Anda di halaman 1dari 3

Covid-19 dan Omnibus Law: Apa Kabar Gerakan Mahasiswa?

Muhammad Nurhidayat

“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut
tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia serjana”
(Pramoedya Ananta Toer).

Mahasiswa merupakan salah satu entitas dalam kelompok masyarakat yang menyandang
predikat kaum intelektual dan memiliki tanggungjawab sosial dalam melihat realitas. Gerakan
Mahasiswa dan golongan muda bersama rakyat tak hanya dipahami secara filosofis, namun disisi
lain ia memiliki jejak reflektif dalam menentukan arah sejarah dan nasib suatu bangsa ke depan.
Telah tercatat dalam lembar sejarah bahwasanya, keterlibatan golongan muda dan mahasiswa
sangatlah vital dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Keberpihakan atas rakyat dan
keberanian menyatakan suatu kebenaran, guna melawan rezim yang menindas menjadi modal
penting atas semuanya. Rekam jejaknya tak hanya sekedar memantik ingatan untuk melakukan
seremonial belaka atas aksi heroik yang dilakukan bebarapa tahun silam. Namun gerakan
mahasiswa mesti dijadikan tumpuan reflektif dalam membangun strategi dan taktik, guna
melawan tatanan sosial ekonomi kapitalistik yang telah lama menggurita dalam tubuh bangsa ini.

Sejak berakhirnya rezim orde baru ditandai dengan lengsenya soeharto dari singgahsana hingga
rezim jokowi saat ini, tatanan sosial-ekonomi kita pun tak kunjung membaik. Kerap kali kita
mendapati Negara bersama rezim modalnya melakukan tindakan refresif, perampasan ruang,
pembungkaman demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan serta
menjadikan rakyat sebagai korban dari serakahnya sistem dan pemangku kebijakan lewat
regulasi yang dikeluarkan. Tak hanya sampai disitu, posisi rezim hari ini mempertegas
kehadirannya hanya sebagai pelayan bagi kekuatan modal dengan menghadirkan satu paket
regulasi yang kerap kita kenal dengan sebutan Omnibus Law.

Omnibus Law

Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemenkan beberapa
UU sekaligus. Dalam tubuh Omnibus Law terdapat sekelumit kejanggalan, misalnya saja, dalam
RUU tersebut memangkas hak-hak Buruh, melegitimasi ekspolitasi sumber daya alam,
memonopoli tanah rakyat, Komersialisasi Pendidikan serta lepasnya tanggungjawab Negara
dalam memenuhi kesejahtraan rakyat. Omnibus Law dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang
dapat menyelamatkan nasib jutaan rakyat Indonesia, dengan menciptakan iklim investasi yang
baik. Menyerahkan diri pada industri terlihat bukan menjadi sebuah pilihan, namun sebuah
keharusan di dalam selubung wacana yang tak menghendaki pilihan alternatif.
Omnibus Law merupakan satu peket kebijakan yang sarat akan kepentingan pemilik modal
dengan menjadikan buruh sebagai subjek yang sangat dirugikan serta dalam kebijakannya
mengandung aktivitas-aktivitas ekonomi yang tak ramah dengan lingkungan. Dalam ranah
pendidikan, RUU ini juga merevisi berbagai UU tentang pendidikan yang secara subtansial
melepas tanggungjawab Negara terhadap akses pendidikan rakyat. Implikasinya adalah orientasi
pendidikan tidak lagi bagi rakyat tetapi mempertegas posisinya sebagai sesuatu yang ekslusif.
Banyaknya kejanggalan dan kontadiksi dalam tubuh Omnibus Law sehingga menuai banyak
protes dari kalangan analisis, mahasiswa dan rakyat secara luas.

Covid-19

Satu hal yang tak terelakan ialah ketika Indonesia sedang diserang oleh satu wabah penyakit
yang saat ini dikenal dengan COVID-19. Bukannya pemerintah hadir dalam menangani virus
tersebut, jusrtu dijadikan sebagai momentum untuk segera mengesahkan RUU Omnibus Law,
yang sejak awal menuai banyak penolakan dari rakyat. Covid-19 dan Omnibus Law tak lain dari
kombinasi mematikan, ia ibarat lonceng kematian bagi rakyat kita saat ini.

Setelah ditetapkan kebijakan physical distancing oleh WHO dan di ikuti oleh berbagai Negara,
salah satunya Indonesia. Kebijakan tersebut dianggap ampuh untuk mematikan rantai
penyebaran COVID-19, maka setiap aktivitas yang memunculkan keramaian dilarang serta
seluruh institusi dan lembaga yang berkaitan pun diliburkan, salah satunya institusi perguruan
tinggi. Dampak yang ditimbulkan dari virus tersebut mengharuskan aktivitas-aktivitas kita mesti
terbatas. Kurang cekatannya pemerintah dalam menangani virus ini serta minimnya pelayanan
publik yang diberikan pemerintah sehingga mengharuskan masyarakat harus bersibaku dalam
bertahan hidup secara mandiri ditengah pandemi. Virus ini pun membuat masyarakat kehilangan
sumber-sumber pendapatan dan krisis menjadi satu hal yang tak terelakan tentunya. Namun satu
hal yang patut digaris bawahi dari pandemi ini adalah elemen rakyat yang sangatlah dirugikan.

Lantas, ditengah pandemi COVID-19 dan RUU Omnibus Law saat ini dimana sesungguhnya
para intelektual kampus akan pergi? Kemana arah dan nasib bangsa ini akan pergi? Dimana
solidaritas antargerakan mahasiswa itu akan berlari?

Sekelumit pertanyaan yang terus menghantui benak mahasiswa dalam menghadapi COVID-19
dan Omnibus Law yang dianggap kombinasi mematikan pada kondisi kali ini. Sehingga, patut
kita diskusikan ulang satu bentuk formulasi dalam membangun jejaring solidaritas dan
menentukan gerak juang mahasiswa. Ditengah pandemi Covid-19 dan Omnibus Law, sudah
seharusnya mahasiswa sabagai kaum intelektual yang sadar konteks, menanggalkan segala
rutinitas yang sifatnya pragmatis dan individualis, menyatukan kekuatan organisasi mahasiswa
dan rakyat serta ikut terlibat dalam menentukan nasib sendiri dan sejarah bangsa. Sehingga
narasi “senasib dan sepenanggungan” yang dikumandangkan mahasiswa berdiri kokoh ditengah
lautan persoalan rakyat serta termaniefestasi dalam gerak juang mahasiswa hari ini.
.

Anda mungkin juga menyukai