Anda di halaman 1dari 93

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Ophthalmology Tesis Magister

2019

Hubungan Panjang Aksial, Ketebalan


Kornea Sentral dan Kedalaman Bilik
Mata Depan dengan Kejadian Miopia
Pada Etnis Melayu, India, dan China
Mahasiswa FK USU

Arsa, Dwi Maysaroh


Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/16903
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN PANJANG AKSIAL, KETEBALAN KORNEA
SENTRAL DAN KEDALAMAN BILIK MATA DEPAN
DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA ETNIS
MELAYU, INDIA, DAN CHINA
MAHASISWA FK USU

TESIS

Oleh :

DWI MAYSAROH ARSA


117110004

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


HUBUNGAN PANJANG AKSIAL, KETEBALAN KORNEA
SENTRAL DAN KEDALAMAN BILIK MATA DEPAN
DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA ETNIS
MELAYU, INDIA, DAN CHINA
MAHASISWA FK USU

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Mata
(Sp.M) dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DWI MAYSAROH ARSA


117110004

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


Judul Penelitian : Hubungan Panjang Aksial, Ketebalan Kornea
Sentral dan Kedalaman Bilik Mata Depan
Dengan Kejadian Miopia Pada Etnis Melayu,
India, dan China Mahasiswa FK USU

Nama Mahasiswa : Dwi Maysaroh Arsa


Nomor Induk Mahasiswa : 117110004
Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata

Menyetujui

Pembimbing I

dr. Aryani Atiyatul Amra, M.Ked (Oph), SpM (K)


NIP. 19640502 199203 2 003

Ketua Program Studi Ketua Departemen


Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Mata

Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked(Oph),Sp.M (K) dr. Aryani Atiyatul Amra, M.Ked (Oph), SpM (K)
NIP. 19761024 200501 2 001 NIP. 19640502 199203 2 003

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada :
Tanggal : 27 Maret 2019
Penguji :

Penguji I Penguji II

Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked (Oph), Sp.M (K) Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes
NIP. 19761024 200501 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata

dr. Hj. Aryani A. Amra, M.Ked(Oph), Sp.M(K)


NIP. 19640502 199203 2 003

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua baik yang kutipan maupun
dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : Dwi Maysaroh Arsa


NIM : 117110004
Tanda Tangan :

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Dwi Maysaroh Arsa
NIM : 117110004
Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif (Non Exclusive Free
Right) atas tesis saya yang berjudul :
“HUBUNGAN PANJANG AKSIAL, KETEBALAN KORNEA SENTRAL DAN
KEDALAMAN BILIK MATA DEPAN DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA
ETNIS MELAYU, INDIA, DAN CHINA MAHASISWA FK USU”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-
Ekslusif ini. Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan
mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : Juni 2019
Yang Menyatakan

(Dwi Maysaroh Arsa)

Universitas Sumatera Utara


Hubungan Panjang Aksial, Ketebalan Kornea Sentral Dan Kedalaman Bilik
Mata Depan Dengan Kejadian Miopia Pada Etnis Melayu, India, Dan China
Mahasiswa FK USU

Dwi Maysaroh Arsa, Aryani Atiyatul Amra

Tujuan: Untuk membandingkan panjang aksial, ketebalan kornea sentral dan


kedalaman bilik mata pada etnis Melayu, India dan China mahasiswa FK USU
dengan riwayat miopia.
Metode: Penelitian dilakukan pada 84 orang (168 mata) yang datang ke poli mata
RS USU periode 7 Januari hingga 4 Februari 2019. Dilakukan pemeriksaan
panjang aksial, ketebalan kornea sentral dan kedalaman bilik mata depan pada
etnis Melayu, India dan China dengan riwayat miopia.
Hasil: Hubungan antara etnis dengan panjang aksial (AL), dijumpai AL pendek
paling banyak pada etnis India, 13 mata (54,2%), dan AL panjang terbanyak pada
etnis Melayu, 5 mata (45,5%). Hubungan antara etnis dengan kedalaman bilik
mata depan (ACD), dijumpai ACD dangkal paling banyak pada etnis India, 28
mata (40,6%), dan ACD dalam hanya di temukan pada etnis China, sebanyak 2
mata (100 %). Hubungan antara etnis dengan ketebalan kornea sentral (CCT),
dijumpai CCT tipis paling banyak pada etnis Melayu dan China, sebanyak 6 mata
(37,5%), dan CCT tebal terbanyak pada etnis India, sebanyak 2 mata (66,7%),
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara etnis dengan
panjang aksial dan kedalaman bilik mata depan, tetapi tidak berhubungan dengan
ketebalan kornea sentral, serta menunjukkan adanya hubungan antara panjang
aksial dan kedalaman bilik mata depan dengan derajat miopia.

Kata Kunci: Panjang aksial, ketebalan kornea sentral, kedalaman bilik mata
depan, etnis.

i
Universitas Sumatera Utara
The Correlation Amongs Axial Length, Central Corneal Thickness and
Anterior Chamber Depth in Malay, Indian and Chinese Ethnicities with
Myopia in Medical Students University of Sumatera Utara

Dwi Maysaroh Arsa, Aryani Atiyatul Amra

Purpose: To compare the correlation amongs axial length, central corneal


thickness and anterior chamber depth in 3 ethnicities with myopia in medical
students University of Sumatera Utara.
Method: The study has been done on 84 patients (168 eyes) who attended
ophthalmologist’s outpatient clinic in 7 January until 4 February 2019. The axial
length, central corneal thickness and anterior chamber depth were measured and
compared.
Results: The relationship between ethnicity with axial length (AL), found that the
shortest AL was found mostly in Indian ethnicity, 13 eyes (54.2%), and the
longest AL found in ethnic Malays, 5 eyes (45.5%). The relationship between
ethnicity with anterior chamber depth (ACD), found that shallow ACD mostly in
Indian ethnicity, 28 eyes (40.6%), and deep ACD was only found in ethnic
Chinese, 2 eyes (100%). The relationship between ethnicity with central corneal
thickness (CCT), found the most thin CCT were in Malay and Chinese ethnicity, 6
eyes (37.5%), and the thickest CCT encountered in ethnic Chinese, 2 eyes
(66.7%).
Conclusions: There is a correlation between ethnicity with axial length and
anterior chamber depth, but not related to central corneal thickness. And also there
is a correlation between axial length and anterior chamber depth with degree of
myopia.

Keywords: Myopia, Axial Length, Anterior Chamber Depth, Central


Corneal Thickness, Ethnicity.

ii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya serta telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini dibuat untuk memenuhi sebagian
dari persyaratan dalam meyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis
Departemen Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / RSUP H. Adam Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak
di masa yang akan datang. Untuk itu perkenankanlah saya menyampaikan
ungkapan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya kepada :
1. dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku Ketua
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / RSUP H. Adam Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara,
sekaligus Dosen Pembimbing saya yang telah banyak memberikan bimbingan,
bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian
dan penyelesaian tesis ini.
2. Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku Ketua Program
Studi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam
Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing
saya yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran
yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
3. dr. Fithria Aldy, M.Ked (Oph), Sp.M selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.
Adam Malik Medan / RS Universitas Sumatera Utara yang telah banyak
memberikan masukan dan dorongan dalam membantu saya meyelesaikan tesis
ini.
4. dr. Delfi, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku Sekretaris Program Studi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan /

iii
Universitas Sumatera Utara
RS Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan masukan dan
dorongan dalam membantu saya meyelesaikan tesis ini.
5. Prof. dr. Aslim D Sihotang, Sp.M (KVR) sebagai guru yang telah banyak
membimbing dan memberikan masukan yang tak ternilai harganya.
6. Drs. Abdul Jalil Amri Arma. M.Kes selaku dosen pembimbing dalam bidang
statistik pada penelitian ini.
7. (Alm) dr. Suratmin, Sp.M (K), (Almh) dr. Nurchaliza H Siregar, M.Ked
(Oph), Sp.M, (Alm) Dr. H. Syaiful Bahri, Sp.M sebagai guru yang telah
banyak memberikan bimbingan dan masukan yang tak ternilai harganya.
Moga kiranya Allah SWT meletakkan Almarhum dan Almarhumah disisi
orang yang beriman disisiNya.
8. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan / RS Universitas
Sumatera Utara atas bimbingan dan arahannya yang sangat bermanfaat dalam
penelitian dan penulisan tesis ini.
9. Abang, kakak dan teman-teman sejawat Ilmu Kesehatan Mata dr. Vera
Avliwani, dr. Ayrika Yuliani, dr. Muhammad Faisal, dr. Sri Ulina Ginting, dr.
Julham Alandy, dr. Zulfahri Lubis, dr. Hendra Gunawan, dr. Elyani Rahman,
dr. Ratu Windi Meidiana, dr. Franky Frans Sihombing, dr. Tari Adrian, dr.
Dedi Saputra, dr. Cut Apriliza Novita, dr. Faiza Sofia Sari, dr. Erick Yudistira,
dr. Barii Hafidh Pramono, dr. Farid Alfarisy, dr. Rafika Rahman, dr. Lidiawati
Manik dan dr. Fadhilah Nisa Tanjung, dr. Sri Rejeki Sinaga, dr. Dwi Atikah
Sari, dr. Ade Marlina, dr. Monika Ayuningrum, dr. Annisa Putri Siregar, dr.
Dixie Tri Susanti, dr. M. Dede Gunawan dan semua yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu.
10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam terlaksananya peneltian serta penulisan tesis ini.

iv
Universitas Sumatera Utara
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orang tua saya H. Hasrul
Hasan Zakaria dan Almh. Irrosa, serta mertua saya H. dr. Surya Muchtar, Sp.PD
dan Hj. dr. Pinto Yusneni Pulungan, Sp.M yang tidak pernah putus asa dan tidak
pernah lelah memberikan doa, perhatian, semangat, dukungan materi dan tenaga,
serta kasih sayang dan kepercayaan sehingga akhirnya tesis ini dapat saya
kerjakan dan saya selesaikan dengan baik.
Kepada Abi dari Anakku, dr. Muhammad Arafat Muchtar terimakasih
selalu memberikan doa, bantuan, dorongan dan semangat sehingga akhirnya tesis
ini dapat saya kerjakan dan saya selesaikan dengan baik. Kurawat kepompong
hingga menjadi Kupu-kupu, meski tahu bahwa yang semua yang bersayap akan
selalu terbang.
Kepada Anakku tercinta, Muhammad Nabigha Ali Mucthar, tesis ini mami
tujukan untuk anak mami tersayang. Maafkan begitu banyak mami meninggalkan
kamu selama mami dalam masa pendidikan, Insya Allah kedepannya hidup kamu
akan lebih berwarna dan bahagia bersama mami.
Kepada Abang Kandung saya Aditya Pradana Arsa, ST dan Kakak Ipar
saya Rosa Obstetrika, terimakasih atas segala doa, bantuan, dorongan, dan
semangat yang telah diberikan selama ini.
Seluruh keluarga dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak memberikan
bantuan serta doa selama ini, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2019

dr. Dwi Maysaroh Arsa

v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR TABEL........................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 3
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 5


2.1 Miopia .................................................................................. 7
2.1.1 Epidemiologi ............................................................ 6
2.1.2 Faktor Resiko ........................................................... 8
2.1.3 Klasifikasi ................................................................ 10
2.1.4 Etiologi..................................................................... 12
2.1.5 Patofisiologi ............................................................. 13
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................... 13
2.1.7 Penatalaksanaan ....................................................... 13
2.2 Pemeriksaan Tajam Penglihatan .......................................... 13
2.3 Teknik Pemeriksaan Refraksi .............................................. 14
2.3.1 Pemeriksaan Refraksi Subjektif ............................... 14
2.3.2 Pemeriksaan Refraksi Objektif ................................ 15
2.4 Kornea .................................................................................. 16
2.5 Topografi Kornea ................................................................. 18
2.6 Kedalaman Bilik Mata Depan.............................................. 21
2.7 Etnis .................................................................................. 21
2.8 Panjang Aksial ..................................................................... 25
2.9 Panjang Aksial dan Komponen-komponen Biometri
Okular .................................................................................. 27
2.10 Panjang Aksial dan Faktor-faktor Genetik .......................... 28
2.11 Alat Pemeriksaan Panjag Aksial dan Kedalaman Bilik
Mata Depan .......................................................................... 30

vi
Universitas Sumatera Utara
2.12. Teknik Pemeriksaan Biometri ............................................. 31
2.13. Kerangka Teori .................................................................... 33
2.14 Kerangka Konsep ................................................................. 33
2.15 Defenisi Operasional............................................................ 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 36


3.1 Rancangan Penelitian........................................................... 36
3.2 Pemilihan Tempat Penelitian ............................................... 36
3.3 Populasi dan Sampel ............................................................ 36
3.4 Besar Sampel ....................................................................... 36
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ............................................... 37
3.5.1 Kriteria Inklusi ......................................................... 37
3.5.2 Kriteria Eksklusi ...................................................... 37
3.6 Identifikasi Variabel ............................................................ 37
3.7 Bahan dan Alat..................................................................... 38
3.8 Cara Kerja ............................................................................ 38
3.9 Alur Penelitian ..................................................................... 39
3.10 Analisa Data ......................................................................... 39
3.11 Pertimbangan Etika .............................................................. 39
3.12 Personalia Penelitian ............................................................ 40
3.13 Biaya Penelitian ................................................................... 40

BAB IV HASIL PENELTIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 41


4.1 Karakteristik Umum Subyek Penelitian .............................. 41
4.2 Pembahasan ......................................................................... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 52


5.1 Kesimpulan .......................................................................... 52
5.2 Saran .................................................................................. 52

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 53

LAMPIRAN

vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 2.1 Refraksi pada Miopia ............................................................. 7

Gambar 2.2 Ukuran Anatomi Kornea Anterior dan Posterior ................... 17

Gambar 2.3 Zona Topografi Kornea .......................................................... 18

Gambar 2.4. Gambaran Pachymetry Pada Kornea yang Menunjukkan


Perbedaan Warna Sesuai dengan Ketebalannya .................... 19

Gambar 2.5. Peta Ketebalan Kornea dengan Gambaran Scheimflug


Menunjukkan Ketebalan yang Berbeda-Beda dari Setiap
Area Korena ........................................................................... 20

Gambar 2.6. Skema Dimensi Okular yang Diperoleh dari MRI ................. 27

Gambar 2.7. Ilustrasi dari AL, ACD, LT, VCD.......................................... 29

Gambar 2.8. Posisi Probe ............................................................................ 32

Gambar 2.9. Pemeriksaan A-Scan ............................................................... 32

Gambar 2.10. A-Scan Biometer AL 100 ........................................................ 32

Gambar 2.11. Kerangka Teori....................................................................... 33

Gambar 3.1. Alur Penelitian ....................................................................... 39

viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 2.1 Perbandingan Antara Etnis dan Ras ......................................... 23

Tabel 2.2 Definisi Operasional ................................................................. 34

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Umum Subjek Penelitian ................... 41

Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Terhadap Derajat Miopia,


Panjang Aksial (AL), Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD)
dan Ketebalan Kornea Sentral (CCT)....................................... 42

Tabel 4.3 Hubungan Antara Derajat Miopia terhadap Etnis Melayu,


India dan China pada Mahasiswa FK USU .............................. 43

Tabel 4.4. Hubungan Antara Panjang Aksial (AL) terhadap Etnis


Melayu, India dan China pada Mahasiswa FK USU ................ 43

Tabel 4.5. Hubungan Antara Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD)


terhadap Etnis Melayu, India dan China pada Mahasiswa FK
USU .......................................................................................... 44

Tabel 4.6. Hubungan Antara Ketebalan Kornea Sentral (CCT) terhadap


Etnis Melayu, India dan China pada Mahasiswa FK USU ...... 44

Tabel 4.7. Perbandingan Rerata Antara Panjang Aksial (AL),


Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) dan Ketebalan Kornea
Sentral (CCT) pada Mahasiswa FK USU ................................. 45

Tabel 4.8. Hubungan Antara Derajat Miopia dengan Panjang Aksial


(AL), Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) dan Ketebalan
Kornea Sentral (CCT) pada Mahasiswa FK USU .................... 46

ix
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar
garis pandang pada keadaan mata tidak berakomodasi difokuskan di depan retina.
Miopia sebagai kelainan refraksi, hampir selalu menduduki urutan teratas
dibandingkan dengan kelainan refraksi lainnya.1
Dalam perkembangannya, miopia pertama kali terjadi pada usia 5-10
tahun dan meningkat pada usia sebelum 18-20 tahun. Dari hasil penelitian pada
157 mahasiswa kedokteran di Singapura tahun kedua (usia 19-23 tahun)
didapatkan 89,8% menderita miopi dan presentasi ini meningkat dari hasil
penelitian sebelumnya tahun 1990 saat didapatkan hasil 82%. 2
Penelitian lain menyebutkan, dari 140 mahasiswa kedokteran senior di
Fakultas Kedokteran Universitas Trondheim, Norwegia, 133 (75 perempuan, 58
laki-laki) telah diperiksa dan didapatkan prevalensi miopia 50,3% pada mata
kanan (n = 67) tanpa perbedaan yang signifikan antara siswa perempuan dan laki-
laki. Sebanyak 43,3% mahasiswa yang mengalami miopia memakai kacamata
pada usia sekitar 20 tahun, hal ini menunjukkan angka prevalensi yang relatif
tinggi pada onset dewasa miopia.3
Di Indonesia sendiri sudah cukup banyak penderita miopia atau rabun
jauh, hal ini dikarenakan kebiasaan buruk yang sering kali dilakukan, ada pula
karena faktor keturunan. Diperkirakan penderita miopia atau rabun jauh antara
800 juta - 2,3 milyar orang. Di negara negara seperti Cina,India dan Malaysia
41% penduduk negara tersebut dari orang dewasa menderita miopia dengan minus
1 (-1.00).4
Insidensi miopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur,
negara, jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan faktor
lainnya.Prevalensi miopia bervariasi berdasar negara dan kelompok etnis, hingga
mencapai 70-90% di beberapa negara. Dari beberapa penelitian dikatakan bahwa
orang Asia memiliki kecenderungan miopia yang lebih besar (70%-90%) daripada

1
Universitas Sumatera Utara
2

orang Eropa dan Amerika (30%-40%), sedangkan yang paling jarang mengalami
miopia adalah orang Afrika (10%- 20%).2,5
Panjang aksial mata ketika lahir yakni 17 mm. Panjang aksial akan
bertambah menjadi 20 mm hingga 12 bulan kehidupan berlanjut dengan pesat
hingga usia 2 tahun. Kemudian perubahan panjang aksial dibagi menjadi dua fase,
yaitu infantile phase dan juvenile phase. Pada infantile phase (umur 2- 5 tahun)
pertumbuhan sumbu bola mata sekitar 1,1 mm dan juvenile phase (umur 5-13
tahun) pertumbuhannya mencapai 1,3 mm. Mencapai dewasa panjang aksial
menurun menjadi 24 mm. Saat dewasa, laki-laki memiliki sumbu mata yang
sedikit lebih panjang dari perempuan, sekitar 0,3-0,4 mm.6,7
Kornea berperan sebagai gerbang utama dalam penglihatan.Kornea dan
sklera keduanya membentuk dinding luar dari bola mata.Kornea berperan seperti
jendela transparan yang meneruskan cahaya masuk ke dalam bola mata, sementara
sklera berperan seperti kotak hitam yang memungkinkan pembentukan bayangan
pada retina.Kornea tidak hanya berperan sebagai komponen utama refraksi tetapi
juga berperan dalam sistem pertahanan biologis mata melalui peranan sel
epitel.Fungsi optik dari kornea sangat ditentukan oleh transparansi, kontur,
permukaan kornea yang licin, dan indeks refraksinya.Susunan yang teratur dari
kolagen stroma dan ketiadaan vaskularisasi pada kornea juga turut berperan
penting dalam menjaga transparansi kornea.
Ketebalan kornea berkisar antara 540-700μm dan tersusun atas lima
lapisan yaitu epitel, membran Bowman, Stroma, membran Descemet’s, dan
endotel, dimana masing-masing memiliki struktur dan peran yang berbeda.
Menurut Kleinstein RN, Sinnot LT, Jones Jordan LA (2007) dalam
penelitiannya menemukan pada kelompok etnis di negara Asia terjadi kasus
miopia baru sebesar 27,3%.8
Menurut Tan (2004), Hasim (2008) menyatakan kelompok etnis China,
Melayu dan India di Singapura mengalami miopia lebih banyak dibandingkan
dengan etnis China, Melayu dan India di Malaysia.2,4
Di Korea, menurut datapenelitian Sivian dkk tahun 2009, panjang sumbu
bola mata pada miopia adalah ±23,22 mm dan besar kurvatura kornea rata-rata
pada miopia adalah ±41,98 dioptri.9

Universitas Sumatera Utara


3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
pertanyan penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah hubungan dan perbedaan
antara etnis Melayu, India dan China dengan panjang aksial, ketebalan kornea
sentral serta kedalaman bilik mata depan pada penderita miopia mahasiswa FK
USU.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan panjang aksial, ketebalan kornea sentral serta
kedalaman bilik mata depan dan hubungannya dengan miopia pada etnis Melayu,
India dan China mahasiswa FK USU yang bertugas di rumah sakit Universitas
Sumatera Utara.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui hubungan derajat miopia dengan etnis Melayu, India dan
China mahasiswa FK USU dengan miopia.
2. Untuk mengetahui hubungan panjang aksial dengan etnis Melayu, India dan
China mahasiswa FK USU dengan miopia.
3. Untuk mengetahui hubungan kedalaman bilik mata depan dengan etnis
Melayu, India dan China mahasiswa FK USU dengan miopia.
4. Untuk mengetahui hubungan ketebalan kornea sentral dengan etnis Melayu,
India dan China mahasiswa FK USU dengan miopia.
5. Untuk mengukur dan membandingkan rerata panjang aksial, ketebalan kornea
sentral serta kedalaman bilik mata depanantara etnis Melayu, India dan China
pada mahasiswa kedokteran FK USU dengan miopia.
6. Untuk menilai hubungan antara miopia dengan panjang aksial, ketebalan
kornea sentral serta kedalaman bilik mata depan.

Universitas Sumatera Utara


4

1.4 Manfaat Penelitian


1. Menambah pengetahuan peneliti dalam bidang refraksi dan informasi bagi
peneliti lain yang akan melakukan penelitan selanjutnya.
2. Memberikan informasi tambahan mengenai perbedaan panjang aksial,
ketebalan kornea sentral serta kedalaman bilik mata depan antar etnis tertentu
dan hubungannya dengan derajat miopia.
3. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat bahwa miopia
berkaitan erat dengan panjang aksial, ketebalan kornea sentral serta kedalaman
bilik mata depan, dan sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai perlakuan sehari-hari pada penderita miopia dengan panjang aksial
yang panjang agar dapat melakukan pencegahan terhadap kerusakan yang
lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Miopia
Miopia merupakan bentuk paling sering dari kesalahan refraksi okular
(ametropia), dimana perubahan dalam kelengkungan dan ketebalan kornea dan
lensa, kedalaman bilik anterior dan panjang sumbu bola mata menyebabkan
konvergensi sinar yang sejajar terhadap bidang retina dan dengan demikian
menyebabkan konvergensi penglihatan “dekat”. Kondisi ini mempengaruhi sekitar
1,6 milyar orang di seluruh dunia (sekitar 22% dari populasi) dan diantisipasi
mengalami peningkatan prevalensi menjadi 2,5 milyar pada tahun 2020. Miopia
biasanya mengalami percepatan selama tahun-tahun masa remaja. Prevalensinya
jauh lebih tinggi pada anak-anak dari etnis Asia Timur dan Asia Tenggara (42,7%
dan 59,1% pada anak-anak usia 12 dan 17 tahun) dibandingkan dengan anak-anak
dari etnis Kaukasia Eropa (8,3% dan 17,7%). Aktivitas kerja dekat seperti
membaca, menulis, menggunakan komputer dan bermain video game dianggap
berkontribusi kepada perkembangan miopia dengan menyebabkan kontraksi otot
siliar terus menerus dan rintangan akomodasi yang tepat, pada mana mata
bereaksi dengan pemanjangan dengan laju yang lebih tinggi. Baru-baru ini, lebih
sedikit waktu dihabiskan di ruangan terbuka (outdoor) juga berpengaruh (“teori
dopamin-sinar”) karena peningkatan intensitas sinar menstimulasi pelepasan
dopamin, yang pada gilirannya mengurangi pemanjangan sumbu mata.
Myopia remaja dan yang baru beranjak dewasa biasanya dicirikan oleh
panjang aksial < 26 mm dan kesalahan refraksi yang lebih ringan hingga -5 dioptri
(D). Bentuk ini dibedakan dari kondisi miopia tinggi (atau patologik) yang lebih
berat, yang menyebabkan 27-33% dari semua pasien miopia, dimana kesalahan
refraksi yang ekstrim ≥ -6,00 D dan panjang aksial > 26 mm terkait dengan
perubahan degeneratif progresif fundus, diskus optikus, penipisan retina dan atrofi
koroid. Manifestasi klinik ini memicu resiko yang lebih besar pada orang yang
sedang mengembangkan morbiditas okular, terutama degenerasi makula, ablasio
retina, katarak dan glaukoma. Mengkhawatirkan memang bahwa prevalensi
miopia ≥ -8,00 D meningkat delapan kali lipat lebih dalam 30 tahun terakhir.

5
Universitas Sumatera Utara
6

Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di


depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat
dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek yang
masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa akomodasi. Miopia berasal dari
bahasa Yunani “meyn” yang memiliki arti menutup dan “op” yang berarti mata.
Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah
“nearsightedness”.1,6,10
Miopia adalah salah satu gangguan mata yang paling umum. Hal ini
menyebabkan gangguan penglihatan pada anak-anak dan orang dewasa yang
biasanya dapat diperbaiki dengan menggunakan alat bantu optik seperti kacamata
dan lensa kontak, atau melalui cara bedah yang semakin populer. Miopia yang
lebih tinggi dapat menyebabkan komorbiditas yang terkait dengan peningkatan
risiko kehilangan penglihatan yang parah dan ireversibel, seperti ablasi retina,
neovaskularisasi subretinal, katarak padat, dan glaukoma.1,6,10
Hubungan antara miopia dan glaukoma sudah dipastikan dengan jelas,
dengan 6% hingga 29% pasien glaukoma sudut-terbuka (POAG) melaporkan
miopia secara bersamaan. Studi-studi berbasis populasi menunjukkan bahwa
kemungkinan mengembangkan glaukoma meningkat dengan meningkatnya
keparahan miopia. Odds ratio (OR) gabungan untuk hubungan glaukoma dan
miopia rendah (≤ 3,00 D) adalah 1,65; untuk hubungan glaukoma dan miopia
moderat hingga tinggi (> 3,00 D) OR = 2,46. Peningkatan panjang aksial (> 26
mm) disebut-sebut sebagai faktor pendukung paling penting untuk perkembangan
glaukoma pada miopia.Walaupun miopia tinggi merupakan faktor resiko kuat
untuk subtipe glaukoma, miopia rendah dan moderat juga berdampak nyata pada
resiko glaukoma.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa miopia dipengaruhi oleh faktor
keturunan (genetik) dan tingginya aktivitas melihat dekat (nearwork), seperti
membaca dan bermain game komputer atau handphone. Teknik membaca (posisi
membaca, jarak membaca, lama membaca dan pencahayaan) yang tepat sangat
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya miopia sejak dini. 11,12

Universitas Sumatera Utara


7

Gambar 2.1.Refraksi pada Miopia. a. Berkas cahaya paralel dari objek yang jauh
masuk kemata dan titik fokus jatuh pada anterior retina. b.Hanya objek dekat yang
berkas cahayanya berjalan secara divergen sampai memasuki mata dan di
fokuskan di retina yang dapat dilihat dengan jelas. c. Miopia Aksial: kekuatan
refraksi normal namun aksial bola mata terlalu panjang sehinga cahaya jatuh di
depan retina. d. Miopia refraktif: panjang aksial bola mata normal namun
kekuatan refraksi terlalu kuat sehingga bayangan juga jatuh di depan retina. e.
Katarak nuklear dimana terjadinya fokus sekunder.2

2.1.1 Epidemiologi
Miopia adalah penyebab paling umum terjadinya gangguan penglihatan
yang dapat dikoreksi pada orang dewasa maupun anak-anak di negara maju dan
penyebab utama gangguan penglihatan di negara berkembang. Miopia tinggi
mempengaruhi hingga 20% dari anak-anak sekolah menengah di Asia Timur.
Prevalensi miopia relatif rendah pada populasi Eropa, mempengaruhi sekitar 3-5%
dari anak-anak berumur 10 tahun dan sampai 20% pada usia 12-13 tahun.
Prevalensi miopia antara anak-anak usia sekolah di India selatan adalah 8,6%.13

Universitas Sumatera Utara


8

2.1.2 Faktor Resiko8,14-17


Faktor resiko terjadinya miopia diantaranya adalah:
1. Riwayat Keluarga
Di Taiwan, sebuah survei nasional menunjukkan bahwa subyek berusia
antara 16 sampai 18 tahun memiliki tingkat miopia pada 84%. Dengan
menggunakan definisi yang sama miopia tinggi (6 D), prevalensi miopia tinggi
adalah 18% antara laki-laki Taiwan muda dan 24% di antara perempuan muda
Taiwan, di bandingkan dengan singapura yang hanya 13,1%. Selanjutnya, hasil
survei menunjukkan prevalensi miopia meningkat dari 76% menjadi 81% pada
Taiwan penduduk muda (umur 15 tahun) menurut dua survei nasional yang
dilakukan pada tahun 1995 dan 2000. Hal ini umumnya diyakini bahwa penyakit
yang disebabkan terutama oleh faktor genetik cenderung memiliki onset
sebelumnya, anggota keluarga lebih dipengaruhi, dan lebih parah klinis presentasi
dibandingkan dengan penyakit yang sama yang disebabkan terutama oleh faktor
lingkungan.
Sejarah keluarga miopia sangat terkait dengan gangguan refraksi yang di
turunkan kepada anaknya (p <0,001) dengan meningkatnya jumlah anggota
keluarga dengan miopia, namun peningkatan ini hanya marjinal. Untuk setiap 100
anak-anak dengan riwayat keluarga miopia dan yang juga menderita gangguan
refraksi, 46 dari mereka, dengan satu anggota keluarga yang memiliki miopia,
bisa menderita miopia. Angka ini meningkat menjadi 52 ketika dua anggota
keluarga miopia, dan 60 ketika tiga atau lebih anggota keluarga yang
miopia.risiko miopia mengembangkan meningkat ketika hanya anggota keluarga
tunggal miopia, dibandingkan dengan tidak ada riwayat keluarga miopia sama
sekali.
Beberapa penelitian telah melaporkan pengaruh ras terhadap prevalensi
miopia. Pada populasi kulit putih, prevalensi miopia dilaporkan 17-26,2%
sedangkan pada populasi kulit hitam prevalensi miopia sebesar 13-21,5%.
Prevalensi miopia yang cenderung lebih tinggi lebih banyak dijumpai pada
penduduk ras Asia Timur.

Universitas Sumatera Utara


9

Faktor genetik dapat menurunkan sifat miopia ke keturunannya, baik


secara autosomal dominan maupun autosomal resesif.Pada ras oriental, gejala
miopialebih banyak diturunkan secara autosomal resesif.
2. Aktivitas dekat
Membaca, menonton televisi, atau menggunakan komputer dikategorikan
sebagai aktivitas dekat. Anak-anak yang rabun lebih banyak melakukan aktivitas
belajar dan membaca. Terdapat hubungan positif antara miopia dan jarak dekat
saat membaca di anak-anak sekolah Australia. Terdapat korelasi antara miopia
dan durasi yang lebih pendek saat menonton televisi. Tapi, satu studi menemukan
bahwa anak-anak dengan miopia menghabiskan lebih banyak waktu untuk
menonton televisi dibandingkan dengan anak-anak non-miopia. Rasio odds untuk
anak-anak yang membaca lebih dari 2 jam per hari untuk memiliki miopia lebih
tinggi adalah 2.
3. Membaca dalam cahaya redup
Ada korelasi antara miopia dengan membaca dalam cahaya redup pada
Investigasi Faktor Risiko Miopia pada Anak-anak Sekolah di Beijing.
4. Seks
Wanita memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki miopia daripada pria.
Hal ini mungkin dikarenakan efek hormonal. Percobaan yang dilakukan pada
kornea porcine menunjukkan efek estrogen terhadap ketebalan kornea dan
biomekanik kornea. Tingkat estradiol (E2) mempengaruhi lensa sferis, lensa
silindris, aksis, dan jarak interpupiller selama siklus haid.
5. Kelengkungan kornea
Beberapa penelitian menemukan hubungan antara kelengkungan kornea
dan refraktif anomali. Mata rabun memiliki kelengkungan kornea yang lebih
tajam dari pada mata normal.
6. Aktivitas Outdoor
Aktivitas luar ruangan baru-baru ini dikenal sebagai faktor protektif untuk
kelainan refraksi. Hal ini bahkan dapat mengalahkan faktor risiko orang tua
miopik jika anak-anaknya menghabiskan cukup banyak waktu di luar ruangan tiap
minggunya. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa makin banyak waktu
dihabiskan untuk aktivitas di luar ruangan berkaitan dengan peluang yang lebih

Universitas Sumatera Utara


10

kecil untuk terkena kelainan refraksi. Peluang kelainan refraksi turun 2% untuk
tiap tambahan jam yang dihabiskan di luar ruangan per minggu.
Pada penelitian Jones tentang riwayat miopia orang tua, efek olahragadan
aktivitasdi luar rumah terhadap kejadian miopia, didapatkan hasilbahwa jumlah
olahraga dan aktivitas di luar rumah yang rendahmeningkatkan kejadian miopia
pada anak yang mempunyai kedua orangtua miopia daripada anak yang hanya
mempunyai salah satu atau tidaksatupun orangtua dengan riwayat miopia.
Mekanisme di mana aktivitas luar ruangan dapat membantu mencegah
onset miopia masih belum jelas. Sinar yang lebih terang mungkin menjadi
mekanisme untuk memproteksi terhadap miopia. Teori “light-dopamine” diterima
sebagai mekanisme yang memungkinkan. Peningkatan intensitas selama waktu
dihabiskan di luar ruangan dapat menstimulasi retina untuk melepaskan dopamin,
yang dapat menghambat elongasi aksial dari bola mata. Proteksi miopia
tampaknya terutama berasal dari cahaya tampak, bukan sinar UV. Oleh karena itu,
pencegahan miopia dari waktu yang dihabiskan di luar ruangan seharusnya
kompatibel dengan penghindaran paparan UV.
Aktivitas luar ruangan, durasi efektif, frekuensi, dan intensitas cahaya
masih dalam investigasi lebih lanjut. Terdapat kemungkinan adanya ambang batas
dari 10 hingga 14 jam dihabiskan di luar ruangan per minggu untuk mencegah
onset kelainan refraksi. Sebuah randomized trial pada anak-anak sekolah di Cina
menunjukkan bahwa 40 menit per hari aktivitas luar ruangan menurunkan onset
miopia 9% setelah 3 tahun. Di Taiwan, sebuah studi intervensional menunjukkan
bahwa 80 menit per hari aktivitas luar ruangan intermiten menurunkan onset
miopia 9% setelah 1 tahun.

2.1.3 Klasifikasi1,6,17
Klasifikasi miopia menurut American optometric Association adalah :
a. Miopia simpleks
Miopia yang disebabkan oleh indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang
terlalu tinggi atau karena panjang aksial yang memanjang.

Universitas Sumatera Utara


11

b. Miopia nokturnal
Miopia yang terjadi akibat akomodasi yang berlebihan disaat kurangnya
pencahayaan terutama di malam hari.
c. Pseudomyopia
Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan daya bias mata karena stimulasi
yang berlebihan dari mekanisme akomodasi mata atau kekejangan dari siliaris.
d. Miopia degeneratif
Miopia derajat tinggi yang berhubungan denganterjadinya perubahan
degeneratif di segmen posterior mata.
e. Miopia induksi
Miopia yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan, naik turunnya kadar
gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa. Miopia jenis ini sering
bersifat sementara atau reversible.
Pengelompokkan miopia berdasarkan penyebabnya:
a. Miopia aksial
Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan panjang antero-posterior bola
mata meskipun kurvatura kornea dan lensa normal. Merupakan bentuk miopia
yang paling sering dijumpai.
b. Miopia refraktif
Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan kekuatan refraksi mata. Miopia ini
dibedakan atas :
- Curvatural myopia, miopia yang disebabkan oleh peningkatan
kelengkungan kornea, lensa, atau keduanya.
- Index myopia, disebabkan peningkatan indeks refraksi lensa mata.
- Positional myopia, miopia yang disebabkan pergerakan lensa mata ke
anterior.
Berdasarkan waktu terjadinya, miopia dibedakan atas:
a. Congenital myopia
Miopia yang timbul sejak lahir. Miopia ini biasanya berhubungan dengan
kelainan kongenital seperti katarak, aniridia atau megalocornea.

Universitas Sumatera Utara


12

b. Juvenile onset myopia


Miopia yang timbul pada saat usia anak-anak dan remaja antara usia 7-16
tahun. Faktor primer timbulnya miopia ini adalah pertumbuhan panjang aksial
bola mata. Faktor resiko yang dapat mengakibatkan juvenile onset myopia
antara lain lahir prematur, riwayat keluarga dan banyak membaca dekat.
c. Adult onset myopia
Miopia mulai timbul pada umur berkisar 20 tahunan. Adult onset myopia
sering timbul pada orang yang sering membaca dekat.
Derajat berat miopia diukur oleh kekuatan korektif lensa sehingga
bayangan dapat jatuh di retina, yang dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Miopia ringan : -0.25 D s/d -3.00 D.
b. Miopia sedang : -3.25 D s/d -6.00 D.
c. Miopia tinggi : > -6.00 D.

2.1.4 Etiologi
Pada dasarnya miopia dapat terjadi oleh karena pertambahan panjang aksis
bola mata tanpa diikuti oleh perubahan pada komponen refraksi yang lain. Begitu
juga perubahan kekuatan refraksi kornea, lensa dan akuos humor akan
menimbulkan miopia bila tidak dikompensasi oleh perubahan panjang aksis bola
mata. Beberapa hal yang dikaitkan atau diperkirakan sebagai etiologi miopia
adalah:
1. Herediter
2. Penyakit sistemik
3. Kelainan endokrin
4. Malnutrisi, defisiensi vitamin dan mineral tertentu
5. Penyakit mata
6. Gangguan pertumbuhan
7. Lingkungan
8. Kerja dekat yang berlebihan
9. Pemakaian kacamata yang tidak sesuai.

Universitas Sumatera Utara


13

2.1.5 Patofisiologi1,6,17
Faktor yang penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan
lensa. Permukaan kornea yang melengkung adalah struktur pertama yang dilewati
oleh sinar sewaktu sinar tersebut memasuki mata. Pada miopia, karena bola mata
terlalu panjang atau lensa terlalu kuat, maka sumber cahaya dekat dibawa ke fokus
di retina tanpa akomodasi (meskipun akomodasi dalam keadaan normal digunakan
untuk melihat benda dekat), sementara sumber cahaya jauh terfokus di depan
retina dan tampak kabur. Hal ini mempengaruhi pemanjangan sumbu bola mata.
Penelitian yang dilakukan di Inggris oleh Sorbsy dkk tahun 2009, menemukan
bahwa selama masa kanak-kanak terjadi peningkatan panjang bola mata dan
penurunan kekuatan indeks bias mata. Miopia dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa spheris negatif atau lensa cekung sehingga cahaya yang
datang akan jatuh tepat di retina.

2.1.6 Manifestasi Klinis1,6,17,18


Keluhan utama seorang penderita miopia adalah kabur melihat jauh dan
jelas saat melihat dekat. Pasien sering mengeluhkan sakit kepala dan mata terasa
lelah. Seseorang yang miopia memiliki kebiasaan mengernyitkan matanya untuk
mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole.

2.1.7 Penatalaksanaan1,6,17,18
Terapi yang dapat diberikan pada penderita miopia adalah koreksi
kacamata dengan menggunakan lensa konkaf (negatif) terkecil yang memberikan
ketajaman penglihatan maksimal. Lensa negatif ini memindahkan bayangan
dengan memundurkan bayangan tepat di retina sehingga penderita miopia dapat
melihat dengan baik tanpa akomodasi. Selain dikoreksi dengan kacamata, koreksi
miopia dapat menggunakan lensa kontak atau bedah keratorefraktif.

2.2 Pemeriksaan Tajam Penglihatan1,6,7,17,19


Pemeriksaan tajam penglihatan dapat dilakukan dengan cara Visus dan
Kartu Snellen. Visus merupakan jarak seseorang terhadap huruf optotype snellen
yang masih bisa dilihat jelas dengan jarak seharusnya yang bisa dilihat mata

Universitas Sumatera Utara


14

normal. Fakta empiris menunjukkan bahwa mata kita bisa melihat sesuatu pada
jarak tertentu, jari bisa dilihat jelas hingga jarak 60 m, lambaian tangan hingga
300 m, cahaya jauh tak terhingga. Jika pasien hanya bisa melihat huruf yang
paling atas, visusnya dikatakan 6/60. Untuk keperluan pengukuran visus yang
besarnya 6/60 sampai 6/6, maka dibuatlah urutan huruf Snellen. Jika huruf paling
atas tidak dapat dibaca, maka pasien diminta untuk menghitung jari pada jarak
5m, 4m, 3m, 2m, 1m, dan visusnya msing-masing dikatakan 5/60, 4/60, 3/60,
2/60, dan 1/60. Apabila pasien tidak dpaar melihat jari pada jarak 1m, maka
digunakan lambaian tangan pada jarak 1m. Apabila pasien bisa melihat arah gerak
tangan dikatakan visusnya 1/300.Kalau masih tidak bisa juga, digunakan ransang
cahaya senter pada jarak 1m. Kalau bisa melihat dikatakan visusnya 1/8, tapi
kalau tidak bisa melihat apa-apa, maka visusnya nol atau buta. Untuk pasien yang
tidak bisa membaca, digunakan optotip Snellen bertuliskan huruf E (E-chart)
dengan berbagai posisi arah kaki huruf E (atas, bawah, kanan, dan kiri).

2.3 Teknik Pemeriksaan Refraksi1,6,7,17,19


Teknik pemeriksaan refraksi terdiri dari pemeriksaan secara subjektif dan
objektif.

2.3.1 Pemeriksaan Refraksi Subjektif


Pemeriksaan refraksi subjektif adalah teknik/metode pemeriksaan refraksi
yang bergantung pada respon penderita dalam menentukan hasil koreksi refraksi.
Pada gangguan refraksi sferis, pemeriksaan refraksi subjektif cenderung lebih
mudah dilakukan (teknik trial and error) dibanding pada astigmatisma yang
cenderung lebih kompleks.
Trial and Error merupakan pemeriksaan refraksi subjektif dengan teknik
trial and error dilakukan dengan menempatkan lensa sferis negatif atau positif
sehingga didapatkan visus 6/6. Lensa sferis negatif yang dipilih adalah lensa sferis
negatif terkecil dan untuk lensa sferis positif, dipilih lensa sferis positif terbesar.

Universitas Sumatera Utara


15

2.3.2 Pemeriksaan Refraksi Objektif1,6,7,17,19,20,21


Pemeriksaan objektif adalah teknik pemeriksaan refaksi mata dimana
pemeriksa aktif dan pasien pasif dengan menggunakan alat refraksi dan hasil
pemeriksaan bisa diketahui dalam waktu singkat.Pemeriksaan objektif adalah
pemeriksaan refraksi dimana hasil refraksi dapat ditentukan tanpa adanya respon
dari pasien.Kelebihan pemeriksaan ini adalah pemeriksaan dapat dilakukan tanpa
informasi subjektif dari pasien mengenai kualitas visus dan kekuatan dioptri
kornea yang diperoleh selama prosedur berlangsung. Kerja sama dari pasien yang
diperlukan hanya pada saat, misalnya, meletakkan kepala, atau memfiksasi
pandangan pada target tertentu.
Pemeriksaan refraksi objektif terdiri dari :
a. Pemeriksaan Autorefraktometer-Keratometri
Autorefraktometer keratometri adalah suatu alat untuk menentukan
kekuatan refraksi yang diperlukan untuk memfokuskan cahaya pada retina dan
sangat berguna untuk anak-anak yang tidak bisa duduk diam dan melihat kekuatan
dioptri kornea pada kornea secara otomatis. Pemeriksaan yang dilakukan bersifat
cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit.
b. Pemeriksaan Panjang Sumbu Bola Mata
Panjang sumbu bola mata diukur dari permukaan depan kornea sampai ke
retina. Jika sumbu bola mata terlalu panjang, maka bayangan akan jatuh di depan
retina dan pasien ini dikatakan miopia atau rabun jauh. Tron dan Strenstrom
mengobservasi hubungan antara keadaan refraksi dengan panjang sumbu bola
mata.Setiap pertambahan panjang sumbu bola mata 1 mm akan menambah daya
refraksi sebanyak 3 dioptri.
Kebanyakan pertumbuhan sumbu bola mata terjadi pada tahun pertama
kehidupan, panjang sumbu bola mata terjadi 3 fase, fase pertama terjadi sangat
cepat pada 6 bulan pertama, peningkatan panjang sumbu bola mata ±4 mm.
Selama fase kedua (2-5 tahun) dan fase ketiga (5-13 tahun) pertumbuhan
melambat sekitar 1 mm. Panjang sumbu bola mata adalah jarak antara kutub
anterior dan posterior bola mata, yaitu mulai dari tear film hingga retinal pigment
epithelium (RPE). Pada neonatus rata-rata panjang sumbu bola mata 17 mm dan

Universitas Sumatera Utara


16

mencapai terus berkembang sampai usia 12 tahun. Pada miopia panjang sumbu
bola mata > 23 mm.
Teknik yang digunakan dalam biometri ada 2 jenis yaitu: (1) aplanasi
kontak dan (2) imersi. Probe transmitter pada teknik imersi tidak langsung
menyentuh kornea sehingga dapat menghindari penekanan (identasi) yang dapat
mempengaruhi pengukuran.Teknik ini kurang praktis dibandingkan teknik
aplanasi (kontak) karena membutuhkan waktu yang lama dalam pemeriksaan
pasien.
Teknik aplanasi mempunyai akurasi yang cukup baik. Ketepatan
pengukuran akan lebih baik jika dilakukan dengan cara posisi duduk atau tegak
dan panjang sumbu bola mata diukur dari anterior kornea sampai ke retina.

2.4 Kornea
Kornea berperan sebagai gerbang utama dalam penglihatan.Kornea dan
sklera keduanya membentuk dinding luar dari bola mata.Kornea berperan seperti
jendela transparan yang meneruskan cahaya masuk ke dalam bola mata, sementara
sklera berperan seperti kotak hitam yang memungkinkan pembentukan bayangan
pada retina.Kornea tidak hanya berperan sebagai komponen utama refraksi tetapi
juga berperan dalam sistem pertahanan biologis mata melalui peranan sel epitel.
Fungsi optik dari kornea sangat ditentukan oleh transparansi, kontur, permukaan
kornea yang licin, dan indeks refraksinya. Susunan yang teratur dari kolagen
stroma dan ketiadaan vaskularisasi pada kornea juga turut berperan penting dalam
menjaga transparansi kornea.22
Ketebalan kornea berkisar antara 540-700μm dan tersusun atas lima lapisan
yaitu epitel, membran Bowman, Stroma, membran Descemet’s, dan endotel,
dimana masing-masing memiliki struktur dan peran yang berbeda. Kornea
tersusun atas tiga macam sel penyusun utama, yaitu sel epitel, sel keratosit stroma,
dan sel endotel.Sel epitel dan endotel masing masing berperan sebagai barier bagi
lapisan stroma, dimana terdapat tahanan difusi terhadap cairan dan larutan untuk
mempertahankan kejernihan kornea.Tahanan difusi epitel jauh lebih besar
dibanding endotel.Ketiga macam sel-sel utama tersebut dapat bereplikasi melalui
proses mitosis namun dengan kecepatan yang berbeda-beda, dimana epitel

Universitas Sumatera Utara


17

memiliki kecepatan replikasi yang paling tinggi sementara endotel merupakan


yang sulit untuk diperbaharui. Hal ini nampak jelas terlihat secara klinis dimana
sel-sel epitel dapat beregenerasi secara komplit setelah mengalami cedera
(misalnya pada abrasi kornea), sementara endotel kornea, karena proliferasi yang
terbatas, pada akhirnya menjadi edema kornea persisten dan keratopati bulosa.Hal
ini paling sering menjadi penyebab dalam penyakit kornea sehubungan dengan
cedera (mis. Keratopati bullosa) maupun yang berhubungan dengan usia (mis.
Fuchs dystrophy)23
Permukaan anterior kornea dilapisi oleh air mata, dan dibagian posterior oleh
humor akuos. Kornea yang transparan berhubungan dengan sklera yang opak serta
konjungtiva yang semi-transparan. Pada zona transisi antara kornea dan sklera
terdapat limbus yang kaya akan vaskularisasi dan mengandung cadangan stem sel
pluripotensial. Permukaan anterior kornea berbentuk konveks dan asferik.
Permukaan anterior secara transversal berbentuk oval sebagai akibat dari
skleralisasi dari superior dan inferior.

Gambar 2.2. Ukuran Anatomi Kornea Anterior dan Posterior


(Coaster JD., 2002)24

Permukaan anterior kornea berbentuk agak elips dengan diameter horizontal


rata-rata 11,7-12,6 mm dan 10,6-11,7 mm pada diameter vertikal sedangkan
permukaan posterior berbentuk sirkuler dengan diameter 11,5–11,7 mm. Pada
orang dewasa ketebalan kornea bervariasi dengan rata-rata 0,66 – 0,71 mm di
bagian perifer dan 0,52– 0,54 mm di bagian tengah. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan kurvatur antara permukaan anterior dan posterior kornea. Radius
kurvatur anterior kornea kira-kira 7,8 mm sedangkan radius kurvatur permukaan

Universitas Sumatera Utara


18

posterior rata-rata 6,5 mm. Kornea menjadi lebih datar pada bagian perifer, namun
pendataran tersebut tidak simetris. Bagian nasal dan superior lebih datar dibanding
bagian temporal dan inferior.25

2.5 Topografi Kornea


Kornea dibagi menjadi zona-zona yang mengelilingi dan menyatu satu dengan
yang lain. Zona sentral sekitar 1-2 mm mendekati bentuk permukaan sferis.Di
sebelah zona sentral adalah zona berbentuk donat sekitar 3-4 mm. Kadang-kadang
disebut juga zona apikal, cap kornea, zona optik, atau zona sferikal sentral.Di
bagian luar 7-8 mm yang disebut zona parasentral, merupakan area pendataran
dari kornea.Zona sentral dan parasentral terutama bertanggung jawab pada
kekuatan refraktif kornea.Di sebelah zona parasentral adalah zona perifer dengan
diameter terluar sekitar 11 mm. Zona perifer dikenal sebagai zona transisional,
karena merupakan area pendataran terbesar dari kornea. Zona limbal terletak 0,5 –
1 mm ke sklera danmerupakan area curam kornea sebelum bertemu sklera pada
sulkus limbal.25

Gambar 2.3. Zona Topografi Kornea25

Selain dari penilaian di atas, untuk mengetahui topografi kornea dapat pula
dilihat dengan menggunakan Computerized Corneal Topografi (CCT). Pemetaan
kornea melalui alat ini meliputi seluruh permukaan kornea yang ditunjukkan
melalui pemetaan warna. Warna-warna tersebut sangat penting interpretasinya.
Pada kornea normal warna biru dan hijau menunjukkan karakteristik dari zona

Universitas Sumatera Utara


19

parasentral dan perifer yang memberikan kekuatan dioptri sebesar 44 D. Pada


zona dengan kurvatur yang lebih curam yaitu di sentral kornea digambarkan
dalam warna kuning lembut. Equivalent kekuatan dioptri dapat dilihat dengan
membandingkan warna yang tampak dengan skala warna yang terdapat di sebelah
kiri pemetaan.25

Gambar 2.4. Gambaran Pachymetry Pada Kornea yang Menunjukkan


Perbedaan Warna Sesuai dengan Ketebalannya26

Topografi kornea yang penting untuk fungsi optiknya yaitu: bentuk


kornea, kurvatur, dan kekuatan refraksi. Bentuk dan kurvatur merupakan sifat
geometri kornea, sedangkan kekuatan refraksi merupakan sifat fungsional kornea.
Pada awalnya kekuatan refraksi merupakan parameter utama dalam
menggambarkan kornea, dengan menggunakan ukuran dioptri. Akan tetapi seiring
dengan perkembangan lensa kontak dan bedah refraktif kornea ternyata bentuk
dan kurvatur kornea juga berperanan penting.27
Pengukuran ketebalan kornea atau dikenal dengan pachymetry (pachos:
tebal; metry: mengukur) kornea pada aplikasi klinis terutama digunakan untuk
menilai fungsi lapisan sel endotel dan status hidrasi kornea. Ketebalan kornea
sentral merupakan indikator penting dalam menilai kondisi kornea terutama fungsi
pompa endotel. Selain itu juga banyak digunakan dalam bedah refraksi dan
merupakan salah satu variabel penting dalam menentukan tekanan intraokular

Universitas Sumatera Utara


20

pasien glaukoma dan glukoma suspek. Penggunaannya pun menjadi semakin luas
tidak hanya dalam bedah refraksi dan kornea namun juga dalam pemeriksaan rutin
mata.27
Ketebalan kornea bervariasi dari sentral hingga ke limbus, zona yang
paling tipis berada sekitar 1.5mm temporal dari sentral, dan menjadi lebih tebal di
daerah parasentral dan perifer. Ketebalan kornea berkisar antara 700-900μm di
limbus dan sekitar 490-560μm di sentral. Ketebalan kornea sentral 700μm atau
lebih mengindikasikan adanya dekompensasi endotel. Rata-rata ketebalan kornea
sentral sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai studi adalah sekitar 510-
520μm (standar deviasi 0,02-0,04) atau sekitar 540 μm. Ditemukan pula bahwa
kornea lebih tebal secara signifikan pada kelompok usia 40-80 tahun dibanding
pada kelompok usia di bawah 40 tahun sebagai akibat perubahan anatomis terkait
usia. Ketebalan kornea di perifer tidak simetris, dimana kornea di temporal paling
tipis kemudian di bagian inferior. Lebih lanjut Mohan dkk menyatakan bahwa
ketebalan kornea sentral (CCT) lebih tinggi pada usia muda, jenis kelamin laki-
laki, dan pada penderita diabetes melitus, dan tidak berhubungan dengan status
refraksi dan hipertensi sistemik.27

Gambar 2.5. Peta Ketebalan Kornea dengan Gambaran Scheimflug


Menunjukkan Ketebalan yang Berbeda-Beda dari Setiap Area Kornea27

Universitas Sumatera Utara


21

Terdapat beberapa modalitas yang dapat digunakan untuk mengukur


ketebalan kornea.Secara umum terbagi kedalam 2 macam teknik pengukuran,
yaitu spot measurement, termasuk didalamnya Pachymetri optik, Miksroskop
Spekular dan Confocal, Pachymetri ultrasound, dan Optical low-coherence
reflectometry. Teknik lainnya yaitu dengan Wide area Mapping yang
memungkinkan untuk memetakan area kornea, termasuk di dalamnya slit
scanning optical pachymetry dan very high-frequency ultrasound imaging.
Pachymetry dengan teknik mapping memiliki beberapa keuntungan dibanding
teknik spot measurement. Dengan teknik mapping dapat diketahui pola abnormal
seperti keratokonus dan degenerasi pelusid marginal. Teknik mapping juga dapat
digunakan dalam perencanaan bedah refraksi. Namun demikian pachymetry
ultrasound masih menjadi standar karena cukup akurat, mudah digunakan dan
relatif lebih murah. Mikroskop spekular telah lama menjadi alat yang berguna
untuk memvisualisasikan endotel kornea. Karena teknik iluminasi slit lamp hanya
bersifat semikuantitatif dan fotografi slitlamp sulit dilakukan, maka mikroskop
spekular dapat digunakan untuk memotret endotel kornea untuk visualisasi lebih
dekat selain juga dapat mengukur ketebalan kornea.26

2.6 Kedalaman Bilik Mata Depan (BMD)20,28,29


Kedalaman bilik mata depan mencapai kedalaman maksimum sekitar
umur 15 tahun. Rata-rata nilai normal kedalaman bilik mata depan adalah 3,11
mm.
Penelitian Scott T. Fontana dan Richard F. Brubaker pada 152 pasien
miopia dengan umur 16-50 tahun. Penelitian ini menunjukkan panjang aksial
penderita miopia lebih panjang dibandingkan dengan orang normal (emetropia).
Kedalaman bilik mata depan lebih dalam pada miopia dibandingkan pada orang
normal (emetropia).

2.7 Etnis30-34
Etnisitas adalah milik kelompok sosial yang memiliki tradisi nasional atau
budaya yang sama.Etnis memiliki konsep kultural yang mengacu pada kesamaan
norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Terbentuknya suku bangsa

Universitas Sumatera Utara


22

bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah
berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu yang mendorong
rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan ada nenek moyang mitologis
yang sama. Etnis terbentuk melalui relasi kekuasaan antar berbagai kelompok.
Kelompok etnis lebih cenderung kepada kepercayaan, nilai dan norma,
kebiasaan serta kebudayaan dengan anggota lainnya karena persamaan latar
belakang. Etnis merupakan pertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial
atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan,
adat, agama atau bahasa. Sebuah kelompok etnis, tidak seperti kelompok rasial,
dibedakan dari orang lainatas dasar asal negara atau pola budaya yang khas.
Perbedaan antara kelompok rasial dengan etnis minoritas tidak selalu tampak
jelas. Beberapa anggota kelompok rasial minoritas, mungkin memiliki perbedaan
budaya yang signifikan dari kelompok rasial lainnya. Etnis lebih berkaitan
dengan:
1. Budaya dan Bahasa
2. Suku
3. Keturunan
4. Agama
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa makna kelompok etnis
mengandung dua hal utama yakni pengertian luas dan pengertian sempit. Pertama,
pengertian luas berkaitan dengan kehadiran suatu kelompok tertentu yang terikat
dengan karakteristik tertentu, dari fisik, sosial budaya, sampai ideologi. Kedua,
dalam arti sempit merujuk etnis pada kelompok suku bangsa karena alasan
memiliki kebudayaan yang sama. Pengertian sempit etnis dikaitkan dengan suku
bangsa. Istilah kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan suatu
kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang sosial
dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Sementara itu, ras
mengacu pada karakteristik fisik seseorang, seperti struktur tulang dan kulit,
rambut, atau warna mata.
Contoh ras adalah kulit coklat, putih, atau hitam (semua dari berbagai
belahan dunia), sementara contoh etnis adalah keturunan Jerman atau Spanyol
(tanpa memandang ras) atau orang China Han. Ras ditentukan oleh penampilan

Universitas Sumatera Utara


23

sementara etnisitas ditentukan berdasarkan kelompok sosial dan budaya tempat


tinggal.Seseorang bisa memiliki lebih dari satu etnis tapi seseorang hanya
dikatakan memiliki satu ras, bahkan jika itu adalah “ras campuran”.

Tabel 2.1 Perbandingan Antara Etnis dan Ras


Etnis Ras
Definisi Kelompok etnis atau etnis Istilah ras mengacu pada
adalah kelompok populasi konsep membagi orang
yang anggotanya saling menjadi populasi atau
mengenal berdasarkan kelompok berdasarkan
kewarganegaraan umum atau berbagai jenis karakteristik
tradisi budaya bersama. fisik (yang biasanya berasal
dari keturunan genetik).
Kepentingan Etnis berkonotasi dengan ciri Ras dianggap memiliki sifat
budaya bersama dan riwayat biologis atau genetis, baik yang
kelompok bersama. Beberapa aktual maupun yang
kelompok etnis juga memiliki dipaksakan. Pada awal abad
sifat linguistik atau religius, ke-19, perbedaan rasial
sementara yang lain memiliki dianggap penting dalam
sejarah kelompok yang sama kecerdasan, kesehatan, dan
namun tidak memiliki bahasa kepribadian. Tidak ada bukti
atau agama yang sama. yang memvalidasi ide ini.
Silsilah Etnisdidefinisikan dalam Kategori rasial dihasilkan dari
kerangka silsilah bersama, silsilah bersama karena isolasi
baik aktual atau dugaan. geografis. Di dunia modern
Biasanya, jika orang percaya isolasi ini telah dipecah dan
mereka berasal dari kelompok kelompok ras telah bercampur.
tertentu, dan mereka ingin
dikaitkan dengan kelompok
tersebut, maka mereka
sebenarnya adalah anggota
kelompok tersebut.

Universitas Sumatera Utara


24

Faktor yang Kelompok etnik membedakan Ras diasumsikan dibedakan


membedakan dirinya secara berbeda dari dengan warna kulit, tipe wajah,
satu periode waktu ke periode dll. Namun, basis ilmiah
lainnya. Mereka biasanya perbedaan ras sangat lemah.
berusaha untuk Studi ilmiah menunjukkan
mendefinisikan diri mereka bahwa perbedaan genetik rasial
sendiri tetapi juga lemah kecuali pada warna
didefinisikan oleh stereotip kulit.
kelompok dominan.
Nasionalisme Pada abad ke-19, ada Pada abad ke-19, konsep
perkembangan ideologi nasionalisme sering digunakan
politik nasionalisme etnis - untuk membenarkan dominasi
menciptakan negara-negara satu ras di atas yang lain dalam
berdasarkan asal usul etnis negara tertentu.
bersama yang dianggap
(misalnya Jerman, Italia,
Swedia)
Sistem Dalam dekade terakhir pada Dalam dekade terakhir abad
Hukum abad ke-20, di A.S. dan di ke-20, sistem hukum dan juga
kebanyakan negara, sistem ideologi resmi menekankan
hukum dan juga ideologi kesetararaan ras.
resmi melarang diskriminasi
berbasis etnis.
Konflik Seringkali konflik brutal Prasangka rasial tetap
antara kelompok etnis telah merupakan masalah yang terus
ada sepanjang sejarah dan berlanjut di seluruh dunia.
seluruh dunia. Tapi sebagian Namun, ada sedikit konflik
besar kelompok etnis pada berbasis ras di abad ke-21
kenyataannya saling daripada di masa lalu.
berhubungan satu sama lain
di kebanyakan negara sering
kali.
Contoh Konflik antara populasi Tamil Konflik antara orang kulit
Konflik dan Sinhala di Sri Lanka, atau putih dan Afrika-Amerika di
orang Hutu dan Tutsi di A.S., terutama selama gerakan
Rwanda. hak-hak sipil.

Universitas Sumatera Utara


25

2.8 Panjang Aksial (Axial Length)20,28,29,35


Terdapat 4 struktur okular yang berkontribusi kepada status refraksi dari
mata manusia tertentu, yang meliputi kornea, akuos humor, lensa dan korpus
vitreus. Miopia dan kelainan refraksi lainnya merupakan akibat dari kontribusi tak
terkoordinir dari komponen-komponen okular pada struktur mata secara
keseluruhan. Dengan kata lain, kornea dan lensa gagal mengkompensasikan
pemanjangan (miopia) atau pemendekan (hiperopia) panjang aksial (AL). Dengan
demikian parameter-parameter yang terkait erat dengan pengukuran bagian-bagian
ini seperti kelengkungan kornea, kedalaman bilik mata depan (BMD), ketebalan
lensa, kedalaman bilik vitreous dan panjang aksial dinilai secara luas dalam studi
tentang penyakit mata. Di antara komponen-komponen ini, panjang aksial
mendapat paling banyak perhatian karena merupakan parameter utama untuk
miopia maupun hiperopia.
Pada pertengahan abad terakhir, para peneliti menemukan bahwa panjang
aksial menunjukkan distribusi bimodal pada populasi miopia dewasa. Bila
dikelompokkan sampel dalam 2 kategori, puncak pertama muncul di sekitar
panjang aksial = 24 mm untuk miopia rendah (-6 dpt<refractive error< 0 dpt)
sementara puncak kedua muncul kira-kira pada panjang aksial = 30 mm untuk
miopia tinggi (refractive error< -6 dpt). Ini mengindikasikan bahwa mekanisme
fisiopatologik dari keparahan miopia yang berbeda-beda mungkin berbeda dan
menjelaskan sebagian mengapa perlu dipisahkan kasus-kasus miopia menurut
keparahan untuk mengeksplorasi dasar genetiknya. Dalam pada itu, distribusi
panjang aksial dilaporkan menunjukkan kemiringan positif pada populasi umum,
dan berada dalam distribusi normal pada beberapa kohort yang diseleksi.Sekarang
ini, para dokter spesialis mata menggunakan mesin pembaca kecepatan ultrasound
dan interferometry koherensi parsial optik (ultrasound velocity reading machinery
and optical partial coherence interferometry) untuk menentukan panjang aksial
pasien mereka guna mengklarifikasi keparahan miopia. Sebagian besar setuju
bahwa panjang aksial adalah faktor terbesar dari kesalahan refraksi. Sejumlah
besar laporan menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara panjang aksial
dan miopia. Dengan kata lain, semakin panjang, panjang aksial, semakin parahlah
miopianya. Olsen et al. menemukan bahwa sewaktu mempertimbangkan

Universitas Sumatera Utara


26

kontribusi dari panjang aksial, kekuatan lensa dan kekuatan kornea secara
bersama-sama, dengan menggunakan analisa regresi linier ganda, dapat
menjelaskan hingga 96% variasi refraksi pada populasi. 36 Perbedaan panjang
aksial terkait usia ditemukan dalam beberapa penelitian. Orang yang lebih tua
berkemungkinan mempunyai panjang aksial yang lebih pendek daripada
partisipan yang lebih muda.37Warrier et al. mengajukan bahwa perbedaan ini
terkait dengan efek kohort. Sebagai contoh misalnya, pekerjaan dekat lebih
intensif pada kelompok umur yang lebih muda, yang merupakan faktor yang
meningkatkan panjang aksial, yang mungkin disebabkan gangguan emmetropisasi
dipicu defokus. Akan tetapi, Studi Mata Latino Los Angeles tidak menunjukkan
adanya perbedaan panjang aksial terkait usia yang didasarkan pada populasi 5.588
partisipan selama periode waktu 40 tahun. Dalam pada itu, sudah disepakati
dengan jelas bahwa wanita cenderung mempunyai panjang aksial yang lebih
pendek.36 Panjang aksial memiliki prediksi nilai untuk serangan awal miopia
tetapi hanya dalam 2-4 tahun sebelum serangan awal.38 Laju perubahan tercepat
dicapai selama tahun sebelum serangan awal miopia dan kemudian pemanjangan
aksial menyusul dengan relatif lambat, dengan laju perubahan yang lebih stabil
setelah serangan awal.38
Panjang aksial anak baru lahir adalah 15-17 mm. Pada fase pertama yaitu
enam bulan pertama kehidupan, panjang aksial bertambah 4 mm. Fase kedua
(umur 2-5 tahun) dan fase ketiga (umur 5-13 tahun) pertambahan panjang aksial
melambat yaitu 1 mm di setiap fasenya. Orang dewasa normal memiliki rata-rata
panjang aksial 23 mm. Penelitian Tane dan Kohno menyebutkan pertumbuhaan
panjang aksial berhenti pada anak perempuan saat berumur 10 tahun dan pada
laki-laki saat berumur 12 tahun.6,20
Penelitian Scott T. Fontana dan Richard F. Brubaker pada 152 pasien
miopia dengan umur 16-50 tahun. Penelitian ini menunjukkan panjang aksial
penderita miopia lebih panjang dibandingkan dengan orang normal (emetropia).
Kedalaman bilik mata depan lebih dalam pada miopia dibandingkan pada orang
normal (emetropia).

Universitas Sumatera Utara


27

Gambar 2.6. Skema Dimensi Okular yang Diperoleh dari MRI. d: axial
length; c: anterior segment length; h: posterior segment length; e: equatorial
diameter at the plane of the ora serrata (dashed line); LT: lens axial thickness;
LE: lens equatorial diameter.35

2.9 Panjang Aksial dan Komponen-komponen Biometrik Okular


Sistem penglihatan belum berkembang dengan baik hingga usia 3 tahun.
Pada umumnya, panjang aksial meningkat dengan cepat pada tahap awal
kehidupan, kemudian meningkat secara perlahan-lahan hingga masa dewasa,
kemudian menurun di usia tua. Data dari Biino et al. menunjukkan adanya
hubungan kuadratik antara panjang aksial dan usia. 39 Sebuah studi kohort
melaporkan bahwa panjang aksial rata-rata untuk bayi cukup bulan meningkat
dari 16,8 menjadi 23,6 mm bila mereka sudah dewasa. Peningkatan dalam
panjang aksial ini akan menyebabkan pergeseran serius ke miopia, yang juga
diimbangi oleh perubahan yang bersesuaian dalam bagian lainnya dari struktur
mata. Sebagai contoh misalnya, lensa akan mengurangi kekuatan refraksinya bila
panjang aksial meningkat. Pemanjangan dari panjang aksial 1-mm, tanpa
kompensasi lainnya setara dengan pergeseran miopia -2 atau -2,5 dpt. Bukti
menunjukkan bahwa setiap komponen dari sistem penglihatan berinteraksi erat
dengan komponen lainnya selama proses maturasi. Lambert menyimpulkan dari
percobaan pada binatang bahwa jika lensa diangkat dari mata manusia pada tahap
dini (dalam 2 bulan pertama), akan terjadi keterlambatan pertumbuhan mata.Data
dari penelitian terhadap manusia juga mendukung pendapat bahwa panjang aksial
mata setelah bedah katarak lebih pendek daripada kontrol yang bersesuaian-usia,
walaupun beberapa peneliti mengamati efek sebaliknya. Penurunan dalam

Universitas Sumatera Utara


28

kekuatan lensa berkorelasi dengan pemanjangan dari panjang aksial tetapi


pengetahuan tentang apakah ini merupakan proses emmetropisasi aktif atau pasif
agaknya terbatas untuk mengambil kesimpulan yang menentukan. Panjang aksial
juga dilaporkan mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan kekuatan
kornea dan didokumentasikan mempunyai hubungan positif dengan kedalaman
bilik mata depandan hubungan negatif dengan ketebalan lensa. 20,28,29,40 Osuobeni
mengajukan bahwa ratio antara panjang aksial dan radius kornea mungkin
merupakan indikator miopia yang lebih baik.Panjang aksial mengalami fluktuasi
diurnal sekitar 15-40 µm, dengan periode rata-rata sekitar 21 jam.41 Tampaknya
panjang aksial maksimum adalah pada waktu tengah hari. Layak kiranya
mengajukan hipotesa bahwa fenomena ini disebabkan oleh perubahan tekanan
intraokular (IOP) setiap hari karena IOP juga mengikuti fluktuasi diurnal. 41 Akan
tetapi, asumsi ini masih diperdebatkan. 41 Read et al. menemukan hubungan antara
perubahan panjang aksial dan perubahan IOP namun tidak ada bukti ditemukan
Wilson et al. bahwa fluktuasi IOP ternyata menyebabkan fluktuasi panjang aksial
diurnal.41

2.10 Panjang Aksial dan Faktor-faktor Genetik


Miopia bisa dianggap sebagai suatu karakter mendelian, yang disebabkan
oleh gen tunggal, atau sifat kompleks, yang dipengaruhi oleh faktor genetik ganda
dan faktor-faktor lingkungan tergantung pada mekanisme utamanya. Sampai
sejauh ini, lebih dari 20 daerah kromosom diajukan mengandung gen miopia
potensial, tetapi dibutuhkan upaya lebih lanjut untuk mempersempit daerah ini
dan menunjukkan dengan tepat gen yang bersesuaian.42 Bukti mendukung
komponen-komponen gen yang kuat dalam penentuan panjang aksial. Anak-anak
dengan ayah penderita miopia mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi
menjadi terpengaruh dan mempunyai panjang aksial yang lebih panjang daripada
anak-anak yang ayahnya bukan penderita miopia.35Studi kembar juga
menunjukkan bahwa panjang aksial sangat mungkin diturunkan dan efek genetik
dapat menjelaskan hingga 88% parameter ini. 35,43Analisa segregasi menunjukkan
bahwa panjang aksial berada di bawah kontrol poligen.35Selain itu, sebagian besar
korelasi antara panjang aksial dan miopia dapat dijelaskan oleh efek genetik ini,

Universitas Sumatera Utara


29

yang mengindikasikan bahwa panjang aksial dan miopia mungkin berbagi gen
yang sama.35 Panjang aksial mencerminkan jumlah dari ketebalan lensa,
kedalaman bilik mata depan dan panjang bilik vitreous (gambar 2.7).35Penelitian
menunjukkan bahwa sebagian penurunan panjang aksial dimediasi oleh
kedalaman bilik mata depan.44 Pada tahun 2004, Biino et al. melakukan analisa
hubungan atas keturunan-keturunan yang luas dan menemukan locus pada 2p24
yang mungkin mengandung gen untuk panjang aksial. Setelah itu, dengan
menggunakan sampel kembar, Zhu et al. melaporkan bukti atas hubungan panjang
aksial dengan bagian panjang dari kromosom 5.Sepanjang pengetahuan kami,
hanya ke 2 daerah ini yang dilaporkan sampai sejauh ini untuk panjang aksial dan
belum dipetakan dengan jelas.

Gambar 2.7.Ilustrasi dari Panjang Aksial (AL). ACD = Anterior Chamber


Depth, LT = Lens thickness, VCD = Vitreous chamber depth.35

Panjang aksial adalah suatu endophenotype dari miopia.Baik panjang


aksial maupun miopia (dalam kesalahan refraksi) dapat dianalisa sebagai sifat
kuantitatif dengan menggunakan studi hubungan.Akan tetapi, panjang aksial jauh
lebih tepat. Fenotipe miopia, terutama miopia tinggi, umumnya disertai dengan
penyakit mata lainnya seperti katarak, glaukoma dan kelainan khorioretina, yang
dengan demikian pasti melibatkan beberapa faktor pengganggu dan dapat
menghasilkan kesimpulan yang berbias.35Akan tetapi, panjang aksial, dapat dikaji
pada populasi yang tidak memiliki gangguan pada jalur optik pada umumnya dan
subjek dengan miopia rendah untuk menghindari faktor-faktor pengganggu
ini.Ada yang melaporkan bahwa penurunan miopia bervariasi secara signifikan

Universitas Sumatera Utara


30

antar-studi dengan struktur keluarga yang berbeda-beda, sementara penurunan


panjang aksial tetap cukup konsisten.37Variansi sifat panjang aksial yang
disebabkan faktor-faktor lingkungan hanya sekitar 6% berbeda dengan variansi
sifat miopia adalah dari 14 hingga 33%.37Dengan demikian, dengan menggunakan
panjang aksial sebagai endefenotipe dapat menghindari atau meminimalkan bias
secara berarti yang disebabkan sifat miopia yang lebih kompleks karena
instabilitas penurunan. Panjang aksial sebagai endofenotipe bersih dan sederhana
mungkin mempunyai keuntungan untuk bidang penelitian miopia.Kesimpulan ini
didukung sebagian oleh studi hubungan tingkat-genom pertama (GWAS) atas
miopia yang dilaksanakan oleh sebuah kelompok Jepang.Selain menggunakan
populasi umum sebagai kontrol, studi tersebut mendefinisikan miopia tinggi
sebagai panjang aksial> 28 mm.Locus yang rentan pada 11q24.1 kemudian
ditemukan oleh pendekatan GWAS pada kasus-kontrol ini.35

2.11 Alat Pemeriksaan Panjang Aksial&Kedalaman Bilik Mata Depan


Biometri adalah alat pemeriksaan mata yang dapat mengukur panjang
aksial, kedalaman bilik mata depan, dan kekuatan implant intraocular lens.
Sehingga didapatkan hasil refraksi yang diinginkan setelah operasi ekstraksi lensa
dengan implant intraocular lens (IOL).21
Prinsip pengukuran panjang aksial dengan alat ultrasound adalah
berdasarkan waktu yang diperlukan oleh gelombang ultrasound saat dikeluarkan
dari probe transmitter, berjalan menuju target serta kembali lagi ke probe
receiver, dimana keduanya disatukan pada probe ultrasound sehingga disebut
sebagai transciever.45,46
Gelombang suara sama dengan gelombang cahaya yang mana ditekankan
padahal refleksi, refraksi, penyebaran dan difraksi. Dalam ultrasonografi kelainan
mata, refleksi suara merupakan kepentingan utama. Seberapa banyak suara yang
direfleksikan dari permukaan jaringan yang dituju bergantung pada impedansi
akustik yang menyatu. Yakni semakin berbeda permukaan-permukaan jaringan
yang bersinggungan. Semakin banyak suara yang direfleksikan dari permukaan
dalam impedansi akustik jaringan.46

Universitas Sumatera Utara


31

Kecepatan dari suara ditentukan oleh kepadatan dari perantaraan.


Perjalanan suara lebih cepat pada benda padat daripada benda cair. Suatu prinsip
penting untuk diketahui oleh karena mata memiliki keduanya. Suara
ultrasonografy melewati jaringan lunak pada kecepatan sekitar 1540 m/sec.
Sebaliknya suara melewati tulang sekitar 3380 m/sec atau sekitar dua kali lipat
lebih cepat melewati jaringan lunak. Suara melewati permukaan diantara jaringan
lunak dan dinding tulang direfleksikan dengan sangat kuat, suara melewati logam
bahkanlebih cepat daritulang.46
Pada pemeriksaan, USG mata dijalankan dengan mengirimkan pecahan-
pecahan mikrodetik gelombang suara frekuensi tinggi dari suatu transduser ke
dalam bola mata dan orbita. Pulsasi aliran listrik singkat mengaktifasi suatu
Kristal piezoelektrik didalam transduser USG, menimbulkan gelombang suara
teremisi.Gelombangsuaramemasuki bola mata dan orbita sebagian direfleksikan
dari struktur okular dan orbital dan kembali ke transduser yang sama yang
menghasilkannya. Gelombang suara yang kembali menyebabkan getaran mikro
lalu dikirim ke receiver/penerima. Potensial-potensial kecil ini lalu diamplifikasi
dan diproses sebagai tampilan pada sebuah ossiloskop maupun layar TV.46
A-Scan (A untuk amplitudo) ditampilkan dengan sumber ultrasound
tunggal menghasilkan evaluasi amplitudo waktu satu dimensi dalam bentuk
puncak vertikal sepanjang garis dasar terhadap kuatnya echo. Semakin besar jarak
ke kanan semakin besar pula jarak antara sumber suara dan permukaan
refleksi.Jarak antara masing-masing puncak dapat di ukur secara tepat. Digunakan
terutama untuk mengukur kedalaman kedalaman bilik mata depan, ketebalan lensa
dan panjang aksial.Untuk menampilkan pemeriksaan ultasonografi yang berhasil
ada 2 kunci utama perlu dikuasai yaitu penerimaan dari gambar dan interpretasi
dari gambar.46

2.12 TehnikPemeriksaan Biometri


Pemeriksaan penyaringan digunakan untuk mendeteksi lesi.Pemeriksaan
dilakukan dengan pasien berbaring atau duduk.Setelah diberikan anastesi topikal
yang diteteskan pada kedua mata dan penutup mata tidak diperlukan. Pemeriksa
duduk dengan peralatan pemeriksaan yang disediakan di satu sisi dari pasien. 46

Universitas Sumatera Utara


32

Probe ultrasound pertama kali digunakan pada jam 6 dari limbus melalui
bagian tengah bola mata bertujuan untuk memeriksa lapisan chorioretinalberlawanan
pada meridian jam 12. Pasien di instruksikan untuk melihat jauh dari probe terhadap
meridian yang diperiksa untuk menghindari scan melalui lensa. Probe digeser dari
limbus ke forniks selalu mengarah ke tengah bolamata, juga screnning meridian
utama dari kutub posterior ke ora serata.Sorotan ultrasound selalu di jaga
perpendicular ke retina yang berlawanan. Prosedur yang sama diulangi di
meridian jam 8, menggeser probe secara sementara disekitar bolamata.46

Gambar 2.8. Posisi Probe.46

Gambar 2.9. Pemeriksaan A-Scan.46

Layar

Printer

Probe

Gambar 2.10.A-Scan Biometer AL 100.46

Universitas Sumatera Utara


33

Untuk mengevaluasi segmen anterior adalah terbatas. Akan tetapi A-Scan


dapat digunakan dengan memakai tehnik immersi sederhana. Kulit sklera diisi
dengan methylselulosa dimasukkan antara penutup dan tempat probe diatasnya.
Dengan menggunakan tehnik ini, kedalaman bilik mata depan, iris, lensa dapat
dievaluasi dan ukuran panjang aksial juga dapat diperoleh.46

2.13 Kerangka Teori

Etnis
(Melayu, India, China)
Genetik dan
lingkungan

Kedalaman bilik Ketebalan kornea


Panjang aksial
mata depan sentral

Miopia

Ringan Sedang Berat

Gambar 2.11. Kerangka Teori

2.14 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan mengenai
elemen yang akan di teliti. Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan
kepustakaan maka kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Miopia Pemeriksaan Subjektif


(panjang aksial, (Trial and Error)
ketebalan kornea
Pemeriksaan Objektif
sentral dan kedalaman
(Biometri & Pachymetry)
biik mata depan
Etnis Melayu, India dan China

Universitas Sumatera Utara


34

2.15 Defenisi Operasional


Tabel 2.2 Definisi Operasional
Numerik/
No Kategori Tolak Ukur Pemeriksaan Satuan Normal/
Ordinal
1. Etnis kelompok sosial Wawancara 1. Melayu Nominal
yang memiliki 2. India
tradisi nasional 3. China
atau budaya
yang sama
2. Miopia suatu keadaan Snellen 1.Ringan Ordinal
mata yang Chart, Trial (-0,25 D s/d -
mempunyai and error 3,00 D)
kekuatan 2. Sedang
pembiasan sinar (-3,25 D s/d -
yang berlebihan 6,00D)
sehingga sinar 3. Berat
sejajar yang (>-6 D)
datang
dibiaskan di
depan retina
(bintik kuning)
3. Panjang Jarak dari Biometri A- 1. Pendek < Ordinal
Aksial permukaan Scan 22 mm
(AL) endotel kornea 2. Normal
hingga ke RPE 22-24 mm
3. Panjang >
24mm
4. Kedalaman Jarak pertautan Biometri A- 1. Dangkal Ordinal
Bilik Mata antara kornea Scan <3mm
Depan perifer dan 2. Normal 3-
(ACD) pangkal iris 4 mm
yang berisi 3. Dalam >
cairan akuos 4mm
5. Ketebalan Jarak antara Pachymetry 1. Tipis <527 Ordinal
Kornea lapisan epitel μm
Sentral dan endotel 2. Normal
(CCT) kornea yang 527-554
diukur pada area μm
radius 3mm area 3. Tebal >
sentral kornea 554 μm

Universitas Sumatera Utara


35

6. Biometri Alat Biometri A- Milimeter Numerik


pemeriksaan Scan (mm)
mata yang
bertujuan untuk
mengukur
panjang sumbu
bola mata dan
kedalaman bilik
mata depan
7. Pachymetry Alat Optovue SD- Milimeter Numerik
pemeriksaan OCT (mm)
mata yang
bertujuan untuk
mengukur
ketebalan
kornea sentral
8. Trial and Pemeriksaan Trial Lens Dioptri Nominal
Error refraksi Snellen Chart
subjektif yang
merupakan
kombinasi dari
lensa
koreksikelainan
refraksi yang
digunakan
untuk
mendapatkan
koreksi visual
terbaik
(BCVA).
9. Usia Lama hidup Wawancara 1. 23 tahun Ordinal
sampel dari 2. 24 tahun
lahir sampai 3. 25 tahun
saat penelitian
10. Jenis Karakteristik Observasi 1. Pria Nominal
kelamin biologis yang 2. Wanita
dilihat dari
penampilan luar

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini bersifat observasional deskriptif analitik dengan metode
pengukuran secara cross sectional dengan mengambil data pada mahasiswa FK
USU (koasisten) yang sedang bertugas di Rumah Sakit Universitas Sumatera
Utara periode 7 Januari 2019 hingga 4 Februari 2019.

3.2 Pemilihan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Poli Mata Bagian Refraksi RS Universitas
Sumatera Utara Medan.

3.3 Populasi dan Sampel


Populasi penelitian diambil dari Mahasiswa FK USU (koasisten) periode 7
Januari 2019 hingga 4 Februari 2019 yang bertugas di RS Universitas Sumatera
Utara yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Besar Sampel


Besar sampel ditentukan dengan metode Consecutive Sampling, yaitu
mahasiswa FK USU (koasisten) periode 7 Januari 2019 hingga 4 Februari 2019
yang bertugas di RS Universitas Sumatera Utara.
Rumus besar sampel:

n1  n2 
Z (1 / 2 ) 2 P (1  P )  Z (1  ) P1 (1  P1 )  P2 (1  P2 )  2

P1  P2 2
Dimana :
Z (1 / 2) = deviat baku alpha. utk  = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

Z (1  ) = deviat baku alpha. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya1,282

P1 = proporsi penderita miopia pada etnis India, sebesar= 0,226(22,6 %)


P2 = perkiraan penderita miopia pada etnis lainnya yang diteliti = 0,536(53,6 %)
P1  P2 = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,31

36
Universitas Sumatera Utara
37

Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok perlakuan


sebanyak 50 mata.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1 Kriteria Inklusi
1. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara etnis Melayu yang
bersedia menjadi sampel penelitian.
2. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara etnis India yang bersedia
menjadi sampel penelitian.
3. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara etnis China yang bersedia
menjadi sampel penelitian.

3.5.2 Kriteria Eksklusi


1. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara etnis Melayu, India, China
dengan kelainan pada segmen anterior dan posterior.
2. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara etnis Melayu, India, China
dengan kelainan sistemik.
3. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara etnis Melayu, India, China
dengan riwayat tumor orbita.
4. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara etnis Melayu, India, China
yang tidak kooperatif saat dilakukan pemeriksaan.

3.6 Identifikasi Variabel


1. Variabel terikat adalah : Mahasiswa dengan miopia pada etnis Melayu, India
dan China
2. Variabel bebas adalah : a. Pemeriksaan subjektif dengan menggunakan
snellen charts
b. Pemeriksaan Objektif dengan menggunakan
biometri dan pachymetry

Universitas Sumatera Utara


38

3.7 Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Alat tulis (pulpen, kertas)
2. Snellen Chart
3. Slit lamp merek APPASAMY
4. Biometri A-Scan merek TOMEY AL 100
5. Pachymetry Optovue Ivue
6. Tetes mata pantocain 0,5 %
7. Tetes mata antibiotik (ofloksasin)
8. Kertas tissue

3.8 Cara Kerja


Dilakukan penelitian prospektif pengumpulan dan pencatatan data berupa :
1. Mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara yang memenuhi kriteria
inklusi terlebih dahulu mengisi lembar biodata dan menanda tanganin surat
inform consent.
2. Dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan Snellen
Charts pada mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara yang menjadi
sampel penelitian.
3. Dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp untuk mengevaluasi
segmen anterior dari kedua mata.
4. Dilakukan pemberian tetes mata Pantocain 0,5% pada kedua mata.
5. Dilakukan pemeriksaan panjang aksial & kedalaman bilik mata depan pada
sampel penelitian dengan menggunakan Biometri.
6. Dilakukan pemeriksaan ketebalan kornea sentral dengan Pachyhmetry.
7. Dilakukan pemberian tetes mata antibiotik (ofloksasin) pada kedua mata.
8. Kemudian data di kumpulkan dan di olah dalam bentuk tabulasi data.

Universitas Sumatera Utara


39

3.9 Alur Penelitian

Miopia

Pemeriksaan Tajam Penglihatan

Miopia
 Ringan
 Sedang
 Berat

Pemeriksaan Panjang Pemeriksaan Panjang Pemeriksaan Panjang


Aksial, ketebalan Aksial, ketebalan Aksial, ketebalan
kornea sentral dan kornea sentral dan kornea sentral dan
kedalaman bilik mata kedalaman bilik mata kedalaman bilik mata
depan etnis Melayu depan etnis India depan etnis China

Pencatatan Hasil

Gambar 3.1. Alur Penelitian

3.10. Analisa Data


Analisa data dilakukan secara observasional deskriptif analitik dan
disajikan dalam bentuk tabulasi data.

3.11. Pertimbangan Etika


Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh Bagian Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RS.Universitas Sumatera
Utara Medan.Penelitian ini kemudian diajukan untuk disetujui oleh rapat komite
etika PPKRM Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


40

3.12. Personalia Penelitian


Peneliti : Dwi Maysaroh Arsa

3.13. Biaya Penelitian


Biaya penelitian ditanggung oleh peneliti sendiri.
1. Usulan Judul (15 lembar @ 150) x 50 set Rp 112.500
2. Proposal penelitian (55 lembar @ 150) x 50 set Rp 412.500
3. Hasil penelitian (80 lembar @ 150 ) x 50 set Rp 600.000
4. Biaya Administrasi Komite Etik Penelitian FK USU Rp 1.000.000
5. Biaya Pengolahan Data Statistik Rp 1.000.000
6. Kertas, tinta printer dan perbanyak fotokopi Rp1.000.000
7. Biaya konsumsi presentasi Rp1.000.000
8. Biaya tanda terima kasih (95 tas @ 8.100) Rp. 769.500
9. Biaya tak terduga Rp 500.000+

TOTAL Rp 5.394.500

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Umum Subyek Penelitian


Subjek penelitian adalah mahasiswa FK USU (koasisten) yang sedang
bertugas di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara periode 7 Januari 2019
hingga 4 Februari 2019, dimana total subjek penelitian berjumlah
84 orang (168 mata). Data primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
data demografi dan hasil pemeriksaan tajam penglihatan yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian. Data sekunder yang digunakan adalah jumlah populasi
mahasiswa FK USU (koasisten) yang sedang bertugas di Rumah Sakit Universitas
Sumatera Utara periode 7 Januari 2019 hingga 4 Februari 2019. Penelitian
dilakukan mulai dari tanggal 7 Januari hingga 4 Februari 2019.

Tabel 4.1.Distribusi Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Karakteristik n %
JenisKelamin
- Pria 38 45,2
- Wanita 46 54,8
Umur
- 23 tahun 54 64,3
- 24 tahun 17 20,2
- 25 tahun 13 15,5
Etnis
- Melayu 32 38,1
- India 25 29,8
- China 27 32,1
Jumlah 84 100,0

Pada tabel 4.1.tampak total jumlah sampel penelitan adalah 84 orang.


Dimana jenis kelamin wanita lebih banyak yaitu 46 orang (54,8%) dibandingkan
dengan pria yaitu 38 orang (45,2%). Lalu di jumpai sampel yang berumur 23
tahun 54 orang (64,3%), umur 24 tahun sebanyak 17 orang (20,2%) dan umur 25
tahun sebanyak 13 orang (15,5%). Pada etnis di jumpai etnis Melayu yang 32
orang (38,1%), etnis India 25 orang (29,8%), dan etnis China sebanyak 27 orang
(32,1%).

41
Universitas Sumatera Utara
42

Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Terhadap Derajat Miopia, Panjang


Aksial (AL), Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) dan Ketebalan Kornea
Sentral (CCT).

Karakteristik n %
Miopia
- Ringan (-0,25 s/d -3,00 D) 120 71,4
- Sedang (-3,25 s/d – 6,00 D) 42 25,0
- Berat (> -6,00 D) 6 3,6
AL
- Pendek (<22 mm) 24 14,3
- Normal (22-24 mm) 133 79,2
- Panjang (>24 mm) 11 6,5
ACD
- Dangkal (<3 mm) 69 41,1
- Normal (3-4 mm) 97 57,7
- Dalam (> 4 mm) 2 1,2
CCT
- Tipis (< 527 μm) 16 9,5
- Normal (527 – 554 μm) 149 88,7
- Tebal (> 554 μm) 3 1,8
Jumlah 168 100,0

Tabel 4.2. menjelaskan bahwa pada penelitian ini dijumpai sampel


penelitian dengan miopia ringan sebanyak 120 mata (71,4%), miopia sedang 42
mata (25,0%) dan miopia berat 6 mata (3,6%). Panjang aksial (AL) terbanyak
dijumpai pada penelitian ini adalah AL normal yaitu sebanyak 133 mata (79,2%),
lalu diikuti AL pendek yaitu 24 mata (14,3%) dan AL panjang yaitu 11 mata
(6,5%). Pada kedalaman bilik mata depan (ACD) dijumpai ACD dangkal
sebanyak 69 mata (41,1%), ACD normal 97 mata (57,7%) dan ACD dalam
sebanyak 2 mata (1,2%) pada penelitian ini. Pada ketebalan kornea sentral (CCT)
dijumpai CCT tipis sebanyak 16 mata (9,5%), CCT normal 149 mata (88,7%) dan
CCT tebal sebanyak 3 mata (1,8%) pada penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


43

Tabel 4.3. Hubungan Antara Derajat Miopia terhadap Etnis Melayu, India
dan China pada Mahasiswa FK USU

Etnis
Variabel Melayu India China Total p.
n % n % n % n %
Miopia
- Ringan 49 40,8 31 25,8 40 33,3 120 100,0
- Sedang 13 31,0 15 35,7 14 33,3 42 100,0 0,152
- Berat 2 33,3 4 66,7 0 0 6 100,0
* Miopia Ringan (-0,25 s/d -3,00 D)
Miopia Sedang (-3,25 s/d – 6,00 D)
Miopia Berat (> -6,00 D)

Pada tabel 4.3. tentang hubungan antara etnis terhadap derajat miopia.
Pada etnis Melayu jumlah miopia ringan merupakan yang terbanyak dengan 49
mata (40,8%), sedangkan jumlah miopia sedang dan berat terbanyak ditemui pada
etnis India dengan jumlah 15 mata (35,7%) pada miopia sedang, dan jumlah
miopia berat sebanyak 4 mata (66,7%) dan ditemui miopia ringan lebih sedikit
pada etnis India dengan jumlah 31 mata (25,8%), miopia sedang lebih sedikit pada
etnis Melayu dengan jumlah 13 mata (31,0%). Pada penelitian ini tidak di jumpai
miopia berat pada etnis China (0%). Dengan menggunakan uji Chi Square
didapatkan p =0,152. Dimana nilai p < 0.05. Hal ini menunjukkan tidak terdapat
hubungan antara etnis dengan derajat miopia secara statistik.

Tabel 4.4. Hubungan Antara Panjang Aksial (AL) terhadap Etnis Melayu,
India dan China pada Mahasiswa FK USU

Etnis
Variabel Melayu India China Total p.
n % n % n % n %
AL
- Pendek 5 20,8 13 54,2 6 25,0 24 100,0
- Normal 54 40,6 33 24,8 46 34,6 133 100,0 0,048*
- Panjang 5 45,5 4 36,4 2 18,2 11 100,0
* AL Pendek (<22 mm)
AL Normal (22-24 mm)
AL Panjang (>24 mm)

Pada tabel 4.4. Hubungan antara etnis dengan panjang aksial (AL),
dijumpai AL pendek paling banyak di dapati pada etnis India, sebanyak 13 mata
(54,2%), AL normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 54 mata
(40,6%), dan AL panjang terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 5

Universitas Sumatera Utara


44

mata (45,5%), dan ditemui AL pendek dan AL panjang paling sedikit dijumpai
pada etnis China, dimana AL pendek sebanyak 6 mata (25,0%) dan AL panjang
sebanyak 2 mata (18,2%). Dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan p =
0,048 dimana nilai P <0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara etnis
dengan panjang aksial (AL). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan panjang
aksial (AL) antar etnis (Melayu, India dan China). Oleh karena AL yang panjang
mengindikasi suatu miopia, dan dari distribusi didapati AL panjang pada etnis
Melayu 5 orang (45,5%), etnis India 4 orang (36,4%) dan etnis China 2 orang
(18,2%), hal ini menjelaskan pada etnis Melayu lebih banyak AL yang panjang,
artinya pada etnis Melayu berpotensi ada hubungan antara panjang aksial dengan
miopia.

Tabel 4.5. Hubungan Antara Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) terhadap
Etnis Melayu, India dan China pada Mahasiswa FK USU

Etnis
Total p.
Variabel Melayu India China
n % n % n % n %
ACD
- Dangkal 21 30,4 28 40,6 20 29,0 69 100,0
- Normal 43 44,3 22 22,7 32 33,0 97 100,0 0,028*
- Dalam 0 0 0 0 2 100,0 2 100,0
* ACD Dangkal (<3 mm)
ACD Normal (3-4 mm)
ACD Dalam (> 4 mm)

Pada tabel 4.5. Hubungan antara etnis dengan kedalaman bilik mata depan
(ACD), dijumpai ACD dangkal paling banyak di dapati pada etnis India, 28 mata
(40,6%), ACD normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 43 mata
(44,3%), dan ACD dalam hanya di temukan pada etnis China, sebanyak 2 mata
dalam penelitian ini (100%), dan ditemui ACD dangkal paling sedikit di jumpai
pada etnis China, sebanyak 20 mata (29,0%). ACD normal paling sedikit dijumpai
pada etnis India, sebanyak 22 mata (22,7%). Dengan menggunakan uji Chi Square
didapatkan p = 0,028 dimana nilai p <0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
antara etnis dengan kedalaman bilik mata depan (ACD). Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan kedalaman bilik mata depan (ACD) antar etnis (Melayu, India
dan China). Oleh karena ACD yang dalam mengindikasi miopia, dan dari
distribusi ACD dalam terdapat pada etnis China 2 orang (100,0%), sedangkan

Universitas Sumatera Utara


45

pada Melayu dan India tidak ditemukan, hal ini menjelaskan bahwa ACD dalam
hanya dijumpai pada etnis China pada penelitian ini, artinya pada etnis China
berpotensi ada hubungan antara ACD dengan miopia.

Tabel 4.6. Hubungan Antara Ketebalan Kornea Sentral (CCT) terhadap


Etnis Melayu, India dan China pada Mahasiswa FK USU

Etnis
Variabel Melayu India China Total p.
n % n % n % n %
CCT
- Tipis 6 37,5 4 25,0 6 37,5 16 100,0
- Normal 58 38,9 44 29,5 47 31,5 149 100,0 0,587
- Tebal 0 0 2 66,7 1 33,3 3 100,0
* CCT Tipis (< 527 μm)
CCT Normal (527 – 554 μm)
CCT Tebal (> 554 μm)
Pada tabel 4.6. hubungan antara etnis dengan ketebalan kornea sentral
(CCT), dijumpai CCT tipis paling banyak di dapati pada etnis Melayu dan China,
sebanyak 6 mata (37,5%), CCT normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu,
sebanyak 58 mata (38,9%), dan CCT tebal terbanyak di jumpai pada etnis India,
sebanyak 2 mata (66,7%), dan ditemui CCT tipis dan CCT normal paling sedikit
dijumpai pada etnis India, di mana CCT tipis sebanyak 4 mata (25,0%) dan CCT
normal sebanyak 44 mata (29,5%), CCT tebal paling sedikit dijumpai pada etnis
China, sebanyak 1 mata (33,3%). Dengan menggunakan uji Chi Square
didapatkan nilai p = 0,587, dimana nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan tidak ada
hubungan antara etnis dengan ketebalan kornea sentral (CCT). Hal ini
menunjukkan tidak ada perbedaan antara ketebalan kornea sentral (CCT) antar
etnis (Melayu, India dan China). Oleh karena CCT tipis mengindikasi miopia, dan
dari ditribusi CCT tipis terdapat pada etnis Melayu 6 orang (37,5%), etnis India 4
orang (25,0%) dan etnis China 6 orang (37,5%), hal ini menjelaskan bahwa tidak
ada hubungan etnis dengan CCT untuk miopia.

Universitas Sumatera Utara


46

Tabel 4.7. Perbandingan Rerata Antara Panjang Aksial (AL), Kedalaman


Bilik Mata Depan (ACD) dan Ketebalan Kornea Sentral (CCT) pada
Mahasiswa FK USU

n x  SD Minimum Maksimum p.
AL
- Melayu 64 23,422  1,104 21,23 25,85
- India 50 22,942  1,265 20,71 25,46 0,056
- China 54 23,376  1,017 21,15 25,34
ACD
- Melayu 64 3,125  0,337 2,48 3,90
- India 50 3,036  0,330 2,54 3,81 0,125
- China 54 3,168  0,332 2,59 4,05
CCT
- Melayu 64 526,109  25,270 486,00 585,00
- India 50 537,860  30,929 470,00 602,00 0,296
- China 54 529,351  58,649 293,00 633,00

Pada tabel 4.7. didapatkan nilai rerata AL etnis Melayu (n=64) adalah
23,422  1,104 dengan nilai minimum 21,23 dan nilai maksimum 25,85. Pada
etnis India (n=50) memiliki nilai rerata AL 22,942  1,265 dan nilai minimum
20,71 dan nilai maksimum 25,46. Pada etnis China (n=54) didapat rerata AL
adalah 23,376  1,017 dengan nilai minimum 21,15 dan nilai maksimum 25,34.
Pada ACD nilai rerata etnis Melayu (n=64) adalah 3,125  0,337 dengan
nilai minimum 2,48 dan nilai maksimum 3,90. Pada etnis India (n=50) memiliki
nilai rerata ACD 3,036  0,330 dan nilai minimum 2,54 dan nilai maksimum
3,81. Pada etnis China (n=54) didapat rerata ACD adalah 3,168  0,332 dengan
nilai minimum 2,59 dan nilai maksimum 4,05.
Pada CCT nilai rerata etnis Melayu (n=64) adalah 526,109  25,270
dengan nilai minimum 486,00 dan nilai maksimum 585,00. Pada etnis India
(n=50) memiliki nilai rerata CCT 537,860  30,929 dan nilai minimum 470,00
dan nilai maksimum 602,00. Pada etnis China (n=54) didapat rerata CCT adalah
529,351  58,649 dengan nilai minimum 293,00 dan nilai maksimum 633,00.

Universitas Sumatera Utara


47

Tabel 4.8. Hubungan Antara Derajat Miopia dengan Panjang Aksial (AL),
Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) dan Ketebalan Kornea Sentral (CCT)
pada Mahasiswa FK USU

Miopia
Variabel Ringan Sedang Berat Total p.
n % n % n % n %
AL
- Pendek 17 70,8 6 25,0 1 4,2 24 100,0
- Normal 99 74,4 31 23,3 3 2,3 133 100,0 0,023*
- Panjang 4 36,4 5 45,5 2 18,2 11 100,0
ACD
- Dangkal 46 66,7 19 27,5 4 5,8 69 100,0
- Normal 74 77,1 20 20,8 2 2,1 96 100,0 0,017*
- Dalam 0 0 3 100,0 0 0 3 100,0
CCT
- Tipis 14 87,5 1 6,3 1 6,3 16 100,0
- Normal 105 70,5 39 26,2 5 3,4 149 100,0 0,194
- Tebal 1 33,3 2 66,7 0 0 3 100,0

Pada tabel 4.8. hubungan antara derajat miopia dengan panjang aksial
(AL), dijumpai AL pendek paling banyak pada miopia ringan, sebanyak 17 mata
(70,8%), AL normal terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 99
mata (74,4%), dan AL panjang terbanyak di jumpai pada miopia sedang, sebanyak
5 mata (45,5%), lalu dijumpai AL pendek, normal dan panjang paling sedikit pada
miopia berat, di mana AL pendek sebanyak 1 mata (4,2%) dan AL normal
sebanyak 3 mata (2,3%), dan AL panjang sebanyak 2 mata (18,2%). Dengan
menggunakan uji Chi Square didapatkan nilai p = 0,023 dimana nilai p <0,05. Hal
ini menunjukkan ada hubungan antara derajat miopia dengan panjang aksial (AL).
Pada tabel 4.8. hubungan antara derajat miopia dengan kedalaman bilik
mata depan (ACD), dijumpai ACD dangkal paling banyak pada miopia ringan,
sebanyak 46 mata (66,7%), ACD normal terbanyak juga di jumpai pada miopia
ringan, 74 mata (77,1%), dan ACD dalam di jumpai pada miopia sedang,
sebanyak 3 mata (100%), serta dijumpai ACD dangkal, normal dan dalam paling
sedikit pada miopia berat, yaitu ACD dangkal 4 mata (5,8%) dan ACD normal 2
mata (2,1%). Dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan nilai p = 0,017
dimana nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara derajat miopia
dengan kedalaman bilik mata depan (ACD).
Pada tabel 4.8. hubungan antara derajat miopia dengan ketebalan kornea
sentral (CCT), dijumpai CCT tipis paling banyak pada miopia ringan, 14 mata

Universitas Sumatera Utara


48

(87,5%), CCT normal terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 105
mata (70,5%), dan CCT tebal terbanyak di jumpai pada miopia sedang, sebanyak
2 mata (66,7%), serta di jumpai CCT tipis, normal dan tebal paling sedikit pada
miopia berat, CCT tipis sebanyak 1 mata (6,3%) dan CCT normal sebanyak 5
mata (3,4%), dan tidak di jumpai CCT tebal. Dengan menggunakan uji Chi
Square didapatkan nilai p = 0,194 dimana nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan
tidak ada hubungan antara derajat miopia dengan ketebalan kornea sentral (CCT).

4.2 Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Pada tabel 4.1. menunjukkan frekuensi subyek terbanyak adalah yang
jenis kelamin wanita, yaitu 46 orang dan yang berjenis kelamin pria sebanyak 38
orang. Pada tabel usia yang terbanyak adalah umur 23 tahun sebanyak 54 orang,
sedangkan yang paling sedikit berumur 25 tahun sebanyak 13 orang. Pada tabel
etnis di dapati total sampel sebanyak 84 orang, terbagi atas etnis Melayu 32 orang,
India 25 orang dan China sebanyak 27 orang.
Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan
Rosman M. (2009) dan Fachrian (2009). Menurut penelitian Rosman M (2009),
kelainan refraksi lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
(61,1% berbanding 49,3%). Sedangkan hasil penelitian Fachrian (2009)
menunjukkan bahwa jumlah responden perempuan (53,2%) lebih banyak dari
laki-laki (46,8%).47,48
Perempuan memiliki panjang aksial bola mata yang lebih panjang, dan
memiliki bilik vitreus yang lebih dalam dari pada laki-laki. Hal ini memungkinkan
pada perempuan memiliki kelainan refraksi lebih tinggi dari pria.
Pada tabel 4.2. menunjukkan bahwa dari total jumlah sampel pada
penelitian ini yang mengalami miopia ringan adalah yang terbanyak yaitu 120
mata (71,4%). Pada tabel ini menunjukkan sampel dengan panjang aksial normal
adalah yang terbanyak yaitu 133 mata (79,2%) dan pada kedalaman bilik mata
depan menunjukkan sampel dengan kedalaman yang normal adalah yang
terbanyak yaitu 97 mata (57,7%). Pada ketebalan kornea sentral juga ditemukan
sampel dengan ketebalan yang normal yang terbanyak yaitu 149 mata (88,7%).

Universitas Sumatera Utara


49

Pada tabel 4.3. menunjukkan riwayat miopia terbanyak dialami oleh etnis
Melayu sebanyak 64 mata (38,1%) dari seluruh subyek penelitian, dimana
dijumpai miopia ringan sebanyak 49 mata, miopia sedang sebanyak 13 mata, dan
berat sebanyak 2 mata. Pada tabel ini tampak adanya perbedaan derajat miopia
pada tiap etnis, dimana pada etnis Melayu jumlah miopia ringan merupakan yang
terbanyak dengan 49 mata (40,8%), sedangkan jumlah miopia sedang dan berat
terbanyak di jumpai pada etnis India dengan jumlah 15 mata (35,7%) pada miopia
sedang, dan jumlah miopia berat sebanyak 4 mata (66,7%). Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya (Goh pp, 2005), dimana di nyatakan
bahwa jumlah miopia terbanyak adalah etnis India, kemudian Melayu. Sedangkan
pada penelitian (Saw et al, 2008) menyatakan bahwa etnis China lebih banyak
menderita miopia di bandingkan dengan etnis India ataupun Melayu. 49,50
Perbedaan miopia pada berbagai etnis memang telah banyak di teliti dan
menjadi topik diskusi dalam beberapa literatur, di mana di dalam beberapa
penelitian mengatakan jumlah anak-anak dengan miopia jauh lebih tinggi pada
kelompok Asia timur. Meskipun pada kelompok ini lebih tinggi, tetapi harus di
pertimbangkan juga miopia terjadi akibat faktor lain, seperti genetika ataupun
faktor lingkungan, seperti kinerja sekolah yang lebih tinggi di mana kegiatan
membaca ataupun menggunakan penglihatan dekat lebih banyak dan perbedaan
jumlah waktu yang di habiskan untuk melakukan kegiatan di luar ruangan.51,52
Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil
adanya hubungan antara etnis dengan panjang aksial. Terlihat bahwa panjang
aksial normal banyak terdapat pada etnis Melayu, sebanyak 54 mata (40,6%),
panjang aksial yang lebih panjang juga terdapat pada etnis Melayu, sebanyak 5
mata (45,5%), sedangkan panjang aksial pendek terdapat pada etnis India,
sebanyak 13 mata (54,2%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Garner
et al, 1990) yang menyatakan etnis Melayu memiliki panjang aksial yang lebih
panjang dari etnis Melanesia. Tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
(Zhang MZ et al, 2000) yang menyatakan bahwa anak-anak dengan etnis China
memiliki panjang aksial yang lebih panjang.53,54
Pada tabel 4.5. menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil
adanya hubungan antara etnis dengan kedalaman bilik mata depan (ACD). dimana
dijumpai ACD dangkal paling banyak pada etnis India, sebanyak 28 mata

Universitas Sumatera Utara


50

(40,6%), ACD normal terbanyak pada etnis Melayu, sebanyak 43 mata (44,3%),
dan ACD dalam hanya di temukan pada etnis China, sebanyak 2 mata dalam
penelitian ini (100%). Hasil ini berbeda dengan penelitian (He M et al, 2009) yang
menyatakan ACD lebih dangkal pada etnis China di banding dengan etnis yang
lain. Penelitian lain (Leung ck et al, 2010) dan (Nangia V et al, 2011) menyatakan
bahwa ACD tampak lebih dalam pada etnis India. Tetapi penelitian ini sejalan
dengan penelitian (Lim et al, 2010) yang menyatakan bahwa ACD dangkal paling
banyak di jumpai pada etnis India.55,56,57,58
Pada table 4.6. menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil
tidak ada hubungan antara etnis dengan ketebalan kornea sentral (CCT). Dijumpai
CCT tipis paling banyak pada etnis Melayu dan China, sebanyak 6 mata (37,5%),
CCT normal terbanyak di jumpai pada etnis Melayu, sebanyak 58 mata (38,9%),
dan CCT tebal terbanyak di jumpai pada etnis India, sebanyak 2 mata (66,7%).
Hasil ini sejalan dengan penelitian (Haseltine SJ et al, 2012) dan (Aghaian E et al,
2004), yang menyatakan gambaran ketebalan CCT normal banyak terdapat pada
etnis Melayu, China, dan India. Kemudian penelitian lain (Chua j, 2014)
menyatakan CCT etnis China tampak lebih tipis di bandingkan dengan etnis
Melayu ataupun India.59,60,61
Hingga saat ini belum di temukan faktor penyebab perbedaan AL, ACD
dan CCT pada setiap etnis, ada dugaan faktor lingkungan, letak geografis dan
genetik yang mempengaruhinya. Tetapi ada beberapa faktor lain seperti perbedaan
dalam protokol penelitian termasuk strategi pengambilan sampel, metode untuk
pengukuran CCT (Ultrasonografi pachymetry vs mikroskop specular), rentang
usia peserta penelitian dan sebagainya. Oleh karena itu, perbandingan langsung
antara penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh penelitian lain mungkin
tidak valid. Adapun dari beberapa penelitian hasil ketebalan CCT dilaporkan
berbeda-beda, seperti (530,9 μm) di Korea, (521,0 μm) di Jepang, (535,6 μm) di
China Utara, (541,5 μm) di China Selatan, (514,0 μm) pada orang India yang
tinggal di India, (540,9 μm) di Singapura Melayu, (552,3 μm) di Singapura
Tionghoa dan (540,4 μm) di Singapura India.61,62,63,64,65
Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada penelitian ini angka rerata dari
AL, angka rerata AL panjang pada etnis China sedangkan angka rerata AL pendek
di dapati pada etnis India, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Garner et

Universitas Sumatera Utara


51

al, 1990) yang menyatakan etnis Melayu memiliki panjang aksial lebih panjang
dari etnis Melanesia, menurut penelitian (Pan CW, et al, 2011) panjang aksial
etnis Melayu lebih panjang dari etnis asli India, tetapi hampir sama dengan
panjangnya dengan etnis India yang berada di negara Singapura. Hal ini dapat
terjadi akibat keadaan geografis yang berbeda, ataupu akibat faktor lainnya. 53,66
Pada angka rerata dari ACD, didapati angkat rerata ACD dangkal tertinggi
dijumpai pada etnis India, dan angka rerata ACD dalam tertinggi di jumpai pada
etnis China, hal ini sesuai dengan penelitian (Lim et al, 2010) yang menyatakan
bahwa ACD dangkal paling banyak di jumpai pada etnis India. 58
Pada angka rerata dari CCT, didapati angka CCT lebih tipis pada etnis
China, sedangkan angka rerata CCT yang lebih tebal di jumpai pada etnis India,
hasil ini sejalan dengan penelitian (Chua j, 2014) menyatakan CCT etnis China
tampak lebih tipis di bandingkan dengan etnis Melayu ataupun India. 61
Pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil ada
hubungan antara derajat miopia dengan panjang aksial (AL). dimana dijumpai AL
pendek paling banyak pada miopia ringan, sebanyak 17 mata (70,8%), AL normal
terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 99 mata (74,4%), dan AL
panjang terbanyak di jumpai pada miopia sedang, sebanyak 5 mata (45,5%). Hasil
ini sejalan dengan penelitian (Shu Wen Chang et al, 2001), yang menyatakan
adanya hubungan antara derajat miopia dengan panjang AL. Tetapi pada
penelitian lain didapatkan hasil yang bertentangan, menurut penelitian (Donald O.
Mutti et al, 2007) menyatakan panjang aksial pada anak miopia lebih panjang
dibandingkan anak emmetropia dan pemanjangan sumbu bola mata merupakan
salah satu faktor yang dapat digunakan untuk memprediksi onset miopia. Menurut
penelitian (Lim L et al, 2004) menyatakan panjang sumbu bola mata berbeda pada
miopia fase awal disebabkan pembesaran sumbu secara global. 67,68,69
Pada tabel 4.8. menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil ada
hubungan antara derajat miopia dengan kedalaman bilik mata depan (ACD).
Dijumpai ACD dangkal paling banyak pada miopia ringan, sebanyak 46 mata
(66,7%), ACD normal terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 74
mata (77,1%), dan ACD dalam hanya di jumpai pada miopia sedang, sebanyak 3
mata (100%). Hal ini sejalan dengan penelitian (Hosni M et al, 1999) yang
menyatakan ACD berhubungan dengan panjang AL, kelainan refraksi miopia dan

Universitas Sumatera Utara


52

diameter kornea. Penelitian (Ousbeni et al, 1999) menyatakan bahwa penderita


miopia memiliki ACD yang lebih dalam. Tetapi pada penelitian lain di jumpai
bahwa penderita miopia memiliki ACD yang lebih dangkal (He Ming et al, 2009).
Adapun perbedaan hasil pada setiap penelitian di mungkinkan karena perbedaan
metode pemeriksaan, penggunaan alat dan perbedaan geografis.70,71,72
Pada tabel 4.8. menunjukkan bahwa pada penelitian ini di dapati hasil
tidak ada hubungan antara miopia dengan ketebalan kornea sentral (CCT).
Dijumpai CCT tipis paling banyak pada miopia ringan, sebanyak 14 mata
(87,5%), CCT normal terbanyak juga di jumpai pada miopia ringan, sebanyak 105
mata (70,5%), dan CCT tebal terbanyak pada miopia sedang, sebanyak 2 mata
(66,7%). Hasil ini sejalan dengan penelitian (Fam HB et al, 2006) dan (Pfeiffer N
et al, 2007), yang menyatakan tidak ada hubungan antara ketebalan CCT dan
derajat miopia. 73,74
Belum ada literatur yang menyatakan bahwa ketebalan CCT akan
mempengaruhi miopia, selama ini ada dugaan bahwa stroma kornea akan menjadi
lebih tipis pada miopia, hal ini mirip dengan penipisan yang terjadi pada sklera
selama perkembangan miopia. Dalam penelitian (Liu Z et al, 2000), di mana dia
menyimpulkan tidak ada korelasi antara CCT dan miopia. Pada penelitian (Price
FW et al, 1999) CCT juga tidak berkorelasi dengan panjang aksial, usia, jenis
kelamin, diameter kornea horizontal, atau kelainan refraksi. Selain itu, (Cho dan
Lam, 1999), menemukan bahwa CCT menurun dengan meningkatnya usia tetapi
CCT tidak berhubungan dengan kurvatura kornea. Menurut pengamatan ini, dapat
di ambil kesimpulan jika terjadi mekanisme peregangan pada sklera, maka hal
tersebut hanya terbatas pada sklera saja dan tidak melibatkan kornea.75,76,77

Universitas Sumatera Utara


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara etnis dengan derajat miopia.
2. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara etnis dengan panjang aksial (AL).
3. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara etnis dengan kedalaman bilik
mata depan (ACD).
4. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara etnis dengan ketebalan
kornea sentral (CCT).
5. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara panjang aksial (AL) dengan
derajat miopia.
6. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara kedalaman bilik mata depan
(ACD) dengan derajat miopia.
7. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara ketebalan kornea sentral
(CCT) dengan derajat miopia.

5.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar disertai
pembanding kelainan refraksi lain seperti hipermetropia dan astigmatisma
untuk medapatkan hasil yang lebih baik.
2. Diperlukan penyuluhan mengenai miopia, terutama pada generasi muda agar
para generasi muda dapat mengetahui dampak dari miopia yang tidak
ditanganin seperti dapat terjadi ambliopia, glaukoma, ablasio retina.
3. Diperlukan skrining dan pemeriksaan lebih lanjut pada mata, seperti
pemeriksaan segmen anterior, posterior, ataupun tekanan bola mata, terutama
pada kasus-kasus miopia sedang hingga berat, sehingga dapat terlihat apakah
miopia ini sudah melibatkan kerusakan pada saraf mata.

53
Universitas Sumatera Utara
54

DAFTAR PUSTAKA

1. Ferris JD, Refractive error. American Academy of Ophthalmology, 27


October 2015
2. Tan, T. 2004. The future is near: focus on myopia. Singapore Med J 2004 Vol
45(10) : 451. Available from: www.sma.org.sg/smj/4510/4510e1.pdf
[Accesed 2018 June 1]
3. Midelfart A, Aamo B, Sjohauq KA, Dysthe BE. 2009. Myopia among
medical students in Norway. Acta Opthalmologica; 70:317-322. Available
from:http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.17553768.1992.tb08571.x/[
Accesed 2018 June 12]
4. Hahsim. 2008. Prevalence of refractive error in malay primary school
children in suburban area of Kota Bharu, Kelantan, Malaysia. Annals of
Academy of Medicine 37(11):940-946. Available from:
http://proquest.umi.com/ [Accesed 2018 June 19].
5. Resnikoff S. Pascolini D. Mariotti S.P. dan Pokharel G.P. Global Magnitude
of Visual Impairment Caused by Uncorrected Refractive errors in 2004.
Bulletin of the World Health Organization. 2008. 86 : 63-70.
6. American academy of ophthalmology. 2016. Basic and Clinical Science
Course. Optics, refraction and contact lenses. American Academy of
Ophthalmology
7. American Optometric Association. 2014. Myopia American Optometric
Association. Page: 6-7.
8. Jones LA, Sinnott LT, Mutti DO, Mitchell GL, Moeschberger ML,
Zadnik K. Parental History of Miopia, Sports and Outdoor Activities,
and Future Miopia. Invest Ophthalmol Vis Sci [Internet]. 2007 August
[diakses 21 Juni 2018] 48(8): 3524–3532. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2871403/?tool=pmcentrez.
9. Sivian Muller, T.Kresvast, H, Junnn, Myopia in Chlidren, Journal of
Ophthalmology, p3-8,2009
10. Katz M, Kruger PE., Clinical Optics, Chapter 3, American Academy of
Ophthlamology, 2014-2015, p. 93-141.

Universitas Sumatera Utara


55

11. Guggenheim JA. Correlation in refractive errors between siblings inSingapore


Cohort Study of Risk Factor for Myopia. British Journal ofOphtalmology
[Internet]. 2007 [diakses 10 Juni 2018] 91(6):781-784.Available from:
http://bjo.bmj.com/content/91/6/781.abstract13
12. Mutti DO, Mittchell GL, Moeschberger ML, Jones LA, Zadnik K.Parental
miopia, near work, school achievement and children’srefractive error. Invest
Ophtalmol Vis Sci [Internet]. 2002 Dec [diakses 10 Juni 2018] vol 43(12):
3633-3640. Available from :www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed12454029
13. Rajendran K., et al. 2014. A Prevalence Study on Myopia Among School
Going Children in a Rural Area of South India. Indian Journal of Clinical
Practice, Vol. 25, No. 4.
14. Liang, chung-Ling. 2004. Impact of family History of High Myopia on Level
and Onset of Myopia.http://www.iovs.org/content/45/10/3446.full.pdf. (19
Juni 2018)
15. Wong J, Coggon D, Cruddas M, et al, 2003. Education, reading, and familiar
tendency as risk factor for myopia in Hongkong fisherman. Journal of
epidemiology and community health.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi. (diakses 19 Juni 2018).
16. Dirani M, Chamberlain M, Shekar SN, et al. Heritability of refractiveerror
and ocular biometrics : The gene in miopia (GEM) twin study.
Invest Ophtalmol Vis Sci [Internet]. 2008 [diakses 15 Juni 2018]
49(10):4336-433. Available
from:www.iovs.org/cgi/content/abstract/47/11/4756
17. Khurana AK. 2007. Comprehensive ophthalmology: optics and refraction. 4th
ed. New Delhi: New Age International (P) Ltd. P.19-49
18. Hayatillah A. 2011. Prevalensi miopia dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pada mahasiswa program studi pendidikan dokter UIN Syarif Hidayatullah
jakarta tahun 2011. UIN Syarif Hidayatullah jakarta. Hal 10.
19. Pedoman Pemeliharaan Tajam Penglihatan. Edisi. 2. Jakarta: Departemen
Kesehatan; 2001.

Universitas Sumatera Utara


56

20. Bhardawaj V. Et al. 2013. Axial Length, Anterior Chamber Depth-A Study in
Different Age Groups and Refractive Errors. J Clin Diagn Res. 2013 Oct;
7(10): 2211–2212.
21. Patel AS, O’brien C, Shahzad HSF. 2015. Biometry for Intra-Ocular Lens
(IOL)power
calculation.http://eyewiki.aao.org/Biometry_for_IntraOcular_Lens_(IOL)_po
wer_calculation. (diakses 2 Juni 2018)
22. Srinivasan, S. Mashor, R.S, Slomovic, A.R. 2011. Corneal Manifestation of
Metabolic Diseases. Cornea Fundamental, Diagnosis and Management. 3rd
ed. London:Elsevier. P:665
23. Dawson, D.G.,Ubels, J.L., Edelhauser, H.F. 2011. Cornea and Sclera. Adler’s
Physiology of Eye. 8th Ed. Toronto: Elsevier. p:71-115
24. Coaster, J.D. 2002. Foundation of Keratology in Fundamental of Clinical
Ophthalmology - Cornea, BMJ Publishing Group. London. 20-21.
25. Levine, L.M.,Brar, V.S., Goldstein, M.H.. 2016. Fundamental and Principles
of Ophthalmology. Section 2. American Academy of Ophthalmology. San
Francisco. 73-79;313-319.
26. Gatinel, D. 2013. Elements of Corneal Surface Geometry. Corneal
Topography. Amsterdam: Kugler Publication. p: 3-10
27. Weisenthal, R.W., Afshari, N.A., Bouchard, C.S. 2016. External Disease and
Cornea. Section 8. American Academy of Ophthalmology. San Francisco. 29-
33;391-392.
28. Chen MJ, Liu YT, Tsai CC, Chen YC, ChouCK, Lee SM: Relationship
between centralcorneal thickness, refractive error, corneal
curvature, anterior chamber depth and axiallength. J Chin Med Assoc
2009;72:133–137.
29. Jivrajka R, Shammas MC, Boenzi T, Swearingen M, Shammas HJ:
Variability of axiallength, anterior chamber depth, and lensthickness in the
cataractous eye. J CataractRefract Surg 2008;34:289–294.
30. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II, cet. 1 Jakarta : PT. Rineka Cipta,
1998

Universitas Sumatera Utara


57

31. Faz, Ahmad Thoha, Titik Ba : Paradigma Revolusioner dalam Kehidupan dan
Pembelajaran, cet.1, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007.
32. http://www.kompasiana.com/www.titiiagustia_29.com/perbedaan-ras-dan-
etnis
33. http://www.spengetahuan.com/2017/09/pengertianras-dan-etnis
34. http://www.kompasiana.com/khoiudinzain08/ketidaksetaan-ras-dan-etnis
35. Young TL, Metlapally R, Shay AE: Complex trait genetics of refractive error.
Arch Ophthalmol 2007;125:38–48.
36. Olsen T, Arnarsson A, Sasaki H, Sasaki K,Jonasson F: On the ocular
refractive components: the Reykjavik Eye Study. Acta Ophthalmol Scand
2007;85:361–366.
37. Wong TY, Foster PJ, Ng TP, Tielsch JM,Johnson GJ, Seah SK: Variations in
ocular biometry in an adult Chinese population inSingapore: the Tanjong
Pagar Survey. InvestOphthalmol Vis Sci 2001;42:73–80.
38. Mutti DO, Hayes JR, Mitchell GL, Jones LA,Moeschberger ML, Cotter SA,
KleinsteinRN, Manny RE, Twelker JD, Zadnik K,CLEERE Study Group:
Refractive error, axiallength, and relative peripheral refractive error before
and after the onset of myopia. Invest Ophthalmol Vis Sci 2007;48:2510–
2519.
39. Chui TYP, Bissig D, Berkowitz BA,Akula JD. 2012. Development in the
ROP Rat. Journal of Ophthalmology; 956705.
40. Su DH, Wong TY, Foster PJ, Tay WT, SawSM, Aung T: Central corneal
thickness andits associations with ocular and systemic factors: the Singapore
Malay Eye Study. Am JOphthalmol 2009;147:709–716.
41. Read SA, Collins MJ, Iskander DR: Diurnalvariation of axial length,
intraocular pressure, and anterior eye biometrics. InvestOphthalmol Vis Sci
2008;49:2911–2918
42. Tang WC, Yap MK, Yip SP: A review of current approaches to identifying
human genesinvolved in myopia. Clin Exp Optom 2008;91:4–22.
43. He M, Hur YM, Zhang J, Ding X, Huang W,Wang D: Shared genetic
determinant of axial length, anterior chamber depth, and angleopening

Universitas Sumatera Utara


58

distance: the Guangzhou Twin EyeStudy. Invest Ophthalmol Vis Sci


2008;49:4790–4794.
44. Klein AP, Suktitipat B, Duggal P, Lee KE,Klein R, Bailey-Wilson JE, Klein
BE: Heritability analysis of spherical equivalent, axiallength, corneal
curvature, and anteriorchamber depth in the Beaver Dam Eye Study.Arch
Ophthalmol 2009;127:649–655.
45. Istiantoro, S dan Johan A Hutauruk. Kalkulasi power IOL, dalam:Transisi
menuju fakoemulsifikasi. Granit, Jakarta, 2004 : 183-200.
46. Lubis RR, Cara dan Pembacaan A-Scan / B, Available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3437/1/09E01857.pdf
47. Fachrian, D., Rahayu, A.R., Naseh, A.P., dkk. 2009. Prevalensi
KelainanTajamPenglihatan Pada Pelajar SD “X” Jatinegara Jakarta Timur.
Maj KedokteranIndon, Volum: 59, Nomor: 6.
48. Rosman M, Wong T.Y, Wong W, Wong M.L, Saw S.M. knowledge and
beleifsassociated with refractive errors and under correction. Br J.opthalmol
[online] 2009; Jun 20 93(1): 4-10. Available from
URL:http://ncbi.nlm.nih.gov/18567651. (Diakses 18 Januari 2018).
49. Goh PP Abqariyah Y Pokharel GP Ellwein LB. Refractive error and visual
impairment in school-age children in Gombak District,
Malaysia. Ophthalmology . 2005; 112: 678–685. [CrossRef] [PubMed]
50. Saw SM Chan YH Wong WL Prevalence and risk factors for refractive errors
in the Singapore Malay Eye Survey. Ophthalmology . 2008; 115: 1713–
1719. [CrossRef] [PubMed]
51. Saw SM Tong L Chua WH . Incidence and progression of myopia in
Singaporean school children. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2005;46(1):51–
57. [CrossRef] [PubMed]
52. Morgan I Rose K . How genetic is school myopia? Prog Retin Eye Res.
2005;24(1):1–38. [CrossRef][PubMed]
53. GarnerLF, MengCK, GrosvenorTP, MohidinN. Ocular dimensions and
refractive power in Malay and Melanesian children. Ophthalmic Physiol Opt.
1990;10:234–238. [CrossRef] [PubMed]

Universitas Sumatera Utara


59

54. Zhang MZ, Saw SM, Hong RZ, et al. Refractive errors in Singapore and
Xiamen, China- a comparative study in School children aged 6 to 7 years.
Optom Vis Sci 2000; 77: 302-308.
55. He M, Huang W, Li Y, Zheng Y, Yin Q, Foster PJ. Refractive error
andbiometry in older Chinese adults: the Liwan eye study. Invest Ophthalmol
Vis Sci. 2009;50:5130–6.
56. Leung CK, Palmiero PM, Weinreb RN, et al. Comparisons of anterior
segment biometry between Chinese and Caucasians using anterior segment
optical coherence tomography. Br J Ophthalmol. 2010;94:1184 –1189.
57. Nangia v, Gupta R, Anshu K et al . “Anterior chamber depth and its
associations with ocular and general parameters in adults “ Clinical &
Experimental Opthalmology, volume 40, issue 6, 2012
58. L. S. Lim, S. M. Saw, V. S. Jeganathan et al., “Distribution and determinants
of ocular biometric parameters in an Asian population: the Singapore Malay
eye study,” Investigative Ophthalmology & Visual Science, vol. 51, pp. 103–
109, 2010. View at Publisher · View at Google Scholar · View at Scopus
59. Haseltine SJ, Pae J, Ehrlich JR, Shammas M, Radcliffe NM.Variation in
corneal hysteresis and central corneal thicknessamong black, hispanic and
white subjects. Acta Ophthalmol2012; 90:626-31.
60. Aghaian E, Choe JE, Lin S, Stamper RL. Central cornealthickness of
Caucasians, Chinese, Hispanics, Filipinos, AfricanAmericans, and Japanese in
a glaucoma clinic. Ophthalmology 2004; 111:2211-9.
61. Chua J, Tham YC, Liao J, Zheng Y, Aung T, Wong TY, et al. Ethnic
differences of intraocular pressure and central corneal thickness: the Singapore
Epidemiology of Eye Diseases study. Ophthalmology. 2014; 121(10):2013–
22. doi: 10.1016/j.ophtha.2014.04.041 PMID: 24950592.
62. Pan CW, Zheng YF, Anuar AR, Chew M, Gazzard G, Aung T, et al.
Prevalence of refractive errors in a multiethnic Asian population: the
Singapore epidemiology of eye disease study. Invest Ophthalmol Vis . 2013;
54(4):2590–8. Epub 2013/03/21. doi: iovs.13-11725 [pii] doi:
10.1167/iovs.13-11725 PMID:23513059.

Universitas Sumatera Utara


60

63. Suh W, Kee C. The distribution of intraocular pressure in urban and in rural
populations: the Namil study in South Korea. Am J Ophthalmol. 2012;
154(1):99–106. Epub 2012/04/17. doi: S0002-9394(12) 00042-6 [pii] doi:
10.1016/j.ajo.2012.01.009 PMID: 22503693.
64. Tomidokoro A, Araie M, Iwase A, Tajimi Study G. Corneal thickness and
relating factors in a population-based study in Japan: the Tajimi study. Am J
Ophthalmol. 2007; 144(1):152–4. doi: 10.1016/j.ajo.2007.02.031 PMID:
17601447.
65. Zhou Q, Liang YB, Wong TY, Yang XH, Lian L, Zhu D, et al. Intraocular
pressure and its relationship to ocular and systemic factors in a healthy
Chinese rural population: the Handan Eye Study. Ophthalmic Epidemiol.
2012; 19(5):278–84. doi: 10.3109/09286586.2012.708084 PMID: 22978528.
66. Pan CW, Wong TY,Lavanya R et all,Ocular Biometry in an Urban Indian
Population: The Singapore Indian Eye Study (SINDI), 2011
67. Shu wen chang, I Lun Tsai, Fung Rong Hu, Luke Long Kuang Lin, Yung
Feng Shih: the cornea in young myopic adults. Br J Ophthalmology
2001:85:916-920
68. Mutty O. D, Hayes J. R., Mitchell G. L., et all Refractive error, Axial length,
and refractive peripheral Error before and after onset Myopia, 2007
69. L. S. Lim, X. Yang, G Gazzard et all , Pubmed, Variations in eye volume,
surface area and shape with refractive error in young children by magnetic
resonance imaging analysis, 2011
70. Hosny M ,Alió JL, Claramonte P, Attia WH, Juan JPS, Relationship Between
Anterior Chamber Depth, Refractive State, Corneal Diameter, and Axial Length,
1999.
71. Osuobeni EP. Ocular components values and their interocorrelations in Saudi
Arabians; Ophthalmic Physiol Opt. 1999 Nov; 19(6): 489-97
72. He M, Huang W, Li Y, Zheng Y, Yin Q, Foster PJ. Refractive error and
biometry in older Chinese adults: the Liwan eye study. Invest Ophthalmol Vis
Sci. 2009;50:5130–5136. pmid:19553618

Universitas Sumatera Utara


61

73. Fam HB, How AC, Baskaran M, Lim KL, Chan YH, Aung T (2006) Central
corneal thickness and its relationship to myopia in Chinese adults. Br J
Ophthalmol 90:1451–1453. doi:10.1136/bjo.2006.101170
74. European Glaucoma Prevention Study Group, Pfeiffer N, Torri V, Miglior S,
Zeyen T, Adamsons I, Cunha-Vaz J (2007) Central corneal thickness in the
European Glaucoma Prevention Study. Ophthalmology 114:454–459.
doi:10.1016/j.ophtha.2006.07.039
75. Liu Z, Pflugfelder SC (2000) The effects of long-term contact lens wear on
corneal thickness, curvature, and surface regularity. Ophthalmology 107:105–
111. doi:10.1016/S0161-6420(99)00027-5
76. Price FW Jr, Koller DL, Price MO (1999) Central corneal pachymetry in
patients undergoing laser in situ keratomileusis. Ophthalmology 106:2216–
2220. doi:10.1016/S0161-6420(99)90508-0
77. Cho P, Lam C (1999) Factors affecting the central corneal thickness of Hong
Kong Chinese. Curr Eye Res 18:368–374. doi:10.1076/ceyr.18.5.368.5347

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bernama:

Nama :

No HP :

Umur : Tahun

JenisKelamin : Laki-laki / Perempuan

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan

prosedur penelitian ini, saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyetujui dan

bersedia agar saya ikut serta dalam penelitian “Hubungan Panjang Aksial,

Ketebalan Kornea Sentral dan Kedalaman Bilik Mata Depan Dengan Kejadian

Miopia Pada Etnis Melayu, India dan China Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara”. Dan kemudian data tersimpan dari penelitian ini

saya setujui untuk dapat dipergunakan pada penelitian selanjutnya.

Demikian surat persetujuan bersedia ikut dalam penelitian ini saya buat untuk

dapat dipergunakan seperlunya.

Medan, Januari 2019

(……………………………)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3
LEMBAR PEMERIKSAAN

Hubungan Panjang Aksial, Ketebalan Kornea Sentral Dan Kedalaman Bilik Mata Depan
Dengan Kejadian Miopia Pada Etnis Melayu, China Dan India Mahasiswa Kedokteran
Fakultas Universitas Sumatera Utara.

IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Umur :
Agama :
Etnis :
Alamat :
No Hp :
Tanggal pemeriksaan :

Anamnesis
1. Keluhan Utama :
2. Riwayat Pemakaian Kaca Mata :

Pemeriksaan Segmen Anterior


OD OS
Visus dgn kacamata
Palpebra superior
Palpebra inferior
Konjuntiva tarsal sup
Konjungtiva tarsal inf
Konjungtiva bulbi
Kornea
Bilik mata depan
Iris
Pupil
Lensa

Universitas Sumatera Utara


Lensometer OD :
Lensometer OS :

Pemeriksaan AL, ACD, CCT


Koreksi tajam penglihatan
OD:
OS:

Panjang Aksial
OD:
OS:

Kedalaman Bilik Mata Depan


OD:
OS:

Ketebalan Kornea Sentral


OD:
OS:

Universitas Sumatera Utara


No Nama Jenis Kelamin Usia Etnis miopia od miopia os AL angka OD AL OD AL angka OS AL OS ACD angka OD ACD OD ACD angka OS ACD OS CCT angka OD CCT OD CCT angka OS CCT OS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1 fl 1 1 3 2 1 23.95 2 24.03 2 2.59 1 2.7 1 559 3 551 3
2 ms 2 2 3 2 2 22.99 2 23.00 2 3.37 2 3.16 2 581 3 566 3
3 ej 1 1 3 2 2 24.15 2 24.19 2 2.98 1 2.83 1 560 3 569 3
4 ey 1 1 3 2 2 23.88 2 24.27 2 3.48 2 2.66 1 561 3 575 3
5 ir 1 1 3 2 2 25.17 3 25.34 3 3.98 2 3.16 2 549 2 550 3
6 ws 1 1 3 2 2 23.94 2 24.97 2 4.05 3 3.71 2 633 4 599 3
7 sn 2 1 3 2 1 22.44 2 23.83 2 3.25 2 3.54 2 518 2 519 2
8 vr 2 1 3 1 1 22.18 2 22.93 2 3.16 2 2.68 1 560 3 552 3
9 wy 1 1 3 2 2 24.88 2 24.28 2 2.8 1 2.88 1 513 2 514 2
10 rj 1 2 3 1 1 23.87 2 25.27 3 3.29 2 3.48 2 560 3 564 3
11 Er 1 1 3 1 1 23.82 2 23.62 2 3.45 2 3.52 2 293 1 293 1
12 ft 1 1 3 1 1 23.40 2 23.07 2 3.37 2 3.52 2 589 3 580 3
13 fh 1 1 3 1 1 24.97 2 24.81 2 3.41 2 3.27 2 513 2 506 2
14 zn 1 1 3 1 1 22.48 2 22.78 2 3.06 2 3.26 2 520 2 527 2
15 mr 1 2 3 1 1 23.23 2 23.54 2 2.97 1 3.31 2 540 2 540 2
16 vs 1 1 3 1 1 25.33 3 24.61 2 2.99 1 3.1 2 535 2 534 2
17 nvn 1 3 2 1 1 22.77 2 21.71 1 2.59 1 2.84 1 519 2 520 2
18 bls 1 3 2 2 2 25.31 3 24.37 2 2.81 1 2.87 1 535 2 540 2
19 vr 2 2 2 2 2 25.31 3 24.37 2 2.85 1 2.93 1 540 2 535 2
20 brm 2 3 2 1 1 21.77 1 20.71 1 2.63 1 2.84 1 525 2 508 2
21 gtr 2 2 2 2 2 22.06 2 22.16 2 2.99 1 2.83 1 602 4 587 3
22 tgd 2 2 2 2 2 24.38 2 24.45 2 2.78 1 2.66 1 547 2 553 3
23 rsr 1 1 2 2 2 22.86 2 23.05 2 3.05 2 3.22 2 522 2 518 2
24 mh 1 1 2 1 1 23.53 2 22.77 2 3.73 2 3.14 2 552 3 561 3
25 drd 2 3 2 1 1 22.93 2 24.67 2 3.81 2 3.5 2 519 2 520 2
26 shr 1 2 2 1 1 23.73 2 24.09 2 3.32 2 3.28 2 517 2 509 2
27 tkk 1 3 2 2 1 25.17 3 24.42 2 3.37 2 2.94 1 565 3 580 3
28 ndn 2 1 2 1 1 23.17 2 23.10 2 2.56 1 2.91 1 601 4 590 3
29 rpp 2 1 2 1 1 23.09 2 22.06 2 3.31 2 3.22 2 504 2 506 2
30 tgr 2 1 2 1 1 22.89 2 22.55 2 3.52 2 2.92 1 512 2 504 2
31 hvt 1 3 2 1 1 22.52 2 22.42 2 2.87 1 2.8 1 564 3 562 3
32 sln 2 2 2 1 1 22.93 2 22.84 2 3.58 2 3.69 2 534 2 536 2
33 hrs 2 3 2 1 1 22.92 2 22.69 2 3.37 2 3.44 2 572 3 574 3
34 tns 2 3 2 1 1 22.57 2 22.75 2 3.17 2 2.72 1 546 2 550 2
35 kmr 2 3 2 1 1 23.22 2 22.84 2 3.16 2 2.57 1 470 1 474 1
36 nbs 2 3 2 2 2 24.04 2 24.06 2 2.97 1 3.08 2 493 1 537 2
37 svs 1 3 2 3 3 25.46 3 24.95 2 2.93 1 2.74 1 498 1 501 2
38 ths 2 3 2 1 1 22.74 2 23.16 2 3.13 2 3.48 2 531 2 532 2
39 syg 1 1 2 2 2 22.97 2 22.95 2 2.97 1 2.54 1 579 3 561 3
40 pnk 2 3 2 1 1 23.02 2 22.45 2 2.84 1 3.05 2 561 3 571 3
41 prt 1 2 2 3 3 23.21 2 22.97 2 2.72 1 2.57 1 526 2 530 2
42 DM 2 2 1 1 1 21.63 1 21.23 1 2.87 1 2.48 1 544 2 548 2
43 HS 2 1 1 1 1 22.36 2 22.59 2 3.06 2 3.37 2 537 2 538 2
44 FR 2 1 1 1 1 23.65 2 21.23 1 3.66 2 2.48 1 494 1 490 1
45 VG 2 1 1 1 1 25.28 3 24.90 2 3.31 2 3.06 2 568 3 579 3
46 RZ 1 1 1 1 1 24.27 2 23.10 2 2.93 1 2.7 1 530 2 527 2
47 IF 2 1 1 1 1 23.24 2 23.40 2 2.59 1 3.22 2 509 2 509 2
48 RF 1 1 1 1 1 24.88 2 24.99 2 3.48 2 3.29 2 524 2 523 2
49 MH 1 1 1 2 2 25.85 3 24.36 2 3.62 2 3.9 2 539 2 532 2
50 FQ 2 1 1 1 1 22.51 2 21.84 1 3.3 2 2.56 1 578 3 575 3
51 MT 2 1 1 1 1 22.26 2 22.28 2 2.94 1 3.18 2 563 3 560 3
52 CI 1 2 1 2 2 23.93 2 23.18 2 3.05 2 3.01 2 547 2 550 3
53 RP 1 1 1 1 1 23.87 2 22.99 2 3.18 2 2.83 1 540 2 535 2

Universitas Sumatera Utara


54 YH 1 1 1 1 1 24.02 2 24.02 2 3.19 2 2.89 1 507 2 510 2
55 MS 1 2 1 1 1 23.01 2 22.58 2 2.99 1 2.8 1 500 2 507 2
56 RS 1 1 1 1 1 24.78 2 24.22 2 2.97 1 2.62 1 583 3 577 3
57 CK 2 2 1 1 1 22.73 2 24.73 2 3.46 2 3.48 2 533 2 537 2
58 CS 2 1 1 1 1 23.73 2 23.52 2 2.96 1 2.81 1 463 1 459 1
59 MJ 1 1 1 1 1 23.78 2 23.68 2 3.39 2 3.3 2 534 2 532 2
60 DN 2 2 1 1 1 22.50 2 22.56 2 3.07 2 3.11 2 528 2 530 2
61 FD 2 2 1 1 1 23.22 2 22.72 2 3.4 2 2.97 1 540 2 542 2
62 FA 2 1 1 1 1 22.99 2 23.87 2 3.29 2 3.61 2 558 3 550 3
63 NI 2 1 1 1 1 22.99 2 22.61 2 3.17 2 2.61 1 447 1 450 1
64 LM 2 1 1 2 2 23.93 2 24.09 2 3.35 2 3.71 2 525 2 522 2
65 KN 2 1 1 1 1 21.30 1 21.26 2 3.31 2 2.5 1 489 1 487 1
66 KP 1 1 1 1 1 23.63 2 23.51 2 3.43 2 3.01 2 585 3 578 3
67 AN 1 1 1 3 3 25.08 3 24.97 2 3.24 2 3.43 2 561 3 575 3
68 TM 1 2 1 1 1 25.03 3 25.38 3 3.26 2 2.89 1 521 2 514 2
69 SR 2 1 1 1 1 22.19 2 22.11 2 2.82 1 2.84 1 514 2 508 2
70 RW 2 1 1 1 2 24.10 2 24.97 2 2.89 1 3.02 2 550 3 547 2
71 RM 2 1 1 1 1 23.80 2 22.62 2 2.87 1 2.77 1 515 2 517 2
72 NN 2 1 1 1 1 22.65 2 23.20 2 2.96 1 3.38 2 525 2 516 2
73 AN 2 1 1 1 1 24.68 2 23.88 2 3.53 2 3.39 2 524 2 527 2
74 RD 2 1 1 1 1 23.98 2 23.63 2 3.09 2 3.7 2 518 2 508 2
75 EM 2 1 1 2 2 23.69 2 23.63 2 3.13 2 3 2 513 2 513 2
76 ND 2 2 1 2 2 23.80 2 24.70 2 2.77 1 3.52 2 505 2 505 2
77 TR 2 1 1 1 1 23.11 2 22.71 2 3.54 2 3.03 2 501 2 504 2
78 FJ 2 1 1 1 1 22.27 2 22.23 2 2.61 1 2.68 1 512 2 515 2
79 TT 1 1 1 1 1 23.48 2 24.02 2 3.28 2 3.28 2 511 2 503 2
80 LK 1 1 1 1 1 23.54 2 22.83 2 3.32 2 2.79 1 519 2 515 2
81 TF 1 1 1 2 2 23.21 2 23.22 2 3.29 2 2.63 1 507 2 502 2
82 NA 2 1 1 1 1 22.83 2 22.95 2 3.49 2 3.43 2 487 1 486 1
83 RE 2 1 1 1 1 23.69 2 23.37 2 3.42 2 3.07 2 521 2 520 2
84 AP 2 1 1 1 1 23.18 2 23.62 2 3.03 2 3.3 2 521 2 521 2

1. Pria 1. 23 tahun 1. Melayu 1. ringan 1. ringan 1. pendek 1. pendek 1. dangkal 1. dangkal 1. tipis 1. tipis
2. Wanita 2. 24 tahun 2. India 2. sedang 2. sedang 2. normal 2. normal 2. normal 2. normal 2. normal 2. normal
3. 25 tahun 3. Cina 3. berat 3. berat 3. panjang 3. panjang 3. dalam 3. dalam 3. tebal 3. tebal

Universitas Sumatera Utara


Miopia * Suku

Crosstab

Suku
Melay u India China Total
Miopia Ringan Count 49 31 40 120
Expected Count 45.7 35.7 38.6 120.0
% wit hin Miopia 40.8% 25.8% 33.3% 100.0%
% wit hin Suku 76.6% 62.0% 74.1% 71.4%
Sedang Count 13 15 14 42
Expected Count 16.0 12.5 13.5 42.0
% wit hin Miopia 31.0% 35.7% 33.3% 100.0%
% wit hin Suku 20.3% 30.0% 25.9% 25.0%
Berat Count 2 4 0 6
Expected Count 2.3 1.8 1.9 6.0
% wit hin Miopia 33.3% 66.7% .0% 100.0%
% wit hin Suku 3.1% 8.0% .0% 3.6%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin Miopia 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asy mp. Sig.


Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.702a 4 .152
Likelihood Ratio 7.942 4 .094
Linear-by -Linear
.001 1 .971
Association
N of Valid Cases 168
a. 3 cells (33.3%) hav e expected count less t han 5. The
minimum expected count is 1.79.

Universitas Sumatera Utara


AL * Suku

Crosstab

Suku
Melay u India China Total
AL Pendek Count 5 13 6 24
Expected Count 9.1 7.1 7.7 24.0
% wit hin AL 20.8% 54.2% 25.0% 100.0%
% wit hin Suku 7.8% 26.0% 11.1% 14.3%
Normal Count 54 33 46 133
Expected Count 50.7 39.6 42.8 133.0
% wit hin AL 40.6% 24.8% 34.6% 100.0%
% wit hin Suku 84.4% 66.0% 85.2% 79.2%
Panjang Count 5 4 2 11
Expected Count 4.2 3.3 3.5 11.0
% wit hin AL 45.5% 36.4% 18.2% 100.0%
% wit hin Suku 7.8% 8.0% 3.7% 6.5%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin AL 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asy mp. Sig.


Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 9.607a 4 .048
Likelihood Ratio 9.225 4 .056
Linear-by -Linear
.954 1 .329
Association
N of Valid Cases 168
a. 3 cells (33.3%) hav e expected count less t han 5. The
minimum expected count is 3.27.

Universitas Sumatera Utara


ACD * Suku

Crosstab

Suku
Melay u India China Total
ACD Dangkal Count 21 28 20 69
Expected Count 26.3 20.5 22.2 69.0
% wit hin ACD 30.4% 40.6% 29.0% 100.0%
% wit hin Suku 32.8% 56.0% 37.0% 41.1%
Normal Count 43 22 31 96
Expected Count 36.6 28.6 30.9 96.0
% wit hin ACD 44.8% 22.9% 32.3% 100.0%
% wit hin Suku 67.2% 44.0% 57.4% 57.1%
Dalam Count 0 0 3 3
Expected Count 1.1 .9 1.0 3.0
% wit hin ACD .0% .0% 100.0% 100.0%
% wit hin Suku .0% .0% 5.6% 1.8%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin ACD 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asy mp. Sig.


Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 12.965a 4 .011
Likelihood Ratio 13.320 4 .010
Linear-by -Linear
.000 1 .990
Association
N of Valid Cases 168
a. 3 cells (33.3%) hav e expected count less t han 5. The
minimum expected count is .89.

Universitas Sumatera Utara


CCT * Suku

Crosstab

Suku
Melay u India China Total
CCT Tipis Count 6 4 6 16
Expected Count 6.1 4.8 5.1 16.0
% wit hin CCT 37.5% 25.0% 37.5% 100.0%
% wit hin Suku 9.4% 8.0% 11.1% 9.5%
Normal Count 58 44 47 149
Expected Count 56.8 44.3 47.9 149.0
% wit hin CCT 38.9% 29.5% 31.5% 100.0%
% wit hin Suku 90.6% 88.0% 87.0% 88.7%
Tebal Count 0 2 1 3
Expected Count 1.1 .9 1.0 3.0
% wit hin CCT .0% 66.7% 33.3% 100.0%
% wit hin Suku .0% 4.0% 1.9% 1.8%
Total Count 64 50 54 168
Expected Count 64.0 50.0 54.0 168.0
% wit hin CCT 38.1% 29.8% 32.1% 100.0%
% wit hin Suku 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asy mp. Sig.


Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 2.830a 4 .587
Likelihood Ratio 3.611 4 .461
Linear-by -Linear
.004 1 .949
Association
N of Valid Cases 168
a. 4 cells (44.4%) hav e expected count less t han 5. The
minimum expected count is .89.

Universitas Sumatera Utara


AL * Miopia

Crosstab

Miopia
Ringan Sedang Berat Total
AL Pendek Count 17 6 1 24
Expected Count 17.1 6.0 .9 24.0
% wit hin AL 70.8% 25.0% 4.2% 100.0%
% wit hin Miopia 14.2% 14.3% 16.7% 14.3%
Normal Count 99 31 3 133
Expected Count 95.0 33.3 4.8 133.0
% wit hin AL 74.4% 23.3% 2.3% 100.0%
% wit hin Miopia 82.5% 73.8% 50.0% 79.2%
Panjang Count 4 5 2 11
Expected Count 7.9 2.8 .4 11.0
% wit hin AL 36.4% 45.5% 18.2% 100.0%
% wit hin Miopia 3.3% 11.9% 33.3% 6.5%
Total Count 120 42 6 168
Expected Count 120.0 42.0 6.0 168.0
% wit hin AL 71.4% 25.0% 3.6% 100.0%
% wit hin Miopia 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asy mp. Sig.


Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 11.300a 4 .023
Likelihood Ratio 8.176 4 .085
Linear-by -Linear
2.708 1 .100
Association
N of Valid Cases 168
a. 4 cells (44.4%) hav e expected count less t han 5. The
minimum expected count is .39.

Universitas Sumatera Utara


ACD * Miopia

Crosstab

Miopia
Ringan Sedang Berat Total
ACD Dangkal Count 46 19 4 69
Expected Count 49.3 17.3 2.5 69.0
% wit hin ACD 66.7% 27.5% 5.8% 100.0%
% wit hin Miopia 38.3% 45.2% 66.7% 41.1%
Normal Count 74 20 2 96
Expected Count 68.6 24.0 3.4 96.0
% wit hin ACD 77.1% 20.8% 2.1% 100.0%
% wit hin Miopia 61.7% 47.6% 33.3% 57.1%
Dalam Count 0 3 0 3
Expected Count 2.1 .8 .1 3.0
% wit hin ACD .0% 100.0% .0% 100.0%
% wit hin Miopia .0% 7.1% .0% 1.8%
Total Count 120 42 6 168
Expected Count 120.0 42.0 6.0 168.0
% wit hin ACD 71.4% 25.0% 3.6% 100.0%
% wit hin Miopia 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asy mp. Sig.


Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 12.045a 4 .017
Likelihood Ratio 11.345 4 .023
Linear-by -Linear
.578 1 .447
Association
N of Valid Cases 168
a. 5 cells (55.6%) hav e expected count less t han 5. The
minimum expected count is .11.

Universitas Sumatera Utara


CCT * Miopia

Crosstab

Miopia
Ringan Sedang Berat Total
CCT Tipis Count 14 1 1 16
Expected Count 11.4 4.0 .6 16.0
% wit hin CCT 87.5% 6.3% 6.3% 100.0%
% wit hin Miopia 11.7% 2.4% 16.7% 9.5%
Normal Count 105 39 5 149
Expected Count 106.4 37.3 5.3 149.0
% wit hin CCT 70.5% 26.2% 3.4% 100.0%
% wit hin Miopia 87.5% 92.9% 83.3% 88.7%
Tebal Count 1 2 0 3
Expected Count 2.1 .8 .1 3.0
% wit hin CCT 33.3% 66.7% .0% 100.0%
% wit hin Miopia .8% 4.8% .0% 1.8%
Total Count 120 42 6 168
Expected Count 120.0 42.0 6.0 168.0
% wit hin CCT 71.4% 25.0% 3.6% 100.0%
% wit hin Miopia 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asy mp. Sig.


Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.071a 4 .194
Likelihood Ratio 6.548 4 .162
Linear-by -Linear
1.928 1 .165
Association
N of Valid Cases 168
a. 5 cells (55.6%) hav e expected count less t han 5. The
minimum expected count is .11.

Universitas Sumatera Utara


Oneway

Descriptives

AL angka
95% Conf idence Interv al f or
Mean
N Mean St d. Dev iation St d. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Melay u 64 23.4223 1.10426 .13803 23.1465 23.6982 21.23 25.85
India 50 22.9426 1.26505 .17891 22.5831 23.3021 20.71 25.46
China 54 23.3767 1.01715 .13842 23.0990 23.6543 21.15 25.34
Total 168 23.2649 1.14130 .08805 23.0910 23.4387 20.71 25.85

Test of Homogeneity of Variances

AL angka
Lev ene
St at ist ic df 1 df 2 Sig.
.868 2 165 .422

ANOVA

AL angka
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7.455 2 3.727 2.928 .056
Within Groups 210.072 165 1.273
Total 217.527 167

Oneway

Descriptives

ACD angka
95% Conf idence Interv al f or
Mean
N Mean St d. Dev iation St d. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Melay u 64 3.1259 .33728 .04216 3.0417 3.2102 2.48 3.90
India 50 3.0362 .33094 .04680 2.9421 3.1303 2.54 3.81
China 54 3.1681 .33206 .04519 3.0775 3.2588 2.59 4.05
Total 168 3.1128 .33594 .02592 3.0616 3.1640 2.48 4.05

Test of Homogeneity of Variances

ACD angka
Lev ene
St at ist ic df 1 df 2 Sig.
.109 2 165 .897

Universitas Sumatera Utara


ANOVA

ACD angka
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .470 2 .235 2.109 .125
Within Groups 18.378 165 .111
Total 18.847 167

Oneway

Descriptives

CCT angka
95% Conf idence Interv al f or
Mean
N Mean St d. Dev iation St d. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Melay u 64 526.1094 25.27067 3.15883 519.7969 532.4218 486.00 585.00
India 50 537.8600 30.92982 4.37414 529.0698 546.6502 470.00 602.00
China 54 529.3519 58.64963 7.98120 513.3436 545.3601 293.00 633.00
Total 168 530.6488 40.46336 3.12182 524.4855 536.8121 293.00 633.00

Test of Homogeneity of Variances

CCT angka
Lev ene
St at ist ic df 1 df 2 Sig.
4.446 2 165 .013

ANOVA

CCT angka
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4009.711 2 2004.855 1.228 .296
Within Groups 269416.6 165 1632.828
Total 273426.3 167

Universitas Sumatera Utara


Frequency Table

Jenis kel aminn

Cumulativ e
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pria 38 45.2 45.2 45.2
Wanita 46 54.8 54.8 100.0
Total 84 100.0 100.0

Usia

Cumulat iv e
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 23 tahun 54 64.3 64.3 64.3
24 tahun 17 20.2 20.2 84.5
25 tahun 13 15.5 15.5 100.0
Total 84 100.0 100.0

Suku

Cumulativ e
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Melay u 32 38.1 38.1 38.1
India 25 29.8 29.8 67.9
China 27 32.1 32.1 100.0
Total 84 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai