Judul :
Oleh :
Tim Peneliti
Fakultas Hukum Unsrat
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................7
A. Konsep Negara Hukum ...........................................................................................7
B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi....................................................................10
1. Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pemerintahan.......................10
2. Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi...................................................22
3. Beberapa Jenis Sistem Otonomi.......................................................................24
C. Desentralisasi dan Kewenangan.........................................................................30
1. Kewenangan dan Urusan..................................................................................30
2. Sumber-sumber Kewenangan ..........................................................................33
3. Kewenangan Daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004...........................35
D. Dinamika Ketatanegaraan dan Kehadiran DPD RI .........................................35
1. Perubahan UUD 1945..........................................................................................35
2. Dua Kamar atau Satu Kamar............................................................................37
E. Fungsi dan Peran DPD RI sebagai Alat Kelengkapan Negara .......................39
1. Keanggotaan DPD – RI.......................................................................................39
2. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD – RI ..........................................................39
3. Hak dan Kewajiban Anggota DPD – RI ...........................................................40
4. Alat Kelengkapan DPD RI ..................................................................................41
5. Penyerapan Aspirasi Masyarakat.....................................................................43
6. Proses Penyaluran Aspirasi Masyarakat...........................................................43
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...............................................................45
BAB IV METODE PENELITIAN ..........................................................................................46
A. Pendekatan Penelitian ..........................................................................................46
B. Bahan Penelitian .....................................................................................................47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................48
A. Kondisi Hubungan Pusat dan Daerah terkait Peran dan Fungsi DPD RI ....48
ii
B. DPD RI dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif baru di
Indonesia. .....................................................................................................................50
C. Pentingnya Keberadaan DPD-RI Sebagai Representasi Daerah Di Tingkat
Pusat ..............................................................................................................................53
E. Dinamika Tuntutan Pemerataan Pembangunan (Kesejahteraan
Masyarakat) .................................................................................................................54
G. DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah........................................................54
G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI .........................58
BAB VI PENUTUP ..............................................................................................................74
A. KESIMPULAN .............................................................................................................74
B. SARAN .......................................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................77
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
belum berkembang secara efektif. Mental aparat pemerintah belum sepenuhnya
berubah.
Sebagaimana contoh, sejak lama dua provinsi yang kaya SDA tidak
merasa keuntungannya sebagai bagian dari NKRI sehingga memunculkan
gerakan separatisme. Sentralisme dalam urusan pemerintahan juga menyebabkan
bahwa kekayaan alam dari daerah tersedot ke pusat, dan Jawa mendapat bagian
yang jauh lebih besar daripada hasil penerimaannya ketimbang daerah penghasil
seperti Riau dan Kalimantan Timur. Riau adalah provinsi yang terkaya akan
tetapi tingkat kemiskinan penduduk (asli) cukup besar, demikian juga di Papua
dengan penghasilan dari pertambangan (Free Port).
Beberapa karakteristik legal yang tampaknya perlu dipahami oleh
masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain adalah : (Desi
Fernanda, 2002)
3
5. Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya Kepala Daerah
wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada
setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6. Kedudukan keuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya
desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan
keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki
otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban
melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.
7. Struktur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh
bervariasi sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Sedangkan
Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan
wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.
8. Pengawasan oleh Pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga
terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otonominya tanpa
campur tangan Pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang
bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.
4
masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap
menunggu ini akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena
sesungguhnya pelaksanaan otonomi daerah akan sangat diuntungkan dengan
adanya partisipasi masyarakat.
5
kesejahteraan para eksekutif maupun legislatif tingkat daerah merupakan bukti
yang nyata. Kedua, kendala yang muncul berikutnya adalah rendahnya kualitas
dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perda-perda yang ditelorkan
sebagai konsekuensi dari perubahan pola anggaran proyek dan program telah
menimbulkan kekhawatiran baru, karena ternyata di daerah tingkat I dan II
masih minim staf akhli di bidang keuangan dan manajemen yang diperlukan
(Bisri, 2002)
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
hukum Inggris (common law). Selanjutnya sebaga akibat negara kita, Indonesia
pernah menjadi koloni Belanda, maka dengan serta merta pula sistem hukum
yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang sama berlaku di negara
Belanda yang kebetulan berada di Benua Eropa yang dikenal dengan sistem
hukum Etopa Kontinental atau Civil Law System.
Dalam kaitan dengan konsep negara hukum tersebut, Freidrich Julius
Stahl (Ridwan. HR, 2002), menegaskan, bahwa unsur-unsur negara hukum
Eropa Kontinental (rechtstaat)yaitu :
a. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak
itu;
c. Adanya pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, dan;
d. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan.
Teori Negara Hukum menurut Hirsch Ballin (Bovens, 1987);
a. Penguasa harus terikat pada hukum;
b. Negara harus menghormati hak-hak mengenyam kebebasan;
c. Setiap kebijakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang;
d. Mengupayakan terwujudnya keadilan sosial;
e. Hukum harus jelas dan stabil.
Teori Negara Hukum menurut Reuters (Bovens, 1987):
a. Pemisahan kekuasaan (separation of power);
b. Kebijakan negara yang bersifat strategis harus dputuskan dalam lembaga
perwakilan rakyat (DPR).
Teori Negara Hukum menurut C.J.M. Schuyt (1983):
a. Menganut asas legalitas;
b. Perlindungan hukum bagai warga;
c. Pemerintah harus tunduk pada hukum;
d. Adanya akuntabilitas publik.
Teori Negara Hukum menurut Rosenthal )Bovens, 1987):
a. Desentralisasi kekuasaan;
b. Primat dalam politik;
c. Keterbukaaan pemerintahan;
8
d. Pertimbangan yang cermat tentang kepentingan rakyat dalam setiap
keputusan pemerintah.
Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula suatu konsep negara
hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang secara kebetulan juga konsep
tersebut lahir di bawah bayang-bayang sistem hukum Anglo Saxon.
Unsur-unsur negara hukum (rule of law) menurut A.V Dicey dalam
bukunya berjudul An Introducion to the Study of the Law of the Constitution,
(1973) adalah :
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of orbitary power), bahwa
seseorang hanya boleh dihukum kalau terbukti melanggar atura hukum
yang ada.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the
law)
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-
keputusan pengadilan.
Teori Negara Hukum menurut Berman (Bovens, 1987):
• Rule of Law, yaitu mengadakan pengaturan dengan hukum atau menetapan
hukum secara teratur;
• Rule under law, yaitu mengadakan pengaturan di bawah kewenangan hukum
atau mengadakan perubahan sebagaimana yang diatur hukum;
• Rule of Law, yang mencakup separation of power, checks and balances, dan
equality before the law.
Teori Fungsi Negara menurut L.A. Geelhoed (1983):
a. Fungsi membuat peraturan (de regulende);
b. Fungsi menyelenggarakan layanan publik (de presterende);
c. Fungsi mengendalikan aktivitas warga (de stuurende).
d. Fungsi menyelesaikan sengketa (de arbiterende).
9
konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut Common Law
System.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sistem hukum Romawi-
Jerman berjalan dan bertumbuh atas dasar peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Common Law System, tidak dikembangkan dalam universitas atau
melalui penulisan doktrinal, melainkan oleh para praktisi dan proseduralis.
Keadaan ini kemudian menjelaskan mengapa sistem common law tidak dimulai
dengan prinsip—prinsip hukum, melainkan langsung mengenai kaidah-kaidah
untuk kasus-kasus konkrit (Sutjipto Rahardjo, 2000).
Karakteristik Civil Law adalah administratif, sedangkan karakteristik
Common Law adalah judicial.Perbedaan karakteristik yang demikian,
disebabkan lebih karena latar belakang kekuasaan raja.Pada zaman Romawi,
kekuasaan yang menonjol dari seorang raja adalah membuat peraturan melalui
dekrit.Kekuasaan tersebut kemudian, didelegasikan kepada pejabat-pejabat
administratif yang membuat pengarahan-pengarahan yang dalam bentuk tertulis
bagi hakim tentang bagaimana memutus atau menyelesaikan suatu sengketa.
Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan apabila
dalam sistem kontinental pada mula pertama muncul cabang hukum baru yang
disebut “droit administrative” dan inti dari droit administrative adalah
hubungan antara administrasi dengan rakyat.
10
dengan arti kata otonomi itu sendiri yang secara etimologis berasal dari bahasa
latin ‘auto’ yang berarti sendiri dan ‘nomein’ yang berarti peraturan atau
undang-undang. Menurut Winarsa Surya Adisubrata, (2003), otonomi berarti
“mengatur sendiri atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri”
Dalam literatur Belanda yang dikutip S.H. Sarundayang (1999) otonomi
berarti ‘pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoeven dibagi
atas zelwegeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering
(melaksanakan sendiri), zelfrehtspraak (mengadili sendiri) dan selfpolitie
(menindaki sendiri). Menurut Winarsa Surya Adisubrata (2003), otonomi daerah
itu mencakup 3 pengertian yaitu : Pertama, Hak untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri; Kedua, Wewenang untuk mengatur daerah sendiri;
Ketiga, Kewajiban untuk mengatur rumah tangga sendiri.
Logeman (dalam Sunindhia, 1987), mengatakan “bahwa istilah otonomi
mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan.Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah
wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan”.Hal senada
juga disampaikan Wajong (1975) yang mengatakan otonomi adalah “kebebasan
untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan
sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri”.
Jadi otonomi merupakan pemberian kebebasan untuk mengurus rumah
tangga sendiri, tanpa mengabaikan kedudukan pemerintah Daerah sebagai aparat
Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan tugas-tugas yang ditugaskan
kepadanya.Dengan demikian kebutuhan otonomi dalam pemerintah daerah
dimaksudkan untuk memperbesar keawenangan mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri dan memperkecil intervensi pemerintah Pusat dalam urusan
rumah tangga daerah.
Pemberian otonomi kepada daerah adalah mengutamakan kepentingan
rakyat di daerah tetapi juga memperhatikan kepentinga seluruh rakyat dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.Jadi pemberian otonomi daerah bertujuan
untuk pengembangan daerah berupa peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah
dalam rangka pembangunan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia. Dari
11
pemahaman otonomi daerah tersebut maka pada kahikatnya otonomi daerah
adalah :
a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonomi. Hak
tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan
pemerintah yang diserahkan kepada daerah.
b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah
tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang
otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya.
c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang
diserahkan kepadanya.
d. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan
megurus rumah tangga sendiri bukan merupakan sub ordinasi hak
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
12
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti
dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan
kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.
Sebagaimana dikemukakan Soepomo (dalam Winarsa Surya Adisubrata :
2003), bahwa “otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan
regional menurut riwayat, adat, sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karenanya pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang
bermaksud menyeragamkan seluruh daerah menurut satu model”.
Oleh karena itu pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.Sedangkan
daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah “Kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-baatas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setepmat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistemm Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
Dari konsep otonomi yang dikemukakan di atas maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah setidaknya
meliputi empat aspek sebagai berikut :
a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi
dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun
untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka
pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah.
b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-
jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.
c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkan kemandirian masyarakat sehingga makin mandiri dan
tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta
memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhannya.
13
d. Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan pelaksanaan
program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang
semakin meningkat.
14
Sementara itu, Koswara (1996) mengemukakan bahwa pengertian
desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses
desentralisasi urusan-urusan pemrintahan yang semula termasuk wewenang dan
tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagian diserahkan kepada badan/lembaga
Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan
tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah
Daerah. Prakarsa untuk menentukan prioritas, memilih alternatif dan mengambil
keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal
menentukan kebihaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan sepenuhnya
diserahkan kepada daerah.Demikian pula hak yang menyangkut pembiayaan dan
perangka pelaksanaannya, baik personel maupun alat perlengkapan sepenuhnya
menjadi kewenangan dan tanggungjawab daerah yang bersangkutan.
Cohen and Petterson (1999) melihat formulasi dan pelaksanaan reformasi
dan progam desentralisasi melalui tiga fase:
“In the early 1960s proponents of decentralization focused on
using the intervention to assist colonies in beginning a
transition to independence, achieving political ewuity, and
responding to rising demand for public goods and services.
The second phase in decentralization occurred form the mind –
1970s to the early 1980s. aid agencies urged government of
both long independent and newly emerging countries introduce
decentralization reforms and programs in order to promote
development objectives, such as improved management and
sustainability of funded programs and projects, egable
distribution og ecenomic growth, and facilitation of grassroots
participation in development processes. Finally, since the mid-
1980s aid agencire have use structure adjustment
coonditionalities to pressure government to adopt
administrative decentralization reform and program. In part,
this is being done to promote the emergence of civil societie, to
support the growth of democratic institutions, and to respond
to ethnic, religious, or nationalist demands for regional self
gobernment and greater autonomy”. (pada awal 1960-an
pendukung desentralisasi memusatkan perhatian untuk
membantu negara jajahan menuju kemerdekaan, keberhasilan
hak-hak politis, dan menangani masalah meningkatnya
permintaan untuk barang-barang public dan jasa. Tahap yang
kedua, desentralisasi terjadi dari pertengahan 1970-an sampai
awal 1980-an. Para pendukung menghimbau pemerintah yang
mandiri dengan memperkenalkan negara-negara desentralisasi
dengan reformasi dan programnya dalam rangka
memproomosikan hasil pembangunan, seperti peningkatan dan
15
kelanjutan dari proogram biaya dan proyek, kesamaan
kemampuan, distribusi pertumbuhan ekonomi, dan pemberian
kemudahan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan. Terkahir, sejak pertengahan 1980-an, bantuan
para pendukung menggunakan penyesuaian keadaan struktur
dengan memaksa pemerintah untuk mengadopsi perubahan dan
program desentralisasi administratif.Pada tahap ini adalah
mempromosikan kemunculan masyarakat sipil, untuk
mendukung pertumbuhan lembaga demokrasi, dan merespon
terhadap adanya berbagai hal yang berkaitan dengan kesukuan,
keagamaan, kebangsaan atau tuntutan swapraja dan otonomi
yang lebih besar).
16
yang pokok dan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi, pemerintahan
daerah otonomi mempunyai makna yang penting karena dapat melindungi dana
memperjuangkan hak-hak warga negara dan juga dalam membangun pendidikan
warga negara).
Bagi bangsa Indonesia sendiri keperluan atas Pemerintah Daerah seperti,
Provinsi, Kabupaten, dan Kota setidaknya untuk meningkatkan akuntabilitas.
Pemerintahan lokal secara global semakin dilihat sebagai suatu agen
pembangunan yang penting, dan seharusnya juga diketahui bahwa tingkat ini
merupakan yang paling penting bagi partisipasi “akar rumput” karena ia yang
paling dapat menanggapi kondisi dan kebutuhan setempat. Dalam alur pikir
yang tidak jauh berbeda, Ateng Syafrudin, (1982) menegaskan,
“zelfgovernment”atau“zelfbestuur”di daerah adalah merupakan suatu
keharusan, yakni bagi suatu daerah yang telah mendapatkan otonomi.
Dalam kontek demokrasi, keberadaan government menurut B.C. Smith
(1985) :
“Mainly two categories; there are that claim local government
is good for national democracy; and there are those where the
major concern is with the benefits to the locality of local
democracy. Each can be futher subdivided into three sets of
interrelated values. At the national lebel these balues relate to
political education, training in leadership and political
stability. At the local level the relevant values are equality,
Liberty and responsiveness. (ada dua kategori yang penting
dalam pemerintahan daerah, Pertama, untuk membangun
demokrasi di tingkat nasional, kedua, memberikan keuntungan
untuk demokrasi pada tingkat lokal atau daerah. Setiap tingkat
selanjutnya dibagi ke dalam tiga hal yang saling berkaitan.Pada
tingkat nasional hal-hal tersebut berkaitan dengan pendidikan
politik, pelatihan kepemimpinan, dan stabilitas politik.Pada
tingkat lokal atau daerah berkaitan dengan kesamaan,
kemerdekaan dan tanggungjawab).
17
organization within the state. Variously called communes,
municipalities or parishes, local government is constitutionally
subordionate to provincial authority (in federations) or
national government (in unitary states)”.(Pemerintah Daerah
adalah hal yang universal, karena dapat ditemukan baik pada
negara berbentuk federal maupun negara kesatuan.Beragam
sebutannya Kota Besar, Kotapraja, atau Daerah, pemerintahan
daerah secara konstitusional di bawah kewenangan Provinsi
(dalam negara federasi) atau dibawah pemerintahan nasional
(dalam negara kesatuan))”.
18
dalam perencanaan dan tanggung jawab adinistrasi tertentu kepada organisasi
swasta.
Di kalangan sarjana Indonesia Amrah Muslimin (1982) membedakan
desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan
desentralisasi kebudayaan.Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan
dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah
tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh
rakyat dalam daerah-daerah tertentu.Desentralisasi fungsional adalah pemberian
hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau
golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu
daeah tertenu, umpama mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam
suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; subak Bali).
Desentralisasi kebudayaan (cultured decentralization) memberikan hak
pada golonga-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk
menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama).
Irawan Soejito (1990) membagi bentuk desentralisasi ke tiga macam, yaitu
desentralisasi territorial, desentralisasi fungsional termasuk desentralisasi
menurut dinas atau kepentingan, dan desentralisasi administratif atau lazim
disebut dekonsentrasi.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian kewenangan Pemerintah
Pusat kepada alat perlengkapan atau organnya sendiri di daerah, sedangkan yang
dimaksud dengan desentralisasi territorial adalah desentralisasi kewenangan
yang dilakukan oleh pemerintah kepada suatu badan umum (openbaar lichaam)
seperti persektutuan yang berpemerintahan sendiri.Desentralisasi fungsional,
yaitu pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan negara atau daerah untuk
diselenggarakan atau dijalankan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus
dibentuk untuk itu.Tresna (dalam Irawan Soejito, 1990) mengikuti
penggolongan desentralisasi menjadi ambtelijke decentralisatie atau
deconcentratie dan staatkundige decentralisatie, yang dibedakan menjadi
territoriale decentralisatie dan funtionale decentralisatie.
Amtelijke decentralisatie (dekonsentrasi) diartikan sebagai “pemberian
(pemasrahan) kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna
kelancaran pekerjaan semata-mata”.Staakundige decantralisatie diartikan
19
sebagai “pemberian (pemasrahan) kekuasaan mengatur kepada daerah-daearh di
dalam lingkungannya, guna mewejudkan asas demokrasi di dalam pemerintahan
negara”. Mengenai pengertian territoriale decentralisatie danfunctionale
decentralisatie tidak berbeda dengan pengertian yang diajukan di muka. Lebih
lanjut Tresna mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai dua wajah yaitu
autonomie dan medebewind atau zelfbestuur.
Desentralisasi ketatanegaraan menurut RDH Koeseomahatmadja, (1979)
dapat dibagi lagi dalam 2 macam :
a. Desentralisasi territorial (territorial decentralisatie), yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah masing-masing (otonomi)
b. Desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie),
yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam
desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-
kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-
golongan yang bersangkutan itu sendiri.
20
e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi desentralisasi diperlukan
karena Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung
membantu pembangunan tersebut.
Secara terminology terdapat beberapa pengertian dan deginisi dari
desentralisasi yang dapa disimpulkan oleh Dharma Setyawan Salam (2004),
yaitu :
a. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi
pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.
b. Secara administratif diartikan sebagai pemindahan beberapa kekuasaan
administratif departemen Pemerintah Pusat ke daeah dan dikenal dengan
nama “dekonsentrasi”
c. Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan
dan kontrol terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal
dikenal dengan nama “devolusi”.
d. Ditinjau dari segi privatisasi diartikan sebagai pemindahan tugas-tugas yang
bersifat mencari untuk ataupun tidak kepada organisasi sukarela.
e. Dipahami sebagai delegasi diartikan pemindahan tanggungjawab manajerial
untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasi-organisasi yang berada di luar
struktur Pemerintah Pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh
Pemerintah Pusat.
f. Ditinjau dari jabatan diartikan sebagai pemencaran kekuasaan dari atasan
kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan dengan
maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja dan termasuk dalam
dekonsentrasi juga.
g. Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagai penyerahan untuk mengatur
daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan rasa
demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi ini ada dua macam
yaitu desentralisasi territorial (penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri) dan desentralisasi fungsional
(pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu).
h. Penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya
kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.
21
2. Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi
Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang
berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara
demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi, menurut Bagir Manan (2001)
dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan
(spreiding can bevoedheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan
(sceiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan
pemerintah negara antara Pemerintah Pusaat dan satuan-satuan pemerintah
tingkatan lebih rendah. Hal ini dikarenakan desentralisasi senantiasa berkaitan
dengan status mandiri atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai
desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti
membicarakan otonomi.
Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan
otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan
otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S. Maryanow
(2003), menurut pakar ini, desentraliasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi
dari satu mata uang.
Istilah otonomi atau “autonomy” secara etimologis berasal dari kata
Yunani “áutos” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti hukum atau
peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam
pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual
independence.Jadi ada dua ciri hakekat dari otonomi, yakni legal self sufficiency
dan actual independence.Dalam kaitan dengan politik atau pemerintahan,
otonomi daerah berarti self government atau condition of living under one’s own
laws.Dengan demikian otonomi daerah, yang memiliki legal self sufficiency
yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own
laws.Koesoemahatmadja berpendapat bahwa menurut perkembangan sejarah di
Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling) juga
mengandung arti pemerintah (bestuur).
Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintah sendiri
(zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat
undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak
(mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri.(Sarundayang,
22
1999).Menurut Bagir Manan (2001) otonomi bukan sekedar pemencaran
penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas
pemerintahan.Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk),
bukan haya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk).Sebagai
tatanan ketatanegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan
susunan organisasi negara.
Menurut Rasyid (2000), desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai
tempatnya masing-masing. Istilah otonomi lebih pada political aspect (aspek
politik-kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada
administrative aspect (aspek administrasi negara).Namun jika dilihat dari
konteks sharing of power (berbagi kekuasaan), kedua istilah tersebut
mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan.
Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian
(zelfstanddigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid).Kebebasan
yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggungjawab, menurut
Ateng Syafrudin (1982) terkandung dua unsur yaitu :
1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta
kewenangan untuk melaksanakannya;
2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untukmemikirkan dan
menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.
Pada bagian lain Bagir Manan (1993) menyatakan,otonomi adalah
kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) satuan pemerintahan
lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu
menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih
rendah tersebut.Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.
Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan kemerdekaan
(onafhankelijkheid), independency).Kebebasan dan kemandirian itu adalah
kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar.Otonomi
sekedar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata
negara khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara
kesatuan (unitary state, ennheidstaat). Otonomi adalah fenomena negara
23
kesatuan.Segala pengertian (begriip) dan isi (materiel) otonomi adalah
pengertian dan isi negara kesatuan.Negara kesatuan merupakan landasan atas
dari pengertian dan isi otonomi.
Sementara Bhenyamin Hoessein (1993), mengartikan otonomi hampir
paralel dengan pengertian “demokrasi”, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga
pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat. Bahkan
otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit.Dalam arti luas, otonomi
mencakup pula tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan
kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik
asas maupun cara menjalankannya, sedangkan pada tugas pembanguan,
kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankan. Dari
pengertian tersebut terlihat antara otono I dan demokrasi merupakan satu
kesatuan semangat sebagai bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat
sebagai penentu yang utama dalam negara.
Ditinjau dari mekanisme pemberian otonomi dalam negara kesatuan
(unitarisme) otonomi diberikan oleh Pemerintah Pusat (central government),
sedangkan Pemerintah Daerah hanya menerima penyerahan dari Pemerintah
Pusat.Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, dimana otonomi
daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang dimiliki
oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh
negara bagian.
Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan
kecenderungan kewenangan yang besar berada di central government,
sedangkan dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar pada
local government. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah dalam negara
kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan otonominya pada
political will Pemerintah Pusat, yaitu sampai sejauh mana Pemerintah Pusat
mempunyai niat baik untuk memberdayakan local government melalui
pemberian wewenang yang lebih besar.
24
urusan Pemerintah Pusat dan urusan lain menjadi urusan tumah tangga daerah
sendiri, sehingga harus ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan
cara pembagian urusan dikenal adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu,
yakni cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah.
Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan
cara membegi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian
tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang
dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.
Bila otonomi diartikan sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau
dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Daerah, maka di
dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht;
bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada
daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya kewenangan mana yang diatur
oleh Pemerintah Pusat dan kewenangan mana yang diatur Pemerintah Daerah.
Sehubungan dengan itu, secara teoretik dan praktik menurut Sarundayang (1999)
dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yaitu :
a. Otonomi organis (rumah tangga organik)
b. Otonomi formal (rumah tangga formal)
c. Otonomi material (rumah tangga materiil/substantif)
d. Otonomi riil (rumah tangga riil)
e. Otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis.
Kelima jenis otonomi (rumah tangga) tersebut diuraikan satu persatu
oleh Sarundayang (1999), sebagai berikut :
Pertama, otonomi organik atau rumah tangga organik; otonomi bentuk
ini pada dasarnya menentukan bahwa urusan—urusan yang menyangkut
kepentingan daerah diibaratkan sebagai orgran-organ kehidupan yang
merupakan suatu sistem yang menentukan mati hidupnya manusia, misalnya
jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Tanpa kewenangan untuk mengurus
berbagai urusan vital, akan berakibat tidak berdayanya atau matinya daerah;
Kedua, otonomi formal atau rumah tangga formal; otonomi bentuk ini
adalah apa yang menjadi urusan otonomi tidak dibatasi secara positif. Satu-
25
satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh
mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Dengan demikian daerah otonom lebih bebas mengatur urusan
rumah tangganya, sepanjang tidak memasuki “area” urusan Pemerintah
Pusat.Otonomi seperti ini merupakan hasil dari pemberian otonomi berdasarkan
teori sisa, dimana Pemerintah Pusat lebih dulu menetapkan urusan-urusan yang
dipandang lebih layak diurus pusat, sedangkan sisanya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah.
Ketiga, otonomi materiil atau rumah tangga materiil; dalam otonomi
bentuk ini kewenangan daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan
menyebutkan secara limitatif dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak
diatur dan diurusnya. Dalam otonomi materiil ini ditegaskan bahwa untuk
mengetahui apakah suatu urusan menjadi rumah tangga sendiri, harus dilihat
pada substansinya. Artinya bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat
menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka pemerintah lokal yang mengurus rumah
tangga sendiri pada hakekatnya tidak akan mampu menyelenggarakan urusan
tersebut. Sebaliknya apabila suatu urusan secara substansial merupakan urusan
daerah, maka Pemerintah Pusat meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang
berada di daerah (Pemerintah Pusat di daerah), tidak akan mampu
menyelenggarakannya. Kemudian untuk penyelenggaraan rumah tangga itu
objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau dirinci secara
enumeratif;
Keempat, otonomi riil atau rumah tangga riil; otonomi bentuk ini
merupakan gabungan antara otonomi formal dengan otonomi materiil. Dalam
Undang-undang pembentukan otonomi, kepada Pemerintah Daerah diberikan
wewenang sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan
wewenang lain secara bertahap, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Atau dengan kata lain, otonomi riil
ini pada prinsipnya menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan wewenang
urusan tersebut didasarkan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan
daerah yang menyelenggarakannya;
Kelima, otonomi nyata, bertanggungjawab, dan dinamis, artinya : nyata,
artinya pemberian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada Pemerintah
26
Daerah memang harus disesuaikan dengan faktor-faktor tertentu yang hidup dan
berkembang secara objektif di daerah. Hal tersebut harus senantiasa disesuaikan
dalam arti diperhitungkan secara cermat dengan kebijaksanaan dan tindakan-
tindakan, sehingga diperoleh suatu jaminan bahwa daerah itu secara nyata
mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam praktik bahwa
isi otonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya tidaklah sama, baik
mengenai jumlah maupun jenisnya. Hal itu wajar karena setiap daerah memiliki
perbedaan baik letak geografis, kondisi geologis, maupun budaya, adat istiadat,
serta potensi yang dimilikinya.
Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada Pemerintah
Daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan tujuannya
yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara.Ini
untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah dalam suasana yang
harmonis dan lebih dari itu untuk menjamin perkembangan dan pembangunan
antar daerah yang serasi sehingga laju pertumbuhan antar daerah dapat
seimbang.
Dinamis, artinya otonomi ini menghendaki agar pelaksanaan otonomi
senantiasa menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju atas
segala kegiatan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan yang
semakin meningkat mutunya.Menurut Josep Riwu Kaho (1991) menyatakan
bahwa prinsip ini merupakan salah satu variasi dari system otonomi riil.
Dari kelima jenis sistem otonimi itu, secara umum yang dipraktekkan
hanya 3 (tiga) jenis, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga
materiil dan sistem rumah tangga nyata atau riil dengan beberapa
varian.Sementara RDH Koesoematmadha (1979) menggunakan istilah ajaran
rumah tangga (huishoudingsleer) terbagi tiga jenis yang terkenal yakni;
pengertian rumah tangga secara materiil (materiele hushoudings bergrip),
pengertian rumah tangga secara formil (formele hushoudings bergrip),
pengertian rumah tangga secara riil (reele hushoudings bergrip).
Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, beberapa
jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga daerah yang disebutkan di atas
mengalami perubahan dalam penerapannya.Oleh Caltin dalam bukunya “the
Prinsiple of Politics” yang dikutip oleh Ateng Syarifudin (1983) hal itu disebut
27
dengan istilah “eksperimental”.Begitu pula yang terjadi sejak berdirinya negara
RI memang bersifat eksperimental, kiranya dapat disimpulkan dari bergantinya
perundang-undangan yang mengatur materi itu dengan berlandaskan asas
otonomi yang berubah-udah pula.
Kesimpulan tersebut menurut RDH Koesoemaatmadja (1979) dapat
diajukan dengan beberapa bukti, yakni; UU No. 1 Tahun 1945 cenderung
menganut sistem otonomi formal, UU No. 22 Tahun 1948 menganut sistem
rumah tangga materiil dengan pola keseragaman (uniformitas). Sementara
dengan penafsiran yang aga berbeda, ada juga yang menyatakan bahwa UU No.
22 Tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950 menggunakan sistem campuran
antara pengertian rumah tangga materiil dan pengertian rumah tangga formal.
Selanjutnya Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960
mengikuti dan mempertahankan sistem rumah tangga seluas-luasnya dan sistem
rumah tangga daerah nyata sebagaimana yang dianut oleh UU No. 1 Tahun
1957. UU No. 18 Tahun 1965 yang dicurigai berbau komunis secara
keseluruhan meneruskan politik otonomi yang diatur dalam Penpres No. 6
Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960 yaitu menganut sistem otonomi
seluas-luasnya dan sistem rumah tangga daerah nyata. Undang-Undang ini
diperkuat dengan TAP MPRS No.XXI/MPRS/1996 tentang pemberian otonomi
yang seluas-luasnya kepada daerah.Namun sebelum UU dan TAP MPRS itu
dilaksanakan ada peristiwa.
Dari sistem otonomi di berbagai peraturan perundang-undangan
pemerintah daerah di atas, ternyata semua jenis sistem rumah tangga daerah
yang dikenal telah dicoba untuk diterapkan.Namun sistem otonomi nyata (riil)
yang dianggap paling memadai. Sistem otonomi ini pertama kali dicantumkan
dalam UU No. 1 Tahun 1957 sebagai pelaksana Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS
1950 memuat beberapa asas otonomi antara lain pemberian otonomi seluas-
luasnya. Asas pemberian otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan dalam UU
No. 18 Tahun 1965 meskipun Undang-Undang ini dibuat setelah UUDS 1950
tidak berlaku lagi dan kembali ke UUD 1945.
Semboyan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
kehendak melaksanakan otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan pada masa
orde baru, tetapi dasar politik otonomi tidak dipertahankan oleh UU No. 5 Tahun
28
1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa pemberian otonomi seluas-luasnya “dapat menimbulkan
kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan
dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada
daerah”.Dari penjelasan ini dapat ditangkap bahwa otonomi luas secara intrinsik
mengandung ancaman tertentu terhadap keutuhan negara kesatuan. Namun
demikian tidak perna ada kejelasan mengenai bagaimana sesungguhnya isi
otonomi yang dikehendaki UUD 1945 (sebelum amandemen) dan apakah
mungkin menyebut otonomi seluas-luasnya mengandung bahaya, sedangkan hal
tersebut belum pernah dilaksanakan atauada pengalaman lain yang dapat
dipergunakan sebagai petunjuk.
Dengan beragamnya sistem otonomi yang terdapat dalam beberapa UU
Pemerintah Daerah yang bersumber pada UUD 1945 yang asli, maka UUD 1945
pasca amandemen telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dalam
menghadapi perkembangan otonomi di masa datang yaitu secara tegas
merumuskan di dalam Pasal 18 ayat (5) “Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-
Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.
Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945,
secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-
Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan
yang demikian ternyata telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998
dan Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak
hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal
dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan
pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan
keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama
dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang
wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan
sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang)
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan
29
tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan
kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu
prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi
daerah yang berbeda-besa. Oleh karena itu, menurut Bagir Manan (2001) dalam
penentuan isi otonomi daerah minimal ada dua hal yang penting untuk
diperhatikan yaitu :
1. Pemberian otonomi seluas-luasnya mengandung arti kemandirian
daerah. Betapapun banyak urusan yang diserahkan, apabila daerah
tidak mandiri tidak akan mewujudkan otonomi yang sebenarnya.
2. Penyelenggaraan otonomi riil (nyata) tidak menghendaki prinsip
uniformitas dalam penyerahan dengan kenyataan yang ada pada
daerah tersebut.
30
taskataupun istilah government function. Dalam praktek secara internasinal
penggunaan istilah tersebut belum seragam antara satu negara dengan negara
lain ataupun antara satu ahli dan ahli lainnya.
Dari literatur tentang desentralisasi yang sudah dikemukakan terlihat
bahwa istilah urusan pemerintahan lebih melekat kepada pengertian public
functions. Namun dalam berbagai hal, istilah urusan pemerintahan sering
digunakan secara bersamaan dengan istilah kewenangan. Dalam UU Nomor 22
Tahun 1999, konsep kewenangan digunakan untuk urusan pemerintahan yang
pengertiannya mengarah kepada bidang/sektor, sedangkan UU Nomro 32 Tahun
2004, konsep urusan pemerintahanmerupakan pelaksanaan hubungan
kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan daerah Provinsi, kabupaten
dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan
sinergissebagai satu sistem pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan
urusan pilihan.
Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum
Administrasi Negara.Prajudi, (1994) menyatakan bahwa pengertian kewenangan
dan wewenang (competence, bevoegdheid) walaupun dalam praktek
pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu. Selanjutnya dikatakan adalah apa
yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal darikekuasaan legislatif
(diberikan oleh UU) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang
(rechtsbevoegdheven). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum publik,misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-
surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap
berada di tangan menteri (delegasi wewenang).
Dengan demikian kewenangan tidak bisa didelegasikan kepada orang
lain, sedangkan wewenang-wewenang tersebut semuanya dapat didelegasikan
kepada orang lain. Semua urusan pemerintahan yang termasuk dalam bidang
perguruan tinggi, adalah kewenangan Menteri Pendidikan Naisonal. Jika di
dalam kementerian terdapat sub ordinat tertentu seperti urusan kepegawaian,
kesejahteraan, dan lain-lain, maka wewenang itu dapat didelegasikan kepada
pejabat bawahannya,termasukkepada satuan pemerintahan yang lebih rendah di
daerah.
31
Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas
inisiatif sendiri itu dikenal dengan istilah freies Ermessen atau discretionari
power; yaitu suatu istilah yang di dalamnya mengandung kewajiban dan
kekuasaan yang luas.Nata Saputra (dalam Ridwan HR, 2006), mengartikan
freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat
administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenalkan alat
administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari
pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.Atau kewenangan untuk turut
campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas untuk
mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga
negara.Pemberian freies Ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara
mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi.Dengan bersandar pada
freies Ermessen, administrasi negara memiliki kewenangan yangcukup untuk
melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan
masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan
tindakan itu diperlukan istrumen hukum. Artinya, bersaman dengan pemberian
kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk
membuat instrumen hukumnya. Pembentukan organisasi perangkat daerah, juga
merupakan diskresi dariPemerintah Daerah.Diskresi untuk menjaga fleksibilitas
Pemerintah Daerah dalam menentukan organisasi perangkat daerah.
Wewenang menurut Stout (Ridwan, 2000) adalah pengertian yang
berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik.
Toonaer (Ridwan, 2000) pula mengemukakan bahwa kewenangan
pemerintahan adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga
dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan
warga negara.
Menurut Bagir Manan dalam Ridwan, (2000), wewenang dalam bahasa
hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en pelichten).Dalam kaitan dengan
32
otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasan untuk mengatur sendiri
(zelfregelen) dan mengelola sendiri (Zelfbesturen). Sedangkan kewajiban terdiri
kewajiban horisontal dan kewajiban vertikal.
Kewajiban secara horisontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sebagaimana pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan
negara secara keseluruhan.Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan
berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sumber-sumber Kewenangan
Menurut Suwoto Mulyosudarmo, (1997), pada dasarnya pemberian
kekuasaan dapat dibedakan mejadi dua macam :
a. Perolehan secara atributif;
b. Perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat)
Perolehan kekuasaan secara atributif, menyebabkan terjadinya
pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi
ada.Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan
menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Perolehan kekuasaan secara
derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada
dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan ini adalah
pelimpahan kekuasaanyang diturunkan.
Sementara itu, menurut HD van Wijk dan Willen Konijnenbelt dalam
Marcus Lukman, (1997), terdapat 3 (tiga) model penyerahan wewenang, yaitu
secara atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan
(toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een
bestuursorgaan).Kewenangan yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang
berasal dari pembentukan undang-undang orisinil.Pada model ini, pemberian
dan penerimaan wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang ada.
Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima
wewenang.Pertanggungjawaban internal diwujudkan dalam bentuk laporan
pelaksanaan kekuasaan, sedangkan aspek eksternal adalah pertanggungjawaban
33
terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksanakan kekuasaan melahirkan derita
atau kerugian.
Sedangkan kewenangan delegasi adalahpelimpahan wewenang
pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya
(Delegatie; overdracht van een bevagheid van het ene bestuurorgan aan een
ander). Pada konsep delegasi, tidak ada penciptaan wewenang dari pejabat yang
satu kepada yang lainnya, atau dari badan administrasiyang satu pada yang
lainnya.Penyerahan wewenang harus dilakukan dengan bentuk peraturan hukum
tertentu.Pihak yang menyerahkan wewenang disebut “delegans”, sedangkan
pihak yang menerima wewenang disebut “delegataris”.Setelah delegans
menyerahkan wewenang kepada delegataris,maka tanggung jawab inern dan
ekstern pelaksanaan wewenang, sepenuhnya berada pada delegataris.
Dengan demikian, menurut Suwoto, (1997), pendelegasian kekuasaan,
delegataris adalah melaksanakan kekuasaan atas nama sendiri dan dengan
tanggung jawab sendiri. Oleh sebab itu, pelimpahan itu disebut pelimpahan
kekuasaan dan tanggungjawab. Sementara mandat terjadi ketika organ
pemerintahanmengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya (mandaat; een bestuursorgaan hat zijn bevogheid namens hem
uitoefenen door een ander). Pada konsep mandat, mandataris hanya bertindak
untuk dan atas nama pemberi mandat, sehingga tanggung jawab akhir dari
keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat.
Adanya pembagian wewenang secara vertikal dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah baik dalam bentuk atribut maupun delegasi
dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengurus sendiri rumah tangganya
berdasarkan kewenangan yang sudah dimilikinya.
Dengan demikian daerah otonom pada negara kesatuan, kewenangannya
diperoleh melalui cara delegasi, yaitu kewenangan yang dimiliki oleh organ
pusat didelegasikan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya
sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka prinsip utama negara hukum yaitu asas
legalitas (wetmatigheid van bestuur) yang menyatakan secara tegas adanya suatu
wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
yang perolehannya melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
34
3. Kewenangan Daerah menurut UU Nomor32 Tahun 2004
Konsep otonomi daerah di Indonesia, yaitu otonomi dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dapat dikemukakan pendapat dari
Strong (2004), yang mengatakan bahwa dalam negara kesatuan (Unitaris),
kedaulatan negara tidak dibagi-bagi, karena itu dalam negara kesatuan,
pendistribusian kewenangan merupakan suatu hal yang sangat penting yang
harus dilakukan secara cermat dan didasarkan pada asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi, dan asas pembantuan (medebewind).
Dari perspektif hubungan struktur kelembagaan, implikasi politik dari
kewenangan urusan pemerintahan adalah adanya divergensi atau pembagian
urusan, yang kemudian urusan yang dibagi ini menjadi kewenangan dari setiap
struktur pemerintahan.Filosofi yang mendasari diperlukan adanya pembagian
atau pemencaran urusan pemerintahan adalah karena wilayah negara terlalu luas
untuk diurus olehPemerintah Pusat saja; oleh karena itu diperlukan desentralisasi
dengan pembentukan daerah otonom dan pembagian urusan.
Penerapan konsep pendistribusian kewenangan seperti yang
dikemukakan Strong, juga terlihat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
republik Indonesia, yang secara vertikal memberikan kewenangankepada daerah
baik pada daerah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Pada prinsipnya
kewenangan yang diberikan tersebut bukan dalam bentuk kewenangan untuk
membentuk daerah berdaulat, melainkan otonomi daerah dalam kerangka NKRI.
35
luasnya. Ketiga, gagasan pemilihan Presiden secara langsung, dan Keempat,
gagasan pembentukan DPD yang akan melengkapi keberadaan DPR selama ini.1
Jika melihat ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 dan
dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum membuat
upaya perubahan UUD 1945 hampir mustahil dilakukan. Wacana perubahan
UUD 1945 baru muncul setelah memasuki era reformasi.Bermula dari krisis
moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 yang tidak berhasil diatasi,
bangsa Indonesia terjerembab ke dalam krisis
multidimensional.Ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis dinilai oleh
banyak kalangan sebagai akibat dari penerapan sistem sosial, politik, dan
ekonomi yang tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
rakyat.Akibatnya, pada tahun 1998 terjadi gejolak politik, saat itu Presiden
Soeharto didesak untuk mundur karena sebagian besar rakyat Indonesia
menghendaki dilakukannya reformasi secara total.
Pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan
oleh B.J. Habibie yang semula menjabat Wakil Presiden.
Kemudian disusul dengan dinamika ketatanegaraan sampai pada
momentum memungkinkan perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada waktu
yang tepat saat hampir seluruh elemen masyarakat menghendaki adanya
perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara2.
Terdapat beberapa materi strategis/pokok yang telah disempurnakan
MPR pada saat melakukan perubahan UUD 1945, antara lain aturan keempat,
aturan dasar mengenai penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern,
antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan
transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara baru untuk
mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman3.
1
Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, UII Press, 2005, h. 160, 161, 162.
2
Mahkamah Konstitusi RI, (2008), Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan
UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. – hal 545.
3
Ibid
36
Dalam tahapan perubahan, penegasan mengenai pelaksanaan otonomi
daerah seluas-luasnya dilakukan pada perubahan kedua, khususnya terdapat
pada perubahan pada Pasal 18 ayat (5).
Tapi sebelumnya isu penting dalam proses perubahan salah satunya
adalah terjadi satu-satunya pemungutan suara untuk memutuskan Pasal 2 ayat
(1) UUD 1945 yang pada akhirnya menghapus eksistensi Utusan Golongan dan
Utusan Daerah di dalam keanggotaan MPR sehingga anggota MPR terdiri atas
anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu.
Perubahan ketiga tahun 2001, Pasal 22 UUD 1945 ditambah dua Bab
yaitu Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah yang terdiri dari 2 (dua)
pasal dan Bab VIIB tentang Pemilihan Umum.
4
Dr. Eddy Purnama, SH.,MH., (2007), Negara Kedaulatan Rakyat; Analisis terhadap Sistem
Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain.
37
Ishak Pulukadang5 dalam makalahnya mengatakan :
“Agar terjadi Icek and balance of power, tidak saja antara
lembaga legislatif dan eksekutif tetapi juga antar lembaga
legislatif yaitu DPR dan DPD.Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa DPR baik secara individu maupun
kelompok ternyata bukan melakukan fungsi pengawasan
dalam pembahasan terhadap kebijakan pemerintah
menyangkut proyek-proyek APBN dan lahirnya peraturan
perundang-undangan, tetapi yang terjadi adalah kolusi antara
eksekutif dan legislatif dan antara anggota legislatif
sendiri.Sehingga mengakibatkan tidak hanya citra eksekutif
buruk tetapi juga lembaga legislatif”.
5
Prof. Drs. Ishak Pulukadang, (2009), Beberapa Catatan tentang Strategi Memperjuangkan Posisi
dan Peran DPD-RI setara dengan DPD-RI., Makalah disampaikan pada FGD DPD RI di
Fakultas Hukum Unsrat, pada tanggal 29 Juli 2009.
38
E. Fungsi dan Peran DPD RI sebagai Alat Kelengkapan Negara
1. Keanggotaan DPD – RI
Keanggotaan DPD RI untuk pertama kalinya dipilih pada Pemilihan
Umum Tahun 2004, tepatnya di bulan April, yaitu berjumlah 128 orang yang
terdiri atas 4 orang dari setiap provinsi pada sebanyak 32 provinsi. Propinsi
Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda yang secara resmi berdiri pada bulan
Juli 2004, belum terwakili secara tersendiri tetapi masih diwakili oleh anggota
dari provinsi asalnya (sebelum pemekaran wilayah provinsi tersebut, yaitu
Provinsi Sulawesi Selatan) dan baru akan terwakili melalui Pemilihan Umum
legislative 2009 yang akan datang.
DPD RI memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil
daerah dari setiap propinsi dan tidak ada pengelompokan anggota (semacam
fraksi di DPR RI). Anggota DPD RI merupakan orang-orang independen yang
bukan berasal dari partai politik, tetapi berasal dari berbagai latar belakang
misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh organisasi
kemasyarakatan atau Lembaga Swadaya Masyarakat, serta beberapa anggota
DPD RI dengan latar belakang birokrat seperti mantan menteri, gubernur,
bupati/walikota dan lain-lain.
39
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
c. Fungsi Pengawasan
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang me n g e n a i : o t o n o mi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
d. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
40
4. Mempertahankan dan memelihara kerukukan nasional dan keutuhan Negara
kesatuan Republik Indonesia.
5. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
6. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat dan daerah.
7. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan.
8. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih
dan daerah pemilihannya.
9. Menaati kode etik dan Peraturan tata Tertib DPD
10. Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik
Anggota DPD RI yang meliputi representasi, legislasi dan pengawasan yang
dicirikan oleh sifat mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau
mandate rakyat kepada anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding”
yaitu ciri melekatnya pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang
semata-mata didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan pada rakyat daerah
41
Panitia Ad Hoc I : Otonomi Daerah; Hubungan Pusat dan Daerah;
Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah.
Panitia Ad Hoc II : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Ekonomi lainnya
Panitia Ad Hoc III : Pendidikan dan Agama.
Panitia Ad Hoc IV : RAPBN, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
Memberikan Pertimbangan Hasil Pemeriksaan
Keuangan Negara dan Pemilihan Anggota BPK, serta
Pajak.
42
5. Penyerapan Aspirasi Masyarakat
Sebagai alat artikulasi kepentingan daerah maka penyerapan aspirasi
merupakan kegiatan Anggota DPD RI yang paling penting. Dalam
pelaksanaannya, penyerapan aspirasi masyarakat ini bisa dilakukan dalam dua
bentuk, yaitu secara langsung maupun tak langsung. Penyerapan aspirasi secara
langsung dilakukan dalam berbagai kegiatan di daerah melalui dialog tatap
muka, seminar atau lokakarya. Kegiatan yang dilakukan pada saat kunjungan
kerja, baik pada masa sidang maupun ketika anggota DPD RI memasuki masa
kegiatan di daerah pemilihannya masing-masing (reses) pada intinya bertujuan
untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi masyarakat daerah.
Aspirasi masyarakat daerah harus diserap sebanyak-banyaknya setelah
itu kemudian dipilah ke dalam tingkat prioritas persoalan, mulai dari persoalan
yang paling urgen, yang harus segera ditindaklanjuti melalui mekanisme
konstitusional sampai hal-hal yang lebih bersifat sekunder. Persolan-persoalan
tersebut juga dapat dikategorikan berdasarkan tugas dan wewenang apakah
merupakan subyek yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas legislatif ataukah
merupakan subyek yang menjadi kompetensi lembaga eksekutif.
Sementara itu, mekanisme penyerapan aspirasi secara tidak langsung dilakukan
melalui konsultasi dengan lembaga pemerintahan local (DPRD/Pemda). Dalam
hal ini, DPD RI menampung aspirasi yang sudah disalurkan ke DPRD/Pemda.
Mekanisme ini sebenarnya bisa dilakukan setiap saat dan tidak perlu menunggu
reses ataupun kunjungan kerja. Model penyerapan tak langsung ini di samping
lebih efisien juga dapat menguatkan kemitraan di daerah.
43
c. Melakukan pemilahan atau kategorisasi berdasarkan tugas, kewenangan
lembaga legislatif dan eksekutif. Persoalan yang diluar kewenangan DPD RI
selanjutnya disampaikan melalui mekanisme rapat kerja di daerah yang
disarakan atas skala prioritas persoalan.
d. Persoalan yang menjadi kewenangan DPD RI kemudian dibawa ke Pusat
untuk disusun bersama-sama anggota DPD RI provinsi masing-masing dan
dipilah berdasarkan wilayah kerja PAH untuk dibawa kepada Sidang
Paripurna. Laporan yang disampaikan pada paripurna kemudian disalurkan
kepada PAH berdasarkan wilayah kerja masing-masing untuk dibahas
bersama dengan pemerintah, dalam hal ini menteri atau LPND yang relevan
dengan masing-masing persoalan.
e. Terkait dengan masukan dari berbagai kalangan masyarakat mengenai peran
ideal DPD ke depan dan peningkatan peran DPD RI dalam menjembatani
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang konstruktif dan sinergis,
maka Kelompok DPD di MPR RI akan menyampaikan masukan tersebut
kepada Pimpinan MPR RI untuk dapat diproses lebih lanjut.
44
BAB III.
TUJUANDAN MANFAAT PENELITIAN
45
BAB IV
METODEPENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Untuk menjawab pertannyaan diatas, penelitian ini menggunakan
pendekatan ilmu hukum yang mengenal tiga lapisan ilmu hukum (rechtleer),
yaitu dogmatic, teori hukum, dan filsafat hukum.
Dogmatik hukum dalam arti sempit bertujuan untuk memaparkan dan
mensistematisir serta menjelaskan hukum positif yang berlaku baik secara
deskriptif maupun preskriptif yang bersifat normative.
Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan antara dogmatic hukum dan
filsafat hukum.
Sedangkan Filsafat Hukum bertujuan menjawab obyek yang dibahas
dalam hubungan dengan makna konstitualisme atau cita hukum dari suatu
kenyataan. (Abdul Latief, 2006).
Selain menggunakan penelitian hukum, dalam studi ini juga digunakan
pendekatan hukum normatie atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
Penelitian hukum normative atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap semantic hukum, penelitian
terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum, dan
sejarah hukum. (Soerjono Soekanto, 2006).
Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan cara menafsirkan
kaidah-kaidah hukum yang dirumuskan di dalam peraturan perudang-undangan
yang terkait dengan Pemerintahan Daerah, dimulai sejak jaman kolonial sampai
sekarang termasuk UU OTSUS Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001), dan UU
Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006).
Penelitian terhadap sistematik hukum bertujuan untuk menelaah
pengertian-pengertian pokok atau dasar dari system hukum yang terdapat di
dalam UU yang berkaitan dengan Hubungan Pusat dan Daerah, tujuannya adalah
untuk menelaah indikasi kebijakan hubungan pusat dan daerah terutama
46
terhadap undang-undang bidang sektoral yang tidak sejalan dengan asas-asas
desentralisasi dan demokratisasi
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal dilakukan
untuk menelaah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal bertujuan untuk menelaah
keserasian peraturan perundang-undangan secara hirarki peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Metode ini tidak terlepas dari penetapan obyek material
dan obyek formal penelitian.
Penelitan terhadap taraf sinkronisasi horizontal bertujuan untuk
menelaah keserasian peraturan perudang-undangan yang sederajat yang
mengatur substansi materi yang sama.
Penelitian sejarah hukum mengkaji latar belakang tujuan pembentukan
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menjadi
obyek materiil dari studi ini, yaitu UU bidang sektoral dan UU tentang
Pemerintahan Daerah; juga untuk mengetahui perkembangan muatan
desentralisasi dalam setiap kebijakan pemerintahan daerah yang perna berlaku di
Indonesia.
B. Bahan Penelitian
47
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
48
Sebagaimana kutipan dari Ruslan Andy Chandra6dengan judul :Irman
Gusman: Banyak Anggota DPR Tidak Mendukung Peranan DPD, seperti
kutipan berikut:
“…… banyak teman-teman anggota DPR yang tidak mendukung
penguatan DPD tetapi banyak pula di antara mereka yang ingin
bergabung di DPD.”
…lanjut Imran, banyak pihak yang pro-kontra. Bagi pengamat,
misalnya, keberadaan orang-orang partai politik dengan agenda-
agendanya tidak sesuai dengan semangat kelahiran DPD. Tetapi,
bagi partai politik, kehadiran pengurus dan atau anggota mereka
justru akan memperkuat keberadaannya.
Menurutnya, kehadiran mereka harus dicermati. “Sejauh mana
teman-teman dari partai politik tersebut bisa menanggalkan
atribut-atribut partai politiknya. Kita harus mengawasi ketat.”
Sebab, Irman mengkhawatirkan, kalau mereka tetap di partai
politik padahal telah terpilih sebagai anggota DPD maka aspirasi
dan ideologi partai politiknya akan lebih kuat daripada aspirasi
daerah yang diwakilinya.
Karena ketentuan telah membolehkan mereka menjadi anggota
DPD, Irman menghimbau mereka secara moral untuk
menanggalkan atribut-atribut partai politiknya. “Supaya mereka
bisa menaungi aspirasi dari berbagai kelompok dan aliran yang
berkembang di daerah masing-masing. Dengan itulah kita bisa
mendapat jaminan.”
6
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=28&jd=Irman+Gusman%3A+Banyak+Anggota
+DPR+Tidak+Mendukung+Peranan+DPD&dn=20080806133338
49
saja DPD terlupakan oleh Pemerintah Pusat (Eksekutif dan Legislatif) karena
tidak kelihatan.
Hubungan pusat dan daerah terlihat sudah bagus tapi itu masih berlaku di
seputaran ibu kota RI. Peran DPD sebenarnya salah satu tuntutan reformasi agar
institusi DPD dapat mewadahi hubungan Pusat dan Daerah yang selama ini
putus. DPD sesuai dengan substansi tuntutan reformasi dapat menjadi alat dari
daerah-daerah yang cukup jauh dari Pemerintah Pusat untuk membawa kondisi
kemajuan, ketertinggalan, dari daerah. Selain itu DPD yang notabene perwakilan
daerah merupakan stand body (pasang badan) dalam memperjuangkan usulan-
usulan rencana pembangunan didaerah untuk dapat diterima oleh legislatif dan
eksekutif.
Reformasi menginginkan wadah penyeimbang terhadap DPR yang
belum berhasil memperjuangkan daerah-daerah yang sudah cukup lama
tertinggal dan jauh dari gaung pemerataan pembangunan sejak Kemerdekaan
oleh karena itu banyak suara masyarakat yang mengatakan bahwa sesungguhnya
ada bagian-bagian tertentu diwilayah kita NKRI belum menikmati kemerdekaan.
50
1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang – undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Ini merupakan fungsi legislasi dari DPD RI.
2. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RAPBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama. Ini merupakan fungsi pertimbangan dari DPD
RI.
3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai :
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabngan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama,
serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Ini merupakan fungsi pengawasan dari
DPD RI.
4. Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat – syarat dan
tata caranya diatur dalam UU.
Terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya tersebut, ada beberapa
argumen rasional yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai betapa
pentingnya keberadaan DPD sebagai representasi daerah di tingkat pusat, yaitu :
1. Agar keterkaitan antara keterwakilan penduduk dengan daerah dan adanya
penyebaran penduduk Indonesia yang tidak merata disetiap wilayah dimana
saat ini 60% penduduk tinggal di sekitar 10% wilayah Indonesia,
tercerminkan dalam sistem perwakilan dan proses legislasi.
2. Dalam rangka mewujudkan mekanisme checks and balances.
Mekanisme ini dianut oleh negara yang demokratis untuk menghindari diri
dari dominiasi salah satu lembaga dalam pembuatan perundang undangan,
sehingga undang–undang yang dihasilkan oleh lembaga legislatur menjadi
51
lebih baik dan mengacu kepada kepentingan rakyat yang diwakilinya, bukan
pada kepentingan kelompok.
3. Adanya keadilan dalam kebijakan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa
secara berkesinambungan. Jika representasi politik hanya diwakili oleh DPR
– RI, dapat dipastikan arah pembangunan hanya memusat di pulau Jawa atau
hanya untuk kepentingan politik atau kalangan tertentu, mengingat bahwa
anggota DPR merupakan anggota partai politik dan itu sudah terbukti
dengan banyaknya kasus korupsi oleh anggota DPR – RI yang terbongkar
saat ini.
DPD RI mempunyai empat Panitia Ad Hoc (PAH) dengan ruang lingkup
yang berbeda – beda dimana PAH I membidangi otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah. PAH II
membidangi pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
PAH III membidangi pendidikan dan aggama. Sedangkan PAH IV membidangi
RAPBN, perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan
hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK serta pajak.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai wakil rakyat dari daerah, yang
dipilih, dan sebagai alat artikulasi kepentingan daerah, maka penyerapan aspirasi
merupakan kegitan anggota DPD RI yang terpenting. Dalam pelaksanaannya,
penyerapan aspirasi masyarakat bisa dilakukan dalam dua bentuk, secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung dilakukan dalam berbagai
kegiatan di daerah melalui dialog tatap muka, seminar, atau lokakarya, yang
dilakukan saat kunjungan kerja, baik pada masa sidag maupun masa reses.
Intinya adalah untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi
masyarakat daerah.
Sedangkan penyerapan aspirasi secara tidak langsung dilakukan melalui
konsultasi dengan DPRD/Pemda. DPD RI menampung aspirasi yang sudah
disalurkan ke DPRD/Pemda. Mekanisme ini dapat dilakukan setiap saat dan
tidak perlu menunggu reses atau kunjungan kerja.
Aspirasi masyarakat sebagai sumber input inilah yang menjadi bahan
pertimbangan utama bagi DPD – RI dalam penyusunan kebijakannya.
52
C. Pentingnya Keberadaan DPD-RI Sebagai Representasi Daerah Di
Tingkat Pusat
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas
partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, maka dalam rangka pembaharuan
konstitusi, MPR membentuk sebuah lembaga perwakilan baru yaitu Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pembentukan ini dilakukan melalui perubahan
ketiga UUD 1945 pada bulan Nopember 2001.
Namun demikian proses pembentukan lembaga DPD – RI yang ideal
belum dapat terlaksana. Gagasan dasar pembentukan DPD – RI adalah
keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus
memberikan peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan
keputusan politik untuk hal – hal terutama yang berkaitan langsung dengan
kepentingan daerah. Dengan adanya DPD – RI, maka Indonesia tidak lagi
menjadi negara dengan sistem legislasi unikameral, melainkan memasuki
barisan negara – negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam
lembaga perwakilannya. Walaupun sistem bikameral berbeda penerapannya
antara negara yang satu dengan lainnya, namun semua berpijak di atas landasan
yaitu memaksimalkan keterwakilan (representation) dan membangun sistem
checks and balances dalam lembaga perwakilan serta membuka peluang
pembahasan yang berlapis (redundancy) untuk memperluas dan memperdalam
proses pengambilan keputusan–keputusan politik yang berdampak besar bagi
rakyat. Namun sistem bikameral di Indonesia termasuk lemah, berdasarkan
kewenangan legislasi yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, DPD-RI, khususnya melalui Panitia Ad Hoc ( PAH ) 1
dan Kelompok DPD di MPR, harus terus memperjuangkan amandemen UUD
45 khususnya pasal 22 yang menyangkut fungsi, tugas dan wewenang DPD –
RI, demi tercapainya penguatan fungsi DPD agar aspirasi masyarakat daerah
dapat diperjuangkan dengan semestinya.
53
E. Dinamika Tuntutan Pemerataan Pembangunan (Kesejahteraan
Masyarakat)
Kita tidak sepenuhnya dapat menyalahkan Pemerintah Pusat dengan
perkembangan sistim ketatanegaraan sekarang yang, karena ada beberapa hal
yang menghambat pembangunan selama ini, sehingga Indonesia tertinggal jauh
dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya. Model yang
berkembang seiring dengan reformasi dimana diantaranya telah ada DPD RI
merupakan lembaga negara yang telah ditetapkan dengan dasar negara. Hal ini
memberi peluang untuk mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini belum
terpecahkan khususnya ketertinggalan pembangunan yang berada di daera-
daerah tertentu.
Kalau DPR belum secara spesifik di atur dalam UUD untuk
memperjuangkan daerah tetapi DPD memang spesifik untuk itu, kenapa
dibentuk DPD karena keluhan yang kurang diperhatikan oleh daerah-daerah, dan
itu muncul dalam tuntutan-tuntutan pada rentetan sejarah reformasi. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Efektifitas dalam memperjuangkan selama
ini belum teratasi melalui DPR. Dalam pemilihan umum (PEMILU) warga
memilih DPR menurut daerah pemilihan (DAPIL), tetapi masih banyak DAPIL
yang belum merasakan pemerataan pembangunan. Oleh warga setempat
bertanya bahwa sesunggunya DPR terpilih pada dapil itu apa yang sudah dibuat.
Hal ini memberi kesan sesungguhnya anggota DPR pada DAPIL tertinggal telah
melakukan apa. Daerah sampel pulau-pulau bagian Utara Sulawesi masih sangat
tertinggal, kecenderungan kedekatan warga setempat bukan pada Indonesia
tetapi pada negara tetangga. Kita dapat saja berkata bahwa di negara maju ada
juga daerah tertinggal, tetapi dinegara maju daerah tertinggal tidak terlintas
untuk memisahkan diri. Perhatian Pemerintah Pusat sangat penting, diharapkan
DPD menjadi telingah, mata, hati untuk mendengar, melihat, merasakan dan
memperjuangkan kebutuhan masyarakat di daerah pada pemerintah pusat.
54
mengartikulasikan suara-suara dari daerah di pusat dan seluas mana
kewenangannya dalam pengambilan keputusan soal legislasi di parlemen7.
Ada banyak harapan, terutama dari suara-suara daerah yang sekian lama
tenggelam di hadapan kepentingan pemerintah pusat, ketika lembaga DPD
diciptakan. Dengan merombak struktur perwakilan Indonesia menjadi dua kamar
(bikameral) - dengan posisi DPD sebagai kamar kedua (second chamber) di
tubuh parlemen Indonesia - dan meradikalisasi proses pemilihan anggota secara
langsung, lembaga DPD diharapkan lebih dari sekedar lembaga perwakilan
“pura-pura”. Harapan lain dari kemunculan DPD, terlepas dari kuat atau
lemahnya fungsi yang diembannya, adalah kontribusinya dalam menstimulasi
secara positif kemajuan demokrasi di Indonesia, terutama keterwakilan suara
daerah dalam kebijakan yang berpihak pada warga negara, yang lebih banyak
berada di daerah.
Namun dalam perkembangannya, harapan yang diemban kepada para
“senator” tidak bisa terwujud karena terbentur oleh berbagai yang diciptakan
oleh anggota lembaga perwakilan dari partai politik, yang “terkesan” oleh
beberapa penulis tidak akan merelakan kewenangannya diambil begitu saja oleh
para wakil rakyat dari non partai ini.
Ada Beberapa pasal dalam UUD yang tak memberi ruang gerak politik
bagi anggota DPD untuk memposisikan diri sebagai wakil rakyat secara
sempurna. Pertama, pasal 22C UUD 1945, jumlah anggota DPD didesign tidak
bisa melebihi sepertiga jumlah anggota DPR. Dalam ketentuan UUD 1945,
jumlah anggota DPR 550 orang, maka maksimal anggota DPD 183 orang.
Kenyataannya, dengan 128 anggota DPD (empat orang per provinsi), kekuatan
suara DPD kurang dari seperempat anggota DPR. Secara kuantitatif, mereka
telah didesign untuk “kalah” secara politik dari DPR.
Pertanyaannya adalah, apa filosofi politik yang berada di balik ketentuan
anggota DPD berjumlah 1/3 anggota DPR? Jika di masa depan ada penambahan
jumlah provinsi di Indonesia, dengan asumsi tiap daerah diwakili 4 orang
anggota, masih berlakukah ketentuan 1/3 dari anggota DPR? Kedua, setiap
anggota DPR dilengkapi dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
7
Muhammad Syihabuddin dalam
http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/
55
pengawasan sebagaimana diamanatkan pasal 20A UUD 1945. Untuk
menjalankan fungsi-fungsi tersebut, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat, ditambah dengan hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Sedangkan DPD, ”hanya”
boleh mengajukan dan ikut membahas RUU yang relevan dengan urusan daerah
dan dapat melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait dengan
daerah, seperti uraian pada pasal 22D UUD 1945. Kendati boleh mengajukan
RUU untuk dibahas, sesuai dengan Pasal 43 UU 22/2003 tentang Susduk, DPD
tidak memiliki kekuasaan untuk mengawalnya hingga ke tingkat persetujuan.
Ketiga, merujuk pasal 22D UUD 1945, masalah yang bisa ditangani DPD
dibatasi pada masalah daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Memang, untuk kegiatan
pengawasan, selain masalah daerah, cakupannya diperluas ke masalah
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Celakanya, hasil
pengawasan itu harus diteruskan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti. Dari uraian pasal-pasal di atas, sangat layak diduga bahwa
DPD dari awal telah diformat sebagai lembaga yang secara politis tak bergigi
menghadapi wakil-wakil dari partai politik. DPR adalah lembaga parlemen yang
memiliki wewenang lengkap, sementara DPD hanya diposisikan sebagai
pendamping tugas konstitusional DPR. Dalam hal legislasi, fungsi DPD hanya
bersifat penunjang bagi DPR. DPD tidak dapat disebut sebagai legislator
seutuhnya. Paling jauh DPD bisa disebut co-legislator. Atau bisa jadi malah
bukan co-legislator, karena sifat otonom, sebagai prasyarat menjalankan fungsi
legislasi, juga tak dimiliki DPD.Dengan posisi politik yang tak berdaya itu,
wajar jika muncul satire bahwa DPD RI hanyalah “aksesori politik” semata di
dalam parlemen Indonesia. Kewenangan politik yang berbanding terbalik antar
kedua lembaga perwakilan; kewenangan konstitusional yang begitu kuat dan
luas di tangan DPR, sementara DPD RI tak memiliki bergaining politik sama
sekali, menggambarkan bahwa DPD tak berperan apa-apa di dalam proses
legislasi di parlemen. Sering kita saksikan acara-acara DPD hanyalah seremoni
politik yang tak memiliki imbas apapun terhadap kualitas suatu produk
56
legislasi.Jika di awal sekali perancangan DPD dimaksudkan untuk memperkuat
lembaga perwakilan dengan menerapkan sistem bikameral, maka dalam
perjalannya bisa dikatakan bahwa bikameralisme di Indonesia hanyalah bungkus
semata. Kenyataan ini juga mengetengahkan bahwa adanya sebuah anomali
dalam sistem parlementariat Indonesia. Hal ini layak ditegaskan karena
Indonesia merupakan satu-satunya negara di mana lembaga ”semacam” senatnya
dipilih secara langsung, tetapi kewenangannya terbatasi. DPD RI merupakan
potret paling relevan dari ketidaklaziman praktek bikameral karena memiliki
legitimasi tinggi namun dengan kewenangan yang terbatas. Sebuah lembaga
parlementer disebut menganut sistem bikameral, apabila - ini merupakan ciri
fundamentalnya - kedua kamar perwakilan tersebut menjalankan fungsi legislasi
yang seimbang. Dan hampir semua negara di dunia yang menerapkan sistem ini
memberi kewenangan yang hampir-hampir tak beda di setiap kamar di
parlemen, atau bahkan kewenangan perwakilan daerah di parlemen lebih kuat,
seperti di Amerika Serikat. Jika diperhatikan di Indonesia, DPD RI sama sekali
tidak mempunyai wewenang legislasi yang penuh dan otonom. DPD hanya
memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran, dan DPR tetap memegang
kendali pengambilan keputusan. Karena itu, posisi DPD yang bersanding dengan
DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang wajar. Secara
teoritik, sifat bikameralisme terbagi menjadi dua, ‘strong bicameralism’, jika
keberadaan dua kamar perwakilan itu relatif sama kuat, dan ‘soft atau weak
bicameralism’, jika keduanya tidak sama kuat.
Fristian Humalanggi menulis dengan Judul “Eksistensi Dewan
Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” menyatakan8:
Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang sering diplesetkan
menjadi “Dewan Penasehat DPR”, atau “Dewan Pertimbangan
DPR”. Betapa tidak, lembaga ini seolah - olah adalah subordinasi
DPR jika dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya.
Dalam perancangan suatu produk hukum/undang - undang DPD
hanya memberikan pertimbangan, dapat mengajukan dan ikut
membahas, serta melakukan pengawasan atas undang - undang
tertentu, dengan demikian dapatkah DPD dikatakan memiliki
wewenang?. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. dalam buku ”
Bikameral bukan Federal ” menyebut Dewan Perwakilan Daerah
sebagai ” auxiliary agency “ oleh karena sifat tugasnya di bidang
8
http://revitriyoso.multiply.com/journal/
57
legislasi hanya menunjang, DPD tidak mempunyai kekuasaan
untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini sama sekali tidak sebanding dengan
persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD, dengan kata
lain kualitas legitimasi anggota DPD tidak diimbangi secara
sepadan oleh kualitas kewenangannya. Kedudukan DPD sebagai
auxiliary body semakin diperkuat dengan adanya pasal 20 ayat
(1) dan pasal 20A ayat (1) yang menyebutkan secara eksplisit
bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang - undang
serta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan
sedangkan dalam UUD tidak ada satupun pasal yang
menyebutkan bahwa DPD mempunyai kewenangan, sebab dalam
konteks politik “KEWENANGAN” berarti dapat mengambil
keputusan politik. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. menyebut
DPD sebagai co-legislator dan Dr. Kuntana Magnar S.H. M.H
dalam tulisannya yang dipaparkan dalam Focus Group
Discussion menyebutkan secara tegas bahwa DPD termasuk
dalam kategori “lembaga Negara yang melayani”. Selain itu DPD
juga sering disebut - sebut sebagai lembaga Negara dengan
wewenang terbatas, namun sebagaimana diungkapkan oleh
Bivitri Susanti; “adalah tidak tepat mengatakan” DPD dengan
wewenang terbatas “sebab sebenarnya DPD tidak mempunyai
wewenang apapun, sebab dalam konteks politik, kewenangan
selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan
politik”.
Berikut ini beberapa rekaman tim peneliti dalam kegiatan Focus Group
Discussion (FGD) :
58
itupun belum mencapai 1/3 dari jumlah DPR RI, dalam catatan kecil kami
mengenai jumlahnya.
Yang kedua tentang eksistensi DPD RI, tapi jika dilihat bahwa eksistensi
DPD perlu kita kaji secara cermat. Saya menawarkan 3 opsi tentang eksistensi
DPD RI:
1. Kalau disebutkan DPD mempunyai fungsi legislasi, pertimbangan dan
pengawasan, sesungguhnya DPD RI ini hanya ada fungsi pertimbangan.
Kalau legislasi, kuasi legislasi, seolah-olah mempunyai fungsi legislasi tapi
sesungguhnya DPD RI tidak mempunyai fungsi legislasi. Sebagian tidak
membuat UU yang buat DPR RI, jadi kuasi seolah-olah mempunyai fungsi
tapi sesungguhnya tidak, kemudian fungsi pengawasan juga, DPD RI ini
kuasi pengawasan, karena apa kalau suatu lembaga parlemen mempunyai
fungsi pengawasan maka melekat padanya dua hak parlementer yaitu hak
interpelasi seperti ada pada DPR RI, mengoreksi kebijakan pemerintah dari
hasil pengawasannya kalau ada yang tidak benar, atau hak angket jika terjadi
indikasi penyimpangan misalnya, tapi yang punya hak ini cuma DPR RI,
DPD RI tidak punya hak interpelasi dan juga tidak punya angket. Jadi kuasi
pengawasan dia cuma mengawasi, menyerahkan kepada DPR RI, jadi bukan
fungsi pengawasan, seolah-olah mengawasi tapi tidak punya kekuatan, kuasa
pengawasan, berbeda dengan DPR RI karena dia dilengkapi dengan hak
interpelasi, kalau dia awasi dan ternyata kebijakan pemerintah ini keliru, itu
kuasanya, atau dia gunakan hak angket, jika ternyata kebijakan dan unsur
pelanggarannya. Nah dalam kaitan dengan peran atau fungsi DPD RI ini
kami tawarkan 3 opsi untuk didiskusikan :
1) Dibubarkan saja DPD RI ini, karena sesungguhnya dia tidak
menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga parlemen, kalau kita lihat ini
dengan sistem bicameral sebetulnya historisnya kalau kita lihat, DPD RI
ini pengembangan dan utusan daerah dalam MPR. Tetapi kalau kita
telesuri sejarah pembuatan UUD 1945, pemikiran dimasukkan dengan
utusan daerah ini, kelompok-kelompok fungsional yang belum terkafer
dalam utusan DPR yang menjadi anggota MPR dari partai politik,
mengapa? agar supaya ada pemikiran-pemikiran dalam dua hal,
pembuatan UUD dan perubahan bisa diakomodir dan kelompok non
59
partai politik dan yang kedua dalam pembuatan GBHN, karena
dibanding partner kita menganut dalam UUD 1945 dan Pancasila sila ke-
4, indirect demokrasi dan direct demokrasi, nah ketika kita masuk pada
indirect demokrasi, maka fungsi pembuatan GBHN tidak relevan lagi,
sehingga kalau tidak relevan lagi karena presiden dipilih langsung dan
presiden bertanggung jawab kepada rakyat, di mana visi-misi presiden
itulah yang menjadi pedoman presiden dalam 5 tahun kedepan.
Dalam DPD yang ada hanya fungsi pertimbangan, nah kalau
pertimbangan rakyat biasapun bisa memberikan pertimbangan, soal
didengar dan tidak didengar oleh DPR RI itu soal lain, tapi torang pun
boleh memberikan pertimbangan, kirim ke DPR RI, soal di dengar atau
tidak itu soal lain, yang penting sah.
2) Amandemen UUD 1945 kita jadikan DPD RI dalam sistem strong
bicameral system, jadi fungsi DPD RI membicarakan tentang
kepentingan daerah, dia punya hak legislasi juga, dia punya hak
pengawasan, maka harus dilengkapi.
3) Yang sama-sama kita upayakan, yaitu mengoptimalkan peran DPD RI
sesuai dengan UUD 1945 dan UU lainnya. Maka 3 opsi ini yang pas
untuk kita lakukan dari 3 pilihan ini, mungkin kita lebih cenderung
mengambil langkah kompromi yaitu mengoptimalkan peran DPD RI
sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang.
Kemudian DPD RI ini, kami melihat dan membaca bahwa DPD RI hanya
bersidang di ibukota negara, kalau dia tidak bersidang, kemana dia akan kembali
ke daerah? Kami usulkan tolong didiskusikan supaya DPD RI ini ada kantor di
ibukota provinsi, nah mungkin kantor ini juga bersamaan juga ada semacam
bagian dari law center antara pusat dan daerah, provinsi ibukota provinsi untuk
menerima berbagai aspirasi dari masyarakat. Gunanya untuk membantu suatu
rapat bersama dengan DPR provinsi secara periodik dengan DPRD kabupaten
kota dengan gubernur dan dengan Bupati, walikota, dalam rangka menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudian keberadaan DPD RI dalam
memperjuangkan aspirasi daerah ini, seperti kepada semangat besar tenaga
kurang, karena apa dia sampai saja memberikan pertimbangan. Barangkali
60
mengoptimalkan perjuangan dia untuk aspirasi daerah dalam hal anggaran, lewat
APBN sehingga ada pertambahan, kalau sekarang cuma 25% dana APBN itu
didistribusikan menjadi belanja untuk provinsi dan kabupaten kota. Mungkin ke
depan kita bisa memperjuangkan lewat DPD RI supaya dia dapat menambah
bukan cuma 25%, bisa 30-35% dari pendapatan ini menjadi bagian dari belanja
untuk provinsi dan kabupaten kota dalam bentuk DAU, disamping ada DAK dan
anggaran-anggaran tugas pembantuan dan anggaran dekonsentrasi.
Bagaimana ini bisa diperjuangkan? Kita harapkan agar pertumbuhan-
pertumbuhan berkala periodik, antara DPD dan DPRD, DPD dan gubernur, juga
wakil walikota dan DPRD kabupaten kota untuk menyerap aspirasi yang
diperjuangkan.
Kemudian, dalam hal memperjuangkan pemanfaatan SDA, yang kita
rasakan selama ini bahwa pemanfaatan SDA, limbahnya ditampung oleh daerah,
manfaatnya disedot ke pusat. Nah bagaimana kalau ini bisa diperjuangkan,
memang ada UU No. 33 tentang perimbangan, porsinya diperbesar, inipun
diharapkan dapat diperjuangkan, hanya kalau ini diperjuangkan maka fungsi
DPD perlu ditingkatkan, pemberian pertimbangan DPD pada pembahasan
APBN tidak saja pada pembahasan tahap I tapi kalau boleh sampai pada
pembahasan tahap II, tahap III, dan tahap IV supaya dia dapat mengawal terus
apa yang diaspirasikan oleh daerah untuk diperjuangkan. Jika hanya sekedar ikut
dalam pembahasan tahap I, dia tidak tahu dalam pembahasan RAPBN tahap II,
III bahkan tahap IV, satu masuk dua tercecer, akhirnya dia tidak bisa mengawal
perjuangan aspirasi daerah.
Dalam kaitan dengan pembuatan UU yang berkaitan dengan fungsinya,
SDA, sumber daya ekonomi lainnya, UU otonomi daerah, berikutnya aspirasi-
aspirasi pemekaran sebaiknya pandangan ini didiskusikan, jangan langsung ke
DPR RI Komisi 2, lewat DPD RI diberikan kajiannya, kalau DPRD, DPD RI
merasa perlu bahwa itu dapat diteruskan ke DPR RI, yang terjadi sekarang
Pemekaran-pemekaran wilayah memang ada dampak positifnya, tapi sulit, ini
hanya mengejar target-target politik, sementara pemekaran wilayahnya ini
diharapkan boleh memberikan percepatan, pelayanan yang lebih dekat dengan
masyarakat, tentunya dengan pertumbuhan ekonomi di sana, tetapi jika kita lihat
PAD-PAD asli dari kota yang dimekarkan ternyata tidak naik secara signifikan,
61
mungkin daerah Pemekaran ini PAD-nya paling tinggi 15% dari seluruh
pendapatan yang ada di kabupaten kota. Diharapkan dengan Pemekaran ini bisa
membuat ekonomi daerah lebih maju, lewat DPD ini.
Yang terakhir tentang peran DPD dalam melakukan pengawasan, dalam
pelaksanaan aspirasi daerah. Jadi aspirasi daerah bisa disampaikan, tapi
bagaimana dia mengawasi agar itu bermuara dalam bentuk UU itu menjadi
kewajiban dia. Nah pelaksanaan juga UU itu di daerah, DPD perlu mengawasi,
pengawasan ini dalam pelaksanaannya kami ingin kalau boleh dilibatkan DPR di
provinsi, DPRD kabupaten kota, juga kepala daerah provinsi dan pemerintah
kabupaten kota. Saya kira ini catatan kecil yang perlu disampaikan sehubungan
dengan peran DPD RI dalam memperjuangkan dan mengawasi daerah, baik
dalam penerangan, pelaksanaan penerangan dan pengawasan. Demikian, terima
kasih.
2. Bpk. Prof. Dr. Drs. Madjid Abdullah, SH, MH(Mantan Wakil Gubernur
Maluku Utara)
Judul Materi :Tinjauan DPD menurut UU yang berlaku.
Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem DPD ini
menyangkut kewenangan DPD ini saya bagi dalam 4 kewenangan.
1. Dapat mengajukan
2. Ikut membahas
3. Memberi pertimbangan
4. Dapat melakukan pengawasan
Bahasa dalam UU ini, kata dapat kalau kita terjemahkan bisa laksanakan,
bisa tidak. Kemudian ikut membahas, tidak ikut juga tidak apa-apa. Nah ini
kata-kata dalam UU. Kemudian yang berhubungan dengan rencana UU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, DPD mempunyai kewenangan, dapat
mengajukan, ikut membahas, tidak memberikan pertimbangan. Dia tidak
memberikan pertimbangan, tapi ikut membahas dan dapat melakukan
pengawasan. Hubungan pusat dan daerah demikian juga sama, kemudian
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan juga sama, sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi juga sama, dapat ikut mengajukan, dapat ikut
membahas, dapat melakukan pengawasan sedangkan yang memberikan
62
pertimbangan adalah berhubungan dengan rencana UU dan RAPBN pada
pendidikan agama. Dan pemilihan anggota BPK, itu yang memberikan
pertimbangan, ikut membahas, juga dapat mengajukan.
Saya melihat bahwa peran DPD itu sangat lemah, karena tadi sudah
dikemukakan bahwa hanya memberikan pertimbangan. Posisi DPD ini
menyangkut kepentingan daerah, bukan hanya kepentingan politik negara
sedangkan DPD sifatnya hanya memberikan pertimbangan saja. Nah inilah
sehingga posisi DPD dalam UU No. 22 tahun 2003 sangat lemah.
Kemudian DPD ini tidak punya posisi original power, jadi dia mau
berbuat tidak dapat mengajukan, tidak punya hak tolak, inilah yang
menyebabkan posisinya lemah, sehingga saya melihat peran DPD ini perlu harus
diberdayakan melalui amandemen UUD 1945.
63
kabupaten kota sebagai lembaga representasi daripada daerah untuk
mempertahankan kearifan lokal, memantapkan, mengembangkan, menggali
segala potensi daerah untuk kepentingan daerah itu sendiri.
64
lahirnya perundang-undangan tetapi yang terjadi adalah kolusi antara
eksekutif legislatif dan antara anggota legislatif sendiri.
Secara lugas, DPD ini hanya pembantu DPR bisa kita lihat di dalam
UUD dan UU yang sudah disebutkan, hanya mempunyai 4 fungsi saja, dapat
melakukan, dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang, ikut
membahas rancangan undang-undang, ikut memberikan pertimbangan kepada
DPR atas rancangan undang-undang APBN yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU
mengenai kewenangan dan melaporkan pengawasannya kepada DPR.
Langkah-langkah strategis dalam mempertahankan posisi dan peran DPD
agar setara dengan posisi DPR.
65
1. Memilih pimpinan DPD yang mempunyai apa yang disebut political collage,
dan punya komitmen terhadap pentingnya prinsip cek and balance of power,
antar lembaga legislatif.
2. Membangun persepsi yang sama antara anggota DPD satu dengan yang lain
untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui penguatan posisi dan
peran DPD setara dengan DPR, dengan kata lain perlu apa yang disebut
syarat kekompakan di dalam DPD sendiri.
3. Menyusun agenda kegiatan dalam upaya memperjuangkan kepentingan
daerah melalui perubahan pasal yang mengibiri DPD untuk mendapat posisi
dan peran DPD.
4. Melibatkan anggota fraksi partai politik dalam kegiatan DPD dengan
memberikan fasilitas yang memperlancar keterlibatannya.
5. Membuat strategi melalui forum-forum pertemuan internal DPD untuk
memperjuangkan aspirasi DPD tentang posisi dan peran DPD.
6. Membuat strategi untuk membuat jalannya sidang MPR dan kalau perlu
melakukan tekanan yang sifatnya rasional.
7. DPD perlu menentukan apa yang disebut floor leader, yang mampu
memperjuangkan gagasan DPD tentang perlunya perubahan posisi dan peran
DPD untuk meyakinkan dan memperjuangkan dalam forum-forum resmi di
MPR maupun di fraksi-fraksi.
Untuk itu diperlukan pimpinan DPD dalam mengarahkan dan
memfasilitasi, sebab itu adalah salah satu faktor yang penting, karena tanpa
keberanian dan fasilitas ini suatu perjuangan tidak akan berhasil.
Ada beberapa hal yang menjadi persoalan dalam daerah perbatasan atau
pulau-pulau kecil dari Kepulauan Talaud, yang harus diambil oleh DPD.
Kepulauan Talaud, adalah remote areal, sehingga apabila dikaitkan
dengan kebijakan pemerintah, antara lain UU No. 32 tentang Pemerintashan
Daerah, yang secara konkrit bisa dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Beberapa
66
slogan yang tidak terealisasi dalam peraturan pemerintah maupun uu di
Indonesia ini.
1. Kep. Talaud sebagai daerah perbatasan atau pulau-pulau kecil yang
dinyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai beranda terdepan. Sehingga
perlu ada penataan-penataan oleh pemerintah pusat yang dikonkritkan
sebagai beranda terdepan, sehingga DPD RI bukan hanya dimasukkan
sebagai slogan-slogal tetapi harus diwujudknyatakan.
2. Konsep satu pulau
– Masalah transportasi, antara satu pulau dengan pulau yang lain tidak
ada masalah tentang hubungan antara satu desa dengan desa yang
lain atau antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Alokasi
keuangan politik oleh pemerintah pusat seharusnya memperhatikan
pola-pola seperti ini.
– Persoalan pulau miagas yaitu tentang perbatasan dimana tentang
masalah transportasi yang tidak memadai untuk menunjang tentang
konsep satu pulau. Sehingga begitu pentingnya DPD RI untuk
memperhatikan konsep ini.
– Konsep dana alokasi/pendanaan. Sumber pembangunan untuk satu
daerah kabupaten kota berasal dari dana perimbangan yang terdiri
dari dana alokasi umum (DAU) diserahkan langsung kepada
pemerintah daerah untuk dikelola, dana alokasi khusus (DAK) yang
dikelola langsung oleh pusat, dana perbantuan yaitu sumber dana
APBN yang dialokasi oleh kabupaten kota/provinsi yang dikelola
langsung oleh pemerintah pusat, sehingga perbantuan betul-betul
ditentukan oleh kemampuan kita melakukan lobi, dana dekonsentrasi
yaitu dana yang dari pemerintah provinsi yang sebenarnya ini
menjadi persoalan karena dana ini kadang-kadang tumpah tindih,
dengan yang menjadi kebijakan pemerintah daerah, ketika
pemerintah provinsi menetapkan berdasarkan kebijakannya sendiri,
kadang-kadang alokasi menjadi double, dana ini harus dikelola oleh
human resources yang jelas. Kadang-kadang alokasi dana yang
begitu tinggi sedangkan pengelolaan tidak berkesusaian dengan SDM
sehingga menjadi hambatan, padahal kondisi ini bisa dibalik karena
67
ada dana perbantuan dari pemerintah pusat, alokasi umum dan
otonomi daerah. dana bagi hasil, dana atau pendapatan asli daerah
yang dihasilkan oleh pemerintah daerah itu sendiri.
68
Oleh karena itu DPD dan DPR RI kiranya dapat memberikan suara yang optimal
untuk memberikan masukan bahkan memperjuangkan Pembangunan Pulau-
Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Perbatasan di Kep. Talaud
69
kita sistem presidensil, tapi dalam faktanya sistemnya telah berubah
parlementer, semua kebijakan-kebijakan pemerintah selalu harus
bertanya atau minta persetujuan DPR. Ini perlu adanya perubahan sistem
ketatanegaraan kalau dibeda-bedakan atau siapa yang berperan DPR atau
eksekutif nampak sekali, untuk mengangkat seorang pejabat harus
ditanyakan kepada DPR, apalagi peran DPD sangat tidak kelihatan,
sehingga perlu adanya sistem ketatanegaraan dalam kedudukannya.
Kalau hanya sebagai pelengkap sebaiknya dihilangkan saja.
3. Hendra
Berkaitan dengan masukan dan pertanyaan dari 2 orang tadi, sehubungan
dengan peran DPD, sangat lemah tugas dan fungsinya, karena dilihat dari
UUD 1945 disitu DPD tidak mempunyai wewenang untuk mengambil
suatu kewenangan. Dimana sebetulnya posisi dalam DPD?
4. Bpk. Edwin Moniaga
DPD sebagai langkah maju, untuk itu tidak perlu dibubarkan, karena
dilihat dari fungsi dan kewenangannya sebagai representasi regional.
Sehingga dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya mempunyai
sistem yang kuat. Pasal 42, 43 UU No. 23 Tahun 2003. Yang perlu
dimaksimalkan adalah fungsi pengawasan yakni menempatkan DPD
sebagai legislator.
Law center sebenarnya bisa menjadi posisi bargaining daerah, sebagai
data-data dan kajian sebagai masukan bagi DPD untuk melaksanakan
fungsi dan kewenangannya secara maksimal, misalnya Pemekaran atau
pembentukan daerah.
5. Bpk. Jemmy Sondakh
Pengaruh DPD dalam paradigma otonomi daerah. Dulu dikenal sebagai
paradigma dan sekarang DPD. Kira-kira adakah pengaruh paradigma
otonomi daerah dalam DPD? Apakah dengan pemberlakuan otonomi
daerah peran DPD semakin menguat atau semakin melemah? Apakah
solusi dalam memaksimalkan peran DPD terutama dalam menunjang
optimalitas sistem desentralisasi pemerintahan?
Jawaban: Bpk. Majid
70
Kewenangan DPD dibatasi, tidak mempunyai original power dalam UU,
karena itu bagaimana kita memberdayakan DPD ini bukan
membubarkan, dengan pertama-tama kita memperkuat landasan
hukumnya.
Jawaban: Bpk. Pulukadang
Kewenangan DPD yang terbatas, maka perlu adanya balance power antar
legislatif. Problemnya bagaimana menyetarakan antara DPD dan DPR.
Fungsi pengawasan tidak menjadi koleslator tapi legislator, karena itu
pentingnya DPD dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi rakyat.
Solusinya adalah dengan merubah pasal 22 dengan 8 langkah yang sudah
disampaikan.
Pertanyaan untuk Bpk. Elly Lasut
6. Jefferson Petonengan
Untuk membangun Kep. Talaud DPD harus lebih optimal
Menghadirkan dana untuk kep. Talaud dan untuk apa dana tersebut
sehingga terkelola dengan baik.
7. Christian Poae
Secara hukum perlu dikaji UUD 1945
Optimalkan tugas dan fungsi DPD sesuai dengan peraturan yang ada
Buat DPD sebagai lembaga pusat dan daerah.
8. Ibu Altje Musa
Peran DPD, ketentuan perundang-undangan mengenai peran DPD
sebetulnya sudah bagus, kalaupun DPD tidak hadir untuk membawa
aspirasi kita ke pusat, yang perlu kita pertanyakan apakah DPD akan
mampu memberikan aspirasi kita ke pusat untuk berbuat secara
maksimum dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, khususnya yang ada
di daerah.
Jawaban Bpk. Elly Lasut
Faktor yang mempengaruhi product domestic bruto yang paling banyak
adalah investasi pemerintah sedangkan untuk investasi swasta sangat
sulit.
71
Tingkat pertumbuhan kep. Talaud sudah sangat membalik, dimana
tingkat kemiskinan sangat drastis pada tahun 2005 baru 5,4%, 2006
menjadi 5,8%, sedangkan pada tahun 2008, menjadi 6,1%.
72
Jawaban: Bpk. Elly Lasut
Soal kerjasama pendidikan nanti akan diupayakan, satu hal keinginan saya yaitu
ingin menjadi mahasiswa fak. Hukum, nanti akan diupayakan untuk pegawai
dapat belajar di fak. hukum.
Kerjasama untuk kuliah di Australia, dimana 20 orang yang ingin belajar di
sana, ketika selesai kuliah harus menetap dan membangun pulau Miangas.
Salah satu langkah yang diambil yaitu informasi korupsi yang berbau
menyudutkan pemerintah daerah yakni dengan korupsi, namun kami sebagai
pemerintah akan berusaha untuk dapat berbuat lebih banyak agar tercipta
pemerintahan yang baik, bersih dan jujur.
73
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah demikian luas
dengan keanekaragaman yang sangat kompleks, pemberian otonomi kepada
daerah merupakan sesuatu yang mutlak. Kesadaran akan mutlaknya otonomi
daerah tersebut dimulai oleh para pendiri dan pembentuk Republik ini
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti
dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan
kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.
Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945,
secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-
Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan
yang demikian telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 dan
Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak
hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal
dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan
pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan
keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama
dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang
wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan
sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang)
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan
tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan
kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu
prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi
daerah yang berbeda-beda.
74
Dalam analisis hasil penelitian “dapat saja” dikatakan bahwa
ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah salah satu indikatornya yang
sangat berpengaruh yang tidak disadari selama ini adalah karena para pengambil
kebijakan/penentu; tidak tinggal dan hidup di daerah (tertinggal) tapi (lebih ber-
kecenderungan) hidup dan tinggal di pusat ibukota (jiwanya ada di pusat ibu
kota), sehingga secara psikologis, insting kepekaan batinia untuk membangun
daerah (membangun rumah sendiri) tidak ada, kalaupun ada hanya karena
tuntutan atas dorongan formalitas jabatannya saja, bukan timbul dari dorongan
kepekaan bathin, sehingga gaungnya timbul sekedar retorika dan yang
dihasilkan adalah berbagai macam konsep-konsepan ‘membangun’ dan tidak
teraktualisasi karena hanya dokemen ‘laporan’ sebagai pemenuhan syarat
administrasi semata sebagai wakil rakyat.
Kalau DPR konsentrasi kehidupannya di ibukota negara, seharusnya
DPD harus memili lebih banyak hidup dan bergaul di daerah utusannya.Anggota
DPD dengan kehidupannya sehari-hari di daerah dapat langsung merekam
keberadaan daerah tersebut dan dibawah dalam sidang DPD tanpa melalui
mekanisme tawar menawar dan untung rugi partai politik seperti yang terjadi
lewat perwakilan partai politik.
Dalam penelitian ini, gambaran yang dapat diungkapkan mengenai
keberadaan DPD RI sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah
bahwa dengan kehadiran DPR RI, hubungan pusat dan daerah secara struktur
kelembagaan dipandang dapat menjangkau semua aspirasi dan kebutuhan
seluruh daerah di wilayah NKRI. Tetapi menjadi kendala adalah
egoisme/egosentris kelembagaan yang sesungguhnya hal itu datang dari
kesadaran personal (mentalitas SDM) internal DPD itu sendiri dan lembaga lain
yang menganggap DPD hanya sebagai pelengkap tuntutan reformasi tanpa
fungsi (pemeran “figuran”).
B.SARAN
DPD harus diadvokasi dan “diberdayakan” di dalam tubuh parlemen.
Harus ada advokasi dari semua komponen untuk menghentikan pengebirian
terhadap fungsi dan kewenangan DPD dan mewacanakan kepada publik bahwa
realitas politik ini jangan sampai dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
75
Advokasi ini juga harus pada level aksi mendorong secara kuat
terjadinya perubahan di level perundangan yang mengatur fungsi dan
kewenangan DPD dalam kerangka penguatan DPD RI. DPD RI yang kokoh
akan berarti memperkuat legitimasi lembaga perwakilan di hdapan publik.
Memperkuat DPD adalah pilihan paling masuk akal, bahkan suatu
kelaziman agar lembaga perwakilan kita bisa sesuai dengan napas dan gerak
demokrasi di negeri ini.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa DPD harus diperkuat. Pertama,
persoalan fundamental dalam berbangsa dan bernegara, integrasi bangsa.
Hampir semua negara yang memiliki wilayah begitu luas, dengan jumlah
penduduk besar, serta di dalamnya terdapat dinamika dari aneka suku dan
agama, lembaga perwakilannya menganut sistem dua kamar. Apakah Negara
tersebut bentuk kesatuan atau federal, dengan sistem pemerintahan presidensial
atau parlementer, itu bukan soal utama. Bikameralisme tidak melulu dipakai
oleh negara berbentuk federal, tetapi negara kesatuan yang menerapkan
desentralisasi, seperti Indonesia, juga sangat penting menerapkannya.
Bikameralisme harus dimaknai sebagai instrumen untuk memperkuat kesatuan
negara.
76
DAFTAR PUSTAKA
77
Salam FaisalMoch, Pengadilan HAM Di Indonesia, Pustaka, Bandung, 2002.
St. Sularto, SeandainyaAkuBukanAnakmu, PT.Kompas, Jakarta, 2002.
Suseno FranzMagnis, Kuasa & Moral, PT. GramediaPustakaUtama, Jakarta.
2001.
Syamsuddin, M.S, NormaPerlindunganDalamHubungan Industrial, Sarana
Bhakti Persada, Jakarta, 2004.
Wahyono Agung, Tinjauan tentang Peradilan Anakdi Indonesia, SinarGrafika,
Jakarta, 1993.
Sumber-sumber lain
Web Site :
http://revitriyoso.multiply.com/journal/
http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/
http://www.kabarindonesia.com/berita
78