyak pada etnis India, sebanyak 28 mata
(40,6%), ACD normal terbanyak pada etnis Melayu, sebanyak 43 mata (44,3%),
dan ACD dalam hanya di temukan pada etnis China, sebanyak 2 mata dalam
penelitian ini (100%). Hasil ini berbeda dengan penelitian (He M et al, 2009) yang
menyatakan ACD lebih dangkal pada etnis China di banding dengan etnis yang
lain. Penelitian lain (Leung ck et al, 2010) dan (Nangia V et al, 2011) menyatakan
bahwa ACD tampak lebih dalam pada etnis India. Tetapi penelitian ini sejalan
dengan penelitian (Lim et al, 2010) yang menyatakan bahwa ACD dangkal paling
banyak di jumpai pada etnis India.55,56,57,58
Pada table 4.6. menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil
tidak ada hubungan antara etnis dengan ketebalan kornea sentral (CCT). Dijumpai
CCT tipis paling banyak pada etnis Melayu dan China, sebanyak 6 mata (37,5%),
CCT normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 58 mata (38,9%),
dan CCT tebal terbanyak di jumpai pada etnis India, sebanyak 2 mata (66,7%).
Hasil ini sejalan dengan penelitian (Haseltine SJ et al, 2012) dan (Aghaian E et al,
2004), yang menyatakan gambaran ketebalan CCT normal banyak terdapat pada
etnis Melayu, China, dan India. Kemudian penelitian lain (Chua j, 2014)
menyatakan CCT etnis China tampak lebih tipis di bandingkan dengan etnis
Melayu ataupun India.59,60,61
Hingga saat ini belum di temukan faktor penyebab perbedaan AL, ACD
dan CCT pada setiap etnis, ada dugaan faktor lingkungan, letak geografis dan
genetik yang mempengaruhinya. Tetapi ada beberapa faktor lain seperti perbedaan
dalam protokol penelitian termasuk strategi pengambilan sampel, metode untuk
pengukuran CCT (Ultrasonografi pachymetry vs mikroskop specular), rentang
usia peserta penelitian dan sebagainya. Oleh karena itu, perbandingan langsung
antara penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh penelitian lain mungkin
tidak valid. Adapun dari beberapa penelitian hasil ketebalan CCT dilaporkan
berbeda-beda, seperti (530,9 μm) di Korea, (521,0 μm) di Jepang, (535,6 μm) di
China Utara, (541,5 μm) di China Selatan, (514,0 μm) pada orang India yang
tinggal di India, (540,9 μm) di Singapura Melayu, (552,3 μm) di Singapura
Tionghoa dan (540,4 μm) di Singapura India.61,62,63,64,65
Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada penelitian ini angka rerata dari
AL, angka rerata AL panjang pada etnis China sedangkan angka rerata AL pendek
di dapati pada etnis India, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Garner et
al, 1990) yang menyatakan etnis Melayu memiliki panjang aksial lebih panjang
dari etnis Melanesia, menurut penelitian (Pan CW, et al, 2011) panjang aksial
etnis Melayu lebih panjang dari etnis asli India, tetapi hampir sama dengan
panjangnya dengan etnis India yang berada di negara Singapura. Hal ini dapat
terjadi akibat keadaan geografis yang berbeda, ataupu akibat faktor lainnya. 53,66
Pada angka rerata dari ACD, didapati angkat rerata ACD dangkal tertinggi
dijumpai pada etnis India, dan angka rerata ACD dalam tertinggi di jumpai pada
etnis China, hal ini sesuai dengan penelitian (Lim et al, 2010) yang menyatakan
bahwa ACD dangkal paling banyak di jumpai pada etnis India. 58
Pada angka rerata dari CCT, didapati angka CCT lebih tipis pada etnis
China, sedangkan angka rerata CCT yang lebih tebal di jumpai pada etnis India,
hasil ini sejalan dengan penelitian (Chua j, 2014) menyatakan CCT etnis China
tampak lebih tipis di bandingkan dengan etnis Melayu ataupun India. 61
Pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil ada
hubungan antara derajat miopia dengan panjang aksial (AL). dimana dijumpai AL
pendek paling banyak pada miopia ringan, sebanyak 17 mata (70,8%), AL normal
terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 99 mata (74,4%), dan AL
panjang terbanyak di jumpai pada miopia sedang, sebanyak 5 mata (45,5%). Hasil
ini sejalan dengan penelitian (Shu Wen Chang et al, 2001), yang menyatakan
adanya hubungan antara derajat miopia dengan panjang AL. Tetapi pada
penelitian lain didapatkan hasil yang bertentangan, menurut penelitian (Donald O.
Mutti et al, 2007) menyatakan panjang aksial pada anak miopia lebih panjang
dibandingkan anak emmetropia dan pemanjangan sumbu bola mata merupakan
salah satu faktor yang dapat digunakan untuk memprediksi onset miopia. Menurut
penelitian (Lim L et al, 2004) menyatakan panjang sumbu bola mata berbeda pada
miopia fase awal disebabkan pembesaran sumbu secara global. 67,68,69
Pada tabel 4.8. menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil ada
hubungan antara derajat miopia dengan kedalaman bilik mata depan (ACD).
Dijumpai ACD dangkal paling banyak pada miopia ringan, sebanyak 46 mata
(66,7%), ACD normal terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 74
mata (77,1%), dan ACD dalam hanya di jumpai pada miopia sedang, sebanyak 3
mata (100%). Hal ini sejalan dengan penelitian (Hosni M et al, 1999) yang
menyatakan ACD berhubungan dengan panjang AL, kelainan refraksi miopia dan
5.1 Kesimpulan
1. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara etnis dengan derajat miopia.
2. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara etnis dengan panjang aksial (AL).
3. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara etnis dengan kedalaman bilik
mata depan (ACD).
4. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara etnis dengan ketebalan
kornea sentral (CCT).
5. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara panjang aksial (AL) dengan
derajat miopia.
6. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara kedalaman bilik mata depan
(ACD) dengan derajat miopia.
7. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara ketebalan kornea sentral
(CCT) dengan derajat miopia.
5.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar disertai
pembanding kelainan refraksi lain seperti hipermetropia dan astigmatisma
untuk medapatkan hasil yang lebih baik.
2. Diperlukan penyuluhan mengenai miopia, terutama pada generasi muda agar
para generasi muda dapat mengetahui dampak dari miopia yang tidak
ditanganin seperti dapat terjadi ambliopia, glaukoma, ablasio retina.
3. Diperlukan skrining dan pemeriksaan lebih lanjut pada mata, seperti
pemeriksaan segmen anterior, posterior, ataupun tekanan bola mata, terutama
pada kasus-kasus miopia sedang hingga berat, sehingga dapat terlihat apakah
miopia ini sudah melibatkan kerusakan pada saraf mata.
53
Universitas Sumatera Utara
54
DAFTAR PUSTAKA
20. Bhardawaj V. Et al. 2013. Axial Length, Anterior Chamber Depth-A Study in
Different Age Groups and Refractive Errors. J Clin Diagn Res. 2013 Oct;
7(10): 2211–2212.
21. Patel AS, O’brien C, Shahzad HSF. 2015. Biometry for Intra-Ocular Lens
(IOL)power
calculation.http://eyewiki.aao.org/Biometry_for_IntraOcular_Lens_(IOL)_po
wer_calculation. (diakses 2 Juni 2018)
22. Srinivasan, S. Mashor, R.S, Slomovic, A.R. 2011. Corneal Manifestation of
Metabolic Diseases. Cornea Fundamental, Diagnosis and Management. 3rd
ed. London:Elsevier. P:665
23. Dawson, D.G.,Ubels, J.L., Edelhauser, H.F. 2011. Cornea and Sclera. Adler’s
Physiology of Eye. 8th Ed. Toronto: Elsevier. p:71-115
24. Coaster, J.D. 2002. Foundation of Keratology in Fundamental of Clinical
Ophthalmology - Cornea, BMJ Publishing Group. London. 20-21.
25. Levine, L.M.,Brar, V.S., Goldstein, M.H.. 2016. Fundamental and Principles
of Ophthalmology. Section 2. American Academy of Ophthalmology. San
Francisco. 73-79;313-319.
26. Gatinel, D. 2013. Elements of Corneal Surface Geometry. Corneal
Topography. Amsterdam: Kugler Publication. p: 3-10
27. Weisenthal, R.W., Afshari, N.A., Bouchard, C.S. 2016. External Disease and
Cornea. Section 8. American Academy of Ophthalmology. San Francisco. 29-
33;391-392.
28. Chen MJ, Liu YT, Tsai CC, Chen YC, ChouCK, Lee SM: Relationship
between centralcorneal thickness, refractive error, corneal
curvature, anterior chamber depth and axiallength. J Chin Med Assoc
2009;72:133–137.
29. Jivrajka R, Shammas MC, Boenzi T, Swearingen M, Shammas HJ:
Variability of axiallength, anterior chamber depth, and lensthickness in the
cataractous eye. J CataractRefract Surg 2008;34:289–294.
30. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II, cet. 1 Jakarta : PT. Rineka Cipta,
1998
31. Faz, Ahmad Thoha, Titik Ba : Paradigma Revolusioner dalam Kehidupan dan
Pembelajaran, cet.1, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007.
32. http://www.kompasiana.com/www.titiiagustia_29.com/perbedaan-ras-dan-
etnis
33. http://www.spengetahuan.com/2017/09/pengertianras-dan-etnis
34. http://www.kompasiana.com/khoiudinzain08/ketidaksetaan-ras-dan-etnis
35. Young TL, Metlapally R, Shay AE: Complex trait genetics of refractive error.
Arch Ophthalmol 2007;125:38–48.
36. Olsen T, Arnarsson A, Sasaki H, Sasaki K,Jonasson F: On the ocular
refractive components: the Reykjavik Eye Study. Acta Ophthalmol Scand
2007;85:361–366.
37. Wong TY, Foster PJ, Ng TP, Tielsch JM,Johnson GJ, Seah SK: Variations in
ocular biometry in an adult Chinese population inSingapore: the Tanjong
Pagar Survey. InvestOphthalmol Vis Sci 2001;42:73–80.
38. Mutti DO, Hayes JR, Mitchell GL, Jones LA,Moeschberger ML, Cotter SA,
KleinsteinRN, Manny RE, Twelker JD, Zadnik K,CLEERE Study Group:
Refractive error, axiallength, and relative peripheral refractive error before
and after the onset of myopia. Invest Ophthalmol Vis Sci 2007;48:2510–
2519.
39. Chui TYP, Bissig D, Berkowitz BA,Akula JD. 2012. Development in the
ROP Rat. Journal of Ophthalmology; 956705.
40. Su DH, Wong TY, Foster PJ, Tay WT, SawSM, Aung T: Central corneal
thickness andits associations with ocular and systemic factors: the Singapore
Malay Eye Study. Am JOphthalmol 2009;147:709–716.
41. Read SA, Collins MJ, Iskander DR: Diurnalvariation of axial length,
intraocular pressure, and anterior eye biometrics. InvestOphthalmol Vis Sci
2008;49:2911–2918
42. Tang WC, Yap MK, Yip SP: A review of current approaches to identifying
human genesinvolved in myopia. Clin Exp Optom 2008;91:4–22.
43. He M, Hur YM, Zhang J, Ding X, Huang W,Wang D: Shared genetic
determinant of axial length, anterior chamber depth, and angleopening
54. Zhang MZ, Saw SM, Hong RZ, et al. Refractive errors in Singapore and
Xiamen, China- a comparative study in School children aged 6 to 7 years.
Optom Vis Sci 2000; 77: 302-308.
55. He M, Huang W, Li Y, Zheng Y, Yin Q, Foster PJ. Refractive error
andbiometry in older Chinese adults: the Liwan eye study. Invest Ophthalmol
Vis Sci. 2009;50:5130–6.
56. Leung CK, Palmiero PM, Weinreb RN, et al. Comparisons of anterior
segment biometry between Chinese and Caucasians using anterior segment
optical coherence tomography. Br J Ophthalmol. 2010;94:1184 –1189.
57. Nangia v, Gupta R, Anshu K et al . “Anterior chamber depth and its
associations with ocular and general parameters in adults “ Clinical &
Experimental Opthalmology, volume 40, issue 6, 2012
58. L. S. Lim, S. M. Saw, V. S. Jeganathan et al., “Distribution and determinants
of ocular biometric parameters in an Asian population: the Singapore Malay
eye study,” Investigative Ophthalmology & Visual Science, vol. 51, pp. 103–
109, 2010. View at Publisher · View at Google Scholar · View at Scopus
59. Haseltine SJ, Pae J, Ehrlich JR, Shammas M, Radcliffe NM.Variation in
corneal hysteresis and central corneal thicknessamong black, hispanic and
white subjects. Acta Ophthalmol2012; 90:626-31.
60. Aghaian E, Choe JE, Lin S, Stamper RL. Central cornealthickness of
Caucasians, Chinese, Hispanics, Filipinos, AfricanAmericans, and Japanese in
a glaucoma clinic. Ophthalmology 2004; 111:2211-9.
61. Chua J, Tham YC, Liao J, Zheng Y, Aung T, Wong TY, et al. Ethnic
differences of intraocular pressure and central corneal thickness: the Singapore
Epidemiology of Eye Diseases study. Ophthalmology. 2014; 121(10):2013–
22. doi: 10.1016/j.ophtha.2014.04.041 PMID: 24950592.
62. Pan CW, Zheng YF, Anuar AR, Chew M, Gazzard G, Aung T, et al.
Prevalence of refractive errors in a multiethnic Asian population: the
Singapore epidemiology of eye disease study. Invest Ophthalmol Vis . 2013;
54(4):2590–8. Epub 2013/03/21. doi: iovs.13-11725 [pii] doi:
10.1167/iovs.13-11725 PMID:23513059.
63. Suh W, Kee C. The distribution of intraocular pressure in urban and in rural
populations: the Namil study in South Korea. Am J Ophthalmol. 2012;
154(1):99–106. Epub 2012/04/17. doi: S0002-9394(12) 00042-6 [pii] doi:
10.1016/j.ajo.2012.01.009 PMID: 22503693.
64. Tomidokoro A, Araie M, Iwase A, Tajimi Study G. Corneal thickness and
relating factors in a population-based study in Japan: the Tajimi study. Am J
Ophthalmol. 2007; 144(1):152–4. doi: 10.1016/j.ajo.2007.02.031 PMID:
17601447.
65. Zhou Q, Liang YB, Wong TY, Yang XH, Lian L, Zhu D, et al. Intraocular
pressure and its relationship to ocular and systemic factors in a healthy
Chinese rural population: the Handan Eye Study. Ophthalmic Epidemiol.
2012; 19(5):278–84. doi: 10.3109/09286586.2012.708084 PMID: 22978528.
66. Pan CW, Wong TY,Lavanya R et all,Ocular Biometry in an Urban Indian
Population: The Singapore Indian Eye Study (SINDI), 2011
67. Shu wen chang, I Lun Tsai, Fung Rong Hu, Luke Long Kuang Lin, Yung
Feng Shih: the cornea in young myopic adults. Br J Ophthalmology
2001:85:916-920
68. Mutty O. D, Hayes J. R., Mitchell G. L., et all Refractive error, Axial length,
and refractive peripheral Error before and after onset Myopia, 2007
69. L. S. Lim, X. Yang, G Gazzard et all , Pubmed, Variations in eye volume,
surface area and shape with refractive error in young children by magnetic
resonance imaging analysis, 2011
70. Hosny M ,Alió JL, Claramonte P, Attia WH, Juan JPS, Relationship Between
Anterior Chamber Depth, Refractive State, Corneal Diameter, and Axial Length,
1999.
71. Osuobeni EP. Ocular components values and their interocorrelations in Saudi
Arabians; Ophthalmic Physiol Opt. 1999 Nov; 19(6): 489-97
72. He M, Huang W, Li Y, Zheng Y, Yin Q, Foster PJ. Refractive error and
biometry in older Chinese adults: the Liwan eye study. Invest Ophthalmol Vis
Sci. 2009;50:5130–5136. pmid:19553618
73. Fam HB, How AC, Baskaran M, Lim KL, Chan YH, Aung T (2006) Central
corneal thickness and its relationship to myopia in Chinese adults. Br J
Ophthalmol 90:1451–1453. doi:10.1136/bjo.2006.101170
74. European Glaucoma Prevention Study Group, Pfeiffer N, Torri V, Miglior S,
Zeyen T, Adamsons I, Cunha-Vaz J (2007) Central corneal thickness in the
European Glaucoma Prevention Study. Ophthalmology 114:454–459.
doi:10.1016/j.ophtha.2006.07.039
75. Liu Z, Pflugfelder SC (2000) The effects of long-term contact lens wear on
corneal thickness, curvature, and surface regularity. Ophthalmology 107:105–
111. doi:10.1016/S0161-6420(99)00027-5
76. Price FW Jr, Koller DL, Price MO (1999) Central corneal pachymetry in
patients undergoing laser in situ keratomileusis. Ophthalmology 106:2216–
2220. doi:10.1016/S0161-6420(99)90508-0
77. Cho P, Lam C (1999) Factors affecting the central corneal thickness of Hong
Kong Chinese. Curr Eye Res 18:368–374. doi:10.1076/ceyr.18.5.368.5347
Nama :
No HP :
Umur : Tahun
prosedur penelitian ini, saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyetujui dan
bersedia agar saya ikut serta dalam penelitian “Hubungan Panjang Aksial,
Ketebalan Kornea Sentral dan Kedalaman Bilik Mata Depan Dengan Kejadian
Miopia Pada Etnis Melayu, India dan China Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara”. Dan kemudian data tersimpan dari penelitian ini
Demikian surat persetujuan bersedia ikut dalam penelitian ini saya buat untuk
(……………………………)
Hubungan Panjang Aksial, Ketebalan Kornea Sentral Dan Kedalaman Bilik Mata Depan
Dengan Kejadian Miopia Pada Etnis Melayu, China Dan India Mahasiswa Kedokteran
Fakultas Universitas Sumatera Utara.
IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Umur :
Agama :
Etnis :
Alamat :
No Hp :
Tanggal pemeriksaan :
Anamnesis
1. Keluhan Utama :
2. Riwayat Pemakaian Kaca Mata :
Panjang Aksial
OD:
OS:
1. Pria 1. 23 tahun 1. Melayu 1. ringan 1. ringan 1. pendek 1. pendek 1. dangkal 1. dangkal 1. tipis 1. tipis
2. Wanita 2. 24 tahun 2. India 2. sedang 2. sedang 2. normal 2. normal 2. normal 2. normal 2. normal 2. normal
3. 25 tahun 3. Cina 3. berat 3. berat 3. panjang 3. panjang 3. dalam 3. dalam 3. tebal 3. tebal
Crosstab
Suku
Melay u India China Total
Miopia Ringan Count 49 31 40 120
Expected Count 45.7 35.7 38.6 120.0
% wit hin Miopia 40.8% 25.8% 33.3% 100.0%
% wit hin Suku 76.6% 62.0% 74.1% 71.4%
Sedang Count 13 15 14 42
Expected Count 16.0 12.5 13.5 42.0
% wit hin Miopia 31.0% 35.7% 33.3% 100.0%
% wit hin Suku 20.3% 30.0% 25.9% 25.0%
Berat Count 2 4 0 6
Expected Count 2.3 1.8 1.9 6.0
% wit hin Miopia 33.3% 66.7% .0% 100.0%
% wit hin Suku 3.1% 8.0% .0% 3.6%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin Miopia 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Crosstab
Suku
Melay u India China Total
AL Pendek Count 5 13 6 24
Expected Count 9.1 7.1 7.7 24.0
% wit hin AL 20.8% 54.2% 25.0% 100.0%
% wit hin Suku 7.8% 26.0% 11.1% 14.3%
Normal Count 54 33 46 133
Expected Count 50.7 39.6 42.8 133.0
% wit hin AL 40.6% 24.8% 34.6% 100.0%
% wit hin Suku 84.4% 66.0% 85.2% 79.2%
Panjang Count 5 4 2 11
Expected Count 4.2 3.3 3.5 11.0
% wit hin AL 45.5% 36.4% 18.2% 100.0%
% wit hin Suku 7.8% 8.0% 3.7% 6.5%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin AL 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Crosstab
Suku
Melay u India China Total
ACD Dangkal Count 21 28 20 69
Expected Count 26.3 20.5 22.2 69.0
% wit hin ACD 30.4% 40.6% 29.0% 100.0%
% wit hin Suku 32.8% 56.0% 37.0% 41.1%
Normal Count 43 22 31 96
Expected Count 36.6 28.6 30.9 96.0
% wit hin ACD 44.8% 22.9% 32.3% 100.0%
% wit hin Suku 67.2% 44.0% 57.4% 57.1%
Dalam Count 0 0 3 3
Expected Count 1.1 .9 1.0 3.0
% wit hin ACD .0% .0% 100.0% 100.0%
% wit hin Suku .0% .0% 5.6% 1.8%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin ACD 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Crosstab
Suku
Melay u India China Total
CCT Tipis Count 6 4 6 16
Expected Count 6.1 4.8 5.1 16.0
% wit hin CCT 37.5% 25.0% 37.5% 100.0%
% wit hin Suku 9.4% 8.0% 11.1% 9.5%
Normal Count 58 44 47 149
Expected Count 56.8 44.3 47.9 149.0
% wit hin CCT 38.9% 29.5% 31.5% 100.0%
% wit hin Suku 90.6% 88.0% 87.0% 88.7%
Tebal Count 0 2 1 3
Expected Count 1.1 .9 1.0 3.0
% wit hin CCT .0% 66.7% 33.3% 100.0%
% wit hin Suku .0% 4.0% 1.9% 1.8%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin CCT 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Crosstab
Miopia
Ringan Sedang Berat Total
AL Pendek Count 17 6 1 24
Expected Count 17.1 6.0 .9 24.0
% wit hin AL 70.8% 25.0% 4.2% 100.0%
% wit hin Miopia 14.2% 14.3% 16.7% 14.3%
Normal Count 99 31 3 133
Expected Count 95.0 33.3 4.8 133.0
% wit hin AL 74.4% 23.3% 2.3% 100.0%
% wit hin Miopia 82.5% 73.8% 50.0% 79.2%
Panjang Count 4 5 2 11
Expected Count 7.9 2.8 .4 11.0
% wit hin AL 36.4% 45.5% 18.2% 100.0%
% wit hin Miopia 3.3% 11.9% 33.3% 6.5%
Total Count 120 42 6 168
Expected Count 120.0 42.0 6.0 168.0
% wit hin AL 71.4% 25.0% 3.6% 100.0%
% wit hin Miopia 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Crosstab
Miopia
Ringan Sedang Berat Total
ACD Dangkal Count 46 19 4 69
Expected Count 49.3 17.3 2.5 69.0
% wit hin ACD 66.7% 27.5% 5.8% 100.0%
% wit hin Miopia 38.3% 45.2% 66.7% 41.1%
Normal Count 74 20 2 96
Expected Count 68.6 24.0 3.4 96.0
% wit hin ACD 77.1% 20.8% 2.1% 100.0%
% wit hin Miopia 61.7% 47.6% 33.3% 57.1%
Dalam Count 0 3 0 3
Expected Count 2.1 .8 .1 3.0
% wit hin ACD .0% 100.0% .0% 100.0%
% wit hin Miopia .0% 7.1% .0% 1.8%
Total Count 120 42 6 168
Expected Count 120.0 42.0 6.0 168.0
% wit hin ACD 71.4% 25.0% 3.6% 100.0%
% wit hin Miopia 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Crosstab
Miopia
Ringan Sedang Berat Total
CCT Tipis Count 14 1 1 16
Expected Count 11.4 4.0 .6 16.0
% wit hin CCT 87.5% 6.3% 6.3% 100.0%
% wit hin Miopia 11.7% 2.4% 16.7% 9.5%
Normal Count 105 39 5 149
Expected Count 106.4 37.3 5.3 149.0
% wit hin CCT 70.5% 26.2% 3.4% 100.0%
% wit hin Miopia 87.5% 92.9% 83.3% 88.7%
Tebal Count 1 2 0 3
Expected Count 2.1 .8 .1 3.0
% wit hin CCT 33.3% 66.7% .0% 100.0%
% wit hin Miopia .8% 4.8% .0% 1.8%
Total Count 120 42 6 168
Expected Count 120.0 42.0 6.0 168.0
% wit hin CCT 71.4% 25.0% 3.6% 100.0%
% wit hin Miopia 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Descriptives
AL angka
95% Conf idence Interv al f or
Mean
N Mean St d. Dev iation St d. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Melay u 64 23.4223 1.10426 .13803 23.1465 23.6982 21.23 25.85
India 50 22.9426 1.26505 .17891 22.5831 23.3021 20.71 25.46
China 54 23.3767 1.01715 .13842 23.0990 23.6543 21.15 25.34
Total 168 23.2649 1.14130 .08805 23.0910 23.4387 20.71 25.85
AL angka
Lev ene
St at ist ic df 1 df 2 Sig.
.868 2 165 .422
ANOVA
AL angka
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7.455 2 3.727 2.928 .056
Within Groups 210.072 165 1.273
Total 217.527 167
Oneway
Descriptives
ACD angka
95% Conf idence Interv al f or
Mean
N Mean St d. Dev iation St d. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Melay u 64 3.1259 .33728 .04216 3.0417 3.2102 2.48 3.90
India 50 3.0362 .33094 .04680 2.9421 3.1303 2.54 3.81
China 54 3.1681 .33206 .04519 3.0775 3.2588 2.59 4.05
Total 168 3.1128 .33594 .02592 3.0616 3.1640 2.48 4.05
ACD angka
Lev ene
St at ist ic df 1 df 2 Sig.
.109 2 165 .897
ACD angka
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .470 2 .235 2.109 .125
Within Groups 18.378 165 .111
Total 18.847 167
Oneway
Descriptives
CCT angka
95% Conf idence Interv al f or
Mean
N Mean St d. Dev iation St d. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Melay u 64 526.1094 25.27067 3.15883 519.7969 532.4218 486.00 585.00
India 50 537.8600 30.92982 4.37414 529.0698 546.6502 470.00 602.00
China 54 529.3519 58.64963 7.98120 513.3436 545.3601 293.00 633.00
Total 168 530.6488 40.46336 3.12182 524.4855 536.8121 293.00 633.00
CCT angka
Lev ene
St at ist ic df 1 df 2 Sig.
4.446 2 165 .013
ANOVA
CCT angka
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4009.711 2 2004.855 1.228 .296
Within Groups 269416.6 165 1632.828
Total 273426.3 167
Cumulativ e
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pria 38 45.2 45.2 45.2
Wanita 46 54.8 54.8 100.0
Total 84 100.0 100.0
Usia
Cumulat iv e
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 23 tahun 54 64.3 64.3 64.3
24 tahun 17 20.2 20.2 84.5
25 tahun 13 15.5 15.5 100.0
Total 84 100.0 100.0
Suku
Cumulativ e
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Melay u 32 38.1 38.1 38.1
India 25 29.8 29.8 67.9
China 27 32.1 32.1 100.0
Total 84 100.0 100.0