Anda di halaman 1dari 16

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM

MAKALAH
Kebijakan Perhutanan Sosial dalam Skema Hutan Nagari di Sumatera
Barat
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah konsentrasi Hukum Tata Kelola Sumber
Daya Hutan

Oleh :
RAKHA GURAND
16/397715/HK/21037

YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki potensi besar dalam
upaya menyejahterakan masyarakat. Hal ini senada dengan bunyi UUD 1945 yang
menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa tujuan dari penyelenggaraan
kehutanan adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Dalam konteks sistem politik dan pemerintahan, pengelolaan hutan
seharusnya mampu mengentaskan kemiskinan dan memperluas kesempatan kerja
dengan menghindari penggunaan lahan yang tidak efisien dan memegang prinsip
transparansi dan akuntabilitas.1 Salah satu wujud dari pengelolaan hutan yang baik
adalah dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan itu sendiri.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, akhir-akhir ini Pemerintah sedang gencar-
gencarnya mendorong sebuah program yang memberikan kesempatan masyarakat
terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan yang dikenal dengan Perhutanan Sosial,
dimana Perhutanan Sosial ini diharapkan mampu mengurangi kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan, penguasaan pengelolaan kawasan hutan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat serta menjaga kelestarian hutan.
Basis utama dari konsep Perhutanan Sosial ini secara keseluruhan menempatkan
posisi masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan.
Peletakan masyarakat pada posisi tersebut bukan berarti tidak memiliki alasan yang
jelas, yaitu ingin memberdayakan masyarakat yang ada di dalam maupun di sekitar
kawasan hutan. Secara tidak langsung, masyarakat juga sudah ikut membantu
pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan yang pada akhirnya akan memunculkan
keberlanjutan bagi masyarakat.2 Dimana pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan

1
Ferdinal Asmin (2015) Pengelolaan Hutan Nagari Di Sumatera Barat (Studi Kasus Areal Kelola Hutan
Nagari di Jorong Simancuang Provinsi Sumatera Barat). In: Prosiding Seminar Nasional FMIPA-UT
2015: Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi Menuju Kemandirian Bangsa.
2
Muhammad Reza Ardillah, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Hutan Rakyat Dalam Memelihara
Kelestarian Hutan (Studi Kasus Pada Kelompok Masyarakat Gaharu di Kelurahan Pekan Bahorok,
Kecamatan Bahorok, Kab. Langkat), Jurnal Universitas Sumatera Utara.
masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga Negara Indonesia yang tinggal di dalam
atau sekitar hutan negara, memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan
kawasan hutan, dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.3
Perhutanan Sosial dapat dibagi menjadi 5 skema, yaitu Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Kelima skema tersebut memiliki sistem pengelolaan yang berbeda namun intinya masih
sama yaitu untuk mencapai kesejahteraan. Hutan Desa merupakan hutan negara yang
dikelola oleh lembaga desa untuk mensejahterakan desa. Hutan kemasyarakatan
merupakan hutan negara yang dikelola oleh masyarakat untuk tujuan memberdayakan
masyarakat. Hutan Tanaman Rakyat merupakan hutan tanaman pada hutan produksi
yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas
hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur. Hutan Adat merupakan hutan
yang dimiliki oleh masyarakat adat yang sebelumnya merupakan hutan negara ataupun
bukan hutan negara. Sedangkan Kemitraan Kehutanan merupakan kerjasama antara
masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan,
jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer
hasil hutan.4
Salah satu skema dari Perhutanan Sosial adalah Hutan Desa. Dimana di dalam
Hutan Desa, masyarakat dapat melakukan berbagai usaha, seperti budidaya tanaman
obat, tanaman hias, jamur, ataupun penangkaran satwa liar.5 Di Sumatera Barat Hutan
Desa ini juga dikenal sebagai Hutan Nagari. Sejak 2012 hingga sekarang, pemerintah
daerah telah membentuk kelompok kerja sebagai service center guna membangun
kesepahaman antar stakeholders serta menyusun roadmap perhutanan sosial di
Sumatera Barat. Adapun sejak diimplementasikannya perhutanan sosial di Sumatera
Barat, hingga saat ini terdapat 86 izin hutan nagari dengan total luasan 170.185 hektar.6

3
Ida Choiria, Imam Hanafi, Mochamad Rozikin, 2018, Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Melalui
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Masyarakat (Studi
Pada LMDH Salam Jati Luhur KPH Nganjuk), Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hlm.
2112-2117
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Dikutip dari https://www.mongabay.co.id/2019/05/21/percepat-perhutanan-sosial-sumatera-barat-
lahirkan-peraturan-gubernur/ pada 03 Desember 2019, Pukul 19.05 WIB.
Berkenaan dengan uraian di atas, maka penulisan makalah ini berangkat dan
mengangkat topik mengenai bagaimana kebijakan perhutanan sosial dijalankan dalam
skema hutan nagari di Sumatera Barat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijabarkan di atas, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan pengalokasian kawasan hutan untuk dikelola masyarakat
melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat?
2. Apa manfaat dan akibat hukum dari pengimplementasian Perhutanan Sosial
melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pengalokasian kawasan hutan untuk
dikelola masyarakat melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat;
2. Untuk mengetahui manfaat dan akibat hukum dari pengimplementasian
Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Perhutanan Sosial dengan Skema Hutan Nagari di Sumatera


Barat

Pengaturan mengenai program Perhutanan Sosial dibahas dalam Peraturan Menteri


Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016
tentang Perhutanan Sosial. Selain itu, terdapat peraturan lain yang membahas lebih
detail mengenai Hutan Desa yakni Peraturan Kementrian Kehutanan Nomor 89 Tahun
2014 tentang Hutan Desa.
Di dalam Peraturan Kementrian Kehutanan Nomor 89 Tahun 2014 tentang Hutan
Desa, Hutan Desa diartikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang
dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Dimana
penyelenggaraan Hutan Desa ini berasaskan : a. manfaat dan lestari secara ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya; b. musyawarah-mufakat; dan c. keadilan. Selanjutnya
dalam Pasal 4 ruang lingkup pengaturan Hutan Desa ini sendiri meliputi hal-hal sebagai
berikut : a. penetapan areal kerja; b. fasilitas; c. HPHD; d. rencana pengelolaan Hutan
Desa; e. Pemanfaatan pada Hutan Desa; f. IUPHHK-HD; g. hak dan kewajiban
pemegang hak; h. pelaporan; i. pengawasan, pembinaan, pengendalian dan pembiayaan;
j. sanksi; dan k. ketentuan peralihan.
Selanjutnya penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri berdasarkan
usulan Bupati/Walikota. Adapun berdasarkan ketentuan Pasal 61 Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016
tentang Perhutanan Sosial, Pemerintah Daerah memfasilitasi masyarakat dan pemegang
Hak Pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan, Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan
dan Pemangku Hutan Adat dalam Perhutanan Sosial, sehingga berdasarkan ketentuan
tersebut dibentuk Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 52 Tahun 2018 tentang
Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial.
Perhutanan Sosial sebagaimana dalam Pergub No.52 Tahun 2018 diartikan sebagai
sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau
hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat
hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan
lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa/Hutan Nagari, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan
Kehutanan. Adapun Hutan Desa/Hutan Nagari adalah hutan negara yang dikelola oleh
Desa/Nagari dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan Desa/Nagari yang selanjutnya
diperlukan alas hak bernama Hak Pengelolaan Hutan Desa/Nagari yang selanjutnya
disingkat HPHD/HPHN.
Hak Pengelolaan Hutan Desa/Nagari adalah hak pengelolaan pada kawasan hutan
lindung atau hutan produksi yang diberikan kepada Lembaga Pengelola Hutan Nagari
(LPHN). LPHN sendiri merupakan lembaga kemasyarakatan nagari yang bertugas
untuk mengelola Hutan Nagari/Desa. HPHD/HPHN ini didapatkan oleh LPHN melalui
usulan permohonan dengan melengkapi syarat-syarat permohonan sesuai ketentuan
yang berlaku kepada Menteri Lingkungan Hidup atau Gubernur.
Syarat permohonan sebagai mana yang disebutkan diatas salah satunya adalah syarat
lokasi yang berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Peratutan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial
diatur bahwa pemberian HPHD/HPHN ini harus didasarkan Peta Indikatif Areal
Perhutanan Sosial (PIAPS) yang dikeluarkan oleh Direktorak Jenderal yang
membidangi Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan atas nama Menteri. Bunyi pasal
tersebut kemudian diejawantahkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.3511/MENLHK-
PKTL/SETDIT/KUM.1/5/2018 Tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial
(Revisi II) telah menetapkan bahwa Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial seluas ±
13.638.049,54 (tiga belas juta enam ratus tiga puluh delapan ribu empat puluh sembilan
dan lima puluh em pat perseratus) hektar skala 1 : 250.000. Dalam hal terdapat
permohonan Perhutanan Sosial yang tidak sesuai dengan PIAPS (Revisi II) dapat
diproses lebih lanjut apabila telah dilakukan verifikasi dan disetujui oleh instansi yang
berwenang sesuai dengan Peraturan Dirjen PSKL Nomor
P11/PSKL/SET/PSL.0/11/2016 tentang Pedoman Verifikasi Permohonan HPHD.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 52 Tahun 2018
tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial bahwa LPHN harus membangun
organisasi dengan manajemen yang baik serta menyusun sebuah peraturan nagari dan
peraturan teknis dalam pengelolaan hutan nagari yang mana dalam membangun
organisasi dan peraturan yang baik dibantu oleh Kelompok Kerja Percepatan
Perhutanan Sosial (Pokja PPS).
Adapun permohonan Hutan Nagari kepada Gubernur dapat digambarkan dengan
bagan alir berikut:

Gambar 2.1 Bagan Alir Permohonan Hutan Desa Kepada Gubernur 7

7
Gambar diperoleh dari https://www.cifor.org/gcs-tenure yang dibuat oleh Firdaus, A.Y, diakses pada
tanggal 05 Desember 2019 pukul 21.00 WIB.
Gambar di atas menjelaskan bahwa HPHD/HPHN dapat diajukan oleh desa/nagari
atau gabungan desa/nagari kepada Gubernur dengan syarat sudah adanya Perdes tentang
Lembaga Desa/Nagari, Keputusan Desa tentang Organisasi Lembaga Desa/Nagari,
Koperasi Desa, BUMDes, dan menyertakan gambaran umum fisik, sosial, ekonomi,
potensi kawasan, peta 1 : 50.000 tertulis dan digital. Permohonan tersebut kemudian
diberikan tembusan kepada Menteri LHK, Bupati/Walikota, Kepala UPT, dan Kepala
KPH. Selanjutnya Kepala Dishut Provinsi melakukan verifikasi administrasi
permohonan dalam jangka waktu 2 hari dengan catatan apabila syarat administrasi
permohonan tidak lengkap maka Pemohon diharuskan melengkapi syarat administrasi
terlebih dahulu. Apabila syarat administrasi permohonan sudah lengkap maka Kepala
Dishut Provinsi melakukan verifikasi permohonan dalam jangka waktu 7 hari,
selanjutnya Kepala Dishut Provinsi menyiapkan konsep SK HPHD/HPHN selama 3
hari. Penerbitan HPHD/HPHN dilakukan oleh Gubernur yang mana setelahnya Dirjen
PSKL akan meminta keterangan kepada Gubernur dan meminta hasil verifikasi kepada
Kepala Dishut Provinsi untuk kemudian HPHD/HPHN diverifikasi lebih lanjut oleh
Dirjen PSKL dan kemudian atas nama Menteri LHK barulah Dirjen PSKL menerbitkan
HPHD/HPHN.

B. Manfaat dan Akibat Hukum Pengimplementasian Perhutanan Sosial


dengan Skema Hutan Nagari di Sumatera Barat

a) Manfaat Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Nagari di Sumatera Barat


Sejarah pengelolaan Hutan Nagari di Sumatera Barat dimulai sejak tahun 2000 yang
pada mulanya belandaskan semangat kembali ke nagari, sehingga Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat (PHBM) di Sumatera Barat yang muncul pada saat itu adalah
skema Hutan Nagari.8 Untuk PHBM ini, Sumatera Barat sudah memiliki road map
target pencapaian rekognisi areal PHBM seluas 500.000 hektar selama 5 tahun yang
mana merupakan target pengelolaan hutan oleh masyarakat terluas di Indonesia. 9 Untuk
mewujudkan ini Sumbar telah memiliki arah kebijakan dalam pengelolaan hutan, yaitu
aktivitas kehutanan berbasis nagari, mengutamakan partisipasi dan bagi manfaat,
meningkatkan tanggung jawab masyarakat lokal dan memberikan jaminan kelola hutan
8
Dikutip dari http://warsi.or.id/hutan-nagari/ pada tanggal 06 Desember 2019, Pukul 16.13 WIB
9
Ibid.
jangka panjang.10 Sehingga akan menjadikan Sumbar menjadi provinsi terkemuka
dalam pengelolaan sumber daya alam berbasiskan kearifan lokal.11
Selanjutnya bagi nagari-nagari yang berada di dalam dan di sekitar hutan, ekosistem
hutan telah menjadi gantungan bagi seluruh aspek kehidupan warga nagari. Hutan tidak
hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan
psikis dan fisik lainnya seperti sosial, budaya, religi, perlindungan lingkungan, dan
sumber air. Fungsi hutan seperti yang digambarkan tersebut juga berlaku pada
masyarakat Sumatera Barat, terutama dalam perlindungan tata air.12
Pada dasarnya kebijakan Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Nagari di
Sumatera Barat memberikan banyak manfaat, salah satunya adalah mewujudkan
pembangunan kehutanan yang bersifat desentralistik dan secara efektif mampu menjaga
kawasan hutan. Dengan sistem desentralistik tersebut, masyarakat lokal lebih dilibatkan
dalam pengelolaan hutan yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
mereka. Sehingga pendekatan ini mampu mengembangkan potensi lokal secara optimal.
Ostrom menjelaskan bahwa partisipasi aktif masyarakt ini diperlukan agar suatu
sistem pengelolaan sumber daya alam dapat bekerja dengan baik. 13 Partisipasi
masyarakat, dalam berbagai segi pelaksanaan Perhutanan Sosial, dengan demikian
menjadi penting bagi tercapainya tujuan-tujuan program Perhutanan Sosial dan tujuan
pengelolaan hutan itu sendiri.
Perhutanan sosial memiliki fokus utama yakni perlindungan hutan,kesejahteraan
masyarakat lokal, dan produksi lestari, Dari fokus Perhutanan Sosial tersebut dapat
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial-ekonomi dan ekologis hutan yang
bermanfaat bagi masyarakat nagari di Sumbar. Hal tersebut penulis gambarkan sebagai
berikut :

10
Ibid.
11
Ibid.
12
Firmansyah N, Gantika N, dan Ali M. 2007. Dinamika Hutan Nagari di Tengah Jaring-Jaring Hukum
Negara. Jakarta. HuMa-Qbar.
13
Munggoro, D.W. & Aliadi, A. (1999). Community forestry dalam konteks perubahan institutsi
kehutanan dalam Kembalikan hutan kepada rakyat. Bogor: Pustaka LATIN.
Manfaat Perhutanan Sosial

Manfaat Ekologis Manfaat Ekonomi Manfaat Sosial

1. Kontribusi 1. Strategi 1. Modal sosial;


terhadap nafkah/pendapatan 2. Pemberdayaan
kelestarian rumah tangga bagi masyarakat;
hutan; masyarakat desa 3. Tata kelola
2. Pengelolaan hutan melalui konflik tenurial.
perlindungan pembagian hasil
hutan. hutan;
2. Pengembangan
ekonomi wilayah.

Gambar 2.2 Manfaat Perhutanan Sosial

Berdasarkan gambar di atas, terdapat beberapa manfaat program Perhutanan


Sosial dengan skema Hutan Nagari bagi masyarakat nagari sekitar hutan, yaitu: 1)
manfaat ekologi, berupa keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dengan
menerapkan pola tanam yang sesuai dengan karakteristik wilayah yang berkontribusi
terhadap kelestarian fungsi hutan serta mewujudkan tujuan pengelolaan hutan yang
berkelanjutan, manfaat ini salah satunya ditunjukkan di Hutan Nagari Sumancuang,
Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Di lokasi tersebut skema Hutan Nagari
terbukti melindungi sumber air yang berhulu dari dalam kawasan hutan sehingga
menjamin pasokan air untuk persawahan yang menjadi penghasilan utama masyarakat
nagari tersebut; 2) manfaat ekonomi, bagi masyarakat nagari hutan yang dikelola
dengan baik dapat memberikan manfaat ekonomi yakni sebagai sumber penghasilan, hal
ini ditunjukkan salah satunya di Nagari Baringin Jaya yang mana kontribusi Perhutanan
Sosial terhadap masyarakat nagari terlihat hasil lahan garap di kawasan Hutan Nagari
yang menjadi sumber penghasilan masyarakat nagari; dan 3) manfaat sosial, dalam
menciptakan lapangan kerja serta peningkatan teknologi bagi masyarakat, selain itu juga
mempengaruhi modal sosial seperti pengembangan jaringan dan peningkatan kapasitas
dan kapabilitas masyarakat nagari yang turut mengelola hutan, serta sebagai daerah
yang rawan terjadinyakonflik, program perhutanan sosial juga dapat menjadi alat
resolusi konflik. Konflik dapat saja muncul oleh dua pihak atau lebih yang
memperebutkan suatu sumber daya yang sama. Klaim antar pihak bertentangan tersebut
dipengaruhi oleh perhutanan sosial yang dapat terjadi lewat redistribusi lahan, sistem
bagi hasil, atau penyewaan. Perhutanan sosial dapat menjadi alternatif konflik tersebut
yakni dengan menyamakan cita-cita yang sama dan kerelaan membagi kekuasaan pihak
pengelola perhutanan dengan masyarakat.

b) Akibat hukum Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Nagari


Dibukanya akses masyarakat dalam mengelola tanah di lahan hutan melalui
Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa/Hutan Nagari merubah paradigma
pembangunan kehutanan dari state based forest magement ke community based forest
management. Dari aspek kebijakan, peran serta masyarakat (termasuk masyarakat
hukum adat) terhadap pengelolaan sumber daya hutan sudah cukup terbuka. Namun
dalam implementasinya kebijakan ini kurang berjalan dengan baik, antara lain akibat
belum berubahnya paradigma sebagian besar aparat kehutanan dan para pihak terkait
dalam pengelolaan sumber daya hutan dari state based forest management ke
community based forest management, serta belum terbangunnya sistem pelayanan
pemerintah untuk pengembangan sistem pengelolaan sumber daya hutan berbasis
masyarakat lokal tersebut.14
Melalui perhutanan sosial dengan skema Hutan Desa/Hutan Nagari, masyarakat dan
kelompok masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola lahan dan mendapatkan hasil
dalam jangka waktu tertentu. Sementara lewat pensertifikatan tanah, masyarakat diberi
kepastian hukum mendapatkan hak atas tanah yang selama ini sebenarnya sudah mereka
kelola. HPHD/HPHN yang diberikan kepada masyarakat nagari melalui Lembaga
Desa/Lembaga Nagari dimana izin pemanfaatan hutan nagari ini berlaku selama 35
tahun dan dapat kembali diperpanjang hingga 35 tahun ke depan. Izin ini juga
memberikan kepastian bagi masyarakat yang mengelola lahan mengenai status

14
Caritas Woro M.R., Rekonstruksi Kearifan Lokal untuk Membangun Hukum Kehutanan yang
Berkelanjutan (Studi Terhadap Masyarakat Hukum Adat Kajang dan Tenganan Pegringsingan),
Disertasi Program Doktor, (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012) hlm. 358.
pengelolaan. Dengan adanya kepastian tersebut, pengelola lahan dapat memperoleh
akses yang sebelumnya tidak didapatkan.
Hak pengelolaan ini bersumber dari hak menguasai negara atas tanah yang diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.15
Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak untuk
menggunakan dan atau mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya. Kata
menggunakan mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk kepentingan
mendirikan bangunan, sedangkan kata mengambil manfaat mengandung pengertian
bahwa hak atas tanah untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan
perkebunan.16
Hak penguasaan atas tanah ini berisi wewenang, kewajiban, dan larangan bagi
pemegang haknya. Hak penguasaan atas tanah ada yang bersifat privat, yaitu memiliki,
dan ada yang bersifat publik, yaitu mengatur dan menentukan. Hak penguasaan atas
tanah ada yang merupakan lembaga hukum, yaitu belum dihubungkan antara tanah
dengan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya, dan ada yang
merupakan hubungan hukum yang konkret, yaitu sudah dihubungkan antara tanah
dengan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.17
Pengaturan hak pengelolaan dalam UUPA sendiri tidak diatur secara eksplisit,
UUPA hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2
UUPA, yang menyatakan bahwa negara dapat memberikan tanah yang demikian itu
kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
atau memberikannya dalam pengelolaan (garis bawah penulis) kepada suatu badan
penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi

15
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043).
16
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, hlm. 82.
17
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional, MIMBAR HUKUM
Vol. 24, No. 2, Juni 2012, Hlm. 276
pelaksanaan tugasnya masing-masing.18 Namun demikian, dalam praktik keberadaan
Hak Pengelolaan berikut landasan hukum telah berkembang sedemikian rupa dengan
berbagai ekses dan permasalahannya.
Lain halnya dengan UUPA yang tidak menjelaskan mengenai Hak Pengelolaan, di
dalam beberapa peraturan perundang-undangan lain Hak Pengelolaan ini secara
eksplisit dijelaskan dan dilekati oleh wewenang, hak, kewajiban, dan larangan bagi
pemegang hak. Adapun berdasarkan sifat dan kewenangannya, Hak Pengelolaan dapat
dikategorikan sebagai hak atas tanah yang mempunyai sifat right to use, tidak right of
disposal, artinya hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan adalah hanya
mempergunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya dan berlaku selama
tanahnya dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, tidak ada hak untuk
mengalihkan Hak Pengelolaan dalam bentuk apapun kepada pihak lain, dan tidak ada
hak untuk dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Kewenangan
yang terdapat dalam Hak Pengelolaan ada yang bersifat internal dan eksternal.
Kewenangan yang bersifat internal, yaitu merencanakan peruntukan dan penggunaan
tanah dan menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugas atau usahanya.
Kewenangan yang bersifat eksternal yaitu menyerahkan bagian-bagian tanah Hak
Pengelolaan kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. 19

18
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043).
19
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional, MIMBAR HUKUM
Vol. 24, No. 2, Juni 2012, Hlm. 287
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan mengenai program Perhutanan Sosial dibahas dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Selain itu,
terdapat peraturan lain yang membahas lebih detail mengenai Hutan Desa yakni
Peraturan Kementrian Kehutanan Nomor 89 Tahun 2014 tentang Hutan Desa.
Adapun permohonan Hutan Nagari kepada Gubernur dengan tata cara sebagai
berikut: HPHD/HPHN dapat diajukan oleh desa/nagari atau gabungan
desa/nagari kepada Gubernur dengan syarat sudah adanya Perdes tentang
Lembaga Desa/Nagari, Keputusan Desa tentang Organisasi Lembaga
Desa/Nagari, Koperasi Desa, BUMDes, dan menyertakan gambaran umum fisik,
sosial, ekonomi, potensi kawasan, peta 1 : 50.000 tertulis dan digital.
Permohonan tersebut kemudian diberikan tembusan kepada Menteri LHK,
Bupati/Walikota, Kepala UPT, dan Kepala KPH. Selanjutnya Kepala Dishut
Provinsi melakukan verifikasi administrasi permohonan dalam jangka waktu 2
hari dengan catatan apabila syarat administrasi permohonan tidak lengkap maka
Pemohon diharuskan melengkapi syarat administrasi terlebih dahulu. Apabila
syarat administrasi permohonan sudah lengkap maka Kepala Dishut Provinsi
melakukan verifikasi permohonan dalam jangka waktu 7 hari, selanjutnya
Kepala Dishut Provinsi menyiapkan konsep SK HPHD/HPHN selama 3 hari.
Penerbitan HPHD/HPHN dilakukan oleh Gubernur yang mana setelahnya Dirjen
PSKL akan meminta keterangan kepada Gubernur dan meminta hasil verifikasi
kepada Kepala Dishut Provinsi untuk kemudian HPHD/HPHN diverifikasi lebih
lanjut oleh Dirjen PSKL dan kemudian atas nama Menteri LHK barulah Dirjen
PSKL menerbitkan HPHD/HPHN.
2. Hak Pengelolaan dalam HPHD/HPHN dapat dikategorikan sebagai hak atas
tanah yang mempunyai sifat right to use, tidak right of disposal, artinya hak
yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan adalah hanya mempergunakan
tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya dan berlaku selama tanahnya
dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, tidak ada hak untuk
mengalihkan Hak Pengelolaan dalam bentuk apapun kepada pihak lain, dan
tidak ada hak untuk dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Kewenangan yang terdapat dalam Hak Pengelolaan ada yang bersifat internal
dan eksternal. Kewenangan yang bersifat internal, yaitu merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah dan menggunakan tanah untuk keperluan
pelaksanaan tugas atau usahanya. Kewenangan yang bersifat eksternal yaitu
menyerahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dan
atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

B. Saran
Sebagai saran terhadap pembuat kebijakan, perlu dibentuk suatu peraturan
perundang-undangan yang komprehensif dan dapat menjadi pedoman penilaian
keberhasilan pelaksanaan perhutanan sosial agar sesuai dan memenuhi prinsip-prinsip
konservasi. Selanjutnya persoalan adminisratif formal wilayah hak komunitas lokal
yang sebagian besar terletak di dalam wilayah desa (termasuk di dalamnya hutan desa)
maupun antar desa perlu dikaji, karena bisa saja hutan yang dikelola masyarakat desa
yang terletak di luar wilayah administrasi desa tidak bisa diakui sebagai hutan desa,
sehingga tidak terlindunginya hak tradisional desa, hal tersebut dapat mengakibatkan
konflik antar desa atas batas wilayah meningkat karena berkurangnya lahan sebagai
sumber daya.
DAFTAR PUSTAKA

Ardillah, Muhammad Reza., “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Hutan Rakyat Dalam


Memelihara Kelestarian Hutan (Studi Kasus Pada Kelompok Masyarakat Gaharu
di Kelurahan Pekan Bahorok, Kecamatan Bahorok, Kab. Langkat)”, Jurnal
Universitas Sumatera Utara.

Asmin Ferdinal, 2015, Pengelolaan Hutan Nagari Di Sumatera Barat (Studi Kasus Areal
Kelola Hutan Nagari di Jorong Simancuang Provinsi Sumatera Barat). In:
Prosiding Seminar Nasional FMIPA-UT.

Choiria, Ida., dkk, 2018, “Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Melalui Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan
Masyarakat (Studi Pada LMDH Salam Jati Luhur KPH Nganjuk)”, Jurnal
Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor


SK.3511/MENLHK-PKTL/SETDIT/KUM.1/5/2018 Tentang Peta Indikatif dan
Areal Perhutanan Sosial (Revisi II)

Munggoro, D.W. & Aliadi, A, 1999, Community forestry dalam konteks perubahan
institutsi kehutanan dalam Kembalikan hutan kepada rakyat, Pustaka LATIN,
Bogor.

Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 52 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan


Fasilitasi Perhutanan Sosial

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor


P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1663).

Santoso, Urip, 2012, “Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional”,
MIMBAR HUKUM Vol. 24, No. 2, Juni 2012.

Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Woro, Carista M.R., Rekonstruksi Kearifan Lokal untuk Membangun Hukum


Kehutanan yang Berkelanjutan (Studi Terhadap Masyarakat Hukum Adat Kajang
dan Tenganan Pegringsingan), Disertasi Program Doktor, (Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012).

Anda mungkin juga menyukai