Anda di halaman 1dari 81

LAPORAN

PENELITIAN STUDI HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH


KERJASAMA DPD-RI DENGAN PERGURUAN TINGGI DI DAERAH

Judul :

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Oleh :

Tim Peneliti
Fakultas Hukum Unsrat

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


MANADO
2009
DAFTAR ISI

 
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................7
A. Konsep Negara Hukum ...........................................................................................7
B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi....................................................................10
1. Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pemerintahan.......................10
2. Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi...................................................22
3. Beberapa Jenis Sistem Otonomi.......................................................................24
C. Desentralisasi dan Kewenangan.........................................................................30
1. Kewenangan dan Urusan..................................................................................30
2. Sumber-sumber Kewenangan ..........................................................................33
3. Kewenangan Daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004...........................35
D. Dinamika Ketatanegaraan dan Kehadiran DPD RI .........................................35
1. Perubahan UUD 1945..........................................................................................35
2. Dua Kamar atau Satu Kamar............................................................................37
E. Fungsi dan Peran DPD RI sebagai Alat Kelengkapan Negara .......................39
1. Keanggotaan DPD – RI.......................................................................................39
2. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD – RI ..........................................................39
3. Hak dan Kewajiban Anggota DPD – RI ...........................................................40
4. Alat Kelengkapan DPD RI ..................................................................................41
5. Penyerapan Aspirasi Masyarakat.....................................................................43
6. Proses Penyaluran Aspirasi Masyarakat...........................................................43
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...............................................................45
BAB IV METODE PENELITIAN ..........................................................................................46
A. Pendekatan Penelitian ..........................................................................................46
B. Bahan Penelitian .....................................................................................................47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................48
A. Kondisi Hubungan Pusat dan Daerah terkait Peran dan Fungsi DPD RI ....48

ii
B. DPD RI dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif baru di
Indonesia. .....................................................................................................................50
C. Pentingnya Keberadaan DPD-RI Sebagai Representasi Daerah Di Tingkat
Pusat ..............................................................................................................................53
E. Dinamika Tuntutan Pemerataan Pembangunan (Kesejahteraan
Masyarakat) .................................................................................................................54
G. DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah........................................................54
G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI .........................58
BAB VI PENUTUP ..............................................................................................................74
A. KESIMPULAN .............................................................................................................74
B. SARAN .......................................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................77

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Perubahan sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-


undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan
Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, telah
memberikan kewenangan kepada daerah berupa kekuasaan penyelenggaraan
otonomi daerah yang sangat luas, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.

Dalam implementasinya ternyata memunculkan banyak permasalahan


dari aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan, kepegawaian, hubungan antar
pusat, propinsi dan kabupaten/kota, dikarenakan munculnya eforia otonomi
daerah yang berkonotasi federal dan memunculkan etnosentrisme dalam
pemekaran wilayah yang lebih bersifat politis dari pada tehnis serta adanya
kemampuan daerah-daerah yang variatif dan juga penafsiran hukum yang
berbeda sehingga dipandang perlu pengenalan/pemetaan dan kajian lebih jauh
bagaimana sebaiknya masalah-masalah itu dilihat dari aspek penyelenggaraan
otonomi daerah dalam kerangka bentuk Negara Kesatuan
Sejak awal reformasi dalam pembahasan perubahan UUD 1945 telah
disepakati bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan dan tidak
perlu dirubah lagi. Prinsip utama bentuk negara kesatuan adalah semua
kekuasaan ada pada pemerintah pusat sedangkan daerah-daerah mendapatkan
kekuasaan melalui peraturan perundang-undangan. Dengan adanya UU Nomor
22 Tahun 1999 karena berkonotasi federal memunculkan berbagai persoalan
sebagaimana telah disebutkan diatas. Dalam hal kewenangan persoalan yang
muncul adalah munculnya eforia kewenangan pemerintah daerah, tumpang
tindih antara kewenangan yang diatur dalam UU pemerintahan daerah dan UU
sektoral seperti pertanahan dan kehutanan serta munculnya berbagai peraturan
daerah yang menghambat investasi. Oleh karena itu UU tersebut digantikan
dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mempertegas
pengawasan pemerintah pusat kepada daerah seperti terhadap pengesahan
peraturan daerah dan khususnya tentang APBD, yang dikesankan terjadi
resentralisasi. Tetapi belum menyelesaikan persoalan kewenangan antar
tingkatan dan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah propinsi serta
dengan pemerintah Kabupaten/Kota serta persoalan kewenangan pengelolaan
sumber daya alam dan kepentingan masyarakat adat.
Selain itu, persoalan berikutnya berkaitan dengan fakta bahwa hubungan
antara pusat dengan daerah bukanlah identik dengan hubungan antara kawasan
dominan dengan kawasan satelit sebagaimana dikritik oleh Dos Santos
(1973;1976) dalam struktur ketergantungannya yang menggambarkan hubungan
yang tidak adil dan tidak seimbang (unfair and unbalanced relationship) pada
tingkat internasional, antara negara Kapitalis Barat dengan negara Dunia Ketiga,
dan pada tingkat nasional, antara Pusat dengan Daerah, yang menciptakan
ketergantungan struktural. Juga masalah lainnya dalam pelaksanaan otonomi
daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi
Pemerintah daerah tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga ada
komitmen dari Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah untuk mensejahterakan
rakyat di daerah dan pengakuan serta pengertian dari Pemerintah pusat tentang
keberagaman kelompok etnis dan kelompok sosial lainnya serta keberagaman
budaya.
Sebagaimana yang ditulis dalam Business News, Senin, 29 Agustus
2005; Di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengakui kelemahan pelaksanaan otonomi daerah
secara terus terang. Untuk mencapai bentuk otonomi daerah yang ideal
dikatakannya masih diperlukan jalan yang panjang. Pengakuan dari kepala
pemerintah ini sangat penting karena sampai sekarang ini masalah mencapai
bentuk otonomi daerah yang "ideal" masih mendominasi permasalahan
pemerintah, sedangkan jalan keluar yang terbaik juga belum ada.
Dalam tulisan itu Presiden mengakui bahwa proses desentralisasi dan
otonomi daerah yang telah berjalan beberapa tahun itu, pada awalnya diliputi
keraguan dan kekhawatiran akan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa,
karena desentralisasi dilakukan secara progresip, terlalu cepat, bahkan tanpa
melalui masa transisi. Penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dari pusat
merebak ke daerah-daerah. Unsur-unsur masyarakat madani (civic society) yang
harus menjalankan checks-and balances pada proses demokrasi politik di daerah

2
belum berkembang secara efektif. Mental aparat pemerintah belum sepenuhnya
berubah.
Sebagaimana contoh, sejak lama dua provinsi yang kaya SDA tidak
merasa keuntungannya sebagai bagian dari NKRI sehingga memunculkan
gerakan separatisme. Sentralisme dalam urusan pemerintahan juga menyebabkan
bahwa kekayaan alam dari daerah tersedot ke pusat, dan Jawa mendapat bagian
yang jauh lebih besar daripada hasil penerimaannya ketimbang daerah penghasil
seperti Riau dan Kalimantan Timur. Riau adalah provinsi yang terkaya akan
tetapi tingkat kemiskinan penduduk (asli) cukup besar, demikian juga di Papua
dengan penghasilan dari pertambangan (Free Port).
Beberapa karakteristik legal yang tampaknya perlu dipahami oleh
masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain adalah : (Desi
Fernanda, 2002)

1. Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat


sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat
setempat.
2. Daerah Otonom Kabupaten dan Kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah
administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan Kepala
Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah.
3. Menempatkan seluruh kewenangan pemerintahan pada Daerah Kabupaten
dan Kota yang lebih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-
kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan Propinsi dan
kewenangan Pusat. Kewenangan Propinsi terbatas pada bidang-bidang yang
bersifat lintas Daerah Kabupatan/Kota, atau kewenangan yang belum dapat
dilaksanakan oleh Daerah/Kota. Kewenangan Pusat antara lain meliputi lima
bidang strategis, yaitu politik luar negeri, agama, ekonomi moneter,
pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan .
4. Tidak ada hubungan hirearki antara daerah otonom Kabupaten dan Kota
dengan daerah otonom Propinsi. Jadi Daerah otonom Kabupaten/Kota
bukanlah bawahan daerah otonom Propinsi.

3
5. Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya Kepala Daerah
wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada
setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6. Kedudukan keuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya
desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan
keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki
otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban
melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.
7. Struktur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh
bervariasi sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Sedangkan
Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan
wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.
8. Pengawasan oleh Pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga
terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otonominya tanpa
campur tangan Pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang
bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.

Berdasarkan laporan-laporan tertulis maupun lisan, ternyata semangat


reformasi yang di dalamnya adalah juga pelaksanaan otonomi daerah, masih
belum sepenuhnya bisa diterjemahkan menjadi tindakan yang harmonis antara
pusat dan daerah. Dalam salah satu laporannya Ahmad Subagya (2002) salah
satu anggota Dewan Konsultasi Otonomi Daerah Kabupaten Bantul
mengemukakan beberapa kendala pelaksanaan otonomi daerah, yang antara lain
adalah :

1. Partisipasi masyarakat rendah.


Sebagian besar masyarakat kabupaten/kota mempunyai persepsi bahwa
otonomi daerah merupakan persoalan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini
berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah daerah menjadi rendah. Salah satu akibatnya adalah,
dalam perencanaan dan persiapan lainnya pemerintah kabupaten sibuk
sendirian, dan kurang mendapat dukungan atau kontrol dari masyarakat.
Masyarakat tidak perduli pemerintah siap atau tidak, cenderung menunggu
dan melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagi

4
masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap
menunggu ini akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena
sesungguhnya pelaksanaan otonomi daerah akan sangat diuntungkan dengan
adanya partisipasi masyarakat.

Permasalahan ini juga ditemukan oleh penelitian yang dilakukan oleh


SMERU, yang antara lain berbunyi :“The implementation of regional
autonomy must include the involvement of wider circle of participation
outside the boundary of government and the bureaucracy. The responsibility
of local communities in each autonomous region must also taken into
account, so that government and the community share responsibility for
successful implementation of regional autonomy. This implies that the
implementation of regional autonomy will be a long-term process, which
must be widely understood not only by local government but also by civil
society”

2. Sikap dan mentalitas aparatur Pemerintah Daerah


Sikap mentalitas aparatur pemerintahan daerah merupakan salah satu kunci
penting keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena
merekalah ujung tombak dan eksekutor program tersebut. Ada gejala cukup
menonjol pada hampir semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan
mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan
pengaruh pemerintah yang sentralistik, sehingga mereka lebih baik
menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk
melaksanakan fungsi keotonomian daerahnya. Kondisi ini sudah tentu tidak
menguntungkan pelaksanaan otonomi daerah, karena kepeloporan aparatur
pemerintahan daerah mutlak diperlukan.

Di samping itu, ada dua pandangan lain yang tampaknya juga


mendukung dua hasil penelitian tersebut di atas, yang datangnya dari Muadim
Bisri, SH, Sag. Dalam makalahnya yang berjudul “Melacak Problematika Otda”.
Pertama, otonomi daerah dicurigai sebagai proses transformasi kolusi, korupsi,
dan nepotisme ke tingkat daerah, ini juga ternyata terbukti. Banyaknya anggaran
belanja daerah yang tidak jelas serta melimpahnya permintaan fasilitas

5
kesejahteraan para eksekutif maupun legislatif tingkat daerah merupakan bukti
yang nyata. Kedua, kendala yang muncul berikutnya adalah rendahnya kualitas
dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perda-perda yang ditelorkan
sebagai konsekuensi dari perubahan pola anggaran proyek dan program telah
menimbulkan kekhawatiran baru, karena ternyata di daerah tingkat I dan II
masih minim staf akhli di bidang keuangan dan manajemen yang diperlukan
(Bisri, 2002)

Mencermati permasalahan di atas, maka apa yang sekiranya harus


dilakukan oleh daerah dalam menghadapi otonomi ini. Adhitya Wardono dan
Asep Mulyana dalam makalah yang disampaikan di Frankrut, berjudul
“Sumberdaya Padat Otak dan Otonomi Daerah” mengutip buah pikiran seorang
ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan Tenaga
Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa) bukan
disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara
membangun lebih banyak tenaga yang produktif. Dengan pendekatan ini akan
terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang kemakmuran
ekonomi suatu daerah atau bangsa. Yang dimaksud oleh Friedrich List dengan
Tenaga Produktif adalah karya kreatif, inovatif, pemahaman atas kekuasaan dan
hukum, hak dan kewajiban masyarakat, efektivitas penyelenggaraan pemerintah,
ilmu dan kebudayaan, dan sikap terhadap hak asasi manusia serta mentaati
norma agama. (Wardono dan Mulyana, 2001).

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Negara Hukum


Konsep negara hukum, pertama dikemukakan oleh Plato dan kemudian
dikembangkan dan dipertegas oleh Aristoteles. Dalam buku Plato berjudul
Politea, dikemukakan betapa penguasa di masa itu, masa Plato hidup (429 SM –
346 SM) penguasa sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta
sewenang-wenang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya.
Dalam uraiannya di buku tersebut, Plato dengan gamblang menyampaikan pesan
moral, agar penguasa berbuat adil, menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan
kebijaksanaan dan senantiasa memperhatikan kepentingan/nasib rakyatnya.
Demikian pula halnya dalam bukunya yang berjudul Politicos, Plato
memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar
hukum (rule of the game), demi warga negara yang bresangkutan.Sedangkan
buku ketiga dari Plato yang berjudul Nomoi, lebih menekankan pada para
penyelenggara negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya
dengan hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya.
Kemudian meuncullah Aristoteles dengan karya bukunya, Politica.Di
dalam buku tersebut Aristoteles mengemukakan gagasannya, bahwa suatu
negara yang baik adalah negara yang diperintah/dikelolah atas dasar suatu
konstitusi sehingga didalam negara tersebut hukumlah yang berdaulan (Sobirin
Malian, 2001).Dalam perkembangannya kemudian mulai abad ke 19, dikenal
konsep negara hukum yakni suatu konsep negara yang kemudian diidentifikasi
sebagai konsep negara hukum Eropa Kontinental (rechtstaat) dan konsep negara
hukum Ango Saxon (rule of law).
Konsep-konsep tersebut muncul tidak terlepas dari adanya beberapa
bentuk sistem hukum di dunia. Menurut Satjipto Rahardjo, (2000), bahwa di
dunia ini tidak dijumpai satu sistem hukum saja, melainkan terdapat lebih dari
satu bentuk sistem hukum. Dalam kaitan itulah dikenal sistem hukum Eropa
Kontinental (sistem hukum Romawi – Jerman, civil law system) dan sistem

7
hukum Inggris (common law). Selanjutnya sebaga akibat negara kita, Indonesia
pernah menjadi koloni Belanda, maka dengan serta merta pula sistem hukum
yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang sama berlaku di negara
Belanda yang kebetulan berada di Benua Eropa yang dikenal dengan sistem
hukum Etopa Kontinental atau Civil Law System.
Dalam kaitan dengan konsep negara hukum tersebut, Freidrich Julius
Stahl (Ridwan. HR, 2002), menegaskan, bahwa unsur-unsur negara hukum
Eropa Kontinental (rechtstaat)yaitu :
a. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak
itu;
c. Adanya pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, dan;
d. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan.
Teori Negara Hukum menurut Hirsch Ballin (Bovens, 1987);
a. Penguasa harus terikat pada hukum;
b. Negara harus menghormati hak-hak mengenyam kebebasan;
c. Setiap kebijakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang;
d. Mengupayakan terwujudnya keadilan sosial;
e. Hukum harus jelas dan stabil.
Teori Negara Hukum menurut Reuters (Bovens, 1987):
a. Pemisahan kekuasaan (separation of power);
b. Kebijakan negara yang bersifat strategis harus dputuskan dalam lembaga
perwakilan rakyat (DPR).
Teori Negara Hukum menurut C.J.M. Schuyt (1983):
a. Menganut asas legalitas;
b. Perlindungan hukum bagai warga;
c. Pemerintah harus tunduk pada hukum;
d. Adanya akuntabilitas publik.
Teori Negara Hukum menurut Rosenthal )Bovens, 1987):
a. Desentralisasi kekuasaan;
b. Primat dalam politik;
c. Keterbukaaan pemerintahan;

8
d. Pertimbangan yang cermat tentang kepentingan rakyat dalam setiap
keputusan pemerintah.
Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula suatu konsep negara
hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang secara kebetulan juga konsep
tersebut lahir di bawah bayang-bayang sistem hukum Anglo Saxon.
Unsur-unsur negara hukum (rule of law) menurut A.V Dicey dalam
bukunya berjudul An Introducion to the Study of the Law of the Constitution,
(1973) adalah :
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of orbitary power), bahwa
seseorang hanya boleh dihukum kalau terbukti melanggar atura hukum
yang ada.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the
law)
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-
keputusan pengadilan.
Teori Negara Hukum menurut Berman (Bovens, 1987):
• Rule of Law, yaitu mengadakan pengaturan dengan hukum atau menetapan
hukum secara teratur;
• Rule under law, yaitu mengadakan pengaturan di bawah kewenangan hukum
atau mengadakan perubahan sebagaimana yang diatur hukum;
• Rule of Law, yang mencakup separation of power, checks and balances, dan
equality before the law.
Teori Fungsi Negara menurut L.A. Geelhoed (1983):
a. Fungsi membuat peraturan (de regulende);
b. Fungsi menyelenggarakan layanan publik (de presterende);
c. Fungsi mengendalikan aktivitas warga (de stuurende).
d. Fungsi menyelesaikan sengketa (de arbiterende).

Kedua konsep tersebut, rule of law dan rechtstaat, oleh (Philipus M.


Hadjon, 1987), dijelaskan bahwa konsep reschtstaat bertumpu pada sistem
hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan Civil Law System. Sedangkan

9
konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut Common Law
System.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sistem hukum Romawi-
Jerman berjalan dan bertumbuh atas dasar peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Common Law System, tidak dikembangkan dalam universitas atau
melalui penulisan doktrinal, melainkan oleh para praktisi dan proseduralis.
Keadaan ini kemudian menjelaskan mengapa sistem common law tidak dimulai
dengan prinsip—prinsip hukum, melainkan langsung mengenai kaidah-kaidah
untuk kasus-kasus konkrit (Sutjipto Rahardjo, 2000).
Karakteristik Civil Law adalah administratif, sedangkan karakteristik
Common Law adalah judicial.Perbedaan karakteristik yang demikian,
disebabkan lebih karena latar belakang kekuasaan raja.Pada zaman Romawi,
kekuasaan yang menonjol dari seorang raja adalah membuat peraturan melalui
dekrit.Kekuasaan tersebut kemudian, didelegasikan kepada pejabat-pejabat
administratif yang membuat pengarahan-pengarahan yang dalam bentuk tertulis
bagi hakim tentang bagaimana memutus atau menyelesaikan suatu sengketa.
Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan apabila
dalam sistem kontinental pada mula pertama muncul cabang hukum baru yang
disebut “droit administrative” dan inti dari droit administrative adalah
hubungan antara administrasi dengan rakyat.

B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi


1. Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pemerintahan
Masalah otonomi daerah merupakan hal yang hidup dan berkembang
sepanjang masa sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Lagi
pula tuntutan global menempatkan isu demokrasi dalam pemerintahan,
menempatkan rakyat pada kedudukan yang penting dan strategis, karena itu
lembaga pemerintahan harus mencari cara terbaik untuk memberikan pelayanan
publik yang optimal kepada masyarakat. Oleh karena itu masalah otonomi
daerah senantiasa menjadi perhatian untuk dibicarakan baik dikalangan
akademik, para praktisi maupun para pengamat.
Hampir semua bangsa di duania ini menghendaki adanya otonomi, yaitu
hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal itu sesuai

10
dengan arti kata otonomi itu sendiri yang secara etimologis berasal dari bahasa
latin ‘auto’ yang berarti sendiri dan ‘nomein’ yang berarti peraturan atau
undang-undang. Menurut Winarsa Surya Adisubrata, (2003), otonomi berarti
“mengatur sendiri atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri”
Dalam literatur Belanda yang dikutip S.H. Sarundayang (1999) otonomi
berarti ‘pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoeven dibagi
atas zelwegeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering
(melaksanakan sendiri), zelfrehtspraak (mengadili sendiri) dan selfpolitie
(menindaki sendiri). Menurut Winarsa Surya Adisubrata (2003), otonomi daerah
itu mencakup 3 pengertian yaitu : Pertama, Hak untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri; Kedua, Wewenang untuk mengatur daerah sendiri;
Ketiga, Kewajiban untuk mengatur rumah tangga sendiri.
Logeman (dalam Sunindhia, 1987), mengatakan “bahwa istilah otonomi
mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan.Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah
wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan”.Hal senada
juga disampaikan Wajong (1975) yang mengatakan otonomi adalah “kebebasan
untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan
sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri”.
Jadi otonomi merupakan pemberian kebebasan untuk mengurus rumah
tangga sendiri, tanpa mengabaikan kedudukan pemerintah Daerah sebagai aparat
Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan tugas-tugas yang ditugaskan
kepadanya.Dengan demikian kebutuhan otonomi dalam pemerintah daerah
dimaksudkan untuk memperbesar keawenangan mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri dan memperkecil intervensi pemerintah Pusat dalam urusan
rumah tangga daerah.
Pemberian otonomi kepada daerah adalah mengutamakan kepentingan
rakyat di daerah tetapi juga memperhatikan kepentinga seluruh rakyat dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.Jadi pemberian otonomi daerah bertujuan
untuk pengembangan daerah berupa peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah
dalam rangka pembangunan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia. Dari

11
pemahaman otonomi daerah tersebut maka pada kahikatnya otonomi daerah
adalah :
a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonomi. Hak
tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan
pemerintah yang diserahkan kepada daerah.
b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah
tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang
otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya.
c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang
diserahkan kepadanya.
d. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan
megurus rumah tangga sendiri bukan merupakan sub ordinasi hak
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.

Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh


Pemerintah Pusat (central government), sedangkan Pemerintah Daerah hanya
menerima penyerahan dari Pemerintah Pusat.Hal ini berbeda dengan otonomi
daerah di negara federal dimana otonomi daerah telah melekat pada negara-
negara bagian, sehingga utusan yang dimiliki pemerintah federal pada
hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh negara bagian.Konstelasi
tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan kecenderungan
kewenangan yang besar berada di Pemerintah Pusat, sedangkan dalam negara
federal kecenderungan kewenangan yang besar berada pada Pemerintah
Daerah/pemerintah federal.Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah dalam
negara kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan onotominya
pada political will Pemerintah Pusat yaitu sampai sejauh mana Pemerintah Pusat
mempunyai niat baik untuk memberdayakan Pemerintah Daerah melalui
pemberian kewenangan yang lebih besar.
Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah demikian luas
dengan keanekaragaman yang sangat kompleks, pemberian otonomi kepada
daerah merupakan sesuatu yang mutlak. Kesadaran akan mutlaknya otonomi
daerah tersebut dimulai oleh para pendiri dan pembentuk Republik ini

12
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti
dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan
kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.
Sebagaimana dikemukakan Soepomo (dalam Winarsa Surya Adisubrata :
2003), bahwa “otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan
regional menurut riwayat, adat, sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karenanya pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang
bermaksud menyeragamkan seluruh daerah menurut satu model”.
Oleh karena itu pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.Sedangkan
daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah “Kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-baatas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setepmat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistemm Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
Dari konsep otonomi yang dikemukakan di atas maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah setidaknya
meliputi empat aspek sebagai berikut :
a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi
dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun
untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka
pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah.
b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-
jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.
c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkan kemandirian masyarakat sehingga makin mandiri dan
tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta
memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhannya.

13
d. Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan pelaksanaan
program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang
semakin meningkat.

Otonomi merupakan peberian kebebasan untuk mengurus rumah tangga


sendiri, tanpa mengabaikan kedudukan Pemerintah Daerah sebagai aparat
Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan tugas-tugas yang ditugaskan
kepadanya.Oleh sebab itu usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan
dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.Oleh sebab itu
usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan
kekuasaan antara pusat dan daerah.Artinya daerah harus dipandang dalam dua
kedudukan, yaitu sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi
dan sebagai agen pemerinta Pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di
daerah.
Otonomi Daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan pada
hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Dengan dekimian pemberian otnomi mempunyai sifat mendorong atau memberi
stimulasi untuk berusaha mengembangkan kemampuan sendiri yang dapat
membangkitkan oto aktivitas dan mempertinggi rasa harga diri dalam arti yang
sebaik-baiknya.
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang
pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Menurut Inu Kencana
Syafie (2002) bahwa :
“Desentralisasi adalah lawan kata dari Sentralisasi karena
pemakaian kata “de” dimaksudkan untuk menolak kata
sebelumnya.Desentralisasi adalah penyerahan segala urusan,
baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang-
undangan maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri,
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, untuk
selanjutnya menjadi urusan rumah tangga Pemerintah Daerah
tersebut”.

Pengertian tersebut adalah sesuai etimologis asal kata desentralisasi dari


bahasa Latin, de berarti lepas dan centrum berarti pusat.Oleh karena itu, menurut
Dharma Setyawan Salam (2004) desentralisasi berarti “melepaskan dari pusat”.

14
Sementara itu, Koswara (1996) mengemukakan bahwa pengertian
desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses
desentralisasi urusan-urusan pemrintahan yang semula termasuk wewenang dan
tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagian diserahkan kepada badan/lembaga
Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan
tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah
Daerah. Prakarsa untuk menentukan prioritas, memilih alternatif dan mengambil
keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal
menentukan kebihaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan sepenuhnya
diserahkan kepada daerah.Demikian pula hak yang menyangkut pembiayaan dan
perangka pelaksanaannya, baik personel maupun alat perlengkapan sepenuhnya
menjadi kewenangan dan tanggungjawab daerah yang bersangkutan.
Cohen and Petterson (1999) melihat formulasi dan pelaksanaan reformasi
dan progam desentralisasi melalui tiga fase:
“In the early 1960s proponents of decentralization focused on
using the intervention to assist colonies in beginning a
transition to independence, achieving political ewuity, and
responding to rising demand for public goods and services.
The second phase in decentralization occurred form the mind –
1970s to the early 1980s. aid agencies urged government of
both long independent and newly emerging countries introduce
decentralization reforms and programs in order to promote
development objectives, such as improved management and
sustainability of funded programs and projects, egable
distribution og ecenomic growth, and facilitation of grassroots
participation in development processes. Finally, since the mid-
1980s aid agencire have use structure adjustment
coonditionalities to pressure government to adopt
administrative decentralization reform and program. In part,
this is being done to promote the emergence of civil societie, to
support the growth of democratic institutions, and to respond
to ethnic, religious, or nationalist demands for regional self
gobernment and greater autonomy”. (pada awal 1960-an
pendukung desentralisasi memusatkan perhatian untuk
membantu negara jajahan menuju kemerdekaan, keberhasilan
hak-hak politis, dan menangani masalah meningkatnya
permintaan untuk barang-barang public dan jasa. Tahap yang
kedua, desentralisasi terjadi dari pertengahan 1970-an sampai
awal 1980-an. Para pendukung menghimbau pemerintah yang
mandiri dengan memperkenalkan negara-negara desentralisasi
dengan reformasi dan programnya dalam rangka
memproomosikan hasil pembangunan, seperti peningkatan dan

15
kelanjutan dari proogram biaya dan proyek, kesamaan
kemampuan, distribusi pertumbuhan ekonomi, dan pemberian
kemudahan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan. Terkahir, sejak pertengahan 1980-an, bantuan
para pendukung menggunakan penyesuaian keadaan struktur
dengan memaksa pemerintah untuk mengadopsi perubahan dan
program desentralisasi administratif.Pada tahap ini adalah
mempromosikan kemunculan masyarakat sipil, untuk
mendukung pertumbuhan lembaga demokrasi, dan merespon
terhadap adanya berbagai hal yang berkaitan dengan kesukuan,
keagamaan, kebangsaan atau tuntutan swapraja dan otonomi
yang lebih besar).

Dari phase-phase yang diungkapkan oleh Cohen dan Paterson tadi


memberikan pembuktian bahwa perjuangan untuk mengembangkan konsep atau
teori desentralisasi sampai ke tingkat yang sempurna membutuhkan waktu yang
cukup lama dan dilengkapi dengan penataan struktur dan manajemen.Selain itu
tidak diragukan lagi bahwa desentralisasi merupakan salah satu bentuk strategi
dalam rangka memperkuat lembaga demokrasi yang berbasis pada adanya
heterogenitas suku, agama dan lain sebagainya.
Begitu pula keberadaan dan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia
mejadi penting ketika kekuasaan pusat menyadari semakin sulit untuk
mengendalikan sebuah negara secara penuh dan efektif, ataupun dipandang
terlalu mencampuri urusan-urusan lokal.Dalam kedua hal tersebut, desentralisasi
menjadi penting untuk pemerintahan yang bertanggungjawab dan efektif.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka strategi
menerapkan desentralisasi sebagai sendi negara kesatuan Republik Indonesia
merupakan kebutuhan primer untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai
masalah yang akan timbul. Namun pengembangan dan pelaksanaannya tetap
disesuaikan dengan ideologi dan sistem perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai konsekuensi pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan “local
self government” atau fielf administration”.(Brian C. Smith, 1967). Pentingnya
“local government”, Dilys M. Hill, (1974) mencontohkan di Inggris “In
England local government has long been defended as a vital and integral part of
democracy, local self government is valued because it is just; it safeguard and
enchances the siotizen’s right, and it is an important setting for political
education”. (Di Inggris pemerintahan daerah telah lama dianggap sebagai hal

16
yang pokok dan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi, pemerintahan
daerah otonomi mempunyai makna yang penting karena dapat melindungi dana
memperjuangkan hak-hak warga negara dan juga dalam membangun pendidikan
warga negara).
Bagi bangsa Indonesia sendiri keperluan atas Pemerintah Daerah seperti,
Provinsi, Kabupaten, dan Kota setidaknya untuk meningkatkan akuntabilitas.
Pemerintahan lokal secara global semakin dilihat sebagai suatu agen
pembangunan yang penting, dan seharusnya juga diketahui bahwa tingkat ini
merupakan yang paling penting bagi partisipasi “akar rumput” karena ia yang
paling dapat menanggapi kondisi dan kebutuhan setempat. Dalam alur pikir
yang tidak jauh berbeda, Ateng Syafrudin, (1982) menegaskan,
“zelfgovernment”atau“zelfbestuur”di daerah adalah merupakan suatu
keharusan, yakni bagi suatu daerah yang telah mendapatkan otonomi.
Dalam kontek demokrasi, keberadaan government menurut B.C. Smith
(1985) :
“Mainly two categories; there are that claim local government
is good for national democracy; and there are those where the
major concern is with the benefits to the locality of local
democracy. Each can be futher subdivided into three sets of
interrelated values. At the national lebel these balues relate to
political education, training in leadership and political
stability. At the local level the relevant values are equality,
Liberty and responsiveness. (ada dua kategori yang penting
dalam pemerintahan daerah, Pertama, untuk membangun
demokrasi di tingkat nasional, kedua, memberikan keuntungan
untuk demokrasi pada tingkat lokal atau daerah. Setiap tingkat
selanjutnya dibagi ke dalam tiga hal yang saling berkaitan.Pada
tingkat nasional hal-hal tersebut berkaitan dengan pendidikan
politik, pelatihan kepemimpinan, dan stabilitas politik.Pada
tingkat lokal atau daerah berkaitan dengan kesamaan,
kemerdekaan dan tanggungjawab).

Mengingat betapa pentingnya Pemerintah Daerah tersebut dalam suatu


negara, maka tidak heran hal itu dianggap menjadi suatu kebutuhan dan
keharusan bagi setiap negara dengan tidak melihat bentuk negara apakah negara
federal atau negara kesatuan. Hal itu telah dikemukakan oleh Rod Haque dan
Martin Harrop (2001):
“Local government is universal, found in federal and unitary
states alike. It is the lowest level of elected teritorial

17
organization within the state. Variously called communes,
municipalities or parishes, local government is constitutionally
subordionate to provincial authority (in federations) or
national government (in unitary states)”.(Pemerintah Daerah
adalah hal yang universal, karena dapat ditemukan baik pada
negara berbentuk federal maupun negara kesatuan.Beragam
sebutannya Kota Besar, Kotapraja, atau Daerah, pemerintahan
daerah secara konstitusional di bawah kewenangan Provinsi
(dalam negara federasi) atau dibawah pemerintahan nasional
(dalam negara kesatuan))”.

Pendapat dari Rondinelli dan Cheema (1992) merumuskan definisi


desentralisasi dengan lebih merujuk pada perspektif yang lebih luas namun
tergolong perspektif administrasis, bahwa desentralisasi :
“the transfer of planning, decisions – making, or
administrative authoritu form central goernment to its field
organizations, local administrative units, semu autonomous
and parastatal organizations, local government, or non
government organizations (perpindahan perencanaa,
pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari
Pemerintah Pusat ke organisasi bidangnya, unit administratif
daerah, semi otonomi dan organisasi parastatal, Pemerintah
Daerah, atau organisasi – organisasi non pemerintah).

Definisi Rondinelli dan Cheema terlihat lebih luas daripada definisi


Parson dan Mawhood, karena definisi tersebut tidak saja mencakup penyerahan
dan pendelegasian wewenang di dalam struktur pemerintahan, tetapi juga telah
mengakomodasi pendelegasian wewenang kepada organisasi non pemerintah,
atau organisasi swasta. Bahkan Rondenelli dan Cheema membagi empat tipe
desentralisassi, yaitu :deconcentration, delegation, devolution, danprivatization.
(Lihat S.S. Menaksisundaran, dalam S. N. Jha and P. C. Mathur, 1999).
Lengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, dekonsentrasi
diartikan distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan;
Kedua, delegasi adalah pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan
keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-
organisasi yang secara langsung tidak dibawah kontrol pemerintah; Ketiga,
devolusi adalah penyerahan fungsi dan otoritas dari Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom; Keempat, swaastanisasi adalah penyerahan beberapa otoritas

18
dalam perencanaan dan tanggung jawab adinistrasi tertentu kepada organisasi
swasta.
Di kalangan sarjana Indonesia Amrah Muslimin (1982) membedakan
desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan
desentralisasi kebudayaan.Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan
dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah
tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh
rakyat dalam daerah-daerah tertentu.Desentralisasi fungsional adalah pemberian
hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau
golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu
daeah tertenu, umpama mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam
suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; subak Bali).
Desentralisasi kebudayaan (cultured decentralization) memberikan hak
pada golonga-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk
menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama).
Irawan Soejito (1990) membagi bentuk desentralisasi ke tiga macam, yaitu
desentralisasi territorial, desentralisasi fungsional termasuk desentralisasi
menurut dinas atau kepentingan, dan desentralisasi administratif atau lazim
disebut dekonsentrasi.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian kewenangan Pemerintah
Pusat kepada alat perlengkapan atau organnya sendiri di daerah, sedangkan yang
dimaksud dengan desentralisasi territorial adalah desentralisasi kewenangan
yang dilakukan oleh pemerintah kepada suatu badan umum (openbaar lichaam)
seperti persektutuan yang berpemerintahan sendiri.Desentralisasi fungsional,
yaitu pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan negara atau daerah untuk
diselenggarakan atau dijalankan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus
dibentuk untuk itu.Tresna (dalam Irawan Soejito, 1990) mengikuti
penggolongan desentralisasi menjadi ambtelijke decentralisatie atau
deconcentratie dan staatkundige decentralisatie, yang dibedakan menjadi
territoriale decentralisatie dan funtionale decentralisatie.
Amtelijke decentralisatie (dekonsentrasi) diartikan sebagai “pemberian
(pemasrahan) kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna
kelancaran pekerjaan semata-mata”.Staakundige decantralisatie diartikan

19
sebagai “pemberian (pemasrahan) kekuasaan mengatur kepada daerah-daearh di
dalam lingkungannya, guna mewejudkan asas demokrasi di dalam pemerintahan
negara”. Mengenai pengertian territoriale decentralisatie danfunctionale
decentralisatie tidak berbeda dengan pengertian yang diajukan di muka. Lebih
lanjut Tresna mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai dua wajah yaitu
autonomie dan medebewind atau zelfbestuur.
Desentralisasi ketatanegaraan menurut RDH Koeseomahatmadja, (1979)
dapat dibagi lagi dalam 2 macam :
a. Desentralisasi territorial (territorial decentralisatie), yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah masing-masing (otonomi)
b. Desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie),
yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam
desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-
kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-
golongan yang bersangkutan itu sendiri.

The Liang Gie (1993) mengemukakan alasan dianutnya desentralisasi


adalah sebagai berikut :
a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah pemupukan kekuasaan pada satu pihak saja
yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
b. Dalam bidang poilitik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi
c. Dari sudut teknik organisatoris, alasan mengadakan pemerintahan daerah
(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan
yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah
setempat pengurusannya diserahkan kepada daera. Hal-hal yang lebih tepat
ditangani pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat.
d. Dari sudut kultural desentralisasi [perlu didadakan suapaya perhatian dapat
sepenuhnya ditumphkan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografi,
keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar
belakang sejarahnya.

20
e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi desentralisasi diperlukan
karena Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung
membantu pembangunan tersebut.
Secara terminology terdapat beberapa pengertian dan deginisi dari
desentralisasi yang dapa disimpulkan oleh Dharma Setyawan Salam (2004),
yaitu :
a. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi
pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.
b. Secara administratif diartikan sebagai pemindahan beberapa kekuasaan
administratif departemen Pemerintah Pusat ke daeah dan dikenal dengan
nama “dekonsentrasi”
c. Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan
dan kontrol terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal
dikenal dengan nama “devolusi”.
d. Ditinjau dari segi privatisasi diartikan sebagai pemindahan tugas-tugas yang
bersifat mencari untuk ataupun tidak kepada organisasi sukarela.
e. Dipahami sebagai delegasi diartikan pemindahan tanggungjawab manajerial
untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasi-organisasi yang berada di luar
struktur Pemerintah Pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh
Pemerintah Pusat.
f. Ditinjau dari jabatan diartikan sebagai pemencaran kekuasaan dari atasan
kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan dengan
maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja dan termasuk dalam
dekonsentrasi juga.
g. Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagai penyerahan untuk mengatur
daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan rasa
demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi ini ada dua macam
yaitu desentralisasi territorial (penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri) dan desentralisasi fungsional
(pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu).
h. Penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya
kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

21
2. Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi
Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang
berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara
demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi, menurut Bagir Manan (2001)
dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan
(spreiding can bevoedheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan
(sceiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan
pemerintah negara antara Pemerintah Pusaat dan satuan-satuan pemerintah
tingkatan lebih rendah. Hal ini dikarenakan desentralisasi senantiasa berkaitan
dengan status mandiri atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai
desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti
membicarakan otonomi.
Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan
otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan
otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S. Maryanow
(2003), menurut pakar ini, desentraliasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi
dari satu mata uang.
Istilah otonomi atau “autonomy” secara etimologis berasal dari kata
Yunani “áutos” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti hukum atau
peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam
pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual
independence.Jadi ada dua ciri hakekat dari otonomi, yakni legal self sufficiency
dan actual independence.Dalam kaitan dengan politik atau pemerintahan,
otonomi daerah berarti self government atau condition of living under one’s own
laws.Dengan demikian otonomi daerah, yang memiliki legal self sufficiency
yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own
laws.Koesoemahatmadja berpendapat bahwa menurut perkembangan sejarah di
Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling) juga
mengandung arti pemerintah (bestuur).
Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintah sendiri
(zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat
undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak
(mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri.(Sarundayang,

22
1999).Menurut Bagir Manan (2001) otonomi bukan sekedar pemencaran
penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas
pemerintahan.Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk),
bukan haya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk).Sebagai
tatanan ketatanegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan
susunan organisasi negara.
Menurut Rasyid (2000), desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai
tempatnya masing-masing. Istilah otonomi lebih pada political aspect (aspek
politik-kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada
administrative aspect (aspek administrasi negara).Namun jika dilihat dari
konteks sharing of power (berbagi kekuasaan), kedua istilah tersebut
mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan.
Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian
(zelfstanddigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid).Kebebasan
yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggungjawab, menurut
Ateng Syafrudin (1982) terkandung dua unsur yaitu :
1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta
kewenangan untuk melaksanakannya;
2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untukmemikirkan dan
menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.
Pada bagian lain Bagir Manan (1993) menyatakan,otonomi adalah
kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) satuan pemerintahan
lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu
menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih
rendah tersebut.Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.
Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan kemerdekaan
(onafhankelijkheid), independency).Kebebasan dan kemandirian itu adalah
kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar.Otonomi
sekedar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata
negara khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara
kesatuan (unitary state, ennheidstaat). Otonomi adalah fenomena negara

23
kesatuan.Segala pengertian (begriip) dan isi (materiel) otonomi adalah
pengertian dan isi negara kesatuan.Negara kesatuan merupakan landasan atas
dari pengertian dan isi otonomi.
Sementara Bhenyamin Hoessein (1993), mengartikan otonomi hampir
paralel dengan pengertian “demokrasi”, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga
pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat. Bahkan
otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit.Dalam arti luas, otonomi
mencakup pula tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan
kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik
asas maupun cara menjalankannya, sedangkan pada tugas pembanguan,
kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankan. Dari
pengertian tersebut terlihat antara otono I dan demokrasi merupakan satu
kesatuan semangat sebagai bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat
sebagai penentu yang utama dalam negara.
Ditinjau dari mekanisme pemberian otonomi dalam negara kesatuan
(unitarisme) otonomi diberikan oleh Pemerintah Pusat (central government),
sedangkan Pemerintah Daerah hanya menerima penyerahan dari Pemerintah
Pusat.Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, dimana otonomi
daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang dimiliki
oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh
negara bagian.
Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan
kecenderungan kewenangan yang besar berada di central government,
sedangkan dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar pada
local government. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah dalam negara
kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan otonominya pada
political will Pemerintah Pusat, yaitu sampai sejauh mana Pemerintah Pusat
mempunyai niat baik untuk memberdayakan local government melalui
pemberian wewenang yang lebih besar.

3. Beberapa Jenis Sistem Otonomi


Dalam pelakanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di setiap
negara, terdapat berbagai urusan di daerah, dimana suatu urusan tetap menjadi

24
urusan Pemerintah Pusat dan urusan lain menjadi urusan tumah tangga daerah
sendiri, sehingga harus ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan
cara pembagian urusan dikenal adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu,
yakni cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah.
Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan
cara membegi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian
tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang
dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.
Bila otonomi diartikan sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau
dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Daerah, maka di
dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht;
bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada
daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya kewenangan mana yang diatur
oleh Pemerintah Pusat dan kewenangan mana yang diatur Pemerintah Daerah.
Sehubungan dengan itu, secara teoretik dan praktik menurut Sarundayang (1999)
dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yaitu :
a. Otonomi organis (rumah tangga organik)
b. Otonomi formal (rumah tangga formal)
c. Otonomi material (rumah tangga materiil/substantif)
d. Otonomi riil (rumah tangga riil)
e. Otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis.
Kelima jenis otonomi (rumah tangga) tersebut diuraikan satu persatu
oleh Sarundayang (1999), sebagai berikut :
Pertama, otonomi organik atau rumah tangga organik; otonomi bentuk
ini pada dasarnya menentukan bahwa urusan—urusan yang menyangkut
kepentingan daerah diibaratkan sebagai orgran-organ kehidupan yang
merupakan suatu sistem yang menentukan mati hidupnya manusia, misalnya
jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Tanpa kewenangan untuk mengurus
berbagai urusan vital, akan berakibat tidak berdayanya atau matinya daerah;
Kedua, otonomi formal atau rumah tangga formal; otonomi bentuk ini
adalah apa yang menjadi urusan otonomi tidak dibatasi secara positif. Satu-

25
satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh
mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Dengan demikian daerah otonom lebih bebas mengatur urusan
rumah tangganya, sepanjang tidak memasuki “area” urusan Pemerintah
Pusat.Otonomi seperti ini merupakan hasil dari pemberian otonomi berdasarkan
teori sisa, dimana Pemerintah Pusat lebih dulu menetapkan urusan-urusan yang
dipandang lebih layak diurus pusat, sedangkan sisanya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah.
Ketiga, otonomi materiil atau rumah tangga materiil; dalam otonomi
bentuk ini kewenangan daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan
menyebutkan secara limitatif dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak
diatur dan diurusnya. Dalam otonomi materiil ini ditegaskan bahwa untuk
mengetahui apakah suatu urusan menjadi rumah tangga sendiri, harus dilihat
pada substansinya. Artinya bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat
menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka pemerintah lokal yang mengurus rumah
tangga sendiri pada hakekatnya tidak akan mampu menyelenggarakan urusan
tersebut. Sebaliknya apabila suatu urusan secara substansial merupakan urusan
daerah, maka Pemerintah Pusat meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang
berada di daerah (Pemerintah Pusat di daerah), tidak akan mampu
menyelenggarakannya. Kemudian untuk penyelenggaraan rumah tangga itu
objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau dirinci secara
enumeratif;
Keempat, otonomi riil atau rumah tangga riil; otonomi bentuk ini
merupakan gabungan antara otonomi formal dengan otonomi materiil. Dalam
Undang-undang pembentukan otonomi, kepada Pemerintah Daerah diberikan
wewenang sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan
wewenang lain secara bertahap, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Atau dengan kata lain, otonomi riil
ini pada prinsipnya menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan wewenang
urusan tersebut didasarkan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan
daerah yang menyelenggarakannya;
Kelima, otonomi nyata, bertanggungjawab, dan dinamis, artinya : nyata,
artinya pemberian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada Pemerintah

26
Daerah memang harus disesuaikan dengan faktor-faktor tertentu yang hidup dan
berkembang secara objektif di daerah. Hal tersebut harus senantiasa disesuaikan
dalam arti diperhitungkan secara cermat dengan kebijaksanaan dan tindakan-
tindakan, sehingga diperoleh suatu jaminan bahwa daerah itu secara nyata
mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam praktik bahwa
isi otonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya tidaklah sama, baik
mengenai jumlah maupun jenisnya. Hal itu wajar karena setiap daerah memiliki
perbedaan baik letak geografis, kondisi geologis, maupun budaya, adat istiadat,
serta potensi yang dimilikinya.
Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada Pemerintah
Daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan tujuannya
yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara.Ini
untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah dalam suasana yang
harmonis dan lebih dari itu untuk menjamin perkembangan dan pembangunan
antar daerah yang serasi sehingga laju pertumbuhan antar daerah dapat
seimbang.
Dinamis, artinya otonomi ini menghendaki agar pelaksanaan otonomi
senantiasa menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju atas
segala kegiatan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan yang
semakin meningkat mutunya.Menurut Josep Riwu Kaho (1991) menyatakan
bahwa prinsip ini merupakan salah satu variasi dari system otonomi riil.
Dari kelima jenis sistem otonimi itu, secara umum yang dipraktekkan
hanya 3 (tiga) jenis, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga
materiil dan sistem rumah tangga nyata atau riil dengan beberapa
varian.Sementara RDH Koesoematmadha (1979) menggunakan istilah ajaran
rumah tangga (huishoudingsleer) terbagi tiga jenis yang terkenal yakni;
pengertian rumah tangga secara materiil (materiele hushoudings bergrip),
pengertian rumah tangga secara formil (formele hushoudings bergrip),
pengertian rumah tangga secara riil (reele hushoudings bergrip).
Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, beberapa
jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga daerah yang disebutkan di atas
mengalami perubahan dalam penerapannya.Oleh Caltin dalam bukunya “the
Prinsiple of Politics” yang dikutip oleh Ateng Syarifudin (1983) hal itu disebut

27
dengan istilah “eksperimental”.Begitu pula yang terjadi sejak berdirinya negara
RI memang bersifat eksperimental, kiranya dapat disimpulkan dari bergantinya
perundang-undangan yang mengatur materi itu dengan berlandaskan asas
otonomi yang berubah-udah pula.
Kesimpulan tersebut menurut RDH Koesoemaatmadja (1979) dapat
diajukan dengan beberapa bukti, yakni; UU No. 1 Tahun 1945 cenderung
menganut sistem otonomi formal, UU No. 22 Tahun 1948 menganut sistem
rumah tangga materiil dengan pola keseragaman (uniformitas). Sementara
dengan penafsiran yang aga berbeda, ada juga yang menyatakan bahwa UU No.
22 Tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950 menggunakan sistem campuran
antara pengertian rumah tangga materiil dan pengertian rumah tangga formal.
Selanjutnya Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960
mengikuti dan mempertahankan sistem rumah tangga seluas-luasnya dan sistem
rumah tangga daerah nyata sebagaimana yang dianut oleh UU No. 1 Tahun
1957. UU No. 18 Tahun 1965 yang dicurigai berbau komunis secara
keseluruhan meneruskan politik otonomi yang diatur dalam Penpres No. 6
Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960 yaitu menganut sistem otonomi
seluas-luasnya dan sistem rumah tangga daerah nyata. Undang-Undang ini
diperkuat dengan TAP MPRS No.XXI/MPRS/1996 tentang pemberian otonomi
yang seluas-luasnya kepada daerah.Namun sebelum UU dan TAP MPRS itu
dilaksanakan ada peristiwa.
Dari sistem otonomi di berbagai peraturan perundang-undangan
pemerintah daerah di atas, ternyata semua jenis sistem rumah tangga daerah
yang dikenal telah dicoba untuk diterapkan.Namun sistem otonomi nyata (riil)
yang dianggap paling memadai. Sistem otonomi ini pertama kali dicantumkan
dalam UU No. 1 Tahun 1957 sebagai pelaksana Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS
1950 memuat beberapa asas otonomi antara lain pemberian otonomi seluas-
luasnya. Asas pemberian otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan dalam UU
No. 18 Tahun 1965 meskipun Undang-Undang ini dibuat setelah UUDS 1950
tidak berlaku lagi dan kembali ke UUD 1945.
Semboyan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
kehendak melaksanakan otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan pada masa
orde baru, tetapi dasar politik otonomi tidak dipertahankan oleh UU No. 5 Tahun

28
1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa pemberian otonomi seluas-luasnya “dapat menimbulkan
kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan
dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada
daerah”.Dari penjelasan ini dapat ditangkap bahwa otonomi luas secara intrinsik
mengandung ancaman tertentu terhadap keutuhan negara kesatuan. Namun
demikian tidak perna ada kejelasan mengenai bagaimana sesungguhnya isi
otonomi yang dikehendaki UUD 1945 (sebelum amandemen) dan apakah
mungkin menyebut otonomi seluas-luasnya mengandung bahaya, sedangkan hal
tersebut belum pernah dilaksanakan atauada pengalaman lain yang dapat
dipergunakan sebagai petunjuk.
Dengan beragamnya sistem otonomi yang terdapat dalam beberapa UU
Pemerintah Daerah yang bersumber pada UUD 1945 yang asli, maka UUD 1945
pasca amandemen telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dalam
menghadapi perkembangan otonomi di masa datang yaitu secara tegas
merumuskan di dalam Pasal 18 ayat (5) “Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-
Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.
Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945,
secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-
Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan
yang demikian ternyata telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998
dan Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak
hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal
dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan
pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan
keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama
dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang
wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan
sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang)
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan

29
tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan
kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu
prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi
daerah yang berbeda-besa. Oleh karena itu, menurut Bagir Manan (2001) dalam
penentuan isi otonomi daerah minimal ada dua hal yang penting untuk
diperhatikan yaitu :
1. Pemberian otonomi seluas-luasnya mengandung arti kemandirian
daerah. Betapapun banyak urusan yang diserahkan, apabila daerah
tidak mandiri tidak akan mewujudkan otonomi yang sebenarnya.
2. Penyelenggaraan otonomi riil (nyata) tidak menghendaki prinsip
uniformitas dalam penyerahan dengan kenyataan yang ada pada
daerah tersebut.

C. Desentralisasi dan Kewenangan


1. Kewenangan dan Urusan
Salah satu permasalahan yang menonjol dalam konteks kebijakan
desentralisasi adalah perbedaan persepsi mengenai pengertian “kewenangan”
(authority) dan “urusan” (functions). Istilah “urusan pemerintahan” pada masa
lalu banyak digunakan dalam pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan
daerah seperti dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, khsusnya dalam konteks
pembagian tugas antara Pusat dan Daerah.Dewasa ini istilah tersebut tidak
digunakan lagi dan diganti dengan istilah “kewenangan” dan “bidang
pemerintahan”. UU Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan istilah “kewenangan”
dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan istilah “urusan pemerintahan”.
Secara konseptual, istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan
istilah urusan pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan
atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen
(pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan, pengawasan) atas
suatu obyek tertentu yang ditangani oleh pemerintah. Cheema dan Rondinelli
(1983), mengatakan bahwa kewenangan lebih tepat diartikan dengan authority,
sedangkan Hans Antlov (1998) menggunakan istilah power, Peter A. Watt
(dalam Aziz dan Arnold, 1996) berpendapat bahwa istilah urusan pemerintahan
dapat disamakan dengan istilah bidang pemerintahan seperti government

30
taskataupun istilah government function. Dalam praktek secara internasinal
penggunaan istilah tersebut belum seragam antara satu negara dengan negara
lain ataupun antara satu ahli dan ahli lainnya.
Dari literatur tentang desentralisasi yang sudah dikemukakan terlihat
bahwa istilah urusan pemerintahan lebih melekat kepada pengertian public
functions. Namun dalam berbagai hal, istilah urusan pemerintahan sering
digunakan secara bersamaan dengan istilah kewenangan. Dalam UU Nomor 22
Tahun 1999, konsep kewenangan digunakan untuk urusan pemerintahan yang
pengertiannya mengarah kepada bidang/sektor, sedangkan UU Nomro 32 Tahun
2004, konsep urusan pemerintahanmerupakan pelaksanaan hubungan
kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan daerah Provinsi, kabupaten
dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan
sinergissebagai satu sistem pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan
urusan pilihan.
Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum
Administrasi Negara.Prajudi, (1994) menyatakan bahwa pengertian kewenangan
dan wewenang (competence, bevoegdheid) walaupun dalam praktek
pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu. Selanjutnya dikatakan adalah apa
yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal darikekuasaan legislatif
(diberikan oleh UU) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang
(rechtsbevoegdheven). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum publik,misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-
surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap
berada di tangan menteri (delegasi wewenang).
Dengan demikian kewenangan tidak bisa didelegasikan kepada orang
lain, sedangkan wewenang-wewenang tersebut semuanya dapat didelegasikan
kepada orang lain. Semua urusan pemerintahan yang termasuk dalam bidang
perguruan tinggi, adalah kewenangan Menteri Pendidikan Naisonal. Jika di
dalam kementerian terdapat sub ordinat tertentu seperti urusan kepegawaian,
kesejahteraan, dan lain-lain, maka wewenang itu dapat didelegasikan kepada
pejabat bawahannya,termasukkepada satuan pemerintahan yang lebih rendah di
daerah.

31
Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas
inisiatif sendiri itu dikenal dengan istilah freies Ermessen atau discretionari
power; yaitu suatu istilah yang di dalamnya mengandung kewajiban dan
kekuasaan yang luas.Nata Saputra (dalam Ridwan HR, 2006), mengartikan
freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat
administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenalkan alat
administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari
pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.Atau kewenangan untuk turut
campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas untuk
mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga
negara.Pemberian freies Ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara
mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi.Dengan bersandar pada
freies Ermessen, administrasi negara memiliki kewenangan yangcukup untuk
melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan
masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan
tindakan itu diperlukan istrumen hukum. Artinya, bersaman dengan pemberian
kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk
membuat instrumen hukumnya. Pembentukan organisasi perangkat daerah, juga
merupakan diskresi dariPemerintah Daerah.Diskresi untuk menjaga fleksibilitas
Pemerintah Daerah dalam menentukan organisasi perangkat daerah.
Wewenang menurut Stout (Ridwan, 2000) adalah pengertian yang
berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik.
Toonaer (Ridwan, 2000) pula mengemukakan bahwa kewenangan
pemerintahan adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga
dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan
warga negara.
Menurut Bagir Manan dalam Ridwan, (2000), wewenang dalam bahasa
hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en pelichten).Dalam kaitan dengan

32
otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasan untuk mengatur sendiri
(zelfregelen) dan mengelola sendiri (Zelfbesturen). Sedangkan kewajiban terdiri
kewajiban horisontal dan kewajiban vertikal.
Kewajiban secara horisontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sebagaimana pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan
negara secara keseluruhan.Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan
berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sumber-sumber Kewenangan
Menurut Suwoto Mulyosudarmo, (1997), pada dasarnya pemberian
kekuasaan dapat dibedakan mejadi dua macam :
a. Perolehan secara atributif;
b. Perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat)
Perolehan kekuasaan secara atributif, menyebabkan terjadinya
pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi
ada.Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan
menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Perolehan kekuasaan secara
derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada
dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan ini adalah
pelimpahan kekuasaanyang diturunkan.
Sementara itu, menurut HD van Wijk dan Willen Konijnenbelt dalam
Marcus Lukman, (1997), terdapat 3 (tiga) model penyerahan wewenang, yaitu
secara atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan
(toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een
bestuursorgaan).Kewenangan yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang
berasal dari pembentukan undang-undang orisinil.Pada model ini, pemberian
dan penerimaan wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang ada.
Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima
wewenang.Pertanggungjawaban internal diwujudkan dalam bentuk laporan
pelaksanaan kekuasaan, sedangkan aspek eksternal adalah pertanggungjawaban

33
terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksanakan kekuasaan melahirkan derita
atau kerugian.
Sedangkan kewenangan delegasi adalahpelimpahan wewenang
pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya
(Delegatie; overdracht van een bevagheid van het ene bestuurorgan aan een
ander). Pada konsep delegasi, tidak ada penciptaan wewenang dari pejabat yang
satu kepada yang lainnya, atau dari badan administrasiyang satu pada yang
lainnya.Penyerahan wewenang harus dilakukan dengan bentuk peraturan hukum
tertentu.Pihak yang menyerahkan wewenang disebut “delegans”, sedangkan
pihak yang menerima wewenang disebut “delegataris”.Setelah delegans
menyerahkan wewenang kepada delegataris,maka tanggung jawab inern dan
ekstern pelaksanaan wewenang, sepenuhnya berada pada delegataris.
Dengan demikian, menurut Suwoto, (1997), pendelegasian kekuasaan,
delegataris adalah melaksanakan kekuasaan atas nama sendiri dan dengan
tanggung jawab sendiri. Oleh sebab itu, pelimpahan itu disebut pelimpahan
kekuasaan dan tanggungjawab. Sementara mandat terjadi ketika organ
pemerintahanmengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya (mandaat; een bestuursorgaan hat zijn bevogheid namens hem
uitoefenen door een ander). Pada konsep mandat, mandataris hanya bertindak
untuk dan atas nama pemberi mandat, sehingga tanggung jawab akhir dari
keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat.
Adanya pembagian wewenang secara vertikal dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah baik dalam bentuk atribut maupun delegasi
dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengurus sendiri rumah tangganya
berdasarkan kewenangan yang sudah dimilikinya.
Dengan demikian daerah otonom pada negara kesatuan, kewenangannya
diperoleh melalui cara delegasi, yaitu kewenangan yang dimiliki oleh organ
pusat didelegasikan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya
sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka prinsip utama negara hukum yaitu asas
legalitas (wetmatigheid van bestuur) yang menyatakan secara tegas adanya suatu
wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
yang perolehannya melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.

34
3. Kewenangan Daerah menurut UU Nomor32 Tahun 2004
Konsep otonomi daerah di Indonesia, yaitu otonomi dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dapat dikemukakan pendapat dari
Strong (2004), yang mengatakan bahwa dalam negara kesatuan (Unitaris),
kedaulatan negara tidak dibagi-bagi, karena itu dalam negara kesatuan,
pendistribusian kewenangan merupakan suatu hal yang sangat penting yang
harus dilakukan secara cermat dan didasarkan pada asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi, dan asas pembantuan (medebewind).
Dari perspektif hubungan struktur kelembagaan, implikasi politik dari
kewenangan urusan pemerintahan adalah adanya divergensi atau pembagian
urusan, yang kemudian urusan yang dibagi ini menjadi kewenangan dari setiap
struktur pemerintahan.Filosofi yang mendasari diperlukan adanya pembagian
atau pemencaran urusan pemerintahan adalah karena wilayah negara terlalu luas
untuk diurus olehPemerintah Pusat saja; oleh karena itu diperlukan desentralisasi
dengan pembentukan daerah otonom dan pembagian urusan.
Penerapan konsep pendistribusian kewenangan seperti yang
dikemukakan Strong, juga terlihat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
republik Indonesia, yang secara vertikal memberikan kewenangankepada daerah
baik pada daerah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Pada prinsipnya
kewenangan yang diberikan tersebut bukan dalam bentuk kewenangan untuk
membentuk daerah berdaulat, melainkan otonomi daerah dalam kerangka NKRI.

D. Dinamika Ketatanegaraan dan Kehadiran DPD RI


1. Perubahan UUD 1945
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 telah menyebabkan
banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik
ketatanegaraan kita. Setiap gagasan akan perubahan tersebut sudah dituangkan
dalam Amandemen pertama sampai keempat dari UUD’45. Apabila dilihat ke
belakang, setidaknya ada empat gagasan fundamental berkaitan dengan proses
amandemen di atas, yaitu Pertama, anutan prinsip pemisahan kekuasaan
(separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip
pembagian kekuasaan (distribution of power). Kedua, diterapkannya kebijakan
nasional yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah yang seluas-

35
luasnya. Ketiga, gagasan pemilihan Presiden secara langsung, dan Keempat,
gagasan pembentukan DPD yang akan melengkapi keberadaan DPR selama ini.1
Jika melihat ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 dan
dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum membuat
upaya perubahan UUD 1945 hampir mustahil dilakukan. Wacana perubahan
UUD 1945 baru muncul setelah memasuki era reformasi.Bermula dari krisis
moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 yang tidak berhasil diatasi,
bangsa Indonesia terjerembab ke dalam krisis
multidimensional.Ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis dinilai oleh
banyak kalangan sebagai akibat dari penerapan sistem sosial, politik, dan
ekonomi yang tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
rakyat.Akibatnya, pada tahun 1998 terjadi gejolak politik, saat itu Presiden
Soeharto didesak untuk mundur karena sebagian besar rakyat Indonesia
menghendaki dilakukannya reformasi secara total.
Pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan
oleh B.J. Habibie yang semula menjabat Wakil Presiden.
Kemudian disusul dengan dinamika ketatanegaraan sampai pada
momentum memungkinkan perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada waktu
yang tepat saat hampir seluruh elemen masyarakat menghendaki adanya
perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara2.
Terdapat beberapa materi strategis/pokok yang telah disempurnakan
MPR pada saat melakukan perubahan UUD 1945, antara lain aturan keempat,
aturan dasar mengenai penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern,
antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan
transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara baru untuk
mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman3.

1
Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, UII Press, 2005, h. 160, 161, 162.
2
Mahkamah Konstitusi RI, (2008), Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan
UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. – hal 545.
3
Ibid

36
Dalam tahapan perubahan, penegasan mengenai pelaksanaan otonomi
daerah seluas-luasnya dilakukan pada perubahan kedua, khususnya terdapat
pada perubahan pada Pasal 18 ayat (5).
Tapi sebelumnya isu penting dalam proses perubahan salah satunya
adalah terjadi satu-satunya pemungutan suara untuk memutuskan Pasal 2 ayat
(1) UUD 1945 yang pada akhirnya menghapus eksistensi Utusan Golongan dan
Utusan Daerah di dalam keanggotaan MPR sehingga anggota MPR terdiri atas
anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu.
Perubahan ketiga tahun 2001, Pasal 22 UUD 1945 ditambah dua Bab
yaitu Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah yang terdiri dari 2 (dua)
pasal dan Bab VIIB tentang Pemilihan Umum.

2. Dua Kamar atau Satu Kamar


Jika ditelusuri secala kelembagaan sulit untuk dipahami, karena tampak
seperti ada dua lembaga perwakilan rakyat (MPR dan DPR).Padahal
sesungguhnya lembaga perwakilah rakyat seperti ini tidak dapat disebut
sebaggai sistem perwakilan rakyat dua kamar, dan sebaliknya, tidak pula dengan
mudah disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat satu kamar.Hal ini
disebabkan oleh keberadaan masing-masing lembaga pada posisi yang tidak
sejajar.4
Begitu pula dengan DPR dan DPD, dengan dilakukan Amandemen
keempat UUD 1945 memberi kesan terhadap DPR dan DPD dua kamar,
walaupun jumlahnya beda, lingkup tugas dan kewenangan beda. Padahal
kenyataannya DPR lebih besar dalam kewenangan, sedangkan DPD terkesan
kewenangannya terbatas dengan kekuatan kewenangan yang melekat pada DPR,
sehingga beberapa pendapat mengatakan DPD hanya sebagai pelengkap, bahkan
dalam penelusuran proses penelitian ini ada beberapa responden yang
mengatakan sebaiknya DPD ditutup saja.
Kelahiran DPD bukan sama seperti model bicameral system dalam sistim
politik negara federal tetapi karena pengalaman Indonesia sendiri selama tahun
1945 (model Indonesia sesuai dinamika yang dialaminya).

4
Dr. Eddy Purnama, SH.,MH., (2007), Negara Kedaulatan Rakyat; Analisis terhadap Sistem
Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain.

37
Ishak Pulukadang5 dalam makalahnya mengatakan :
“Agar terjadi Icek and balance of power, tidak saja antara
lembaga legislatif dan eksekutif tetapi juga antar lembaga
legislatif yaitu DPR dan DPD.Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa DPR baik secara individu maupun
kelompok ternyata bukan melakukan fungsi pengawasan
dalam pembahasan terhadap kebijakan pemerintah
menyangkut proyek-proyek APBN dan lahirnya peraturan
perundang-undangan, tetapi yang terjadi adalah kolusi antara
eksekutif dan legislatif dan antara anggota legislatif
sendiri.Sehingga mengakibatkan tidak hanya citra eksekutif
buruk tetapi juga lembaga legislatif”.

Kelemahan atau keuntungan sebenarnya dapat dilihat dari perbedaan


antara DPR dan DPD dilihat dari perwakilan, dimana DPR kental dengan
muatan politik karena didominasi kepentingan keterwakilan parpol, kepentingan
parpol terwakili dalam wadah legislatif (DPR). DPD tidak memiliki kekuatan
posisi tawar untuk penguatan kendaraan politik, karena DPD tidak memiliki
kendaraan politik.
Pada sisi lain bila kita mencermati UUD yang mengatur tentang DPR RI,
dimana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR RI setiap
provinsi sama dan tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Dalam UU tentang
susunan kedudukan dimana anggota DPR RI itu hanya 550, anggota DPD RI
33x4 hanya sekitar 134. Bila kita bandingkan dengan DPD RI yang
maksimalnya 1/3 maka jumlahnya ini masih terlalu rendah bahkan ¼. UU yang
baru menyebutkan, UU Pemilu DPR RI jumlahnya bertambah 10 menjadi 560
sementara DPD RI tetap 4 setiap provinsi.
Untuk mengukur efektifitas fungsi dan peran daripada lembaga ini
sebenarnya juga dapat digunakan metode “4T” yaitu : Terdengar, Terlihat,
Terasa dan Terukur. Dari kedua institusi negara ini, tidak terpenuhi semuanya,
sehingga tujuan daripada cit-cita negara untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta keamanan dan stabilitas nasional masih
perlu perjuangan keras.

5
Prof. Drs. Ishak Pulukadang, (2009), Beberapa Catatan tentang Strategi Memperjuangkan Posisi
dan Peran DPD-RI setara dengan DPD-RI., Makalah disampaikan pada FGD DPD RI di
Fakultas Hukum Unsrat, pada tanggal 29 Juli 2009.

38
E. Fungsi dan Peran DPD RI sebagai Alat Kelengkapan Negara
1. Keanggotaan DPD – RI
Keanggotaan DPD RI untuk pertama kalinya dipilih pada Pemilihan
Umum Tahun 2004, tepatnya di bulan April, yaitu berjumlah 128 orang yang
terdiri atas 4 orang dari setiap provinsi pada sebanyak 32 provinsi. Propinsi
Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda yang secara resmi berdiri pada bulan
Juli 2004, belum terwakili secara tersendiri tetapi masih diwakili oleh anggota
dari provinsi asalnya (sebelum pemekaran wilayah provinsi tersebut, yaitu
Provinsi Sulawesi Selatan) dan baru akan terwakili melalui Pemilihan Umum
legislative 2009 yang akan datang.
DPD RI memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil
daerah dari setiap propinsi dan tidak ada pengelompokan anggota (semacam
fraksi di DPR RI). Anggota DPD RI merupakan orang-orang independen yang
bukan berasal dari partai politik, tetapi berasal dari berbagai latar belakang
misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh organisasi
kemasyarakatan atau Lembaga Swadaya Masyarakat, serta beberapa anggota
DPD RI dengan latar belakang birokrat seperti mantan menteri, gubernur,
bupati/walikota dan lain-lain.

2. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD – RI


Fungsi, tugas, dan wewenang DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal
22D UUD 1945 adalah mencakup :
a. Fungsi Legislasi
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b. Fungsi Pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan

39
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
c. Fungsi Pengawasan
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang me n g e n a i : o t o n o mi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
d. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

3. Hak dan Kewajiban Anggota DPD – RI


Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
bahwa anggota DPD mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
Hak anggota DPD RI :
1. Menyampaikan usul dan pendapat
2. Memilih dan dipilih
3. Membela diri
4. Imunitas
5. Protokoler
6. Keuangan dan administratif

Kewajiban anggota DPD RI :


1. Mengamalkan Pancasila;
2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan menaati segala perturan perundang-undangan.
3. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

40
4. Mempertahankan dan memelihara kerukukan nasional dan keutuhan Negara
kesatuan Republik Indonesia.
5. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
6. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat dan daerah.
7. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan.
8. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih
dan daerah pemilihannya.
9. Menaati kode etik dan Peraturan tata Tertib DPD
10. Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik
Anggota DPD RI yang meliputi representasi, legislasi dan pengawasan yang
dicirikan oleh sifat mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau
mandate rakyat kepada anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding”
yaitu ciri melekatnya pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang
semata-mata didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan pada rakyat daerah

4. Alat Kelengkapan DPD RI


Alat kelengkapan DPD RI terdiri dari Pimpinan DPD RI, merupakan
kesatuan yang bersifat kolektif yang terdiri dari satu orang ketua dan dua orang
wakil ketua, Pimpinan DPD RI mencerminkan wilayah barat, tengah dan timur
Indonesia yang dipilih dari dan oleh Anggota DPD RI dalam Sidang Paripurna.
Pimpinan DPD RI mempunyai tugas antara lain memimpin sidang, menyusun
rencana kerja, menjadi juru bicara DPD RI, serta melaksanakan dan
memasyarakatkan putusan DPD RI. Untuk periode 2004 – 2009, DPD RI
dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. H. Ginandjar Kartasasmita sebagai Ketua yang juga
merupakan anggota DPD – RI Propinsi Jawa Barat dan La Ode Ida, PhD yang
mewakili propinsi Sulawesi Tenggara danH. Irman Gusman, SE, MBA yang
merupakan anggota DPD – Ri dari Sumatra Barat, sebagai Wakil Ketua.
DPD RI memiliki empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya
mencakup bidang legislasi, pertimbangan dan pengawasan. Seluruh anggota,
kecuali Pimpinan DPD RI, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc
( PAH ). Ruang lingkup tugas keempat Panitia Ad Hoc tersebut meliputi:

41
Panitia Ad Hoc I : Otonomi Daerah; Hubungan Pusat dan Daerah;
Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah.
Panitia Ad Hoc II : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Ekonomi lainnya
Panitia Ad Hoc III : Pendidikan dan Agama.
Panitia Ad Hoc IV : RAPBN, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
Memberikan Pertimbangan Hasil Pemeriksaan
Keuangan Negara dan Pemilihan Anggota BPK, serta
Pajak.

DPD RI juga memiliki alat kelengkapan yang secara fungsional


mendukung pelaksanaan tugas DPD RI, Yakni:
1. Badan Kehormatan ( BK ) yang bertugas antara lain menegakkan Peraturan
Tata Tertib dan Kode Etik Anggota DPD RI;
2. Panitia Musyawarah ( Panmus ) yang bertugas antara lain menyusun agenda
persidangan DPD RI;
3. Pantia Perancang Undang-Undang ( PPUU ) yang bertugas antara lain
merencanakan dan menyusun program Legislasi DPD RI;
4. Panitia Urusan Rumah Tangga ( PURT ) yang bertugas antara lain
membantu Pimpinan DPD RI dalam menentukan kebijakan
kerumahtanggaan DPD RI;
5. Panitia Kerja Sama Antar Lembaga Perwakilan ( PKALP ) yang bertugas
antara lain membina, mengembangkan dan meningkatkan hubungan
persahabatan dan kerjasama antara DPD RI dengan lembaga Negara sejenis,
baik secara bilateral maupun multilateral.
Apabila dipandang perlu DPD RI dapat membentuk alat kelengkapan
berupa Panitia Khusus yang bersifat sementara dengan tugas tertentu yang
diberikan oleh Sidang Paripurna. Di samping alat kelengkapan tersebut DPD RI
membentuk Kelompok Anggota DPD di MPR RI yang bertugas antara lain
mengkoordinasikan kegiatan anggota DPD RI dan meningkatkan kemampuan
kinerja DPD RI dalam lingkup sebagai Anggota MPR RI.

42
5. Penyerapan Aspirasi Masyarakat
Sebagai alat artikulasi kepentingan daerah maka penyerapan aspirasi
merupakan kegiatan Anggota DPD RI yang paling penting. Dalam
pelaksanaannya, penyerapan aspirasi masyarakat ini bisa dilakukan dalam dua
bentuk, yaitu secara langsung maupun tak langsung. Penyerapan aspirasi secara
langsung dilakukan dalam berbagai kegiatan di daerah melalui dialog tatap
muka, seminar atau lokakarya. Kegiatan yang dilakukan pada saat kunjungan
kerja, baik pada masa sidang maupun ketika anggota DPD RI memasuki masa
kegiatan di daerah pemilihannya masing-masing (reses) pada intinya bertujuan
untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi masyarakat daerah.
Aspirasi masyarakat daerah harus diserap sebanyak-banyaknya setelah
itu kemudian dipilah ke dalam tingkat prioritas persoalan, mulai dari persoalan
yang paling urgen, yang harus segera ditindaklanjuti melalui mekanisme
konstitusional sampai hal-hal yang lebih bersifat sekunder. Persolan-persoalan
tersebut juga dapat dikategorikan berdasarkan tugas dan wewenang apakah
merupakan subyek yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas legislatif ataukah
merupakan subyek yang menjadi kompetensi lembaga eksekutif.
Sementara itu, mekanisme penyerapan aspirasi secara tidak langsung dilakukan
melalui konsultasi dengan lembaga pemerintahan local (DPRD/Pemda). Dalam
hal ini, DPD RI menampung aspirasi yang sudah disalurkan ke DPRD/Pemda.
Mekanisme ini sebenarnya bisa dilakukan setiap saat dan tidak perlu menunggu
reses ataupun kunjungan kerja. Model penyerapan tak langsung ini di samping
lebih efisien juga dapat menguatkan kemitraan di daerah.

6. Proses Penyaluran Aspirasi Masyarakat


Setelah para wakil daerah melakukan proses penyerapan aspirasi, tentu
realisasi kongkret atau tindak lanjut atas berbagai persoalan daerah atau
permasalahan rakyat di daerah sebagaimana dimaksud akan ditunggu-tunggu
oleh masyarakat. Untuk itu aspirasi yang masuk harus mendapat perhatian serius
dan diproses sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan. Dalam hal ini ada
tahapan yang meliputi:
a. Menyusun laporan hasil kunjungan kerja dalam bentuk resume aspirasi
masyarakat yang telah dipisahkan berdasarkan persoalan masing-masing.
b. Melakukan identifikasi persoalan sehingga menjadi jelas dan spesifik.

43
c. Melakukan pemilahan atau kategorisasi berdasarkan tugas, kewenangan
lembaga legislatif dan eksekutif. Persoalan yang diluar kewenangan DPD RI
selanjutnya disampaikan melalui mekanisme rapat kerja di daerah yang
disarakan atas skala prioritas persoalan.
d. Persoalan yang menjadi kewenangan DPD RI kemudian dibawa ke Pusat
untuk disusun bersama-sama anggota DPD RI provinsi masing-masing dan
dipilah berdasarkan wilayah kerja PAH untuk dibawa kepada Sidang
Paripurna. Laporan yang disampaikan pada paripurna kemudian disalurkan
kepada PAH berdasarkan wilayah kerja masing-masing untuk dibahas
bersama dengan pemerintah, dalam hal ini menteri atau LPND yang relevan
dengan masing-masing persoalan.
e. Terkait dengan masukan dari berbagai kalangan masyarakat mengenai peran
ideal DPD ke depan dan peningkatan peran DPD RI dalam menjembatani
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang konstruktif dan sinergis,
maka Kelompok DPD di MPR RI akan menyampaikan masukan tersebut
kepada Pimpinan MPR RI untuk dapat diproses lebih lanjut.

Perbedaan Dua Macam Perwakilan


DPR DPD
Menggunakan Organisasi Kepartaian Tidak Menggunakan Organisasi
Kepartaian
Dengan organisasi : Tanpa organisasi
Memerlukan dana besar Tidak memerlukan dana organisasi
Terjadi konsentrasi masa yang dapat Tidak ada konsentrasi masa
terjadi gesekan
Idiologi partai Idiologi visi dan misi

44
BAB III.
TUJUANDAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini ialah:


1. Mendeskripsikan lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih
selaras dengan cita-cita UUD 1945
2. Mmendesain hubungan pusaat dan daerah dan mendefinisikan ulan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah
terutama pada bidang-bidang sektoral.
3. Mendeskripsikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan
UU No. 33 Tahun 2004 serta berbagai UU sektoral.
4. Mereview berbagai peraturan Per-UU-an yang tidak sesuai dengan
prinsip pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah darah
yang selaras dan adil sesuai dengan asas otonomi luas
5. Memaparkan dampak yang terjadi di lapangan terkait dengan
permasalahan yang timbul akibat pembagian kewenangan yang tidak
seimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
6. Merumuskan konsep dan prinsip-prinsip yang adil dan selaras sesuai
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sebagai dasar pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
7. Untuk mengetahui tentang hak masyarakat adat dan pengaturannya di
Indonesia.

Manfaat penelitian pada kesempatan ini untuk memberi pandangan terhadap


pentingnya kehadiran DPD RI serta penguatan yang perlu dilakukan dengan
membentuk Law Center pada tiap provinsi.

45
BAB IV
METODEPENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Untuk menjawab pertannyaan diatas, penelitian ini menggunakan
pendekatan ilmu hukum yang mengenal tiga lapisan ilmu hukum (rechtleer),
yaitu dogmatic, teori hukum, dan filsafat hukum.
Dogmatik hukum dalam arti sempit bertujuan untuk memaparkan dan
mensistematisir serta menjelaskan hukum positif yang berlaku baik secara
deskriptif maupun preskriptif yang bersifat normative.
Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan antara dogmatic hukum dan
filsafat hukum.
Sedangkan Filsafat Hukum bertujuan menjawab obyek yang dibahas
dalam hubungan dengan makna konstitualisme atau cita hukum dari suatu
kenyataan. (Abdul Latief, 2006).
Selain menggunakan penelitian hukum, dalam studi ini juga digunakan
pendekatan hukum normatie atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
Penelitian hukum normative atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap semantic hukum, penelitian
terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum, dan
sejarah hukum. (Soerjono Soekanto, 2006).
Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan cara menafsirkan
kaidah-kaidah hukum yang dirumuskan di dalam peraturan perudang-undangan
yang terkait dengan Pemerintahan Daerah, dimulai sejak jaman kolonial sampai
sekarang termasuk UU OTSUS Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001), dan UU
Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006).
Penelitian terhadap sistematik hukum bertujuan untuk menelaah
pengertian-pengertian pokok atau dasar dari system hukum yang terdapat di
dalam UU yang berkaitan dengan Hubungan Pusat dan Daerah, tujuannya adalah
untuk menelaah indikasi kebijakan hubungan pusat dan daerah terutama

46
terhadap undang-undang bidang sektoral yang tidak sejalan dengan asas-asas
desentralisasi dan demokratisasi
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal dilakukan
untuk menelaah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal bertujuan untuk menelaah
keserasian peraturan perundang-undangan secara hirarki peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Metode ini tidak terlepas dari penetapan obyek material
dan obyek formal penelitian.
Penelitan terhadap taraf sinkronisasi horizontal bertujuan untuk
menelaah keserasian peraturan perudang-undangan yang sederajat yang
mengatur substansi materi yang sama.
Penelitian sejarah hukum mengkaji latar belakang tujuan pembentukan
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menjadi
obyek materiil dari studi ini, yaitu UU bidang sektoral dan UU tentang
Pemerintahan Daerah; juga untuk mengetahui perkembangan muatan
desentralisasi dalam setiap kebijakan pemerintahan daerah yang perna berlaku di
Indonesia.

B. Bahan Penelitian

1) Bahan Hukum Primer, yakni peraturan perundang-undangan yang terkait


dengan substansi studi ini
2) Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan bacaan atau literatur yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil
penelitian, hasil aspirasi masyarakat oleh Anggota DPD, dan literatur
yang berkaitan dengan bidan hukum Tata Negara, Hukum Administrasi
Negara, Ilmu Pemerintahan, dan Ilmu Politik.
3) Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
anotasi perundang-undangan, dan sebagainya.

47
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Hubungan Pusat dan Daerah terkait Peran dan Fungsi


DPD RI
Dalam analisis logika, hasil penelitian “dapat saja” dikatakan bahwa
ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah salah satu indikatornya yang
sangat berpengaruh yang tidak disadari selama ini adalah karena para
pengambil kebijakan penentu; tidak tinggal dan hidup di daerah (tertinggal) tapi
(ada kecenderungan) hidup dan tinggal di pusat ibukota (jiwanya ada di pusat
ibu kota), sehingga secara psikologis,insting kepekaan batinia untuk membangun
daerah (membangun rumah sendiri) tidak ada, kalaupun ada hanya karena
tuntutan atas dorongan formalitas jabatannya saja, bukan timbul dari dorongan
kepekaan bathin, tapi timbul dari sekedar retorika sehingga yang terjadi
berbagai macam konsep-konsepan‘membangun’ yang karena pemenuhan syarat
administrasi semata sebagai wakil rakyat.
Kalau DPR konsentrasi kehidupannya di ibukota negara, seharusnya
DPD harus memili lebih banyak hidup dan bergaul di daerah utusannya.Anggota
DPD dengan kehidupannya sehari-hari di daerah dapat langsung merekam
keberadaan daerah tersebut dan dibawah dalam sidang DPD tanpa melalui
mekanisme tawar menawar untung rugi partai politik seperti yang terjadi lewat
perwakilan partai politik.
Dalam penelitian ini, gambaran yang dapat diungkapkan mengenai
keberadaan DPD RI sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah
bahwa dengan kehadiran DPR RI, hubungan pusat dan daerah secara struktur
kelembagaan dipandang dapat menjangkau semua aspirasi dan kebutuhan
seluruh daerah di wilayah NKRI. Tetapi menjadi kendala adalah
egoisme/egosentris kelembagaan yang sesungguhnya hal itu datang dari
kesadaran personal (mentalitas SDM) internal DPD itu sendiri dan lembaga lain
yang menganggap DPD hanya sebagai pemeran “figuran”.

48
Sebagaimana kutipan dari Ruslan Andy Chandra6dengan judul :Irman
Gusman: Banyak Anggota DPR Tidak Mendukung Peranan DPD, seperti
kutipan berikut:
“…… banyak teman-teman anggota DPR yang tidak mendukung
penguatan DPD tetapi banyak pula di antara mereka yang ingin
bergabung di DPD.”
…lanjut Imran, banyak pihak yang pro-kontra. Bagi pengamat,
misalnya, keberadaan orang-orang partai politik dengan agenda-
agendanya tidak sesuai dengan semangat kelahiran DPD. Tetapi,
bagi partai politik, kehadiran pengurus dan atau anggota mereka
justru akan memperkuat keberadaannya.
Menurutnya, kehadiran mereka harus dicermati. “Sejauh mana
teman-teman dari partai politik tersebut bisa menanggalkan
atribut-atribut partai politiknya. Kita harus mengawasi ketat.”
Sebab, Irman mengkhawatirkan, kalau mereka tetap di partai
politik padahal telah terpilih sebagai anggota DPD maka aspirasi
dan ideologi partai politiknya akan lebih kuat daripada aspirasi
daerah yang diwakilinya.
Karena ketentuan telah membolehkan mereka menjadi anggota
DPD, Irman menghimbau mereka secara moral untuk
menanggalkan atribut-atribut partai politiknya. “Supaya mereka
bisa menaungi aspirasi dari berbagai kelompok dan aliran yang
berkembang di daerah masing-masing. Dengan itulah kita bisa
mendapat jaminan.”

Konsep DPD sebagai organ negara dalam membangun daerah setelah


reformasi merupakan jawaban atas tuntutan masyarakat terutama di daerah-
daerah yang terkesan belum terpenuhi akan tuntutan pembangunan daerah
(tertinggal). Aplikasi dari konsep menunjukkan belum terlihat efektifitas dari
kehadiran dan fungsi DPD RI karena DPD RI (yang disebut Senator) tidak
berfungsi sebagaimana yang diinginkan dalam reformasi.
Penelitian menunjukkan sejumlah pakar menganalisis ada keterbatasan
dari peraturan perundang-undangan terhadap kehadiran “Senator” tidak sesuai
konsep yang diinginkan/diharapkan mampu menyelesaikan ketimpangan
pembangunan di daerah.
DPD dapat memposisikan institusinya sebagai lembaga negara yang
rumahnya di daerah, sehingga ikatan emosional ada di daerah, sehingga naluri
membangun daerah itu ada. Tetapi barangkali dengan kondisi seperti itu dapat

6
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=28&jd=Irman+Gusman%3A+Banyak+Anggota
+DPR+Tidak+Mendukung+Peranan+DPD&dn=20080806133338

49
saja DPD terlupakan oleh Pemerintah Pusat (Eksekutif dan Legislatif) karena
tidak kelihatan.
Hubungan pusat dan daerah terlihat sudah bagus tapi itu masih berlaku di
seputaran ibu kota RI. Peran DPD sebenarnya salah satu tuntutan reformasi agar
institusi DPD dapat mewadahi hubungan Pusat dan Daerah yang selama ini
putus. DPD sesuai dengan substansi tuntutan reformasi dapat menjadi alat dari
daerah-daerah yang cukup jauh dari Pemerintah Pusat untuk membawa kondisi
kemajuan, ketertinggalan, dari daerah. Selain itu DPD yang notabene perwakilan
daerah merupakan stand body (pasang badan) dalam memperjuangkan usulan-
usulan rencana pembangunan didaerah untuk dapat diterima oleh legislatif dan
eksekutif.
Reformasi menginginkan wadah penyeimbang terhadap DPR yang
belum berhasil memperjuangkan daerah-daerah yang sudah cukup lama
tertinggal dan jauh dari gaung pemerataan pembangunan sejak Kemerdekaan
oleh karena itu banyak suara masyarakat yang mengatakan bahwa sesungguhnya
ada bagian-bagian tertentu diwilayah kita NKRI belum menikmati kemerdekaan.

B. DPD RI dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif


baru di Indonesia.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah sebuah
lembaga yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Para Anggota DPD RI
tersebut terdiri atas wakil-wakil daerah propinsi yang dipilih melalui pemilihan
umum.Anggota DPD-RI periode 2004 – 2009 adalah individu yang independen
dan bukan merupakan anggota dari partai politik. Dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD
RI disebutkan bahwa DPD RI dapat mengajukan kepada DPR RI rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, dan sumber daya ekonomi lain
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penugasan konstitusi ini menunjukkan bahwa DPD RI berkewajiban untuk
merancang pembangunan daerah dalam kerangka pembangunan nasional.
Fungsi, tugas dan wewenang DPD RI sebagaimana tercantum dalam
pasal 22D UUD 1945 adalah :

50
1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang – undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Ini merupakan fungsi legislasi dari DPD RI.
2. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RAPBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama. Ini merupakan fungsi pertimbangan dari DPD
RI.
3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai :
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabngan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama,
serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Ini merupakan fungsi pengawasan dari
DPD RI.
4. Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat – syarat dan
tata caranya diatur dalam UU.
Terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya tersebut, ada beberapa
argumen rasional yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai betapa
pentingnya keberadaan DPD sebagai representasi daerah di tingkat pusat, yaitu :
1. Agar keterkaitan antara keterwakilan penduduk dengan daerah dan adanya
penyebaran penduduk Indonesia yang tidak merata disetiap wilayah dimana
saat ini 60% penduduk tinggal di sekitar 10% wilayah Indonesia,
tercerminkan dalam sistem perwakilan dan proses legislasi.
2. Dalam rangka mewujudkan mekanisme checks and balances.
Mekanisme ini dianut oleh negara yang demokratis untuk menghindari diri
dari dominiasi salah satu lembaga dalam pembuatan perundang undangan,
sehingga undang–undang yang dihasilkan oleh lembaga legislatur menjadi

51
lebih baik dan mengacu kepada kepentingan rakyat yang diwakilinya, bukan
pada kepentingan kelompok.
3. Adanya keadilan dalam kebijakan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa
secara berkesinambungan. Jika representasi politik hanya diwakili oleh DPR
– RI, dapat dipastikan arah pembangunan hanya memusat di pulau Jawa atau
hanya untuk kepentingan politik atau kalangan tertentu, mengingat bahwa
anggota DPR merupakan anggota partai politik dan itu sudah terbukti
dengan banyaknya kasus korupsi oleh anggota DPR – RI yang terbongkar
saat ini.
DPD RI mempunyai empat Panitia Ad Hoc (PAH) dengan ruang lingkup
yang berbeda – beda dimana PAH I membidangi otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah. PAH II
membidangi pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
PAH III membidangi pendidikan dan aggama. Sedangkan PAH IV membidangi
RAPBN, perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan
hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK serta pajak.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai wakil rakyat dari daerah, yang
dipilih, dan sebagai alat artikulasi kepentingan daerah, maka penyerapan aspirasi
merupakan kegitan anggota DPD RI yang terpenting. Dalam pelaksanaannya,
penyerapan aspirasi masyarakat bisa dilakukan dalam dua bentuk, secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung dilakukan dalam berbagai
kegiatan di daerah melalui dialog tatap muka, seminar, atau lokakarya, yang
dilakukan saat kunjungan kerja, baik pada masa sidag maupun masa reses.
Intinya adalah untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi
masyarakat daerah.
Sedangkan penyerapan aspirasi secara tidak langsung dilakukan melalui
konsultasi dengan DPRD/Pemda. DPD RI menampung aspirasi yang sudah
disalurkan ke DPRD/Pemda. Mekanisme ini dapat dilakukan setiap saat dan
tidak perlu menunggu reses atau kunjungan kerja.
Aspirasi masyarakat sebagai sumber input inilah yang menjadi bahan
pertimbangan utama bagi DPD – RI dalam penyusunan kebijakannya.

52
C. Pentingnya Keberadaan DPD-RI Sebagai Representasi Daerah Di
Tingkat Pusat
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas
partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, maka dalam rangka pembaharuan
konstitusi, MPR membentuk sebuah lembaga perwakilan baru yaitu Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pembentukan ini dilakukan melalui perubahan
ketiga UUD 1945 pada bulan Nopember 2001.
Namun demikian proses pembentukan lembaga DPD – RI yang ideal
belum dapat terlaksana. Gagasan dasar pembentukan DPD – RI adalah
keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus
memberikan peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan
keputusan politik untuk hal – hal terutama yang berkaitan langsung dengan
kepentingan daerah. Dengan adanya DPD – RI, maka Indonesia tidak lagi
menjadi negara dengan sistem legislasi unikameral, melainkan memasuki
barisan negara – negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam
lembaga perwakilannya. Walaupun sistem bikameral berbeda penerapannya
antara negara yang satu dengan lainnya, namun semua berpijak di atas landasan
yaitu memaksimalkan keterwakilan (representation) dan membangun sistem
checks and balances dalam lembaga perwakilan serta membuka peluang
pembahasan yang berlapis (redundancy) untuk memperluas dan memperdalam
proses pengambilan keputusan–keputusan politik yang berdampak besar bagi
rakyat. Namun sistem bikameral di Indonesia termasuk lemah, berdasarkan
kewenangan legislasi yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, DPD-RI, khususnya melalui Panitia Ad Hoc ( PAH ) 1
dan Kelompok DPD di MPR, harus terus memperjuangkan amandemen UUD
45 khususnya pasal 22 yang menyangkut fungsi, tugas dan wewenang DPD –
RI, demi tercapainya penguatan fungsi DPD agar aspirasi masyarakat daerah
dapat diperjuangkan dengan semestinya.

53
E. Dinamika Tuntutan Pemerataan Pembangunan (Kesejahteraan
Masyarakat)
Kita tidak sepenuhnya dapat menyalahkan Pemerintah Pusat dengan
perkembangan sistim ketatanegaraan sekarang yang, karena ada beberapa hal
yang menghambat pembangunan selama ini, sehingga Indonesia tertinggal jauh
dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya. Model yang
berkembang seiring dengan reformasi dimana diantaranya telah ada DPD RI
merupakan lembaga negara yang telah ditetapkan dengan dasar negara. Hal ini
memberi peluang untuk mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini belum
terpecahkan khususnya ketertinggalan pembangunan yang berada di daera-
daerah tertentu.
Kalau DPR belum secara spesifik di atur dalam UUD untuk
memperjuangkan daerah tetapi DPD memang spesifik untuk itu, kenapa
dibentuk DPD karena keluhan yang kurang diperhatikan oleh daerah-daerah, dan
itu muncul dalam tuntutan-tuntutan pada rentetan sejarah reformasi. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Efektifitas dalam memperjuangkan selama
ini belum teratasi melalui DPR. Dalam pemilihan umum (PEMILU) warga
memilih DPR menurut daerah pemilihan (DAPIL), tetapi masih banyak DAPIL
yang belum merasakan pemerataan pembangunan. Oleh warga setempat
bertanya bahwa sesunggunya DPR terpilih pada dapil itu apa yang sudah dibuat.
Hal ini memberi kesan sesungguhnya anggota DPR pada DAPIL tertinggal telah
melakukan apa. Daerah sampel pulau-pulau bagian Utara Sulawesi masih sangat
tertinggal, kecenderungan kedekatan warga setempat bukan pada Indonesia
tetapi pada negara tetangga. Kita dapat saja berkata bahwa di negara maju ada
juga daerah tertinggal, tetapi dinegara maju daerah tertinggal tidak terlintas
untuk memisahkan diri. Perhatian Pemerintah Pusat sangat penting, diharapkan
DPD menjadi telingah, mata, hati untuk mendengar, melihat, merasakan dan
memperjuangkan kebutuhan masyarakat di daerah pada pemerintah pusat.

G. DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah


Sejak diperkenalkan kepada publik pada perubahan ketiga UUD 1945
tahun 2001, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah menjadi perdebatan publik
yang mengarah pada fungsi dan kewenangan DPD; sejauh mana DPD sebagai
lembaga baru di dalam tubuh lembaga parlemen berperan dalam

54
mengartikulasikan suara-suara dari daerah di pusat dan seluas mana
kewenangannya dalam pengambilan keputusan soal legislasi di parlemen7.
Ada banyak harapan, terutama dari suara-suara daerah yang sekian lama
tenggelam di hadapan kepentingan pemerintah pusat, ketika lembaga DPD
diciptakan. Dengan merombak struktur perwakilan Indonesia menjadi dua kamar
(bikameral) - dengan posisi DPD sebagai kamar kedua (second chamber) di
tubuh parlemen Indonesia - dan meradikalisasi proses pemilihan anggota secara
langsung, lembaga DPD diharapkan lebih dari sekedar lembaga perwakilan
“pura-pura”. Harapan lain dari kemunculan DPD, terlepas dari kuat atau
lemahnya fungsi yang diembannya, adalah kontribusinya dalam menstimulasi
secara positif kemajuan demokrasi di Indonesia, terutama keterwakilan suara
daerah dalam kebijakan yang berpihak pada warga negara, yang lebih banyak
berada di daerah.
Namun dalam perkembangannya, harapan yang diemban kepada para
“senator” tidak bisa terwujud karena terbentur oleh berbagai yang diciptakan
oleh anggota lembaga perwakilan dari partai politik, yang “terkesan” oleh
beberapa penulis tidak akan merelakan kewenangannya diambil begitu saja oleh
para wakil rakyat dari non partai ini.
Ada Beberapa pasal dalam UUD yang tak memberi ruang gerak politik
bagi anggota DPD untuk memposisikan diri sebagai wakil rakyat secara
sempurna. Pertama, pasal 22C UUD 1945, jumlah anggota DPD didesign tidak
bisa melebihi sepertiga jumlah anggota DPR. Dalam ketentuan UUD 1945,
jumlah anggota DPR 550 orang, maka maksimal anggota DPD 183 orang.
Kenyataannya, dengan 128 anggota DPD (empat orang per provinsi), kekuatan
suara DPD kurang dari seperempat anggota DPR. Secara kuantitatif, mereka
telah didesign untuk “kalah” secara politik dari DPR.
Pertanyaannya adalah, apa filosofi politik yang berada di balik ketentuan
anggota DPD berjumlah 1/3 anggota DPR? Jika di masa depan ada penambahan
jumlah provinsi di Indonesia, dengan asumsi tiap daerah diwakili 4 orang
anggota, masih berlakukah ketentuan 1/3 dari anggota DPR? Kedua, setiap
anggota DPR dilengkapi dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi

7
Muhammad Syihabuddin dalam
http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/

55
pengawasan sebagaimana diamanatkan pasal 20A UUD 1945. Untuk
menjalankan fungsi-fungsi tersebut, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat, ditambah dengan hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Sedangkan DPD, ”hanya”
boleh mengajukan dan ikut membahas RUU yang relevan dengan urusan daerah
dan dapat melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait dengan
daerah, seperti uraian pada pasal 22D UUD 1945. Kendati boleh mengajukan
RUU untuk dibahas, sesuai dengan Pasal 43 UU 22/2003 tentang Susduk, DPD
tidak memiliki kekuasaan untuk mengawalnya hingga ke tingkat persetujuan.
Ketiga, merujuk pasal 22D UUD 1945, masalah yang bisa ditangani DPD
dibatasi pada masalah daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Memang, untuk kegiatan
pengawasan, selain masalah daerah, cakupannya diperluas ke masalah
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Celakanya, hasil
pengawasan itu harus diteruskan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti. Dari uraian pasal-pasal di atas, sangat layak diduga bahwa
DPD dari awal telah diformat sebagai lembaga yang secara politis tak bergigi
menghadapi wakil-wakil dari partai politik. DPR adalah lembaga parlemen yang
memiliki wewenang lengkap, sementara DPD hanya diposisikan sebagai
pendamping tugas konstitusional DPR. Dalam hal legislasi, fungsi DPD hanya
bersifat penunjang bagi DPR. DPD tidak dapat disebut sebagai legislator
seutuhnya. Paling jauh DPD bisa disebut co-legislator. Atau bisa jadi malah
bukan co-legislator, karena sifat otonom, sebagai prasyarat menjalankan fungsi
legislasi, juga tak dimiliki DPD.Dengan posisi politik yang tak berdaya itu,
wajar jika muncul satire bahwa DPD RI hanyalah “aksesori politik” semata di
dalam parlemen Indonesia. Kewenangan politik yang berbanding terbalik antar
kedua lembaga perwakilan; kewenangan konstitusional yang begitu kuat dan
luas di tangan DPR, sementara DPD RI tak memiliki bergaining politik sama
sekali, menggambarkan bahwa DPD tak berperan apa-apa di dalam proses
legislasi di parlemen. Sering kita saksikan acara-acara DPD hanyalah seremoni
politik yang tak memiliki imbas apapun terhadap kualitas suatu produk

56
legislasi.Jika di awal sekali perancangan DPD dimaksudkan untuk memperkuat
lembaga perwakilan dengan menerapkan sistem bikameral, maka dalam
perjalannya bisa dikatakan bahwa bikameralisme di Indonesia hanyalah bungkus
semata. Kenyataan ini juga mengetengahkan bahwa adanya sebuah anomali
dalam sistem parlementariat Indonesia. Hal ini layak ditegaskan karena
Indonesia merupakan satu-satunya negara di mana lembaga ”semacam” senatnya
dipilih secara langsung, tetapi kewenangannya terbatasi. DPD RI merupakan
potret paling relevan dari ketidaklaziman praktek bikameral karena memiliki
legitimasi tinggi namun dengan kewenangan yang terbatas. Sebuah lembaga
parlementer disebut menganut sistem bikameral, apabila - ini merupakan ciri
fundamentalnya - kedua kamar perwakilan tersebut menjalankan fungsi legislasi
yang seimbang. Dan hampir semua negara di dunia yang menerapkan sistem ini
memberi kewenangan yang hampir-hampir tak beda di setiap kamar di
parlemen, atau bahkan kewenangan perwakilan daerah di parlemen lebih kuat,
seperti di Amerika Serikat. Jika diperhatikan di Indonesia, DPD RI sama sekali
tidak mempunyai wewenang legislasi yang penuh dan otonom. DPD hanya
memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran, dan DPR tetap memegang
kendali pengambilan keputusan. Karena itu, posisi DPD yang bersanding dengan
DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang wajar. Secara
teoritik, sifat bikameralisme terbagi menjadi dua, ‘strong bicameralism’, jika
keberadaan dua kamar perwakilan itu relatif sama kuat, dan ‘soft atau weak
bicameralism’, jika keduanya tidak sama kuat.
Fristian Humalanggi menulis dengan Judul “Eksistensi Dewan
Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” menyatakan8:
Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang sering diplesetkan
menjadi “Dewan Penasehat DPR”, atau “Dewan Pertimbangan
DPR”. Betapa tidak, lembaga ini seolah - olah adalah subordinasi
DPR jika dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya.
Dalam perancangan suatu produk hukum/undang - undang DPD
hanya memberikan pertimbangan, dapat mengajukan dan ikut
membahas, serta melakukan pengawasan atas undang - undang
tertentu, dengan demikian dapatkah DPD dikatakan memiliki
wewenang?. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. dalam buku ”
Bikameral bukan Federal ” menyebut Dewan Perwakilan Daerah
sebagai ” auxiliary agency “ oleh karena sifat tugasnya di bidang

8
http://revitriyoso.multiply.com/journal/

57
legislasi hanya menunjang, DPD tidak mempunyai kekuasaan
untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini sama sekali tidak sebanding dengan
persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD, dengan kata
lain kualitas legitimasi anggota DPD tidak diimbangi secara
sepadan oleh kualitas kewenangannya. Kedudukan DPD sebagai
auxiliary body semakin diperkuat dengan adanya pasal 20 ayat
(1) dan pasal 20A ayat (1) yang menyebutkan secara eksplisit
bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang - undang
serta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan
sedangkan dalam UUD tidak ada satupun pasal yang
menyebutkan bahwa DPD mempunyai kewenangan, sebab dalam
konteks politik “KEWENANGAN” berarti dapat mengambil
keputusan politik. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. menyebut
DPD sebagai co-legislator dan Dr. Kuntana Magnar S.H. M.H
dalam tulisannya yang dipaparkan dalam Focus Group
Discussion menyebutkan secara tegas bahwa DPD termasuk
dalam kategori “lembaga Negara yang melayani”. Selain itu DPD
juga sering disebut - sebut sebagai lembaga Negara dengan
wewenang terbatas, namun sebagaimana diungkapkan oleh
Bivitri Susanti; “adalah tidak tepat mengatakan” DPD dengan
wewenang terbatas “sebab sebenarnya DPD tidak mempunyai
wewenang apapun, sebab dalam konteks politik, kewenangan
selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan
politik”.

G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI

Berikut ini beberapa rekaman tim peneliti dalam kegiatan Focus Group
Discussion (FGD) :

1. Bpk. Victor Mailangkay(Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara selama 5


periode berturut-turut)
Mencermati UUD yang mengatur tentang DPR RI, dimana salah satu
pasalnya menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR RI setiap provinsi sama dan
tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Dalam UU tentang susunan kedudukan
dimana anggota DPR RI itu hanya 550 anggota DPR RI atau 33x4 hanya sekitar
134. Bila kita bandingkan dengan DPD RI yang maksimalnya 1/3 maka
jumlahnya ini masih terlalu rendah bahkan ¼ dibandingkan UU yang baru
menyebutkan, UU Pemilu DPR RI jumlahnya bertambah 10 menjadi 560
sementara DPD RI tetap 4 setiap provinsi. Kami ingin menyampaikan bahwa
kalau boleh jumlahnya minimal 5-lah setiap provinsi. Kalau toh 5 cuma 165

58
itupun belum mencapai 1/3 dari jumlah DPR RI, dalam catatan kecil kami
mengenai jumlahnya.
Yang kedua tentang eksistensi DPD RI, tapi jika dilihat bahwa eksistensi
DPD perlu kita kaji secara cermat. Saya menawarkan 3 opsi tentang eksistensi
DPD RI:
1. Kalau disebutkan DPD mempunyai fungsi legislasi, pertimbangan dan
pengawasan, sesungguhnya DPD RI ini hanya ada fungsi pertimbangan.
Kalau legislasi, kuasi legislasi, seolah-olah mempunyai fungsi legislasi tapi
sesungguhnya DPD RI tidak mempunyai fungsi legislasi. Sebagian tidak
membuat UU yang buat DPR RI, jadi kuasi seolah-olah mempunyai fungsi
tapi sesungguhnya tidak, kemudian fungsi pengawasan juga, DPD RI ini
kuasi pengawasan, karena apa kalau suatu lembaga parlemen mempunyai
fungsi pengawasan maka melekat padanya dua hak parlementer yaitu hak
interpelasi seperti ada pada DPR RI, mengoreksi kebijakan pemerintah dari
hasil pengawasannya kalau ada yang tidak benar, atau hak angket jika terjadi
indikasi penyimpangan misalnya, tapi yang punya hak ini cuma DPR RI,
DPD RI tidak punya hak interpelasi dan juga tidak punya angket. Jadi kuasi
pengawasan dia cuma mengawasi, menyerahkan kepada DPR RI, jadi bukan
fungsi pengawasan, seolah-olah mengawasi tapi tidak punya kekuatan, kuasa
pengawasan, berbeda dengan DPR RI karena dia dilengkapi dengan hak
interpelasi, kalau dia awasi dan ternyata kebijakan pemerintah ini keliru, itu
kuasanya, atau dia gunakan hak angket, jika ternyata kebijakan dan unsur
pelanggarannya. Nah dalam kaitan dengan peran atau fungsi DPD RI ini
kami tawarkan 3 opsi untuk didiskusikan :
1) Dibubarkan saja DPD RI ini, karena sesungguhnya dia tidak
menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga parlemen, kalau kita lihat ini
dengan sistem bicameral sebetulnya historisnya kalau kita lihat, DPD RI
ini pengembangan dan utusan daerah dalam MPR. Tetapi kalau kita
telesuri sejarah pembuatan UUD 1945, pemikiran dimasukkan dengan
utusan daerah ini, kelompok-kelompok fungsional yang belum terkafer
dalam utusan DPR yang menjadi anggota MPR dari partai politik,
mengapa? agar supaya ada pemikiran-pemikiran dalam dua hal,
pembuatan UUD dan perubahan bisa diakomodir dan kelompok non

59
partai politik dan yang kedua dalam pembuatan GBHN, karena
dibanding partner kita menganut dalam UUD 1945 dan Pancasila sila ke-
4, indirect demokrasi dan direct demokrasi, nah ketika kita masuk pada
indirect demokrasi, maka fungsi pembuatan GBHN tidak relevan lagi,
sehingga kalau tidak relevan lagi karena presiden dipilih langsung dan
presiden bertanggung jawab kepada rakyat, di mana visi-misi presiden
itulah yang menjadi pedoman presiden dalam 5 tahun kedepan.
Dalam DPD yang ada hanya fungsi pertimbangan, nah kalau
pertimbangan rakyat biasapun bisa memberikan pertimbangan, soal
didengar dan tidak didengar oleh DPR RI itu soal lain, tapi torang pun
boleh memberikan pertimbangan, kirim ke DPR RI, soal di dengar atau
tidak itu soal lain, yang penting sah.
2) Amandemen UUD 1945 kita jadikan DPD RI dalam sistem strong
bicameral system, jadi fungsi DPD RI membicarakan tentang
kepentingan daerah, dia punya hak legislasi juga, dia punya hak
pengawasan, maka harus dilengkapi.
3) Yang sama-sama kita upayakan, yaitu mengoptimalkan peran DPD RI
sesuai dengan UUD 1945 dan UU lainnya. Maka 3 opsi ini yang pas
untuk kita lakukan dari 3 pilihan ini, mungkin kita lebih cenderung
mengambil langkah kompromi yaitu mengoptimalkan peran DPD RI
sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang.

Kemudian DPD RI ini, kami melihat dan membaca bahwa DPD RI hanya
bersidang di ibukota negara, kalau dia tidak bersidang, kemana dia akan kembali
ke daerah? Kami usulkan tolong didiskusikan supaya DPD RI ini ada kantor di
ibukota provinsi, nah mungkin kantor ini juga bersamaan juga ada semacam
bagian dari law center antara pusat dan daerah, provinsi ibukota provinsi untuk
menerima berbagai aspirasi dari masyarakat. Gunanya untuk membantu suatu
rapat bersama dengan DPR provinsi secara periodik dengan DPRD kabupaten
kota dengan gubernur dan dengan Bupati, walikota, dalam rangka menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudian keberadaan DPD RI dalam
memperjuangkan aspirasi daerah ini, seperti kepada semangat besar tenaga
kurang, karena apa dia sampai saja memberikan pertimbangan. Barangkali

60
mengoptimalkan perjuangan dia untuk aspirasi daerah dalam hal anggaran, lewat
APBN sehingga ada pertambahan, kalau sekarang cuma 25% dana APBN itu
didistribusikan menjadi belanja untuk provinsi dan kabupaten kota. Mungkin ke
depan kita bisa memperjuangkan lewat DPD RI supaya dia dapat menambah
bukan cuma 25%, bisa 30-35% dari pendapatan ini menjadi bagian dari belanja
untuk provinsi dan kabupaten kota dalam bentuk DAU, disamping ada DAK dan
anggaran-anggaran tugas pembantuan dan anggaran dekonsentrasi.
Bagaimana ini bisa diperjuangkan? Kita harapkan agar pertumbuhan-
pertumbuhan berkala periodik, antara DPD dan DPRD, DPD dan gubernur, juga
wakil walikota dan DPRD kabupaten kota untuk menyerap aspirasi yang
diperjuangkan.
Kemudian, dalam hal memperjuangkan pemanfaatan SDA, yang kita
rasakan selama ini bahwa pemanfaatan SDA, limbahnya ditampung oleh daerah,
manfaatnya disedot ke pusat. Nah bagaimana kalau ini bisa diperjuangkan,
memang ada UU No. 33 tentang perimbangan, porsinya diperbesar, inipun
diharapkan dapat diperjuangkan, hanya kalau ini diperjuangkan maka fungsi
DPD perlu ditingkatkan, pemberian pertimbangan DPD pada pembahasan
APBN tidak saja pada pembahasan tahap I tapi kalau boleh sampai pada
pembahasan tahap II, tahap III, dan tahap IV supaya dia dapat mengawal terus
apa yang diaspirasikan oleh daerah untuk diperjuangkan. Jika hanya sekedar ikut
dalam pembahasan tahap I, dia tidak tahu dalam pembahasan RAPBN tahap II,
III bahkan tahap IV, satu masuk dua tercecer, akhirnya dia tidak bisa mengawal
perjuangan aspirasi daerah.
Dalam kaitan dengan pembuatan UU yang berkaitan dengan fungsinya,
SDA, sumber daya ekonomi lainnya, UU otonomi daerah, berikutnya aspirasi-
aspirasi pemekaran sebaiknya pandangan ini didiskusikan, jangan langsung ke
DPR RI Komisi 2, lewat DPD RI diberikan kajiannya, kalau DPRD, DPD RI
merasa perlu bahwa itu dapat diteruskan ke DPR RI, yang terjadi sekarang
Pemekaran-pemekaran wilayah memang ada dampak positifnya, tapi sulit, ini
hanya mengejar target-target politik, sementara pemekaran wilayahnya ini
diharapkan boleh memberikan percepatan, pelayanan yang lebih dekat dengan
masyarakat, tentunya dengan pertumbuhan ekonomi di sana, tetapi jika kita lihat
PAD-PAD asli dari kota yang dimekarkan ternyata tidak naik secara signifikan,

61
mungkin daerah Pemekaran ini PAD-nya paling tinggi 15% dari seluruh
pendapatan yang ada di kabupaten kota. Diharapkan dengan Pemekaran ini bisa
membuat ekonomi daerah lebih maju, lewat DPD ini.
Yang terakhir tentang peran DPD dalam melakukan pengawasan, dalam
pelaksanaan aspirasi daerah. Jadi aspirasi daerah bisa disampaikan, tapi
bagaimana dia mengawasi agar itu bermuara dalam bentuk UU itu menjadi
kewajiban dia. Nah pelaksanaan juga UU itu di daerah, DPD perlu mengawasi,
pengawasan ini dalam pelaksanaannya kami ingin kalau boleh dilibatkan DPR di
provinsi, DPRD kabupaten kota, juga kepala daerah provinsi dan pemerintah
kabupaten kota. Saya kira ini catatan kecil yang perlu disampaikan sehubungan
dengan peran DPD RI dalam memperjuangkan dan mengawasi daerah, baik
dalam penerangan, pelaksanaan penerangan dan pengawasan. Demikian, terima
kasih.

2. Bpk. Prof. Dr. Drs. Madjid Abdullah, SH, MH(Mantan Wakil Gubernur
Maluku Utara)
Judul Materi :Tinjauan DPD menurut UU yang berlaku.
Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem DPD ini
menyangkut kewenangan DPD ini saya bagi dalam 4 kewenangan.
1. Dapat mengajukan
2. Ikut membahas
3. Memberi pertimbangan
4. Dapat melakukan pengawasan
Bahasa dalam UU ini, kata dapat kalau kita terjemahkan bisa laksanakan,
bisa tidak. Kemudian ikut membahas, tidak ikut juga tidak apa-apa. Nah ini
kata-kata dalam UU. Kemudian yang berhubungan dengan rencana UU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, DPD mempunyai kewenangan, dapat
mengajukan, ikut membahas, tidak memberikan pertimbangan. Dia tidak
memberikan pertimbangan, tapi ikut membahas dan dapat melakukan
pengawasan. Hubungan pusat dan daerah demikian juga sama, kemudian
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan juga sama, sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi juga sama, dapat ikut mengajukan, dapat ikut
membahas, dapat melakukan pengawasan sedangkan yang memberikan

62
pertimbangan adalah berhubungan dengan rencana UU dan RAPBN pada
pendidikan agama. Dan pemilihan anggota BPK, itu yang memberikan
pertimbangan, ikut membahas, juga dapat mengajukan.
Saya melihat bahwa peran DPD itu sangat lemah, karena tadi sudah
dikemukakan bahwa hanya memberikan pertimbangan. Posisi DPD ini
menyangkut kepentingan daerah, bukan hanya kepentingan politik negara
sedangkan DPD sifatnya hanya memberikan pertimbangan saja. Nah inilah
sehingga posisi DPD dalam UU No. 22 tahun 2003 sangat lemah.
Kemudian DPD ini tidak punya posisi original power, jadi dia mau
berbuat tidak dapat mengajukan, tidak punya hak tolak, inilah yang
menyebabkan posisinya lemah, sehingga saya melihat peran DPD ini perlu harus
diberdayakan melalui amandemen UUD 1945.

3. Bpk. Drs. Roy Tumiwa (Mewakili Gubernur Sulawesi Utara)


Judul Materi : Peran DPD RI dalam memantapkan hubungan pemerintah
provinsi dan kabupaten sesuai dengan potensi daerah
Kita melihat sebagaimana dalam konspilasi ketatanegaraan kita dengan
aktivitas setelah dimunculkannya DPD dalam satu lembaga legislasi sama
dengan MPR, DPR RI.
Untuk pemekaran-pemekaran daerah, mekanismenya rata-rata mereka
lebih masuk kepada DPR atau kepada Depdagri melalui pemerintah provinsi.
Kenapa tidak dimanfaatkan? Nah inilah fungsi dan peran DPD. Kalau DPD mau
itulah yang harus mereka perankan. Bagaimana mereka mengoptimalisasikan
itu, mungkin melalui diskusi ini akan memberikan suatu kontribusi, suatu
sumbangan yang positif dalam rangka memantapkan peran daripada DPD itu
sendiri, kalau tidak image dari DPD itu tetap akan sama seperti yang
disampaikan tadi, bisa saja dibubarkan atau mungkin melalui amandemen UU
dulu, UUD 1945 atau bagaimana dia akan menciptakan citra bahwa DPD itu
bisa dimanfaatkan oleh daerah dalam rangka meningkatkan potensi-potensi dan
mengoptimalisasi guna memantapkan hubungan antara pemerintah provinsi dan
kabupaten demi kesejahteraan rakyat. Dan inilah DPD yang harus berperan
mengatur, memberikan pertimbangan-pertimbangan yang cerdas di DPR bahkan
memerankan secara bersama-sama menjaga, menfasilitasi hubungan antara

63
kabupaten kota sebagai lembaga representasi daripada daerah untuk
mempertahankan kearifan lokal, memantapkan, mengembangkan, menggali
segala potensi daerah untuk kepentingan daerah itu sendiri.

4. Bpk. Prof. Drs. Ishak Pulukadang(Mantan DPRD Sulawesi Utara, Mantan


DPR RI)
Judul Materi :Strategi Memperjuangkan Posisi dan Peran DPD Setara dengan
DPR RI
Dari statement-statement yang kita dengar dari narasumber sebelumnya
Bpk. Victor, bahwa sebaiknya DPD dibubarkan saja, tapi menurut saya, DPD ini
sudah tidak dapat dibubarkan lagi. Kalaupun DPD sekarang dianggap sebagai
pembantu DPR itu bagi kami ketika menjadi fraksi sudah merupakan satu
langkah maju, daripada tidak diterima oleh DPR pada waktu itu memang
sebagian besar tidak setuju.
Ada 3 alasan, mengapa DPD ini hadir :
1. Sebagai pengganti fraksi ke DPR raya akan dibubarkan karena ada
amandemen UUD 1945, menghapus adanya fraksi-fraksi utusan golongan,
dsbnya. Dimaksudkan sebagai keterwakilan dari daerah, kepentingan parpol
terwakili dalam DPR, tapi tidak semata-mata aspirasi tentang adanya DPD
ini mencontoh dari barat.
2. Kehadiran DPD ini sebagai solusi dalam sistem politik Indonesia, karena
sering terjadinya penyimpangan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang
dominannya salah satu lembaga negara, apakah eksekutif, maupun legislatif.
Kehadiran DPD ini bukan meniru bicameral sistem, tetapi karena
pengalaman Indonesia sendiri selama tahun 1945-2004, sering bergantinya
dominasi legislatif, eksekutif yang mengakibatkan histabilitasi pemerintahan
dan membawa akibat KKN, Kolusi dan Nepotisme.
3. Alasan ketiga, agar terjadi prinsip take and balance, tidak saja antara
lembaga legislatif dan eksekutif tetapi juga antar lembaga. Hal ini didasarkan
pada pernyataan bahwa sementara DPR baik secara individu maupun
kelompok ternyata bukan melakukan fungsi pengawasan dalam pembahasan
terhadap kebijakan pemerintah menyangkut proyek-proyek APBN dan

64
lahirnya perundang-undangan tetapi yang terjadi adalah kolusi antara
eksekutif legislatif dan antara anggota legislatif sendiri.

Perlu ditegaskan di sini problematik demokrasi kita sekarang yang kita


kenal dengan demokrasi substansial, jadi ketika 5 tahun pertama era reformasi
kita mengenal demokrasi prosedural, bahwa pemerintah itu dibentuk melalui
pemilu sudah tercapai. Tetapi KKN bukannya berkurang bahkan makin meluas,
muncullah sekarang 2004 sampai sekarang apa yang disebutkan demokrasi
substansial yang mengutamakan prinsip balance of power, keseimbangan antara
eksekutif dan legislatif dimana kedua-duanya dipilih langsung oleh DPR oleh
rakyat, tapi yang muncul adalah kolusi, kolusi antara DPR sementara anggota
DPR dan eksekutif. Pertanyaan adalah siapa yang memonitor mereka? Dalam
suatu demokrasi memang kita mengharapkan peran apa yang disebut civil
society, apakah itu ormas, LSM dan lain sebagainya, tapi civil society
mengalami 3 faktor kelemahan.
1) Kurang profesionalnya SDM-nya. Kemampuan LSM yang mudah
direkayasa dari segala macamnya.
2) Tidak mempunyai akses dan efektivitas untuk memperjuangkan keputusan
politiknya.
3) Tidak mempunyai dana operasional untuk kegiatan-kegiatan itu, sehingga
mereka gampang direkayasa.
Itulah problematiknya sehingga civil society kita tidak mampu mengontrol
kolusi yang terjadi sekarang ini.

Secara lugas, DPD ini hanya pembantu DPR bisa kita lihat di dalam
UUD dan UU yang sudah disebutkan, hanya mempunyai 4 fungsi saja, dapat
melakukan, dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang, ikut
membahas rancangan undang-undang, ikut memberikan pertimbangan kepada
DPR atas rancangan undang-undang APBN yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU
mengenai kewenangan dan melaporkan pengawasannya kepada DPR.
Langkah-langkah strategis dalam mempertahankan posisi dan peran DPD
agar setara dengan posisi DPR.

65
1. Memilih pimpinan DPD yang mempunyai apa yang disebut political collage,
dan punya komitmen terhadap pentingnya prinsip cek and balance of power,
antar lembaga legislatif.
2. Membangun persepsi yang sama antara anggota DPD satu dengan yang lain
untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui penguatan posisi dan
peran DPD setara dengan DPR, dengan kata lain perlu apa yang disebut
syarat kekompakan di dalam DPD sendiri.
3. Menyusun agenda kegiatan dalam upaya memperjuangkan kepentingan
daerah melalui perubahan pasal yang mengibiri DPD untuk mendapat posisi
dan peran DPD.
4. Melibatkan anggota fraksi partai politik dalam kegiatan DPD dengan
memberikan fasilitas yang memperlancar keterlibatannya.
5. Membuat strategi melalui forum-forum pertemuan internal DPD untuk
memperjuangkan aspirasi DPD tentang posisi dan peran DPD.
6. Membuat strategi untuk membuat jalannya sidang MPR dan kalau perlu
melakukan tekanan yang sifatnya rasional.
7. DPD perlu menentukan apa yang disebut floor leader, yang mampu
memperjuangkan gagasan DPD tentang perlunya perubahan posisi dan peran
DPD untuk meyakinkan dan memperjuangkan dalam forum-forum resmi di
MPR maupun di fraksi-fraksi.
Untuk itu diperlukan pimpinan DPD dalam mengarahkan dan
memfasilitasi, sebab itu adalah salah satu faktor yang penting, karena tanpa
keberanian dan fasilitas ini suatu perjuangan tidak akan berhasil.

5. dr. Elly E. Lasut, ME (Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud)


Judul Materi : Peran DPD-RI Dalam Memperjuangkan Pembangunan
Pulau-Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Perbatasan

Ada beberapa hal yang menjadi persoalan dalam daerah perbatasan atau
pulau-pulau kecil dari Kepulauan Talaud, yang harus diambil oleh DPD.
Kepulauan Talaud, adalah remote areal, sehingga apabila dikaitkan
dengan kebijakan pemerintah, antara lain UU No. 32 tentang Pemerintashan
Daerah, yang secara konkrit bisa dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Beberapa

66
slogan yang tidak terealisasi dalam peraturan pemerintah maupun uu di
Indonesia ini.
1. Kep. Talaud sebagai daerah perbatasan atau pulau-pulau kecil yang
dinyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai beranda terdepan. Sehingga
perlu ada penataan-penataan oleh pemerintah pusat yang dikonkritkan
sebagai beranda terdepan, sehingga DPD RI bukan hanya dimasukkan
sebagai slogan-slogal tetapi harus diwujudknyatakan.
2. Konsep satu pulau
– Masalah transportasi, antara satu pulau dengan pulau yang lain tidak
ada masalah tentang hubungan antara satu desa dengan desa yang
lain atau antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Alokasi
keuangan politik oleh pemerintah pusat seharusnya memperhatikan
pola-pola seperti ini.
– Persoalan pulau miagas yaitu tentang perbatasan dimana tentang
masalah transportasi yang tidak memadai untuk menunjang tentang
konsep satu pulau. Sehingga begitu pentingnya DPD RI untuk
memperhatikan konsep ini.
– Konsep dana alokasi/pendanaan. Sumber pembangunan untuk satu
daerah kabupaten kota berasal dari dana perimbangan yang terdiri
dari dana alokasi umum (DAU) diserahkan langsung kepada
pemerintah daerah untuk dikelola, dana alokasi khusus (DAK) yang
dikelola langsung oleh pusat, dana perbantuan yaitu sumber dana
APBN yang dialokasi oleh kabupaten kota/provinsi yang dikelola
langsung oleh pemerintah pusat, sehingga perbantuan betul-betul
ditentukan oleh kemampuan kita melakukan lobi, dana dekonsentrasi
yaitu dana yang dari pemerintah provinsi yang sebenarnya ini
menjadi persoalan karena dana ini kadang-kadang tumpah tindih,
dengan yang menjadi kebijakan pemerintah daerah, ketika
pemerintah provinsi menetapkan berdasarkan kebijakannya sendiri,
kadang-kadang alokasi menjadi double, dana ini harus dikelola oleh
human resources yang jelas. Kadang-kadang alokasi dana yang
begitu tinggi sedangkan pengelolaan tidak berkesusaian dengan SDM
sehingga menjadi hambatan, padahal kondisi ini bisa dibalik karena

67
ada dana perbantuan dari pemerintah pusat, alokasi umum dan
otonomi daerah. dana bagi hasil, dana atau pendapatan asli daerah
yang dihasilkan oleh pemerintah daerah itu sendiri.

Perhitungan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)


Dana alokasi umum yang terdiri dari: Konstruksi bangunan, kondisi
daerah, indeks kemahalan konstruksi.
Indeks kemahalan konstruksi, sebagai contoh 266. Kalau harga

Perhitungan Indeks kemiskinan (IK)


Dalam memberikan alokasi dana (dana perimbangan) kadang tidak
melihat dari perhitungan indeks kemiskinan.

Konsep perhitungan luas laut dalam alokasi dana DAU, DAK,


perbantuan sangat penting. Talaud merupakan daerah terluas di
SULUT yakni 27.000 km2, tujuh kali lipat dari Bolmong Raya.
Karena itu faktor transportasi, komunikasi, perlu diterobosi lagi agar
luas laut itu diperhitungkan secara full, karena begitu pentingnya hal-
hal ini agar kabupaten kota di kep. Talaud bisa cepat terbangun

Status perbatasan sebagai kawasan ekonomi khusus


Dalam aturan UU No. 32 Tahun 2003 bahwa daerah perbatasan ini
akan dimasukkan dalam kawasan daerah khusus. Sehingga boleh
menjadi konsep border trade area seperti di Batam, hal yang sama
akan diperjuangkan di Bitung. Kep. Talaud memperjuangkan terlebih
dahulu yaitu SDM dulu baru infrastrukturnya.

Regulasi bidang keuangan


UU No. 1 tentang keuangan bahwa satu-satunya auditor resmi
pemerintah adalah BPK. Untuk menentukan korupsi tidaknya
seorang pejabat, yang berhak memberikan statement atau opini
adalah auditor yakni BPK.

68
Oleh karena itu DPD dan DPR RI kiranya dapat memberikan suara yang optimal
untuk memberikan masukan bahkan memperjuangkan Pembangunan Pulau-
Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Perbatasan di Kep. Talaud

SESI TANYA JAWAB

Pertanyaan untuk Bpk. Majid dan Pulukadang


1. Ibu Rieke Mononimbar
Masukan dalam rangka DPD-RI
1) Dalam melakukan segala sesuatu harus ada dasar atau payung hukum
Bagaimana peran DPD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat
atau memperjuangkan ke pusat tentu ada aturannya? Jadi
sebagaimana disampaikan oleh Bpk. Prof. Majid bahwa peran DPD
sangat lemah, sedangkan menurut Bpk. Prof. Pulukadang sangat
terbatas, karena itu kira perlu merubah UUD 1945 dan UU
Pemerintah. Kalau kita mengamanden sehingga apa yagn menjadi
tugas fungsi pokok dari DPD harus dimasukkan dalam pasal-pasal
sehingga mereka ada kekuatan ketika memperjuangkan aspirasi
rakyat.
2) Sebagaimana yang disampaikan oleh kepala biro pemerintahan
bahwa mereka harus masuk di dalam memperjuangkan segala
program dan kegiatan yang ada di daerah kita. Tidak hanya di pusat
tetapi apa yan kita programkan di daerah harus ada program,
sehingga aspirasi, anggaran diketahui sehingga perlu untuk
diperjuangkan ke pusat. Bagaimana bisa diperjuangkan kalau tidak
ada anggaran.
2. Bpk. Jolly Sualang
Peran DPD RI bisa dikatakan bahwa sebagai akademisi DPD bisa
dikatakan mandul, oleh karena perannya sangat dibatasi oleh DPD RI
sehingga kurang menarik, mereka yang duduk di DPD hanya sebagai
pelengkap saja dalam ketatanegaraan Indonesia. Kalau ada payung
hukum maka demokrasi bisa benar-benar jalan. Mengapa lembaga tinggi
lain seperti DPR bisa mengatur pemerintah padahal sistem pemerintahan

69
kita sistem presidensil, tapi dalam faktanya sistemnya telah berubah
parlementer, semua kebijakan-kebijakan pemerintah selalu harus
bertanya atau minta persetujuan DPR. Ini perlu adanya perubahan sistem
ketatanegaraan kalau dibeda-bedakan atau siapa yang berperan DPR atau
eksekutif nampak sekali, untuk mengangkat seorang pejabat harus
ditanyakan kepada DPR, apalagi peran DPD sangat tidak kelihatan,
sehingga perlu adanya sistem ketatanegaraan dalam kedudukannya.
Kalau hanya sebagai pelengkap sebaiknya dihilangkan saja.
3. Hendra
Berkaitan dengan masukan dan pertanyaan dari 2 orang tadi, sehubungan
dengan peran DPD, sangat lemah tugas dan fungsinya, karena dilihat dari
UUD 1945 disitu DPD tidak mempunyai wewenang untuk mengambil
suatu kewenangan. Dimana sebetulnya posisi dalam DPD?
4. Bpk. Edwin Moniaga
DPD sebagai langkah maju, untuk itu tidak perlu dibubarkan, karena
dilihat dari fungsi dan kewenangannya sebagai representasi regional.
Sehingga dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya mempunyai
sistem yang kuat. Pasal 42, 43 UU No. 23 Tahun 2003. Yang perlu
dimaksimalkan adalah fungsi pengawasan yakni menempatkan DPD
sebagai legislator.
Law center sebenarnya bisa menjadi posisi bargaining daerah, sebagai
data-data dan kajian sebagai masukan bagi DPD untuk melaksanakan
fungsi dan kewenangannya secara maksimal, misalnya Pemekaran atau
pembentukan daerah.
5. Bpk. Jemmy Sondakh
Pengaruh DPD dalam paradigma otonomi daerah. Dulu dikenal sebagai
paradigma dan sekarang DPD. Kira-kira adakah pengaruh paradigma
otonomi daerah dalam DPD? Apakah dengan pemberlakuan otonomi
daerah peran DPD semakin menguat atau semakin melemah? Apakah
solusi dalam memaksimalkan peran DPD terutama dalam menunjang
optimalitas sistem desentralisasi pemerintahan?
Jawaban: Bpk. Majid

70
Kewenangan DPD dibatasi, tidak mempunyai original power dalam UU,
karena itu bagaimana kita memberdayakan DPD ini bukan
membubarkan, dengan pertama-tama kita memperkuat landasan
hukumnya.
Jawaban: Bpk. Pulukadang
Kewenangan DPD yang terbatas, maka perlu adanya balance power antar
legislatif. Problemnya bagaimana menyetarakan antara DPD dan DPR.
Fungsi pengawasan tidak menjadi koleslator tapi legislator, karena itu
pentingnya DPD dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi rakyat.
Solusinya adalah dengan merubah pasal 22 dengan 8 langkah yang sudah
disampaikan.
Pertanyaan untuk Bpk. Elly Lasut

6. Jefferson Petonengan
Untuk membangun Kep. Talaud DPD harus lebih optimal
Menghadirkan dana untuk kep. Talaud dan untuk apa dana tersebut
sehingga terkelola dengan baik.
7. Christian Poae
Secara hukum perlu dikaji UUD 1945
Optimalkan tugas dan fungsi DPD sesuai dengan peraturan yang ada
Buat DPD sebagai lembaga pusat dan daerah.
8. Ibu Altje Musa
Peran DPD, ketentuan perundang-undangan mengenai peran DPD
sebetulnya sudah bagus, kalaupun DPD tidak hadir untuk membawa
aspirasi kita ke pusat, yang perlu kita pertanyakan apakah DPD akan
mampu memberikan aspirasi kita ke pusat untuk berbuat secara
maksimum dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, khususnya yang ada
di daerah.
Jawaban Bpk. Elly Lasut
Faktor yang mempengaruhi product domestic bruto yang paling banyak
adalah investasi pemerintah sedangkan untuk investasi swasta sangat
sulit.

71
Tingkat pertumbuhan kep. Talaud sudah sangat membalik, dimana
tingkat kemiskinan sangat drastis pada tahun 2005 baru 5,4%, 2006
menjadi 5,8%, sedangkan pada tahun 2008, menjadi 6,1%.

TANGGAPAN/MASUKAN dan PERTANYAAN


Prof. Moniaga
Apakah dewan perwakilan daerah ini representatif rakyat atau representatif
daerah? Kedua-duanya dipilih oleh rakyat, yang pertama rakyat memilih yang
satu DPR-RI dipilih oleh partai dan orang.
Dari segi kedudukannya baik menurut UUD maupun UU 22/23 yang saat ini
sebagai tahap finalisasi untuk perubahannya, baik DPD dan DPR-RI sebagai
lembaga negara. Untuk itu DPD mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi
legislasi, fungsi kontrol/pengawasan dan fungsi budget. Jika kita lihat dari cara
kerjanya maka DPD hanya sebagai alat pelengkap DPD-RI saja karena secara
kolektif segala sesuatu harus diserahkan atau bergantung kepada DPD-RI,
sehingga fungsi dan perannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Bpk. Michael Jacobus


Dalam sistem kelembagaan negara kita yakni sistem kelembagaan korup, di
mana uang negara rugi secara besar-besaran. Karena itu DPD yang tidak
berfungsi sebagaimana mestinya maka lembaga DPD perlu untuk dibubarkan.
Bpk. Godlieb Mamahit
Dalam hal peningkatan SDM, di Talaud banyak yang ingin S1 maka Fak.
Hukum membuka kesempatan dan peluang untuk bekerjasama, terlebih saat ini
punya kelas reguler sore.

Sdr. Susanto Ambisan


Peran DPD, pada prinsipnya penciptaan atau pendirian lembaga DPD hanya
akan menimbulkan banyaknya korupsi, karena itu sebaiknya lembaga DPD ini
dibubarkan saja.
Yang perlu dikritisi saat ini yakni dalam Kep. Talaud pemberdayaan SDM untuk
pembangunan Talaud lebih ditingkatkan. Untuk masalah korupsi sebaiknya
ditindak lanjuti agar tercipta pemerintahan yang jujur dan bersih.

72
Jawaban: Bpk. Elly Lasut
Soal kerjasama pendidikan nanti akan diupayakan, satu hal keinginan saya yaitu
ingin menjadi mahasiswa fak. Hukum, nanti akan diupayakan untuk pegawai
dapat belajar di fak. hukum.
Kerjasama untuk kuliah di Australia, dimana 20 orang yang ingin belajar di
sana, ketika selesai kuliah harus menetap dan membangun pulau Miangas.
Salah satu langkah yang diambil yaitu informasi korupsi yang berbau
menyudutkan pemerintah daerah yakni dengan korupsi, namun kami sebagai
pemerintah akan berusaha untuk dapat berbuat lebih banyak agar tercipta
pemerintahan yang baik, bersih dan jujur.

73
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah demikian luas
dengan keanekaragaman yang sangat kompleks, pemberian otonomi kepada
daerah merupakan sesuatu yang mutlak. Kesadaran akan mutlaknya otonomi
daerah tersebut dimulai oleh para pendiri dan pembentuk Republik ini
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti
dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan
kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.
Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945,
secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-
Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan
yang demikian telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 dan
Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak
hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal
dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan
pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan
keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama
dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang
wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan
sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang)
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan
tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan
kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu
prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi
daerah yang berbeda-beda.

74
Dalam analisis hasil penelitian “dapat saja” dikatakan bahwa
ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah salah satu indikatornya yang
sangat berpengaruh yang tidak disadari selama ini adalah karena para pengambil
kebijakan/penentu; tidak tinggal dan hidup di daerah (tertinggal) tapi (lebih ber-
kecenderungan) hidup dan tinggal di pusat ibukota (jiwanya ada di pusat ibu
kota), sehingga secara psikologis, insting kepekaan batinia untuk membangun
daerah (membangun rumah sendiri) tidak ada, kalaupun ada hanya karena
tuntutan atas dorongan formalitas jabatannya saja, bukan timbul dari dorongan
kepekaan bathin, sehingga gaungnya timbul sekedar retorika dan yang
dihasilkan adalah berbagai macam konsep-konsepan ‘membangun’ dan tidak
teraktualisasi karena hanya dokemen ‘laporan’ sebagai pemenuhan syarat
administrasi semata sebagai wakil rakyat.
Kalau DPR konsentrasi kehidupannya di ibukota negara, seharusnya
DPD harus memili lebih banyak hidup dan bergaul di daerah utusannya.Anggota
DPD dengan kehidupannya sehari-hari di daerah dapat langsung merekam
keberadaan daerah tersebut dan dibawah dalam sidang DPD tanpa melalui
mekanisme tawar menawar dan untung rugi partai politik seperti yang terjadi
lewat perwakilan partai politik.
Dalam penelitian ini, gambaran yang dapat diungkapkan mengenai
keberadaan DPD RI sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah
bahwa dengan kehadiran DPR RI, hubungan pusat dan daerah secara struktur
kelembagaan dipandang dapat menjangkau semua aspirasi dan kebutuhan
seluruh daerah di wilayah NKRI. Tetapi menjadi kendala adalah
egoisme/egosentris kelembagaan yang sesungguhnya hal itu datang dari
kesadaran personal (mentalitas SDM) internal DPD itu sendiri dan lembaga lain
yang menganggap DPD hanya sebagai pelengkap tuntutan reformasi tanpa
fungsi (pemeran “figuran”).

B.SARAN
DPD harus diadvokasi dan “diberdayakan” di dalam tubuh parlemen.
Harus ada advokasi dari semua komponen untuk menghentikan pengebirian
terhadap fungsi dan kewenangan DPD dan mewacanakan kepada publik bahwa
realitas politik ini jangan sampai dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

75
Advokasi ini juga harus pada level aksi mendorong secara kuat
terjadinya perubahan di level perundangan yang mengatur fungsi dan
kewenangan DPD dalam kerangka penguatan DPD RI. DPD RI yang kokoh
akan berarti memperkuat legitimasi lembaga perwakilan di hdapan publik.
Memperkuat DPD adalah pilihan paling masuk akal, bahkan suatu
kelaziman agar lembaga perwakilan kita bisa sesuai dengan napas dan gerak
demokrasi di negeri ini.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa DPD harus diperkuat. Pertama,
persoalan fundamental dalam berbangsa dan bernegara, integrasi bangsa.
Hampir semua negara yang memiliki wilayah begitu luas, dengan jumlah
penduduk besar, serta di dalamnya terdapat dinamika dari aneka suku dan
agama, lembaga perwakilannya menganut sistem dua kamar. Apakah Negara
tersebut bentuk kesatuan atau federal, dengan sistem pemerintahan presidensial
atau parlementer, itu bukan soal utama. Bikameralisme tidak melulu dipakai
oleh negara berbentuk federal, tetapi negara kesatuan yang menerapkan
desentralisasi, seperti Indonesia, juga sangat penting menerapkannya.
Bikameralisme harus dimaknai sebagai instrumen untuk memperkuat kesatuan
negara.

76
DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung,


1982.
Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan
RI, Pustaka, Jakarta, 2005.
Ateng Syafrudin, Memantapkan Pemerintahan Yang Bersih, Kuat dan
Berwibawah, Tarsito, Bandung, 1982.
----------. Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung,
1982.
Baban Sobandi, dkk, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan
Daerah, Humaniora, Bandung, 2005.
Bagir Manan., Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Bhenjamin Hoessein, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi
Daerah, Makalah Bappenas, Jakarta.
Deddy Supriady Bratakusuma dan Dandang Solichin, Otonomi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003.
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai
dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2004.
Filler, Ewal (ed), Children in Touble United Nations Expert Group Meeting,
Austrian Federal Manistry For Youth and Family, Austria, 1995.
Gautama, C, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan, Bekerjasama Dengan The Asia Foundation, Jakarta,
2000.
Gosita Arif, MasalahPerlindunganAnak, AkademikaPresindo, Jakarta, 1983.
Irwanto, Perlindungan Anak, prinsip dan Persoalan Mendasar, Makalah pada
Seminar Kondisi dan Penaggulangan Anak Jermal, LAAI, 1997.
Katjasungkana, Nursahbani, LembagaPerlindunganAnak, Prospek dan
Permasalahan, Plan Indonesia, Edisi No. 9. Jakarta, 1996.
Krisnawati Emeliana, AspekHukumPerlindunganAnak, CV. Utomo, Bandung,
2005.
Levin Leah Hak Asasi Anak-Anak, Dalam Hak Asasi Manusia (Human Rights)
(Penterjemah) A. RahmanZainudin (Penyunting) dan PeterDavies,
YayasanOborIndonesia, Jakarta, 1994.
Mohammad, J, AspekHukumPerlindunganAnak, CitraAdityaBakti, Jakarta,
1999.

77
Salam FaisalMoch, Pengadilan HAM Di Indonesia, Pustaka, Bandung, 2002.
St. Sularto, SeandainyaAkuBukanAnakmu, PT.Kompas, Jakarta, 2002.
Suseno FranzMagnis, Kuasa & Moral, PT. GramediaPustakaUtama, Jakarta.
2001.
Syamsuddin, M.S, NormaPerlindunganDalamHubungan Industrial, Sarana
Bhakti Persada, Jakarta, 2004.
Wahyono Agung, Tinjauan tentang Peradilan Anakdi Indonesia, SinarGrafika,
Jakarta, 1993.

Sumber-sumber lain

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak


Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasiManusia
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Web Site :

http://revitriyoso.multiply.com/journal/
http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/
http://www.kabarindonesia.com/berita

78

Anda mungkin juga menyukai