Anda di halaman 1dari 33

RESUME TENTANG PENERAPAN PASIEN SAFETY DALAM

PEMBERIAN OBAT

DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


FARMAKOLOGI

DOSEN PENGAMPUH:

Eki Pratidina, S.Kp.,MM

Disusun :

Asep Muhammad Ilham G Padilla Mutiara Ningrum

Bunga Annastya Fitrianingrum Shely Novia Nanda

Irpan Taupik Siti Nuraeni

Istina Nuraeni Suleha

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

2020
1. RESUME PENERAPAN PATIENT SAFETY DALAM PEMBERIAN OBAT
(Jurnal Portal Garuda)

Program keselamatan pasien tersebut di atas diharapkan dapat mencegah


terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan/ error akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan dan
meningkatkan pertanggungjawaban rumah sakit terhadap pelayanan yang
diberikan kepada pasien termasuk dalam pemberian obat. Keselamatan pasien
berdasarkan JCI berkaitan dengan pemberian obat merupakan salah satu
bentuk pelayanan yang bertujuan agar obat yang diperlukan tersedia setiap
saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu terjamin dan harga yang
terjangkau untuk mendukung pelayanan. yang bermutu serta memenuhi
kebutuhan rumah sakit dalam meningkatkan kualitas keselamatan pasien. Obat
merupakan sediaan atau paduan bahan bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Dep Kes RI, 2005).
Hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit dalam meningkatkan
kualitas keselamatan pasien. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan
tingkat pengetahuan perawat terhadap manajemen keselamatan pasien dalam
pemberian obat kewaspadaan tingkat tinggi di RS MMA Jakarta.

Metode :

 Desain penelitian ini bersifat dekriptif korelatif dengan pendekatan


cross sectional dengan analisa data menggunakan ChiSquare.
Sampel penelitian ini adalah perawat pelaksana menggunakan total
sampling dengan jumlah responden 60 perawat.
Hasil:
 Hasil analisa univariat didapatkan hasil bahwa dari 60 responden
terdapat mayoritas perawat yang melakukan praktek manajemen
keselamatan pasien kurang sebanyak 32 responden (53,3%), dan
perawat melakukan praktek manajemen keselamatan pasien baik
sebanyak 28 responden (46,7%).
 Hasil analisa bivariate menunjukkan hasil uji statistic didapat
nilai p value (0,037), sehingga dapat disimpulkan ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan dengan penerapan manajemen
keselamatan pasien dalam pemberian obat kewaspadaan tinggi,
karena p < 0,05 sehingga Ho dapat ditolak.

Kesimpulan:

 Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan menunjukan bahwa


adanya hubungan antara pengetahuan perawat pelaksanan dengan
penerapan manajemen keselamatan pasien karena p < 0,05
sehingga Ho dapat ditolak.

TAMBAHAN

Perawat diharapkan dapat mengimplementasikan keselamatan


pasien menurut standart operasional prosedur(SOP) dan dapat menerapkan
12 langkah benar dengan baik. Dengan begitu dapat meminimalisiri
adanya kesalahan dalam pemberian asuhan keperawatan(pemberian obat)
yang mana jika seluruh perawat menerapkan seperti itu, maka nama
instansi nya akan naik dan memperbaikin pelayanan kesehatan indonesia.
Pembahasan 12 langkah benar dalam pemberian obat

1. Benar Pasien: Obat yang akan diberikan hendaknya benar pada pasien
yang diprogramkan dengan cara mencocokkan program pengobatan
pada pasien, nama, nomor register, alamat untuk mengidentifikasi
kebenaran obat.
2. Benar Obat: Obat memiliki nama dagang dan nama generik dan pasien
harus mendapatkan informasi tersebut atau menghubungi apoteker
untuk menanyakan nama generik dari nama dagang obat yang asing.
Jika pasien meragukan obatnya, maka perawat harus memeriksanya
lagi dan perawat harus mengingat nama dan obat kerja dari obat yang
diberikan.
3. Benar Dosis: Untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan agar
perhitungan obat benar untuk diberikan kepada pasien maka penentuan
dosis harus diperhatikan dengan menggunakan alat standar seperti alat
untuk membelah tablet, spuit atau sendok khusus, gelas ukur, obat cair
harus dilengkapi alat tetes.
4. Benar Cara Pemberian: Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute
yang berbeda dan rute obat yang diberikan diantaranya inhalasi, rektal,
topikal, parenteral, sublingual, peroral.
5. Benar Waktu: Untuk dapat menimbulkan efek terapi dari obat dan
berhubungan dengan kerja obat itu sendiri, maka pemberian obat harus
benar-benar sesuai dengan waktu yang diprogramkan.
6. Benar Dokumentasi: Pemberian obat harus sesuai dengan standar
prosedur yang berlaku di rumah sakit. Perawat harus selalu mencatat
informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan serta respon
klien terhadap pengobatan.
7. Benar Evaluasi :Setelah pemberian obat, perawat selalu memantau atau
memeriksa efek kerja obat kerja tersebut
8. Benar Pengkajian: Sebelum pemberian obat, perawat harus selalu
memeriksa tandatanda vital (TTV).
9. Benar Reaksi dengan Obat Lain: Pada penyakit kritis, penggunaan obat
seperti omeprazol diberikan dengan chloramphenicol.
10. Benar Reaksi Terhadap Makanan: Pemberian obat harus
memperhatikan waktu yang tepat karena akan mempengaruhi
efektivitas obat tersebut.
11. Hak Klien Untuk Menolak: Perawat harus memberikan “inform
consent” dalam pemberian obat dan klien memiliki hak untuk menolak
pemberian obat tersebut
12. Benar Pendidikan Kesehatan Perihal Medikasi Klien: Perawat
memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pendidikan kesehatan
khususnya yang berkaitan dengan obat kepada pasien, keluarga pasien,
dan masyarakat luas diantaranya mengenai perubahan-perubahan yang
diperlukan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari

http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1265385
2. PENERAPAN PASIEN SAFETY DALAM PEMBERIAN OBAT
Jurnal SINTA

Rumah sakit perlu mengembangkan suatu pendekatan untuk


memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila
obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen
rumah sakit harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan
pasien agar terhindar dari 17 risiko kesalahan pemberian obat. Obat-obatan
yang perlu diwaspadai (highalert medications) adalah obat yang sering
menyebabkan terjadi kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko
tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip. Rumah
sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur
untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data
yang ada di rumah sakit tersebut. Kebijakan atau prosedur juga dapat
mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat,
seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada
elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga
membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang
hati-hati.
Elemen yang merupakan standar penilaian sasaran III adalah
sebagai berikut:
a. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan Sound
Alike (LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)
b. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK dan COUNTER SIGN setiap
distribusi obat dan pemberian obat pada masing-masing instansi
pelayanan.
c. Menerapkan agar Obat yang tergolong HIGH ALERT berada di
tempat yang aman dan diperlakukan dengan perlakuan khusus
d. Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan
pendelegasian Obat (Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat, Masa
Berlaku Obat, Dosis, Waktu, Cara, dan Dokumentasi).

(https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/5c73d18b3282a47bf1561050272e9
12b.pdf)
3. RESUME TENTANG PENERAPAN KESELAMATAN DALAM PEMBERIAN
OBAT BERDASARKAN JURNAL PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN
DALAM PEMBERIAN OBAT OLEH PERAWAT DI RSJD PROPINSI JAWA
TENGAH
GOOGLE SCHOLAR

Berdasarkan jurnal Penerapan Keselamatan Pasien Dalam Pemberian Obat


oleh Perawat di RSJD Provinsi Jawa Tengah yang telah saya baca mengatakan
bahwa semua informan yakni terdiri dari perawat pelaksana dan kepala ruang
yang berjumlah 4 orang di RSJD Provinsi Jawa Tengah telah memahami
maksud dan tujuan keselamatan pasien, mereka berpendapat keselamatan
pasien sebagai suatu sistem dimana pelayanan RS harus membuat aturan
untuk assessment / identifikasi pasien terlebih dahulu agar meminimalkan
resiko dan mencegah terjadinya cedera.
Pelaksanaan pengembangan program keselamatan pasien berpedoman
pada standar keselamatan pasien dan sasaran keselamatan pasien. Melalui
penerapan 7 langkah menuju keselamatan pasien, akan mampu mendorong
upaya perbaikan yang lebih mengutamakan pasien dalam setiap pelayanannya.
Melalui struktur dan proses yang terstandarisasi, dengan penyediaan fasilitas
dan sumberdaya yang adekuat/memenuhi syarat serta peran serta aktif SDM
akan menghasilkan outcome/dampak yang baik. Didukung dengan peran
kepemimpinan dalam menciptakan budaya keselamatan akan sangat
menentukan keberhasilan program ini.
Bahwa rencana implementasi keselamatan pasien dilakukan dengan
berbagai cara seperti melakukan setiap tindakan sesuai dengan SOP,
mengikuti pelatihan tentang keselamatan pasien. Implementasi keselamatan
pasien di RSJD Amino Gondohutomo saat ini sudah bagus, karena disini telah
dibuat Tim khusus untuk keselamatan pasien, dimana semua bekerja sudah
sesuai dengan standar-standar yang ada yaitu SOP. Berdasarkan keterangan
dari Informan menjelaskan bahwa terkait dengan implementasi ini misalnya
di dalam pemberian obat harus cek dulu, betul identitasnya bahwa pasien A
mendapat obat sesuai identitas pasien A, dan identitas pasien saat ini
dilengkapi dengan foto, sehingga setiap kali kita memberikan obat dilakukan
pengecekan terlebih dahulu orangnya, cocok tidak dengan fotonya.
Implementasi keselamatan seperti ini menunjukkan bahwa perawat dan tenaga
kesehatan di RSJD Amino Gondohutomo bekerja sesuai dengan SPO yang
ada. SPO menjadi standar dan panduan utama bagi perawat dalam
menjalankan tugasnya selama memberikan asuhan kepada pasien.
Informasi yang didapat diketahui bahwa bentuk komunikasi dalam
implementasi keselamatan pasien dilakukan dalam kerja Tim dan ada laporan
aktivitas secara tertulis. Terkait dengan komunikasi Tim keselamatan pasien
selalu mengkomunikasikan ke semua lini dan ruangan. Sosialisasi tentang
keselamatan pasien terus dilakukan oleh wakil direktur pelayanan pada saat
apel, ketika melakukan pelatihan juga selalu disisipkan untuk materi tersebut,
kemudian selalu ada evaluasi misalnya ada tidak resep yang keliru nama, ada
tidak resep yang tanpa nama dan sebagainya kalau ada kejadian seperti ini
akan ada tindakan dan hal itu selalu dievaluasi dan dikomunikasikan serta
dilakukan evaluasi bertahap setiap tri wulan mengenai permasalahan
keselamatan pasien.
Pelaksanaan sistem penerapan pemberian obat kepada pasien adalah
dengan menerapkan cara MPO (Manajemen dan Penggunaan Obat) dan
penerapan teknik 6B dalam pemberian obat dan sesuai dengan prosedur yang
ada. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan pemberian obat di RSJD Amino
Gondohutomo berupaya untuk meminimalisir kejadian kesalahan pemberian
obat melalui identifikasi yang cermat. Identifikasi melalui gelang dianggap
sudah tidak efektif karena kualitas gelang yang kurang baik sehingga mudah
lepas, maka dilakukan inisiatif dengan cara pemberian foto kepada masing-
masing klien yang dilakuka dua kali yaitu saat pertama kali masukrumah sakit
dan setelah pasien dalam kondisi rapi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
bahwa pasien pertama kali masuk dalam kondisi yang masih kurang terawat
sehingga untuk mengantisipasi kekeliruan karena saat pasien sudah di rumah
sakit akan lebih rapi maka di foto untuk kedua kalinya.
Kendala pelaksanaan keselamatan pasien ditemukan pada sarana
pengecekan efek samping obat masih membutuhkan farmakologi klinis yang
jumlahnya masih terbatas sehingga untuk pemantauan obat, pemberian obat
dan lain-lain ada sebagian tugas dari farmasi yang didelegasikan ke perawat,
karena keterbatasan dengan alasan kekurangan tenaga tetapi secara TUPOKSI
(Tugas Pokok dan Fungsi) seharusnya itu tugasnya farmasi dan bukan tugas
dari perawat.

http://182.253.197.100/e-
journal/index.php/ilmukeperawatan/article/view/505
4. RESUME JURNAL EVALUASI PENERAPAN PATIENT SAFETY
DALAM PEMBERIAN OBAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
KASIHAN II KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA
Jurnal cendikia

Berdasarkan jurnal Evaluasi Penerapan Patient Safety Dalam


Pemberian Obat Di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II kabupaten Bantul
Yogyakarta yang telah saya baca bahwa menurut 4 responden yang ada di
Puskesmas Kasihan II Bantul, Yogyakarta penerapan patient safety dalam
pemberian obat di Puskesmas Kasihan II sudah berjalan dengan baik, petugas
sudah menerapkan prinsip 6 benar dalam pemberian obat, antara lain benar
pasien, benar obat, benar jalur, benar dosis, benar kadaluarsa, dan benar
informasi.

Pertama adalah benar obat berdasarkan hasil wawancara yang


dilakukan peneliti kepada responden didapatkan informasi yakni petugas
memberikan obat sesuai order dokter yang tertera dalam resep, seluruh
responden yang dievaluasi menyatakan bahwa dapat membaca resep dengan
baik atau apabila ada ketidak jelasan pada resep, petugas akan
mengkonfirmasi langsung pada dokter yang bersangkutan yang memberi
resep. Pada komponen benar obat, 2 responden (R2 dan R3) menyatakan
selalu memastikan nama obat sesuai dengan label yang tertera pada tempat
obat, kemudian responden menyesuaikan obat yang ada diresep, sehingga
pemberian dapat terpastikan benar.

Kedua adalah benar dosis, berdasarkan hasil wawancara pada 2


responden (R2 dan R3) terkait dengan benar dosis didapatkan hasil,
responden R3 selalu memberikan dosis yang sesuai dengan resep dokter,
sedangkan pada responden R2, peneliti menemukan terdapat 6 resep yang
dilebihkan dosisnya yakni vitamin, antibiotic, CTM, Analgesic dan Anti
Inflamasi. Konfirmasi yang dilakukan peneliti pada R2 dalam wawancara
menyatakan untuk beberapa jenis obat diberikan dengan dosis lebih
dikarenakan persediaan obat yang berlebih dan ada beberapa jenis obat
diberikan dengan dosis yang kurang dengan alasan penyediaan yang sudah
disiapkan padahal hal ini tidak tepat karena dapat menyebabkan hal-hal yang
dapat membahayakan keselamatan pasien, dengan melihat latar belakang
pendidikan masyarakat yang berobat di puskesmas beragam, sehingga tidak
menutup kemungkinan dapat terjadinya penyalahgunaan obat-obatan.

Ketiga, benar rute dan alur pemberian obat berdasarkan hasil


wawancara pada ke 2 responden (R2 dan R3) yg menyatakan memastikan
rute pemberian obat dan menginformasikan ke pasien terkait dengan hal
tersebut.

Keempat adalah benar pasien berdasarkan hasil wawancara yang


dilakukan oleh peneliti kepada responden (R2 dan R3) yg menyatakan selalu
memastikan identitas pasien berupa nama dan alamat pasien yg dilakukan
setiap akan memberikan obat pada pasien. Baik itu disesuaikan dengan resep
dan juga ditanyakan langsung kepada pasien yang bersangkutan.

Kelima adalah benar kadaluarsa berdasarkan hasil wawancara ke 2


responden (R2 dan R3) yg menyatakan memastikan tanggal kadaluarsa pada
obat sebelum obat-obatan tersebut dikeluarkan dari gudang dan diletakkan
pada tempat obat, R3 menyatakan pengecekan dilakukan secara berkala
dalam 1 bulan sekali dilakukan pengecekan. Sedangkan penuturan dari
responden R1, pengecekan kadaluarsa obat juga dilakukan oleh DINKES
dalam 3 bulan sekali namun hasil observasi yang didapat oleh peneliti, obat-
obatan yang telah kadaluarsa diletakkan tersendiri didalam kardus dan
diletakkan didalam gudang penyimpanan persediaan obat ini dinilai kurang
memadai karena letak yang berdekatan atau dalam 1 ruangan dengan obat-
obatan yang masih digunakan dapat terjadi kesalahan dalam pengambilan
obat dalam persediaan obat.

Keenam ialah benar Informasi, atas hasil wawancara R2 dan R3


menyatakan telah melakukannya dengan baik yakni memberikan penjelasan
rute pemberian obat, terutama pada obat-obatan dengan jalur selain oral
seperti: suppositorial, tetes telinga, dan salep. Selain memberitahukan
rute/jalur obat petugas juga memberitahu cara kerja/fungsi obat, namun
menurut responden R4, petugas tidak memberitahukan pada seluruh jenis
obat.

https://www.e-jurnal.com/2016/12/evaluasi-penerapan-patient-safety-
dalam.html
5. RESUME JURNAL INTERNASIONAL FARMAKOLOGI TENTANG
PENERAPAN PATIENT SAFETY DALAM PEMBERIAN OBAT
Jurnal internasional

Menurut jurnal yang telah saya baca dengan masing-masing judul


Hubungan Pengetahuan Perawat Dengan Upaya Penerapan Patient Safety,
Evaluasi Penerapan Patient Safety dalam Pemberian Obat dan Medication
Errors Pada Tahap Prescribing,Transcribing, Dispensing Dan Administering
mengatakan bahwa kesalahan obat dapat terjadi pada tahap prescribing,
meliputi resep yang tidak rasional, tidak tepat dalam penulisan resep
(termasuk tidak sahnya resep) dan tidak efektif, serta kelebihan dan
kekurangan dosis. Kesalahan dalam tahap transcribing meliputi kesalahan
dalam mengartikan resep. Kesalahan pada manufacturing meliputi salah dosis,
adanya kontaminan, salah formula, salah kemasan, dan salah label, serta
kesalahan pada tahap dispensing, salah dosis, salah rute, salah frekuensi, dan
salah durasi. Tipe-tipe trascribing errors antara lain (Ruchika Garg et al.,
2014):
1. Kelalaian: ketika obat diresepkan namun tidak
2. Kesalahan interval: ketika dosis yang diperintahkan tidak mencapai pasien
pada waktu yang tepat.
3. Obat alternative: pengobatan diganti oleh apoteker tanpa sepengetahuan
dokter.
4. Kesalahan dosis: misalnya pada resep 0.125 mg menjadi 0.25 mg pada
salinan.
5. Kesalahan rute: misalnya pada resep Ofloxacin tablet menjadi Ofloxacin I.V.
6. Kesalahan informasi detail pasien: meliputi nama, umur, gender, registrasi
yang tidak ditulis atau salah ditulis pada lembar Sali/nan.

Implementasi patient safety di dunia, termasuk di Indonesia berawal


ketika Institute of Medicine (IOM) pada tahun 2000 menerbitkan laporan “To
Err Is Human: Building a Safer Health System”, yang mengemukakan hasil
penelitian angka KTD di beberapa rumah sakit di Amerika. Angka KTD di
Utah dan Colorado sebesar 2,9% dengan angka kematian 6,6%. Sedangkan
angka KTD di New York sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6% (Kohn,
Corrigan, & Donaldson, 2000, p.26).
Berdasarkan hasil penelitian di rumah sakit di Amerika, Australia,
New Zealand, Canada, dan Eropa ditemukan KTD dalam rentang 3,2% -
16,6% (WHO, 2004, dalam Utarini, Ehry, & Hill, 2009, p.81). Angka
kematian akibat kesalahan medis pada pasien rawat inap di Amerika
berjumlah 33,6 juta pertahun, diantaranya 44.000 sampai 98.000 dilaporkan
meninggal setiap tahun. Angka kematian tersebut lebih tinggi daripada
kematian akibat kecelakaan mobil, kanker payudara, dan AIDS (Utarini, Ehry,
& Hill,2009, p.80). Menurut IOM (2000, dalam Mercola, 2011), kesalahan
medis menempati urutan kedelapan penyebab kematian di Amerika Serikat.
Perawat juga mempunyai pengetahuan yang cukup tentang psikofarmaka
dan digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan
pasien. Peran perawat meliputi:

1. Pengkajian pasien: memberikan landasan pandangan tentang masing –


masing pasien.
2. Koordinasi modalitas terapi mengintegrasikan berbagai terapi pengobatan
dan sering kali membingungkan bagi pasien.
3. Pemberian psikofarmakologi Program pemberian obat dirancang secara
professional dan bersifat individual.
4. Pemantauan efek obat Pemantauan terhadap efek yang diinginkan
maupun efek samping yang dapat dialami pasien.
5. Penyuluhan pasien Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan
aman dan efektif.
6. Program pengobatan Dirancang untuk mendukung pasien di suatu tatanan
perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
7. Partisipasi dalam penelitian klinis antardisiplin Perawat merupakan
anggota tim dalam penelitian obat yang digunakan untuk mengobati
pasien gangguan jiwa.
8. Kewenangan untuk memberi resep. persyaratan pendidikan dan
pengalaman perawat jiwa sesuai dengan undang – undang praktik yang
berlaku dapat memberi resep farmakologis untuk mengobati gejala dan
memperbaiki status fungsional pasien yang mengalami gangguan jiwa. 

Seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan harus


memiliki pengetahuan yang benar, keterampilan, dan sikap untuk menangani
kompleksitas perawatan kesehatan. Tanpa pengetahuan yang memadai,
tenaga kesehatan termasuk perawat tidak bisa menerapkan dan
mempertahankan budaya keselamatan pasien.

Keselamatan pasien bagi perawat tidak hanya merupakan pedoman


tentang apa yang seharusnya dilakukan, namun keselamatan pasien
merupakan komitmen yang tertuang dalam kode etik perawat dalam
memberikan pelayanan yang aman, sesuai kompetensi, dan berlandaskan
kode etik bagi pasien (Canadian
Nurse Association, 2004).
Pemberian pelayanan yang aman harus didahului dengan pemahaman
materi keselamatan pasien rumah sakit yang mengacu standar internasional
pada Joint Commission International (JCI). JCI merupakan salah satu
lembaga akreditasi internasional rumah sakit yang telah diakui oleh dunia.
Fokus utama JCI adalah meningkatkan keselamatan perawatan pasien melalui
penyediaan jasa akreditasi dan sertifikasi serta melalui layanan konsultasi dan
pendidikan dengan tujuan membantu organisasi menerapkan solusi praktis
dan berkelanjutan (The Joint Commission, 2014).

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/dc3b56fef2e0e78a6413c013fefcdda4.pdf
https://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI/article/download/173/170
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/viewFile/6469/5306
6. Observasi Pemberian Obat.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di RSD Idaman Kota Banjarbaru
untuk observasi pemberian obat menggunakan prinsip 5 benar secara langsung
ditampilkan dalam
Distribusi & Frekuensi Pemberian Obat di RSD Idaman Kota Banjarbaru
Prinsip 5 Benar Dilakukan :
1. Benar Pasien
2. Benar Obat
3. Benar Dosis/Jumlah
4. Benar Rute
5. Benar Waktu & Frekuensi

penerapan patientsafety dalam pemberian obat berdasarkan 5prinsipbenar


di RSD Idaman Kota Banjarbaru telah dilaksanakan 100% pada prinsip benar
pasien, benar obat, benar rute sertabenar waktu & frekuensi,sedangkan pada
prinsipbenar dosis/jumlah 91,2% telah dilakukanpada RSD Idaman Kota
Banjarbaru.Evaluasi Penerapan Patient Safety dalam Pemberian Obat di RSD
Idaman Kota Banjarbaru Benar Pasien
Hasil menunjukkan bahwa petugas Farmasi sudah melakukan prinsip benar
pasien 100%. Hasil evaluasi yang didapatadalah Apoteker danTenaga Teknis
Kefarmasian (TTK) selalu menanyakan identitas namapasien kepada pasien
atau keluarga pasiensesuai dengan yang tertera pada resep sebelum
menyerahkan obat. Selain itu, petugas farmasi di RSD Idaman Banjarbaru
juga menanyakan nomor antrian pasien dan poliklinik tempat pasien berobat
sebelum menyerahkan obat kepada pasien, hal ini dilakukan untuk
memastikan kembali bahwa obat yang akan diberikan tersebut sudah benar
untuk pasien yang bersangkutan. Sehingga pemberian dapat terpastikan benar.

1. Benar Obat
Hasil menyatakan bahwa petugas telah melakukan prinsip benar obat
dengan persentase 100%. Hasil evaluasi yang didapat adalah petugas
farmasi memberikan obat sesuai permintaan dokter yang tertulis pada
resep. Seluruh petugas farmasi dapat membaca resep dengan baik. Apabila
ada ketidakjelasan pada resep, petugasfarmasi akankonfirmasi pada dokter
penulis resep. Petugas farmasi dalam menyiapkan obat selalu memastikan
nama obat sesuai dengan labelyang tertera pada keranjang obat, kemudian
petugas farmasi jugamengecek kembaliobat yang ada diresep dengan obat
yang akan diserahkan, sehinggapemberian dapat terpastikan benar.
2. Benar Dosis/Jumlah.
Hasil menunjukkan bahwa petugas telah melakukan prinsip benar
dosis/jumlah dengan persentase 91,2%. Berdasarkan hasil penelitian terkait
dengan benar dosis didapatkanhasil bahwa petugas farmasi sudah
memberikan dosisdan jumlah obat yang sesuai dengan resep dokter serta
karakteristik pasien,akan tetapiberdasarkan pengamatansecaralangsung
yang dilakukan oleh peneliti yang ikut terlibat dalam penyerahan obat-
obatan untuk pasien,terdapat 31 resep yang dosis dan jumlahnya tidak
sesuai dengan resep dokter. Dimana terdapat resep yang obatnya hanya
diberikan sebanyak 10 tablet, sedangkan di resep diminta sebanyak 30
tablet. Menurut petugas farmasi di RSD Idaman Kota Banjarbaru
menjelaskan bahwa hal itu karena kebijakan pembatasan pemberian obat
(restriksi) dari rumah sakit sendiri yang harus memberikan obat sesuai
dengan Formularium Nasional dan Formularium Rumah Sakit Daerah
Idaman Kota Banjarbaru tahun 2016. Hal itu juga diketahui oleh para
dokter penulis resep, akan tetapi mereka sudah terbiasa menuliskan dengan
jumlah yang salah tersebut Kemudian juga terdapat dosis yang tidak sesuai
dengan resep, dimana di resep tertulis 3 kali sehari 1 sendok makan,
sedangkan pada etiket obat di tuliskan 3 kali sehari 2 sendok obat.
Sedangkan pada literature menjelaskan bahwa untuk takaran 1 sendok
makan adalah 15 ml dan pada 1 sendok obat adalah 5 ml. Menurut petugas
farmasi di RSD Idaman Kota Banjarbaru menjelaskan bahwa mereka sudah
memberikan obat dengan dosis yang sesuai dengan etiket obat tersebut,
karena jika diberikan 3 kali sehari 1 Sendok makan, maka akan terjadi
overdosis. Petugas farmasi sudah memberitahukan pada dokter penulis
resep bahwa dosis tersebut salah, akan tetapi para dokter sudah terbiasa
menuliskan 3 kali sehari 1 sendok makan tersebut
3. Benar Rute
Hasil menunjukkan bahwa petugas farmasi sudah melakukan prinsip benar
rute 100 %. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti didapatkan hasil bahwa
petugas farmasi di RSD Idaman Kota Banjarbaru telah memastikan rute
pemberian obat danmenginformasikan ke pasien terkait dengan haltersebut.
Hal ini sesuai dengan pemaparan dalam TheJoint Commission (TJC),
Benar rute merupakanpemberian obat sesuai jalur yang diprogramkan dan
dipastikan bahwa rute tersebut aman sesuai untuk pasien.
4. Benar Waktu & Frekuensi.
Hasil menunjukkan bahwa petugas telah melakukan prinsip benar waktu
&frekuensi 100%. Hasil evaluasi yang didapat adalah petugas selalu
menjelaskan waktu pemberian obat sesuai dengan yang tertera dalam resep,
baik itu obat antibiotik maupun obat Lainnya.Petugas selalu memastikan
bahwa antibiotik harus diminum sampai habis agar pasien tidak resistensi
terhadap antibiotik tersebut, dimana jika obat harus diminum 3 kali sehari
maka petugas menjelaskan pada pasien agar diminum setiap 8 jam.
Ketepatan waktu pemberian kepada pasien akan menurunkan risiko
terjadinya kesalahan dalam pengobatan pasien. Misalkan, obat yang
seharusnya diberikan pada jam 12 siang dan dikonsumsi sebelum makan
sesuai resep akan memberikan terapi yang tepat terkait waktu pemberian
obat dibandingkan dengan obat yang seharusnya diberikan pada jam
tersebut diberikan bersamaan dengan terapi obat berikutnya.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Patient Safety Dalam Pemberian Obat Menurut penelitian Virawan (2012)
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan pasien
antara lain faktor kegagalan komunikasi, faktor kurangnya
pengetahuan/sosialiasi pada SDM, Faktor kebijakan dan prosedur yang
tidak adekuat, dan faktor kondisi lingkungan. Semua faktor tersebut
menjadi faktor penentu terjadinya banyak kesalahan pemberian
obat.Berdasarkan hasil penelitian maka faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keselamatan pasien dalam pemberian obat di RSD Idaman
Kota Banjarbaru yaitu kurangnya kontinuitas dalam menjalin komunikasi
antara petugas farmasi dengan dokter dan kurangnya sosialisasi terkait
SOP pemberian obat dengan prinsip 5 benar kepada dokter, sehingga perlu
dilakukan sosialisasi lagi kepada dokter khususnya tentang penulisan
aturan pakai pada resep serta pembatasan (restriksi) dan peresepan item
obat maksimal dalam lembar resep sesuai dengan standar menurut
WHOdan Formularium Rumah Sakit Idaman Kota Banjarbaru.

“ Anggraini, A.N., dan Fatimah, F.S., 2015, Evaluasi Penerapan Patient


Safetydalam Pemberian Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II Kabupaten
Bantul Yogyakarta, Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, Vol.3 No.3:162-168.
Astuti, T.P., 2013, Analisis Penerapan Manajemen Pasien Safetydalam Rangka
Peningkatan Mutu Pelayanan Di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta Tahun 2013,Skripsi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta,Surakarta.
Depkes RI, 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient
Safety)2nd ed, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691


Tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Jakarta.
Pranasari, R. (2016). Gambaran pemberian obat dengan prinsip tujuh benar oleh
perawat di RSU Pku Muhammadiyah Bantul.
Putri, Y.H.H., 2015, ‘Implementasi Manajemen Keselamatan Pasien (Pasien
Safety) Dalam Usaha Pencegahan Medication Error di RSUD Dr. Moewardi
Tahun 2015’, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Virawan, M.K., 2012, ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Staf
Perawat dan Staf Farmasi Menggunakan Enam Benar Dalam Menurunkan Kasus
Kejadian Yang Tidak Diharapkan dan Kejadian Nyaris Cedera di Rumah Sakit
Umum Surya Husadha’, Tesis, Universitas Indonesia, Depok.”
7. Penerapan pasien safety pada pemberian obat
Junal internasional

Keselamatan pasien berdasarkan JCI berkaitan dengan pemberian obat


merupakan salah satu bentuk pelayanan yang bertujuan agar obat yang
diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu
terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan. yang
bermutu serta memenuhi kebutuhan rumah sakit dalam meningkatkan kualitas
keselamatan pasien.

Keselamatan pasien telah menjadi isu global yang sangat penting


dilaksanakan oleh setiap rumah sakit, dan seharusnya menjadi prioritas utama
untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan mutu dan citra rumah sakit.
Masalah utama dalam upaya implementasi sistem keselamatan pasien ini
adalah terjadinya insiden keselamatan pasien (IKP) dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit. IKP ini meliputi kejadian tidak diharapkan (KTD),
kejadian nyaris cedera (KNC), kondisi potensial cidera (KPC) dan kejadian
sentinel (sentinel event) dalam proses asuhan pelayanan medis maupun asuhan
pelayanan keperawatan dari yang ringan sampai yang berat.

Penerapan Patient Safety dalam Pemberian Obat

1. Benar Pasien:

 Cocokkan obat yang akan diberikan dengan instruksi terapi tertulis.

 Anamnesis riwayat alergi.

 Anamnesis lengkap riwayat obat/ penggunaan obat saat ini dan buat
daftar obat-obat tersebut.

 Bandingkan pemberian obat saat ini dengan daftar obat yang


digunakan pasien di rumah (termasuk kelalaian, duplikasi,
penyesuaian, kehilangan/ menghilangkan, interaksi, atau tambahan
obat).
 Identifikasi pasien yang akan mendapat obat dengan kewaspadaan
tinggi dilakukan oleh dua orang yang kompeten double check.

2. Benar Obat

 Beri label semua obat dan tempat obat (syringes, cangkir obat, baskom
obat), dan larutan lain.

 Obat dan larutan lain di lokasi perioperatif atau ruang prosedur yang
tidak akan segera dipakai juga harus diberi label.

 Pemberian label di lokasi perioperatif atau ruang prosedur dilakukan


setiap kali obat atau larutan diambil dari kemasan asli ke tempat
lainnya.

 Pada label, tuliskan nama obat, kekuatan, jumlah, kuantitas,


pengenceran dan volume, tanggal persiapan, tanggal kadaluarsa jika
tidak digunakan dalam 24 jam dan tanggal kadaluarsa jika kurang dari
24 jam.

 Pemberian label tiap obat atau larutan segera setelah obat disiapkan
jika tidak segera diberikan.

 Siapkan satu obat atau larutan pada satu saat. Beri label hanya untuk
satu obat atau larutan pada satu saat.

 Buang segera setiap obat atau larutan yang tidak ada labelnya.

 Saat pergantian tugas/ jaga, review semua obat dan larutan oleh
petugas lama dan petugas baru secara bersama. 

 Ubah daftar obat/ kardeks jika terdapat perubahan obat. 

 Kebenaran jenis obat yang perlu kewaspadaan tinggi di cek oleh dua
orang yang kompeten double check.
3. Benar Dosis

 Dosis/ volume obat, terutama yang memerlukan kewaspadaan tinggi,


dihitung & dicek oleh dua orang yang kompeten à double check. 

 Jika ragu konsultasi ke dokter yang menulis resep.

 Berkonsentrasi penuh saat menyiapkan obat, dan hindari gangguan.

4. Benar Waktu

 Sesuai waktu yang ditentukan: sebelum makan, setelah makan, saat


makan.

 Perhatikan waktu pemberian: 3 x sehari à tiap 8 jam, 2 x sehari à tiap


12 jam, Sehari sekali à tiap 24 jam, Selang sehari à tiap 48 jam

 Obat segera diberikan setelah diinstruksikan oleh dokter.

 Belum memasuki masa kadaluarsa obat.

5. Benar Cara/ Route Pemberian

 Cara pemberian obat harus sesuai dengan bentuk/ jenis sediaan


obat: Slow-Release tidak boleh digerus dan Enteric coated tidak boleh
digerus.

 Obat-obat yang akan diberikan per NGT sebaiknya adalah obat cair/
sirup.

 Pemberian antar obat sedapat mungkin berjarak.

 Jadwal pemberian obat dan nutrisi juga berjarak.

6. Benar Dokumentasi

 Setiap perubahan yang terjadi pada pasien setelah mendapat obat harus
didokumentasikan.
 Setiap dokumen klinik harus ada bukti nama dan tanda tangan/ paraf
yang melakukan.

 Setelah memberikan obat, langsung di paraf dan diberi nama siapa


yang memberikan obat tersebut.

 Setiap perubahan jenis/ dosis/ jadwal/ cara pemberian obat harus diberi
nama & paraf yang mengubahnya.

 Dokumentasikan respon pasien terhadap pengobatan: Efek Samping


Obat (ESO) dicatat dalam rekam medik & Form Pelaporan Insiden +
Formulir Pelaporan Efek Samping Obat. Pelaporan Insiden dikirim ke
Tim Keselamatan Pasien di Unit Pelayanan Jaminan Mutu. Pelaporan
Efek Samping Obat dikirim ke Komite Farmasi dan Terapi. 

7. Benar Informasi

 Semua rencana tindakan/ pengobatan harus dikomunikasikan pada


pasien & atau keluarganya, termasuk pasien di ICU (hak pasien!).

 Jelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar.

 Jelaskan efek samping yang mungkin timbul.

 Rencana lama terapi juga dikomunikasikan pada pasien. 

Adisasmito, W. (2012). Sistem kesehatan (Cetakan ke-4). Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta :
Beni Ahmad Saebani. 2008. Metode penelitian. Bandung : Pustaka Setia

https://nursingscience-2008.com/2014/12/7-benar-pemberian-obat.html
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1691/MENKES/PER/VIII/2011

TENTANG

KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI


KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 43 UndangUndang


Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit;

Mengingat : 1. Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4431);
2.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3.Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3637);
5.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah
Sakit;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis;
8.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran;
9.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG


KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :


1. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
2. Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri
dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak
Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.
3. Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden
yang mengakibatkan cedera pada pasien.
4. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya
insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
5. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang
sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
6. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang
sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
7. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau
cedera yang serius.
8. Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut pelaporan
insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan laporan insiden
keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.

Pasal 2
“Ruang lingkup Peraturan Menteri Kesehatan ini meliputi Organisasi,
Standar Keselamatan Pasien, Sasaran Keselamatan Pasien,
Penyelenggaraan Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Pelaporan Insiden,
Analisis dan Solusi, serta Pembinaan dan Pengawasan.”
BAB III
STANDAR KESELAMATAN PASIEN
Pasal 7

1. Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien.


2. Standar Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. hak pasien;
b. mendidik pasien dan keluarga;
c. keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
d. penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan program peningkatan keselamatan pasien;
e. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;
f. mendidik staf tentang keselamatan pasien; dan
g. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Keselamatan Pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan ini
BAB IV

SASARAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

Pasal 8

1. Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan


Pasien.
2. Sasaran Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tercapainya hal-hal sebagai berikut:
a. Ketepatan identifikasi pasien;
b. Peningkatan komunikasi yang efektif;
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sasaran Keselamatan Pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.

BAB V
PENYELENGGARAAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
Pasal 9

1. Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, Rumah Sakit


melaksanakan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
2. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;
b. memimpin dan mendukung staf;
c. mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
d. mengembangkan sistem pelaporan
e. melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
f. belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien; dan
g. mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini.

Pasal 10
“Asosiasi perumahsakitan dan organisasi profesi kesehatan wajib berperan
serta dalam persiapan penyelenggaraan Program Keselamatan Pasien
Rumah Sakit”

BAB VI
PELAPORAN INSIDEN, ANALISIS DAN SOLUSI

Pasal 11
1. Sistem pelaporan insiden dilakukan di internal rumah sakit dan kepada
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
2. Pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC, dilakukan setelah analisis dan
mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS.
3. Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonim (tanpa
identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak.
4. Pelaporan insiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditujukan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang
(non blaming)

Pasal 12
1. Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam
waktu paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan sebagaimana
tercantum pada Formulir 1 Peraturan ini.
2. TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas
insiden yang dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3. TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan hasil
kegiatannya kepada kepala rumah sakit.

Pasal 13
1. Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit sesuai format laporan sebagaimana
tercantum pada Formulir 2 Peraturan ini.
2. Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian
dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara nasional.

Pasal 14
“Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pelaporan insiden diatur dengan
Peraturan Menteri”

Anda mungkin juga menyukai