Anda di halaman 1dari 32

BAB II

PELELANGAN BARANG PADA PEGADAIAN SYARIAH

A. Pengertian Gadai Syariah (Rahn) dan Lelang


1. Pengertian Gadai Syariah (Rahn)
Dalam fiqh muamalah, perjanjian gadai disebut rahn.1 Ar-rahn
adalah bukti atau sesuatu yang berlaku karena perjanjian.2 Suatu perjanjian
untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. 3 Pengertian ar-
rahn dalam bahasa Arab adalah aś-śubūt wa ad-dawām ( ‫)الشبوث والدوام‬,4
yang berarti “tetap” atau “kekal”.5
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan diatas
adalah tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah
adalah menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan
hukum sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil sebagian manfaat dari barang tersebut.6
Sedangkan menurut syara‟ apabila seseorang ingin berhutang
kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak
bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaannya (murtahin)
sampai ia melunasi utangnya. 7

1
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), 169. Selanjutnya ditulis: Burhanuddin S, Aspek Hukum.
2
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah) (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), 492. Selanjutnya ditulis: Doi, Penjelasan Lengkap.
3
Ahmad Rodoni, Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2008), 187.
Selanjutnya ditulis: Rodoni, Lembaga Keuangan Syariah.
4
Ali, Hukum Gadai, 1.
5
Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), 88. Selanjutnya ditulis: Muslehuddin, Sistem Perbankan. Lihat juga Moh. Zuhri, Salomo,
Kifayatul Akhyar (Semarang: Toha Putra, 1978), 196. Selanjutnya ditulis: Salomo, Kifayatul
Akhyar.
6
Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 240. Selanjutnya ditulis: Mujahidin, Kewenangan.
Lihat juga Sohari Sahrani, dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), 157. Selanjutnya ditulis: Sahrani, Abdullah, Fikih Muamalah.
7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12 (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1988), 139. Selanjutnya
ditulis: Sabiq, Fiqh Sunnah 12.

18
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, penulis
mengungkapkan pengertian gadai (rahn) menurut para ulama, yang
mempunyai definisi yang berbeda-beda, yakni sebagai berikut:8
a. Ulama Maliki mendefinisikan rahn adalah harta milik seseorang
dijadikan jaminan utang yang bersifat mengikat.
b. Ulama Hanafi mendefinisikan rahn adalah menjadikan sesuatu barang
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagian.9
c. Ulama Syafi‟i dan Hambali mendefinisikan rahn adalah menjadikan
materi (harta) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayaran
utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya. 10
Selain itu, penulis juga akan mengungkapkan pengertian gadai
(rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam, antara lain sebagai
berikut:
a. Menurut Sudarsono, rahn adalah penitipan barang kepada orang lain
dengan tujuan untuk memperoleh pinjaman dan barang tersebut
digadaikan seperti titipan untuk memperkuat jaminan pinjamannya. 11
b. Menurut Muhammad Syafi‟i Antonio, gadai syariah (rahn) adalah
menahan salah satu harta milik nasabah (rāhin) sebagai barang
jaminan (marhūn) atas utang atau pinjaman (marhūn bih) yang
diterimanya. Marhūn tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin)
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.12
c. Menurut Nasrun Haroen, ar-rahn adalah menjadikan suatu barang
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan

8
Mujahidin, Kewenangan, 240-241.
9
Mujahidin, Kewenangan, 240-241.
10
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), 43. Selanjutnya ditulis: Bakry, Problematika.
11
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), 470.
Selanjutnya ditulis: Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam.
12
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), 128. Selanjutnya ditulis: Antonio, Bank Syariah. Lihat juga Zaenudin Ali, Hukum
Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 23. Selanjutnya ditulis: Ali, Hukum Perbankan.
sebagai pembayaran hak (piutang) itu, baik keseluruhannya ataupun
sebagiannya.13
d. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), rahn adalah
penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai
jaminan.14
e. Menurut Bank Indonesia, rahn adalah akad penyerahan barang atau
harta (marhūn) dari nasabah (rāhin) kepada Pegadaian syariah
(murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang.15
f. Menurut Veithzal Rivai, dkk, rahn adalah pemberi gadai (nasabah)
yaitu pihak yang berutang atau menerima pinjaman dengan
menyarahkan barang miliknya sebagai jaminan pelunasan utangnya. 16
Berdasarkan pengertian Gadai (rahn) yang dikemukakan oleh para
ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa gadai (rahn) adalah
perjanjian atau akad pinjam meminjam dengan menahan salah satu harta
milik nasabah (rāhin) sebagai barang jaminan (marhūn) atas utang atau
pinjaman (marhūn bih) yang diterimanya, dan barang yang diterima
tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
utangnya dari barang gadai tersebut, bila pihak yang menggadaikan tidak
dapat membayar utang atau melunasi utang pada waktu yang telah
ditentukan.
Sedangkan pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150
Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan: “Gadai adalah suatu
hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang

13
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), 265. Selanjutnya ditulis: Ghazaly, Ihsan, Shidiq, Fiqh
Muamalah.
14
Mujahidin, Kewenangan, 240.
15
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 233. Selanjutnya ditulis: Djamil, Penerapan
Hukum.
16
Veithzal Rivai, Andria Permata Veithzal, dan Ferry N. Idroes, Bank and Financial
Institution Management Conventional & Sharia System (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), 1341. Selanjutnya ditulis: Rivai, Veithzal, Idroes, Bank and Financial.
itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk
melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”.17
Berdasarkan pengertian gadai menurut KUH Perdata tersebut,
penulis dapat menyimpulkan bahwa gadai terjadi karena adanya perjanjian
utang piutang yang dilakukan nasabah dengan kreditor. kreditor berhak
menerima barang bergerak sebagai jaminan utang. Selain itu, kreditor
berhak melakukan pelelangan apabila nasabah tidak melakukan pelunasan
sampai batas waktu yang ditentukan, dan kreditor berhak untuk
mengambil pelunasan barang gadai dan biaya-biaya lainnya dari hasil
pelelangan tersebut.
Setelah mengetahui pengertian rahn dan gadai, maka dapat
diketahui secara rinci persamaan dan perbedaan gadai (hukum perdata)
dengan rahn (hukum Islam) diuraikan sebagai berikut:18
a. Persamaan rahn dan gadai
1) Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
2) Adanya agunan sebagai jaminan utang
3) Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
4) Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai
5) Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang
digadaikan boleh dijual atau dilelang.
b. Perbedaan rahn dan gadai
1) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar
tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Sedangkan, gadai
menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong
juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa
modal yang ditetapkan.

17
Alma, Priansa, Manajemen Bisnis Syariah, 31.
18
Muhamad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer (Yogyakarta: UII Press,
2000), 90-91. Selanjutnya ditulis: Muhamad, Lembaga-lembaga.
2) Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang
bergerak. Sedangkan, dalam hukum Islam rahn berlaku pada
seluruh harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3) Dalam rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang.
Sedangkan dalam gadai mengenal istilah bunga.
4) Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu
lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian. Sedangkan,
rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui
lembaga.
2. Ruang Lingkup Gadai Syariah (Rahn)
a. Dasar Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah
ayat-ayat Al-Qur‟an, hadis Nabi Muhammad saw, ijma‟ ulama, dan
fatwa MUI. Hal yang dimaksud akan diungkapkan sebagai berikut:
1) Al-Qur‟an
Perjanjian gadai itu dibenarkan oleh Islam19, untuk lebih
meyakinkan tentang persoalan gadai ini, dikemukakan ayat yang
berkaitan dengannya, sebagaimana firman Allah SWT 20 yaitu:
‫َو َو ٍر َوولَو ْن َو ِإ ُكدوا َو ِإبًب َو ِإ َو ٌنا َو ْنبُكو َو‬
‫وتٌن‬ ‫َوو ِإ ْنا ُك ْن ُك ْن َو َو‬
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis,
maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (Q.S Al-
Baqarah: 283).21
Qamaruddin Shaleh22 berpendapat, bahwa ayat al-Qur‟an
di atas menunjukan apabila terjadi transaksi dalam perjalanan atau
bermuamalah tidak secara tunai dan memakai jangka waktu yang
lama serta tidak menemukan seorang penulis, maka hendaknya ada
barang bukti sebagai jaminan kepada orang yang berpiutang.
19
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 124.
Selanjutnya ditulis: Hasan, Masail Fiqhiyah.
20
Bakry, Problematika, 44.
21
Departemen Agama, Al hidayah Al-Qur‟an, 50.
22
Qamaruddin Shaleh, dkk, Ayat-ayat Hukum Tafsir dan Uraian Perintah-perintah
dalam Al-Qur‟an (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), 107. Selanjutnya ditulis: Shaleh. Dkk. Ayat-
ayat Hukum Tafsir.
Penulis menyimpulkan bahwa fungsi barang gadai
(marhūn) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan
masing-masing pihak (murtahin dan rāhin) sehingga murtahin
meyakini bahwa rāhin akan mengembalikan pinjamannya (marhūn
bih) sesuai jangka waktu yang ditentukan.
2) Hadis Nabi Muhammad saw
Dasar hukum yang kedua yang digunakan sebagai dasar
hukum gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad saw, yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari A‟isyah r.a,
berkata23:
‫َو ْنب ُكد ا ْنل َووا ِإ ِإد َو َّدد َو َو ْنااَو ْن َو ُك َو َوا َو َو ا َو ْن َو ِإ ْن َود ِإ ْن َو ا ِإ َو ال َّد ْن َو‬ ‫َو َّدد َو َو ُك َو َّدد ٌن َو َّدد َو َو‬
‫و َو َّد ُك َو ْن َو َو َّدا‬ ‫ِإ َو َو َوا ِإ ْن َو ا ِإ ُك َو َّدد َو َو ْنااَو ْن َوو ُك َو ْن َو اِإ َوشتَو َو ِإ‬ ‫َووا ْنل َوبِإ َوي ِإ ال َّد َو‬
‫َو َو ْن ِإ َوو َو َّد َو ا ْنا َو َو ِإ ْن َو ُكو ِإ ٍّي َو َو ًب ِإلَو َو َو ٍري َوو َو َو َو ُك ِإ ْن َو ُك‬ ‫َّد ُك‬ ‫َو َّد‬ ‫ال َّدبِإ َّد‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah
menceritakan kepada kami „Abdul Wahid telah menceritakan
kepada kami Al A‟masyi berkata: kami menceritakan di hadapan
Ibrahim tentang masalah gadai dan pembayaran tunda dalam jual
beli. Maka Ibrahim berkata: telah menceritakan kepada kami Al
Aswad dan „Aisyah ra, “bahwa Nabi saw pernah membeli
makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda sampai
waktu yang ditentukan, dan Beliau menggadaikan baju besi
beliau”.24
Dari hadis tersebut penulis menyimpulkan bahwa
Rasulullah pernah melakukan jual beli dari seorang Yahudi dan
tidak melakukan pembayaran secara tunai tetapi menunda
pembayaran sampai batas waktu yang ditentukan, dan Nabi saw
menggadaikan sebuah baju besi beliau sebagai jaminannya.
3) Ijma‟ Ulama
Dari hadis dan ayat di atas, para ulama telah sepakat bahwa:
a) Barang sebagai jaminan utang (rahn) dibolehkan.
b) Rahn dapat dilakukan baik dalam bepergian (safar) maupun
tidak dalam bepergian. Pembatasan dengan safar dalam Surah

23
DSN MUI, Himpunan, 151.
24
Ahmad Mudjhab Mahalli, dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-hadis Muttafaq „Alaihi
bagian Munakahat dan Muamalat (Jakarta: Kencana, 2004), 122. Selanjutnya ditulis: Mahalli,
Hasbullah, Hadis-hadis Muttafaq „Alaihi.
Al-Baqarah ayat 283 adalah karena kelaziman saja, maka tidak
boleh diambil makna sebaliknya, karena adanya hadis-hadis
yang membolehkan rahn tidak dalam bepergian, di samping itu
safar dalam ayat itu karena tidak diperolehnya katib (penulis),
maka lazimnya tidak perlu rahn kecuali dalam safar.25
4) Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa adalah ketetapan hukum syariah yang dikeluarkan
oleh DSN/MUI yang dijadikan pedoman atau acuan dalam
melaksanakan kegiatan muamalah atau bertransaksi.26
Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002
Tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.27
a. Ketentuan Umum
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
Marhūn (barang) sampai semua utang Rāhin (yang
menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhūn dan manfaatnya tetap menjadi milik Rāhin. Pada
prinsipnya, Marhūn tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin
kecuali seizin Rāhin, dengan tidak mengurangi nilai Marhūn
dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhūn pada dasarnya
menjadi kewajiban Rāhin, namun dapat dilakukan juga oleh
Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban Rāhin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhūn tidak
boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

25
Djamil, Penerapan Hukum, 234.
26
Rivai, Veithzal, Idroes, Bank and Financial, 1344.
27
Huda, Heykal, Lembaga Keuangan Islam, 278.
5. Penjualan Marhūn
a) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan
Rāhin untuk segera melunasi utangnya.
b) Apabila Rāhin tetap tidak dapat melunasi utangnya,
maka Marhūn dijual paksa atau dieksekusi melalui
lelang sesuai syariah.
c) Hasil penjualan Marhūn digunakan untuk melunasi
utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penjualan.
d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rāhin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rāhin.28
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan
bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
dalam bentuk rahn harus memenuhi ketentuan berdasarkan fatwa
DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002.
Sedangkan untuk gadai emas syariah, Fatwa DSN-MUI No.
26/DSN-MUI/III/2002 Tanggal 28 Maret 2002 yang menyatakan
gadai emas syariah harus memenuhi ketentutuan umum sebagai
berikut:29
1. Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn.
2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhūn) ditanggung
oleh penggadai (rāhin).
3. Ongkos penyimpanan besarnya didasarkan pada pengeluaran
yang nyata-nyata diperlukan.
4. Biaya peyimpanan barang (marhūn) dilakukan berdasarkan
akad Ijarah.30
Berdasarkan ketentuan Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-
MUI/III/2002 mengenai gadai emas syariah bahwa rahn emas
dibolehkan berdasarkan prinsip rahn, biaya penyimpanan besarnya

28
DSN MUI, Himpunan, 153-154.
29
Soemitra, Bank, 391.
30
Perpustakaan Nasional, Himpunan, 204-205.
berdasarkan pengeluaran yang nyata-nyata dan ditanggung rāhin,
serta dilakukan berdasarkan akad ijarah.
b. Akad yang Digunakan Gadai Syariah
Pada dasarnya pegadaian syariah berjalan atas dua akad
transaksi yaitu:
1) Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si
peminjam (rāhin) sebagai jaminan (marhūn) atas pinjaman
(marhūn bih) yang diterimanya, pihak yang menahan (murtahin)
memperoleh jaminan (marhūn) untuk mengambil kembali seluruh
atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan
barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2) Akad Ijarah yaitu akad pemindagan hak guna atas barang dan/atau
jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini
dimungkinkan bagi pegadaian syariah untuk menarik sewa atas
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan
akad.31
c. Rukun dan Syarat Gadai Syariah
1) Rukun Gadai Syariah
Dalam menjalankan pegadaian syariah, rukun yang harus
dipenuhi dalam transaksi ada beberapa.32 Rukun gadai tersebut
antara lain:33
a) Ar-Rāhin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang digadaikan.
b) Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rāhin untuk
mendapatkan modal dengan jaminan barang gadai.

31
Huda, Heykal, Lembaga Keuangan Islam, 279.
32
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 108.
Selanjutnya ditulis: Ascarya, Akad dan Produk.
33
M. Habiburrahim, dkk, Mengenal Pegadaian Syariah (Jakarta: Kuwais, 2012), 105.
Selanjutnya ditulis: Habiburrahim, dkk, Mengenal Pegadaian Syariah. Lihat juga Adrian Sutedi,
Hukum Gadai Syariah (Bandung: Alfabeta, 2011), 27. Selanjutnya ditulis: Sutedi, Hukum Gadai
Syariah.
c) Al-Marhūn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rāhin untuk dijadikan jaminan dalam
mendapatkan utang.
d) Al-Marhūn bih34 (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rāhin atas
dasar besarnya taksiran marhun.
e) Shigat, yaitu Ijab dan Qabul.
Sedangkan rukun gadai syariah menurut jumhur ulama ada
empat, yaitu sebagai berikut:35
a) „aqid,
b) Shigat,
c) Marhūn, dan
d) Marhūn bih.
Berdasarkan rukun gadai di atas, penulis menyimpulkan
bahwa dalam menjalankan gadai syariah harus terpenuhi adanya:
rāhin, murtahin, marhūn, marhūn bih, ijab dan qabul.
2) Syarat Gadai Syariah
a) Syarat „aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh „aqid dalam gadai
yaitu rāhin dan murtahin harus memenuhi kriteria ahliyah36
(kecakapan menangani suatu urusan)37. Ahliyah adalah
kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan kewajiban.38
Sedangkan Ahliyah menurut Hanafiyah dan jumhur ulama
adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Artinya, setiap
orang yang sah melakukan jual beli, sah pula melakukan gadai.

34
Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 92. Selanjutnya ditulis:
Dahlan, Ushul Fiqh.
35
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010), 290. Selanjutnya
ditulis: Muslich, Fiqh Muamalah. Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), 107-108. Selanjutnya ditulis: Suhendi, Fiqh Muamalah.
36
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 162.
Selanjutnya ditulis: Syafe‟i, Fiqih Muamalah.
37
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 308. Selanjutnya
ditulis: Haroen, Ushul Fiqih.
38
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), 56. Selanjutnya ditulis: Dewi,
Wirdyaningsih, Barlinti. Hukum Perikatan Islam.
Sahnya akad gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz. Maka tidak sah gadai yang dilakukan oleh orang
gila atau anak kecil yang masih dibawah umur.39
Berdasarkan syarat „aqid tersebut, penulis dapat
menyimpulkan bahwa syarat orang yang berakad (rāhin dan
murtahin) harus cakap dalam hukum yaitu orang yang berakal
dan telah baligh.
b) Syarat shighat
Adapun syarat-syarat yang dikaitkan dengan akad gadai
hukumnya dapat dirinci menjadi empat bagian, yaitu sebagai
berikut:40
1) Apabila syarat itu sesuai dengan maksud akad, seperti
memprioritaskan pelunasan utang kepada murtahin, maka
akad gadai dan syarat hukumnya sah.
2) Apabila syarat tersebut tidak sejalan dengan akad, seperi
syarat yang tidak ada kemaslahatannya atau tujuannya,
maka akad gadai hukumnya sah, tetapi syaratnya batal.
3) Apabila syarat tersebut merugikan murtahin dan
menguntungkan rāhin, seperti syarat harta jaiman tidak
boleh dijual ketika utang jatuh tempo, maka syarat dan akad
gadai hukumnya batal.
4) Apabila syarat tersebut menguntungkan murtahin dan
merugikan rāhin, seperti syarat harta jaminan boleh diambil
manfaatnya oleh murtahin, maka hukumnya diperselisihkan
oleh para ulama. Menurut pendapat yang lebih zahir, syarat
dan akad hukumnya batal karena syarat bertentangan
dengan tujuan akad. Menurut pendapat yang kedua,
syaratnya batal tetapi akad gadainya tetap sah.

39
Muslich, Fiqh Muamalah, 290-291.
40
Muslich, Fiqh Muamalah, 291-292.
Berdasarkan syarat shighat tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa syarat shighat harus sesuai dengan akad,
dan saling menguntungkan ke dua belah pihak yaitu rāhin dan
murtahin.
c) Syarat marhūn
Marhūn adalah barang yang dijadikan agunan oleh
rāhin sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin
sebagai jaminan utang.41 Secara umum barang gadai harus
memenuhi beberapa syarat yaitu sebagai berikut:42
1) Marhūn bisa dijual dan nilainya seimbang dengan marhūn
bih
2) Marhūn harus berupa harta yang bernilai
3) Marhūn harus bisa dimanfaatkan secara syariah
4) Marhūn harus diketahui keadaan fisiknya secara jelas
5) Marhūn tersebut dimiliki oleh rāhin
6) Marhūn tidak terkait dengan hak orang lain
7) Marhūn itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran
dalam beberapa tempat.
8) Marhūn itu boleh diserahkan, baik materinya maupun
manfaatnya.
d) Syarat marhūn bih
Marhūn bih adalah suatu hak yang karenanya barang
gadaian diberikan sebagai jaminan kepada rāhin.43 Dalam hal
ini untuk adanya marhūn bih harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:44
1) Marhūn bih harus berupa hak yang wajib diserahkan
kepada pemiliknya yaitu murtahin.
2) Marhūn bih boleh dilunasi dengan marhūn itu.
3) Marhūn bih harus jelas dan tertentu.

41
Ali, Hukum Gadai, 26.
42
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 39. Lihat juga M. Habiburrahim, dkk, Mengenal
Pegadaian Syariah, 108.
43
Muslich, Fiqh Muamalah, 295.
44
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 39.
4) Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang
tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
5) Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
3. Pengertian Lelang
Dalam literatur fiqih, penjualan yang dilakukan secara lelang
dikenal dengan istilah Muzayyadah (‫ ) زال دة‬yang artinya saling
menambahi, yaitu orang-orang yang saling menambahi harga tawar atas
suatu barang.45
Lelang menurut Kamus Bahasa Indonesia46, diartikan dengan
penawaran penjualan barang tertentu di depan orang banyak, dipimpin
oleh seorang petugas lelang, peminat yang mengajukan harga beli tertinggi
berhak mendapatkan barang. Abdullah bin Nur dan Oemar Bakry47, kata
“Lelang” diartikan sebagai penjualan dengan melebih-lebihkan secara
terang-terangan. Adapun, dalam bahasa Inggrisnya disebut auction yang
artinya lelang.
Sedangkan menurut Ahmad Ifham Sholihin,48 mengartikan kata
“Lelang” yaitu penjualan barang di depan umum kepada penawar tertinggi
(lelang naik), penjualan dapat menawarkan harga yang diinginkan, tetapi
jika tidak ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi
kesepakatan (lelang turun).
Bertitik tolak dari Pasal 1 Peraturan Lelang LN 1908 No. 189 jo.
LN 1940 No. 56, pengertian lelang adalah penjualan barang di muka
umum atau penjualan barang yang terbuka untuk umum.49
Pengertian tersebut diperjelas kemudian oleh Pasal 1 angka 1
Keputusan Menteri keuangan No. 304/KMK 01/2002, sebagaimana diubah
dengan Keputusan Menteri keuangan No. 450/KMK 01/2002, yang
berbunyi:

45
Mas‟ud, Abidin, Fiqh Madzhab Syafi‟i, 52.
46
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2011), 271. Selanjutnya ditulis: Kementerian, Kamus.
47
Ahmad, Fiqih Lelang, 6.
48
Ahmad Ifham Sholihin, Bahan Rujukan Ekonomi Syariah (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2010), 471. Selanjutnya ditulis: Sholihin, Bahan Rujukan.
49
Harahap, Ruang Lingkup, 115.
“Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik
secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara
penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis yang didahului
dengan usaha mengumpulkan peminat.”50
Selain itu, Biro Lelang Negara, Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara sekarang Direktorat Jenderal Piutang Negara memberikan definisi
lelang sebagai berikut:
“Lelang adalah penjualan barang dimuka umum yang dipimpin
oleh Pejabat Lelang dengan cara penawaran harga secara
terbuka/lisan dan atau tertutup/tertulis yang didahului dengan
pengumuman lelang. Karena itu rencana lelang pada prinsipnya
harus lebih dahulu diumumkan kepada masyarakat”.51
Lelang menurut pengertian di atas adalah suatu bentuk penjualan
barang di depan umum kepada penawar tertinggi dengan penawaran harga
secara lisan maupun tertulis melalui usaha pengumuman lelang untuk
mengumpulkan para peserta lelang dan dimpimpin oleh pejabat lelang.
Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar
yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian
semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan
harga tertinggi (lelang naik) yang biasa dilakukan di pegadaian
konvensional. Lelang juga dapat berupa penawaran barang, yang pada
mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin turun
sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi
yang disepakati penjual (lelang turun) yang biasa dilakukan di pegadaian
syariah. Harga penawaran pertama (harga tinggi) disebut sebagai Harga
Penawaran Lelang (HPL); bisa berupa Harga Pasar Pusat (HPP), Harga
Pasar Daerah (HPD) dan Harga Pasar Setempat dengan memperhitungkan
kondisi barang, daya tarik pembeli pada marhūn lelang tersebut pada saat
lelang.52
4. Ruang Lingkup Lelang dalam Ekonomi Islam
a. Dasar Hukum Lelang
Lelang merupakan salah satu transaksi jual beli, karena jual
beli merupakan perjanjian yang memindahkan hak milik dengan hak

50
Harahap, Ruang Lingkup, 115-116.
51
Ekaputri, Pelaksanaan Lelang Barang, 70.
52
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 137-138.
milik orang lain berdasarkan keridhaan antara keduanya. Begitu pula
dengan cara jual beli secara lelang yang dalam penjualan tersebut ada
bentuk perjanjian yang akan menghasilkan kata sepakat antara pemilik
barang maupun pembeli barang, baik berupa harga yang ditentukan
maupun kondisi barang yang diperdagangkan.53
Pada prinsipnya, syariah Islam membolehkan jual beli barang
yang halal dengan cara lelang.54 Jual beli secara lelang tidak temasuk
praktik riba meskipun dinamakan bai‟ muzayyadah dari kata ziyadah
yang bermakna tambahan sebagaimana riba, namun pengertian
tambahan disini berbeda. Dalam muzayyadah yang bertambah adalah
penawaran harga lebih dalam akad jual beli yang dilakukan penjual,
apabila dalam lelang dilakukan oleh pembeli maka yang bertambah
adalah penurunan tawaran. Sedangkan dalam praktek riba tambahan
haram yang dimaksud adalah tambahan yang tidak diperjanjikan
dimuka dalam akad pinjam meminjam uang atau barang ribawi
lainnya.55
Berikut dasar hukum yang berkaitan dengan jual beli secara
lelang yaitu sebagai berikut:
1) Al-Qur‟an
Berikut ayat-ayat yang berkaitan dengan jual belilah yang
digunakan sebagai dasar hukum jual beli lelang56 yaitu sebagai
berikut:

          

              
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu,

53
Imam Ash-Shan‟ani, Subulus Salam Juz III (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1995),
23. Selanjutnya ditulis: Ash-Shan‟ani, Subulus Salam Juz III.
54
Malikah, Konsep Harga Lelang dalam Perspektif Islam, 20.
55
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz II (Beirut: Libanon, 1992), 162. Selanjutnya
ditulis: Rusyd, Bidayatul Mujtahid.
56
Ahmad, Fiqih Lelang, 55.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S
An-Nisa: 29)57
Dari ayat al-Qur‟an tersebut, Allah swt telah melarang
hamba-hamba-Nya yang mukmin memakan harta sesamanya
dengan cara yang bathil dan mencari keuntungan yang melanggar
syariat. Allah swt mengecualikan dari larangan ini, pencaharian
harta dengan jalan perniagaan yang dilakukan atas dasar suka sama
suka oleh kedua belah pihak.58 Rasa suka sama suka antara penjual
dan pembeli itu diwujudkan dalam bentuk ucapan lisan.59

       

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba”. (Q.S Al-Baqarah: 275)60
Ayat ini, seperti yang kita pahami, bahwa Allah swt telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena riba bisa
melahirkan permusuhan, saling membenci, bertengkar, dan
kehancuran. Oleh karena itu, Allah swt menggariskan cara
muamalah antar sesama dalam hal bisnis.61
Dari kedua ayat tersebut, jelas bahwa Allah SWT melarang
hamba-Nya untuk memakan harta sesamanya secara batil, kecuali
dengan jalan yang baik dan saling suka sama suka karena Allah
SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena
dalam riba tekandung unsur penipuan sehingga dapat merusak
kestabilan ekonomi masyarakat.

57
Departemen Agama, Al Hidayah Al-Qur‟an, 84.
58
Salim Bahreisy, dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir II (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1996), 361. Selanjutnya ditulis: Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir
Ibnu Katsir II.
59
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 1999), 176. Selanjutnya ditulis: Rusli, Konsep Ijtihad.
60
Departemen Agama, Al Hidayah Al-Qur‟an, 48.
61
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 3 (Semarang: CV. Toha
Putra, 1986), 101-103. Selanjutnya ditulis: Al-Maraghi, Terjemah Tafsir.
2) Al-Hadis
Disamping itu, pelaksanaan lelang juga pernah dipraktikan
oleh Rasulullah saw,62 ditegaskan dalam hadis dari Anas bin Malik:

‫ص ِإ َو َوء ِإلَو ال َّد ِإب ِّ َو َّد َّد ُك َو َو ْن ِإ َوو َو َّد َو‬ ‫ك َو َّدا َو ًبُكًل ِإ ْن ْنااَو ْن َو‬ ‫َوس ْن ِإ َو ِإل ٍر‬ ‫َو ْن َو ِإ‬
‫ض ُك َوو َو َود ٌنح‬ ‫ض ُك َوو َو ْنب ُك طُك َو ْن َو‬
‫ك َوا ْن ٌنء َو َوا َو َو ِإ ْنسٌن َو ْنبَوسُك َو ْن َو‬ ‫ك ِإ َو ْن ِإ َو‬ ‫َو ْن أَولُك ُك َو َو َوا لَو َو‬
‫َو ْنش َو بُك ِإ ِإ ا ْنل َو َوء َو َوا ا ْنا ِإ ِإ ِإ ِإ َو َو َوا َوأ َو َو هُك ِإ ِإ َو َوأ َو َوخ َو ُك َو َو ُكو ُكا َّد ِإ َو َّد َّد ُك‬
‫َو َو ْن ِإ َوو َو َّد َو ِإ َو ِإد ِإه ُك َّد َو َوا َو ْن َو ْنش َو ِإ َو َو ْن ِإ َو َو َوا َو ُك ٌني َو َو آ ُكخ ُك ُك َو ِإ ِإد ْن َو ٍر َو َوا َو ْن‬
‫َو ِإز ُكد َو َو ِإ ْن َو ٍر َو َّد َو ْن ِإ َو ْنو َو َوًل ًب َو َوا َو ُك ٌني َو َو آ ُكخ ُك ُك َو ِإ ِإد ْن َو َو ْن ِإ َوأ َو ْن طَو ُك َو ِإ َّد هُك‬
‫ص ِإ َّد‬ ‫َوو َو َوخ َو ال ِّد ْن َو َو ْن ِإ َوأ َو ْن طَو ُك َو ْنااَو ْن َو‬
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar
yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada
Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya, “Apakah di rumahmu
tidak ada sesuatu ?” Lelaki itu menjawab, “Ada. Dua potong kain,
yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir
untuk meminum air.” Nabi saw berkata, “Kalau begitu, bawalah
kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi
saw berkata, “Siapa yang mau membeli barang ini ?”. Salah
seorang sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan
harga satu dirham.” Nabi saw berkata lagi, “Ada yang mau
membelinya dengan harga mahal ?” Nabi saw menawarkannya
hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau
berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka
Nabi saw memberikan kedua barang itu kepadanya dan beliau
mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki
Anshar tersebut. (H.R Ahmad, Abu Daud, An-Nasa‟i, dan At-
Tirmidzi) 63
Dari hadis tersebut, dapat diketahui bahwa jual beli secara
lelang telah ada dan berkembang sejak masa Rasullah saw masih
hidup dan telah dilaksanakannya secara terang-terangan di depan
umum untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dari pihak
penawar yang ingin membeli sesuatu barang yang di lelang.
Namun ada juga ulama yang memakruhkan transaksi lelang.
diantaranya an-Nakha‟i, beliau memakruhkan jual beli lelang
karena ada dalil hadis dari Sufyan bin Wahab bahwa ia berkata: 64
‫عال زا دة‬ ‫واا‬ ‫ث‬

62
Ahmad, Fiqih Lelang, 62-64.
63
Mas‟ud, Abidin, Fiqh Madzhab Syafi‟i, 54. Lihat juga, Malikah, Konsep Harga Lelang
dalam Perspektif Islam, 20-21.
64
Malikah, Konsep Harga Lelang dalam Perspektif Islam, 21.
“Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli
lelang”. (HR. Al-Bazzar).
Sedangkan Ibnu Sirin, al-Hasan al-Basri, al-Auza‟i, Ishaq
bin Rahawaih memakruhkannya juga, apabila yang dilelang bukan
rampasan perang atau warisan maka hukumnya boleh, selain
keduanya maka hukumnya adalah makruh.65 Dasarnya adalah hadis
berikut:
‫ي عا د‬ ‫اا عا د‬ ‫و‬ ‫وااهلل ياهلل‬ ‫ى‬ ‫و اهلل‬ ‫ا‬
‫د االال ءموال وا ث‬
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw melarang
seseorang diantara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli
saudaranya hingga dia meninggalkannya, kecuali rampasan
perang dan waris”.
Akan tetapi, banyak yang mengkritik bahwa kedua hadis di
atas kurang kuat, karena dalam isnad hadis pertama terdapat perawi
yang bernama Ibnu Luhai‟ah dan dia adalah seorang perawi yang
lemah (dha‟if), sedangkan sebuah hadis apabila sanadnya terdapat
perawi yang lemah (dho‟if), maka lemah pula hadis tersebut dan
tidak boleh dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum. Dan
hadis yang kedua Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan hadis
tersebut dha‟if.66
Oleh karena itu, menurut Jumhur ulama kesimpulan dalam
masalah jual beli lelang itu dibolehkan, selama benar-benar seperti
yang terjadi dimasa Rasulullah saw dan tidak menyimpang dari
syariat Islam yaitu tidak adanya penipuan, kecurangan maupun
dengan trik-trik yang dilarang dalam menjalankan jual beli dengan
cara lelang.67
3) Ijma‟ Ulama

65
Ahmad Sarwat, Lc, MA, http://www.rumahfiqih.com/x.php.bolehkah-kita-bertransaksi-
dengan-cara-lelang diakses pada hari Senin tanggal 10 Agustus 2015 pukul 11:10 WIB.
66
Ahmad Sarwat, Lc, MA, http://www.rumahfiqih.com/x.php.bolehkah-kita-bertransaksi-
dengan-cara-lelang diakses pada hari Senin tanggal 10 Agustus 2015 pukul 11:10 WIB.
67
Ahmad Sarwat, Lc, MA, http://www.rumahfiqih.com/x.php.bolehkah-kita-bertransaksi-
dengan-cara-lelang diakses pada hari Senin tanggal 10 Agustus 2015 pukul 11:10 WIB.
Menurut Imam Ibnu Qudamah ra dan Imam Al Bahuti ra
yang bermadzhab Hambali meriwayatkan adanya ijma‟
kesepakatan ulama tentang bolehnya jual beli secara lelang bahkan
telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar umat Islam pada
masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah
melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik
lelang sebagai salah satu cara dalam jual beli.68
b. Rukun, Syarat dan Ketentuan Jual Beli Lelang
Lelang merupakan salah satu transaksi jual beli, akan tetapi
terdapat perbedaan secara umum, jual beli ada hak memilih, boleh
tukar menukar di muka umum dan sebaliknya. sedangkan lelang tidak
ada hak memilih, tidak boleh tukar menukar di depan umum, dan
pelaksanaannya dilakukan didepan umum.69 Akan tetapi, Walaupun
jual beli secara umum dan jual beli secara lelang dilakukan dengan
cara yang berbeda namun tetap mempunyai kesamaan dalam rukun
dan syarat-syaratnya sebagaimana diatur dalam jual beli secara
umum.70Adapun rukun dari jual beli agar akad yang dilakukan sah
yaitu meliputi71:
1) Ba‟i (Penjual)
2) Mustari (Pembeli)
3) Shigat (ijab dan qabul)
4) Ma‟qud alaih (benda atau barang).
Berdasarkan keterangan di atas, dalam rukun jual beli harus
ada penjual dan pembeli, barang yang diperjualbelikan, dan harus ada
kalimat ijab qabul. Apabila salah satu dari rukun tersebut tidak
terpenuhi maka tidak sah akad yang dilakukannya.
Suatu jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli
sah, haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut72:
1) Tentang subyeknya

68
Malikah, Konsep Harga Lelang dalam Perspektif Islam, 15.
69
Ahmad, Fiqih Lelang, 3.
70
Ahmad, Fiqih Lelang, 55.
71
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 139.
72
Ahmad, Fiqih Lelang, 22.
Kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli
tersebut haruslah73:
a) Berakal, orang gila atau bodoh tidak sah melakukan jual beli.
b) Dengan kehendaknya sendiri, akad yang dilangsungkan atas
paksaan adalah tidak sah.
c) Keduanya tidak mubazir.
d) Baligh, anak kecil tidak sah melakukan jual beli.
2) Tentang obyeknya
Yang dimaksud dengan obyek jual beli adalah benda yang
menjadi sebab terjadinya jual beli. Benda yang dijadikan obyek jual
beli harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut74:
a) Bersih barangnya
Barang yang diperjualbelikan bukan benda yang
dikualifikasikan sebagai benda najis, atau golongan sebagai
benda yang diharamkan.
b) Dapat dimanfaatkan
Barang yang dapat dimanfaatkan tentunya sangat relatif, sebab
pada hakikatnya seluruh barang dapat dimanfaatkan, seperti
untuk dikonsumsi, dinikmati keindahannya dan lain
sebagainya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan barang yang
bermanfaat yaitu kemanfaatan barang tersebut sesuai dengan
ketentuan syari‟at Islam
c) Milik orang yang melakukan akad
Orang yang melakukan perjanjian jual beli atas suatu barang
adalah pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin
dari pemilik sah barang tersebut.
d) Mampu menyerahkannya
Pihak penjual dapat menyerahkan barang yang
diperjualbelikan sesuai dengan bentuk dan jumlah yang

73
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fighiyah (Bandung: Angkasa, 2005). Selanjutnya
ditulis: Yanggo, Masail Fiqhiyah. Lihat juga, Ahmad, Fiqih Lelang, 22-23.
74
Sutedi, Hukum Gadai Syariah,140-141.
diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pihak
pembeli.
e) Mengetahui
Mengetahui yaitu melihat sendiri keadaan barang baik
hitungan, takaran, timbangan, atau kualitasnya, sedangkan
untuk pembayaran, kedua belah pihak harus mengetahui
jumlah pembayaran maupun jangka waktu pembayaran.
f) Barang yang diakadkan ada ditangan (dikuasai)
Mengenai perjanjian jual beli atas sesuatu yang belum ada di
tangan (tidak berada dalam penguasaan penjual) adalah
dilarang, sebab bisa jadi barang sudah rusak atau tidak dapat
diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan.
3) Tentang Lafaz
Lafaz harus sesuai dengan ijab dan qabul. Menurut
ketentuan syariat, bahwa jika masa yang telah diperjanjikan untuk
pembayaran utang telah terlewati, maka si berutang tidak mampu
untuk mengembalikan pinjamannya, hendaklah ia memberikan
keizinan pada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian, dan
seandainya izin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadai, maka si
penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa
si pemberi gadai untuk melunasi utangnya atau memberikan izin si
penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut.75
Selain terdapat persamaan pada rukun dan syarat-syaratnya.
Dalam jual beli juga ada khiyar bagi si pembeli terhadap barang yang
dibelinya, begitu pula dalam lelang. Khiyar artinya boleh memilih
antara dua, meneruskan akad jual beli atau diurungkan (tidak jadi jual
beli). Dalam hal ini, khiyar dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu76:
1) Khiyar majlis, si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua
perkara tadi selama keduanya masih di tempat jual beli.

75
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 141.
76
Ahmad, Fiqih Lelang, 58-59.
2) Khiyar syarat, khiyar ini dijadikan syarat pada waktu akad
keduanya, seperti kata si penjual: “Saya jual barang ini dengan
harga sekian dan syaratnya tiga hari ataupun kurang dari tiga hari”.
3) Khiyar „aib (cacat), pembeli boleh mengembalikan barang
dibelinya apabila terdapat cacat, dan barang tersebut dapat
dikurangi harganya.
Dalam ketentuan jual beli lelang juga harus menghindari jual
beli yang fasid yaitu jual beli yang tidak mengikuti syara‟, dengan
sendirinya perjanjian jual beli itu tidak sah (fasid) seperti77:
1) Membeli atas pembelian orang lain dalam masa khiyar (menawar
atas tawaran orang lain.
2) Dengan menipu atau mengecoh.
Kecohan adalah menambah harga atas sesuatu barang di
luar kewajaran. Padahal, pembeli tidak ada keinginan untuk
membelinya.78 Sedangkan menipu terjadi dengan adanya
kesepakatan para pembeli terhadap harga barang dalam pelelangan
tanpa diketahui penjual dengan tujuan agar harga barang tersebut
tetap dan tidak semakin mahal serta tipu daya mereka mencegah
harga barang menjadi semakin mahal adalah perbuatan haram.79
Dalam praktiknya, pegadaian syariah tidak melakukan tinggi-
tinggian harga pada mekanisme lelangnya. Namum menawar barang
dengan harga lebih tinggi untuk dimiliki boleh-boleh saja, asalkan
belum terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli. Jika telah
terjadi akad atau kesepakatan, maka haram hukumnya bagi orang
ketiga untuk menawar barang tersebut sekalipun dengan harga lebih
tinggi.80

77
Ahmad, Fiqih Lelang, 43-44. Lihat juga Zaenuddin Ali, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 147-148. Selanjutnya ditulis: Ali, Hukum Perdata.
78
Ahmad, Fiqih Lelang, 44.
79
As-Sa‟adi, dkk, Fiqih Jual Beli, 331.
80
Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer
(Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), 185. Selanjutnya ditulis: Al-Gharyani, Fatwa-fatwa.
Lelang termasuk salah satu bentuk transaksi jual beli. Akan
tetapi, ada perbedaan dengan jual beli secara umum yaitu sebagai
berikut81:
1) Jual beli secara umum ada hak memilih, boleh saling menukar di muka
umum dan sebaliknya, sedangkan dalam lelang tidak ada hak memilih,
tidak boleh tukar menukar barang, dan pelaksanaannya khusus di muka
umum.
2) Penjualan dalam bentuk lelang dilakukan di depan para peminat atau
orang banyak dan biasanya dengan tawaran yang berjenjang naik atau
berjenjang turun, sedangkan berbeda pula dengan obral yang dilakukan
jual beli secara umum, yaitu menjual atau penjualan sesuatu barang
agar segera habis, biasanya harga barang tersebut lebih murah dan
memang diturunkan harganya agar barang cepat habis.
5. Pelelangan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Menurut hukum Islam, apabila masanya sudah jatuh tempo, orang
yang menggadaikan barang (rāhin) berkewajiban melunasi utangnya.82
Oleh karena itu, pelelangan barang gadai setelah jatuh tempo adalah sah.
Hal itu sesuai dengan maksud dari pengertian hakikat gadai itu sendiri,
yaitu sebagai kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya. 83 Jika
rāhin belum juga membayar kembali utangnya sampai batas waktu yang
ditentukan, maka hakim mengharuskan rāhin untuk menjual marhūn,84
tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan
marhūn tersebut dan kemudian digunakan untuk melunasi utangnya. 85
Selanjutnya, apabila setelah diperintahkan hakim, rāhin tidak mau
membayar utangnya dan tidak pula mau menjual barang gadaiannya, maka
hakim dapat memutuskan untuk menjual barang tersebut guna melunasi
utang-utangnya.86 Jika hakim telah menjual marhūn tersebut kemudian
terdapat kelebihan dari kewajiban membayar, maka kelebihan itu menjadi

81
Ahmad, Fiqih Lelang, 58.
82
Masjuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: Haji Masagung, 1994), 126. Selanjutnya
ditulis: Zuhdi, Masail Fiqhiyah.
83
Ali, Hukum Gadai, 28.
84
Syafe‟i, Fiqih Muamalah, 175.
85
Sahrani, Abdullah, Fikih Muamalah, 162.
86
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 62.
milik rāhin dan jika masih belum tertutup, maka rāhin berkewajiban
menutup sisanya.87
Hal tersebut sebagaimana hadis dari Muawiyah bin Abdullah bin
Ja‟far88, yaitu sebagai berikut:
Bahwa seseorang menggadaikan sebuah rumah di Madinah untuk
waktu tertentu, kemudian masanya lewat. Lalu yang menerima
gadai menyatakan: “ini menjadi rumahku”. Kemudian Rasulullah
bersabda: “Janganlah ia (pemegang gadai) menutup hak barang
gadai dari pemiliknya, yang menggadaikan. Ia berhak memperoleh
bagiannya dan dia berkewajiban membayar kerugiannya.” (HR.
Ad-Daruquthni).
Selain itu, Para ahli hukum Islam juga berpendapat mengenai
penjualan barang gadai. Diantaranya Abu Hanifah89 yang menyatakan,
“Tidak boleh bagi yang menerima gadai menjual barang gadaian
yang diterimanya dengan syarat boleh dijual setelah jatuh tempo
dan tak sanggup ditebus olehnya tetapi harus dijualbelikan oleh
yang menggadaikan, atau wakilnya dengan seizin murtahin (yang
menerima gadai). Jika yang menggadaikan tak mau menjualnya,
hendaklah yang menerima gadai mengajukan tuntutan kepada
hakim.”
Abu Hanifah, Malik dan Ahmad membolehkan dijual terus jika ada
disyaratkan demikian. Namun Malik menyukai supaya diajukan kepada
hakim lebih dahulu. Jika tidak diajukan perkara kepada hakim, namun
dijual, sah juga penjualannya. 90
Imam Syafi‟i91 juga berpendapat, Apabila seseorang menerima
harta gadai, seraya mempersyaratkan kepada penggadai apabila utang telah
jatuh tempo maka ia akan menjual harta gadai tersebut, maka tidak ada hak
baginya untuk menjual kecuali pemilik harta hadir atau ia mewakilkan
kepada penerima gadai. Dan apabila harta gadai dijual, maka penerima
gadai lebih berhak mengambil harganya hingga dipenuhi haknya. Selain
itu, apabila gadai dijual kepada seseorang lalu harganya rusak atau hilang,

87
Djamil, Penerapan Hukum, 241.
88
Djamil, Penerapan Hukum,240-241.
89
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997), 366. Selanjutnya ditulis: Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh.
90
Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh, 366-367.
91
Imran Rosadi, Amiruddin, dan Imam Awaluddin, Terjemah Ringkasan Kitab Al Umm
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), 164-165. Selanjutnya ditulis: Rosadi, Amiruddin, Awaluddin.
Terjemahan Ringkasan Kitab Al-Umm.
maka harganya tetap menjadi tanggungan penggadai hinga diserahkan
kepada penerima gadai.

B. Sistem Pelelangan
Dilihat dari segi cara penawarannya, dalam pelelangan dikenal dua
sistem, yaitu sebagai berikut92:
1. Sistem Pelelangan dengan Penawaran Lisan
Sistem pelelangan dengan penawaran lisan ini dapat dibedakan
lagi, yaitu dengan penawaran lisan harga berjenjang naik dan dengan
penawaran lisan harga berjenjang turun.
Dalam sistem pelelangan dengan penawaran lisan berjenjang naik,
juru lelang menyebutkan harga penawaran dengan suara yang terang dan
nyaring di depan para peminat. Penawaran ini dimulai dengan harga yang
rendah. Kemudian, setelah diadakan tawar menawar, ditemukan seorang
peminat yang mengajukan penawarannya dengan harga yang tertinggi.
Dalam sistem pelelangan dengan penawaran lisan harga
berjenjang turun, juru lelang menyebutkan harga penawaran pertama
dengan harga yang tinggi atas suatu barang yang dilelang. Apabila dalam
penawaran tinggi tersebut belum ada peminat atau pembeli, harga
penawarannya diturunkan dan demikian seterusnya sehingga ditemukan
peminatnya. Praktik pelelangan penawaran lisan dengan harga berjenjang
turun ini jarang dilakukan.93
2. Sistem Pelelangan dengan Penawaran Tertulis
Sistem pelelangan dengan penawaran tertulis ini biasa diajukan di
dalam sampul tertutup. Pelelangan yang diajukan dengan penawaran
tertulis ini. Pertama juru lelang membagikan surat penawaran yang telah
disediakan (oleh penjual) kepada para peminat untuk diisinya.
Dalam surat penawaran tersebut, para peminat menulis nama,
alamat, pekerjaan, bertindak untuk diri sendiri atau sebagai kuasa; dan
syarat-syarat penawaran, nama barang yang ditawarkan serta banyaknya
barang yang ditawarkan.
92
Ahmad, Fiqih Lelang, 76.
93
Ahmad, Fiqih Lelang, 77.
Sesudah para peminat mengisi surat penawaran tersebut, semua
surat penawaran itu dikumpulkan dan dimasukkan ke tempat yang telah
disediakan oleh juru lelang di tempat pelelangan. Setelah juru lelang
membaca risalah lelang, membuka satu per satu surat penawaran yang
telah diisi oleh para peminat dan selanjutnya menunjukan salah seorang
dari peminat yang mengajukan harga penawaran tertinggi atau terendah
sebagai peminat atau pembeli. Jika terjadi persamaan harga di dalam
penawaran harga tertinggi/terendah itu, dilakukan pengundian atau cara
perundingan yang ditentukan juru lelang untuk menunjukkan pembelinya
yang sah.
Dalam praktik pelelangan, sistem pelelangan yang sering
digunakan adalah sistem pelelangan dengan penawaran lisan harga
berjenjang naik dan sistem pelelangan dengan penawaran tertulis. Akan
tetapi, akhir-akhir ini sistem pelelangan dengan penawaran tertulis sering
digunakan, sebab sistem tersebut lebih praktis dalam penggunaanya dan
dapat mencapai harga tertinggi.94

C. Prosedur dan Proses Pelelangan Barang Gadai


1. Prosedur Pelelangan Barang Gadai
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan
tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi
penerima gadai dibolehkan untuk menjual barang tersebut dengan syarat
pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi
kewajibannya.95
Jika terdapat persyaratan menjual barang gadai pada saat jatuh
tempo, hal ini dibolehkan dengan ketentuan96:
a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rāhin (mencari
tahu penyebab belum melunasi utang).
b. Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran.

94
Ahmad, Fiqih Lelang, 78-79.
95
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 142-143
96
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 143.
c. Apabila murtahin benar-benar butuh uang dan rāhin belum melunasi
utangnya, maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada
murtahin lain dengan seizin rāhin.
d. Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh
menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada
rāhin.
Sebelum penjualan marhūn dilakukan, maka sebelumnya
dilakukan pemberitahuan kepada rāhin.97 Pemberitahuan ini dilakukan
paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan melalui: surat
pemberitahuan ke masing-masing alamat, dihubungi melalui telepon,
papan pengumuman yang ada di kantor cabang, informasi di kantor
kelurahan atau kecamatan.98
Menurut Zaenuddin Ali99, prosedur pelelangan barang yaitu
sebagai berikut:
a. Satu minggu sebelum pelelangan barang gadai dilakukan, pihak
pegadaian akan memberitahukan kepada nasabah (rāhin) yang
barangnya (marhūn) akan dilelang.
b. Ditetapkan harga pegadaian pada saat pelelangan, dengan margin 2%
untuk pembeli.
c. Harga yang naik karena penawaran orang banyak tidak dibolehkan,
dikhawatirkan akan merugikan rāhin dengan bersepakatnya pembeli
untuk menurunkan harga pelelangan. Sebab itu, pihak pegadaian
melakukan pelelangan terbatas, hanya memilih beberapa pembeli (3 –
4 orang).
d. Hasil pelelangan akan digunakan untuk biaya penjualan sebesar 1%
dari harga penjualan, biaya pinjaman selama 120 hari (tarif ijarah), dan
sisanya akan dikembalikan kepada nasabah.

97
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 143.
98
Abdul Ghafur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Pembiayaan dan
Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka belajar, 2008), 61. Selanjutnya ditulis: Anshori,
Penerapan Prinsip Syariah.
99
Ali, Hukum Gadai, 77-78.
e. Sisa kelebihan (uang kelebihan) yang tidak diambil oleh rāhin akan
diserahkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang terakreditasi.
Untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran
hak, norma dan etika dalam praktik lelang, syariat Islam memberikan
panduan dan kriteria umum sebagai pedoman pokok yaitu di antaranya 100:
a. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling
sukarela.
b. Objek lelang harus halal dan bermanfaat.
c. Kepemilikan atau kuasa penuh pada barang yang dijual.
d. Kejelasan dan transparansi barang yang dilelang tanpa adanya
manipulasi.
e. Kesanggupan penyerahan barang dari penjual.
f. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi
menimbulkan perselisihan.
g. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk
memenangkan tawaran.
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak
sah dalam praktik lelang dikategorikan para ulama dalam praktik najasy
(trik kotor lelang) yang diharamkan, atau juga dapat dimasukkan dalam
kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang,
fasilitas ataupun servis untuk memenangkan lelang yang sebenarnya tidak
memenuhi kriteria yang dikehendaki.101

2. Proses Pelelangan Barang Gadai


Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelang atau
penjualan marhūn yakni Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002 bagian kedua
butir 5 yaitu:102
a. Apabila telah jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rāhin
(nasabah) untuk segera melunasi utangnya.

100
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 143.
101
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 143-144.
102
DSN MUI, Himpunan, 154.
b. Apabila rāhin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhūn
dijual paksa atau dieksekusi melalui lelang sesuai syariah
c. Hasil penjualan marhūn digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan (bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial).
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rāhin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rāhin.103
Dalam pegadaian syariah apabila rāhin tidak mampu membayar
setelah diperpanjang masa pembayaran marhūn bih-nya dan tidak
melakukan perpanjangan gadai lagi, atau pun saat jatuh tempo 4 bulan
pertama rāhin menyatakan tidak sanggup memperpanjang pembayaran
marhūn bih dan berkeinginan dilelang saja, maka marhūn bih akan
dilelang.104
Menurut Dahlan, penjualan barang jaminan itu hak pemegang
gadai, yaitu apabila nasabah pada waktu yang ditentukan tidak memenuhi
kewajibannya sebagai yang berutang. Sedangkan hasil penjualan barang
jaminan itu diambil sebagian melunasi utang. 105 Dan jika hasil pelelangan
marhūn lebih besar daripada hutang yang harus dibayar, maka kelebihan
itu harus dikembalikan kepada rāhin. Tetapi jika hasil pelelangan tidak
mencukupi hutang, maka murtahin tetap berhak menagih piutangnya yang
belum dilunasi.106
Dalam teori gadai syariah, menurut Jumhur Fuqaha bahwa
murtahin dibolehkan menjual marhūn tersebut, dengan syarat saat jatuh
tempo pihak rāhin tidak mampu melunasi kewajibannya. Sedangkan Al-
Husain, berpendapat penjualan barang jaminan itu hak pemberi gadai saat
ia menuntut haknya, dikarenakan rāhin tidak mampu mengembalikan
marhūn bih-nya.

103
Mujahidin, Kewenangan, 246-247.
104
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 144.
105
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 144-145.
106
Hasan, Berbagai Macam Transaksi, 254.
Sedangkan Suhendi107, apabila pada waktu pembayaran yang
ditentukan kepada rāhin belum melunasi marhūn bih, maka hak murtahin
melelang marhūn, pembelinya boleh pemberi gadai atau yang lain, namun
dengan harga umum berlaku waktu itu dari penjualan marhūn tersebut.
Hak murtahin hanya sebesar piutangnya, dengan akad apabila harga jual
barang jaminan lebih dari jumlah utang, maka sisanya harus dikembalikan
pada rāhin, dan apabila harga penjualan barang jaminan kurang dari
jumlah utang, maka rāhin masih menanggung pembayaran
kekurangannya.
Dalam akad rahn, pihak pemberi pinjaman (murtahin) berhak
menguasai barang jaminan (marhūn) sebagai jaminan utang (marhūn bih)
dan penggadai (rāhin) berkewajiban melunasi utangnya. Dalam hal ini
melunasi utangnya, maka pihak murtahin dapat melakukan pelelangan
apabila ada persyaratan108:
a. Apabila pihak rāhin tidak dapat melunasi marhūn bih-nya; ataupun
b. Apabila pihak rāhin merasa tidak mampu mengembalikan marhūn
bih dan meminta murtahin melelang; ataupun
c. Apabila pihak rāhin tidak berkeinginan memperpanjang gadainya.
Maka berdasarkan pendapat fuqaha-fuqaha itu, maka sebenarnya
tidak ada larangan melelangkan atau menjualkan barang jaminan. Jadi di
sini istilah „jual atau lelang‟ memiliki makna dan fungsi yang sama, karena
yang terpenting adalah109:
a. Hasil pelelangan itu akan dijadikan menutup marhūn bih, biaya
pelelangan, maupun biaya lainnya yang benar dikeluarkan dalam
proses pelelangan.
b. Apabila ada kelebihan, maka murtahin harus mengembalikannya
kepada rāhin.
c. Apabila ada kekurangan, rāhin harus memberikan tambahannya
kepada murtahin.

107
Suhendi, Fiqh Muamalah, 110.
108
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 146.
109
Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 146.
Sebelum pelelangan dilakukan oleh pegadaian syariah, marhūn
harus ditaksir ulang menurut peraturan taksiran yang berlaku pada waktu
transaksi (akad). Penetapan harga pelelangan barang gadai adalah sebagai
berikut110:
a. Jika taksiran ulang lebih rendah dari uang pinjaman (UP) + jasa
simpan (ijarah) (JS), maka barang gadai (marhūn) harus dijual
serendah-rendahnya berdasarkan rumus: UP + JS + biaya penjualan
yang dibulatkan menjadi ratusan rupiah penuh. Jika ada kemungkinan
menimbulkan kerugian perusahaan (murtahin) atau nasabah (rāhin),
maka barang ditunda penjualannya, dan petugas menghubungi rāhin
agar melakukan penebusan atau mencicil, atau meminta tambahan
marhūn sebesar kekurangan dari pehitungan ulang penjualan terhadap
marhūn tersebut.
b. Jika taksiran ulang lebih tinggi dari UP + JS maka marhūn harus
dijual dengan harga serendah-rendahnya sebesar: UP menurut taksiran
ulang + jasa simpan penuh dari UP menurut taksiran ulang + biaya
penjualan, dibulatkan ke atas menjadi ratusan rupiah penuh.
c. Jika cabang pegadaian syariah melaksanakan lelang, maka biaya yang
dikenakan terhadap penjualan tersebut hanya biaya penjualan sebesar
1% dari harga minimal penjualan.
d. Uang kelebihan
Uang kelebihan pelelangan adalah selisih antara harga lakunya
penjualan dikurangai (-) UP + jasa simpan + biaya penjualan.
Contoh perhitungan uang kelebihan dimaksud, adalah sebagai berikut:
Harga Lakunya Pelelangan (HLP) Rp 2.000.000,00
Uang Pinjaman Rp 1.000.000,00
Jasa Simpan Rp 150.000,00
Biaya Penjualan (1% x HLP) Rp 20.000,00
Rp 1.170.000,00 (-)
Uang Kelebihan Rp 830.000,00

110
Ali, Hukum Gadai, 73-74.

Anda mungkin juga menyukai