MAKALAH
Kebijakan Perhutanan Sosial dalam Skema Hutan Nagari di Sumatera
Barat
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah konsentrasi Hukum Tata Kelola Sumber
Daya Hutan
Oleh :
RAKHA GURAND
16/397715/HK/21037
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki potensi besar dalam
upaya menyejahterakan masyarakat. Hal ini senada dengan bunyi UUD 1945 yang
menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa tujuan dari penyelenggaraan
kehutanan adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Dalam konteks sistem politik dan pemerintahan, pengelolaan hutan
seharusnya mampu mengentaskan kemiskinan dan memperluas kesempatan kerja
dengan menghindari penggunaan lahan yang tidak efisien dan memegang prinsip
transparansi dan akuntabilitas.1 Salah satu wujud dari pengelolaan hutan yang baik
adalah dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan itu sendiri.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, akhir-akhir ini Pemerintah sedang gencar-
gencarnya mendorong sebuah program yang memberikan kesempatan masyarakat
terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan yang dikenal dengan Perhutanan Sosial,
dimana Perhutanan Sosial ini diharapkan mampu mengurangi kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan, penguasaan pengelolaan kawasan hutan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat serta menjaga kelestarian hutan.
Basis utama dari konsep Perhutanan Sosial ini secara keseluruhan menempatkan
posisi masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan.
Peletakan masyarakat pada posisi tersebut bukan berarti tidak memiliki alasan yang
jelas, yaitu ingin memberdayakan masyarakat yang ada di dalam maupun di sekitar
kawasan hutan. Secara tidak langsung, masyarakat juga sudah ikut membantu
pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan yang pada akhirnya akan memunculkan
keberlanjutan bagi masyarakat.2 Dimana pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan
1
Ferdinal Asmin (2015) Pengelolaan Hutan Nagari Di Sumatera Barat (Studi Kasus Areal Kelola Hutan
Nagari di Jorong Simancuang Provinsi Sumatera Barat). In: Prosiding Seminar Nasional FMIPA-UT
2015: Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi Menuju Kemandirian Bangsa.
2
Muhammad Reza Ardillah, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Hutan Rakyat Dalam Memelihara
Kelestarian Hutan (Studi Kasus Pada Kelompok Masyarakat Gaharu di Kelurahan Pekan Bahorok,
Kecamatan Bahorok, Kab. Langkat), Jurnal Universitas Sumatera Utara.
masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga Negara Indonesia yang tinggal di dalam
atau sekitar hutan negara, memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan
kawasan hutan, dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.3
Perhutanan Sosial dapat dibagi menjadi 5 skema, yaitu Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Kelima skema tersebut memiliki sistem pengelolaan yang berbeda namun intinya masih
sama yaitu untuk mencapai kesejahteraan. Hutan Desa merupakan hutan negara yang
dikelola oleh lembaga desa untuk mensejahterakan desa. Hutan kemasyarakatan
merupakan hutan negara yang dikelola oleh masyarakat untuk tujuan memberdayakan
masyarakat. Hutan Tanaman Rakyat merupakan hutan tanaman pada hutan produksi
yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas
hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur. Hutan Adat merupakan hutan
yang dimiliki oleh masyarakat adat yang sebelumnya merupakan hutan negara ataupun
bukan hutan negara. Sedangkan Kemitraan Kehutanan merupakan kerjasama antara
masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan,
jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer
hasil hutan.4
Salah satu skema dari Perhutanan Sosial adalah Hutan Desa. Dimana di dalam
Hutan Desa, masyarakat dapat melakukan berbagai usaha, seperti budidaya tanaman
obat, tanaman hias, jamur, ataupun penangkaran satwa liar.5 Di Sumatera Barat Hutan
Desa ini juga dikenal sebagai Hutan Nagari. Sejak 2012 hingga sekarang, pemerintah
daerah telah membentuk kelompok kerja sebagai service center guna membangun
kesepahaman antar stakeholders serta menyusun roadmap perhutanan sosial di
Sumatera Barat. Adapun sejak diimplementasikannya perhutanan sosial di Sumatera
Barat, hingga saat ini terdapat 86 izin hutan nagari dengan total luasan 170.185 hektar.6
3
Ida Choiria, Imam Hanafi, Mochamad Rozikin, 2018, Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Melalui
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Masyarakat (Studi
Pada LMDH Salam Jati Luhur KPH Nganjuk), Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hlm.
2112-2117
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Dikutip dari https://www.mongabay.co.id/2019/05/21/percepat-perhutanan-sosial-sumatera-barat-
lahirkan-peraturan-gubernur/ pada 03 Desember 2019, Pukul 19.05 WIB.
Berkenaan dengan uraian di atas, maka penulisan makalah ini berangkat dan
mengangkat topik mengenai bagaimana kebijakan perhutanan sosial dijalankan dalam
skema hutan nagari di Sumatera Barat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijabarkan di atas, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan pengalokasian kawasan hutan untuk dikelola masyarakat
melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat?
2. Apa manfaat dan akibat hukum dari pengimplementasian Perhutanan Sosial
melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pengalokasian kawasan hutan untuk
dikelola masyarakat melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat;
2. Untuk mengetahui manfaat dan akibat hukum dari pengimplementasian
Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Nagari di Sumatera Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
7
Gambar diperoleh dari https://www.cifor.org/gcs-tenure yang dibuat oleh Firdaus, A.Y, diakses pada
tanggal 05 Desember 2019 pukul 21.00 WIB.
Gambar di atas menjelaskan bahwa HPHD/HPHN dapat diajukan oleh desa/nagari
atau gabungan desa/nagari kepada Gubernur dengan syarat sudah adanya Perdes tentang
Lembaga Desa/Nagari, Keputusan Desa tentang Organisasi Lembaga Desa/Nagari,
Koperasi Desa, BUMDes, dan menyertakan gambaran umum fisik, sosial, ekonomi,
potensi kawasan, peta 1 : 50.000 tertulis dan digital. Permohonan tersebut kemudian
diberikan tembusan kepada Menteri LHK, Bupati/Walikota, Kepala UPT, dan Kepala
KPH. Selanjutnya Kepala Dishut Provinsi melakukan verifikasi administrasi
permohonan dalam jangka waktu 2 hari dengan catatan apabila syarat administrasi
permohonan tidak lengkap maka Pemohon diharuskan melengkapi syarat administrasi
terlebih dahulu. Apabila syarat administrasi permohonan sudah lengkap maka Kepala
Dishut Provinsi melakukan verifikasi permohonan dalam jangka waktu 7 hari,
selanjutnya Kepala Dishut Provinsi menyiapkan konsep SK HPHD/HPHN selama 3
hari. Penerbitan HPHD/HPHN dilakukan oleh Gubernur yang mana setelahnya Dirjen
PSKL akan meminta keterangan kepada Gubernur dan meminta hasil verifikasi kepada
Kepala Dishut Provinsi untuk kemudian HPHD/HPHN diverifikasi lebih lanjut oleh
Dirjen PSKL dan kemudian atas nama Menteri LHK barulah Dirjen PSKL menerbitkan
HPHD/HPHN.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Firmansyah N, Gantika N, dan Ali M. 2007. Dinamika Hutan Nagari di Tengah Jaring-Jaring Hukum
Negara. Jakarta. HuMa-Qbar.
13
Munggoro, D.W. & Aliadi, A. (1999). Community forestry dalam konteks perubahan institutsi
kehutanan dalam Kembalikan hutan kepada rakyat. Bogor: Pustaka LATIN.
Manfaat Perhutanan Sosial
14
Caritas Woro M.R., Rekonstruksi Kearifan Lokal untuk Membangun Hukum Kehutanan yang
Berkelanjutan (Studi Terhadap Masyarakat Hukum Adat Kajang dan Tenganan Pegringsingan),
Disertasi Program Doktor, (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012) hlm. 358.
pengelolaan. Dengan adanya kepastian tersebut, pengelola lahan dapat memperoleh
akses yang sebelumnya tidak didapatkan.
Hak pengelolaan ini bersumber dari hak menguasai negara atas tanah yang diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.15
Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak untuk
menggunakan dan atau mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya. Kata
menggunakan mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk kepentingan
mendirikan bangunan, sedangkan kata mengambil manfaat mengandung pengertian
bahwa hak atas tanah untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan
perkebunan.16
Hak penguasaan atas tanah ini berisi wewenang, kewajiban, dan larangan bagi
pemegang haknya. Hak penguasaan atas tanah ada yang bersifat privat, yaitu memiliki,
dan ada yang bersifat publik, yaitu mengatur dan menentukan. Hak penguasaan atas
tanah ada yang merupakan lembaga hukum, yaitu belum dihubungkan antara tanah
dengan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya, dan ada yang
merupakan hubungan hukum yang konkret, yaitu sudah dihubungkan antara tanah
dengan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.17
Pengaturan hak pengelolaan dalam UUPA sendiri tidak diatur secara eksplisit,
UUPA hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2
UUPA, yang menyatakan bahwa negara dapat memberikan tanah yang demikian itu
kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
atau memberikannya dalam pengelolaan (garis bawah penulis) kepada suatu badan
penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi
15
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043).
16
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, hlm. 82.
17
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional, MIMBAR HUKUM
Vol. 24, No. 2, Juni 2012, Hlm. 276
pelaksanaan tugasnya masing-masing.18 Namun demikian, dalam praktik keberadaan
Hak Pengelolaan berikut landasan hukum telah berkembang sedemikian rupa dengan
berbagai ekses dan permasalahannya.
Lain halnya dengan UUPA yang tidak menjelaskan mengenai Hak Pengelolaan, di
dalam beberapa peraturan perundang-undangan lain Hak Pengelolaan ini secara
eksplisit dijelaskan dan dilekati oleh wewenang, hak, kewajiban, dan larangan bagi
pemegang hak. Adapun berdasarkan sifat dan kewenangannya, Hak Pengelolaan dapat
dikategorikan sebagai hak atas tanah yang mempunyai sifat right to use, tidak right of
disposal, artinya hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan adalah hanya
mempergunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya dan berlaku selama
tanahnya dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, tidak ada hak untuk
mengalihkan Hak Pengelolaan dalam bentuk apapun kepada pihak lain, dan tidak ada
hak untuk dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Kewenangan
yang terdapat dalam Hak Pengelolaan ada yang bersifat internal dan eksternal.
Kewenangan yang bersifat internal, yaitu merencanakan peruntukan dan penggunaan
tanah dan menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugas atau usahanya.
Kewenangan yang bersifat eksternal yaitu menyerahkan bagian-bagian tanah Hak
Pengelolaan kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. 19
18
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043).
19
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional, MIMBAR HUKUM
Vol. 24, No. 2, Juni 2012, Hlm. 287
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan mengenai program Perhutanan Sosial dibahas dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Selain itu,
terdapat peraturan lain yang membahas lebih detail mengenai Hutan Desa yakni
Peraturan Kementrian Kehutanan Nomor 89 Tahun 2014 tentang Hutan Desa.
Adapun permohonan Hutan Nagari kepada Gubernur dengan tata cara sebagai
berikut: HPHD/HPHN dapat diajukan oleh desa/nagari atau gabungan
desa/nagari kepada Gubernur dengan syarat sudah adanya Perdes tentang
Lembaga Desa/Nagari, Keputusan Desa tentang Organisasi Lembaga
Desa/Nagari, Koperasi Desa, BUMDes, dan menyertakan gambaran umum fisik,
sosial, ekonomi, potensi kawasan, peta 1 : 50.000 tertulis dan digital.
Permohonan tersebut kemudian diberikan tembusan kepada Menteri LHK,
Bupati/Walikota, Kepala UPT, dan Kepala KPH. Selanjutnya Kepala Dishut
Provinsi melakukan verifikasi administrasi permohonan dalam jangka waktu 2
hari dengan catatan apabila syarat administrasi permohonan tidak lengkap maka
Pemohon diharuskan melengkapi syarat administrasi terlebih dahulu. Apabila
syarat administrasi permohonan sudah lengkap maka Kepala Dishut Provinsi
melakukan verifikasi permohonan dalam jangka waktu 7 hari, selanjutnya
Kepala Dishut Provinsi menyiapkan konsep SK HPHD/HPHN selama 3 hari.
Penerbitan HPHD/HPHN dilakukan oleh Gubernur yang mana setelahnya Dirjen
PSKL akan meminta keterangan kepada Gubernur dan meminta hasil verifikasi
kepada Kepala Dishut Provinsi untuk kemudian HPHD/HPHN diverifikasi lebih
lanjut oleh Dirjen PSKL dan kemudian atas nama Menteri LHK barulah Dirjen
PSKL menerbitkan HPHD/HPHN.
2. Hak Pengelolaan dalam HPHD/HPHN dapat dikategorikan sebagai hak atas
tanah yang mempunyai sifat right to use, tidak right of disposal, artinya hak
yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan adalah hanya mempergunakan
tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya dan berlaku selama tanahnya
dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, tidak ada hak untuk
mengalihkan Hak Pengelolaan dalam bentuk apapun kepada pihak lain, dan
tidak ada hak untuk dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Kewenangan yang terdapat dalam Hak Pengelolaan ada yang bersifat internal
dan eksternal. Kewenangan yang bersifat internal, yaitu merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah dan menggunakan tanah untuk keperluan
pelaksanaan tugas atau usahanya. Kewenangan yang bersifat eksternal yaitu
menyerahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dan
atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
B. Saran
Sebagai saran terhadap pembuat kebijakan, perlu dibentuk suatu peraturan
perundang-undangan yang komprehensif dan dapat menjadi pedoman penilaian
keberhasilan pelaksanaan perhutanan sosial agar sesuai dan memenuhi prinsip-prinsip
konservasi. Selanjutnya persoalan adminisratif formal wilayah hak komunitas lokal
yang sebagian besar terletak di dalam wilayah desa (termasuk di dalamnya hutan desa)
maupun antar desa perlu dikaji, karena bisa saja hutan yang dikelola masyarakat desa
yang terletak di luar wilayah administrasi desa tidak bisa diakui sebagai hutan desa,
sehingga tidak terlindunginya hak tradisional desa, hal tersebut dapat mengakibatkan
konflik antar desa atas batas wilayah meningkat karena berkurangnya lahan sebagai
sumber daya.
DAFTAR PUSTAKA
Asmin Ferdinal, 2015, Pengelolaan Hutan Nagari Di Sumatera Barat (Studi Kasus Areal
Kelola Hutan Nagari di Jorong Simancuang Provinsi Sumatera Barat). In:
Prosiding Seminar Nasional FMIPA-UT.
Choiria, Ida., dkk, 2018, “Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Melalui Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan
Masyarakat (Studi Pada LMDH Salam Jati Luhur KPH Nganjuk)”, Jurnal
Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12.
Munggoro, D.W. & Aliadi, A, 1999, Community forestry dalam konteks perubahan
institutsi kehutanan dalam Kembalikan hutan kepada rakyat, Pustaka LATIN,
Bogor.
Santoso, Urip, 2012, “Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional”,
MIMBAR HUKUM Vol. 24, No. 2, Juni 2012.
Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta.