Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

HEPATITIS VIRUS

Disusun oleh :
Destinea Sivanaputri
1965050017

Pembimbing :
dr. Ida Bagus Eka Utama Wija, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 13 JULI 2020 – 08 AGUSTUS 2020
RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
BAB 1

PENDAHULUAN

Hepatitis adalah terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat disebabkan oleh
infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun. Infeksi yang
disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus
hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi tersebut1

Hepatitis adalah inflamasi pada hepar yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan
dapat berakibat fatal. Terdapat lima strain utama dari virus hepatitis, yaitu tipe A, B, C, D dan E.
Semua tipe ini menyebabkan penyakit pada hepar, namun berbeda dalam mode transmisi,
keparahan penyakit, distribusi geografis dan metode Pencegahan. Terdapat banyak orang
dengan Hepatitis tipe A, B, C, D atau E hanya menunjukan gejala ringan atau tidak ada gejala
sama sekali. Namun, setiap virus dapat juga menyebabkan gejala yang lebih parah. Gejala
hepatitis A, B dan C dapat berupa demam, malaise, kehilangan nafsu makan, diare, mual,
perasaan tidak nyaman diperut, urin berwarna gelap dan jaudince. Hepatitis D (HDV) hanya
ditemukan pada orang yang sudah terinfeksi dengan Hepatitis B (HBV), namun infeksi ganda
HBV dan HDV dapat menyebabkan infeksi yang lebih serius dan dapat mempercepat proges
menuju sirosis. Hepatitis E (HEV) dimulai dengan keluhan demam ringan, nafsu makan
berkurang, mual dan muntah dan dapat berlansung selama beberapa hari.2

Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia.
Penyakit tersebut ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap
tahunnya. Banyak episode hepatitis dengan klinik anikterik, tidak nyata atau subklinis. Secara
global virus hepatitis merupakan penyebab utama viremia yang persisten.3 Di dunia, diperkirakan
sekitar 325 juta orang terinfeksi virus Hepatitis B dan atau C.2

Di indonesia, Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) tahun 2018 terdapat
1.017.290 orang terinfeksi virus hepatitis. Jawa barat menempati urutan pertama provinsi di
Indonesia dengan jumlah terinfeksi virus hepatitis, sebanyak 186.806. Urutan kedua provinsi di
Indonesia dengan jumlah kasus hepatitis terbanyak adalah Jawa Timur yaitu 151.878 jiwa,
kemudian disusul oleh provinsi jawa tengah sebanyak 132.565. 4
BAB II

HEPATITIS A

Definisi

Hepatitis A adalah penyakit hepar yang disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV). Ditularkan
melalui jalur fekal – oral, sanitasi yang jelek, kontak antara manusia, dibawa oleh air dan
makanan. Tidak seperti hepatitis B dan C, hepatitis A tidak menyebabkan penyakit hati kronis
dan jarang berakibat fatal.2

Virologi

Virus Hepatitis A termasuk hepatovirus, yang masuk dalam famili picornaviridae. Ukuran virus
hepatitis A adalah 27-32nm, tidak mempunyai selubng, mempunyai bentuk icosahedral, poisitve
single stranded linier RNA virus, yang mempunyai 7,5 kb genom genom tersebut mempunyai 3
regio, 5’ unstranslated region dengan 734-742 nukleotida; open reading frame tunggal yang
mengkode poliprotein; dan 3’ regio non-coding ang mengandung
30-80 nuleotida.7

Gambar 1. Virus Hepatitis A

Epidemiologi

Virus hepatitis A Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih
merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8-
68,3%.3 Menurut PUSDATIN Kementrian kesehatan, pada tahun 2014 terdapat KLB Hepatitis A
di 3 provinsi indonesia, yaitu Bengkulu dengan 19 kasus, Sumaera Barat dengan 159 kasus dan
di Kalimantan Timur sebanyak 282 kasus. Di indonesia prevalensi dijakarta, Bandung, dan
Makassar berkisar antara 35%-45% pada usia 5 tahun dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30
tahun. Dipapua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV hampir mencapai 100%6

Patogenesis

HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit dan
melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses replikasi
ini tidak terjadi di organ lain.1

Infeksi virus hepatitis A berhubungan dengan respon imun selular, yang berperan dalam
imunopatogenesisinfeksi virus hepatitis A dan induksi kerusakan hepatosit. Kerusakan hepatosit
terjadi melalui aktivasi sel T sitolitik spesifik terhadap virus hepatitis A. dari hasil hepatosit yang
terinfeksi, yang didapatkan dari biopsi menunjukan adanya sel T CD8+ yang sevara spesifik
dapat melisiskan virus hepatitis A. terbatasnya bukti keterlibatan sistem imun alami pada infeksi
virus hepatitis A menunjukan sekresi interferon gamma melalui sel T yang teraktivasi, yang
memfasilitasi ekspresi HLA kelas I determinan pada permukaan hepatosit yang terinfeksi.
Epitope sel T sitolitik pada protein struktural virus hepatitis A dapat terlibat pada proses sitolitik
hepatosit yang terinfeksi virus hepatitis A. Kerusakan fungsi dari sel T regulator CD 4 +/ CD 25
+ di hubungkan dengan seringnya resolusi infeksi virus hepatitis A akut melalui penyembuhan
spontan.7

Gejala Klinis

Gejala muncul secara mendadak yaitu panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut.
Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, dan jarang terjadi ikterus
(30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%)
simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu:

1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28 hari)


2. Masa prodromal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih. Gejalanya adalah
fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah
kanan atas, demam (biasanya <39°C), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu.
Tanda yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh feses
berwarna seperti dempul, kemudian warna sklera dan kulit perlahan-lahan menjadi
kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan, ikterik menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4 minggu
setelah onset.

Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan. Sebagian besar penderita sembuh total,
tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya petanda viremia
persisten maupun penyakit kronis.1

Terdapat 5 macam gejala klinis:

1. Hepatitis A klasik

Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum
jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simtomatis mengalami jenis klasik ini. IgG
anti-HAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA
dari kompleks IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah
terjadinya relaps.

2. Hepatitis A relaps

Terjadi pada 4-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah sebelumnya
dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala
klinis dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian
sebelum timbulnya relaps. Gejala relaps ringan daripada bentuk pertama.

3. Hepatitis A kolestatik

Timbul pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis
dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST,
ALT, dan ALP secara perlahan turun kearah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap
tinggi.

4. Hepatitis A protracted
Pada bentuk protracted (8.5%), klirens dari virus terjadi perlahan sehingga pulihnya
fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi
hepar ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis,
dan lobular hepatitis

5. Hepatitis A fulminan

Terjadi pada 0.35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian.
Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu protrombin.
Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua
yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya
bentuk fulminan ini.

Diagnosis

Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV. Antibodi ini
ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan
IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai beberapa dekade,
memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam cairan tubuh
dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR) tetapi biayanya mahal dan biasanya
hanya dilakukan untuk penelitian. (1)

Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit maupun
prognosisnya. Pemanjangan waktu protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada
bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis hepatitis A.1
Gambar 2. Pola respons terhadap infeksi virus hepatitis A.9

Pengobatan

Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengan
pemberian immunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin.
Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan rawat
inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-
SGPT >10 kali nilai normal, koagulopati dan ensefalopati.

Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya


asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek.
Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu
protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah: (1)
pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) umur penderita kurang dari 10 tahun atau
lebih dari 40 tahun, dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17mg/dL atau waktu sejak dari
icterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.1,5

Pencegahan

Pencegahan pada infeksi HAV dapat meliputi pencegahan non spesifik maupun pencegahan
spesifik. Pada pencegahan non spesifik merupakan pencegahan yang dilakukan dengan
meningkatkan sanitasi lingkungan. Personal hygiene, mencuci tangan dan penyediaan makanan
yang bersih dapat mengurangi transmisi dari HAV. Pencegahan secara spesifik terbagi menjadi 2
yaitu imunasasi pasif (pemberian imunoglobulin) dan imunisasi aktif (vaksinasi).11

Imunisasi pasif

Indikasi pemberian imunisasi pasif

1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita


2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau
keluarganya menderita hepatitis A
3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita Hepatitis A
4. Individu dari Negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara
dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. Immunoglobulin juga
diberikan pada usia dibawah 2 tahun yang ikut berperan sebab vaksin tidak dianjurkan
untuk anak dibawah 2 tahun

Dosis IG 0.02 ml/kgBB untuk perlindungan selama 3 bulan, dan 0.06 ml/kgBB untuk
perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh diberikan dalam
waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella, varicella)
sebab IG akan menurunkan imunogenisitas vaksin. Imunogenisitas vaksin HAV tidak
terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama.

Tabel 1. Dosis Imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah

Imunisasi Aktif

Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita, maupun
pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi untuk
didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status imunologi
dalam masyarakat.1

Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix dan Vaqta, Avaxime. Semuanya berasal dari
inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV. Havrix mengandung preservatif (2-
phenoxyethanol) sedangkan Vaqta tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan
jarak 6 bulan dan tidak diberikan pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu
tidak jelas pada usia ini.

Indikasi imunisasi aktif:

1. Individu yang akan bekerja ke Negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi
2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak
3. Homoseksual
4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini
yang mengidap Hepatitis C kronis
5. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi
hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat.
6. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX)

Tabel 2. Dosis Harvix yang dianjurkan


BAB III

HEPATITIS B

Definisi

Hepatitis B adalah penyakit hepar yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Hepatitis B
merupakan infeksi virus yang menyerang hepar dan dapat menjadi infeksi akut maupun kronis.
Penularan vertikal 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5% intra uterina. Penularan
horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, tatto dan transplantasi
organ. Masa inkubasi Virus hepatitis B adalah 60-90 hari.2,6

Virologi

Virus Hepatitis B merupakan virus DNA yang termasuk golongan hepadnaviridae, yang
mempunyai empat buah open reading frame: ini, kapsul, polimerase, dan z. gen inti mengkod
protein nukleokapsid yang penting dalam membungkus virus dan HbeAG. Gen permukaan
mengkode protein pre-S1, pre-S2 dan protein S. gen X mengkode proten X yang berperan
penting dalam proses karsinogenesis. Sampai saat ini terdapat delapan genotipe virus hepatitis
B : Genotipe A, B, C, D, E, F, G, H. Genotipe B dan C paling banyak ditemukan di Asia.7

Gambar 3. Virus Hepatitis B

Epidemiologi

Indonesia merupakan negara dengan endemimsitas tinggi hepatitis B, terbsesar kedua di negara
south east asian region setelah myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RIKESDAS), studi dan uji sating darah donor PMI maka diperkirakan di antara 100 orang
indonesia, 10 diantaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C. sehingga saat ini diperkirakan
terdapat 28 juta penduduk indonesia yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya
berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta diantaranya berpotensi
untuk menjadi kanker hati.6

Patogenesis

Di Indonesia, jalur penularan infeksi HBV (virus hepatitis B) yang terbanyak adalah secara
parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar
individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama).
HBV dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi
terdapat pada serum. Infeksi terjadi apabila seseorang mendapat paparan terhadap cairan tubuh
orang yang terinfeksi melalui kulit atau mukosa.1

Bayi dari ibu dengan HBsAg positif berisiko terinfeksi HBV, akan tetapi infeksi HBV paling
sering terjadi pada bayi dengan ibu HBeAg positif atau menderita hepatitis B akut pada trimester
tiga kehamilan. Faktor-faktor yag berkaitan langsung dengan keadaan HBsAg positif pada bayi,
antara lain:

1. Titer HBsAg ibu


2. Status HBeAg ibu (hampir 90% bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif menderita
hepatitis B kronis; sedangkan bayi dari ibu dengan HBeAg negative karier memiliki
risiko sebesar 20%)
3. DNA HBV positif pada serum ibu
4. HBsAg positif pada darah plasenta
5. Saudara kandung dengan HBsAg positif

Sembilan puluh delapan persen transmisi terjadi pada saat proses kelahiran, diduga melalui
ingesti darah maternal oleh bayi pada saat proses kelahiran. Meskipun demikian, transmisi virus
dapat terjadi in-utero melalui kebocoran plasenta (2%). HBeAg dapat menembus plasenta dari
ibu ke fetus. Belum ditemukan bukti bahwa menyusui merupakan salah satu rute transmisi HBV.

Bayi yang terinfeksi HBV dari ibu dengan HBsAg positif tidak akan menunjukkan manifestasi
infeksi HBV secara serologis sampai berumur 1-3 bulan. Meskipun infeksi HBV perinatal
memiliki manifestasi klinis yang minimal, akan tetapi 90% bayi dengan HBsAg positif akan
menderita hepatitis kronis atau keadaan karier kronis. Hal ini diduga disebabkan karena sistem
imun bayi yang belum matur. Hepatitis fulminan dapat terjadi pada transmisi perinatal ini,
meskipun jarang terjadi (1-2%). Bayi yang terinfeksi juga memiliki risiko tinggi menderita
hepatitis B kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler.1

Risiko terinfeksi HBV tidak hanya pada periode perinatal saja, namun bayi yang rentan juga
berisiko terinfeksi HBV dari anggota keluarga yang lain. Infeksi postnatal dapat terjadi di
lingkungan yang banyak dijumpai karier HBsAg dan rendahnya vaksinasi.1

Virus Hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan melalui
reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons
imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas seluler terjadi
eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HBeAg, pada permukaan sel yang bergabung dengan
class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL)
untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan berasal dari sel yang lisis tidak
menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral
(neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga berperan pada manifestasi ekstrahepatik.
Komples imun yang mengandung HBsAg dapat menimbulkan poliarteritis nodosa,
glomerulonephritis membranosa, polimialgia, vaskulitis dan sindroma Guillain-Barre.1

Mekanisme timbulmnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis sehingga
HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel T sitotoksik tidak
teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak perempuan.
Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi kronis. Infeksi
HBV umur 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi diatas umur 3
tahun.1
Gambar 4. Pola respons terhadap infeksi akut HBV9

Gambar 5. Pola respons terhadap infeksi kronis HBV9


Gejala klinis

1. Hepatitis Akut
Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari
tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan
gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas
yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah,
anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati, dan
berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
kadar ALT dan AST sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi.
Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan
lesi kulit (urtikaria, purpura, makula, dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25%
penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4
minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah
umur 4 tahun, dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis
akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.

2. Hepatitis kronis
Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau
HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita hepatitis kronis
adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar
aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal)
menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar
aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada
saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM
anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit,
tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada
penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan
bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis setelah 6 tahun.
Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan
hati yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan
timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.
3. Gagal hati fulminan
Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut
simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum
dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus,
gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit.
Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan
menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.

4. Pengidap sehat
Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase
serum berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga
tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah
endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah
(1) membaik (anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada
umur diatas 30 tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.

Diagnosis

Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi HBV
terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat
melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klnis. Pada saat ini
DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung
terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap
sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel hati yang
terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis1

Tabel 3. Penanda serologis infeksi Hepatitis B

Antigen Interpretasi Bentuk klinis


HBsAg Sedang infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis
HBeAg Proses replikasi dan sangat Hepatitis akut, hepatitis kronis
menular
Antibodi
Anti-HBs Resolusi infeksi Kekebalan
Anti-HBc total Sedang infeksi atau pernah Hepatitis akut, hepatitis kronis,
infeksi penanda kronis, kekebalan
IgM anti-HBc Infeksi akut atau infeksi kronis Hepatitis akut, hepatitis kronis
yang kambuh
Anti-HBe Penurunan aktivitas replikasi Penanda kronis, kekebalan
Pemeriksaan molekular
PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis
Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat Hepatitis akut, hepatitis kronis
menular

Pengobatan

Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi kronis.
Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi
berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT >10 kali nilai normal, atau bila ada
kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak di bawah 3
tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar
(80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit;
sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B
kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh
dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta
komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita kronis dengan peningkatan kadar
aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan.

1. Interferon alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah pengobatan standar untuk
penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati,
koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA
HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan
interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terhadap alkohol,
dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m secara subkutan tiga kali
dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu.

Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,
neurologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri
otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan
rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-
interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura
trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah
putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bacterial
seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek
neurologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan
disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinnitus, vertigo, penurunan
penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel,
depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.

Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu
selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat
mulai, selesai pengobatan, dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus
diturunkan atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati,
depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10-
40% penderita memerlukan pengurangan dosis, dan 5-10% pengobatan harus dihentikan.
Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun,
depresi kejiwaan berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.

Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif


rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia,
serta adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian
didapatkan 46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya
antibody anti-HBe dan 8% dengan timbulnya antibody anti-HBs. Timbulnya anti-HBe
dan hilangnya DNA HBV menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps
terjadi pada 14% penderita pada tahun pertama setelah pengobatan.

2. Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adenovir adalah golongan analog nukleosida yang
menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping
daripada interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun.
Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg
dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan
serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati,
lamivudine memperbaiki skor Child-Pugh.

Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan
kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon
terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati, penderita dengan mutasi pre-core
HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang
mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila
dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan
adefovir atau gansiklovir.

Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi
respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan
lamivudin tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudin saja.1

Pencegahan

Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi. Saat ini program imunisasi masal
HBV dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi masih
terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981 adalah
derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi, pemurnian,
dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin ini mempunyai
imunogenitas dan efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV rekombinan pertama
diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989. Saat ini ada 10 produk vaksin
rekombinan.

Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak erat
dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit hemodialisis), dan
penderita penyakit darah.

Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu yang
melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HBeAg, maka kepada bayinya
diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif
hanya memberikan perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya
infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan
kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10
mcg. Bila dosis dikurangi maka nilai titer antibody juga turun. Lebih tua umur, serokonversi
makin berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan
imunitas. Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat menyuntikkan yaitu
masuk ke subkutan bukan ke otot.

1. Uji saring sebelum vaksinasi


Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk
pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat
dengan penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0,1-20% dengan anti-
HBc positif dan 80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini
menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc
positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah (ibu HBsAg negative saat melahirkan) dan
anak-anak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring, dan
imunisasi dapat diselesaikan dalam waktu 6-18 bulan.
2. Pemeriksaan paska vaksinasi
Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi.
Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi
tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu
atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HBsAg positif yang telah
divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.
3. Penanganan nonresponder
Untuk pada nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya
setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak
muncul atau anti-HBs-nya kurang dari 10 mIU/mL, tampaknya tidak akan memberikan
hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa
mendatang, bagi para nonresponder ini dapat diberikan (1) pemberian vaksin yang
mengandung pre-S2-HBsAg, (2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell
peptide, (3) pemberian kombinasi HBsAg dengan HBcAg, atau (4) transfer limfosit dari
responder. Untuk penderita dialisis yang respon imunologisnya sangat rendah hal-hal
tersebut diatas kurang bermandaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal, diberi
vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis. (1)
BAB III

HEPATITIS C

Definisi

Hepatitis C adalah penyakit hepar yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Hepatitis C
Virus dapat menyebabkan akut dan kronik infeksi. Infeksi HCV baru biasanya bersifat
asimptomatik. Hepatitis C adalah penyebab terbesar dari kanker hati. Penularan hepatitis C
melalui darah dan cairan tubuh, penularan perinatal sangat kecil, dapat juga menular melalui
jarum suntik, transplantasi organ, kecelakaan kerja (petugas keseatan), hubungan seks dapat
menularkan tetapi sangat kecil. Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 2-24 minggu.2,6

Virologi

Virus hepatitis C (HCV) adalah virus RNA yang digolongkan dalam Flavivirus bersama-sama
dengan virus Hepatitis G, yellow fever dan dengue. Struktur gen HVC adalah sebuah RNA untai
tunggal, positif sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open reading frame diapit
oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan pada masing-masing ujung 5’ dan 3’. RNA
HCV terdiri atas 5 bagian, yaitu : 5’ noncoding region, gen yang mengkode core protein, gen
yang mengkode envelope protein, gen yang mengkode protein nonstruktural (NS1 sampai NS5)
dan 3’ noncoding region.6,7

Gambar 5. Virus Hepatitis C


Epidemiologi

Infeksi virus hepatitis C pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1980-an. Data publikasi
pertama diterbitkan pada tahun 1989, dimana pasien yang terinfeksi virus hepatitis non A dan
non B, terinfeksi oleh virus hepatitis C. Data WHO pada tahun 2004 menunjukan bahwa 2,2%
penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis C.7

Berdasarkan grafik dari CDC pada tahun 2002-20117 Kelompok usia 20-29 tahun merupakan
kelompok usia dengan laporan kasus terinfeksi HCV terbanyak. Sedangkan kelompok usia 0-19
tahun merupakan kelompok usia dengan laporan kasus terinfeksi HVC terendah.10

Patogenesis

HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi non-
sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus lainnya,
eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralizing antibodies) terhadap virus yang
beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi dan
menghambat replikasi intraseluler melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari
aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigenetiknya. Mekanisme ini dapat
menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang penderita
terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi
dari antobodi penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan
cara infeksi langsung pada sel limfoid dan mengganggu produksi interferon. Kerusakan
hepatoseluler masih menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan
ditemukannya perubahan degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b
mungkin lebih bersifat sitopatik daripada genotip yang lain. Mekanisme sitotoksisitas yang
diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity) diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati, yang
ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas 1 dan core
beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga
dihubungkan dengan gangguan imunologis seperti krioglobulinemia, vaskulitis,
glomerulonefrits, artritis, dan tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus
terhadap sistem imun yang menyebabkan timbulnya reaksi antobodi monoklonal dan
pembentukan kompleks imun dari IgG dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan
limfoid. Reaksi ini mungkin juga menimbulkan limfoma.1

Gejala klinis

1. Hepatitis C akut
Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan
masa inkubasi sekitar 7 minggu yakni antara 2-30 minggu. Anak maupun dewasa yang
terkena infeksi biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada, gejalanya tidak
spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada penderita
dewasa dengan gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan HCV
(anti-HCV) mungkin belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau
bulan setelah terjadinya infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase
akut, dan pada 40% penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan
status virologis. Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian
menggunakan metode PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun
HBV, infeksi HCV jarang menyebabkan kegagalan hati fulminan.
2. Hepatitis C kronis
Tidak kurang dari 85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis.
Mekanisme mengenai mengapa virus masih tetap ada atau persisten setelah infeksi akut
belum diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk
melakukan mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya,
selain gejala minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak
pada perut kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita
menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah
tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepatik bisa meliputi gejala
hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar
30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya
meningkat sekitar 3 kali harga normal. Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum
biasanya normal kecuali pada fase lanjut.
3. Sirosis hati
Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga
dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervariasi antara
20-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai
timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya
progresifitas penyakit yaitu:
 Umur lebih dari 40 tahun
 Laki-laki
 Derajat fibrosis pada saat biopsi awal
 Status imunologis
 Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV
 Infeksi genotip 1
 Adanya quasi-species
 Overload besi
 Konsumsi alkohol

4. Karsinoma hepatoseluler
Perkiraan insidens karsinoma hepatoseluler sekitar 0.25-1.2 juta kasus baru setiap tahun,
sebagian berasal dari penderita dengan sirosis, risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler
pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan sekitar 1-4%. Perkembangan
sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma hepatoseluler berkisar antara
10-50 tahun. DiBisceglie memperkirakan bahwa antara 1.9-6.7% penderita sirosis HCV
berkembang menjadi HCC setelah 10 tahun.
Diagnosis

Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu: (1)

1. Uji saring
Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan
yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada
penderita dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya
pada penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga pada awal
perjalanan penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi.
2. Uji konfirmasi
Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi. Tes
konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil pemeriksaan yang rendah tetapi
dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah. Uji konfirmasi ini meliputi:
a. Recombinant immunoblot assay (RIBA-1, RIBA-2, RIBA-3)
b. Deteksi virologis
c. Biopsi hati

Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obat-
obat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2
golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.

Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antobodi dari berbagai bagian dari antigen
HCV. Juga disebut sebagai diagnosis serologis untuk menemukan adanya IgG anti-HCV. IgM
anti-HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling popular adalah dengan cara Enzyme
Immuno Assays (EIA). EIA generasi pertama ditujukan untuk menemukan antibodi terhadap
protein nonstruktural (C-100) NS-4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan kombinasi antara
protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan protein nonstructural dari NS-3 yaitu C-
33c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi
kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada EIA generasi pertama dimana generasi kedua ini
dapat menemukan 95% penderita infeksi HCV. Disamping itu generasi kedua dapat menemukan
timbulnya serokonversi anti-HCV dengan lebih cepat yaitu antara 4-6 minggu paska infeksi. (1)

Pemeriksaan IgM anti-HCV kurang bermanfaat karena IgM anti-HCV dari daerah core tidak
timbul pada semua penderita hepatitis C akut, tetapi tetap ada pada penderita hepatitis C kronis.
Chey menemukan adanya IgM anti-HCV pada 50% penderita infeksi kronis. Sedangkan titer IgG
anti-HCV berhubungan erat dengan viremia, sehingga mungkin titer IgG tersebut tidak terdapat
pada penderita dengan viremia yang rendah.

EIA generasi ketiga merupakan peningkatan sensitifitas dari generasi kedua, sebab selain
antibodi terhadap protein yang berasal dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah dengan protein
rekombinan dari daerah NS-5. Penggunaan protein daeah NS-5 ini dapat menyebabkan hasil
positif palsu.

Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA (recombinant immunoblot assay)
yang melakukan deteksi antibody monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang diikat
lapisan nitoselulosa. Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya karena
menggunakan antigen yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam pemacaan hasil.
RIBA 3 merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil yang meragukan
(Indeterminate)

Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA dan
menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut, dimana
antibodi terhadap antigen-c belum terbentuk (window period). Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV, sensitivitasnya
mendekati pemeriksaan RNA HCV.

Pemeriksaan molekular

Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan juga dapat
untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis molekular.

Ada 4 cara diagnosis molecular terhadap HCV:

1. Polymerase chain reaction (PCR)

2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBA)


3. Ligase chain reaction (LCR)

4. Branched DNA assay (b DNA assay)

PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target amplification,
sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification. Kelebihan lain dari b
DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan seperti deteksi signal
pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya kontaminasi.

Gambar 6. Alur pemeriksaan pasien dengan anti HCV positif11

Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresivitas penyakit menjadi
sirosis maupun karsinoma hepatoseluler. Saat ini rekomendasi dari FDA adalah pengobatan
dengan kombinasi interferon dan ribavirin.

Indikasi Kontraindikasi interferon Kontraindikasi pada Ribavirin

Peningkatan AST/LST Depresi berat Anemia (Hb <11 g/dL)


Dekompensasi hati

Ditemukan HCV-RNA Penggunaan alkohol Tidak tahan anemia

Fibrosis portal atau inflamasi Penggunaan obat-obatan Penyakit jantung koroner


pada biopsy hati
Penyakit autoimun Kehamilan

Penyakit penyerta berat Tidak tahan kontrasepsi

Diabetes berat Penyakit vaskular perifer

Hipertensi berat Gagal ginjal

Gout

Tabel IV. Indikasi dan Kontraindikasi Pengobatan Hepatitis C Kronis

Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan infeksi HCV akut pada
anak. Sedangkan pada infeksi kronis ada beberapa laporan tetapi tidak berskala besar, bukan
penelitian multisenter, dan bukan uji klinis. Dari laporan-laporan tersebut didapatkan sustained
virologic response berkisar 33-45%. Hasil ini ternyata lebih besar daripada respon pada orang
dewasa. Kemungkinan penyebabnya adalah: (1) penyakit masih pada stadium awal, (2) tidak ada
faktor yang memperberat penyakit, dan (3) dosis interferon relatif lebih tinggi. Atau mungkin
karena penelitiannya dalam ruang lingkup yang sempit dan bukan uji klinis sehingga terjadi
artefak statistik.

Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu. Dosis Ribavirin adalah 8, 12, atau
15 mg/kgBB per hari. Pada penderita hepatitis C kronis yang mengalami koinfeksi dengan HIV,
konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran histologis cenderung lebih progresif, maka
pemberian pegylated interferon bersama Ribavirin diharapkan dapat memberikan hasil yang
lebih baik.

Pencegahan

Tidak seperti HAV atau HBV, dimana immunoglobulin memainkan peranan penting dalam
profilaksis primer, pada HCV belum ditemukan jenis immunoglobulin yang efektif untuk
pencegahan post exposure. Pembuatan vaksin juga terhambat karena tingginya derajat diversitas
genetik.
Sehingga pencegahan dititikberatkan pada:

1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ
2. Uji saring terhadap individu yang berada pada daerah dengan prevalensi HCV yang
tinggi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut
3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh.

Individu-individu yang seharusnya menjalani tes uji saring HCV adalah:

1. Pengguna obat terlarang dengan suntukan


2. Penerima darah dan produknya
3. Penderita dialisis kronis
4. Individu dengan ALT yang terus menerus meningkat
5. Petugas kesehatan yang pernah kontak dengan darah yang terinfeksi HCV
6. Bayi yang lahir dari ibu penderita HCV
BAB IV

HEPATITIS D

Definisi

Hepatitis D merupakan penyakit hepar yang dapat menyebabkan infeksi akut maupun kronis.
Hepatitis D disebabkan oleh infeksi virus hepatitis D (HDV) yang membutuhkan virus hepatitis
B (HBV) untuk bereplikasi. Infeksi Virus Hepatitis D tidak akan muncul jika tidak disertai
dengan infeksi virus hepatitis B. Koinfeksi dari HDV dan HBV merupakan penyebab infeksi
kronis virus hepatitis yang paling parah.2

Virologi

Hepatitis D merupakan patogen RNA yang fungsinya bergantung pada bantuan yang disediakan
oleh virus hepatitis Bb dalam replikasinya. Virus hepatitis D merupakan satu-satunya anggota
Deltavirus. Virus Hepatitis D terdiri dari 8 genotipe yang berbeda dalam sekuens nukleotida
sebesar 40% hepadnavirus lainnya dapat menunjang pertumbuhan virus hepatitis D. masing-
masing virion berukuran sekitar 36 nm dan berada pada selubung HbsAg. Genom tersebut terdiri
dari molekul RNA untai tunggal yang mengandung kira-kira 1,7 kb, masing-masing genom
diasumsikan sebagai struktur yang berbentuk mirip batang, sebagai hasil dari pasangan basa
ekstensif dan dua buah struktur fosfoprotein yang basa ekstensif dan dua buah struktur
fosfoprotein yang membagi aktivitas antigen berupa HDAg. Karena genom tersebut hanya
mengandung 1700 nukleotida, virus hepatitis D merupakan virus hewan terkecil, mirip dengan
ciroid RNA yang terdapat pada tmbuhan Virus hepatitis D hanya membutuhkan selubuh HbsAg
untuk berikatan dengan hepatosit dan membentuk virion.7

Gambar 7. Virus Hepatitis D


Epidemiologi

Virus Hepatitis D sangat jarang diindonesia. Pada tahun 2005 di jayapura, dilakukan observasi
pada 94 pasien positif HbsAg ditemukan 2 diantaranya positif IgG anti HDV namun tidak
ditemukan HDV-RNA pada kedua pasien. Pada tahun 2006 dan 2007 saat terjadi wabah hepatitis
A di indonesia, dilakukan screening pada semua pasien hepatitis akut dan semua dinyatakan
negatif terhadap IgG HDV.8

Patogenesis

Mekanisme liver injury pada infeksi HDV belum sepenuhnya dipahami. Bukti klinis
menunjukkan proses penyakit yang dimediasi sistem imun, terutama pada infeksi kronis,
sedangkan kerusakan sitopatik langsung telah terlibat selama infeksi akut. Histologi hati infeksi
HDV mirip dengan hepatitis B. Aktivitas histologis dalam hati tampaknya berkorelasi dengan
kadar serum HBsAg dan tidak dengan viremia HDV. Bahkan, beberapa peneliti telah
menemukan korelasi negatif antara viremia HDV dan skor fibrosis, mendukung konsep bahwa
respon imun dan efek non sitopatik memainkan peran utama dalam cedera hati.12

Virus Hepatitis D ditransmisikan dengan bantuan virus hepatitis B. Pada pasien dengan HbsAg
positif, adanya infeksi virus hepatitis B tersebut akan mempermudah aktivasi virus hepatitis D,
dan infeksi tersebut akan terjadi dengan cepat, hal tersebut dinamakan superinfeksi virus
hepatitis D pada infeksi virus hepatitis B.7

Gambar 8. (A) Koinfeksi virus hepatitis B dan D. (B) Superinfeksi virus hepatitis D pada infeksi virus
hepatitis B.
Gejala klinis

Gambaran klinis infeksi HDV tergantung pada mekanisme infeksi. Pada koinfeksi gejala kinis
hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja. Namun untuk menjadi hepatitis kronis
kemungkinannya adalah rendah. Pada superinfeksi jarang terjadi gejala klinis hepatitis akut
namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi risiko terjadinya hepatitis
fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal hati fulminan harus dipikirkan
kemungkinan infeksi HDV.

Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan panas mendadak,
hematemesis, dan gejala gagal hati fulminan. Terjadi terutama di daerah lembah sungai Amazon,
Amerika Selatan dan disebut sebagai hepatitis Labrea, black fever atau hepatitis santa marta.

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti-HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu setelah
infeksi secara konfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi, menggunakan metoda RIA atau
ELISA. HDAg dapat ditemukan pada sel hati menggunakan pengecatan khusus
immunofluorescence. HDAg juga terdapat pada serum penderita menggunakan metode analisis
Western blot. RNA HDV hepatik dan RNA HDV serum dapat ditemukan dengan cara Northern
blot, Hibridisasi Insitu. Metoda PCR juga dapat digunakan untuk mencari HDV RNA.

Pengobatan

Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dan HDV menyebabkan pengobatan lebih sukar
daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada penderita HDV
kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar ALT lebih tinggi
dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons positif ditandai
dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian interferon diteruskan
sampai HBsAg hilang dari serum.

Pencegahan

Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi tanpa
adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi HDV.
BAB V

HEPATITIS E

Definisi

Hepatitis E adalah penyakit hepar yang disebabkan oleh infeksi virus yang dikenal sebagai virus
hepatitis E (HEV). Virus memiliki setidaknya 4 jenis yang berbeda: genotipe 1, 2, 3 dan 4.
Genotipe 1 dan 2 telah ditemukan hanya pada manusia. Genotipe 3 dan 4 beredar di beberapa
hewan (termasuk babi, liar, dan rusa) tanpa menyebabkan penyakit apapun, dan sesekali
menginfeksi manusia. Penularan virus hepatitis E melalui fecal-oral seperti hepatitis A. masa
inkubasi virus ini adalah 2-9minggu.2,6

Virologi

Virus Hepatitis E adalah suatu cirus yang mirip dengan HAV, tak berselubung, ukuran 32-34nm
dengan genom RNA untai tunggal, positive sense yang terdiri dari 7600 nukleotida. HEV
memiliki tiga open reading frames (ORF) dengan yang terbesar ORF1 menyandi protein-protein
non struktural yang berperan dalam replikasi virus. Gen berukuran sedang ORF2 menyandi
protein nukleokapsid dan yang terkecil ORF3 menyandi suatu protein struktural yang fungsinya
belum diketahui pasti.1

Gambar 9. Virus Hepatitis E (HEV)

Epidemiologi

Kejadian tertinggi infeksi hepatitis E ditemukan di daerah dengan standar sanitasi yang lebih
rendah yang dapat memudahkan penularan virus. Penularan paling sering terjadi oleh air yang
terkontaminasi tinja atau melalui makanan yang terkontaminasi. HEV memiliki tingkat infeksi
tertinggi pada kelompok usia 15-40 tahun, dengan tingkat serangan keseluruhan berkisar antara 3
hingga 30% pada orang dewasa dan 0,2-10% pada anak-anak. Ini mungkin disebabkan oleh
karena sebagian besar anak tidak bergejala atau asimtomatik.11

Gambar 10. Distribusi infeksi HEV berdasarkan genotipe10

Patogenesis

HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologisnya menyerupai
hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe kolestatik dan
tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis lain yaitu
pembengkakan sel hati, degenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PMN pada daerah
intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan stasis empedu
pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti-HEV.
IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens sedangkan IgG anti-HEV
masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic
suppression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh
mekanisme imunologis seluler dan humoral.1
Gejala Klinis

Gambaran kinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus fatal
yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya 2-9 minggu. Bentuk subklinisnya tidak dapat
dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes dengan ikterus akan
sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan ALT dicapai setelah 3
minggu sejak mulai timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi pada kelompok anak
muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada dewasa muda dan umur
pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi pada wanita hamil. Tidak
pernah didapatkan bentuk kronis.1

Diagnosis

Diagnosis Hepatitis E akut ditentukan dengan:

1. Mikroskop electron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita


2. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking
assay
3. IgM dan IgG anti-HEV secara western blot dan EIA; IgM anti-HEV ditemukan satu
minggu timbulnya gejala klinis.
4. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja.

Pencegahan

Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Immunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV.
Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah
penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk
mencegah infeksi HEV.1
BAB VI
KESIMPULAN

Hepatitis adalah terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat disebabkan oleh
infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun. Terdapat lima
strain utama dari virus hepatitis, yaitu tipe A, B, C, D dan E. Semua tipe ini menyebabkan
penyakit pada hepar, namun berbeda dalam mode transmisi, keparahan penyakit, distribusi
geografis dan metode Pencegahan

Hepatitis A merupakan infeksi hepatitis akut yang disebabkan oleh Hepatitis A virus (HAV).
Transmisi HAV melalui fecal oral. Gejala klinis Hepatitis A dibagi menjadi 4 stadium, fase
inkubasi, fase prodormal, fase ikterik dan fase penyembuhan. Tidak ada terapi spesifik dalam
penanganan kasus hepatitis A, terapi yang diberikan bersifat simtomatik. Pencegahan infeksi
HAV terbagi menjadi 2 yaitu, non spesifik dan spesifik. Non spesifik meliputi peningkatan
sanitasi lingkungan serta hygiene pribadi sedangkan pencegahan spesifik meliputi pemberian
imunisasi aktif dan imunisasi pasif.

Hepatitis B merupakan infeksi hepatitis yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh
virus hepatitis B (HBV). Transmisi HBV dapat bersifat vertikal dan horisontal. Vertikal adalah
penularan ibu ke anak, 90 % perinatal dan 10 % intrauterine. Penularan horisontal dapat melalui
darah, jarum suntik, atau hubungan seksual. Pengobatan Hepatitis B pada anak dapat diberikan
interferon atau analog nukleosida. Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa
perinatal, terhadap seorang ibu yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa
adanya HBeAg, maka kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif.

Hepatitis C merupakan infeksi hepatitis yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh
virus hepatitis C (HCV). Transmisi HCV dapat melalui darah, hubungan seksual, jarum suntik,
maupun vertikal dari ibu ke anak walaupun sangat jarang. Pengobatan Hepatitis C pada anak
dapat menggunakan interferon atau ribevirin. Hingga saat ini belum ditemukan vaksin maupun
imunoglobulin yang efektif untuk mencegah infeksi hepatitis C. pencegahan transmisi dilakukan
dengan metode uji saring pada donor darah maupun donor organ.
Hepatitis D merupakan infeksi hepatitis yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan
oleh virus hepatitis D (HDV). Virus hepatitis D ditransmisikan dengan bantuan virus hepatitis B.
Penularan lebih sering melalui jarum suntik, darah dan hubungan seksual, jarangan terjadi
penularan perinatal seperti hepatitis B. Kasus virus hepatitis D di dindonesia masih sangat
jarang. Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti-HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu
setelah infeksi secara konfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi. Pengobatan dilakukan
menggunakan interferon-alfa selama minimal satu tahun. Hingga saat ini belum ditemukan
vaksin untuk pencegahan infeksi HDV.

Hepatitis E merupakan infeksi hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV). Sama
seperti HAV, infeksi HEV ditransmisikan melalui fecal oral. Belum terdapat vaksin terhadap
HEV. Immunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV. Pencegahan dititikberatkan dengan
cara meningkatkan sanitasi lingkungan dan meningkatkan personal hygiene.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arief, S., 2012. Hepatitis Virus. In: Juffrie, M., et al., ed. Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi. 3rd ed. Jakarta: IDAI, 285-328.
2. World Health Organization. Hepatitis. 2020
https://www.who.int/health-topics/hepatitis#tab=tab_1

3. Sanityoso A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk
(ed). Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006. pg 427

4. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2018/Hasil
%20Riskesdas%202018.pdf–Diakses Juli 2020

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pedoman Pengendalian Hepatitis


Virus. Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
6. IndoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI HEPATITIS. 2014.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
hepatitis.pdf Diakses juli 2020
7. Setiati S, Idrus A, et al. 2014. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 Jilid II. Jakarta :
interna publishing, 1947-70
8. Mulyanto. Viral Hepatitis in Indonesia: Past, Present, and Future. Eurosian journal
hepatology.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5578564/
9. Longo DL, Fauci AS. 2014 Harison gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC, 314-45
10. Centers for Disease Control and Prevention. Surveillance for viral hepatitis – United
States 2017
https://www.cdc.gov/hepatitis/statistics/2017surveillance/index.htm#hepatitisB
11. Jonas, M M. 2010. Viral Hepatitis In children Unique Features and Opportunities. Boston
: springer science

Anda mungkin juga menyukai