Anda di halaman 1dari 15

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

PAPER

Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Forum Arbitrase


(Analisis Kasus PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah)

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah PLKH Alternatif Penyelesaian Sengketa
Kelas A

Dosen Pengampu : Hariyanto, S.H., M.Kn

Oleh :

Rakha Gurand 16/397715/HK/21037


Ahmad Faisal Ibnu Hatta 16/393545/HK/20733
Girli Ron Mahayunan 16/393574/HK/20762
Karina Nadhirah P 16/393580/HK/20776

YOGYAKARTA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik (sengketa) sumber daya alam, merupakan persoalan yang


bersifat klasik, dan selalu ada di mana-mana. Oleh karena itu, konflik yang
berhubungan dengan sumber daya alam senantiasa berlangsung secara terus-
menerus, hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki kepentingan yang
berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu, perbedaan cara pandang,
kepentingan, nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumber daya alam
menyebabkan suatu benturan antara dua pihak atau lebih tidak dapat
terhindarkan.
Perkembangan konflik/sengketa sumber daya alam, baik secara
kuantitas maupun kualitasnya selalu mengalami peningkatan, dimana faktor
utama penyebab munculnya konflik adalah karena adanya ketimpangan
penguasaan sumber daya alam antara masyarakat yang menggantungkan
hidup dari sumber ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan,
perkebunan) dengan penguasaan oleh perusahaan, khususnya perusahaan
besar perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan hak penguasaan oleh negara
yang masih berpihak pada perusahaan dibanding pemenuhan hak-hak
masyarakat atas sumber daya alam yang ada. 1
Dalam perkembangannya, konflik/sengketa menjadi tidak sederhana,
bahkan kompleksitas persoalan penguasaan sumber daya alam menjadi
semakin sulit untuk diselesaikan. Konflik sumber daya alam yang semula
dapat diselesaikan oleh komunitas yang berkonflik melalui pranata sosial
yang berlaku di dalam komunitas tersebut kemudian dapat bergeser kepada
penyelesaian konflik melalui lembaga peradilan atau institusi negara karena

1
Taufik Yahya, Resolusi Konflik dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi di Kabupaten Batang
Hari, dalam Pelatihan Hukum Guna Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik
Pertanahan dengan Perusahaan Perkebunan di Kabupaten Batang Hari, hlm. 144
tidak ditemukannya cara penyelesaian konflik/sengketa yang memuaskan
pihak yang berkonflik/bersengketa.
Dalam berbagai kasus yang menyangkut masalah lingkungan,
biasanya Korporasi merupakan subyek paling dominan sebagai dalang yang
menyebabkan terjadinya penurunan mutu lingkungan hidup di suatu wilayah
atau lingkungan masyarakat tertentu. Hal ini tidak terlepas dari kegiatan
korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam dalam jumlah besar
sebagai salah satu faktor produksi untuk menunjang operasional yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan dampak terhadap
masyarakat sekitar. Hal ini tentu bisa menjadi pemicu timbulnya sengketa
antara korporasi dan masyarakat.2
Sebagai contoh dalam konflik pembangunan pabrik semen di
Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah yang bermula dari rencana pembangunan
pabrik semen dari PT Semen Indonesia di Sukolilo, Pati Utara, Jawa Tengah.
Warga Desa Sukolilo merasa dengan adanya pembangunan pabrik semen akan
merusak lingkungan sekitar. Maka dari itu, masyarakat Desa Sukolilo
menggelar aksi demonstrasi dan menggugat PT Semen Indonesia tentang
menolak pembangunan pabrik semen. Pada tahun 2009, warga Desa Sukolilo
memenangkan gugatan di Mahkamah Agung dan PT Semen Indonesia angkat
kaki dari wilayah tersebut.3
Pada tahun 2009, PT Semen Indonesia mengubah rancangan wilayah
pembangunan pabrik semen ke wilayah Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di
Kecamatan Gunem, Pegunungan Kendeng, Rembang. Pada tanggal 14
Oktober 2010, Pemerintah daerah memberikan ijin pembangunan pabrik
semen dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010
mengenai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Surat keputusan ini

2
Bagaimana Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Dalam Hukum Indonesia,
https://bplawyers.co.id/2017/06/22/bagaimana-penyelesaian-sengketa-lingkungan-hidup-dalam-
hukum-indonesia/, diakses pada tanggal 6 September 2019, pukul 10.00 WIB.
3
Farida dalam Siti Khoerunnisa, Legal Opinion Kasus PT Semen Indonesia di Rembang, hlm. 2.
diikuti dengan adanya Pemberian Izin Lokasi Eksplorasi untuk pembangunan
pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya
dengan nomor 591/40/2011.4 Hingga pada tahun 2017, setelah disahkannya
keputusan Mahkamah Agung, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo
mengeluarkan izin pembangunan baru kepada PT Semen Indonesia dengan
mengatakan bahwa izin lingkungan dapat dilaksanakan apabila PT Semen
Indonesia melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi. Hal ini tidak tepat
dengan keputusan Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa membatalkan
ijin pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia dan tidak ada
perintah untuk diperbaiki. Sedangkan perbaikan dan penyempurnaan izin
lingkungan hanya tercantum dalam pertimbangan hakim, bukan keputusan
final dari Mahkamah Agung. 5
Betitik tolak dari kasus pendirian pabrik semen di Pegunungan
Kendeng oleh PT Semen Indonesia di atas, maka penulis tertarik untuk
menuangkannya kedalam sebuah penelitian yang berjudul : Alternatif
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Forum Arbitrase
(Analisis Kasus PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng,
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah)
Dalam penelitian ini penulis mencoba menganalisis pengaturan forum
arbitrase sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Selanjutnya penulis mencoba menganalisis efektifitas penyelesaian sengketa
lingkungan hidup antara PT Semen Indonesia dengan Masyarakat
Pegunungan Kendeng menggunakan forum arbitrase dengan melakukan
komparasi antara forum arbitrase dan penyelesaian sengketa yang
menggunakan forum di dalam pengadilan untuk selanjutnya dipetakan
keunggulan dan kelemahan masing-masing forum penyelesaian tersebut
dengan seksama.

4
Kandi dalam Siti Khoerunnisa, Legal Opinion Kasus PT Semen Indonesia di Rembang, hlm. 2.
5
Erdiyanto dalam Siti Khoerunnisa, Legal Opinion Kasus PT Semen Indonesia di Rembang, hlm. 2.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, terdapat dua


permasalahan yang perlu mendapatkan pengkajian terkait di dalam penulisan
ini. Pertama, bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
melalui forum arbitrase di Indonesia? Kedua, bagaimana efektifitas
penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara PT Semen Indonesia dan
Masyarakat Pegunungan Kendeng dengan menggunakan forum arbitrase?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan


daripada penulisan paper ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana hukum nasional mengatur mengenai


penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui forum arbitrase;

2. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas penyelesaian sengketa


lingkungan hidup antara PT Semen Indonesia dan Masyarakat
Pegunungan Kendeng dengan menggunakan forum arbitrase

D. Manfaat Penulisan

Penulisan paper ini dilakukan dengan harapan akan memberikan


manfaat sebagai berikut:

1. Memberi wawasan mengenai bagaimana hukum nasional mengatur


mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup menggunakan
forum arbitrase;
2. Memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai keuntungan dan
kerugian penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan
menggunakan forum arbitrase
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan


Menggunakan Forum Arbitrase

Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia merupakan hal yang


kerap terjadi dan menjadi pekerjaan rumah yang perlu ditangani dan
diselesaikan. Mengingat bahwa persoalan lingkungan merupakan
permasalahan multidimensional dan melibatkan banyak pemangku
kepentingan (stakeholder). Perlu diketahui bahwa Sengketa Lingkungan
Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan
adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.
Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari
“genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang
lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or
controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or
demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other”
Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun
beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”,
“conflict intervention.” 6

Berpijak pada ketentuan hukum positif di Indonesia, permasalahan


lingkungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang
Lingkungan Hidup, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia
dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun luar pengadilan.

6
TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmetal Dispute Resolution),
Surabaya: Airlangga University Press–Yayasan Adikarya IKAPI–Ford Foundation, hlm. 9.
Sebagaimana diatur dalam pasal 84 Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal tersebut mengatur bahwa

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui


pengadilan atau di luar pengadilan.

2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara


sukarela oleh para pihak yang bersengketa.

3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya


penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian


lingkungan hidup bersifat sukarela dan lebih menenkankan penyelesaian
diluar pengadilan, artinya para pihak yang bersengketa dapat memilih forum
penyelesaian sengketa lingkungan hidup apakah melalui pengadilan atau di
luar pengadilan dan proses penyelesaian melalui pengadilan hanya dapat
dilakukan jika proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan telah dilakukan
dan tidak bisa berhasil menyelesaikan permasalahan.

Penyelesaian sengketa secara adversarial diselesaikan melalui suatu


lembaga penyelesaian sengketa. Ada dua bentuk lembaga penyelesaian
sengketa. Pertama adalah lembaga penyelesaian sengketa yang disediakan
oleh negara yang di sebut dengan istilah “Pengadilan”. Kedua adalah lembaga
penyelesaian sengketa yang disediakan oleh non negara atau swasta yang
disebut sebagai “Arbitrase”.7

Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase keadilan untuk para


pihak yang bersengketa berasal dari arbiter. Penyelesaian melelui arbitrase

7
Hikmahanto Juwana, 2009, Arbitrase sebagai Forum Penyelesaian Sengketa, Materi Workshop
Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, diselenggarakan pada tanggal 30-31 Mei
2009, Purwokerto: Alsa Fakultas Hukum UNSOED
menghasilkan putusan. Hukum di Indonesia yang mengatur tentang arbitrase
adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut “Undang-undang
Arbitrase”). Terdapat sejumlah kelebihan,

Adapun tujuan dari Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar


pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan lebih lanjut diatur dalam
pasal 85 UUPPLH, yaitu berupa:

1. Bentuk dan besarnya ganti rugi;

2. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;

3. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran


dan/atau perusaka; dan/atau

4. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap


lingkungan hidup.8

Upaya yang ditempuh melalui penyelesaian sengketa di luar


pengadilan ini dapat meminta bantuan pihak lain untuk membantu
menyelesaikan permasalahan, misalnya dapat menggunakan jasa mediator
dan/atau arbiter (baik arbiter adhoc atau melalui lembaga penyelesaian Badan
Arbitrase Nasional Indonesia).

Dalam Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dikenal adanya


Penyelesaian sengketa secara adversarial yang mana diselesaikan melalui
suatu lembaga penyelesaian sengketa. Ada dua bentuk lembaga penyelesaian
sengketa. Pertama adalah lembaga penyelesaian sengketa yang disediakan
oleh negara yang di sebut dengan istilah “Pengadilan”. Kedua adalah lembaga

8
Lihat pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
penyelesaian sengketa yang disediakan oleh non negara atau swasta yang
disebut sebagai “Arbitrase”.9

Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase keadilan untuk para


pihak yang bersengketa berasal dari arbiter. Penyelesaian melelui arbitrase
menghasilkan putusan. Hukum di Indonesia yang mengatur tentang arbitrase
adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut “Undang-undang
Arbitrase”). Terdapat sejumlah kelebihan, namun juga kekurangan dari
penggunaan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa.

Keuntungan dari menggunakan arbitrase adalah banyak hal yang


bersifat fleksibel dan konsensual. Dalam konteks ini arbitrase tidak formal
dan kaku. Proses penyelesaian sengketa pun dapat dirahasiakan dimana selain
para pihak yang bersengketa dan para arbiter tidak boleh diikuti oleh pihak
ketiga. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah penyelesaian yang jauh
dari intervensi pemerintah dan menghasilkan putusan akhir yang tidak dapat
dibanding meskipun dapat dilakukan upaya hukum berupa pembatalan atau
pelaksanaan putusan arbitrase di tolak. Oleh karenanya kerap penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dianggap lebih cepat di bandingkan dengan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang berjenjang.

Sementara kekurangan dari digunakannya penyelesaian sengketa


melalui arbitrase di antaranya adalah mahal. Hal ini disebabkan, para pihak
yang bersengketa harus membiayai berbagai keperluan, mulai dari honor
arbiter yang menyelesaikan sengketa hingga biaya sewa ruangan, biaya
kesekretariatan dan biaya fax dan telepon. Selain itu, arbitrase yang bersifat
permanen tidak dapat ditemukan secara mudah. Arbitrase yang bersifat
permanen hanya ada dikota-kota besar. Ini berbeda dengan pengadilan dimana
9
Hikmahanto Juwana, 2009, Arbitrase sebagai Forum Penyelesaian Sengketa, Materi Workshop
Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, diselenggarakan pada tanggal 30-31 Mei
2009, Purwokerto: Alsa Fakultas Hukum UNSOED
di setiap Kabupaten dan Kota di Indonesia akan terdapat pengadilan yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa.

B. Efektifitas Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Antara PT Semen


Indonesia dan Masyarakat Pegunungan Kendeng dengan Menggunakan
Forum Arbitrase

Polemik izin pendirian pabrik semen di Rembang antara PT Semen


Indonesia dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melawan warga atau
kelompok masyarakat yang menolak pembangunan telah bermuara pada jalur
litigasi. Gugatan awal mulanya diajukan oleh kelompok masyarakat
Pegunungan Kendeng ke PTUN Semarang pada tanggal 1 September 2014
dan memenangkan PT Semen Indonesia. Setelah itu, dilakukan banding ke
PTTUN Surabaya dengan hasil yang sama. Barulah pada tahap Peninjauan
Kembali, Penggugat dinyatakan menang.

Selain penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi sebagaimana telah


dipilih oleh kelompok masyarakat Pegunungan Kendeng dalam kasus di atas,
penyelesaian sengketa juga dapat ditempuh di luar pengadilan berdasarkan
pilihan secara sukarela dari pihak yang bersengketa (Alternatif Penyelesaian
Sengketa). Dalam kerangka hukum lingkungan sendiri, Pasal 31 dan 32
UUPPLH memungkinkan adanya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan.

Meninjau fakta-fakta yang ada, alternatif penyelesaian sengketa


berupa arbitrase memiliki sejumlah karakteristik yang lebih menguntungkan
kedua belah pihak bersengketa dalam kasus PT Semen Indonesia di
Pegunungan Kendeng apabila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa
melalui jalur litigasi maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya.
Pertama, kerahasiaan sengketa tetap terjamin. Proses pemeriksaan
sengketa oleh arbiter dilakukan secara tertutup.10 Bagi pihak PT Semen
Indonesia, tentunya hal ini akan sangat menguntungkan, sebab publisitas
suatu sengketa akan berpengaruh terhadap citra perusahaan tersebut di mata
masyarakat.

Kedua, mencegah penyelesaian sengketa yang berlarut-larut.


Penyelesaian sengketa secara perdata melalui litigasi memerlukan waktu yang
relatif lama untuk sampai pada tahap putusan. Belum lagi, pengadilan
dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara sehingga jatuhnya
putusan tidak lantas dapat menyelesaikan masalah. Hal tersebut tidak menutup
pihak yang kalah untuk mengajukan upaya hukum selanjutnya sampai pada
tingkat kasasi. Sedangkan arbitrase menghasilkan putusan akhir yang tidak
dapat dibanding dan memiliki kekuatan eksekutorial.11 Upaya hukum yang
dapat dilakukan terhadap putusan arbitrase hanya berupa pembatalan atau
pelaksanaan putusan arbitrase ditolak12.13

Ketiga, sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa


arbitrase akan lebih mencerminkan kehendak masyarakat Pegundungan
Kendeng, sebab berkaca pada kasus-kasus yang sebelumnya terjadi, jalur
tuntutan ke pengadilan sering tidak memuaskan pihak-pihak yang
bersengketa.14 Terutama dalam kasus sengketa lingkungan hidup, putusan
yang dihasilkan tidak jarang malah semakin merugikan dan berimbas

10
Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).
11
Pasal 60 Undang-Undang a quo.
12
Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang a quo.
13
Handri Wirastuti Sawitri dan Rahadi Wasi Bintoro, “Sengketa Lingkungan dan Penyelesaiannya”,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 2, Mei 2010, hlm. 164-174.
14
Elvie Wahyuni. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan”, Jurnal al-Ihkam,
Vol. 4, No. 2, Desember 2009, hlm. 276-290.
kerusakan yang semakin berat pada lingkungan. Dalam arbitrase, arbiter yang
ditentukan oleh para pihak harus memiliki pengalaman serta menguasai secara
aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. 15 Sehingga penyelesaian sengketa
dapat dilakukan oleh orang yang memahami permasalahan lingkungan hidup,
dan meminimalisir terjadinya hasil akhir yang justru memperburuk
lingkungan.

Namun, terlepas dari keunggulan pemilihan arbitrase sebagai alternatif


penyelesaian sengketa di luar pengadilan, arbitrase juga memiliki kekurangan
yaitu biayanya yang mahal. Para pihak yang bersengketa dibebani oleh
berbagai biaya mulai dari honor arbiter, biaya sewa ruangan, serta biaya fax
dan telepon.16

15
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang a quo.
16
Handri Wirastuti Sawitri dan Rahadi Wasi Bintoro, Op.cit.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas penyelesaian sengketa terhadap kasus antar


PT Semen Indonesia dan Masyarakat Pegunungan Kendeng dapat dilakukan
dengan cara arbitrase yang tentunya memberikan keseimbangan bagi para
pihak untuk mengakses keadilan. Keinginan para pihak untuk mendapatkan
putusan akhir yang lebih menguntungkan kedua belah pihak jelas perlu
direalisasikan.

Sebelum para pihak ingin menggunakan arbitrasi sebagai alternatif


penyelesaian sengketa, para pihak perlu untuk memahami bahwa penyelesaian
melalui arbitrasi memerlukan biaya yang mahal. Para pihak yang bersengketa
dibebani oleh berbagai biaya mulai dari honor arbiter, biaya sewa ruangan,
serta biaya fax dan telepon.

B. Rekomendasi

Para pihak dapat menempuh jalur arbitrase sebagai alternatif


penyelesain sengketa sebab sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan
berupa arbitrase lebih mencerminkan kehendak masyarakat Pegundungan
Kendeng, sebab berkaca pada kasus-kasus yang sebelumnya terjadi, jalur
tuntutan ke pengadilan sering tidak memuaskan pihak-pihak yang
bersengketa.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

Buku
TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmetal Dispute
Resolution), Surabaya: Airlangga University Press–Yayasan Adikarya
IKAPI–Ford Foundation

Jurnal
Handri Wirastuti Sawitri dan Rahadi Wasi Bintoro, “Sengketa Lingkungan dan
Penyelesaiannya”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 2
Elvie Wahyuni. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan”,
Jurnal al-Ihkam, Vol. 4, No. 2

Website
Bagaimana Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Dalam Hukum Indonesia,
https://bplawyers.co.id/2017/06/22/bagaimana-penyelesaian-sengketa-
lingkungan-hidup-dalam-hukum-indonesia/, diakses pada tanggal 6 September
2019, pukul 10.00 WIB.

Lain-lain
Taufik Yahya, Resolusi Konflik dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi di
Kabupaten Batang Hari, dalam Pelatihan Hukum Guna Membangun
Partisipasi Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan dengan
Perusahaan Perkebunan di Kabupaten Batang Hari.
Siti Khoerunnisa, Legal Opinion Kasus PT Semen Indonesia di Rembang

Anda mungkin juga menyukai