Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan kurikulum di jurusan teknik geologi bahwa untuk

menyelesaikan program pendidikan strata ( S-1 ) diwajibkan untuk

menyelesaikan 146 SKS, termasuk di dalamnya melakukan studi tugas akhir atau

skripsi. Berkenaan dengan hal tersebut , maka penulis telah melaksanakan studi

tugas akhir sebagai tema yang diambil adalah tentang Geologi dan Proses

Pembentukan Endapan Batuan Piroklastik Di Daerah Tungtung Batu dan

Sekitarnya Kecamatan Silima Pungga pungga Kabupaten Dairi Provinsi

Sumatera Utara. Daerah ini menjadi pilihan penulis untuk penelitian karena

kondisi geologi yang mendukung untuk dilakukan pemetaan geologi, khususnya

tentang endapan piroklastik didaerah penelitian.

Dengan pemetaan geologi tersebut dapat mengetahui endapan piroklastik

dari daerah yang dipetakan tersebut. Dalam ilmu geologi, konsep pembentukan

endapan menjelaskan suatu kombinasi antara proses-proses fisika, kimia dan

biologi yang berasosiasi dengan endapan lainnya. Proses-proses tersebut akan

berpengaruh kepada karakteristik fisiografi maupun geomorfologi suatu


lingkungan. Karakteristik khas fisiografi dan geomorfologi inilah yang kemudian

dijadikan sebagai dasar dalam mengklasifikasikan endapan piroklastik pada

daerah penelitian.

1.2 Maksud dan Tujuan.

Pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi kurikulum yang

berlaku pada jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains

Dan Teknologi T.D. Pardede Medan, yang merupakan salah satu syarat yang

harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa tingkat akhir, guna memperoleh gelar

kesarjanaan.

Sementara itu tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari dan

mengumpulkan data-data geologi dengan metode pemetaan permukaan dan

penelitian khusus mengenai keterdapatan batuan piroklastik pada lokasi

penelitian. Keadaan geologi yang dimaksud mencakup geomorfologi, stratigrafi,

geologi struktur dan geologi sejarah. Selanjutnya setelah keadaan geologi dari

daerah penelitin dipelajari dan dipahami, dapat dilakukan analisa pembentukan

endapan dengan membandingkan hasil pemetaan geologi yang telah dilakukan

dengan data-data literatur yang ada.

1.3 Letak dan Luas Derah Penelitian

Secara goegrafis lokasi penelitian berada pada 020 47’ 00’’ - 020 52’00”

Lintang Utara, dan 980 07’ 00” – 98o 10’ 00” Bujur Timur. Berdasarkan peta

topografi yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Survey Dan Pemetaan

Nasional ( BAKOSURTANAL ), dicetak oleh reptak JANTOP TNI-AD


JAKARTA tahun 1982, maka lokasi penelitian berada pada peta lembar Tiga

Lingga dengan nomor 0618-53. Secara administratif daerah penelitian termasuk

dalam wilayah Kecamatan Parongil, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara,

dengan luas lokasi 9 x 6 km persegi.

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian

1.4 Kesampaian Daerah Penelitian

Daerah penelitian terletak disebelah Barat Laut Kota Sidikalang dengan

jarak lebih kurang 60 Km, dapat ditempuh dengan kenderaan umum maupun

pribadi melalui rute perjalanan dari Kota Sidikalang sampai daerah penelitian.

1.5 Penduduk Dan Vegetasi Daerah Penelitian


Daerah penelitian pada umumnya penduduk yang bermukim adalah suku

Batak (Pakpak, Toba, dan Simalungun). Pemukiman penduduk yang ada di daerah

penelitian berada di dekat jalan raya. Mata pencaharian penduduk setempat secara

umum adalah petani padi, jagung, kopi dan gambir. Vegetasi daerah penelitian

sebagian besar adalah persawahan, kebun kopi, dan hutan.

1.6 Batasan Masalah

Penelitian ini penulis hanya membahas mengenai keadaan Geologi dan

pembentukan endapan batuan piroklastik di daerah Tungtung Batu dan sekitarnya

Kecamatan Silima pungga - pungga Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara.

1.7 Metode dan Tahapan Penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode pemetaan geologi permukaan

dan pengambilan sample untuk analisa petrografi. Sistematika penelitian

dilaksanakan dalam beberapa tahapan antara lain:

1. Tahapan studi pendahuluan

2. Tahapan penelitian lapangan

3. Tahapan penelitian laboratorium

4. Tahapan penelitian/Penulisan laporan


1.7.1. Tahapan Studi Pendahuluan

Tahapan ini merupakan studi pustaka dalam pembahasan geologi

yang berkaitan dengan lokasi daerah penelitian. Tahapan ini dimaksudkan

untuk mengetahui sepintas mengenai keadaan geologi regional atau pun

geologi daerah penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai dasar

penelitian lapangan.

1.7.2. Tahapan Penelitian Lapangan

Pelaksanaan tahapan ini dibagi dalam tiga periode yaitu :

1. Periode pengenalan lapangan, tahapan ini bertujuan untuk mengetahui

kondisi morfologi daerah penelitian secara langsung atau visual, yang

mencakup geomorfologi, struktur geologi, stratigrafi daerah penelitian

dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Pengumpulan Informasi

yang didapat selama pengenalan lapangan dapat digunakan sebagai

dasar untuk pelaksanaan tahapan berikutnya, tahapan ini dilaksanakan

selama satu minggu.

2. Periode penelitian secara mendetail.

Penelitian ini adalah merupakan penelitian geologi yang dilakukan

dengan cara pengumpulan data-data geologi dipermukaan secara teliti,

yang mencakup pengamatan dilapangan terhadap unsur-unsur litologi,

stratigrafi, struktur geologi dan data lainnya yang terkait dengan

geologi.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

a. Peta Topografi Lembar Tiga Lingga ( No.Lembar 0618-53)

skala 1 : 50.000.

b. Peta Geologi Lembar Sidikalang, skala 1 : 250.000

c. Kompas Geologi

d. Palu Geologi

e. Loup dengan perbesaran 10x dan 20x

f. Larutan HCL 0.1 N

g. Kamera

h. Kantong plastik untuk sample batuan

i. Catatan lapangan, clipboard dan alat tulis

3. Periode pengecekan lapangan.

Periode ini dilaksanakan untuk melengkapi data-data yang masih

kurang, tahapan ini dilaksanakan selama satu minggu.

1.7.3. Tahapan Analisa Laboratorioum

Tahapan ini termasuk dalam pembuatan sayatan tipis dari

beberapa contoh batuan yang mewakili litologi batuan daerah penelitian.

Analisa laboratorium yang dilakukan pada saat ini adalah analisa


petrografi, dan analisa petrografi ini dilaksanakaan dengan menggunakan

mikroskop polarisasi dengan analisa ini bertujuan untuk mengetahui

petrogenesa dari batuan yang diamati.

1.7.4. Tahapan Penyusunan/Penulisan Laporan

Tahap penyusunan/penulisan laporan dilakukan dengan

menuliskan hasil pengolahan data yang telah dilakukan pada tahap

sebelumnya, dikombinasikan dengan data-data regional daerah penelitian

dari literatur-literatur yang ada. Tulisan disajikan dalam beberapa bab

yang meliputi bab pendahuluan, geomorfologi, stratigrafi, geologi struktur,

geologi sejarah, geologi lingkungan, analisa pembentukan endapan,

kesimpulan dan saran serta daftar pustaka.


BAB II

GEOMORFOLOGI

Secara deskriptif, geomorfologi dapat dijelaskan sebagai sebuah studi

yang menguraikan tentang bentuk lahan dan proses yang mempengaruhi

pembentukannya, serta mengkaji hubungan timbal balik antara bentuk lahan

dengan proses dalam tatanan keruangannya ( Zuidam dan Cancelado, 1979 ).

Berdasarkan pengertian ini, dapat dijelaskan bahwa dalam geomorfologi dipelajari

bentuk lahan ( landform ), proses-proses yang menyebabkan pembentukan dan

perubahan yang dialami setiap bentuk lahan yang dijumpai dipermukaan bumi

termasuk yang terdapat di dasar laut / samudra serta mencari hubungan antara

bentuk lahan dengan proses-proses dalam tatanan keruangan dan kaitannya

dengan lingkungan. Disamping itu juga mengetahui bentuk lahan secara

deskriptif, mempelajari cara pembentukannya, proses alamiah dan peranan

manusia, klasifikasi dari bentuk lahan serta pemamfaatannya secara tepat dengan

kondisi lingkungannya.

Fisiografi adalah bentukan lahan dipermukaan bumi yang dibedakan

berdasarkan proses pembentukan dan evolusinya ( LREPP, 1994 ). Proses

pembentukan dan evolusinya berasal dari tenaga dalam bumi ( endogen ) dan dari

luar bumi ( eksogen ).


2.1. Geomorfologi Regional

Geomorfologi merupakan studi yang mempelajari asal ( terbentuknya )

topografi sebagai akibat dari pengikisan ( erosi ) serta terbentuknya material hasil

erosi. Melalui geomorfologi dipelajari cara-cara terjadinya pemerian dan

pengklasifikasian relief bumi. Relief bumi adalah bentuk-bentuk ketidakteraturan

secara vertikal pada permukaan bumi yang terbentuk geomorfologi merupakan

suatu studi oleh pergerakan-pergerakan pada kerak bumi ( W.M. Davis, 1977 ).

Secara regional Cameron et al. ( 1982 ) membagi daerah penelitian kedalam 8

satuan fisiografis, yaitu :

 Dataran Rendah Bagian Timur ( The Eastern Lowlands )

Dataran rendah bagian timur terletak dibagian timurlaut peta, dimana

bagian barat satuan ini tersusun atas lapisan vulkanik muda dengan lereng

yang semakin landai ke arah utara dan bagian timurnya merupakan satuan

tufa toba yang telah tererosi. Ketinggian di daerah ini mencapai 100 m.

Sungai yang ada cenderung memotong satu sama lain, dimana dibagian

selatan yang lebih tinggi sungai-sungai yang dipisahkan oleh tebing-

tebing. Dibagian tenggara, sungai mengalir parallel dengan kekar-kekar

yang ada. Daerah luas yang kering terdapat dibagian utara binjai, tepatnya

di daerah hilir S.Wampu. Tumbuhan mangrove berkembang dengan pesat

di daerah ini terutama di daerah yang berseberangan dengan B,Serangan.

Kearah tenggara dari daerah ini garis pantainya mengandung sedikit

lumpur, sementara di daerah tenggara Belawan pantai berpasir

berkembang dengan baik.


 Kaki Perbukitan Pantai Timur ( The East Coast Foothills )

Satuan ini berada disebelah barat laut dataran rendah bagian timur kea rah

S. Wampu dan memiliki ketinggian di bawah 150 m. Daerah ini di control

oleh struktur berarah barat laut – tenggara, dengan pola aliran yang cukup

kompleks, namun umumnya berupa pola aliran dendritik.

 Datara Tinggi Berastagi ( The Brastagi Highland )

Satuan yang terletak disebelah selatan dataran rendan bagian timur ini

diantaranya tersusun oleh jajaran hutan luas sepanjang 10 – 15 km yang

hamper seluruhnya terdiri dari batuan vulkanik. Satuan ini memanjang ke

arah timur dari celah Wampu hingga ke Berastagi, kemudian membelok

kea rah selatan dimana panjang dan lebar daerahnya semakin menyempit

di daerah selatan. Ketinggian di daerah ini umumnya melebihi 1500 m,

dengan dua puncak tertinggi terdapat pada puncak Sinabung ( 2451 m )

dan kompleks vulkanik Sibayak (2212 m ). Pola aliran yang berkembang

adalah pola aliran radial yang berasal dari puncak – puncak ketinggian dan

pada umumnya berhubungan dengan bentukan vulkanik primer. Aliran

sungai cendrung tidak saling berhubungan, dan pada dasar lereng sebelah

utara mengisi lembah – lembah yang dalam. Tebing – tebing yang ada

terbentuk dari tufa yang relatif halus dan topografi kars terbentuk pada

zaman perm di sebelah timur S. Wampu.


 Plato Kabanjahe ( The Kabanjahe Plateau )

Merupakan plato pengendapan yang ditutupi oleh hutan dan terbentuk oleh

perubahan – perubahan relief akibat aliran masif tufa dari gunungapi Toba.

Lerengnya landai ke arah barat, dengan ketinggian disebelah timur

mencapai 1300 m dan berkurang menjadi 500 m di sebelah barat. Plato ini

dikelilingi oleh jajaran pegunungan dan secara berangsur menyempit ke

arah barat dan utara menjadi dua lembah dimana tufa mengalir melalui

pegunungan Barisan. Ke arah timur tufa mengalir melalui celah – celah

yang ada di batas timur dataran tinggi Berastagi sebelum menuju dataran

rendah bagian timur sebelah utara. Derajat lereng aliran tufa di daerah ini

relative lebih curam di banding daerah – daerah lainnya. Pola aliran pada

umumnya berupa pola konsekuen dengan jarak antar sungai yang rapat.

Lembah – lembah yang dalam dan relief perbukitan – perbukitan kecil

banyak terdapat pada satuan fisiografi ini.

 Jajaran Barisan Bagian Timur ( The Eastern Barisan Range )

Satuan ini tersusun atas batuan metawacke berumur pra-tersier ( Formasi

Bahorok ), berbatasan dengan kaki perbukitan pantai timur dan berjarak 25

km dari defresi Alas – Reunun. Lembah yang ada pada umumnya sempit

dan pola aliran umumnya berupa dendritic, namun pada beberapa tempat

dikontrol oleh sesar dan rekahan – rekahan. Puncak – puncak tertinggi

pada umumnya melebihi ketinggian 2000 m dengan puncak tertinggi

terdapat di Gunung Bendahara ( 3012 m ) di sebelah baratlaut. Di atas

lembah Alas, daerah vulkanik Gunung Kembar membentuk plato dengan

ketinggian 1500 m yang lerengnya melandai ke arah barat daya.


 Depresi Alas – Renun ( The Alas – Renun Depression )

Satuan fisiografi Depresi Alas – Renun terbentuk sepanjang garis sesar

kompleks berarah Baratlaut – Tenggara yang melewati Medan. Daerah ini

didominasi oleh graben Kutacane sepanjang 70 km dan lebar 7 km, yang

lantainya berukuran 180 – 200 m.

2.2. Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi daerah penelitian dan sekitarnya, secara umum merupakan

daerah perbukitan. Terdapat variasi morfologi pada daerah penelitian disebabkan

karena adanya pengaruh tenaga asal luar bumi serta jenis batuan pada daerah

bersangkutan. Pada daerah penelitian sungai-sungai yang mengalir umumnya

berada pada tebing-tebing yang curam dan alurnya membentuk huruf “V”.

Terjadinya perkembangan relief muka bumi berkaitan dengan litologi, struktur

dan proses geologi. Untuk mengetahui bentuk morfologi dan faktor

pengontrolnya, maka perlu dilakukan analisa dan interpretasi peta topografi dari

lembar Tigalingga dengan skala 1 : 50.000 serta pengamatan langsung di

lapangan.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dibagi atas 4 ( empat ) satuan

morfologi, yaitu :

1. Satuan Morfologi Miring Landai

2. Satuan Morfologi Miring

3. Satuan Morfologi Agak Curam

4. Satuan Morfologi Curam

Satuan-satuan morfologi tersebut diatas dibagi dengan menggunakan

klasifikasi Robert A. Van Zuidam, 1983 (Lihat Tabel 2.1).


Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Lereng,Robert A. Van Zuidam, 1983.

Kelas lereng Relif dan sifat-sifat proses

0-2° (0-2%) Datar hingga hampir datar

Tidak ada proses denudasi yang berarti

2-4° (2-7%) Landai

Gerakan tanah kecepatan rendah

4-8° (7-15%) Bergelombang atau miring

8-16° (15-30%) Miring

Banyak terjadi gerakan tanah dan erosi

16-35° (30-70%) Curam menengah

Sering terjadi gerakan tanah

35-55° (70-140%) Curam

Proses denudasi sangat intensif

>55° (>140%) Sangat curan ( curam extrim )

Proses denudasi sangat kuat

2.2.1. Satuan Morfologi Miring Landai

Satuan morfologi ini menempati bagian barat daerah penelitian

dengan luas 30% dari seluruh luas daerah penyelidikan dengan sudut

kemiringan lereng berkisar 2% - 7% dengan litologi satuan tufa.


Foto 2.1. Satuan Morfologi Miring Landai Daerah Penelitian

2.2.2. Satuan Morfologi Miring

Satuan morfologi ini menempati bagian utara dan timur daerah

penelitian dan memiliki luas berkisar 30% dari seluruh luas daerah

penelitian dengan sudut kemiringan lereng berkisar 70 - 150 dengan litologi

satuan tufa.

Sungai mengalir kearah utara dan ke arah tenggara, seperti Sungai

Bongkaras. Sungai-sungai ini mengalir sesuai dengan kemiringan lereng.


Foto. 2.2. Satuan Morfologi Miring daerah penelitian

2.2.3. Satuan Morfologi Agak Curam

Satuan morfologi agak curam terletak dibagian atas dan bawah

daerah penelitian, tepatnya disebelah utara dan selatan. Morfologi ini

memiliki kemiringan lereng berkisar dari 15 - 30%. Satuan morfologi ini

menempati sekitar 15% dari luas daerah penelitian dan tersusun oleh batu

pasir, marmer, sabak dan tufa. Secara umum vegetasi yang ada berupa

tanaman masyarakat dan sebagian ditumbuhi semak belukar.


Foto. 2.3. Satuan Morfologi Agak Curam daerah penelitian

2.2.4. Satuan Morfologi Curam

Satuan morfologi ini menempati bagian timur laut dan selatan daerah

penelitian dan memiliki luas sekitar 25% dari seluruh luas daerah penelitian

dengan sudut kemiringan lereng berkisar 30% - 70% dengan litologi

batupasir, marmer dan sabak..


Foto 2.4. Morfologi Curam Daerah Penelitian

2.3. Pola Pengaliran dan Stadia Sungai

Menurut Arthur Davis Howard ( 1966 ), pola pengaliran yaitu kumpulan

jalur – jalur pengaliran hingga bagian terkecil yang mengalami pelapukan atau

tidak ditempati oleh sungai secara permanan.

Menurut J.R. desaunettes ( 1972 ), yaitu susunan garis – garis alamiah

yang mempunyai pola tertentu pada suatu daerah yang dikaitkan dengan kondisi

geologi lokal atau sejarah geologinya.

Menurut W. Thurnbury ( 1954), yaitu penggabungan dari beberapa

individu sungai yang saling berhubungan membentuk pola dalam kesatuan ruang.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan pola pengaliran

antara lain :

1. Kemiringan lereng

2. Perbedaan resistensi batuan

3. Kontrol struktur

4. Pembentukan pegunungan

5. Proses geologi kwarter

6. Sejarah dan stadia geomorfik dari cekungan pola pengaliran

Tahapan perkembangan suatu sungai dapat dibagi menjadi 5 (tiga) stadia,

yaitu stadia sungaiawal, satdia muda, stadia dewasa, stadia tua, dan stadia remaja

kembali (rejuvination).Adapun ciri-ciri dari tahapan sungai adalah sebagai

berikut:

Tahapan Awal (Initial Stage) : Tahap awal suatu sungai seringkali

dicirikan oleh sungai yang belum memiliki orde dan belum teratur seperti

lazimnya suatu sungai. Air terjun, danau, arus yang cepat dan gradien sungai yang

bervariasi merupakan ciri-cirisungai pada tahap awal. Bentangalam aslinya,

seringkali memperlihatkanketidakteraturan, beberapa diantaranya berbeda

tingkatannya, arus alirannnya berasal dari air run off ke arah suatu area yang

masih membentuk suatu depresi (cekungan) atau belum membentuk lembah.

Sungai pada tahapan awal umumnya berkembang di daerah dataran pantai (coastal

plain) yang mengalami pengangkatan atau diatas permukaan lava yang masih baru

/ muda dan gunungapi, atau diatas permukaan pediment dimana sungainya

mengalami peremajaan (rejuvenation).


Tahapan Muda : Sungai yang termasuk dalam tahapan muda adalah

sungai-sungaiyang aktivitas aliran sungainya mengerosi kearah vertikal. Aliran

sungai yang menmpati seluruh lantai dasar suatu lembah. Umumnya profil

lembahnya membentuk seperti huruf V. Air terjun dan arus yang cepat

mendominasi pada tahapan ini

Tahapan Dewasa: Tahap awal dari sungai dewasa dicirikan oleh mulai

adanya pembentukan dataran banjir secara setempat setempat dan semakin lama

semakin lebar dan akhirnya terisi oleh aliran sungai yang berbentuk meander,

sedangkan pada sungai yang sudah masuk dalam tahapan dewasa, arus sungai

sudah membentuk aliran yang berbentuk meander, penyisiran kearah depan dan

belakang memotong suatu dataran banjir (flood plain) yang cukup luas sehingga

secara keseluruhan ditempati oleh jalur-jalur meander. Pada tahapan ini aliran arus

sungai sudah memperlihatkan keseimbangan antara laju erosi vertikal dan erosi

lateral.

Tahapan Tua : Pada tahapan ini dataran banjir diisi sepenuhnya oleh

meander dan lebardari dataran banjir akan beberapa kali lipat dari luas meander

belt. Pada umumnya dicirikan oleh danau tapal kuda (oxbow lake) dan rawa-rawa

(swampy area). Erosi lateral lebih dominan dibandingkan erosi lateral.

Peremajaaan Sungai (Rejuvenation) : Setiap saat dari perkembangan suatu

sungai dari satu tahap ke tahap lainnya, perubahan mungkin terjadi dimana

kembalinya dominasi erosi vertikal sehingga sungai dapat diklasifikasi menjadi

sungai dalam tahapan muda. Sungai dewasa dapat mengalami pengikisan kembali

ke arah vertikal untuk kedua kalinya karena adanya pengangkatan dan proses ini

disebut dengan perenajaan sungai. Proses peremajaan sungai adalah proses


terjadinya erosi ke arah vertikal pada sungai berstadia dewasa akibat

pengangkatan dan stadia sungai kembali menjadi stadia muda.

2.3.1. Pola Pengaliran Daerah Penelitian

Pola pengaliran daerah penelitian merupakan pola pengaliran

dendritik, dimana kemiringan lapisan lereng dikontrol oleh bentang alam,

litologi dan struktur lapisan batuan yang relatif seragam resistensinya.

Gambar 2.1 Pola aliran sungai daerah penelitian

2.3.2. Stadia Sungai Daerah Penelitian


Selain pola pengaliran, hal penting yang perlu diperhatikan adalah

tahapan geomorfik mulai dari sungai tersebut terbentuk. Sungai yang

termasuk dalam tahapan muda adalah sungai-sungai yang aktivitas aliran

sungainya mengerosi kearah vertikal. Aliran sungai yang menempati

seluruh lantai dasar suatu lembah. Umumnya profil lembahnya

membentuk seperti huruf V. Air terjun dan arus yang cepat mendominasi

pada tahapan ini, sehingga stadia sungai daerah penelitian merupakan

stadia sungai muda menurut ciri fisik di daerah penelitian.

Foto 2.5. Stadia Sungai Muda Daerah Penelitian

2.4. Hubungan Morfologi Dengan Litologi Dan Struktur Geologi Pada

Daerah Penelitian
Geomorfologi daerah penelitian yang berhubungan dengan pola kontur

peta topografi yang mencerminkan bentuk litologi maupun struktur geologi

dengan menggunakan kaidah yaitu semakin rapat kontur yang terbentuk, maka

semakin keras resistensi batuannya ( BAKOSURTANAL, 2001 ).

Berdasarkan dari poladan sifat garis kontur, maka daerah yang dijumpai

adalah batuan keras ( endapan Vulkanik ). Adapun cara-cara penafsirannya,kontur

rapat di tafsirka sebagai batuan yang keras dan resisiten, kontur jarang atau

renggang ditafsirkan sebagai batuan yang lunak. Pola kontur yang melingkar

dalam ukuran kecil yang berbeda dengan pola kontur disekitarnya ditafsirkan

sebagai batuan yang keras. Struktur lipatan dapat diketahui dengan menafsirkan

kedudukan perlapisan batuannya.

Kenampakan kerapatan konturnya dimana lapisan miring dicirikan oleh

adanya gawir-gawir terjal ( ditunjjukkan dengan garis kontur yang rapat ) yang

memotong lapisan dan arah kemiringan batuan tersebut. Lapisan horizontal

dicirikan dengan permukaan garis kontur yang jarang. Struktur sesar ditandai

dengan pola kontur yang panjang, lurus dan rapat. Pada daerah penelitian

pembuatan peta geologi diketahui baik sebelum kelapangan maupun setelah

kelapangan dengan data yang lebih lengkap. Sehingga peta topografi yang ada

dapat ditunjjukkan kebenaranya dilapangan dengan bentuk dengan ciri-ciri pola

kontur yang mencerminkan litologi dan struktur daerah penelitian.


BAB III

STRATIGRAFI

Stratigrafi merupakan bagian dari geologi sejarah yang berhubungan

dengan urutan – urutan peristiwa dalam sejarah bumi, yang diinterpretasikan dari

bukti – bukti yang ditemukan pada lapisan – lapisan sedimen ( Strahler, 1976 ).

Geologi sejarah sendiri merupakan istilah umum yang digunakan untuk

menjelaskan rekonstruksi dari peristiwa – peristiwa geologi yang terjadi di bumi.

Beberapa hal yang penting dalam stratigrafi adalah perlapisan batuan ( strata ),

hubungan umur relative ( urutan perlapisan ), proses dan lingkungan

pengendapan, dan urutan proses – prose yang terjadi. Beberapa hal ini yang

kemudian melahirkan konsep – konsep stratigrafi yang umum digunakan . Konsep

yang dimaksud diantaranya adalah konsep Uniformitarism dan Uncorformity

( Hutton ) ; konsep Superposition, original Horizontaly dan Lateral Continuity

( Steno ) ; konsep Pinching out ( membaji ) ; dan konsep intrusi.

Untuk mempermudah dalam mempelajari stratigrafi, dibuat pembagian

satuan stratigrafi berdasarkan objek yang dijadikan dasar dalam melakukan

korelasi. Terdapat tiga satuan stratigrafi yang umum digunakan, yakni


Lithostatigrafi, Biostratigrafi dan Kronostratigrafi. Khusus untuk Lithostratigrafi,

dalam Sandi Stratigrafi Indonesia ( 1973 ) dilakukan pembagian satuan stratigrafi

batuan ke dalam kelompok formasi, anggota dan lapisan.

3.1. Stratigrafi Regional

Daerah Sumatera Utara ditutupi oleh batuan – batuan sedimen, batuan

malihan, batuan gunung api, dan batuan beku terobosan yang dikelompokkan

kedalam beberapa kelompok batuan yang mengalami pengendapan secara tidak

selaras, Batuan tersebut membentuk tofografi yang kasar salah satunya dengan ciri

yang menonjol yaitu pegunungan Bukit Barisan yang letaknya membentang

searah dengan poros Pulau Sumatera. Secara umum stratigrafi kawasan cekungan

Sumatera Utara dapat dibedakan menjadi tiga kumpulan, yaitu kumpulan batuan

Pra Tersier, Kumpulan batuan Tersier dan kumpulan batuan Kwarter.


Gambar 3.1. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Utara ( Caughey &

Wahyudi, 1993 ).

1. Kelompok Batuan Pra Tersier

Cameron, dkk, 1980, telah melakukan pemetaan keadaan geologi di

wilayah Sumatera Utara dan menentukan adanya empat kejadian vulkanisme,

dimana tiga diantaranya berumur Pra Tersier dan yang satu berumur Tersier –

Holosen. Kelompok batuan Pra Tersier tersebar luas sepanjang pegunungan Bukit

Barisan. Kelompok batuan tersebut tersebar mulai dari Tapanuli – Aceh dan

dikenal dengan nama batuan “Permokarbon Verbek” yang terdiri dari batu sabak,

kuarsit, filit yang terlipat kuat dan sedikit mengandung fosil yang menunjukkan

umur Permokarbon.
Batuan Pra –Tersier Sumatera Utara oleh Cameron, dkk (1980) dibagi

menjadi tiga kelompok, yaitu :

 Kelompok Tapanuli

` Batuan yang termasuk kedalam kelompok Tapanuli yang mendasari

Sumatera Utara dan merupakan batuan tertua berumur Permokarbon didaerah ini

yang terdiri dari metagrawake, batu sabak, filit, serpih dan meta batu lanau.

Sedimen Pra Tersier tersebut diintrusi oleh batuan granit (granit sibolga) pada

masa Perm. Pada kelompok Tapanuli ini di bagi menjadi beberapa formasi.

 Formasi Alas

Formasi ini menutupi formasi Kluet terutama terdiri dari batuan yang sama

juga, batu gamping dengan struktur silang – siur dan banyak mengandung fosil.

Batu gamping ini diberapa tempat masih normal. Umur formasi ini adalah Perm

Bawah (Cameron & P3G, 1983) berdasarkan fosil-fosil yang dijumpai pada

batugamping tidak termalihkan atau termetamorfosakan, yaitu fosil Spirifids,

Productids dan Coral allot rio-phyllum sinence, formasi ini diendapkan pada

lingkungan laut paparan dangkal.

 Formasi Kluet

Terdiri dari urutan – urutan yang tebal terutama batu pasir kwarsa, batuan

lempung dan batu lanau, batupasir konglomerat. Didalam formasi ini juga

didapatkan batuan asal batuan gunung api seperti tufa yang diendafkan dalam

lingkungan marine. Adanya struktur-struktur sedimen seperti “gradded bedding”,

“load cast”, “slumps” mengesankan sebagai endapan turbidit. Batugamping dan

batu lanau gampingan juga dijumpai dalam formasi ini yang memperlihatkan

lingkungan laut dangkal. Fosil-fosil yang dijumpai dalam batu gamping dan batu
lanau adalah : Algae, Crinoid, Braciopoda dan Bryozoa yang menunjukkan

karbon-perm, penyebaran formasi kluet meliputi daerah-daerah di Aceh Timur,

Riau, Sibolga dan Pangururan di pantai timur danau toba. Menurut Cameron dan

P3G (1983), Formasi Kluet merupakan fasies dari Formasi Bahorok dengan

sumber berasal dari Timur Laut. Kedua formasi ini diendapkan sebagai “Glacio –

marine”, sebagaian atau seluruhnya telah terubah dalam “Continetal Shelf”

penafsiran didasarkan pada persamaan klastik kasar kedua formasi dengan “tillite”

dari “Continental glacial saries” Benua Gondwana yang berumur Permo Trias.

 Formasi Bahorok

Terdiri dari breksi konglomerat yang tidak berlapis dan sering disebut

“Pebbly Mudstone”, tidak berlapis dengan ukuran butir sedang-kasar yang

mengambang diatas masa dasar, diselingi oleh batu lumpur, batu lanau, batu pasir

arenit dan kadang-kadang batu gamping. Formasi Bahorok tersingkap baik

disungai Bahorok sebagai lokasi tipenya, terdiri atas konglomerat breksian, tidak

berlapis yang sebelumnya disebut sebagai “pebbly mudstone”. Fragmen-

fragmennya terdiri atas kuarsa , argilit, batupasir, batugamping, granit, sekis dan

gneis. Sedimen dijumpai dalam Formasi Bahorok adalah perselingan batu pasir

kuarsa , batu lanau, batu lempung dan batu sabak (slate). Di beberapa tempat

dijumpai pula batu gamping. Batuan-batuan dalam Formasi Bahorok telah

mengalami deformasi yang cukup kuat, yang diperlihatkan oleh kekar - kekar

yang sangat intensif yang diisi oleh urat-urat kuarsa serta batuan ini sangat keras.

 Kelompok Peusangan Secara tidak selaras di atas kelompk

Tapanuli diendapkan kelompok Peusangan berumur Paleozoikum Akhir –

Mesozoikum awal (Permo – Trias). Kelompok Peusangan ini terdiri dari


Formasi Kualu berumur Yura – Trias Akhir (Trias tengah –Trias akhir) yang

terdiri dari batuan sedimen di antaranya batuan gamping. Sedangkan formasi

yamg lain adalah formasi Silungkang berumur Perm Akhir yang terdiri dari

batuan vulkanik. Sedangkan didaerah Bahorok, Cameron & P3G (1983)

membagi kelompok ini atas tiga formasi yaitu Formasi Kaloi, Formasi

Batugamping Batumilmil dan Formasi Kualu. Kedudukan stratigrafi

Silungkang adalah setara terhadap Formasi Kaloi dan Formasi Batumilmil.

Batuan formasi diatas dapat kita jumpai dibagian timur pegunungan Bukit

Barisan di daerah Asahan – Kualu, Sibaganding, sedangkan disebelah timur

patahan Pungkut- Barilas, Sungai Bekail di Langkat.

 Kelompok Woyla Kelompok ini terdiri dari batuan meta

vulkanik minor serta tufa, sekis hijau, batu sabak,meta batu gamping dan filit

yang berumur Yura Akhir – Kapur Awal (Aldis, dkk, 1982).

2. Kelompok Batuan Tersier

Pada kala tersier secara tidak selaras di atas kelompok Woyla diendapkan

batuan sedimen tersier yang umumnya terdiri dari batu pasir yang mengandung

mika , batulumpur, batulanau, konglomerat, breksi, dan batugamping. Batuan

sedimen Tersier umumnya menempati sayap barat dan timur pegunungan Bukit

Barisan yang menyebar luas di bagian timur Sumatera Utara. Batuan ini juga

mengalami deformasi dengan sumbu perlipatan searah dengan sumbu pulau

Sumatera. Batuan ini terletak sekitar Barus, Sebelah barat Kotanopan, dan sebelah

timur Sosopan.
3. Kelompok Batuan Kwarter

Batuan ini terletak secara tidak selaras diatas batuan Sedimen Tersier yang

terdiri dari Satuan Tufa Toba dan Satuan Aluvial Sungai. Satuan Tufa Toba terdiri

dari Tufa , berwarna kelabu terang kecoklatan, keras dan bila lapuk akan berwarna

coklat kekuningan. Endapan Aluvial terdiri darr lapisan lempung, pasir, kerikil,

dan kerakal atau endapan – endapan yang baru terbentuk yang berasal dari hasil

erosi pegunungan Bukit Barisan sewaktu terjadi.

Pengangkatan pegunungan tersebut pada kala Plio – Pleistosen.

Penyebarannya terdapat di pulau samosir, sebelah barat Tanjung Morawa, sekitar

Kotapinang dan sebelah barat Tiga Binanga yang umurnya masih muda sehingga

batuan tersebut kurang kompak.

3.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Pada daerah penilitian terdapat beberapa satuan batuan yang terbagi dalam

dua formasi yaitu formasi Tufa Toba ( Qvt ) dengan umur plistosen dan formasi

Kluet ( Puk ) dengan umur karbon akhir sampai perm awal. Dan untuk penyusun

batuannya mulai dari tertua sampai termuda.

Tabel 3.1 Kolom Stratigrafi Tidak Terukur Daerah Penelitian


3.2.1 Satuan Batusabak

Secara genesa batusabak merupakan ubahan dari batulempung atau

batuserpih dengan derajat metamorfosis rendah dan terajadi akibat tekanan yang

tinggi.

Ciri – ciri fisik yang terdapat pada batusabak ini dari pengamatan

megaskopis merupakan batu metamorf foliasi dengan struktur slaty dengan

belahan – belahan yang sangat halus dan bentuk mineral pipih, kompak, dan keras

sedangkan untuk teksturnya lepidoblastik. Mineral penyusunnya didominasi oleh

mineral lempung dan sedikit pengotor lainnya.


Satuan batusabak ini termasuk dalam formasi kluet dangan umurnya

adalah karbon.

Foto 3.1. Satuan Batusabak

3.2.2. Satuan Batupasir

Satuan batupasir terbentuk dari proses sedimentasi klastik yaitu

pelapuakan, pengankutan, pengumpulan, pengendapan, pemadatan, dan

pembatuan. Pada lokasi penelitian batupasir terbentuk dilingkungan laut dengan

keadaan arus lemah dan juga sudah mengalami perubahan dimana batupasir

mengalami tekanan yang tinggi sehingga terjadi perubahan tekstur dan struktur.

Ciri – ciri fisik batupasir yang terlihat dari pengamatan megaskopis

struktur massif, padat, kompak dan tekstur yang berukuran pasir halus, pemilahan
buruk, kemas terbuka, dan dengan bentuk butir yang membundar. Mineral

penyusunnya didominasi oleh kwarsa dan sedikit feldspar.

Satuan batupasir ini termasuk ke dalam formasi kluet dan umurnya adalah

perm.

Foto 3.2. Satuan Batupasir

3.2.3. Satuan Batumarmer

Dari genesa pembentukannya batumarmer terbentuk dari ubahan

batugamping atau dolomit dengan derajat metamorphosis tenggi dimana tekanan

dan temperaturnya sama – sama tinggi.

Ciri – ciri fisik batumarmer ini dari pengamatan megaskopis merupakan

batuan metamorf non foliasi dengan struktur granulose dimana buturannya

berukuran sama dan tekstur granoblastik. Mineral penyusunnya didominasi oleh

kalsit dan sedikit butiran karbonat, dan kwarsa.


Satuan batumarmer ini termasuk ke dalam formasi kluet dengan umurnya

adalah perm.

Foto 3.3. Satuan Batumarmer

3.2.4. Satuan Tufa

Tufa merupakan hasil dari letusan gunungapi tererosi dan teredapkan

kemudian membantu. Di lokasi penelitaan tufa dihasilkan dari erupsi gunung toba

yang terjadi pada zaman plistosen, sebagian tufa ini dibawa oleh angin dan

sebagian dibawa oleh air sungai kemudian terendapakan dan membatu pada lokasi

penelitaian.
Ciri – ciri fisik satuan tufa ini dari pengamatan megaskopis struktur masif,

dan tekstur piroklastik sangat halus. Mineral penyusunnya didominasi oleh

gelas,dan sedikit kwarsa, feldspar, dan biotit.

Satuan tufa ini termasuk ke dalam formasi Tufa toba dengan umurnya

adalah plistosen.

Foto 3.4 Satuan Tufa


BAB IV

STRUKTUR GEOLOGI

Geologi struktur merupakan sebuah studi yang mempelajari arsitektur

kerak bumi, yang diantaranya meliputi bentuk , geometri, simetri, orientasi dan

nilai – nilai artistiknya. Dalam perkembangannya, geologi struktur akan berfokus

pada nilai kekuatan dan mekanis dari material – material kerak bumi tersebut, baik

sekarang maupun pada waktu material tersebut terbentuk dan mengalami

deformasi. Secara umum dalam geologi terdapat tiga jenis struktur geologi yang

terobservasi dari lapangan, yaitu bidang kontak, struktur primer dan struktur

skunder.

Bidang kontak suatu lapisan batuan adalah batas antar jenis batuan yang

mencerminkan suatu proses geologi. Bidang kontak ini dapat berupa kontak

sedimentasi, ketidskselarasan, kontak intrusi, maupun kontak tektonik yang

berupa bidang sesar atau zona sesar ( shear zone ). Struktur primer adalah struktur

dalam batuan yang berkembang pada waktu yang bersamaan dengan proses

pembentukan batuan tersebut. Pada umumnya batuan ini merefleksikan kondisi

lokal dari lingkungan pengendapan batuan tersebut. Contohnya adalah gradded

bedding, cross bedding, ripple marks, kekar kolom, vesicular, dll. Sementara itu,

struktur sekunder adalah struktur yang terbentuk akibat adanya gaya ( force )
setelah proses pembentukan batuan tersebut. Contohnya adalah kekar, sesar,

lipatan dll.

4.1. Struktur Geologi Regional

Pulau Sumatra terletak di barat daya dari Kontinen Sundaland dan

merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di

sebelah barat Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan

subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem

Sesar Sumatra.

Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke

timur adalah sebagai berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman

yang landai, sesar Mentawai dan zona sesar besar Sumatera. Zona subduksi di

Pulau Sumatera, yang sering sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang

membentang sampai ke Selat Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau Jawa.

Subsuksi ini mendesak lempeng Eurasia dari bawah Samudera Hindia ke arah

barat laut di Sumatera dan frontal ke utara terhadap Pulau Jawa, dengan kecepatan

pergerakan yang bervariasi. Puluhan hingga ratusan tahun, dua lempeng itu saling

menekan. Namun lempeng Indo-Australia dari selatan bergerak lebih aktif.

Pergerakannya yang hanya beberapa millimeter hingga beberapa sentimeter per

tahun ini memang tidak terasa oleh manusia. Karena dorongan lempeng Indo-

Australia terhadap bagian utara Sumatera kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun,

sedangkan yang di bagian selatannya kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan

lempeng di daerah barat Sumatera yang miring posisinya ini lebih cepat

dibandingkan dengan penyusupan lempeng di selatan Jawa.


Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia

pada masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia

termasuk Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya

berarah E-W menjadi SE-NW dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut

juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring

dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra

menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan

Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan

cekungan- cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan

Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan.


Gambar 4.1 Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau

Sumatera ( Barber dkk, 2005 ).

4.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Pada lokasi penelitian struktur yang ditemukan berupa kekar yang ada

disemua satuan batuan dan sesar pada batu sabak dan kontak antara batusabak

dengan batupasir metakwarsa

4.2.1. Sesar

Berdasarkan pengamatan lapangan pada daerah penelitian terdapat sesar

turun atau sesar normal, sesar ini terjadi setalah batuannya terbentuk, dimana pada

tubuh batuan terdapat goresan – goresan yang terjadi saat pembentukan sesar ini.
Foto 4.1. Air terjun Penanda sesar

4.2.2. Kekar

Kekar ( joint ) merupakan suatu rekahan yang terbentuk teratur pada masa

batuan yang tidak menampakkan ( dilihat dengan mata telanjang ) telah terjadi

pergeseran pada kedua sisi – sisinya. Secara umum dibedakan menjadi empat

jenis ( Mc. Clay, 1987 ) yaitu kekar tarik, kekar gerus, kekar hibrid. Kehadiran

kekar pada batuan dapat meningkatkan porositas batuan, sehingga mampu

menyimpan air sebagai aquifer maupun hidrokarbon sebagai reservoir, sebaliknya

juga memperlemah batuan. Kehadiran kekar didekat permukaan juga

mempercepat peoses pelapukan batuan.


Didaerah penelitian ditemukan kekar – kekar yang ada disemua satuan

batuan dengan kedudukan yang berbeda – beda. Dan banyak juga kekar – kekar

yang sudah terisi oleh kwarsa ( vein kwarsa ).

Foto 4. 2. Struktur kekar


BAB V

SEJARAH GEOLOGI

5.1. Sejarah Geologi Regional

Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi

oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh

keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik

ketebalan sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer

(Hamilton,1979).

Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya

peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar

45,6 juta tahun yang lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis

dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan

relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak

lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter/tahun

menurun menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut.

(Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan

mengalami kenaikan sampai sekitar 76 milimeter/ tahun (Sieh, 1993 dalam

Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini pada akhirnya mengakibatkan

terbentuknya banyak sistem sesar sebelah timur India.


Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,

punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat

proses yang terjadi.

Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension)

Paleozoikum Tektonik Sumatera menjadikan tatanan Tektonik Sumatera

menunjukkan adanya tiga bagian pola ( Sieh, 2000 ). Bagian selatan terdiri dari

lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk

geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan

bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.

Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang

1900 kilometer tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara

lempeng Eurasia dan India-Australia Tatanan tektonik regional sangat

mempengaruhi perkembangan busur Sunda, di bagian barat, pertemuan subduksi

antara lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudra Australia mengkontruksikan

Busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang relatif

stabil, sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra

Australia dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur

Sunda sebagai busur kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil.

Perbedaan sudut penunjaman antara Provinsi Jawa dan Propinsi Sumatera

Selatan Busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batas Busur Sunda yang

mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di Selat Sunda.
Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola kenampakan

anomali gaya berat menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang

cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur

Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan

permasalahan namun jika dilakukan pembangunan dengan struktur cekungan

Sumatera Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatera secara vertikal berkembang

sebagai struktur bunga.

Berdasarkan teori undasi Seksi Andaman dan Nikobar yang pusat

undasinya di Margui menghasilkan penggelombangan emigrasi yang mengarah ke

Godwanland, sehingga hal tersebut mempengaruhi pegunungan di Sumatera Utara

(Atlas dan Gayao) dimana arah pegunungan timur barat seperti Pegunungan Gayo

Tengah berbeda dengan pegunungan pada umumnya di Sumatera yang arahnya

barat laut–tenggara. Dengan demikian di Sumatera terjadi pertemuan antar

gelombang dengan pusat undasi Margui dan pusat undasi Anambas. Titik

pertemuannya adalah di Gunung Lembu, adapun busur dalam hasil

penggelombangan dari pusat undasi Margui adalah kepulauan Barren-Narkondam

dan busur luar Andaman–Nikobar–Gayo Tengah.

Sedangkan Seksi Sumatera dengan pusat undasinya di Anambas,

penggelombangan dari pusat undasi Anambas telah berkembang sejak

Palaezoikum akhir, Sehingga menghasilkan sistem Orogene Malaya pada

Mesozoikum bawah (Trias, Jura), sistem Orogene Sumatera pada Mesozoikum

atas (Crataceus) dan sistem orogene Sunda pada priode tersier kuarter, yang
dimaksud dengan Orogene Malaya adalah busur pegunungan yang terbentuk pada

Mesozoikun bawah dengan busur Zone Karimata dan busur luar Daerah Timah.

Yang dimaksud dengan Orogene Sumatera adalah busur pegunungan yang

terbentuk pada Mesozoikun atas dengan busur dalam Sumatera Timur dan busur

luar Sumatera Barat. Yang dimaksud dengan Orogenesa Sunda adalah busur

pegunungan yang terbuntuk periode Tersier-Kuarter dengan busur dalam Bukit

Barisan dan busur luar pulau-pulau sebelah barat Sumatera. Bukit Barisan pada

Mesozoikum atas masih merupakan Foredeep, memasuki tersier baru mengalami

pengangkatan pada priode Tersier pulau-pulau di sebelah barat Sumatera dari Nias

sampai Enggano belum ada memasuki priode Kuarter baru mengalami

pengangkatan membentuk pulau-pulau tadi, sampai sekarang masih mengalami

pengangkatan secara pelan-pelan.

Sebagai akibat dari gaya berat atap gua yang terbentuk di bawah pipa

kepundan maka atap gua runtuh membentuk depresi yang kemudian terisi air

membentuk Danau Toba. Kemudian gaya dari dalam dapur magma mendorong

runtuhan tadi sehingga terungkit ke atas dan muncul di permukaan danau sebagai

pulau. Pada mulanya ketinggian permukaan air danau 1.150 m di atas permukaan

laut, tetapi karena erosi mundur yang dialami sungai Asahan mencapai Danau

Toba maka drainasenya lewat sungai Asahan menyebabkan permukaan air danau

turun hingga ketinggian 906 m di atas permukaan laut.


Sebagaimana telah disinggung dimuka, pada periode Neogen (Mio-

Pliosen) Sumatera Timur mengalami penurunan mencapai ribuan meter,

kemudian terisi dengan sedimen marine (Telisa & Lower Palembang stage) dan

sedimen daratan (Middle & Upper Palembang stage). Ketika terjadi pengangkatan

III pada periode Plio-Pleistosen, maka endapan di Basin umatera Timur ini

mengalami tekanan gaya berat dari arah Bukit Barisan.

5.2. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Pembahasan sejarah geologi ini bertujuan untuk merekonstruksi proses-

proses geologi yang pernah terjadi pada masa lampau didaerah penelitian dan

kronologisnya hingga sampai sekarang.

Pada lokasi penelitian terdapat empat satuan batuan yang terdapat pada

dua formasi yaitu formasi kluet dan formasi tufa toba. Formasi tertua dalam lokasi

penelitan adalah formasi kluet dengan umur karbon akhir – perm awal.

Batusabak merupakan batuan tertua yang terdapat pada lokasi penelitian

yang berumur karbon akhir dan pada perm awal terendapakan batupasir dan

terbentuk batumarmer setalah batuan itu terbentuk maka terjadi proses pensesaran

pada batumarmer. Setelah perm awal tidak ada terjadi pengendapan atau

pembatuan dan pada masa plistosen terjadi erupsi gunung toba yang menghasilkan

akumulasi endapan Tufa Toba dengan sangat cepat. Endapan ini diperkirakan

meliputi seluruh daerah penelitian yang terlihat dari permukaan. ditemukannya


singkapan – singkapan lokal tufa di seluruh daerah penelitian dan pada plistosen

ini akhir dari pengendapan yang terjadi.


BAB VI

GEOLOGI LINGKUNGAN

Secara deskriptif, geologi lingkungan dapat dijelaskan sebagai interaksi

antara manusia dengan lingkungan geologinya. Lingkungan geologi yang

dimaksud terdiri dari unsur – unsur fisik bumi ( batuan, sedimen, tanah dan

fluida ), unsur permukaan bumi, bentang alam dan proses – proses yang

mempengaruhinya. Bagi kehidupan manusian, lingkungan geologi tidak hanya

memberikan unsur – unsur yang menguntungkan / bermanfaat seperti mineral

ekonomis, ketersediaan air bersih, bahan bakar, bahan bangunan dan lain – lain,

tetapi juga memiliki potensi bagi terjadinya bencana alam seperti gempa bumi,

letusan gunungapi, banjir dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua

aspek utama yang penting untuk diperhatikan dalam mempelajari geologi

lingkungan, yakni sumber daya alam ( natural resources ) dan bencana alam (

natural hazards ).
5.1 Sumber Daya Alam ( Natural Resources )

Sumber daya alam atau yang biasa disingkat SDA adalah potensi sumber daya

yang terkandung di dalam bumi, air dan udara yang dapat didayagunakan untuk

memenuhi kebutuhan manusia.

Berdasarkan keberadaan dan sifatnya, sumber daya alam dapat dibedakan

menjadi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan sumber daya alam yang

tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti air,

udara, tanah, hewan dan tumbuhan. Sedangkan sumber daya alam yang tidak

dapat diperbaharui biasanya sumber daya alam yang berupa barang tambang.

Selain itu, sumber daya alam juga dapat dibedakan ke dalam dua jenis

berdasarkan asal atau sumbernya. Yang pertama adalah sumber daya alam hayati (

biotik ) seperti hasil pertanian, perkebunan dan perikanan. Sedangkan yang kedua

sumber daya alam non hayati ( abiotic ) seperti air dan barang – barang tambang.

 Air

Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan, kesehatan dan

eksistensi manusia serta bagi perkembangan makhluk hidup lainnya. Air

mengalami siklus yang dikenal dengan siklus hidrologi.

Pada daerah penelitian, sungai menjadi pusat kebutuhan sehari –

hari masyarakat sekitar kareta menjadi tempat untuk mandi, mencuci, air

minum dan sebagainya. Pada umumnya terdapat air infiltrasi dalam bentuk

mata air sehingga dari kualitas dan kuantitas memungkinkan bagi warga
untuk menggunakannya, seperti yang diamati di daerah kecamatan

parongil tepatnya di desa bongkaras.

Pada umumnya, semua aliran sungai yang ada di daerah penelitian

bisa di pergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari – hari. Selain itu

ada juga masyarakat yang sulit mendapatkan air karena jarak yang

lumayan jauh dengan sungai, apalagi pada musim penghujan jalan – jalan

menuju sungai sangat sulit di lalui karena masih banyak jalan tanah yang

sangat licin dan berlumpur.

 Tanah

Pada daerah penelitian, penggunaan lahan hampir mencakup semua

daerah penelitian. Pada lahan tersebut masyarakat kebanyakan menanam

di sektor pertanian seperti lahan sawah yang mencakup 40% dari luas

daerah penelitian, lahan perkebunan karet 10%, lahan perkebunan gambir

15%, lahan perkebunan lainnya 20% dan sebagainya.

 Barang Tambang Dan Bahan Galian

Pada daerah penelitian terdapat barang tambang logam berupa

timah hitam, dan ada juga bahan galian masyarakat berupa batuan tufa

yang banyak dimanfaatkan sebagai pondasi bangunan atau bahan

timbunan.
 Bencana Alam ( Natural Hazards )

Benca alam menurut pengertian geologi adalah bencana alam yang

terjadi karena adanya proses – proses geologi yang meliputi proses

geodinamika dan proses geometeorologi. Proses geodinamika adalah

proses dari dalam bumi yang menyebabkan bencana alam seperti gempa

bumi atau letusan gunung berapi. Sedangkan proses geometeorologi

adalah proses yang berasal dari aktifitas meteorologi bumi, yang dapat

menyebabkan bencana alam seperti banjir ataupun tanah longsor.

Pada daerah penelitin, bencana alam yang sering terjadi hanya

bencana longsor tepatnya terdapat pada bagian selatan daerah penelitian.

Pada daerah bagian selatan tersebut memiliki bentang alam curam

sehingga memiliki potensi bencana geologi longsoran atau runtuhan yang

cukup besar, baik oleh gempabumi maupun oleh intensitas hujan yang

cukup tinggi. Sementara itu sebagian wilayah tengah yang memiliki

morfologi miring hingga datar memiliki potensi bencana geologi yang

relatif lebih kecil.


BAB VII

ENDAPAN PIROKLASTIK

7.1. Tinjauan Umum

Batuan piroklastik adalah jenis batuan yang dihasilkan oleh

proses lisenifikasi bahan-bahan lepas yang dilemparkan dari pusat volkanis selama

erupsi yang bersifat eksplosif. Bahan-bahan jatuhan kemudian

mengalami litifikasi baik sebelum ditransport maupun rewarking oleh air atau es.

Batuan Piroklastik merupakan batuan gunungapi bertekstur klastika

sebagai hasil letusan gunungapi dan langsung dari magma pijar. Piroklastik

merupakan fragmen yang dibentuk dalam letusan volkanik, dan secara khusus

menunjuk pada klastika yang dihasilkan dari magmatisme letusan. Dalam

mempelajari batuan piroklastik kita tidak dapat lepas dari mempelajari bagaimana

mekanisme pembentukan dan karakteristik endapan piroklastik.

Batuan piroklastik berdasarkan mekanisme pembentukannya dapat

dibedakan menjadi tiga macam yaitu jatuhan piroklastik, aliran piroklastik dan

seruakan (surge) piroklastik. Jatuhan piroklastik merupakan onggokan piroklastik

yang diendapkan melalui media udara, dan terbentuk setelah material hasil letusan

dikeluarkan dari kawah, menghasilkan suatu kolom erupsi. Aliran piroklastik


merupakan aliran panas berkonsentrasi tinggi, menyusuri permukaan, mudah

bergerak,berupa gas dan partikel terdispersi yang dihasilkan oleh erupsi volkanik.

Seruakan piroklastik adalah piroklastik yang mekanisme transportasinya secara

dihembuskan, disemburkan atau menyeruak secara lateral yang mengangkut

piroklas sepanjang permukaan sebagai kelanjutan dari sistem turbulen,

mengandung partikel rendah dan merupakan dispersi gas dengan bahan padat.

Jatuhan, aliran dan seruakan piroklastik ini jika terjadi pada lingkungan yang

berbeda contohnya lingkungan subaerial dan subaqueus akan mempunyai

mekanisme berbeda dan memberikan karakteristik endapan tersendiri.

Batuan piroklastik sangat berbeda teksturnya dengan batuan beku, apabila

batuan beku adalah hasil pembekuan langsung dari magma atau lava, jadi dari fase

cair ke fase padat dengan hasil akhir terdiri dari kumpulan kristal, gelas ataupun

campuran dari kedua-duanya. Sedangkan batuan piroklastik terdiri dari himpunan

material lepas-lepas (dan mungkin menyatu kembali) dari bahan-bahan yang

dikeluarkan oleh aktifitas gunung api, yang berupa material padat berbagai ukuran

(dari halus sampai sangat kasar, bahkan dapat mencapai ukuran bongkah).

Oleh karena itu klasifikasinya didasarkan atas ukuran butir maupun jenis

butirannya.pengamatan petrografi dari batuan piroklastik ini sangat terbatas, oleh

karena itu sangat di anjurkan, untuk mempelajari dengan baik dari kelompok

batuan piroklastik ini harus dilakukan pengamatan di lapangan, karena

keterbatasan yang dimiliki bila hanya dilakukan pengamatan mikroskopi saja.


7.1.1. Penamaan Piroklastik

Penamaan batuan piroklastik di daerah penelitian adalah batuan

yang berasal dari proses erupsi gunung berapi dimana tersusun atas

material yang berbeda asalnya, kemudian terendapkan dan mengalami

transportasi ( rework ) dengan ciri – ciri atau sifat yang khusus.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dilapangan terdapat material

piroklastik yaitu akumulasi material piroklastik yang terbentuk langsung

dari hasil erupsi vulkanik. Material piroklastik saat dierupsikan gunung api

memiliki sifat fragmental yang dapat berwujud cair maupun padat. Setelah

menjadi massa padat, material tersebut disebut sebagai batuan piroklastik

seperti satuan tufa yang terdapat pada daerah penelitian.

7.1.2. Karakteristik Batuan Piroklastik Daerah Penelitian

Karakteristik pada batuan piroklastik merupakan ciri khas yang

tidak bisa dilepaskan dari factor pendukung dalam menentukan ciri dari

setiap batuan piroklastik tersebut meskipun hampir mirip dengan

karakteristik pada batuan sedimen klastik. Karakteristik pada batuan

piroklastik mencakup diantaranya tekstur, struktur, material penyusun,

komposisi mineral dan ukuran butir.

a. Tekstur

Tekstur pada batuan piroklastik adalah bentuk butir yang runcing –

runcing tajam, terutama dikenal dengan “ glass shard “ serta adanya

batuapung diendapkan langsung dari erupsi gunung api atau gelas yang
sudah tidak berbentuk runcing tajam ( rounded ) serta adanya batu

apung akibat proses transportasi/rewarking oleh air ( Fisher dan

William, 1954).

Batuan piroklastik pada daerah penelitian memiliki tekstur sebagai

berikut:

 Tingkat Kristalisasi

Holohialin yaitu batuan yang tersusun seluruhnya oleh massa gelas

( SiO2 ) yang terlihat secara megaskopis dan mikroskopis pada

satuan tufa, massa gelas ini terbentuk akibat proses pendinginan

magma yang sangat cepat sekali sehingga membentuk gelas

vulkanik pada Kristal – kristalnya.

 Granulitas

Afanitik yaitu ukuran butir individu Kristal sangat halus, sehingga

tidak dapat dibedakan dengan mata telanjang. Batuan dengan

tekstur afanitik dilapangan tersusun atas ukuran Kristal massa gelas

pada satuan tufa.

 Bentuk Kristal

Euhedral – subhedral yaitu bentuk kristal dari butiran mineral

mempunyai bidang batas kristal yang baik dan bidang kristalnya

merupakan pencampuran yang baik dan yang tidak baik yang

terlihat pada mineral plagioklas dan hornblende.


b. Struktur

Struktur batuan piroklastik pada satuan litologi dan fragmen batuan

yang terdapat pada singkapan di daearah penelitian menunjukkan

struktur seperti pumice yaitu lubang – lubang gas yang saling

berhubungan terdapat pada satuan tufa dengan fragmen pengikutnya

berupa batulempung.

c. Material Penyusun

Berdasarkan hasil analisa dilapangan secara megaskopis, material

penyusun pada satuan tufa memiliki

d. Komposisi Mineral

Komposisi mineral yang terdapat pada batuan piroklastik di daerah

penelitian berdasarkan analisa petrografis adalah mineral kuarsa,

feldspar, biotit dan sebagian kecil mineral bijih. Kemudian mempunyai

mineral ubahan berupa mineral lempung serta oksida besi.

7.2. Genesa Batuan Piroklastik Daerah Penelitian

Hal – hal yang mempengaruhi genesa batuan piroklastik pada daerah

penelitian diantaranya berupa tipe endapan, mekanisme pembentukan.

a. Tipe Endapan

Pada daerah penelitian telah diamati bahwa endapan yang terdapat adalah

endapan piroklastik yang telah terkonsolidasi, karena di lapangan pada


umumnya terdapat endapan batuan yang disusun oleh blok – blok gunung api

yang telah mengalami konsolidasi.

b. Mekanisme Pembentukan

Mekanisme pembentukan endapan piroklastik pada daerah penelitian

diamati bahwa terbentuk akibat endapan piroklastik jatuhan ( pyroclastic fall )

yaitu tumpukan piroklastik yang diendapkan melalui air, endapan ini terjadi

pada satuan tufa. Endapan ini dinamakan sebagai tephra yaitu fragmen batuan

vulkanik atau lava tanpa memperhatikan ukurannya yang terlempar ke udara

ketika terjadi erupsi gunungapi atau semburan gas panas dalam erupsi atau

oleh semburan lava.

7.3. Lingkungan Pengendapan

Berdasarkan hasil pengamatan megaskopis di daerah penelitian telah

ditemukan fragmen asing ( bahan asing/accidental ) pada batuan piroklastik,

fragmen tersebut berupa batulempung yang mungkin ikut terbawa selama

terjadinya proses transportasi ( reworking ). Pada umumnya fragmen pada batuan

piroklastik berasal dari hasil erupsi vulkanik, namun fragmen asing yang terdapat

pada satuan tufa di daerah penelitian menunjukkan ciri khas berbeda dengan

batuan piroklastik di tempat lain, bahwa parameter batuan tersebut diendapkan di

lingkungan darat dan telah mengalami proses rewarking.

Berdasarkan hasil analisa petrografis, ciri – ciri kristal pada fragmen

batuan telah terbentuk membundar atau membulat dikarenakan proses rewarking.

Rewarking adalah bentuk kristal pada fragmen batuan memiliki ciri – ciri kristal
dengan sudut berbentuk membundar ( rounded ) dan tidak membentuk runcing

tajam lagi akibat proses transportasi.

Anda mungkin juga menyukai