Anda di halaman 1dari 2

Suka Duka di Balik Pandemi

Pada tanggal 30 Desember 2020, WHO (World Health Organization) secara resmi
mendeklarasikan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) sebagai darurat kesehatan masyarakat
secara global (global public health emergency). COVID-19 merupakan virus penyakit baru yang
belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Manusia yang terjangkit virus ini
memiliki gejala ringan seperti pilek, sakit tenggorokan, batuk, demam, dan kepala pusing. Gejala
lain yang lebih serius yaitu pneumonia atau sesak napas, bahkan dalam beberapa kasus, virus ini
dapat menyebabkan kematian.
Seperti masyarakat pada umumnya, mungkin kita juga sempat tidak percaya virus yang
awalnya ditemukan di Wuhan, China ini akan sampai pada hadapan kita dan mengubah pola
kehidupan kita secara drastis, setidaknya dalam dua bulan terakhir ini. Pada 15 Maret lalu,
Bupati Bojonegoro, Hj. Anna Mu’awanah mengeluarkan surat edaran resmi menanggapi wabah
pandemi tersebut. Surat edaran tersebut berisi perintah kepada seluruh warganya untuk tetap
berada di rumah saja. Kerja dari rumah, ibadah di rumah, serta belajar di rumah. Hal ini
dilakukan untuk menghambat penyebaran COVID-19. Tentu hal tersebut akan berdampak masif
terhadap pola kehidupan sehari-hari masyarakat Bojonegoro yang mayoritas harus beraktivitas di
luar rumah, terutama pada sektor pendidikan. Benar saja, sejak 16 Maret lalu, kegiatan belajar
mengajar ditiadakan di sekolah dan harus dilakukan di rumah dengan menggunakan metode
pembelajaran daring. Hal tersebut juga berlaku bagi seluruh anggota keluarga besar SMA Negeri
1 Kalitidu, Bojonegoro.
Pada awalnya, siswa tentu menyambut berita ini dengan gembira, karena pada saat hari
biasa (belajar di sekolah), mereka sering mengeluh bosan terhadap kegiatan belajar mengajar.
Ingin libur saja. Namun rupanya hal tersebut malah tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.
Belajar di rumah yang dalam bayangan mereka akan terasa sangat menyenangkan ternyata malah
menjadi lebih membosankan dari pada belajar di sekolah karena beberapa faktor seperti terlalu
banyak tugas, merasa kesepian karena tidak bisa berkumpul dengan teman belajar, dan lain-lain.
Beberapa siswa juga mengeluh mengenai faktor teknis seperti kurangnya fasilitas (gawai, pulsa,
maupun internet) untuk mengikuti proses pembelajaran sehingga tertinggal oleh teman-temannya
yang memiliki fasilitas pembelajaran lebih baik.
“Handphone saya tidak memadai Pak.”,
“Tidak bisa mengirim tugas lewat Google Classroom Pak, lewat Whatsapp ae yo?”
“Tugasnya kok banyak sekali to Pak? Mumet aku. Malah lebih enak belajar di sekolah
saja kalau begini Pak.”
“Bosan Pak di rumah terus, kangen sekolah.”,
“Kangen eseman e dek e Pak, hehe.”, dan lain sebagainya.
Dampak dari wabah pandemi ini tentu juga dirasakan oleh para guru. Pertama, tentu
keluhan-keluhan dari para siswa tadi menyebabkan dilema moral bagi mereka. Di satu sisi
mereka merasa iba karena banyak siswa yang mengeluh terlalu banyak tugas, di sisi lain mereka
tetap harus memberi tugas supaya kegiatan belajar mengajar tetap berjalan. Para guru juga
merasakan hal yang sama. Kedua, mereka pasti merasa sangat teralienasi dari tugas utamanya,
dari kodratnya sebagai pendidik yang harus berhadapan secara langsung dengan anak didik
mereka. Dengan kata lain, wabah pandemi ini membuat guru dan siswa menjadi terasing satu
sama lain dalam kegiatan belajar mengajar.
Di luar duka dan kesusahan yang banyak timbul akibat wabah pandemi COVID-19 ini,
ternyata ada fenomena menarik lain yang bisa dibilang merupakan hikmah dari wabah tersebut,
seperti gaungan nature is healing, we are the virus(?) yang merebak secara global entah itu di
televisi maupun sosial media. Benar saja, di balik kengerian dan teror yang ditimbulkannya,
ternyata wabah bencana COVID-19 ini juga cukup memberi dampak yang baik pada bumi. Tidak
usah terlalu jauh melihat ke kanal Venesia di Italia yang mendadak menjadi jernih dan bening
setelah aktivitas lalu lintas kapal sepi serta wisatawan berkurang, atau jalanan New York,
Amerika Serikat yang mendadak menjadi asri karena sepinya aktivitas manusia dan
berkurangnya sampah, kita bisa melihat perubahan-perubahan kecil yang berarti baik di sekitar
kita, seperti berkurangnya polusi udara karena aktivitas kendaraan yang menurun. Mungkin
memang benar, wabah COVID-19 ini merupakan cara alam untuk merespon tindakan-tindakan
eksploitasi besar-besaran terhadapnya yang dilakukan oleh manusia selama ini. Selain itu, kita
juga bisa melihat hikmah lain. Katakanlah, kebiasaan-kebiasaan hidup bersih dan sehat yang
sudah lama ditinggalkan manusia kini mulai diterapkan kembali, atau keharmonisan keluarga
yang mulai memudar karena kita jarang di rumah kini bisa terjalin kembali.
Kendati demikian, COVID-19 adalah virus penyakit yang masih sangat baru, di mana
penelitian dan kajian ilmiah terkait virus ini masih sangat sedikit. Belum ditemukan obat dan
vaksin khusus untuk melawan virus ini. Jadi masih belum bisa dipastikan kapan wabah pandemi
ini akan berakhir. Mari senantiasa berdoa dan bergotong royong dalam melawan wabah pandemi
ini. Tetap laksanakan instruksi dari pemerintah, tetap jaga jarak dengan siapa pun, selalu
mencuci tangan setelah memegang benda apa pun, selalu memakai masker jika mendesak harus
keluar rumah, menjaga imunitas tubuh dengan menerapkan pola hidup yang sehat dan bersih,
rajin berolahraga dan makan makanan bergizi. Jangan lupa untuk segera memeriksakan diri ke
dokter jika merasa mengalami gejala-gejala penyakit yang ditimbulkan virus ini.
Semoga wabah pandemi COVID-19 ini segera berlalu!

Informasi tambahan: Telah tersedia situs dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk melacak
keberadaan penderita positif COVID-19 di sekitar kita yaitu radarcovid19.jatimprov.go.id

Anda mungkin juga menyukai