Anda di halaman 1dari 68

IMPLEMENTASI KETENTUAN PIDANA SEBAGAI

MANA DI ATUR DALAM PASAL 100 UNDANG


UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG
MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS TERKAIT
PELANGGARAN MEREK DI PASARANYAR
SINGARAJA

Diajukan Oleh :
Ida Bagus Kade Tresna Budi
NIM 1614101032

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2020
IMPLEMENTASI PASAL 100 UNDANG UNDANG
NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN
INDIKASI GEOGRAFIS ( STUDI KASUS
PEMALSUAN MEREK TERKENAL DI PASAR ANYAR
SINGARAJA)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Pendidikan Ganesha

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan

SKRIPSI

Diajukan Oleh :
Ida Bagus Kade Tresna Budi
NIM 1614101032

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2020

i
PROPOSAL

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS


DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK
SKRIPSI

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ni Ketut Sari Adnyani, S.Pd., M.Hum Drs. Ketut Sudiatmaka, S.H.,M.Si.

NIP. 19841227 200912 1 007 NIP. 198307162008122003

ii
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................i

HALAMAN JUDUL............................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………...iii

DAFTAR ISI........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1

1.2 IdentifIkasi Masalah.................................................................................9

1.3 Pembatasan Masalah................................................................................10

1.4 Rumusan Masalah....................................................................................10

1.5 Tujuan Penelitian......................................................................................11

1. Tujuan Umum........................................................................................11

2. Tujuan Khusus.......................................................................................11

1.6 Manfaat Penelitian....................................................................................11

1. Manfaat Teoritis.....................................................................................11

2. Manfaat Praktis......................................................................................12

BAB II KAJIAN PUSTAKA..............................................................................13

2.1 TinjauanMengenai Hak Kekayaan Intelektual.........................................13

2.1.1 Definisi Hak Kekayaan Intelektual................................................13

2.1 2 Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual....................................14

2.1.3 Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual.......................................14

2.2 Tinjauan Mengenai Merek........................................................................15

2.2.1 Definisi Merek................................................................................15

iii
2.2.2 Definisi Hak Merek........................................................................16

2.2.3 Bentuk Pelanggaran Merek............................................................17

2.2.4 Proses Pengajuan Merek................................................................18

2.2.5 Merek Palsu....................................................................................19

2.2.6 Merek Terkenal...............................................................................20

2.2.7 Ketentuan Pidana Terkait Pelanggaran Atas Hak Merek................22

2.3 Tinjauan mengenai Teori Sistem Hukum.................................................20

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................28

3.1 Jenis Penelitian.........................................................................................28

3.2 Jenis Pendekatan.......................................................................................29

3.3 Data dan Sumber Data..............................................................................29

3.4 Teknik Pengumpulan Data.......................................................................30

3.5 Teknik penentuan sampel penelitian........................................................31

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data.......................................................32

DAFTAR RUJUKAN

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin berkembangnya perdagangan antar negara ditandai dengan

membaiknya sarana transportasi yang mengakibatkan pemasaran barang

menjadi luas dan pemasaran dari suatu produk sampai melewati batas-batas

negara. Dengan semakin berkembangnya perdagangan maka akan

menyebabkan berbagai macam permasalahan mengenai perdagangan yang

akan mungkin muncul nantinya, salah satunya seperti permasalahan dalam

perlindungan hukum terhadap merek dagang. Sehingga untuk menjamin

perlindungan hukum terhadap merek dagang secara Internasional maka pada

tahun 1883 di Paris, London, Stocholm Right dan pada tahun 1994 Indonesia

menandatangani Pembentukan World Trade Organisation (WTO) sebagai

konsekuensi keikutsertaan pemerintah dalam putaran Uruguay (1986-1993)

dan sebagai negara peserta dalam penandatanganan persetujuan tersebut

(Astarini,2009:22).

Aturan hukum Hak Kekayaaan Intelektual (HKI) diatur dalam salah

satu agenda WTO yakni agreement on Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs) yang

didasarkan pada pertimbangan bahwa perdagangan barang-barang palsu yang

merupakan hambatan dalam perdagangan dengan persaingan sehat. Namun

apabila pelaksanaan dan penegakan HKI yang tidak benar maka termasuk

tindak penyalahgunaan HKI yang dapat menjadi hambatan perdagangan. HKI

1
pada umumnya berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi

yang memiliki nilai komersial yang juga berarti hasil dari pemikiran dan

kecerdasan manusia yang dapat berbentuk penemuan, desain, seni, karya tulis

atau penerapan praktis suatu ide. Sehingga dapat meningkatkan perlindungan

yang efektif dan memadai terhadap HKI serta untuk menjamin agar tindakan

dan prosedur untuk menegakkan HKI tidak kemudian menjadi penghalang bagi

perdagangan yang sah (Sutedi, 2013:47).

Di Indonesia, pengaturan HKI sudah diatur dalam perundang-undangan

nasional seperti: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang mengatur tentang

Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 yang mengatur tentang Hak

Paten, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2001 yang mengatur tentang Rahasia

Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 yang mengatur tentang Hak

Desain Industri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 yang mengatur tentang

Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2016 yang mengatur tentang Hak Merek dan Indikasi Geografis.

Merek yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya

disebut HKI) ialah hak yang diberikan bagi pemiliknya atas benda yang tidak

berwujud, dalam hal ini berupa nama atau logo untuk membedakan barang/jasa

satu sama lain. Merek dapat mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat

karena dengan Merek, suatu produk barang atau jasa dapat dibedakan asal muasal,

kualitas, serta jaminan keasliannya. Pemegang atau pemilik Merek berhak atas

perlindungan Merek karena mereka telah melakukan upaya-upaya untuk

membesarkan Merek yang mereka gunakan (Rafianti,2013:1).

2
Berbagai instrumen hukum baik internasional maupun nasional telah

mencoba memformulasikan perlindungan Merek sebagai bagian dari HKI, baik

mengenai hak eksklusif bagi pemilik Merek maupun bagi konsumen. Konvensi

dan peraturan perundang-undangan ini bertujuan untuk menjamin keseimbangan

antara kepentingan para pihak yakni produsen, konsumen dan pelaku usaha.

Hukum nasional tidak akan terlepas dari pengaruh hukum internasional, demikian

pula dalam pengaturan mengenai Merek di Indonesia. Bicara tentang

perkembangan hukum Merek di Indonesia, telah terdapat perjalanan panjang sejak

zaman kolonial hingga saat ini. Ketika masih di bawah kekuasaan Belanda, di

Hindia Belanda berlaku Reglement Industrieële Eigendom tahun 1912. Setelah

Indonesia merdeka, dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan di bidang

Merek antara lain, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek

Perusahaan dan Merek Perniagaan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992

tentang Merek, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas

UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (Rafianti,2013:3).

Pada perkembangannya, di forum internasional terdapat perubahan

signifikan dalam perdagangan yaitu dengan terbentuknya World Trade

Organization (selanjutnya disebut WTO) tahun 1995. WTO membuat ketentuan

tentang perdagangan di bidang HKI yaitu Agreement on Trade Related Aspect of

Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut persetujuan TRIPs), hal ini

berpengaruh bagi negara yang meratifikasi persetujuan pembentukan WTO tidak

terkecuali Indonesia. Pada tahun 2001dibentuklah Undang-undang Nomor 15

Tahun 2001 tentang Merek sebagai penyesuaian dengan persetujuan WTO

(Rafianti,2013:1).

3
Perkembangan perdagangan yang semakin luas ini menyebabkan maraknya

peredaran merek palsu. Undang-Undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek, dikeluarkan

oleh pemerintah untuk mengatur tentang hak merek yang pada awalnya diatur oleh

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang diamandemen menjadi

Undang-Undang No 20 Tahun 2016 dimana Pertimbangan ini sendiri mencakup bahwa

dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih terdapat kekurangan

dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang Merek dan

Indikasi Geografis serta belum cukup menjamin pelindungan potensi ekonomi lokal dan

nasional sehingga perlu diganti, dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi

internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Merek dan Indikasi Geografis

menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat,

berkeadilan, pelindungan konsumen, serta perlindungan Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah dan industri dalam negeri untuk lebih meningkatkan pelayanan dan

memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam

menghadapi perkembangan perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional

serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perlu didukung oleh suatu

peraturan perundang-undangan di bidang Merek dan Indikasi Geografis yang lebih

memadai.

Mengingat masalah Merek terkait erat dengan faktor ekonomi, dalam

Undang-Undang ini sanksi pidana denda diperberat. Salah satu hal yang diatur

dalam Undang-Undang ini adalah tentang Indikasi Geografis. Indikasi

Geografis merupakan potensi nasional yang dapat menjadi komoditas

unggulan, baik dalam perdagangan domestik maupun internasional. Oleh

karena itu, Undang-Undang ini ditetapkan dengan nama Undang-Undang

Merek dan Indikasi Geografis. (www.jogloabang.com).

Di zaman modern ini, salah satu jenis industri HKI yang tumbuh pesat

4
dan secara nyata memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara adalah

industri sepatu/sandal, baju, tas, jam tangan, jaket, celana dan aksesoris

lainnya. Karena tumbuhnya peningkatan gaya hidup masyarakat akan

penampilan. Hal ini memberikan peluang yang sangat besar dan dapat

dimanfaatkan oleh para pelaku usaha produsen dengan mengeluarkan berbagai

jenis merek yang dikeluarkan di Indonesia maupun diluar Indonesia. (e-

journal.uajy.ac.id).

Contohnya para pelaku produsen sepatu bermerek yang beredar luas di

pasaran industri di Singaraja sekarang ini berasal dari luar negeri maupun

dalam negeri. Sepatu bermerek yang sedang popular di kalangan masyarakat

Singaraja saat ini seperti Puma, Macbeth, DC Shoes, Reebook, Converse,

Asics, New Balance, Vans, Nike, Adidas & masih banyak lagi berlomba-lomba

menarik perhatian dan minat konsumen untuk membeli produknya. Produk

industri sepatu juga sangat kompetitif dalam jenis maupun bentuknya misalnya

sepatu running, sepatu pantofel, sepatu boot, sepatu futsal, sepatu sneakers,

high heels, flat shoes, wedges, dan lainnya ditambah dengan keberagaman

warna yang bermacam-macam, kecanggihan teknologi, dan merek sebagai

pembeda suatu brand image tentunya. (e-journal.uajy.ac.id).

Merek menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, dan

seringkali merek yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bahkan

lebih bernilai dibandingkan dengan perusahaan tersebut. Merek yang sudah

menjadi terkenal dan laku di pasar tentu saja akan cenderung membuat

produsen atau pengusaha lainya memacu produknya bersaing dengan merek

terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul persaingan tidak sehat. Salah

5
satu penggunaan merek terkenal yang sering dipakai untuk memproduksi

barang tiruan atau palsu (Damian, 2003:131).

Citra merek berpengaruh dalam niat membeli suatu produk bagi konsumen

banyak konsumen mementingkan citra merek dalam memilih produk. Citra merek

yang baik menunjukan kualitas dari produk tersebut. Citra suatu produk terkenal

juga mempengarui niat membeli konsumen terhadap produk palsunya. Jadi citra

merek sangatlah penting karena mempengaruhi konsumen untuk pembelian

produk selanjutnya, begitu juga dengan produk palsu yang menyerupai produk

merek terkenal. Merek tersebut sangat dipercaya konsumen dengan kualitas yang

baik. Sehingga konsumen membelinya tetapi dengan harga relatif lebih

murah.Merek palsu ataupun yang sering di sebut merek kw adalah merek

tiruan\imitasi dari barang yang asli (original). Kata KW berasal dari kualitas yang

konotasinya imitasi atau tiruan.

Maka dari itu, seringkali merek dipalsukan karena nilai ekonomisnya yang

sangat tinggi sehingga mengakibatkan pemilik merek yang asli merasa dirugikan

dan jatuhnya reputasi merek yang telah dibangun dengan susah payah dan biaya

yang tidak sedikit. Namun, tidak hanya kepentingan pemilik merek asli saja yang

dirugikan, tetapi konsumen juga merasa dirugikan karena membeli produk yang

tidak sesuai dengan ekspekstasinya sebagai timbal balik dari pembayaran yang

sudah dilakukannya. Selain citra merek, faktor kepribadian juga sangat

berpengaruh dalam niat membeli konsumen. Dari pengetahuan faktor kepribadian

konsumen kita dapat mengetahui apa penyebab konsumen ingin membeli produk

palsu. Kita ambil saja contohnya merek sepatu converse. Merek sepatu converse

dikenal dikalangan anak muda dengan harga menengah keatas, dari hal tersebut

6
banyak produsen yang menyalahgunakan merek tersebut dengan membuat produk

converse palsu. Kebanyakan konsumen pasti menginginkan suatu barang

bermerek dengan harga yang relatif murah, hal seperti inilah yang mendorong

produsen membuat merek-merek palsu guna memenuhi kebutuhan konsumen.

Biasanya pelaku bisnis produk palsu menyasar ke tempat-tempat, dimana

konsumen sering melakukan pembelanjaan. Dalam hal ini, produk palsu dapat

ditemukan di pasar-pasar tradisional ambil saja contohnya di Pasar Anyar

Singaraja. Sepanjang perjalanan pasti saja kita banyak menemukan pertokoan

yang menjual berbagai barang palsu dengan berbagai merek.

Hal ini tentu saja sangat melanggar Undang-Undang No 20 tahun 2016

tentang merek. Namun tetap saja para produsen tidak menaati ketentuan yang

berlaku karena melihat adanya minat konsumen yang tinggi terhadap barang palsu

yang harganya jauh lebih murah dari pada barang asli dan juga undang-undang

yang di terapkan pemerintah tidak memiliki efek jera yang setimpal dengan hasil

yang di dapat sehingga para pelaku tidak takut untuk melakukan kecurangan

dalam membuat dan menjual produk palsu.

Maraknya peredaran merek palsu di pasar kian meresahkan banyak pihak

yang mana dalam ketentuan Pasal 100 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 yang

menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan merek yang

sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang

dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan

pidana penjara dan/atau pidana denda. Namun masih saja banyak pelaku usaha

yang memproduksi barang dengan memakai merek yang sudah terdaftar atau

merek palsu yang nantinya akan diedarkan di pasar-pasar selain itu merugikan

7
pemerintah (pajak), investor atau pemegang merek. Pasal 100 Undang-Undang

No 20 tahun 2016 menyatakan bahwa Setiap Orang yang dengan tanpa hak

menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar

milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (Dua miliar rupiah).

Keberadaan merek palsu juga merugikan pelaku sektor industri termasuk

para pekerja dan konsumen, sebagai pengguna meskipun mereka secara langsung

dapat membedakan merek terkenal asli dengan merek terkenal palsu tetapi mereka

tidak menghiraukan demi menunjang gaya hidup, keadaan seperti inilah yang

perlu diperhatikan pemerintah agar pemegang merek terkenal/ investor mendapat

jaminan perlindungan hukum terhadap berkembangnya merek-merek terkenal

palsu dalam skala besar. Tindakan pemanfataan merek akan mengurangi

kepercayaan pihak asing atau investor terhadap jaminan perlindungan merek yang

mereka miliki, akibatnya muncul ketidakpercayaan dunia Internasional terhadap

perlindungan hak atas merek yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dalam hal

hubungan dagang selain itu kerugian juga dialami dari sisi pekerja.

Banyaknya peredaran merek terkenal palsu di pasar domestik disebabkan

oleh kurang optimalnya pengawasan dan rapuhnya penegakan hukum. Maraknya

peredaran merek palsu di Indonesia adanya dugaan permainan dalam penegakan

hukum sehingga dengan mudahnya barang tersebut beredar di masyarakat.

Pemerintah dalam mengawasi produk palsu harus melihat dalam sisi penegakan

hukumnya sehingga pelaku barang bajakan dapat ditindak tegas. Kurang

optimalnya pengawasan aparat negara terhadap peredaran barang di pasaran tidak

8
hanya mencederai persaingan usaha dan melukai hak konsumen, barang-barang

palsu yang umumnya berasal dari dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri

akan berdampak negatif bagi pendapatan negara (neraca.co.id,).

Melihat realitas maraknya pemalsuan merek terkenal di berbagai daerah

ataupun kota-kota besar yang ada di Indonesia. Singaraja merupakan ibu kota

kabubaten Buleleng. Kota singaraja adalah salah satu contoh kota yang

mengalami perkembangan dalam hal perdagangan yang semakin pesat yang

mengakibatkan kemungkinan terjadinya pemalsuan merek terkenal yang marak

pun dapat terjadi. Sehingga melihat dampak-dampak yang dihasilkan dapat

membuat terhambatnya daya kreativitas dan inovasi generasi muda. Selain itu

pemalsuan atau peniruan merek juga akan berdampak kepada kekacauan di bidang

perekonomian bangsa kita yang mayoritas terdiri dari usaha kecil dan menengah

yang sangat membutuhkan pertolongan penanaman modal perusahaan dalam

negeri maupun swasta, serta pemalsuan juga akan membuat hak-hak yang terdapat

di dalam diri konsumen terancam.

Kasus yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah Fenomena yang sedang

terjadi di pasar Anyar Singaraja terkait banyak beredaranya barang bermerek

terkenal (luxrury good) tetapi barang yang beredar adalah barang bermerek

terkenal palsu seperti baju (sepatu (Nike, Adidas, Converse) dan lainnya yang

banyak beredar di pasar Tingkat Singaraja. Banyaknya peminat pada produk

bermerek palsu memang terletak pada harganya yang jauh lebih murah berkisar

Rp. 50.000 -Rp. 350.000 dibandingkan dengan harga aslinya yakni yang berkisar

Rp. 4.000.000–Rp. 20.000.000 dari setiap penjualan ini pedagang mendapat

keuntungan sekitar 50 persen dari modal yang dikeluarkan.

9
Pasar Anyar Singaraja yang merupakan pasar kota Singaraja menyediakan

barang-barang bermerek palsu dengan berbagai macam pilihan merek, model

barang dan harga murah yang menarik banyak peminat dari kalangan menengah

ke bawah. Peredaran barang-barang bermerk palsu yang ditemui berdasarkan hasil

observasi pertama hampir secara keseluruhan 70% pedagang-pedagang pakaian,

sepatu, jam dan yang lainnya menjual barang-barang merek palsu. Peredaran

barang palsu dianggap dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup sosial masyarakat

tanpa menghiraukan kualitas barang. Jumlah permintaan yang terus bertambah

mengakibatkan akan bertambahnya penjualan produk merek terkenal palsu dan

semakin membuat resah pemegang merek.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dikatakan bahwa masih banyak

adanya pelanggaran terhadap hak merek di Indonesia khususnya di Kota Singaraja

di Pasar Anyar Singaraja. Belum adanya upaya penanggulangan yang dilakukan

oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Oleh karena itulah, peneliti sangat tertarik

untuk membahas lebih mendalam tentang kajian pemalsuan terhadap merek

terkenal dalam hal implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang

Merek dan Indikasi Geografis. Untuk itulah, Penulis menuangkan tulisan ini

dalam bentuk skripsi dengan judul : IMPLEMENTASI PASAL 100 UNDANG

UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI

GEOGRAFIS ( STUDI KASUS PEMALSUAN MEREK TERKENAL DI

PASAR ANYAR SINGARAJA)

1.2 Identifikasi Masalah

10
Dari latar belakang diatas maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan

sebagai berikut :

1. Maraknya pemasaran merek terkenal palsu di Pasar Anyar Singaraja

yang dapat merugikan pemerintah (pajak), investor atau pemegang

merek, dan konsumen.

2. Peredaran merek terkenal palsu di pasar domestik disebabkan oleh

kurang optimalnya pengawasan dan rapuhnya penegakan hukum

sehingga menyebabkan lemahnya pengawasan dan rapuhnya penegakan

hukum.

3. Tidak adanya tindakan khusus dari Pemerintah Kota Singaraja dalam

melindungi hak-hak pemegang merek, khususnya terhadap pemasaran

pemalsuan merek terkenal.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas masalah yang muncul sangatlah

kompleks sehingga perlu dibatasi. Pembatasan masalah ini bertujuan agar

pembahasan masalah tidak terlalu luas. Penulis membatasi masalah yang akan

menjadi bahan penelitian yaitu mengenai Implementasi Pasal 100 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2016 terkait pemasaran merek terkenal palsu di Pasar

Anyar Singaraja dan Faktor penghambat dalam implementasi Pasal 100

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 terkait pemasaran merek terkenal palsu

di Pasar Anyar Singaraja.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang terurai tersebut di atas maka penulis menarik

beberapa permasalahan di dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

11
1. Faktor apa yang mempengaruhi sehingga terjadi pemalsuan dan predaran
barang palsu di Pasar Anyar Singaraja?
2. Bagaimanakah Implementasi Ketentuan Pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 terkait pemalsuan merek
terkenal di Pasar Anyar Singaraja?
1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis menarik beberapa tujuan

dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menambah wawasan di bidang keilmuan hukum

perdata kususnya mengenai Hak Merek, dan mengetahui bagaimana

Implementasi Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang

Merek dan Indikasi Geografis.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor penghambat dalam

implementasi Pasal 100 Undang Nomor 20 Tahun 2016 terkait

pemasaran merek terkenal palsu di Pasar Anyar Singaraja

b. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi Pasal 100 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2016 terkait pemasaran merek terkenal

palsu di Pasar Anyar Singaraja.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini berguna baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan pencerahan mengenai permasalahan hukum

yang dihadapi sehingga menjadi dasar pemikiran yang teoritis, dan

memberikan wawasan bagi para pembaca dan penulis tentang

12
IMPLEMENTASI PASAL 100 UNDANG UNDANG NOMOR 20 TAHUN

2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS ( STUDI KASUS

PEMALSUAN MEREK TERKENAL DI PASAR ANYAR SINGARAJA)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Bagi penulis bermanfaat seperti peningkatan keahlian dan keterampilan

menulis, sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum,

acuan pengambilan keputusan yuridis dan bacaan baru bagi penelitian

ilmu hukum.

b. Bagi Masyarakat

Sebagai sarana pengembangan pemikiran tentang perlindungan terhadap

pelanggaran hak merek terkenal khususnya dalam kasus maraknya

pemasaran merek terkenal palsu. Selain itu masyarakat diharapkan

mengetahui pentingnya memahami ketentuan-ketentuan hukum perdata

khususnya mengenai hak merek agar tidak terjadinya pelanggaran

terhadap merek.

c. Bagi Pemerintah

Bagi pemerintah khususnya Dirjen HAKI, Dinas Perdagangan dan

Perindustrian Kabupaten Buleleng, dan Polres Buleleng diharapkan

dapat menanamkan pemikiran terkait pentingnya penegakan hukum dari

pelanggaran hak merek. karena maraknya peredaran merek terkenal

palsu di pasaran dapat menimbulkan kerugian baik si pemilik asli merek

maupun konsumen.

13
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Mengenai Hak Kekayaan Intelektual

2.1.1 Definisi Hak Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan

suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya.

Secara sederhana HKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk.

Namun jika dilihat lebih rinci HKI merupakan bagian dari benda (Saidin :

1995). Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan atas istilah

Intellectual Property Right. Istilah tersebut terdiri atas tiga kata kunci, yaitu

Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat

dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual

merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti

teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan

seterusnya. HKI merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat

sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atas

hukum-hukum yang berlaku (Sutedi, 2009 : 38). Jadi dapat disimpulkan bahwa

Hak Kekayaan Intelektual atau disingkat “HKI” adalah hak yang timbul atas

hasil olah pikir otak manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang

berguna untuk manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa obyek yang

diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena

kemampuan intelektual manusia.

14
Haki juga melindungi merek (sebagai contoh nama atau symbol yang

digunakan oleh prusahaan), yang telah di kembangkan oleh perusahaan untuk

mengembangkan reputasi mereka dan menempatkan dalam pasar. Jika orang

lain menggunakan merek tersebut, konsumen mungkin berfikir bahwa mereka

sedang membeli sesuatu yang dibuat oleh perusahaan yang telah menemukan

merek tersebut. Hal ini menyebabkan perusahaan yang telah menciptakan

merek yang bersangkutan dapat menderita kerugian. Hukum HKI mengizinkan

peruhaan untuk menuntut orang-orang yang telah meniru merek mereka tanpa

izin (Lindsey,2013:3).

2.1.2 Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual

Ruang limgkup yang telah diatur dalam perstujuan TRIPs (Trade Related

Aspects of Intellectual Propery Rights) meliputi :

1. Hak Cipta dan Hak Terkait

2. Merek

3. Indikasi geografis

4. Desain produk industry

5. Paten

6. Layout designs (topografi rangkaian elektronika atau sirkuit terpadu)

7. Perlindungan terhadap informasi rahasia (undisclosed information)

8. Pengendalian terhadap Praktik - praktik Persaingan Curang dalam

perjanjian Lisensi (Usunan, 2003 : 41).

2.1.3 Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual

Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual antara lain :

1. Undag-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tantang Rahasia Dagang

15
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak

Sirkuit Terpadu

4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman..

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek

7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

2.2 Tinjauan Mengenai Merek

2.2.1 Definisi Merek

Merek merupakan tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa

gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua

dimensi dan atau tiga dimensi, suara hologram, atau kombinasi dari dua atau

lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan atau jasa yang diproduksi

oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa

(Laksana, 2019 : 332). Sedangkan merek dagang merupakan merek yang

digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa

orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan

barang-barang sejenis lainnya (Laksana, 2019 : 332). Dalam Pasal 1 butir 1 UU

Merek 15/2001 diberikan suatu definisi tentang merek, yaitu tanda yang berupa

gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi

dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam

kegiatan perdagangan barang atau jasa.

16
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai merek, dapat diartikan bahwa

merek merupakan sebuah tanda dari barang atau jasa yang diproduksi oleh

seseorang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa

sebagai pembeda barang atau jasa lainnya yang sejenis.

2.2.2 Definisi Hak Merek

Hak atas Merek merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara

kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka

waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan

izin kepada pihak lain untuk menggunakannya (Pasal 3 UU Merek 15/2001).

Subyek Hak Merek adalah pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum

Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau

membuat izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau

badan hukum. Pemilik merek dapat terdiri satu orang, atau bersama-sama atau

badan hukum (Sudarto Gautama, 1992 : 54-55). Hak khusus tersebut bukan

muncul dengan sendirinya jika ditempel pada produk yang diperdagangkan,

tetapi karena diberikan negara kepada pemilik merek yang telah melakukan

pendaftaran mereknya. Negara tidak akan memberikan hak-hak atas merek, jika

tidak melalui proses pendaftaran terlebih dahulu. Penggunaan hak atas merek

tidak bebas waktunya, melainkan hak itu dibatasi dengan jangka waktu tertentu

(Pasal 7 UU Merek 15/2016).

Merek sebagai hak atas kekayaan intelektual pada dasarnya adalah sebagai

tanda untuk mengidentifikasi asal barang dan jasa dari suatu perusahaan dengan

barang atau jasa perusahaan lain. Merek juga sebagai ujung tombak

perdagangan barang dan jasa karena melalui merek, pengusaha dapat menjaga

17
dan memberikan jaminan akan kualitas barang atau jasa yang dihasilkan dan

mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang

beritikad buruk yang bermaksud untuk menyamai reputasinya. Merek sebagai

sarana pemasaran dan periklanan memberikan suatu tingkat informasi tertentu

kepada konsumen mengenai barang atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha.

Dalam perkembangan periklanan nasional maupun internasional pada zaman ini

dalam rangka pendistribusian barang atau jasa membuat merek semakin tinggi

nilainya karena merek yang didukung dengan media periklanan membuat

pengusaha memiliki kemampuan untuk mendorong permintaan konsumen

sekaligus mempertahankan kesetiaan konsumen terhadap produk barang atau

jasa yang dihasilkannya. Hal tersebut yang menjadikan merek selalu unggul

dalam persaingan di pasar global (Rahmi, 2015:3).

2.2.3 Bentuk Pelanggaran Merek

Pembajakan merek terjadi ketika suatu merek, biasanya merek terkenal

asing, yang belum terdaftar kemudian didaftarkan oleh pihak yang tidak berhak.

Akibatnya permohonan pendaftaran pemilik merek yang asli ditolak oleh kantor

merek setempat karena dianggap serupa dengan merek yang sudah terdaftar

sebelumnya (Hariyani, 2010 : 119).

Pemalsuan Merek dapat terjadi ketika suatu produk palsu atau produk

dengan kualitas lebih rendah ditempeli dengan merek terkenal. Pemalsuan

merek dapat dikatakan sebagai kejahatan ekonomi, karena para pemalsu merek

tidak hanya menipu dan merugikan konsumen dengan produk palsunya namun

juga merusak reputasi dari pengusaha lainnya (Hariyani, 2010 : 119).

18
Pelanggaran merek yang mirip dengan pemalsuan merek adalah peniruan

label dan kemasan produk. Bedanya, pada pemalsuan merek label atau kemasan

produk yang digunakan adalah tiruan dari yang aslinya, sedangkan pada

peniruan, label yang digunakan adalah miliknya sendiri dengan menggunakan

namanya sendiri. Pelaku peniruan ini bukanlah seorang kriminal, tetapi lebih

kepada pesaing yang melakukan perbuatan curang. Pelaku peniruan berusaha

mengambil keuntungan dengan cara memirip-miripkan produknya dengan

produk pesaing atau menggunakan merek yang begitu mirip sehingga dapat

menyebabkan kebingungan dimasyarakat (Hariyani, 2010: 120).

2.2.4 Proses Pengajuan Merek

Untuk mendaftarkan merek, pemohon harus mengikuti prosedur dan tata

cara permohonan merek sesuai peraturan perundang-undangan. Yang mana,

mengenai pengajuan permohonan pendaftaran merek ini telah diatur pada

Undang-Undangan No. 20 Tahun 2016 tentang Merek, dan lebih lanjut

mengenai tata caranya juga dijelaskan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia No. 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Berikut ini

beberapa syarat dan tata cara mengajukan permohonan merek :

a. Permohonan diajukan dengan formulir rangkap dua dalam

bahasa Indonesia oleh pemohonan atau kuasanya kepada menteri.

b. Permohon yang diajukan memuat :

1. Tanggal,bulan,dan tahun permohonan;

2. Nama lengkap, kewarganegaraan,dan alamat pemohonan;

3. Nama lengkap dan alamat Kuasa jika permohonan diajukan

melalui kuasa;

19
4. Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama

kali dalam hal permohonan diajukan hak prioritas;

5. Label merek dengan ketentuan:

a. Apabila berupa bentuk tiga dimensi, lampirkan label dalam bentuk

karakteristik yang berupa visual dan deskripsi klaim perlindungan.

b. Apabila beruapa suara yang tidak dapat ditampilkan dalam bentuk

notasi,lampirkan label merek berupa bentuk sonogram

c. Apabila merek berupa hologram, maka lampirkan visual dari berbagai

sisi.

d. Warna jika merek yang dimohonkan menggunakan unsur warna;dan

e. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis

jasa.

f. pemohon harus melampirkan dokumen berupa:

1. Bukti pembayaran biaya permohonan.

2. Label merek sebanyak 3 lebar dengan ukuran paling kecil 2 x 2 cm dan

paling besar 9 x 9 cm.

3. Surat pernyataan kepemilikan merek.

4. Surat kuasa, jika permohonan diajukan melalui kuasa.

5. Bukti prioritas, jika menggunakan hak prioritas dan terjemahannya

dalam bahasa Indonesia (Laksana, 2019 : 337-338).

2.2.5 Merek Palsu

20
Merek Palsu adalah merek tiruan\imitasi dari merek yang asli (original).

Kata KW berasal dari kualitas yang konotasinya imitasi atau tiruan awalnya

istilah KW digunakan untuk membedakan barang asli dan barang palsu yang

digunakan oleh pedagang untuk membedakan kategori kualitas dan

range(kisaran) harganya.Misalnya“KW super” untuk barang tiruan terbaik

mendekati aslinya, KWada banyak tingkatan serta kelasnya. ContohnyaKW 1,

barangnya 90 % mendekati barang yang asli. KW 2, 80 % seperti aslinya,

sampai ada istilah KW yang jelek karena sudah jauhdari kualitas asli

produknya. Akhirnya istilah barang KW digunakan secara luas untuk produk-

produk tiruan lainnya, seperti HP, jam tangan, baju bermerek dan

sebagainya.PenerapanUndang-Undang Nomor 20Tahun 2016 tentang Merek,

hanya dikenal istilah barang palsu untuk menyebut barang-barang yang

diproduksi dan/ atau diperdagangkan dengan menggunakan Merek yang sama

pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain.Terkenalnya

suatu merek menjadi well-known/famous mark, dapat lebih memicu tindakan-

tindakan pelanggaran merek baik yang berskala nasional maupun

Internasional, karena suatu merek terkenal mengalami perluasan perdagangan

melintas batas-batas Negara.

2.2.6 Merek terkenal

Merek terkenal atau well known makr.merek terkenal memiliki reputasi tinggi

karena lambangya memiliki kekuatan untuk menarik perhatian dan

pengetahuan masyrakat mengenai suatu merek di dalam maupun di luar

negeri.

2.2. 7 Ketentuan Pidana Terkait Pelanggaran Atas Hak Merek

21
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa pelanggaran atas

hak merek terjadi ketika suatu merek, biasanya merek terkenal asing, yang

belum terdaftar kemudian didaftarkan oleh pihak yang tidak berhak.

Akibatnya permohonan pendaftaran pemilik merek yang asli ditolak oleh

kantor merek setempat karena dianggap serupa dengan merek yang sudah

terdaftar sebelumnya. Terhadap hal tersebut, mengenai pelanggaran atas hak

merek berlaku adanyan sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 100-

103 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Hak Merek, yang

menurut undang-undang tersebut pelanggaran atas hak merek merupakan

delik aduan. Adapun ketentuannya sebagai berikut:

Pasal 100 :

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama

pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk

barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang

mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik

pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi

dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama

4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah).

22
3. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan

kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

Pasal 101 :

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang

mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis

milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis

dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang

mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis

milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis

dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 102 :

Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui

atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk

tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1

23
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah).

2.3 Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)

Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga elemen utama dari sistem

hukum (legal system), yaitu (Lawrence M. Friedman, 1984 : 5-6) :

1) Struktur Hukum (Legal Structure)

2) Isi Hukum (Legal Substance)

3) Budaya Hukum (Legal Culture).

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil

tidaknya penegakan hukum suatu aturan hukum tergantung tiga unsur sistem

hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal

substance) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut

aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-

undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang

dianut dalam suatu masyarakat ( Friedman, 1984 : 5-6) .

1. Struktur Hukum (Legal Structure)

Dalam teori yang dikemukakan Lawrence M. Friedman hal ini

disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya

hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU

No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga

penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

24
Dalam teori ini terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et

pereat mundus” meskipun dunia ini runtuh hukum harus tetap

ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat

penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa

bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung

dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-

angan semata. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum

mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas

aparat penegak hukum diantaranya adalah seperti lemahnya

pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan

dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak

hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau

peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan

ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan

kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih

terbuka (Putri dkk, 2017:2).

Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan (Friedman, 1984 :

5-6):

“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system
consist of elements of this kind: the number and size of courts; their
jurisdiction…Strukture also means how the legislature is
organized…what procedures the police department follow, and so
on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal
system…a kind of still photograph, with freezes the action.”
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan

ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang

25
berwenang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan

ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif

ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden,

prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur

(legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan

untuk menjalankan perangkat hukum yang ada (Putri dkk, 2017:2).

Struktur adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum

dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini

menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta

proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Di Indonesia misalnya jika

kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk

di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti

kepolisian, kejaksaan dan pengadilan ( Ali, 2002 : 8).

2. Substansi Hukum

Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem

substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu

dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang

yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang

mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga

mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada

dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih

menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental

(meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut

Common Law Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah

26
peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang

tidak tertulis bukan dinyatakan hukum (Putri dkk, 2017: 2-3).

Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu

pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1

KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di

hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau

tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan

tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-

undangan.

Substansi hukum menurut Friedman adalah (Friedman, 1984 : 5-6):

“Another aspect of the legal system is its substance. By this is


meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of people
inside the system …the stress here is on living law, not just rules
in law books”.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud

dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata

manusia yang berada dalam system itu. Jadi substansi hukum

menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat

penegak hukum (Putri dkk, 2017:3).

3. Budaya Hukum

Menurut Lawrence M. Friedman budaya hukum adalah sikap

manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,

pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran

sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum

digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat

27
kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi

kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang

baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama

ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum

merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum (Friedman,

2001:8).

Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya,

seperti pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi

adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur

hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk

menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana

mesin itu digunakan. Dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia,

Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur

proses penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah bagian dari

struktur bersama dengan organ jaksa, hakim, advokat, dan lembaga

permasyarakatan. Interaksi antar komponen pengabdi hukum ini

menentukan kokoh nya struktur hukum. Walau demikian, tegaknya

hukum tidak hanya ditentukan oleh kokohnya struktur, tetapi juga

terkait dengan kultur hukum di dalam masyarakat. Namun demikian,

hingga kini ketiga unsur sebagaimana yang dikatakan oleh Friedman

belum dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam struktur hukum

dan budaya hukum (Putri dkk, 2017: 3-4).

Mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat :

“The third component of legal system, of legal culture. By this we


mean people’s attitudes toward law and legal system their belief …

28
in other word, is the climinate of social thought and social force
wich determines how law is used, avoided, or abused”.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap

manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap

hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum

untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun

kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum

oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka

penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif (Putri dkk, 2017:4).

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa

sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh

hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai

rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya

dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan,

melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut

ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya

penegakan hukum (law enforcement) yang baik (Fuady, 2003 : 40). Jadi

bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-

undangannya belaka, malainkan aktifitas birokrasi pelaksananya (Ali,

2002 : 97).

Sependapat dengan M. Friedman, Sajtipto Rahardjo menyebutkan

bahwa berbicara soal hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari

asas-asas paradigma hukum yang terdiri atas fundamental hukum dan

sistem hukum. Beberapa fundamental hukum diantaranya legislasi,

penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum meliputi substansi,

29
struktur dan kultur hukum. Kesemuanya itu sangat berpengaruh

terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum. Dari beberapa definisi

tersebut, dapat kita artikan bahwa berfungsinya sebuah hukum

merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan

hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi

masyarakat dalam pergaulan hidup. Tingkat efektivitas hukum juga

ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat kepatuhan warga masyarakat

terhadap aturan hukum yang telah dibuat (Putri dkk, 2017:5)

BAB III

METODE PENELITIAN

Sebagaimana diketahui bahwa dalam penulisan suatu karya ilmiah, salah

satu komponen penentu sebagai suatu syarat metode yang dipergunakan untuk

pencarian data karya tulis ini adalah metode penelitian. Secara harfiah metode

diartikan suatu jalan yang harus ditempuh sebagai penyelidikan atau penelitian

berlangsung berdasarkan suatu rencana tertentu (Ibrahim, 2006:26), sedangkan

penelitian merupakan proses pencarian suatu pengetahuan yang benar guna

menjawab suatu pertanyaan atau ketidak tahuan tertentu (Sunggono, 2012:27).

Dengan demikian metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, yang bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten (Ali,

2013 : 17).

Menurut Winarmo, metode penelitian adalah “mengamati secara langsung

atau menyelidiki dari dekat kelapangan dengan membanding-bandingkan anata

30
teori dan prakteknya” (Surachmad, 1970 : 56). Menurut Soetrisno Hadi yang

dimaksud dengan metode penelitian ialah suatu cara/metode untuk memberikan

garis-garis yang cermat dan mengajukan syarat-syarat yang keras, yang

dimaksudnya ialah agar menjaga ilmu pengetahuan yang dicapai dari suatu

reaserch dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggi-tingginya (Hadi, 1979 : 4).

1.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang akan penulis angkat adalah penelitian hukum empiris. Salah

satu ciri penelitian hukum empiris yakni penelitian dilakukan beranjak dari

adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein. Das sollennya adalah Pasal

100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi

Geografis dan sedangkan Das sein dalam penelitian ini adalah beredarnya

Pemasaran merek terkenal palsu di Pasar Anyar Singaraja. Dalam penelitian

hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat

diamati dalam kehidupan nyata. Penelitian hukum empiris dapat direalisasikan

terhadap efektifitas hukum yang sedang berlaku, ataupun penelitian terhadap

identifikasi hukum

1.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan merupakan cara pandang peneliti dalam memilih ruang bahasa

yang diharap mampu memberi kejelasan uraian dari suatu substansi karya

ilmiah. Berdasarkan pada rumusan masalah dan tujuan dari penelitian yang

merupakan penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue

approach), dan pendekatan kasus (case approach).

31
1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) adalah pendekatan

yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pemasalahan (isu hukum) yang

sedang dihadapi. Dalam penelitian ini undang-undang yang digunakan

adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan

Indikasi Geografis, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Pendekatan kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan

dengan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang

sedang dihadapi.

1.3 Data dan Sumber Bahan Hukum

Data yang digunakan dalam penulisan proposal ini bersumber dari data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian

langsung di lapangan, yaitu suatu data yang di peroleh langsung dari sumber

pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Dalam Hal ini

berdasarkan hasil observasi di lapangan penelitian akan di lakukan di beberapa

lokasi yaknni Dirjen HKI, dan tempat-tempat yang menjual sepatu palsu di Pasar

Anyar Singaraja.

Data Sekunder (Library Research) adalah mencakup dokumen-dokumen

resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya

(Amirudin dan Zainal Azikin, 2014 : 30). Yang terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas

(autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri dari : UUD tahun 1945, Pasal

100 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang merek.

32
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer. Bahan Hukum sekunder berupa : Jurnal

hukum, Buku yang berkaitan dengan Merek, Prosidiar yang berkaitan

dengan Merek.

3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan Hukum Tersier berupa : Kamus Hukum

3.4 Teknik Pengumpulan Data

a. Teknik obsevasi adalah penelitian yang mengamati secara langsung

terhadap kondisi sebenarnya dalam suatu masyarakat dan mengetahui

secara langsung kondisi sebenarnya di masyarakat tentang hak merek

dalam penjualan merek terkenal palsu yang ada di Pasar Anyar Singaraja.

b. Teknik Studi Dokumen adalah teknik awal yang digunakan dalam setiap

penelitian hukum normatif maupun penelitian hukum empiris. Karena

dalam teknik studi dokumen meskipun aspeknya berbeda namun keduanya

merupakan penelitian ilmu hukum. Studi dokumen dilakukan atas bahan-

bahan hukum yang relevan dengan Implementasi Pasal 100 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Hak Merek dan Indikasi Geografis

Terhadap pemasaran merek terkenal palsu di Pasar Anyar Singaraja.

c. Teknik Wawancara (Interview) adalah pengumpulan data dengan

mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada

responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan

alat perekam, yakni melakukan wawancara langsung dengan para penjual

33
sepatu di Pasar Anyar Singaraja mengenai merek terkenal palsu yang

mereka miliki sekarang.

3.5 Teknik penentuan sampel penelitian

Teknik yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik non probability

sampling yang memberikan peran yang sangat besar dalam penelitian untuk

penentuan pengambilan sampel. Dalam hal ini tidak ada ketentuan pasti berapa

sampel yang harus diambil agar dapat mewakili populasinya. Teknik cara sampel

ini diterapkan apabila data tentang populasinya sedikit. (Suratman dan Philips

Dillah, 2015:121). Pengambilan sampel dalam proposal ini dilakukan di beberapa

pemilik penjual merek terkenal palsu yang ada di Pasar Anyar Singaraja.

Bentuk dari non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini

adalah purposive sampling yang sampelnya dipilih atau di tentukan sendiri, yang

mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel

telah memenuhi ciri-ciri dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu. Berdasarkan

pertimbangan kebutuhan data penelitian, subyek dari penelitian ini terdiri dari:

a) Dirjen HKI

b) Dinas Perdagangan

c) Pemilik dari toko sepatu yang menjual sepatu tiruan di kota Singaraja.

d) Pengguna/ Konsumen, yang dimaksud konsumen disini adalah masyarakat

yang memakai merek sepatu palsu yang ada di kota Singaraja

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data merupakan tahap dimana data dikerjakan dan di

manfaatkan sehingga berhasil mendapatkan kebenaran-kebenaran yang dapat

34
digunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam proposal ini.

Pengolahan data dilakukan dengan modelanalisis data secara kualitatif.

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif

kualitatif. Deskripsi merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peran yang

amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang

bebagai variabel sosial. Studi ini disifatkan sebagai ekplorasi, jadi tidak bertujuan

menguji hipotesis, atau membuat generalisasi sebagaimana yang di ungkapkan

(Burhan, 2011:69). Segala sesuatu yang dinyatakan responden, baik secara tertulis

maupun lisan serta perilaku nyata yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang

utuh.  dengan mengambil kesimpulan berdasarkan pemikiran yang logis dari hasil

wawancara dengan para informan maupun dari data yang di peroleh dari studi

kepustakaan dan analisis dalam bentuk deskriptif. Deskriptif analisis yakni

penyajian dengan menggambarkan aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan

masalah yang di hadapi dan kemudian di analisa untuk mendapatkan kebenaran

serta berusaha memahami kebenaran tersebut dengan memperhatikan fenomena

hukum yang terjadi pada masyarakat.

35
36
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Kabupaten Buleleng

Buleleng merupakan Kabupaten yang memiliki wilayah terluas

diantara kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi Bali, luas wilayahnya

adalah 1.364,73 km2 dan pantai sepanjang 157,05 km. Kabupaten Buleleng

sendiri terletak di bagian utara Pulau Bali yang berbatasan dengan Laut

Jawa disebelah utara, Kabupaten Jembrana di sebelah barat, Kabupaten

Badung di sebelah selatan, dan Kabupaten Karangasem di sebelah selatan.

Ibu Kota Kabupaten Buleleng adalah Singaraja. Kabupaten Buleleng

terbagi atas 9 kecamatan, 129 desa, 19 kelurahan yang memiliki jumlah

penduduk total yaitu 816.654 jiwa (Bulelengkab.go.id. 2019).

Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Perdagangan dan

Perindutrian Kabupaten Buleleng terdapat 15 pasar yang tersebar di setiap

kecamatan yang ada di Kabuapten Buleleng. Salah satu pasar yang ada di

Kabupaten Buleleng yaitu Pasar Anyar Singaraja merupakan pasar yang

terletak di jantung Kota Singaraja, beralamat di Jalan Ponogoro, Singaraja.

4.1.2 Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kota Denpasar

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang terletak di Kota

Denpasar yang beralamat di Jalan Raya Puputan Niti Mandala, Renon

Denpasar. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai

tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang

kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan. Dalam menyelenggarakan tugas, Direktorat Jenderal Kekayaan

Intelektual mempunyai fungsi:

1. Perumusan kebijakan di bidang perlindungan hukum kekayaan

intelektual, penyelesaian permohonan pendaftaran kekayaan

intelektual, penyidikan, penyelesaian sengketa dan pengaduan

pelanggaran kekayaan intelektual, kerja sama, promosi kekayaan

intelektual, serta teknologi informasi di bidang kekayaan intelektual;

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan hukum kekayaan

intelektual, penyelesaian permohonan pendaftaran kekayaan

intelektual, penyidikan, penyelesaian sengketa dan pengaduan

pelanggaran kekayaan intelektual, kerja sama, promosi kekayaan

intelektual, serta teknologi informasi di bidang kekayaan intelektual;

3. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perlindungan

hukum kekayaan intelektual, penyelesaian permohonan pendaftaran

kekayaan intelektual, penyidikan, penyelesaian sengketa dan

pengaduan pelanggaran kekayaan intelektual, kerja sama, promosi

kekayaan intelektual, serta teknologi informasi di bidang kekayaan

intelektual;

4. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang

perlindungan hukum kekayaan intelektual, penyelesaian permohonan

pendaftaran kekayaan intelektual, penyidikan, penyelesaian sengketa

dan pengaduan pelanggaran kekayaan intelektual, kerja sama, promosi

kekayaan intelektual, serta teknologi informasi di bidang kekayaan

intelektual;
5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan

pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

4.1.3 Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng

Dinas perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng yang

beralamat di Jalan Melur No. 31 Singaraja. Dinas Perdagangan dan

Perindustrian mempunyai tugas dan pokok melaksanakan kewenangan

otonomi daerah di bidang perdagangan dan perindustrian. Untuk

melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Perdagangan dan Perindustrian

Kabupaten Buleleng menyelenggarakan fungsi sebagai berikut

(disdagperin.bulelengkab.go.id):

1. Perumusan kebijakan teknis di Bidang Perdagangan dan Perindustrian

berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati.

2. Pelaksanaan Pengembangan Perdagangan, Perindustrian,

Kemetrologian Legal, Kemetrologian Tertib Niaga, Sarana Prasarana

Pasar Export dan Import dan UPTD Metrologi Legal.

3. Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Industri, barang dan

perlindungan konsumen.

4. Penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan di bidang

perdagangan, perindustrian,kemetrologian.

5. Pembinaan unit pelaksanaan teknis daerah metrologi legal.

6. Pelaksanaan usaha pengembangan Dinas Perdagangan dan

Perindustrian.

7. Melaksanakan Perlindungan Konsumen.


8. Pengendalian pencemaran limbah industri.

9. Pemberian rekomendasi dalam rangka kelengkapan permohonan

perijinan di bidang perdagangan dan perindustrian sesuai dengan

kewenangan dan atau Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

10. Pengelolaan Tata Usaha Dinas.

4.1.4 Polisi Resor Kabupaten Buleleng

Kepolisian Resort Buleleng memiliki beberapa bagian setiap

bidang, yaitu sub Unit 1 Pidum, Unit II Tipiter dan Harda, Unit III Tipikor,

dan Unit IV PPA. SAT RESKRIM bertugas membina Fungsi dan

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana, termasuk fungsi identifikasi dalam rangka penegakan hukum,

koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan

PPNS sesuai ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam

pelaksanaan tugas dan kewajibannya Kasat Reskrim dibantu oleh Kanit

dan Kasubnit. Kasat Reskrim Polres bertanggung jawab atas pelaksanaan

tugasnya kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari

dibawah kendali Waka Polres.

A. KASAT RESKRIM
Bertugas dan bertanggung jawab tentang segala sesuatu dalam lingkup
pelaksanaan tugas SATUAN RESERSE:
1. Melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan masalah-masalah
Perencanan, Pengorganisasian, dan control terhadap tugas anggota.
2. Melakukan koordinasi dengan kesatuan lain dan instansi samping.
3. Melakukan supersif staf.
4. Mengendalikan tugas-tugas yang bersifat khusus terutama operasi
yang dibebankan.
B. Kaur Bin Ops RESKRIM
1. Membantu Kasat Reskrim melakukan pengawasan terhadap anggota
Unit Reskrim, Urmindik, Urmin, Ur Tahti dan Ur Indentifikasi.
2. Membantu kasat Reskrim dalm menyiapkan administrasi, formulir-
formulir yang ditentukan untuk pelaksanaan tugas anggota reskrim.
3. Membantu kasat Reskrim menjamin ketertiban dan ketentuan
pengisian formulir-formulir, register-register penyidikan.
4. Memberikan input data kepada Kasat Reskrim melalui Urmidik,
Urmin, Ur Tahti, Ur Indentifikasi dalam Pulahjianta.
5. Membantu kasat reskrim dalam melancarkan, mengontrol
menertibkan petunjuk cara pengisian register yang dibutuhkan
untuk administrasi penyidikan.
C. TUGAS POKOK KA UNIT
1. Melaksanakan pemanggilan, pemeriksaan dan pemberkasan kasus
atau tindak pidana yang akan atau sedang atau telah terjadi.
2. Menertibkan daftar pencarian orang maupun barang guna
pencarian/penyelidikan.
3. Memyelesaikan semaksimal mungkin kasus-kasus yang sedang
ditangani dan bekerjasama dengan unbin ops dalam pemanggilan,
SPDP dan administrasi lain.
4. Melakukan pemberkasan perkara dan mengajukan kepada Ur Bin
Ops untuk dikoreksi dan dikirim kekejari.
5. Menyiapkan data-data yang ditangani.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Sehingga Terjadi Pemalsuan dan

Peredaran Barang Palsu di Pasar Anyar Singaraja


Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang

masalah terkait adanya peredaran barang palsu di Pasar Anyar Singaraja,

maka perlu diketahui faktor yang mempengaruhi sehingga terjadinya

pemalsuan dan peredaran barang palsu tersebut. adapun hasil penelitian

yang peneliti lakukan dengan Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual

Kota Denpasar, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng

dan Kepolisian Resor Buleleng menunjukkan fakta bahwa di Kabupaten

Buleleng sendiri banyak penjual yang menjual barang palsu, namun belum

adanya penindakan lebih lanjut dari penegak hukum.

Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kota Denpasar

menyatakan bahwa pemalsuan dan peredaran barang palsu di Kabupaten

Buleleng memang banyak, namun untuk menindaklanjuti pelanggaran

tersebut perlu adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Jika kita

berbicara mengenai faktor yang mempengaruhi terjadinya pemalsuan dan

peredaran barang palsu tersebut, berdasarkan analisis kami sebagai pihak

yang menaungi Hak Kekayaan Intelektual, maka adapun faktor yang

mempengaruhi terjadinya pemalsuan dan peredaran barang palsu sebagai

berikut (wawancara 12 maret 2020):

1. Harga yang merakyat dan relatif lebih murah. Banyaknya produk

palsu atau sering disebut KW saat ini merajai pasar Indonesia.

Dengan harga yang murah meriah bagi kalangan menengah ke

bawah, memberikan keuntungan bagi pembeli untuk membeli barang

yang diinginkan. Meskipun tidak bisa membeli barang asli, barang

palsu atau Kwpun cukup memenuhi keperluan si pembeli karena


harganya yang relatif lebih murah dan bersahabat dengan kantong

masyarakat.

2. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat akan Hukum Kekakayaan

Intelektual khususnya akibat dari pembelian barang palsu. Hal ini

terjadi karena memang sudah mendagingnya fenomena barang palsu

atau KW di negara kita. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat ini

mengakibatkan mereka tidak menghiraukan akibat yang ditimbulkan

dari adanya pemalsuan dan peredaran barang palsu.

3. Perilaku konsumtif warga Indonesia. Perilaku konsumtifya

masyarakat ini menjadi salah satu alasan makin menjamurnya barang

palsu atau KW, hal ini dikarenakan permintaan banyak di pasaran.

Meski produk dalam negeri yang lebih bagus sudah banyak

bermunculan, namun kembali lagi dengan sikap gengsi masyarakat

yang lebih memilih barang branded dengan kualitas KW atau palsu

yang relatif lebih murah.

4. Kurangnya penegakan hukum pemerintah Kabupaten Buleleng

dalam menangani pemalsuan dan predaran barang palsu di pasaran.

Peraturan yang lengah dari Pemerintah menjadi salah satu faktor

pemalsuan dan predaran barang palsu di Kabupaten Buleleng, tidak

adanya penindakan secara tegas mengakibatkan para pelaku usaha

untuk menjual barang-barang palsu tersebut, ditambah lagi kurang

adanya pemeriksaan, yang mengakibatkan mudah masuknya barang

palsu atau KW tersebut.


Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara yang peneliti

lakukan dengan Kapolres Buleleng bahwa memang selama ini tidak

adanya upaya penegakan hukum yang dilakukan dalam menangani

pemalsuan dan peredaran barang palsu di Kabupaten Buleleng, hal ini

mengingat bahwa tidak adanya yang melaporkan terkait adanya

pelanggaran tersebut. Beliau juga menambahkan bahwa faktor yang

mempengaruhi terjadinya pemalsuan dan peredaran barang palsu di

Kabupaten buleleng adalah harga barangnya yang lebih murah dan

sangat mudah didapatkan sehingga masyarakat lebih tertarik untuk

menggunakan barang palsu atau KW daripada memilih yang asli yang

harganya lebih mahal dan untuk mendapatkannyapun susah harus

mencari ke luar kota (wawancara 20 maret 2020).

Terkait dengan hal tersebut, adapun hasil penelitian yang peneliti

lakukan dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten

Buleleng menyatakan bahwa untuk di Kabupaten Buleleng memang

banyak sekali ditemukan peredaran barang palsu atau KW tersebut, hal

ini sebagaimana bisa kita lihat dengan mata telanjang baik itu yang ada

di pasaran maupun di toko-toko yang menjual barang-barang dengan

merek terkenal asing tetapi dengan kualitas palsu atau KW. Oleh karena

itulah berdasarkan hal tersebut, maka adapun faktor yang

mempengaruhinya sebagai berikut (wawancara 23 maret 2020).:

1. Barang palsu harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan

barang asli. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih tertarik

dengan barang palsu karena harganya yang bersahabat dan tidak


menguras kantong. Selain itu juga, bagi penjual untuk

mendapatkan barangnyapun mudah karena bisa dibuat dan

dipalsukan dan lebih cepat terjual habis.

2. Barang palsu lebih mudah didapatkan. Akses untuk mendapatkan

barang palsu lebih mudah karena tidak seperti barang asli yang

untuk mendapatkannya harus ke luar kota terlebih dahulu, dan

tentunya ini membutuhkan biaya yang lebih.

3. Kurangnya edukasi terhadap masyarakat untuk dapat

membedakan mana barang asli dan mana yang palsu atau KW.

Terkait dengan maraknya peredaran barang palsu di Kabupaten

Buleleng, adapun hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan para

pedagang dan pelaku usaha yang ada di Kabupaten Buleleng, mereka

menyatakan bahwa keuntungan dari penjualan barang palsu lebih

banyak dibandingkan jika menjual barang asli, mereka menambahkan

bahwa barang palsu lebih mudah didapatkan dan membuatnya sma

seperti yang aslipun terbilang sangat mudah, hal ini dikarenakan

tersedianya alat-alat dan bahan untuk membuat sama seperti yang asli.

Mereka juga menambahkan bahwa dalam penjualannya pun

masyarakat lebih suka dan tertarik dengan barang palsu karena kami

sebagai penjual menjualnya dengan harga yang lebih murah dan

merakyat di kantong masyarakat. Selain itu juga mereka menyatakan

bahwa selama menjual barang-barang palsu tersebut, belum adanya

suatu tindakan penegakan hukum yang mereka rasakan yang dalam

hal ini seharusnya dilakukan penegak hukum yang berwenang baik


oleh Kepolisian maupun Dinas Perdagangan dan Perindustrian

Kabupaten Buleleng (wawancara 28 maret 2020).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, bahwa terdapat banyak

sekali faktor yang mempengaruhi terjadinya pemalsuan dan peredaran

barang palsu di Indonesia khususnya di Kabupaten Buleleng. Hal ini

menandakan bahwa pemalsuan dan peredaran barang palsu masih

banyak terjadi dan belum tersentuh oleh hukum.

4.2.2 Implementasi Ketentuan Pidana Pasal 100 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 Terkait Pemalsuan Merek Terkenal di

Pasar Anyar Singaraja

Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Terkait merek

dan Indikasi Geografis mengkategorikan bahwa setiap orang yang dengan

tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan

merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang

diproduksi atau diperdagangkan dapat dipidana penjara ataupun pidana

denda. Terkait dengan ketentuan tersebut jika kita berbicara implementasi

pasal tersebut dalam Pemalsuan dan peredaran barang palsu di Kabupaten

Buleleng khususnya di Pasar Anyar Singaraja, maka adapun hasil

penelitian yang peneliti lakukan dengan beberapa Penegak Hukum sebagai

berikut.

Adapun hasil peneltian yang dilakukan peneliti dengan Kepolisian

Resor Buleleng sebagai berikut, bahwa selama ini belum adanya laporan

kasus mengenai adanya pemalsuan dan peredaran barang palsu di

Kabupaten Buleleng, sehingga belum adanya upaya dan/atau tindakan


yang dilakukan oleh Polres Buleleng, mengingat pelanggaran hak merek

tersebut termasuk salah satu dalam delik aduan. Memang benar jika kita

lihat dalam praktiknya di lapangan, banyak kios atau ruko yang ada di

Pasar Anyar Singaraja yang menjual barang dengan merek palsu. Sehingga

dengan demikian untuk mengimplementasikan ketentuan yang ada pada

pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan

Indikasi Geografis belum bisa diimplementasikan dengan baik, mengingat

tidak adanya pengaduan atas pelanggaran yang terjadi (wawancara 20

maret 2020)..

Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang peneliti

lakukan dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng

yang juga menyatakan bahwa sebagai pihak yang bergerak dalam bidang

perdagangan, kami tidak bisa memberikan kebijakan yang tegas baik itu

dalam bentuk sanksi maupun denda terhadap para pelaku usaha yang

melakukan pemalsuan dan peredaran barang palsu di Kabupaten Buleleng,

mengingat tidak adanya pengaduan mengenai adanya pelanggaran

tersebut. sehingga peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut tidak

bisa diterapkan dengan baik (wawancara 23 maret 2020).

Selain dengan Kepolisian dan Dinas Perdagangan dan

Perindustrian Kabupaten Buleleng, peneliti juga melakukan wawacara

dengan para pedagang di Pasar Anyar Singaraja, bahwa Para Pedagang

tidak mengetahui terkait adanya peraturan yang mengatur tentang Hak

Merek serta para pedagang juga mengetahui bahwa barang yang mereka

jual merupakan barang palsu atau barang yang tidak memiliki lisensi
terkait Hak Merek, akan tetapi para pedagang tetap menjual barang palsu

tersebut dengan alasan tuntutan ekonomi, dimana para pedagang tersebut

mengambil barang yang mereka jual ke produsen atau ke pabrik yang

memproduksi barang palsu tersebut dengan harga yang relative lebih

murah untuk dijual kembali untuk mendapat keuntugan yang lebih tinggi.

Selain hal tersebut para pedagang juga enggan untuk mengurus ijin atau

lisensi terhadap barang yang mereka jual karena memerlukan biaya yang

lebih tinggi (wawancara 28 maret 2020)..

4.3 Pembahasan

4.3.1 Faktor Yang Mempengaruhi Sehingga Terjadi Pemalsuan dan

Peredaran Barang Palsu di Pasar Anyar Singaraja

Maraknya peredaran barang palsu di pasar kian meresahkan

banyak pihak, selain merugikan pemerintah (pajak), investor atau

pemegang merek, keberadaan barang palsu juga merugikan pelaku sektor

industri termasuk para pekerja dan konsumen, sebagai pengguna meskipun

mereka secara langsung dapat membedakan merek terkenal dengan merek

terkenal palsu tetapi mereka menghiraukan demi menunjang gaya hidup,

keadaan seperti inilah yang perlu diperhatikan pemerintah agar pemegang

merek terkenal/ investor mendapat jaminan perlindungan hukum terhadap

berkembangnya merek-merek terkenal palsu dalam skala besar. Tindakan

pemanfataan merek akan mengurangi kepercayaan pihak asing atau

investor terhadap jaminan perlindungan merek yang mereka miliki,

akibatnya muncul ketidak percayaan dunia Internasional terhadap

perlindungan hak atas merek yang diberikan oleh pemerintah Indonesia


dalam hal hubungan dagang selain itu kerugian juga dialami dari sisi

pekerja, secara nasional industri di dalam negeri berpotensi mengalami

potensi kehilangan Rp 3 triliun per tahun, yang seharusnya dapat

digunakan untuk membayar upah tenaga kerja atau buruh yang bekerja

pada produsen barang asli akibat maraknya peredaran barang palsu.

Merinci, dari Rp 3 triliun tersebut, potensi kehilangan upah ini terutama

mengancam buruh yang bekerja di sektor industri pakaian dan barang dari

kulit sebesar Rp 2,32 triliun, industri makanan dan minuman sebesar Rp

620,2 miliar, industri farmasi dan kosmetika sebesar Rp 268,4 miliar serta

industri software dan tinta printer sebesar Rp 186,3 miliar

(http://ipnews.acaciapat.com).

Banyaknya peredaran palsu di pasar domestik disebabkan oleh

kurang optimalnya pengawasan dan rapuhnya penegakan hukum.

Maraknya peredaran barang palsu ditengarai adanya dugaan permainan

dalam penegakan hokum sehingga dengan mudahnya barang tersebut

beredar di masyarakat. Pemerintah dalam mengawasi produk bajakan

harus melihat dalam sisi penegakan hukumnya sehingga pelaku barang

bajakan dapat ditindak tegas. Kurang optimalnya pengawasan aparat

negara terhadap peredaran barang di pasaran tidak hanya mencederai

persaingan usaha dan melukai hak konsumen, barang-barang palsu yang

umumnya berasal dari dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri akan

berdampak negatif bagi pendapatan negara (http://neraca.co.id ).


Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya

maka dapat disimpulkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya pemalsuan dan peredaran barang palsu di Kabupaten Buleleng :

1. Harga yang merakyat dan relatif lebih murah. Banyaknya produk

palsu atau sering disebut KW saat ini merajai pasar Indonesia.

Dengan harga yang murah meriah bagi kalangan menengah ke

bawah, memberikan keuntungan bagi pembeli untuk membeli barang

yang diinginkan. Meskipun tidak bisa membeli barang asli, barang

palsu atau Kwpun cukup memenuhi keperluan si pembeli karena

harganya yang relatif lebih murah dan bersahabat dengan kantong

masyarakat.

2. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat akan Hukum Kekakayaan

Intelektual khususnya akibat dari penjualan barang palsu. Hal ini

terjadi karena memang sudah mendagingnya fenomena barang palsu

atau KW di negara kita. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat ini

mengakibatkan mereka tidak menghiraukan akibat yang ditimbulkan

dari adanya pemalsuan dan peredaran barang palsu.

3. Perilaku konsumtif warga Indonesia. Perilaku konsumtifya

masyarakat ini menjadi salah satu alasan makin menjamurnya barang

palsu atau KW, hal ini dikarenakan permintaan banyak di pasaran.

Meski produk dalam negeri yang lebih bagus sudah banyak

bermunculan, namun kembali lagi dengan sikap gengsi masyarakat

yang lebih memilih barang branded dengan kualitas KW atau palsu

yang relatif lebih murah.


4. Kurangnya penegakan hukum pemerintah Kabupaten Buleleng dalam

menangani pemalsuan dan predaran barang palsu di pasaran.

Peraturan yang lengah dari Pemerintah menjadi salah satu faktor

pemalsuan dan predaran barang palsu di Kabupaten Buleleng, tidak

adanya penindakan secara tegas mengakibatkan para pelaku usaha

untuk menjual barang-barang palsu tersebut, ditambah lagi kurang

adanya pemeriksaan, yang mengakibatkan mudah masuknya barang

palsu atau KW tersebut.

5. Barang palsu lebih mudah didapatkan. Akses untuk mendapatkan

barang palsu lebih mudah karena tidak seperti barang asli yang untuk

mendapatkannya harus ke luar kota terlebih dahulu, dan tentunya ini

membutuhkan biaya yang lebih.

6. Kurangnya edukasi terhadap masyarakat untuk dapat membedakan

mana barang asli dan mana yang palsu atau KW.

Merek terkenal asing sering dipalsukan (atau minimal pelaku usaha

sering membonceng ketenaran dari merek terkenal tersebut) karena nilai

ekonomisnya yang sangat tinggi. Akibatnya pemilik merek yang sah atas

merek terkenal dirugikan kepentinganya dengan berkurangnya pangsa

pasar, pudarnya goodwill atau reputasi merek yang telah dibangun

dengan susah payah dan biaya tidak sedikit. Namun, tidak hanya

kepentingan pemilik merek terkenal saja yang dirugikan, konsumen juga

dirugikan karena membeli produk yang tidak sesuai dengan

ekspektasinya sebagai timbal balik dari pembayaran yang sudah

dilakukan (Kurnia,2011:99).
Sektor perdagangan dunia, Indonesia sering diserbu barang palsu

merek ternama karena Indonesia dipandang sebagai pasar potensial yang

menjadi target utama yang dituju karena masyarakat Indonesia yang

cenderung berorientasi pada pemakaian produk-produk luar negeri (label

minded) dan tingkat konsumtif akan gaya hidup yang tinggi dalam

penggunan merek terkenal yang dapat menunjang dan menentukan status

sosial dalam pergaulan, merek merupakan gengsi bagi kalangan tertentu

karena gengsi seseorang terletak pada barang yang dipakai atau jasa

yang digunakan, semakin terkenal merek yang digunakan semakin tinggi

pula

status sosial, apalagi merek itu terkenal yang merupakan produk asli

yang sulit didapat dan dijangkau oleh kebanyakan orang dapat menjadi

kebanggan tersendiri. Penggunaan merek terkenal ini biasanya dengan

alasan demi kualitas, bonafiditas, atau investasi. Tingkat konsumtif yang

besar inilah yang menuntut industri lain untuk memanfaatkan merek-

merek terkenal untuk mendapatkan keuntungan lebih, semakin besarnya

permintaan merek-merek terkenal maka semakin besar pula produksi dan

peredaran merek-merek terkenal palsu yang beredar. Produk-produk

tersebut dipasarkan ke seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya pemalsuan dan predaran barang palsu tersebut

juga sebagai faktor penghambat kurangnya penegakan hukum

pemerintah Kabupaten Buleleng dalam menangani pemalsuan dan

peredaran barang palsu di Kabupaten Buleleng, hal ini sebagaimana


ditunjukkan dalam hasil penelitian yang dilakukan bahwa belum adanya

upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan. Maka

dengan demikian benar bahwa keefektifitasan suatu peraturan di

masyarakat dipegaruhi oleh substansi hukum, kultur hukum dan struktur

hukum sebagaimana yang telah dikatakan oleh Friedmann.

4.3.2 Implementasi Ketentuan Pidana Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2016 Terkait Pemalsuan Merek Terkenal di Pasar Anyar

Singaraja

Berbicara mengenai implementasi suatu peraturan, maka berbicara

mengenai berjalan atau tidaknya suatu peraturan itu pada suatu wilayah

tertentu. Oleh karena itulah tolak ukur dari efektifnya suatu peraturan itu

diukur dari keseimbangan antara hukum yang sedang berlaku dengan fakta

yang terjadi di lapangan, dengan kata lain keseimbangan antara das solen

dengan das sein. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

peneliti, Implementasi ketentuan pidana Pasal 100 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis belum

terimplementasikan dengan baik. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam

hasil penelitian yang dilakukan dengan Kepolisian Resor Buleleng dan

Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng. Baik

Kepolisian Resor Buleleng dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian

Kabupaten Buleleng sama-sama menyatakan bahwa belum adanya upaya


penegakan hukum yang dapat dilakukan terkait adanya pemalsuan dan

peredaran barang palsu di Kabupaten Buleleng khususnya di Pasar Anyar,

mengingat bahwa perkara tersebut tergolong ke dalam delik aduan, yang

artinya suatu peristiwa tidak bisa dilakukan penegakan hukum, jika belum

ada pihak yang yang melaporkan atau mengadukan.

Ketentuan pidana yang mengatur mengenai pemalsuan dan

peredaran barang palsu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Pasal 100 hingga

Pasal 103. Adapun ketentuannya sebagai berikut :

Pasal 100 :

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama

pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk

barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang

mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik

pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi

dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama

4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah).

3. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan
kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

Pasal 101 :

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang

mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis

milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis

dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang

mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis

milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis

dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 102 :

Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui

atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk

tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat dua kategori seseorang itu dapat dikatakan telah melakukan

pelanggaran merek :

1. Seseorang tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek

terdaftar milik pihak lain (Pasal 100 ayat 1).

2. Seseorang tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan

atau kemiripan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain

(Pasal 100 ayat 2).

Pelanggaran terhadap merek bertujuan untuk mendapatkan

keuntungan pribadi secara mudah dengan mencoba atau melakukan

tindakan, meniru atau memalsukan merek-merek yang sudah terkenal di

masyarakat tanpa memikirkan hak-hak orang lain yang hak-haknya telah

dilindungi sebelumnya.

Menurut Molegraf, persaingan tidak jujur adalah peristiwa di

dalam mana seseorang untuk menarik para langganan orang lain kepada

perusahaan dirinya sendiri atau demi perluasaan penjualan omzet

perusahaanya, menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan itikad

baik dan kejujuran di dalam perdagangan (Suryodiningrat,1981:66).

Menurut peneliti, pelanggaran hak kekayaan intelektual dalam

pelanggaran hak merek di Indonesia khususnya di Kabupaten Buleleng

semakin hari semakin tinggi. Anehnya sangat jarang kasus-kasus


pelanggaran tersebut yang dinaikkan sampai ke Pengadilan. Padahal kasus-

kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual khususnya dalam pelanggaran

hak merek dapat ditemui dengan mudah di okum setiap sudut Pasar yang

ada di Kabupaten Buleleng, tanpa ada tindakan aktif dari okum t

kepolisian. Hal ini membuktikan bahwa usaha yang dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia melalui okum t penegak hukumnya dalam rangka

perlindungan terhadap hak merek terkenal ini ternyata tidak membuahkan

hasil yang maksimal.

Perlindungan ataupun penegakan hukum yang diberikan oleh

Pemerintah Kabupaten Buleleng terhadap pemalsuan dan peredaran barang

palsu belum sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Perlindungan okum dalam undang-undang tersebut adalah perlindungan

okum dengan ancaman pidana sebagaimana telah diuraikan sebelumnya

(Kusuma, 2014:18).

Belum terimplementasikannya dengan baik Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis ini, secara

konkret menandakan adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein

yang mana dalam hal ini tidak berjalannya Undang-Undang tersebut.

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

1. Faktor yang mempengaruhi terjadinya pemalsuan dan peredaran

barang palsu di Kabupaten Buleleng berdasarkan hasil


penelitian yang telah dilakukan dengan Direktorat Jendral Hak

Kekayaan Intelektual, Kepolisian Resor Buleleng dan Dinas

Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng dipengaruhi

beberapa faktor yaitu Kurangnya kesadaran hukum masyarakat

akan hukum kekayaan intelektual khususnya akibat dari

penjualan barang palsu, adanya perilaku konsumtif warga

Indonesia, Kurangnya Penegakan Hukum Pemerintah

Kabupaten Buleleng, Barang palsu mudah didapatkan, serta

kurangnya edukasi terhadap masyarakat untuk dapat

membedakan mana barang asli dan barang palsu.

2. Pengimplementasian Ketentuan Pidana Pasal 100 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang merek dan Indikasi

Geografis di Kabupaten Buleleng khususnya Pasar Anyar

Singaraja berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan

Kepolisian Resor Buleleng dan Dinas Perdagangan dan

Perindustrian Kabupaten Buleleng bahwa belum adanya upaya

penegakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pemalsuan

dan peredaran barang palsu di Kabupaten Buleleng, hal ini

dikarenakan belum adanya pengaduan maupun pelaporan terkait

adanya pemalsuan dan peredaran barang palsu tersebut,

disamping itu juga pemalsuan dan peredaran barang palsu ini

tergolong ke dalam delik aduan. Sehingga dengan demikian,

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang merek dan

indikasi geografis belum terimplementasikan dengan baik.


5.2 Saran

1. Perlunya pengawasan dan penegakan hukum yang konkrit oleh

Dirjen Hukum Kekayaan Intelektual, Kepolisian dan Dinas

Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng untuk

melakukan pembinaan hukum di Kabupaten Buleleng agar dapat

menekan angka pelanggaran merek serta peredaran barang palsu

di Kabupaten Buleleng.

2. Masyarakat perlu diimbau untuk menggunakan produk dalam

negeri sehingga produk lokal dapat bersaing dengan produk

asing dan konsumen dihimbau untuk menjadi konsumen cerdas

dalam membeli dan menggunakan barang, serta masyarakat

terbiasa dalam menjual produk lokal.

DAFTAR PUSTAKA :

Buku :
Ali, Zainudin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Amirudin dan Zainal. 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum.Jakarta: PT.
Raja Grafika Persada
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Media
Group.
Damian, Edy. 2003. Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT. Alumni.
Friedman, M. Lawrence. 2009. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal
System A Social Science Perspective). Bandung: Nusa Media.
Hadi, Prasetyo Purwandoko. 1997. Hak Kekayaan Intelektual. Yoyakarta: Buku
Biru.
Hariyani, Iswi. 2017. Buku Pintar HaKI dan Warisan Budaya. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Ibrahim, Jhony. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyu Media.
Jened, Rahmi. 2015. Hukum Merek (Trademark Law). Jakarta: PT Kharisma Putra
Utama
Laksana. 2019. Himpunan Lengkap Undang-Undang Hak Cipta, Paten, Merek
dan Indikasi Geografis, Serta Hak Kekayaan Intelektual. Tanggerang: Tim
Redaksi.
Lindsey, dkk. 2013. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: PT
Alumni.
Saidin. 2016. Buku Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Rajawali
Press.
Suratman dan Philips Dhillah. 2015. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Alfabeta.
Sunggono, Bambang. 2012. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Sutedi, Adrian. 2013. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika

Artikel dalam Jurnal


Rafianti, Laina. 2015. Perkembangan Hukum Merk di Indonesia. Padjajaran
Journal Law: Universitas Padjajaran. Volume 1.
http://e-journal.uajy.ac.id/11166/2/1HK10138.pdf
http://repository.unpas.ac.id/3643/3/BAB%201%20new.pdf
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/65237
https://lib.unnes.ac.id/22145/1/8111411231-s.pdf
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/18991/SKRIPSI
%20LENGKAP-PERDATA-IRSALINA%20JULIA%20ERMIN.pdf?sequence=1
http://neraca.co.id
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Hak Merek. Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5953

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Anda mungkin juga menyukai